Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Acne vulgaris atau jerawat, biasa disebut dengan acne, merupakan penyakit
kulit obstruktif serta inflamatif kronik pada pilosebasea dimana merupakan
penyakit pada kulit yang biasanya terjadi pada saat usia remaja hingga dewasa.
Jerawat ditandai dengan munculnya beberapa tanda seperti komedo, pustule, papul,
kista dan nodul pada daerah leher, wajah, lengan atas, dada serta punggung. Jerawat
mempunyai dampak besar pada kualitas hidup dari pasien seperti berpengaruh pada
rasa percaya diri serta perkembangan psikososial (Rahmawati, Widayati, &
Sudaryanto, 2012). Sebuah survey menunjukkan bahwa acne vulgaris menyerang
8,5 persen populasi dunia selain itu terdapat kasus acne vulgaris sebanyak 40-80%
di kawasan Asia Tenggara (B.Graham, 2005). Di Indonesia sendiri pravelensi
penderita jerawat berkisar 80-85% pada remaja dengan puncak insiden usia 15-18
tahun, 12% pada wanita usia >25 tahun dan 3% pada usia 35-44 tahun (Ramdani &
Sibero, 2015). Berdasarkan data RS Indera Provinsi Bali pada tahun 2015, akne
vulgaris menempati urutan pertama dari sepuluh besar penyakit pada kegiatan
pelayanan rawat jalan di poliklinik kulit (RS Indera Provinsi Bali, 2016).
Penyebab jerawat itu sendiri dapat disebabkan oleh aktivitas hormon, faktor
genetis (keturunan) maupun karna infeksi/peradangan yang disebabkan oleh bakteri
Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus, maupun Staphylococcus
epidermidis. Pada kondisi normal bakteri tersebut tidak bersifat patogen, akan tetapi
dapat menjadi invasif apabila terjadi perubahan kondisi pada kulit (H Rahmi,
Cahyanto, Sujarwo, & Rahayu, 2015). Diantara bakteri-bakteri tersebut P. acnes
memiliki peranan paling penting dalam perkembangan jerawat. Propionibacterium
acnes termasuk dalam bakteri gram positif yang berbentuk batang dan termasuk
flora normal kulit yang berperan dalam pembentukan jerawat. Propionibacterium

1
2

acnes menghasilkan enzim hidrolitik yang dapat mengakibatkan kerusakan folikel


polisebasea serta menghasilkan lipase, lesitinase, hialuronidase, neurimidase dan
protease yang berperan penting pada proses terjadinya peradangan.
Propionibacterium acnes dapat mengubah asam lemak tak jenuh menjadi asam
lemak jenuh yang dapat menyebabkan sebum menjadi masa padat. Apabila
produksi sebum bertambah, maka Propionibacterium acnes juga menjadi
bertambah banyak yang akan keluar dari kelenjar sebasea, karena
Propionibacterium acnes adalah pemakan lemak (Mitsui, 1997)
Pengobatan jerawat yang disertai peradangan bisa diobati dengan penggunaan
antibiotik yang dapat menghilangkan atau menghambat pertumbuhan bagi bakteri
contohnya tetrasiklin, eritromisin, doksisiklin, dan klindamisin. Beberapa sediaan
topical juga sering digunakan sebagai pengobatan jerawat (Radji, 2016). Antibiotik
merupakan pilihan pertama dalam pengobatan jerawat, namun dapat menimbulkan
efek samping yang salah satunya adalah iritasi dan memacu meningkatnya
resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut sehingga perlu diperhatikan Sehingga
penggunaan ekstrak tanaman dalam terapi beberapa penyakit memiliki beberapa
keuntungan diantaranya mengenai keefektifannya serta keamanannya (Bota,
Martosupono, & Rondonuwu, 2015). Oleh karena itu, diperlukan pencarian
senyawa antibakteri dari bahan alami yang tidak dapat menimbulkan dampak
negatif kepada manusia, ialah dengan memanfaatkan dan menggunakan zat aktif
yang terkandung dalam tanaman yang dapat menghambat atau membunuh bakteri.
Adapun salah satu tanaman yang berpotensi sebagai antibakteri terhadap
pertumbuhan bakteri penyebab jerawat adalah Tanaman Alpukat (Persea
americana Mill) (Wahdaningsih, Untari & Fauziah, 2014).
Tanaman Alpukat (Persea americana Mill) ialah salah satu dari tanaman yang
berkhasiat dalam menyembuhkan penyakit. Hampir setiap bagian tanaman alpukat
bermanfaat, dan bagian yang paling banyak digunakan dalam pengobatan adalah
daunnya. Daun alpukat dapat digunakan dalam menyembuhkan kencing batu, nyeri
haid, disentri, radang gusi, dan sebagainya. Kandungan zat aktif yang
3

terkandung dalam daun alpukat (Persea americana Mill.) diantaranya ialah


flavonoid, alkaloid, quersetin dan tanin yang diketahui memiliki efektivitas
sebagai penghambat pertumbuhan bakteri (Anggorowati dkk, 2016). Adapun
beberapa penelitian yang mengungkapkan bahwa, esktrak Daun Alpukat memiliki
kandungan senyawa aktif seperti alkaloid, saponin, dan flavonoid yang mampu
menghambat pertumbuhan beberapa bakteri (Sari, 2014). Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Ismiyati (2004), yaitu ekstrak air Daun Alpukat dengan konsentrasi
35% dapat menghambat pertumbuhan dari Staphylococcus aureus, yang
menghasilkan sebesar 9 mm4 sebagai diameter zona hambat. Hasil penelitian
mutmainnah B (2016), dari konsentrasi 2%, 4%, 8%, dan 16% ekstrak Daun
Alpukat yang memiliki aktivitas optimal sebagai Antibakteri Staphylococcus
epidermidis yaitu pada konsentrasi 16% dengan daya hambatan 18,33 mm. Hasil
penelitian dwinanda dkk (2016) bahwa ekstrak etanol Daun Alpukat berpengaruh
secara signifikan dalam menghambat pertumbuhan dari bakteri Staphylococcus
epidermidis dengan signifikasi 0,000 pada konsentrasi 0,2% dengan diameter zona
hambat yang dihasilkan sebesar 0,50 mm. Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian mengenai Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Daun Alpukat (Persea americana Mill) Terhadap Pertumbuhan
Propionibacterium acnes.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang dirumuskan dalam
penelitian ini adalah ”Apakah ekstrak Daun Alpukat (Persea americana Mill)
memiliki aktivitas antibakteri terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes ?”

I.3 Tujuan Penelitian


Untuk Menentukan aktivitas antibakteri ekstrak Daun Alpukat (Persea americana
Mill) terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes dengan konsentrasi 2% b/v,
4% b/v, dan 8% b/v.
4

I.4 Manfaat Penelitian


1. Untuk penelliti
1) Meningkatkan pengetahuan peneliti mengenai aktivitas antibakteri ekstrak
Daun Alpukat (Persea americana Mill) terhadap pertumbuhan
Propionibacterium acnes.
2) Sebagai sarana untuk menerapkan keilmuan mikrobiologi dalam penelitian,
serta melatih keterampilan laboratorium riset.
2. Untuk institusi
1) Hasil penelitian ini diharapkan menjadi data dasar untuk penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh aktivitas antibakteri ekstrak Daun Alpukat
(Persea americana Mill) terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes.
2) Sebagai sumber referensi bagi praktisi yang tertarik dalam penelitian
tanaman obat.
3) Sebagai data dan informasi untuk melakukan penelitian lanjut mengenai
aktivitas antibakteri ekstrak Daun Alpukat (Persea americana Mill)
terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes.
3. Untuk masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
masyarakat tentang pemanfaatan obat tradisional dari ekstrak Daun Alpukat
(Persea americana Mill) sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan
Propionibacterium acnes.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Alpukat /Avocado (Persea americana Mill)

II.1.1 Taksonomi
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Ranales
Famili : Lauraceae
Genus : Persea
Spesies : Persea americana Mill (Tjitrosoepomo, 1984)

Gambar II.1 Daun Persea americana Mill. (manfaatsehat.id, 2018)

5
6

II.1.2 Nama Daerah


Alpuket (Jawa Barat), jamboo mentega, alpokat (Jawa Timur/Jawa Tengah),
jamboopooan, boah pokat, jamboo pokat (Batak), pookat (Lampung),
advokat (RI., 1989)

II.1.3 Sinonim Botani


Persea gratisima Gaertm. F (RI., 1989)

II.1.4 Morfologi Tanaman


Tanaman alpukat berupa pohon dengan ketinggian 3-10 m, ranting
tegak dan berambut lurus, daun berdesakan diujung ranting, bentuk corong
atau bulat telur, berbulu pada kedua belah permukaannya dan lama-
kelamaan menjadi licin. Bunga alpukat berupa malai dan letaknya di dekat
ujung ranting, bunganya berdiameter 1-1,5 cm, berbulu halus, bewarna
kekuningan dan benang sari dalam 4 karangan, biji berbentuk bola dan
hanya terdapat satu biji dalam 1 buah, buah alpukat berbentuk bola lampu
sampai bulat telur, bewarna hijau kekuningan berbintik ungu, gandul atau
halus, dan harum (RI., 1989)
Table II.1 Karakteristik alpukat ijo panjang dan ijo bundar (Herawati,2014)
Karakteristik Alpukat Ijo Panjang Alpukat Ijo Bundar
Tinggi pohon 5-8 m 6-8 m
Bentuk daun Bulat panjang dengan tepi rata Bulat panjang dengan
tepi berombak
Masa berbuah Terus-menerus, tergantung Terus-menerus,
pada lokasi dan kesuburan tergantung pada
lahan lokasi dan kesuburan
lahan
Berat buah 0,3-0,5 kg 0,3-0,4 kg
Bentuk buah Pear (pyriform) Lonjong (oblong)
7

Rasa buah Enak, gurih, agak lunak Enak, gurih, agak


kering
Diameter buah 6,5-10 cm (rata-rata 8 cm) 7,5 cm
Panjang buah 11,5-18 cm (rata-rata 14 cm) 9 cm
Hasil 40-80 kg/pohon/tahun (rata- 20-60 kg/pohon/tahun
rata 50 kg) (rata-rata 30 kg)

Daun Alpukat tumbuh berdesakan di ujung ranting, Bentuk daun ada yang
menjorong atau bulat telur dengan panjang sekitar 10-20 cm, lebar 3 cm, dan
panjang tangkai 1,5-5 cm. bunga berbentuk malai, tumbuh dekat ujung ranting
dengan jumlah banyak, garis tengah 1-1,5 cm, berbulu halus, serta warna putih
kekuningan. Buah alpukat berbentuk bola berwarna hijau hingga kekuningan
serta bijinya menyerupai bentuk bola. Daun alpukat disebut daun tidak lengkap
sebab hanya terdiri dari helaian dan tangkai saja, tanpa adanya upih atau
pelepah daun berfungsi sebagai alat pengolahan zat-zat makanan serta alat
penguapan air dan pernapasan, daun pucuk hijau muda dan berwarna hijau tua
sampai agak kemerahan (Herawati, 2014).

Gambar II.2 Daun alpukat muda (hijau muda) serta tua (hijau tua) (Naomi
Felicia, 2016)
8

II.1.5 Ekologi, Penyebaran Dan Budidaya Tanaman


Tanaman alpukat merupakan tanaman buah. Tanaman alpukat
umumnya berasal dari daratan rendah serta dataran tinggi Amerika Tengah
dan diperkirakan masuk ke Indonesia sekitar pada abad ke 18. Secara resmi
antara tahun 1920-1930 Indonesia telah meneliti 20 varietas alpukat dari
Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas unggul
guna meningkatkan kesehatan gizi, khususnya di daerah dataran tinggi.
Persyaratan yang dikehendaki tumbuhnya adalah lapisan tanah yang gembur
subur. Tanaman alpukat dapat diperbanyak dengan biji dengan cara okulasi
dan dengan cara enten (RI., 1989)

II.1.6 Kandungan Kimia Pada Daun Alpukat (Persea americana Mill)


Kandungan zat aktif yang terdapat didaun alpukat (Persea americana
Miller) ialah saponin, quersetin, flavonoida, alkaloida, polifenol, dan gula
alkali persit. Untuk flavonoid dalam tubuh manusia berfungsi sebagai
antioksidan yang mana sangat baik dalam mencegah kanker. Manfaat
flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan
efektivitas vitamin C, mencegah keropos tulang, anti inflamasi, dan sebagai
antibiotik. Flavonoid juga berperan secara langsung sebagai antibiotik,
dengan menggangu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri dan virus.
Quersetin ialah senyawa kelompok flavonol terbesar jumlahnya sekitar 60-
75% dari flavonoid. Quersetin dipercaya dapat melindungi tubuh dari
beberapa jenis penyakit degenerative, yaitu dengan cara mencegah
terjadinya proses peroksidasi lemak (Naomi Felicia, 2016).
9

Tabel II.2 Senyawa fitokimia dari daun, buah, dan biji alpukat (P. americana)
(mg/100g) (Arukwe et al., 2012)

Konstituen Daun Buah Biji

Saponin 1,29±0,08 0,14±0,01 19,21±2,81

Tanin 0,68±0,06 0,12±0,03 0,24±0,12

Flavonoid 8,11±0,14 4,25±0,16 1,90±0,07

Glikosida sianogen ND ND 0,06±0,02

Alkaloid 0,51±0,21 0,14±0,00 0,72±0,12

Fenol 3,41±0,64 2,94±0,13 6,14±1,28

Steroid 1,21±0,14 1,88±0,19 0,09±0,00

II.1.7 Manfaat Daun Alpukat (Persea americana Mill)


Daun alpukat juga dimanfaatkan untuk mengobati kencing batu, darah
tinggi, nyeri syaraf, nyeri lambung, sakit kepala, saluran napas membengkak
(bronchial swellings), serta menstruasi tidak teratur. Selain itu juga daun
alpukat bisa digunakan untuk memperlancar pengeluaran air seni,
penghancuran air seni, obat sariawan dan penghancuran batu saluran air
kemih. Hasil percobaan farmakologi menunjukan bahwa infus daun alpukat
mempunyai daya melarutkan batu saluran kemih. Di samping itu infus
tersebut mempunyai aktifitas sebagai antibakteri serta menghambat
pertumbuhan dari spesies Pseudomonas (Yandi, 2015).
10

Table II.3 Nutrisi Daun Alpukat (Yandi, 2015)


No Analyte Quantity No Analyte Quantity
1. Total sugar 0,2 g 11. Vitamin B6 0,2 mg
2. High 6,7 g or 12.
monounsaturated 114 kcal biacin 1,3 mg
faith acid
3. Sodium 5,5 mg 13. Pantothenic acid 1,0 mg
4. Potassium 345 mg 14. Riboflavin 0,1 mg
5. Magnesium 19,5 mg 15. Choline 10 mg
6. Vitamin A 43 µg 16. Lutein 85 µg
7. Vitamin C 6,0 mg 17. Phytosterois 57 mg
8. Vitamin E 1,3 mg 18. Dietary fiber 4,6 g
9. Vitamin K1 1,4 µg
10. Folate 60 mg

II.2 Simplisia Dan Ekstraksi


II.2.1 Pengertian Simplisia
Simplisia atau herbal yaitu bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60°C. Istilah
simplisia dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang masih
berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk
(BPOM RI, 2008). Simplisia menurut Farmakope Indonesia Edisi III adalah
bahan alam yang digunakan sebagai obat yang belum mengalami
pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah
dikeringkan. Simplisa nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh,
bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat
tanaman adalah isi sel yangsecara spontan keluar dari tanaman atau yang
11

dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya
yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya (RI., 1989)

II.2.2 Proses Pembuatan Simplisia


1. Pengumpulan Bahan Baku
Waktu panen sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa
aktif di dalam bagian tumbuhan yang akan dipanen. Waktu panen yang
tepat pada saat bagian tumbuhan tersebut mengandung senyawa aktif
dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif akan terbentuk secara
maksimal di dalam bagian tumbuhan atau tumbuhan pada umur tertentu.
Panen pada daun atau herba dilakukan pada saat proses fotosintesis
berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat tanaman mulai
berbunga atau buah mulai masak. Untuk mengambil pucuk daun,
dianjurkan dipungut pada saat warna pucuk daun berubah menjadi daun
tua (Laksana, 2010).
2. Sortasi basah
Pemilihan hasil panen ketika tanaman masih segar (Gunawan &
Mulyani, 2004) Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-
kotoran atau bahan-bahan asing seperti tanah, kerikil, rumput, batang,
daun, akar yang telah rusak serta pengotoran lainnya harus dibuang.
3. Pencucian
Dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya yang
melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan dengan air bersih,
misalnya air dan mata air, air sumurdan PDAM, karena air untuk
mencuci sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal simplisia
(Laksana, 2010).
4. Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan untuk memperoleh
proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan. Semakin tipis bahan
12

yang akan dikeringkan maka semakin cepat penguapan air, sehingga


mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang terlalu tipis
juga menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang
mudah menguap, sehingga mempengaruhi komposisi, bau, rasa yang
diinginkan (Laksana, 2010).
5. Pengeringan
Proses pengeringan simplisia, terutama bertujuan sebagai berikut:
a. Menurunkan kadar air sehingga bahan tersebut tidak mudah
ditumbuhi kapang dan bakteri.
b. Menghilangkan aktivitas enzim yang bisa menguraikan lebih lanjut
kandungan zat aktif.
c. Memudahkan dalam hal pengolahan proses selanjutnya (ringkas,
mudah disimpan, tahan lama, dan sebagainya)

Proses pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik dalam


sel bila kadarairnya dapat mencapai kurang dan 10%. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dari proses pengeringan adalah suhu pengeringan,
lembaban udara, waktu pengeringan dan uas permukaan bahan. Suhu
yang terbaik pada pengeringan adalah tidak melebihi 60°, tetapi bahan
aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah menguap harus
dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30°sampai 45°
(Laksana, 2010)

6. Sortasi Kering
Pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan. Pemilihan
dilakukan terhadap bahan-bahan yang terlalu gosong atau bahan yang
rusak Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan
simplisia (Laksana, 2010).
13

7. Penyimpanan
Setelah tahap pengeringan dan sortasi kering selesai maka simplisia
perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling
bercampur antara simplisia satu dengan lainnya. Untuk persyaratan
wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah harus
inert, artinya tidak bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu
melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga,
penguapan bahan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air
(Laksana, 2010).

II.2.3 Pengertian Ekstraksi


Ekstraksi suatu tanaman obat adalah pemisahan secara kimia atau
fisika suatu bahan padat atau bahan cair dari suatu padatan, yaitu tanaman
obat Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua
cara yaitu: cara dingin dan cara panas. Cara dingin terbagi menjadi dua
yaitu; maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas terbagi menjadi lima
jenis yaitu ; refluks, soxhlet, digesti, infus dan dekok (BPOM, 2012)

II.2.4 Metode Ekstraksi (Maserasi)


Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar) (BPOM, 2012). Maserasi berasal dari bahasa latin
maserace berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi merupakan cara
ekstraksi yang paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya
bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat
penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh.
Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang
diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam cairan, telah
tercapai maka proses difusi segera berakhir (Voight, 1994)
14

Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokkan


berulang-ulang, upaya pengocokan ini dapat menjamin keseimbangan
konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat didalam cairan. Sedangkan
keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan
aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya
ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan
pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994).
Secara teknologi maserasi termasuk ekstraksi prinsip metode pencapaian
konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan
pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Maserasi berarti dilakukan
pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserasi
pertama, dan seterusnya (BPOM, 2012)

II.2.5 Pengertian Ekstrak


Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa
atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku
yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ada beberapa jenis ekstrak yakni:
ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak kering. Ekstrak cair jika hasil
ekstraksi masih bisa dituang, biasanya kadar air lebih dari 30%. Ekstrak
kental jika memiliki kadar air antara 5-30%. Ekstrak kering jika
mengandung kadar air kurang dari 5% (Voight, 1994). Ekstrak Kental atau
ekstrak semisolid, adalah sediaan yang memiliki tingkat kekentalan diantara
ekstrak kering dan ekstrak cair. Ekstrak kental didapatkan dari penguapan
sebagian dari pelarut, air, alkohol, atau campuran hidroalkohol yang
digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi. Ekstrak semisolid mengandung
antimicrobial atau bahan pengawet lainnya yang sesuai (Van Duin, 1947)
15

Faktor yang mempengaruhi ekstrak yaitu faktor biologi dan faktor kimia.
Faktor biologi meliputi: spesies tumbuhan, lokasi tumbuh, waktu pemanenan,
penyimpanan bahan tumbuhan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
Sedangkan faktor kimia yaitu : faktor internal (jenis senyawa aktif dalam bahan,
komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantatif senyawa aktif, kadar
total rata-rata senyawa aktif) dan faktor eksternal (metode ekstraksi,
perbandingan ukuran alat ekstraksi, ukuran kekerasan dan kekeringan bahan,
pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, kandungan
pestisida) (BPOM, 2012).

II.2.7 Pelarut
Pelarut adalah benda cair atau gas yang melarutkan benda padat, cair
atau gas, yang menghasilkan sebuah larutan. Untuk membedakan antara
pelarut dengan zat yang dilarutkan, pelarut biasanya terdapat dalam jumlah
yang lebih besar. Sebagian besar reaksi kimia secara luas dilakukan di
dalam larutan. Pelarut memenuhi beberapa fungsi dalam reaksi kimia,
dimana pelarut melarutkan reaktan dan reagen agar keduanya bercampur,
sehingga hal ini akan memudahkan penggabungan antara reaktan dan reagen
yang seharusnya terjadi agar dapat merubah reaktan menjadi produk. (Rudi,
2017).
Untuk mencapai proses ekstraksi yang baik, pelarut yang digunakan
harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. kemampuan tinggi melarutkan komponen zat terlarut di dalam
campuran.
2. kemampuan tinggi untuk diambil kembali.
3. perbedaan berat jenis antara ekstrk dan rafinat lebih besar.
4. pelarut dan larutan yang akan diekstraksi harus tidak mudah campur.
5. tidak mudah bereaksi dengan zat yang akan diekstraksi.
6. tidak merusak alat secara korosi.
16

7. tidak mudah terbakar, tidak beracun dan harganya relatif murah

Etanol merupakan pelarut polar yang banyak digunakan untuk mengekstrak


komponen polar suatu bahan alam dan dikenal sebagai pelarut universan.
Komponen polar dari suatu bahan alam dalam ekstrak etanol dapat diambil
dengan teknik ekstraksi melalui proses pemisahan. Etanol dapat
mengekstrak senyawa aktif yang lebih banyak di bandingkan jenis pelarut
organic lainnya. Etanol mempunyai titik didih yang rendah yaitu 79°C.

II.3 Akne Vulgaris (Jerawat)


II.3.1 Definisi
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan folikel pilosebasea
yang bersifat menahun dan dapat menyebabkan terjadinya sumbatan
pengaliran sebum yang dikeluarkan kelenjar sebasea ke permukaan kulit,
sehingga kemudian timbul erupsi ke permukaan kulit yang dimulai dengan
terjadinya komedo, umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat
sembuh sendiri. Gambaran klinis akne vulgaris terdiri dari berbagai
kelainan kulit berupa komedo, papul, pustul, nodus, dan jaringan parut, baik
jaringan parut hipotrofil maupun hipertrofik (Afriyanti, 2015)

II.3.2 Klasifikasi
Jerawat terbagi menjadi menjadi empat tingkatan yaitu ringan,
sedang, agak berat dan berat. Tingkatan tersebut ditentukan
berdasarkan jumlah jerawat yang ada pada wajah, dada dan punggung,
serta ukuran besar kecil jerawat atau kondisi peradangan jerawat.
Selain itu, di bawah ini juga termasuk dalam perbedaan jenis jerawat:
17

1. Jerawat pada bayi yang baru lahir (newborn acne): Jerawat jenis ini
menyerang sekitar 20 persen bayi yang baru lahir dan tergolong jerawat
ringan.
2. Jerawat pada bayi (infantile acne): Bayi berumur 3–6 bulan juga
ditumbuhi jerawat, dan akan tumbuh kembali pada saat ia beranjak
remaja.
3. Jerawat vulgaris (Acne vulgaris): Jerawat jenis ini adalah yang
paling umum terjadi pada remaja dan kaum muda yang beranjak
dewasa, sekitar 12 – 24 tahun.
4. Jerawat konglobata (cystic acne): Jerawat jenis ini terjadi pada kaum

pria muda, tergolong serius namun jarang terjadi.

II.3.3 Epideomologi
Menurut Wasitaatmadja (2013), akne vulgaris merupakan masalah
kulit yang hampir seluruh manusia pernah mengalami. Akne vulgaris
biasanya terjadi pada wanita umur 14-17 tahun dan 16-19 tahun pada
pria. Akne vulgaris biasanya akan berkurang setelah masa remaja,
namun dapat menetap sampai usia 30 tahun. Manifestasi akne
vulgaris pada laki-laki biasanya akan lebih berat, namun gejala tersebut
akan cepat berkurang. Ras oriental (Jepang, Cina, dan Korea) lebih
jarang mengalami akne vulgaris dibandingkan dengan ras Kaukasia
(Eropa, Amerika)

II.3.4 Etiologi
Faktor penyebab akne vulgaris sangat banyak, antara lain genetik,
endokrin, faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea sendiri, faktor
psikis, musim, infeksi bakteri Propionibacterium acnes dengan
18

Corynebacterium acnes, kosmetika dan bahan kimia lainya. Penyebab yang


pasti belum diketahui, tetapi banyak faktor yang berpengaruh, seperti:
1. Sebum.
Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya jerawat.Jerawat
yang keras selalu disertai pengeluaran sebore yang banyak.
2. Bakteri
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya jerawat adalah
Corynebacterium acnes, Staphylococcus epidermis, dan Pityosporum
ovale
3. Hormon, diantaranya:
a. Hormon androgen. Hormon ini memegang peranan yang penting
karena kelenjar palit sangat sensitif terhadap hormon ini.Hormon
androgen berasal dari testis dan kelenjar anak ginjal
(adrenal).Hormon ini menyebabkan kelenjar palit bertambah besar
dan produksi sebum meningkat.
b. Estrogen. Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh
terhadap produksi sebum. Estrogen dapat menurunkan kadar
gonadotropin yang berasal dari kelenjar hipofisis. Hormon
gonadotropin mempunyai efek menurunkan produksi sebum.
c. Progestron.
Progestron dalam jumlah fisiologis tidak mempunyai efek pada
efektifitas terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama
siklus menstruasi, akan tetapi kadang-kadang progestron dapat
menyebabkan jerawat premenstrual (Danby, 2015)
4. Makanan
Terutama yang tinggi lemak.Kaya karbohidrat, alkohol dan pedas.Saat
ini, lingkungan sering kali mempengaruhi seseorang untuk menjadi
individu yang tidak sehat. Makanan yang serba instan serta minuman
yang kurang sehat menyebabkan tubuh mangalami stress tanpa kita
19

sadari. Jika jerawat yang tumbuh tidak juga kunjung sembuh, ada
kemungkinan gaya hidup yang kita jalani menjadi penyebabnya.
5. Faktor psikis
Pada beberapa penderita, stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan
eksaserbasi akne. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum
diketahui. Kecemasan menyebabkan penderita, memanipulasi aknenya
secara mekanis sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan
timbul lesi yang beradang yang baru, teori lain mengatakan bahwa
eksaserbasi ini disebabkan oleh meningkatnya produksi hormon
androgen dari kelenjar anak ginjal dan sebum, bahkan asam lemak
dalam sebum pun meningkat dan stress menyebabkan peningkatan asam
lemak bebas (Latifah & Kurniawaty, 2015)
6. Kosmetik
Jenis kosmetik yang dapat menimbulkan jerawat tidak tergantung pada
harga, merk, dan kemurnian bahannya. Penyelidikan terbaru di Leeds
tidak berhasil menemukan hubungan antara lama pemakaian dan jumlah
kosmetik yang dipakai dengan hebatnya jerawat.
7. Iklim
Faktor ini berhubungan dengan sekresi sebum, pada udara yang panas
dan lembab sekresi sebum akan meningkat dan dengan kelembaban
yang tinggi maka infestasi bakteri juga akan semakin banyak
dipermukaan kulit.

II.3.5 Patogenesis
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak faktor dan
kadang-kadang masih kontroversial. Ada empat hal penting yang
berhubungan dengan terjadinya akne :
1. Kelenjar minyak menjadi besar yaitu hipertropi dengan peningkatan
penghasilan sebum.
20

2. Hiperkeratosis (kulit menjadi tebal) menyebabkan pertumbuhan sel-sel


yang cepat dan mengisi ruang folikel polisebaceous dan membentuk
plug (epitelium folikular).
3. Pertumbuhan kuman, propionibacterium acnesyang cepat (folikel
polisebaceous) yang tersumbat akan memerangkap nutrient dan sebum
serta mengga lakkan pertumbuhan kuman.
4. Inflamasi (radang) akibat hasil sampingan kuman propionibacterium
acnes (Bhate & Williams, 2013)

Gambar II.3 Skema Patogenesis Akne Vulgaris (Wasitaatmadja,2013)

II.3.6 Gambaran Klinis


Lesi kulit pada akne vulgaris adalah erupsi polimorf dengan gejala
predominan salah satunya berupa komedo, papul yang tidak beradang dan
pustul, nodul dan kista yang beradang. Tempat predileksi akne vulgaris
adalah pada daerah dengan jumlah kelenjar sebasea yang padat seperti
wajah, bahu, dada bagian atas dan punggung bagian atas. Umumnya
keluhan pasien adalah keluhan estetik walaupun terkadang dapat disertai
rasa gatal.Komedo adalah gejala patognomonik pada akne vulgaris berupa
21

papul milier yang ditengahnya mengandung sumbatan sebum. (Bhate &


Williams, 2013)

II.4 Propionibacterium acnes


Klasifikasi Propionibacterium acnes

Kingdom : Bacteria
Phylum : Actinobacteria
Class : Actinomycetales
Ordo : Propionibacterineae
Family : Propionibacteriaceae
Genus : Propionibacterium
Spesies : Propionibacterium acnes (Brooks, Butel, & Morse, 2010)

Gambar II.4 Propionibacterium acnes (www.researchgate.net).


Keterlibatan Propionibaterium acnes dalam penyakit akne vulgaris terjadi
pada fase inflamasi melalui kemampuannya untuk memulai respon inflamasi pada
folikel pilosebasea. Pada acne vulgaris, ketika terjadi akumulasi sebum pada unit
polisebasea, maka akan memfasilitasi P. acnes untuk berproliferasi, karena
trigliserida yang terdapat pada sebum akan diubah dengan bantuan enzim lipase yang
dihasilkan oleh P. acnes menjadi digliserida, monogliserida, dan asam lemak bebas,
22

kemudian ketiga zat tersebut diubah menjadi gliserol yang akan digunakan untuk
metabolisme P. acnes Unit polisebasea yang terinfeksi oleh P. acnes akan
menyebabkan timbulnya respon inflamasi, sehingga gambaran klinis yang timbul
berupa papula, pustula, nodula, dan kista (Amro, 2013). Selain acne vulgaris P. acnes
juga terlibat dalam beberapa penyakit seperti osteomielitis, peritonitis, infeksi gigi,
reumatoid artritis, abses otak, empiema subdural, keratitis, ulkus kornea,
endoftalmitis, sarkoidosis, dan radang prostat. Sedangkan penyakit yang melibatkan
infeksi P. acnes dan terkait alat-alat medis (kateter, prosthetic joints, implants, dan
lain-lain) yaitu konjungtivitis akibat lensa kontak, shunt nephritis, shunt-associated
central nervous system infection, dan anareobic arthritis (Beylot et al., 2014)

II.5 Antibakteri
II.5.1 Bakteri Dan Antibakteri
Bakteri merupakan mikroorganisme prokariotik bersel tunggal
berukuran 0,5-10 μm dan memiliki berbagai macam bentuk, yaitu: bola,
batang, spiral, dan elips. Bakeri tersusun atas dinding sel dan isi sel,
berdasarkan komponen penyusun dinding sel bakteri digolongkan menjadi
bakteri gram positif dan gram negatif (Shears, 2001)

Gambar II.5 Morfologi bakteri (Shears, 2001)


23

Perkembangbiakan bakteri melalui pembelahan sel, pada media yang sesuai


bakteri dalam waktu 24 jam dapat mencapai 10-15 milyar sel per mililiter
(Pelczar & Chan, 2007).Bakteri memiliki taksonomi yang berbeda-beda dan
dapat dikelompokkan berdasarkan morfologi, pewarnaan terhadap zat
warna, dan sifat biokimia (fisiologis), namun secara garis beras bakteri
dapat dikelompokkan berdasarkan komponen penyusun dinding sel bakteri
menjadi dua yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri
gram negatif memiliki dinding sel yang lebih kompleks dibandingkan
dengan bakteri gram positif. Perbedaan bakteri gram positif dan negatif
disajikan pada Tabel II.4

Tabel II.4 Perbedaan Bakteri Gram Positif Dan Negatif (Pelczar & chan, 2007)
Ciri-Ciri Perbedaan Relatif Bakteri
Gram Positif Gram Negatif
Struktur dinding sel Tebal (15-80 nm) Tipis (10-15) nm
berlapis tunggal berlapis tiga (multilayer)
(monolayer)
Komposisi dinding sel Kandungan lipid rendah Kandungan lipid tinggi
(14%) peptidoglikan ada (11-22%) peptidoglikan
sebagai lapisan tunggal: ada di dalam lapisan
komponen utama kaku sebelah dalam;
merupakan lebih dari jumlahnya sedikit:
50% berat kering pada merupakan sekitar 10%
beberapa sel bakteri berat kering tidak
memiliki asam teikoat memiliki asam teikoat
Kerentanan terhadap Lebih rentan Kurang rentan
penisilin
Pertumbuhan pada zat Pertumbuhan dihambat Pertumbuhan tidak
zarna Kristal violet dengan nyata dihambat nyata
24

Persyaratan nutrisi Relatif rumit Relatif sederhana


Resistensi terhadap Lebih resisten Kurang resisten
gangguan fisik
Struktur dinding sel Tebal (15-80 nm berlapis Tipis (10-15 nm)
tunggal (monolayer) berlapis tipis
(multilayer)

Antibakteri adalah zat yang digunakan untuk membasmi bakteri khususnya


yang merugikan manusia. Antibakteri adalah zat yang menghambat
pertumbuhan bakteri dan digunakan secara khusus untuk mengobati infeksi
serta harus memiliki sifat toksisitas selektif (G. Ganiswarna, 2001). Kadar
minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau
membunuhnya dikenal sebagai kadar hambat minimum (KHM) dan kadar
bunuh minimum (KBM). Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat
dari bakteriostatik menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan
melebihi KHM (G. Ganiswarna, 2001)
Menurut Madigan dkk. (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya,
senyawa antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan
mikrobia yaitu:
1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan
tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat
sintesis protein atau mengikat ribosom.
2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak
terjadi lisis sel atau pecah sel.
3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah
sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia. Hal
ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia
yang berada
25

II.5.2 Mekanisme Kerja Antibakteri


Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibakteri dibagi menjadi lima
kelompok, yaitu :
1. Antibakteri yang menghambat metabolisme sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah sulfonamide,
trimetorfprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Bakteri
membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Berbeda
dengan mamalia yang mendapatkan asam folat dari luar, bakteri harus
mensintesis sendiri asam para amino benzoate (PABA) untuk kebutuhan
hidupnya (Gayatri & Setiabudy, 2019)
2. Antibakteri yang menghambat sintesis dinding sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah penisilin,
sefalosporin, bastitrasin, vankomisin, ristosetin dan sikloserin. Dinding
sel bakteri secara kimia adalah polipeptidoglikan yaitu suatu kompleks
polimer mukopeptida (Glikopeptida), antibakteri menghambat
reaksiproses sintesa dinding sel, karena tekanan osmotik dalam sel
bakteri lebih tinggi daripada diluar sel maka kerusakan dinding sel
bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis (Ganiswarna, 2001).
3. Antibakteri yang mengganggu keutuhan membran sel bakteri
Antibakteri yang termasuk kelompok ini adalah polimiksin dan
golongan polien serta berbagai golongan antibakteri kemoterapeutik.
Antibakteri yang dapat mengubah tegangan permukaan (surface active
agents) dapat merusak permeabilitas atau keutuhan selektif dari
membran sel bakteri (Gayatri & Setiabudy, 2019)
4. Antibakteri yang menghambat sintesis protein sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah aminoglokosid,
makrolid, linkomisin, tetrasiklin dan kloramfenikol. Untuk
kehidupannya, sel bakteri perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis
26

protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA dan tRNA pada


bakteri (Gayatri & Setiabudy, 2019)
5. Antibakteri yang menghambat sintesis asam nukleat sel bakteri
Antibakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah rifampisin dan
golongan kuinolon. Antibakteri yang memiliki mekanisme kerja ini pada
umumnya kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat
sitotoksik terhadap sel tubuh hospes (Gayatri & Setiabudy, 2019)

II.5.3 Klindamisin
Klindamisin termasuk golongan obat antibiotic yang biasa digunakan
untuk infeksi bakteri anaerob (bakteri yang bisa hidup tanpa oksigen).
Klindamisin menghambat sebagian besar kokus Gram-positif dan sebagian
besar bakteri anaerob, tetapi tidak bisa menghambat bakteri Gram-negatif
aerob seperti Haemophilus, Mycoplasma dan Chlamydia (Kemenkes, 2011).
Mekanisme kerja klindamisin sama dengan eritromisin. Klindamisin
terutama diberikan untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
anaerob, seperti bakteri Bakteriodes fragilis yang seringkali menimbulkan
infeksi abdomen yang diakibatkan trauma. obat ini juga menghambat
sintesis protein bakteri dan mempunyai efek kerja bakteriostatik dan
bakterisidal, tergantung dari dosis obatnya.
Klindamisin aktif melawan kebanyakan dari organisme gram positif,
termasuk Propionibacterium acnes, Staphylococcus aureus dan organisme
anaerobik. Obat ini tidak efektif melawan bakteri gram negatif, seperti
Escherichia coli, Proteus, dan Pseudomonas (Rusdiaman, 2018). Banyak
digunakan topikal pada acne berkat efek menghambatnya terhadap
Propionibacterium acnes. Resistensi belum dilaporkan. Efek sampingnya
sama dengan linkomisin, pada penggunaan topikal dapat menyebabkan kulit
kering atau berlemak, iritasi, eritema dan rasa terbakar pada mata (Bertram
G. Katzung, Susan B. Masters, 2013).
27

II.6 Metode Pengujian Aktivitas Antibakteri


Pengujian mikrobiologi memanfaatkan mikroorganisme sebagai indikator
pengujian. Dalam hal ini mikroorganisme digunakan sebagai penentu konsentrasi
komponen tertentu pada campuran kompleks kimia, untuk mendiagnosa penyakit
tertentu serta untuk menguji bahan kimia untuk menentukan potensi mutagenik atau
karsinogenik suatu bahan. Kegunaan uji antimikroba adalah diperolehnya suatu
sistem pengobatan yang efektif dan efisien (Irianto, 2013). Metode disc diffusion,
untuk menentukan aktivitas agen antimikroba. Piringan agen yang berisi
antimikroba diletakkan pada media agar yang telah ditanami mikroorganisme yang
akan berdifusi pada media agar tersebut. Area jernih mengindikasikan adanya
hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh agen antimikroba pada permukaan
media agar. Jenis media yang digunakan dalam analisa sel bakteri ialah Media
Dasar/Media Umum. Secara rutin media ini selalu tersedia di laboratorium,
contohnya nutrient broth, nutrient agar, infusion broth dan lain-lain.
BAB III

METODE PENELITIAN

III.1 Rancangan Penelitian


Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen laboratorium
dengan desain penelitian post test only, dengan melakukan pengujian aktivitas
antibakteri ekstrak Daun Alpukat terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes
menggunakan metode difusi agar dengan konsentrasi 2% b/v, 4% b/v, 8% b/v
dengan menggunakan kontrol positif (Klindamisin) dan kontrol negatif (Na CMC
1%).

III.2 Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan pada bulan April 2020 di Laboratorium
Mikrobiologi, Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Makassar.

III.3 Bahan Uji Dan Sampel Penelitian


1. Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Daun Alpukat (Persea
americana Mill) yang diperoleh dari daerah Makassar.
2. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Propionibacterium acnes
yang diperoleh dari laboratorium mikrobiologi, Kampus Jurusan Farmasi
Poltekkes Kemenkes Makassar.

III.4 Alat Dan Bahan Penelitian


III.4.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoclave, batang
pengaduk, bejana maserasi, bunsen, cawan petri, gelas ukur, inkubator,
jangka sorong, jarum inokulasi, kertas saring, kertas pH, ose bulat, oven,

28
29

paper disk, pinset, rotary evaporator, swab steril, sendok tanduk, tabung
reaksi, timbangan analitik, dan tissue.

III.4.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Aqua Steril,
Bakteri Propionibacterium acnes, ekstrak Daun Alpukat (Persea
americana Mill), HCL 1%, kontrol negatif Na CMC 1%, kontrol positif
clindamycin 300 mg, Nutrien Agar (NA), dan pelarut etanol 96%.

III.5 Prosedur Kerja


III.5.1 Penyiapan Alat
Alat-alat yang digunakan disterilkan terlebih dahulu. Alat-alat dari
gelas dicuci dengan air mengalir lalu dibilas dengan air suling kemudian
dikeringkan di udara terbuka, setelah kering alat dibungkus dengan kertas,
lalu disterilkan dalam oven pada suhu 180-200°C selama 1-2 jam.
Sedangkan alat-alat lain yang tidak tahan panas terutama alat ukur di cuci
dengan deterjen kemudian dibilas dengan air bersih, kemudian direndam
dengan larutan HCL 1% dan dibilas dengan air suling lalu dikeringkan.
Setelah itu disterilkan menggunakan autoklaf pada suhu 121°c selama 15
menit. Sedangkan untuk pinset dan ose disterilkan dengan cara pemijaran
dengan api langsung.

III.5.2 Penyiapan Simplisia Daun Alpukat


Dilakukan dengan pengumpulan sampel, berupa Daun Alpukat
(Persea americana Mill) yang diperoleh dari daerah Kota Makassar, Daun
Alpukat dipetik pada pukul 08.00 pagi secara manual menggunakan
tangan, daun yang dipilih ialah daun yang tua dan yang telah membuka
sempurna yang terletak di bagian cabang atau batang yang menerima sinar
matahari sempurna (Laksana, 2010). Kemudian dilakukan sortasi basah
30

dengan tujuan memisahkan bahan-bahan dari pencemar, Setelah itu


lakukan pencucian pada Daun Alpukat untuk menghilangkan sisa tanah
atau pencemar yang melekat dan mengurangi pengotor awal. Dan
dilakukan perajangan untuk mempercepat pengeringan dan mempermudah
pemrosesan dan penyimpanan. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan
cara diangin-anginkan. Kemudian terakhir dilakukan sortasi kering untuk
memisahkan zat asing yang masih tertinggal.

III.5.3 Pembuatan Ekstrak Daun Alpukat


Daun Alpukat yang telah dipotong-potong sesuai derajat halus daun
(5/8) dengan ukuran lubang pengayak 2,36 mm, lalu diangin-anginkan
hingga kering, kemudian dimasukkan dalam bejana maserasi,
dilembabkan terlebih dahulu dengan cairan penyari etanol 96% selama 5
menit kemudian dituang lagi cairan penyari hingga diatas sampel setinggi
5 cm, ditutup kemudian dibiarkan selama ± 5 hari ditempat yang
terlindung dari cahaya, sambil sesekali diaduk, dilakukan pergantian
cairan penyari setiap 3 hari hingga simplisia terekstraksi sempurna, filtrat
yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan dirotavapor.

III.5.4 Penyiapan Bakteri


1. Peremajaan Propionibacterium acnes
Pembuatan stok bakteri ini dilakukan untuk memperbanyak dan
meremajakan bakteri dengan cara menginokulasikan 1 ose bakteri
Propionibacterium acnes pada medium NA (Nutrient Agar) miring
dengan cara digores pada permukaannya, kemudian diinkubasikan
pada suhu 37°C selama 1 × 24 jam didalam incubator.
2. Pembuatan Suspensi
Diambil 1 ose untuk masing-masing bakteri uji hasil peremajaan,
disuspensikan dengan aquadest steril 10 ml dalam tabung reaksi steril,
31

yang kekeruhannya disesuaikan dengan standar 0,5 Mc Farland (setara


dengan 3x108 CFU/mL).

III.5.5 Pembuatan Larutan Na CMC 1%


Sebanyak 1 gram Na CMC ditimbang, kemudian dilarutkan dengan
sebagian air panas, diaduk kemudian ditambah aquades sambil terus
diaduk. Setelah terdispersi, sisa aquades ditambahkan sampai didapatkan
volume larutan CMC-Na 100,0 ml.

III.5.6 Pembuatan Larutan Pembanding (Suspensi Klindamisin 30 ppm)


Ditimbang setara dengan 300 mg klindamisin, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 100 ml lalu di tambahkan larutan Na CMC 1% sampai
tanda (3000 ppm, Stok 1) selanjutnya dipipet 1 ml (Stok 1) dimasukkan ke
dalam labu ukur 100 ml dicukupkan dengan Na CMC 1% (30 ppm)

III.5.7 Pelaksanaan uji aktivitas antibakteri ekstrak Daun Alpukat


1. Pembuatan Media NA
Untuk membuat 100 ml medium NA, ditimbang 2,0 g media NA
kemudian dimasukkan kedalam Erlemeyer lalu dilarutkan dengan
aquadest sebanyak 100 ml, Kemudian dicek pH ± 7,0 setelah itu
didihkan hingga larut sempurna. Setelah media tersuspensi sempurna,
kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121° C selama 15 menit
dengan tekanan 1-1,5 atm.

2. Pembuatan Konsentrasi Larutan Uji


a. Untuk konsentrasi 2% b/v, ditimbang 0,2 g ekstrak Daun Alpukat
kemudian diencerkan ad 10 ml dengan larutan Na CMC 1%
b. Untuk konsentrasi 4% b/v, ditimbang 0,4 g ekstrak Daun Alpukat
kemudian diencerkan ad 10 ml dengan larutan Na CMC 1%
32

c. Untuk konsentrasi 8% b/v, ditimbang 0,8 g ekstrak Daun Alpukat


kemudian diencerkan ad 10 ml dengan larutan Na CMC 1%

3. Pengujian Aktivitas Antibakteri


Disiapkan medium NA steril, kemudian dituang secara aseptis kedalam
cawan petri steril sebanyak ±15 ml dan biarkan memadat. Setelah itu
dioleskan suspensi bakteri uji Propionibacterium acnes dengan
menggunakan swab steril di atas media NA tersebut dan diadaptasikan
selama 15 menit. Kemudian paper disc direndam selama ± 15 menit
dalam ekstrak Daun Alpukat dengan masing-masing konsentrasi 2%
b/v, 4% b/v dan 8% b/v, kontrol positif dan kontrol negatif. Lalu
diambil menggunakan pinset diletakkan secara aseptis diatas
permukaan medium dengan jarak yang lebih kurang sama dengan yang
lainnya, lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 1×24 jam.

4. Pengamatan Dan Pengukuran Daya Hambat


Pengamatan dan pengukuran daya hambatan Propionibacterium acnes
didasarkan pada pengukuran diameter dengan menggunakan
mistar/jangka sorong setelah masa inkubasi 1 × 24 jam.

5. Pengolahan Data
Data yang diperoleh kemudian dikumpulkan dan dianalisis secara
statistik dengan menggunakan data statistik menggunakan program
SPSS.

6. Penarikan Kesimpulan
Penarikan Kesimpulan dari aktivitas antibakteri ekstrak Daun Alpukat
terhadap pertumbuhan Propionibacterium acnes, diperoleh bila mana
ekstrak Daun Alpukat dengan konsentrasi 2% b/v, 4% b/v dan 8% b/v
33

memiliki diameter zona hambat sama dengan atau lebih besar dari
diameter zona hambat kontrol positif (Klindamisin).
DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, R. N. (2015). Akne Vulgaris Pada Remaja. Medical Faculty of Lampung


University.
Anggorowati Dwi A., Gita, Priandini, Thufail. (2016). Potensi Daun Alpukat
(Persea americana, Mill.) Sebagai Minuman Teh Herbal Yang Kaya
Antioksidan. Jurnal Industri Inovatif. Vol (6)
Amro, I. (2013). In vitro antimicrobial and anti-inflammatory activity of Jordanian
plant extracts: A potential target therapy for Acne vulgaris. African Journal of
Pharmacy and Pharmacology. https://doi.org/10.5897/ajpp2013.3497
Ansel, H. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi edisi IV. In American
Journal of Pharmacology and Toxicology.
Arukwe, B.A., M.K. Duru, E.N. Agomuo Dan E.A Adindu. 2012. Chemical
Composition of Persea Americana Leaf, Fruit, and Seed. International
Journal of Recent Research and Applied Studies.
Bertram G. Katzung, Susan B. Masters, A. J. T. (2013). Farmakologi Dasar dan
Klinik. In Journal of Chemical Information and Modeling.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Beylot, C., Auffret, N., Poli, F., Claudel, J. P., Leccia, M. T., Del Giudice, P., &
Dreno, B. (2014). Propionibacterium acnes: An update on its role in the
pathogenesis of acne. Journal of the European Academy of Dermatology and
Venereology. https://doi.org/10.1111/jdv.12224
Bhate, K., & Williams, H. C. (2013). Epidemiology of acne vulgaris. British Journal
of Dermatology. https://doi.org/10.1111/bjd.12149
Bota, W., Martosupono, M., & Rondonuwu, F. S. (2015). Potensi Senyawa Minyak
Sereh Wangi (Citronella Oil) Dari Tumbuhan Cymbopogon Nardus L.
Sebagai Agen Antibakteri. Adas Consulting Ltd.
BPOM. (2012). Pedoman Teknologi Formulasi Sediaan Berbasis Ekstrak. The British
Journal of Psychiatry. https://doi.org/10.1192/bjp.111.479.1009-a
BPOM RI. (2008). Pengujian Mikrobiologi Pangan. Badan POM RI.
Breed, R. S., Murray, E. G., & Smith, N. R. (1957). Genus II Streptococcus. In
Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology.
https://doi.org/10.2105/AJPH.65.3.315-a

34
35

Brooks, G. F., Butel, J. S., & Morse, S. A. (2010). Mikrobiologi Kedokteran Jawetz,
Melnick, dan Adelberg. Edisi 25. Jakarta: EGC.
Danby, F. W. (2015). Acne: Causes and Practical Management. In Acne: Causes and
Practical Management. https://doi.org/10.1002/9781118272343
Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. In Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
G. Ganiswarna. (2001). Farmakologi dan Terapi. In Antimikroba.
Gayatri, A., & Setiabudy, R. (2019). Pharmacometrics: Alternative approach of
quantitative pharmacology. Pharmaceutical Sciences Asia.
https://doi.org/10.29090/psa.2019.01.018.0032
Gunawan, D., & Mulyani, S. (2004). Ilmu Obat Alam. In Penebar Swadaya.
H Rahmi, A., Cahyanto, T., Sujarwo, T., & Rahayu, L. I. (2015). Uji Aktivitas
Antibakteri Ekstrak Daun Beluntas (Pluchea indica (L.) LESS.) Terhadap
Propionibacterium acnes Penyebab Jerawat. Issn.
https://doi.org/10.13140/RG.2.1.4234.9843
Herawati. (2014). Pemanfaatan Ekstrak Biji Alpukat (Persea Americana Mill)
Sebagai Bioinhibitor Korosi Pada Logam Baja Karbon. Other thesis,
Politeknik Negeri Sriwijaya.
Irianto. (2013). Mikrobiologi Medis (Medical Microbiology). Penerbit Alfabeta.
Bandung
Jawetz E, Melnick GE, dan A. C. (2001). Mikrobiologi Kedokteran, Edisi I.
Diterjemahkan Oleh Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. https://doi.org/10.7812/TPP/12-085
Laksana, Toga. (2010). Pembuatan Simplisia Dan Standarisasi Simplisia. UGM,
Yogyakarta.
Latifah, S., & Kurniawaty, E. (2015). Stres dengan Akne Vulgaris. Majority.
Lestari P, Wijana S, Putri W.I. (2014). Ekstraksi Tanin Dari Daun Alpukat (Persea
americana Mill) Sebagai Pewarna Alami (Kajian Proporsi Pelarut Dan Waktu
Ekstraksi). Jurnal Teknologi Industri Pertanian
Mitsui, T. (1997). New Cosmetic Science. Journal of Chemical Information and
Modeling. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Pelczar, M.J & Chan, E.C.S. (2007). Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid I. Jakarta: UI
36

Felicia, Naomi. (2016). Pengaruh Ketuaan Daun dan Metode Pengolahan Terhadap
Aktivitas Antioksidan serta Karakteristik Sensoris Teh Herbal Bubuk
Daun Alpukat (Persea americana mill). Bachelor thesis. Universitas
Udayana
Radji, D. . D. M. (2016). Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi dan
Kedokteran. Buku Ajar Mikrobiologi : Panduan Mahasiswa Farmasi Dan
Kedokteran. https://doi.org/10.1063/1.1619138
Rahmawati, D., Widayati, R. I., & Sudaryanto, S. (2012). Hubungan Perawatan Kulit
Wajah dengan Timbulnya Akne Vulgaris pada Siswi SMA/MA/SMK yang
Menderita Akne Vulgaris. Jurnal Kedokteran Diponegoro.
Ramdani, R., & Sibero, H. T. (2015). Treatment For Acne Vulgaris Resti. J
MAJORITY. https://doi.org/10.1001/archderm.1977.01640080130029
RI., D. K. (1989). Materia Medika Indonesia Jilid V. Departemen Kesehatan RI:
Jakarta. Hal. https://doi.org/10.9734/IJBCRR/2017/32764
Rudi. (2017). Penuntun Praktikum Dasar-Dasar Pemisahan Analitik. Kendari :
Universitas Halu Oleo.
Rusdiaman, R. (2018). Uji Daya Hambat Perasan Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa
bilimbi L) Terhadap Pertumbuhan Propionibacterium acnes. Media Farmasi.
https://doi.org/10.32382/mf.v14i1.150
Shears, P. (2001). Medical microbiology and infection at a glance. Transactions of
the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene.
https://doi.org/10.1016/s0035-9203(01)90361-x
Tjitrosoepomo, G. (1984). Traditional classification of plants. The Environmentalist.
https://doi.org/10.1007/BF01907287
Yandi, Sofyan. (2015). Karakterisasi Serta Uji Tlc Ekstrak Etanol Nano Partikel Dan
Serbuk Simplisia Daun Alpukat (Persea americana Mill). USU Institutional
Repository.
Van Duin, C.F., (1947). Buku Penuntun Ilmu Resep Dalam Praktek Dan Teori.
Penerjemah K. Satiadarma Apt., Pecenongan, Jakarta.
Voight, R. (1994). Buku Pengantar Teknologi Farmasi. Yogyakarta, Universitas
Gadjah Mada Press.
Wasitaatmadja, S.M. (2013). Indonesia Acne Expert Meeting 2012. Kelompok Studi
Dermatologi Kosmetik Indonesia. Jakarta
37

Lampiran 1. Skema Kerja


1
Bakteri Bahan Uji Daun Alpukat
Propionibacterium acnes (Persea americana Mill)

Dilakukan peremajaan Melalui Proses


Pada Medium NA miring, Pengolahan Simplisia
Diinkubasi 37°C
selama 1 × 24 jam
Propionibacterium acnes Simplisia Daun Alpukat
(Medium NA) (Persea americana Mill)

Disuspensikan dengan Ekstraksi Dengan


Aqua steril disesuaikan Metode Maserasi
dengan mcfarland 0,5 Menggunakan etanol 96%
Suspensi
Propionibacterium acnes Konsentrasi
2%b/v 4%b/v 8%b/v

Medium NA

2%

Klindamisin Na CMC 1%
4%
(Kontrol Positif) + - (Kontrol Negatif)

8%

Pengamatan & Pengukuran


Zona Hambat
DATA
Analisa & Pengolahan Data

KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai