PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara hukum, dimana tatanan hukum yang beroperasi dalam
suatu masyarakat pada dasarnya merupakan pengejawantahan cita hukum yang dianut dalam
masyarakat diberbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku
birokrasi pemerintahan dan masyarakat). Paham Negara Hukum Indonesia mendudukan
kepentingan orang perorang secara seimbang dengan kepentingan umum. Negara mengakui hak
dan kewajiban asasi warga negara serta membuat pengaturan-pengaturan yang memungkinkan
terjaminnya kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan damai.
Usaha untuk mencapai masyarakat adil dan makmur memang memerukan ikut sertanya
semua manusia dalam semua bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, hukum dan sosial
budaya. Salah satu cara agar bisa terwujud kesejahteraan bagi seluruh rakyat indonesia ialah
dengan cara mempergunakan hukum sebagai alatnya. Dengan kata lain hukum hukum dipakai
sebagai sarana untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran khususnya dibidang agraria. Pada
jaman kolonial tujuan politik hukum pemerintah penjajah jelas berorientasi pada kepentingan
penguasa sendiri. Sedang politik hukum indonesia, dalam hal ini politik hukum agraria nasional
merupakan alat bagi pembangunan masyarakat yang sejahtera, bahagia, adil dan makmur.
Di dalam usaha untuk mewujudkan tujuan tersebut, politik hukum agraria nasional
memberikan kedudukan yang penting pada hukum adat. Hukum adat dijadikan dasar dan sumber
dari pembentukan hukum agraria nasional. Pengambilan hukum adat sebagai dasar merupakan
pilihan yang paling tepat karena hukum adat merupakan hukum yang sudah dilaksanakan dan
dihayati oleh sebagian besar masyarakat indonesia. Pengambilan hukum adat sebagai sumber
memang mengandung kelemahan-kelemahan tertentu. Hal ini berkaitan dengan sifat pluralistis
hukum adat itu sendiri. Untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan itu harus dicari dan
dirumuskan asas-asas, konsepsi-konsepsi, lembaga-lembaga dan sistem hukunya. Hal inilah
dijadikan sebagai dasar dan sumber bagi pembentukan hukum agraria nasional.
Pembahasan mengenai struktur hukum tanah nasional tidak dapat dilepaskan dari fakta
sejarah tentang perkembangan hukum agraria di Indonesia pernah mengalami jaman penjajahan
yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan hukumnya. Secara
garis besar sejarah hukum agraria dikelompokkan menjadi dua yaitu pada jaman sebelum
berlakunya Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
dan setelah berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok.
1
Melalui perkembangan zaman, Hukum Agraria tersebut menjadi kian berkembang
mengalami berbagai penempurnaan dan pembaharuan setahap demi setahap hingga sekarang ini.
Jadi riwayat sejarah Hukum Agraria sebagamana juga bidang hukum lainnya mulai lahir dan
berkembang melalui suatu evolusi yang lama dan panjang, sejak mulai adanya pengetahuan dan
inisiatif manusia untuk menciptakan kehidupan serasi melalui hokum yang berkenaan dengan
pertanahan, yang dalam hal ini dapat kita anggap sebagai “embrio” Hukum Agraria itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan makalah saya ini adalah :
Menjelaskan proses perkembangan politik hukum agraria di Indonesia yang sebelumnya
dikenal pada jaman kolonial Belanda sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria atau
sering disebut dengan masyarakat lokal hukum adat dan hukum barat serta menjelaskan
perkembangan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-
pokok agraria dari jaman kolonial hingga era reformasi.
C. Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan penulisan makalah saya sebagai berikut :
1. Memberikan pengertian hukum agraria ?
2. Menjelaskan reformasi hukum agraria yang telah mengalami berbagai perubahan dari
masa kolonial sampai pada reformasi sekarang ?
3. Memberi informasi bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi masyarakat dalam bidang
pertanahan yang kadang kala menuju pada konflik pertanahan yang dapat merugikan dan
jatuhnya korban jiwa seperti yang telah terjadi sebelumnya ?
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dalam penulisan makalah saya ini yaitu :
Memberikan sebuah pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya penataan kepemilikan
tanah baik secara hukum adat maupun oleh badan pertanahan nasional yang seharusnya
menjadi tugas penting keterlipatan stakeholder dan seluruh elemen masyarakat banyak untuk
menghindari konflik pertanahan secara horizontal maupun vertikal yang dapat merusak moral
bangsa ini maka dari pada itu seharusnya pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan
masyarakat harus lebih tanggap dalam hal pertanahan baik secara daerah maupun nasional.
2
BAB III
PEMBAHASAN
Pada awal penjajahan Belanda, tanah tidak diatur secara sistematis. Barulah pada masa
penjajah Inggris, tanah untuk pertama kali diatur. Penjajah Inggris di bawah Stamford Raffles
(1811) membentuk Komisi McKenzie untuk menelaah masalah agraria dan merekomendasi cara
untuk memaksimalkan penggunaan lahan. Komisi ini menetapkan bahwa seluruh tanah hanya
dimiliki raja atau pemerintah. Ketika Belanda kembali menjajah menggantikan Inggris, pada 1830
3
diperkenalkan Cultuurstelsel atau Tanam Paksa. Seperlima dari tanah petani harus menanam
tanaman yang telah ditentukan pemerintah kolonial Belanda, antara lain: tembakau, tebu, teh, kopi
dan berbagai tanaman untuk ekspor. Pada masa ini, pihak swasta Belanda memperjuangkan hak
milik tanah pribumi (eigendom). Lalu, pada 1870 lahirlah Agrariche Wet yang mengatur tentang
tanah hak milik mutlak (eigendom) bagi pribumi dan tanah negara. Masa ini sering disebut sebagai
periode liberal (1870-1900). Sejak itu modal swasta Belanda dan Eropa masuk ke sektor
perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Mereka menyewa tanah rakyat dengan skala tak terbatas.
Pengelolaan liberal ini justru membuat petani hanya menjadi buruh tani, sementara raja-raja
cenderung memberi konsesi lahan kepada pihak asing. Berlanjut pada masa penjajahan Jepang. Di
masa penjajahan Jepang, banyak perkebunan besar terlantar. Ironisnya, petani malah diwajibkan
membayar pajak hingga 40% dari hasil produksi.
1. Contingenten.
Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial
(kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada
kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
2. Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang
kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga
sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak
bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan.
3. Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat
Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.
Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811).
Masa Pemerintahan Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Masa Pemerintahan Johanes van den Bosch (1830- )
Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan government
dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan
pahaj bumi. Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di
Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang rakyat hanya sekedar
memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah
Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut
dngna sendirinya beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang
dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik Raja Inggris.
Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris,
sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri. Beberapa jenis hak
atas tanah barat yang dikenal yaitu:
1. Tanah eigendom, yaitu suatu hak atas tanah ang pemiliknya mempunyai
kekuatan mutlak atas tanah tersebut;
5
2. Tanah hak opstal, yaitu suatu hak yang memberikan wewenang kepada
pemegangnya untuk memiliki sesuatu yang di atas tanah eigendom, pihak lain
yang dapat berbentuk rumah atau bangunan, tanaman dan seterusnya di samping
hak opstal tersebut memberikan wewenang terhadap benda-benda tersebut
kepada pemegang haknya juga diberikan wewenang-wewenang yaitu :
a. Memindah-tangankan benda yang menjadi haknya kepada pihak lain;
b. Dapat dijadikan jaminan utang;
c. Dapat diwariskan.
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
1. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan
pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
2. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
3. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
4. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
5. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah
melampaui batas kemampuannya.
6
a. Hak milik, hak yayasan; d. Hak pakai;
b. Hak wenang pilih, hak mendahulu; e. Hak imbal jabatan;
c. Hak menikmati hasil; f. Hak wenang beli.
1. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat
laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang
penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil
perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah perkebunan yang terletak di
daerah pegunungan sehingga taidak cocok untuk usaha pertanian, untuk itu perlu
ditertibkan.
2. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut
dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
3. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan
kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum. Untuk mencegah
pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat, maka pemerintah megeluarakan
perarturan tentang larangan pendudukan tanah tanpa izin yang berhak yaitu Undang-
undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960. Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata
kembali hukum pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan
mengeluarkan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :
Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.
Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap Pemindahan
Hak Atas Tanah Perkebunan.
Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan Tindakan-
tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.
Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara Belanda
yang kembali ke negerinya.
D. Masa Kemerdekaan
Pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, dengan maksud
ada pembagian hasil yang adil pula. Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA, seperti kata Presiden
Soekarno, adalah tonggak untuk mengikis habis sisa-sisa imperialisme dalam lapangan
pertanahan agar rakyat tani dapat membebaskan diri dari berbagai macam penghisapan manusia
atas manusia dengan alat tanah. Bahkan Bung Karno menyebut, “Land-reform adalah bagian
mutlak dari Revolusi kita.” Pada 26 Agustus 1963, melalui Keputusan Presiden RI No. 169
Tahun 1963, tanggal 24
September, tanggal lahirnya UUPA, ditetapkan sebagai Hari Tani. Sayangnya pada masa Orde
Lama, UUPA ini tidak dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat.
Begitu pula pada masa Orde Baru, terjadi perubahan haluan dan orientasi pembangunan.
Prioritasnya adalah stabilisasi ekonomi, pembangunan basis industri, penciptaan lapangan kerja,
dan yang tak kalah penting adalah swasembada pangan. UUPA tidak tersentuh dan masuk
“kotak”. Namun, seiring dengan maraknya kasus sengketa tanah, Presiden Soeharto meminta
Menteri Riset Prof. Soemitro Djojohadikusumo membentuk sebuah tim untuk mengkaji masalah
pertanahan. Hasilnya, pada 1979, pemerintah mengukuhkan kembali UUPA 1960 tetap sah
sebagai panduan dasar menyelesaikan persoalan pertanahan. Pada 1981, pemerintah
mencanangkan Proyek Nasional Agraria (Prona) bagi masyarakat ekononi lemah. Program
sertifikasi cukup dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Namun, implementasi UUPA itu
sendiri tidak pernah tercapai. Pemerintah Orde Baru terlanjur mengandalkan Revolusi Hijau dan
Trilogi Pembangunan tanpa Reforma Agraria. Pasca Orde Baru, ada upaya untuk melaksanakan
dan menyempurnakan UUPA dengan lahirnya Tap MPR RI Nomor IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tap ini lahir dari MPR hasil Pemilu
pertama di era reformasi. Sehingga, seharusnya Tap itu merupakan produk reformasi yang
sangat penting dan tidak boleh diabaikan. Sama seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintahan
pasca Orde Baru juga belum melaksanakan amanah Tap MPR itu.
8
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi
pecerahan kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui oleh SK
Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional. Dimana
masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang secara tegas diatur
dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat” sebagai titik awal dasar politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai
warga negara sangat merindukan upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan
paham konstitusionalisme yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha
mewujudkan keadilan agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti
dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam dan wilayah
hidup warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian
lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.
B. SARAN
Kesemua hal ini selayaknya dijadikan alas bagi kehadiran upaya-upaya dan sungguh-
sungguh mengerjakan dan membentuk kembali birokrasi agraria dalam rangka mewujudkan
keadilan sosial yang harus ditempatkan seiring sejalan dengan upaya sungguh-sungguh
mengubah posisi rakyat miskin pedesaan dari penduduk menjadi warga negara serta menjamin
hak-hak atas kepunyaan kepemilikan tanah milik rakyat dalam hal ini diberikan kemudahan dari
Badan Pertanahan Nasional untuk mendata serta mengeluarkan sertifat tanah warga negara
dengan harga terjangkau.
9
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai Hukum Dasar (Konstitusi) Negara Republik
Indonesia adalah pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.
John Gilissen , Frits Gorle dan Freddy Tengker, Sejarah Hukum : Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, 2005.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema Keadilan (susunan
II), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,
Isi dan Penjelasannya, Djambatan, Jakarta, Jilid 1, 1999.
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda-benda Lain yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, Citra Aditya, Bandung, 1996
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria,
Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 1999
10