PENDAHULUAN
Acne vulgaris atau jerawat, biasa disebut dengan acne, merupakan penyakit
kulit obstruktif serta inflamatif kronik pada pilosebasea dimana merupakan
penyakit pada kulit yang biasanya terjadi pada saat usia remaja hingga dewasa.
Jerawat ditandai dengan munculnya beberapa tanda seperti komedo, pustule, papul,
kista dan nodul pada daerah leher, wajah, lengan atas, dada serta punggung. Jerawat
mempunyai dampak besar pada kualitas hidup dari pasien seperti berpengaruh pada
rasa percaya diri serta perkembangan psikososial (Rahmawati, Widayati, &
Sudaryanto, 2012). Sebuah survey menunjukkan bahwa acne vulgaris menyerang
8,5 persen populasi dunia selain itu terdapat kasus acne vulgaris sebanyak 40-80%
di kawasan Asia Tenggara (B.Graham, 2005). Di Indonesia sendiri pravelensi
penderita jerawat berkisar 80-85% pada remaja dengan puncak insiden usia 15-18
tahun, 12% pada wanita usia >25 tahun dan 3% pada usia 35-44 tahun (Ramdani &
Sibero, 2015). Berdasarkan data RS Indera Provinsi Bali pada tahun 2015, akne
vulgaris menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada kegiatan
pelayanan rawat jalan di poliklinik kulit (RS Indera Provinsi Bali, 2016).
Penyebab jerawat itu sendiri dapat disebabkan oleh aktivitas hormon, faktor
genetis (keturunan) maupun karna infeksi/peradangan yang disebabkan oleh bakteri
Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus, maupun Staphylococcus
epidermidis. Pada kondisi normal bakteri tersebut tidak bersifat patogen, akan tetapi
dapat menjadi invasif apabila terjadi perubahan kondisi pada kulit (H Rahmi,
Cahyanto, Sujarwo, & Rahayu, 2015). Diantara bakteri-bakteri tersebut P. acnes
memiliki peranan paling penting dalam perkembangan jerawat. Propionibacterium
acnes termasuk dalam bakteri gram positif yang berbentuk batang dan termasuk
flora normal kulit yang berperan dalam pembentukan jerawat. Propionibacterium
1
2
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.1 Taksonomi
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Ranales
Famili : Lauraceae
Genus : Persea
Spesies : Persea americana Mill (Tjitrosoepomo, 1984)
5
6
Daun Alpukat tumbuh berdesakan di ujung ranting, Bentuk daun ada yang
menjorong atau bulat telur dengan panjang sekitar 10-20 cm, lebar 3 cm, dan
panjang tangkai 1,5-5 cm. bunga berbentuk malai, tumbuh dekat ujung ranting
dengan jumlah banyak, garis tengah 1-1,5 cm, berbulu halus, serta warna putih
kekuningan. Buah alpukat berbentuk bola berwarna hijau hingga kekuningan
serta bijinya menyerupai bentuk bola. Daun alpukat disebut daun tidak lengkap
sebab hanya terdiri dari helaian dan tangkai saja, tanpa adanya upih atau
pelepah daun berfungsi sebagai alat pengolahan zat-zat makanan serta alat
penguapan air dan pernapasan, daun pucuk hijau muda dan berwarna hijau tua
sampai agak kemerahan (Herawati, 2014).
Gambar II.2 Daun alpukat muda (hijau muda) serta tua (hijau tua) (Naomi
Felicia, 2016)
8
Tabel II.2 Senyawa fitokimia dari daun, buah, dan biji alpukat (P. americana)
(mg/100g) (Arukwe et al., 2012)
dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya
yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya (RI., 1989)
6. Sortasi Kering
Pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan. Pemilihan
dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong atau bahan yang
rusak Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia (Laksana, 2010).
13
7. Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia
perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur antara simplisia satu dengan lainnya. Untuk persyaratan
wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah harus
inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu
melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga,
penguapan bahan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air
(Laksana, 2010).
Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia.
Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan,
penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
Sedangkan faktor kimia yaitu : faktor internal (jenis senyawa aktif dalam bahan,
komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantatif senyawa aktif, kadar
total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi,
perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran kekerasan dan kekeringan bahan,
pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan
pestisida) (BPOM, 2012).
II.2.7 Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair
atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Untuk membedakan antara
pelarut dengan zat yang dilarutkan, pelarut biasanya terdapat dalam jumlah
yang lebih besar. Sebagian besar reaksi kimia secara luas dilakukan di
dalam larutan. Pelarut memenuhi beberapa fungsi dalam reaksi kimia,
dimana pelarut melarutkan reaktan dan reagen agar keduanya bercampur,
sehingga hal ini akan memudahkan penggabungan antara reaktan dan reagen
yang seharusnya terjadi agar dapat merubah reaktan menjadi produk. (Rudi,
2017).
Untuk mencapai proses ekstraksi yang baik, pelarut yang digunakan
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam
campuran.
2. kemampuan tinggi untuk diambil kembali.
3. perbedaan berat jenis antara ekstrk dan rafinat lebih besar.
4. pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur.
5. tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi.
6. tidak merusak alat secara korosi.
16
II.3.2 Klasifikasi
Jerawat terbagi menjadi menjadi empat tingkatan yaitu ringan,
sedang, agak berat dan berat. Tingkatan tersebut ditentukan
berdasarkan jumlah jerawat yang ada pada wajah, dada dan punggung,
serta ukuran besar kecil jerawat atau kondisi peradangan jerawat.
Selain itu, di bawah ini juga termasuk dalam perbedaan jenis jerawat:
17
1. Jerawat pada bayi yang baru lahir (newborn acne): Jerawat jenis ini
menyerang sekitar 20 persen bayi yang baru lahir dan tergolong jerawat
ringan.
2. Jerawat pada bayi (infantile acne): Bayi berumur 3–6 bulan juga
ditumbuhi jerawat, dan akan tumbuh kembali pada saat ia beranjak
remaja.
3. Jerawat vulgaris (Acne vulgaris): Jerawat jenis ini adalah yang
paling umum terjadi pada remaja dan kaum muda yang beranjak
dewasa, sekitar 12 – 24 tahun.
4. Jerawat konglobata (cystic acne): Jerawat jenis ini terjadi pada kaum
II.3.3 Epideomologi
Menurut Wasitaatmadja (2013), akne vulgaris merupakan masalah
kulit yang hampir seluruh manusia pernah mengalami. Akne vulgaris
biasanya terjadi pada wanita umur 14-17 tahun dan 16-19 tahun pada
pria. Akne vulgaris biasanya akan berkurang setelah masa remaja,
namun dapat menetap sampai usia 30 tahun. Manifestasi akne
vulgaris pada laki-laki biasanya akan lebih berat, namun gejala tersebut
akan cepat berkurang. Ras oriental (Jepang, Cina, dan Korea) lebih
jarang mengalami akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia
(Eropa, Amerika)
II.3.4 Etiologi
Faktor penyebab akne vulgaris sangat banyak, antara lain genetik,
endokrin, faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea sendiri, faktor
psikis, musim, infeksi bakteri Propionibacterium acnes dengan
18
sadari. Jika jerawat yang tumbuh tidak juga kunjung sembuh, ada
kemungkinan gaya hidup yang kita jalani menjadi penyebabnya.
5. Faktor psikis
Pada beberapa penderita, stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan
eksaserbasi akne. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum
diketahui. Kecemasan menyebabkan penderita, memanipulasi aknenya
secara mekanis sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan
timbul lesi yang beradang yang baru, teori lain mengatakan bahwa
eksaserbasi ini disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon
androgen dari kelenjar anak ginjal dan sebum, bahkan asam lemak
dalam sebum pun meningkat dan stress menyebabkan peningkatan asam
lemak bebas (Latifah & Kurniawaty, 2015)
6. Kosmetik
Jenis kosmetik yang dapat menimbulkan jerawat tidak tergantung pada
harga, merk, dan kemurnian bahannya. Penyelidikan terbaru di Leeds
tidak berhasil menemukan hubungan antara lama pemakaian dan jumlah
kosmetik yang dipakai dengan hebatnya jerawat.
7. Iklim
Faktor ini berhubungan dengan sekresi sebum, pada udara yang panas
dan lembab sekresi sebum akan meningkat dan dengan kelembaban
yang tinggi maka infestasi bakteri juga akan semakin banyak
dipermukaan kulit.
II.3.5 Patogenesis
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak faktor dan
kadang-kadang masih kontroversial. Ada empat hal penting yang
berhubungan dengan terjadinya akne :
1. Kelenjar minyak menjadi besar yaitu hipertropi dengan peningkatan
penghasilan sebum.
20
Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Class : Actinomycetales
Ordo : Propionibacterineae
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acnes (Brooks, Butel, & Morse, 2010)
kemudian ketiga zat tersebut diubah menjadi gliserol yang akan digunakan untuk
metabolisme P. acnes Unit polisebasea yang terinfeksi oleh P. acnes akan
menyebabkan timbulnya respon inflamasi, sehingga gambaran klinis yang timbul
berupa papula, pustula, nodula, dan kista (Amro, 2013). Selain acne vulgaris P. acnes
juga terlibat dalam beberapa penyakit seperti osteomielitis, peritonitis, infeksi gigi,
reumatoid artritis, abses otak, empiema subdural, keratitis, ulkus kornea,
endoftalmitis, sarkoidosis, dan radang prostat. Sedangkan penyakit yang melibatkan
infeksi P. acnes dan terkait alat-alat medis (kateter, prosthetic joints, implants, dan
lain-lain) yaitu konjungtivitis akibat lensa kontak, shunt nephritis, shunt-associated
central nervous system infection, dan anareobic arthritis (Beylot et al., 2014)
II.5 Antibakteri
II.5.1 Bakteri Dan Antibakteri
Bakteri merupakan mikroorganisme prokariotik bersel tunggal
berukuran 0,5-10 μm dan memiliki berbagai macam bentuk, yaitu: bola,
batang, spiral, dan elips. Bakeri tersusun atas dinding sel dan isi sel,
berdasarkan komponen penyusun dinding sel bakteri digolongkan menjadi
bakteri gram positif dan gram negatif (Shears, 2001)
Tabel II.4 Perbedaan Bakteri Gram Positif Dan Negatif (Pelczar & chan, 2007)
Ciri-Ciri Perbedaan Relatif Bakteri
Gram Positif Gram Negatif
Struktur dinding sel Tebal (15-80 nm) Tipis (10-15) nm
berlapis tunggal berlapis tiga (multilayer)
(monolayer)
Komposisi dinding sel Kandungan lipid rendah Kandungan lipid tinggi
(14%) peptidoglikan ada (11-22%) peptidoglikan
sebagai lapisan tunggal: ada di dalam lapisan
komponen utama kaku sebelah dalam;
merupakan lebih dari jumlahnya sedikit:
50% berat kering pada merupakan sekitar 10%
beberapa sel bakteri berat kering tidak
memiliki asam teikoat memiliki asam teikoat
Kerentanan terhadap Lebih rentan Kurang rentan
penisilin
Pertumbuhan pada zat Pertumbuhan dihambat Pertumbuhan tidak
zarna Kristal violet dengan nyata dihambat nyata
24
II.5.3 Klindamisin
Klindamisin termasuk golongan obat antibiotic yang biasa digunakan
untuk infeksi bakteri anaerob (bakteri yang bisa hidup tanpa oksigen).
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian
besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif
aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia (Kemenkes, 2011).
Mekanisme kerja klindamisin sama dengan eritromisin. Klindamisin
terutama diberikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
anaerob, seperti bakteri Bakteriodes fragilis yang seringkali menimbulkan
infeksi abdomen yang diakibatkan trauma. obat ini juga menghambat
sintesis protein bakteri dan mempunyai efek kerja bakteriostatik dan
bakterisidal, tergantung dari dosis obatnya.
Klindamisin aktif melawan kebanyakan dari organisme gram positif,
termasuk Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus dan organisme
anaerobik. Obat ini tidak efektif melawan bakteri gram negatif, seperti
Escherichia coli, Proteus, dan Pseudomonas (Rusdiaman, 2018). Banyak
digunakan topikal pada acne berkat efek menghambatnya terhadap
Propionibacterium acnes. Resistensi belum dilaporkan. Efek sampingnya
sama dengan linkomisin, pada penggunaan topikal dapat menyebabkan kulit
kering atau berlemak, iritasi, eritema dan rasa terbakar pada mata (Bertram
G. Katzung, Susan B. Masters, 2013).
27
METODE PENELITIAN
28
29
paper disk, pinset, rotary evaporator, swab steril, sendok tanduk, tabung
reaksi, timbangan analitik, dan tissue.
III.4.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aqua Steril,
Bakteri Propionibacterium acnes, ekstrak Daun Alpukat (Persea
americana Mill), HCL 1%, kontrol negatif Na CMC 1%, kontrol positif
clindamycin 300 mg, Nutrien Agar (NA), dan pelarut etanol 96%.
5. Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dianalisis secara
statistik dengan menggunakan data statistik menggunakan program
SPSS.
6. Penarikan Kesimpulan
Penarikan Kesimpulan dari aktivitas antibakteri ekstrak Daun Alpukat
terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes, diperoleh bila mana
ekstrak Daun Alpukat dengan konsentrasi 2% b/v, 4% b/v dan 8% b/v
33
memiliki diameter zona hambat sama dengan atau lebih besar dari
diameter zona hambat kontrol positif (Klindamisin).
DAFTAR PUSTAKA
34
35
Brooks, G. F., Butel, J. S., & Morse, S. A. (2010). Mikrobiologi Kedokteran Jawetz,
Melnick, dan Adelberg. Edisi 25. Jakarta: EGC.
Danby, F. W. (2015). Acne: Causes and Practical Management. In Acne: Causes and
Practical Management. https://doi.org/10.1002/9781118272343
Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. In Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
G. Ganiswarna. (2001). Farmakologi dan Terapi. In Antimikroba.
Gayatri, A., & Setiabudy, R. (2019). Pharmacometrics: Alternative approach of
quantitative pharmacology. Pharmaceutical Sciences Asia.
https://doi.org/10.29090/psa.2019.01.018.0032
Gunawan, D., & Mulyani, S. (2004). Ilmu Obat Alam. In Penebar Swadaya.
H Rahmi, A., Cahyanto, T., Sujarwo, T., & Rahayu, L. I. (2015). Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica (L.) LESS.) Terhadap
Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat. Issn.
https://doi.org/10.13140/RG.2.1.4234.9843
Herawati. (2014). Pemanfaatan Ekstrak Biji Alpukat (Persea Americana Mill)
Sebagai Bioinhibitor Korosi Pada Logam Baja Karbon. Other thesis,
Politeknik Negeri Sriwijaya.
Irianto. (2013). Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology). Penerbit Alfabeta.
Bandung
Jawetz E, Melnick GE, dan A. C. (2001). Mikrobiologi Kedokteran, Edisi I.
Diterjemahkan Oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. https://doi.org/10.7812/TPP/12-085
Laksana, Toga. (2010). Pembuatan Simplisia Dan Standarisasi Simplisia. UGM,
Yogyakarta.
Latifah, S., & Kurniawaty, E. (2015). Stres dengan Akne Vulgaris. Majority.
Lestari P, Wijana S, Putri W.I. (2014). Ekstraksi Tanin Dari Daun Alpukat (Persea
americana Mill) Sebagai Pewarna Alami (Kajian Proporsi Pelarut Dan Waktu
Ekstraksi). Jurnal Teknologi Industri Pertanian
Mitsui, T. (1997). New Cosmetic Science. Journal of Chemical Information and
Modeling. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Pelczar, M.J & Chan, E.C.S. (2007). Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid I. Jakarta: UI
36
Felicia, Naomi. (2016). Pengaruh Ketuaan Daun dan Metode Pengolahan Terhadap
Aktivitas Antioksidan serta Karakteristik Sensoris Teh Herbal Bubuk
Daun Alpukat (Persea americana mill). Bachelor thesis. Universitas
Udayana
Radji, D. . D. M. (2016). Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi Dan
Kedokteran. https://doi.org/10.1063/1.1619138
Rahmawati, D., Widayati, R. I., & Sudaryanto, S. (2012). Hubungan Perawatan Kulit
Wajah dengan Timbulnya Akne Vulgaris pada Siswi SMA/MA/SMK yang
Menderita Akne Vulgaris. Jurnal Kedokteran Diponegoro.
Ramdani, R., & Sibero, H. T. (2015). Treatment For Acne Vulgaris Resti. J
MAJORITY. https://doi.org/10.1001/archderm.1977.01640080130029
RI., D. K. (1989). Materia Medika Indonesia Jilid V. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta. Hal. https://doi.org/10.9734/IJBCRR/2017/32764
Rudi. (2017). Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Pemisahan Analitik. Kendari :
Universitas Halu Oleo.
Rusdiaman, R. (2018). Uji Daya Hambat Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L) Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes. Media Farmasi.
https://doi.org/10.32382/mf.v14i1.150
Shears, P. (2001). Medical microbiology and infection at a glance. Transactions of
the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene.
https://doi.org/10.1016/s0035-9203(01)90361-x
Tjitrosoepomo, G. (1984). Traditional classification of plants. The Environmentalist.
https://doi.org/10.1007/BF01907287
Yandi, Sofyan. (2015). Karakterisasi Serta Uji Tlc Ekstrak Etanol Nano Partikel Dan
Serbuk Simplisia Daun Alpukat (Persea americana Mill). USU Institutional
Repository.
Van Duin, C.F., (1947). Buku Penuntun Ilmu Resep Dalam Praktek Dan Teori.
Penerjemah K. Satiadarma Apt., Pecenongan, Jakarta.
Voight, R. (1994). Buku Pengantar Teknologi Farmasi. Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada Press.
Wasitaatmadja, S.M. (2013). Indonesia Acne Expert Meeting 2012. Kelompok Studi
Dermatologi Kosmetik Indonesia. Jakarta
37
Medium NA
2%
Klindamisin Na CMC 1%
4%
(Kontrol Positif) + - (Kontrol Negatif)
8%
KESIMPULAN