Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Ankilostomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi cacing


tambang yaitu Ancylostoma duodenale, ditandai dengan nyeri pencernaan, diare,
(1)
dan anemia progresif. Ankilostomasis disebut juga tunnel diseases,
uncinariasis.
Di dunia saat ini, lebih dari 2 milyar penduduk terinfeksi cacing.
Prevalensi yang tinggi ditemukan terutama di negara-negara non industri (negara
yang sedang berkembang). World Health Organization (WHO) memperkirakan
800 juta–1 milyar penduduk terinfeksi Ascaris, 700–900 juta terinfeksi cacing
tambang, 500 juta terinfeksi trichuris. Prevalensi penyakit cacing tambang di
Indonesia sekitar 30-50%. Prevalensi lebih tinggi ditemukan didaerah
perkebunan karena cacing tambang cenderung hidup di tanah gembur dan
berpasir. Prevalensi dan intensitas tertinggi terutama pada golongan penduduk
yang kurang mampu, juga dikalangan anak usia sekolah dasar.(3)
A. Patofisiologi

Ancylostoma duodenale memiliki alat pengait seperti gunting yang


membantu melekatkan dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan

1
intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus cacing menyebabkan
tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam kapsul
bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang
menyebabkan perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang
akan memperberat kerusakan pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan
sekresi berbagai antikoagulan termasuk diantaranya inhibitor faktor VIIa
(tissue inhibitory factor). Cacing ini kemudian mencerna sebagian darah yang
dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi
dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna. Terjadinya anemia
defisiensi besi pada infeksi cacing tambang tergantung pada status besi tubuh
dan gizi pejamu, beratnya infeksi (jumlah cacing dalam usus penderita), serta
spesies cacing tambang dalam usus. (2)
B. Gejala Klinis
Stadium larva:
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi
perubahan kulit yang disebut grown itch. Dalam 7-14 hari setelah infeksi
terjadi ground itch. Pada fase awal, yaitu fase migrasi larva, dapat terjadi
nyeri tenggorokan, demam subfebril, batuk, pneumonia dan pneumonitis.
Kelainan paru-paru biasanya ringan kecuali pada infeksi berat, yaitu bila
terdapat lebih dari 200 cacing dewasa. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal
kerongkongan, suara serak, mual, dan muntah. (4)
Stadium dewasa:
Pada fase selanjutnya, saat cacing dewasa berkembang biak dalam
saluran cerna, timbul rasa nyeri perut yang sering tidak khas (abdominal
discomfort). Rasa tidak enak pada perut, kembung, sering mengeluarkan gas
(flatus), mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing terhadap usus halus
yang terjadi lebih kurang dua minggu setelah larva mengadakan penetrasi ke
dalam kulit. Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan

2
perdarahan kronik, maka dapat terjadi hipoproteinemia yang bermanifestasi
sebagai edema pada wajah, ekstremitas atau perut, bahkan edema anasarka.
Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing tambang
selain memiliki gejala dan tanda umum anemia, juga memiliki manifestasi
khas seperti atrofi papil lidah, telapak tangan berwarna jerami, juga terjadi
pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat terjadi gagal jantung akibat
penyakit jantung anemia. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing tambang
dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi, dan kehilangan
darah.
1. Nekrosis jaringan usus, yang lebih diakibatkan dinding jaringan usus yang
terluka oleh gigitan cacing dewasa.
2. Gangguan gizi, penderita banyak kehilangan karbohidrat, lemak dan
terutama protein, bahkan banyak unsur besi (Fe) yang hilang sehingga
terjadi malnutrisi.
3. Kehilangan darah, darah yang hilang itu dikarenakan dihisap langsung
oleh cacing dewasa.
Di samping itu, bekas gigitan cacing dewasa dapat menimbulkan
pendarahan terus menerus karena sekresi zat anti koagulan oleh cacing
dewasa/ tersebut. Setiap ekor Ancylostoma duodenale dapat mencapai 0,08 cc
sampai 0,24 cc per hari. Cacing dewasa berpindah – pindah tempat di daerah
usus halus dan tempat lama yang ditinggalkan mengalami perdarahan lokal
jumlah darah yang hilang setiap hari tergantung pada (1) jumlah cacing,
terutama yang secara kebetulan melekat pada mukosa yang berdekatan dengan
kapiler arteri; (2) species cacing : seekor A duodenale yang lebih besar
daripada N. americanus mengisap 5 x lebih banyak darah; (3) lamanya
infeksi. Gejala klinik penyakit cacing tambang berupa anemia yang
diakibatkan oleh kehilangan darah pada usus halus secara kronik. Anemia
akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun diperlukan
lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan anemia tersebut tentunya

3
tergantung pada keseimbangan zat besi dan protein yang hilang dalam usus
dan yang diserap dari makanan. Kekurangan gizi dapat menurunkan daya
(4)
tahan terhadap infeksi parasit. Klasifikasi anemia adalah sebagai berikut :
anemia ringan jika Hb 9-10gr%, anemia sedang jika Hb 7-8gr% dan anemia
berat jika Hb kurang dari 7gr%.
C. Diagnosis
Untuk kepentingan diagnosis infeksi cacing tambang dapat dilakukan
secara klinis dan epidemiologis. Secara klinis dengan mengamati gejala klinis
yang terjadi pada penderita sementara secara epidemiologis didasarkan atas
berbagai catatan dan informasi terkait dengan kejadian infeksi pada area yang
sama dengan tempat tinggal penderita periode sebelumnya. Pemeriksaan
penunjang saat awal infeksi (fase migrasi larva) mendapatkan:
a. eosinofilia (1.000-4.000 sel/ml)
b. feses normal
c. infiltrat patchy pada foto toraks
d. peningkatan kadar IgE
Pemeriksaan feses basah dengan fiksasi formalin 10% dilakukan secara
langsung dengan mikroskop cahaya. Pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan N. Americanus dan A. duodenale. Pemeriksaan yang dapat
membedakan kedua spesies ini ialah dengan faecal smear pada filter paper
strip Harada-Mori. Kadang-kadang perlu dibedakan secara mikroskopis antara
infeksi larva rhabditiform (L2) cacing tambang dengan larva cacing
strongyloides stercoralis.
Diagnosis pasti penyakit ini adalah dengan ditemukannya telur cacing
atau cacing dewasa Ancylostoma duodenale di dalam tinja pasien. Selain tinja,
larva juga bisa ditemukan dalam sputum. Kadang-kadang terdapat darah
dalam tinja. (4)
D. Penatalaksanaan

4
Perawatan umum dilakukan dengan memberikan nutrisi yang baik;
suplemen preparat besi diperlukan oleh pasien dengan gejala klinis yang berat,
terutama bila ditemukan bersama-sama dengan anemia. (4)

Pengobatan spesifik yakni (4) :


a. Albendazole : diberikan dengan dosis tunggal 400 mg
b. Mebendazole : diberikan dengan dosis 100 mg, 2 kali sehari selama 3
hari.
c. Tetrakloretilen : merupakan obat pilihan utama terutama untuk pasien
ankilostomiasis. Dosis yang diberikan 0,12ml/kg berat badan, dosis
tunggal tidak boleh lebih dari 5 ml. pengobatan dapat diulang 2
minggu kemudian bila pemeriksaan telu dalam tinja tetap positif.
Pemberian obat ini sebaiknya dalam keadaan perut kosong disertai
pemberian 30 gram MgSO4.
d. Befanium hidroksinaftat : obat pilihan utama untuk ankilostomiasis
dan baik untuk pengobatan missal pada anak. Dosis yang diberikan 5
gram 2 kali sehari, dan dapat diulang bilamana diperlukan.
e. Pirantel pamoat : obat ini cukup efektif dengan toksisitas yang rendah
dan dosis yang diberikan 10mg/kg BB/hari sebagai dosis tunggal.
f. Heksilresorsinol : diberikan sebagai obat alternatif yang cukup efektif.
Obat ini diberikan setelah pasien dipuasakan terlebih dahulu, baru
kemudian diberikan 1 gram heksilresorsinol sekaligus disusul dengan
pemberian laksans sebanyak 30 gram MgSO4 , yang diulangi lagi 3
jam kemudian untuk tujuan mengeluarkan cacing.
Pada pasien dengan anemia berat perlu dilakukan transfusi PRC.
Berikut ini kami laporkan suatu kasus dengan anemia berat dan infeksi
Ancylostoma duodenale.

5
BAB II

LAPORAN KASUS

• Seorang pasien bernama Tn. FT, Umur 58 tahun, Pendidikan terakhir SD,
bekerja sebagai petani, sudah menikah, bertempat tinggal di Kualin, Suku
Timor, MRS tanggal 27 Juni 2013, mengeluhkan bengkak pada kedua kaki
dan wajah sejak 2 minggu SMRS. Bengkak tidak pernah turun, makin hari
semakin bertambah bengkak. Pasien juga mengeluhkan sakit diuluhati, perut
kembung dan BAB encer 4-5 kali/hari. BAB isi air dan makanan. Perut
membesar, bengkak di pinggang dan nafsu makan turun. Kulit badan menjadi
pucat dan kuning. 2 tahun SMRS pasien pernah mempunyai keluhan yang
sama dan berobat ke puskesmas. Riwayat alergi (-). Riwayat hipertensi dan
DM tidak diketahui. Merokok (-), Alkohol (-). Ipar dari pasien mempunyai
keluhan yang sama dengan pasien, rumah mereka berdekatan. Biaya
perawatan dengan JAMKESMAS. Rumah pasien sering terendam air karena
di kampung pasien sering banjir, 3-4 kali banjir dalam 1 tahun. Pada
pemeriksaan fisik, Keadaan umum tampak sakit sedang, Kesadaran Compos
mentis (GCS E4V5M6), Habitus atletikus, Tanda vital, TD 100/60 mmHg,
Suhu 36,5 ˚C (axiller), Nadi 90x/menit, Pernapasan 22x/menit, reguler,
abdominothorakal, Pada mata nampak konjugtiva anemis, sklera tidak ikterik,
mulut dalam batas normal. Pada leher tidak dijumpai adanya pembesaran
kelenjar, pemeriksaan jantung dan paru dalam batas normal. Abdomen
dengan bising usus normal, hepar teraba 4 cm dibawah arcus costa, 3 cm
dibawah processus xiphoideus, nyeri tekan pada regio epigastrium, limpa tak
teraba dengan ruang Traube yang redup, Shifting dullness (+). Pada
ekstremitas tidak dijumpai adanya kelainan. Pasien ini didiagnosis Anemia

6
berat e.c anemia hemolitik, anemia defisiensi Fe, susp. Nodul hepar dan
edema tungkai sehingga pasien ini diberikan terapi IVFD NaCl 0,9 %, vit. B
complex 3x1 tab dan asam folat 2x1 tab dan planning diagnosis : UL, DL,
ureum, creatinin, GDS, bloodsmear, SGOT, SGPT, asam urat, albumin,
HbsAg, EKG, USG abdomen atas. Pada follow up hari pertama pasien
mengeluhkan sesak napas pada malam hari, pasien tampak sakit sedang, TD:
100/60, N: 76x/menit, T: 36,5 ˚C, RR: 20x/menit, mata tampak anemis. Pada
pemeriksaaan laboratorium, WBC 3,30 x 103U/L, Lymph 0,69 x 103U/L,
RBC 2,24 x 106U/L, Hb 2,6 g/dL, HCT 10,9%, MCV 45 fl, MCH 10,7 pg,
MCHC 23,9 g/dL, PLT 211 x 103U/L, SGOT 12 U/L, SGPT 19 U/L, HbsAg
negative, EKG dalam batas normal, USG susp. nodul hepar. Assesment pada
pasien ini: Anemia berat e.c anemia hemolitik, anemia defisiensi Fe, susp.
Nodul hepar dan edema tungkai sehingga pasien ini diberikan terapi transfusi
PRC 1 unit/hari, vit. B complex 3x1 tab dan asam folat 2x1 tab dan planning
diagnosis : Bilirubin I/II. Pada follow up hari kedua, pasien mengeluhkan
mencret (Sudah 3X mencret dari kemarin), pada pemeriksaan fisik,
TD:130/70 N: 64x/menit T: 36,5 ˚C RR:21x/menit, tampak konjungtiva
anemis, abdomen: tidak ada nyeri tekan, tangan dan kaki tampak kuning, tidak
terdapat edema. Hasil pemeriksaan UL berat jenis 1,015, pH 6, Leukosit (-),
Nitrit (+), protein (-), glukosa: normal, Keton (-), urobilinogen: normal,
bililubin (-), Erytrosit (-). Hasil pemeriksaan darah, protein total 4,15,
Albumim 3,38, Glukosa 88, Ureum 13,5, Creatinin 0,5. Pada pasien ini
ditambahkan terapi sulfat ferrous 3x1 tab. Pada follow up hari ketiga pasien
tidak mencret lagi, TD 130/70, T 36,6 N 64x/menit, RR 19x/menit.
Pemeriksaan laboratorium WBC : 4,3x103U/L. Eo 6,3%, Baso 0,5%, Neut
9,4%, Lymph 13,3%, Mono 10,5%, RBC 3,67x106U/L, HB 6,9g/dL, HCT
26,2%, MCV 71,4fL, MCH 18,8 pg, MCHC 26,3 g/dL, PLT 105 x 103U/L, bil
total 1,32, bil direct 0,51, bil indirect 0,81. Pasien ini diberikan transfusi PRC
1 bag dan dicek ulang DL. Pada follow up hari ke 4 pasien mengeluhkan

7
demam sejak jam 3 subuh, perut semakin membesar, mencret kali dan nafsu
makan menurun, tekanan darah 120/60, T 390C, nadi 88x/menit, RR
36x/menit, konjungtiva tidak anemis, perut tampak membesar, pada
pemeriksaan lab, WBC:5,48x103U/L. Eo 0,2%, Baso 0,4%, Neut 90,3%,
Lymph 8,2%, Mono 0,9%, RBC 4,61x106U/L, HB 9,5g/dL, HCT 36,8%,
MCV 79,8fL, MCH 20,6 pg, MCHC 25,8 g/dL, PLT 35x103U/L. pada pasien
ini di diagnosis anemia dengan DD anemia hemolitik, anemia def Fe, pasien
ini ditambahkan terapi infuse NaCl 0,9% : D10% 2:1 dengan 20 tetes/menit,
dexametason 3x1 amp iv, paracetamol 3x500mg, tranfusi PRC di hentikan.
Pada follow up hari ke 5 pasien mengeluhkan BAB warna hitam, tidak
demam. Tekanan Darah 110/60, T 36,70C, nadi 83x/menit, RR 16x/menit,
ditambahkan terapi ranitidine 2x1 tablet, antasida 3xC1 setengah jam sebelum
makan, dosis dexametason diturunkan 2x1 amp iv. Pada follow up hari ke 6
pasien mengeluhkan batuk, mencret 2x, mata kuning, Tekanan Darah 110/60,
T 36,50C, nadi 72x/menit, RR 18x/menit, pasien ini diberikan tambahan terapi
diaform 3x1 tablet jika diare. Pada observasi hari ke 9, pasien masih diare 2X,
warna kuning Tekanan Darah 120/80, T 36,50C, nadi 86x/menit, RR
19x/menit, hasil USG terdapat hepatosplenomegali dan asites ringan. Terapi
dilanjutkan,namun pemberian methylprednisolon dihentikan dan sulfat ferrous
ditunda sampai tidak ada keluhan diare. Pada observasi hari ke 11, pasien
tidak ada keluhan, Tekanan Darah 110/80, T 36,70C, nadi 89x/menit, RR
20x/menit. Hasil ulangan laboratorium, WBC:9,86x103U/L. Eo 4,6%, Baso
0,1%, Neut 72%, Lymph 12,7%, Mono 10,6%, RBC 4,05x106U/L, HB 9g/dL,
HCT 28,4%, MCV 70,1fL, MCH 22,2 pg, MCHC 31,7 g/dL, PLT
104x103U/L. Pemeriksaan feses lengkap terdapat 1-3 telur Ancylostoma
duodenale. Pasien ini diperbolehkan pulang dan mendapatkan terapi
Albendazole 1x400mg selama 3hari.

8
BAB III
PEMBAHASAN

Ankilostomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi cacing tambang yaitu
Ancylostoma duodenale, ditandai dengan nyeri pencernaan, diare, dan anemia
progresif. Diagnosis pasti penyakit ini dengan ditemukannya telur cacing atau cacing
dewasa Ancylostoma duodenale di dalam feses pasien. Pada kasus ini pasien datang
dengan keluhan edema pada wajah dan tungkai. Edema disebabkan Ancylostoma
duodenale menghisap darah dan menyebabkan perdarahan kronik, yang dapat
mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia yang bermanifestasi sebagai edema pada
wajah, ekstremitas atau perut, bahkan edema anasarka. Pada pemeriksaan fisik
konjungtiva pasien tampak anemis dan Hb 2,6 g/dl diakibatkan Ancylostoma
duodenale menghisap darah dan menyebabkan perdarahan kronik sehingga pasien ini
diberikan transfusi PRC. Pada hari ke 4 transfusi PRC dihentikan karena Hb pasien
sudan mencapai 9,5 g/dl. Pada pasien ini diberikan asam folat karena terjadi
gangguan penyerapan asam folat di usus, selain itu pasien ini juga diberikan sulfat
ferrous 3x1 tab karena pada pasien ini terjadi perdarahan kronik dan gangguan
penyerapan besi dalam usus karena infeksi Ancylostoma duodenale. Pada hari ke 4
pasien demam sehingga diberikan paracetamol 3x500mg. Hari ke 6 pasien
mengeluhkan mencret, namun penyebab mencret pada pasien ini belum diketahui
sehingga pasien ini diberikan diaform 3x1 tab.

9
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki 58 tahun dengan anemia mikrositik


hipokrom e.c ankilostomiasis. Pengobatan yang didapat pasien ini adalah transfusi
PRC 2bag/hari sampai Hb ≥10mg/dL, IVFD NaCl 0,9% 500cc/8 jam (20tpm) dan
Albendazole 1x400mg. Setelah mendapat pengobatan, kondisi pasien semakin hari
semakin membaik. Pasien diperbolehkan pulang dan mendapat pengobatan dirumah
dengan menggunakan Albendazole 1x400mg, prognosis Dubia.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Margono, S.S., 2012. Epidemiologi Soil Transmitted Helmints dalam Srisasi G.,
Herry D.I., Wita P editors Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gaya Baru Pohan, H.T.
2006
2. Gandahusada, Srisasi. 2006. Parasitologi Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta,
FKUI.
3. Menkes, 2006. Pedoman Pengendalian Cacingan. Keputusan Menteri
Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/2006.
4. Pohan, H.T., 2009. Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah. Dalam
Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing. Hal: 2940-2941

11

Anda mungkin juga menyukai