Anda di halaman 1dari 10

REFERAT STASE MATA

“GLAUKOMA”

Oleh :

VICO MARDENANTA
201510330311038

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS KEDOKTERAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata adalah organ fotosensitif yang kompleks dan berfungsi untuk analisis cermat tentang
bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan obyek. Mata terletak di dalam struktur
tengkorak yang melindunginya, yaitu orbita. Banyak sekali penyakit yang bisa menyerang pada
mata, walaupun mata berukuran sangat kecil dibandingkan dengan ukuran bagian tubuh yang lain.
Penyakit mata ini sangat mengganggu penderitanya karena dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan. Salah satu penyakit mata adalah glaukoma sudut tertutup akut dimana mata merah
dengan penglihatan turun mendadak, terjadi obstruksi mekanik ari trabecular meshwork, dengan
sudut pada kamera okuli anterior yang tertutup dan tekanan intraocular yang meningkat.1
Saat kondisi iris terdorong atau menonjol kedepan maka outflow humor aquos akan
terhambat, keadaan ini dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Jika penutupan sudut
terjadi secara mendadak, maka gejala yang akan timbul sangat berat seperti nyeri padamata, sakit
kepala, pandangan kabur, haloe, mual, dan muntah.2
Di Indonesia glaukoma kurang dikenal oleh masyarakat, padahal cukup banyak yang buta
akibat menderita penyakit ini. Tonometri rutin pada glaukoma akut tidak banyak memberi manfaat,
tetapi kewaspadaan dokter akan tanda-tanda prodomal atau tanda-tanda ketika serangan terjadi
sangat diperlukan. Penderita glaukoma akut sering datang terlambat karena salah diagnosis, awalnya
mengira sakit kepala karena hipertensi atau flu migrain atau muntah karena hal lainnya. Di Indonesia,
glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya penderita glaukoma telah
berusia lanjut. Pada usia diatas 40 tahun, tingkat resiko menderita glaukoma meningkat sekitar 10%.
Hampir separuh penderita glaukoma tidak menyadari bahwa mereka menderita penyakit tersebut.3
Beberapa faktor resiko untuk timbulnya glaukoma akut adalah usia diatas 40 tahun, riwayat
anggota keluarga yang terkena glaukoma. Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita
glaukoma mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk terkena glaucoma. Pemakai steroid secara
rutin, obat inhaler untuk penderita asma, obat steroid untuk radang sendi dan pemakai obat yang
memakai steroid secara rutin lainnya. Glaukoma juga dapat diturunkan secara genetik. 2
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui lebih jauh tentang
Glaukoma primer sudut tertutup akut mengenai definisi, etiologi, patogenesis,
manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaannya.

1.3 Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan
pemahaman penulis maupun pembaca mengenai glaukoma beserta patofisiologi dan
penangananannya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Glaukoma merupakan suatu kumpulan gejala yang mempunyai suatu
karakteristik optik neuropati yang berhubungan dengan hilangnya lapangan pandang.
Walaupun kenaikan tekanan intra okuli adalah salah satu dari faktor risiko primer, ada
atau tidaknya faktor ini tidak merubah definisi penyakit.4
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan gangguan saluran aquous humor glaukoma dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1. Glaukoma sudut terbuka, yaitu glaukoma kronis primer dengan sudut
pada kamera okuli anterior yang terbuka disertai dengan pe ingkatan tekanan
intraocular.
2. Glaukoma sudut tertutup, yaitu kelompok penyakit glaukoma yang
dicirikan dengan obstruksi mekanik dari trabecular meshwork dengan sudut
pada kamera okuli anterior yang tertutup dan tekanan intraocular yang
meningkat.
2.3 Etiologi
Glaukoma dapat bersifat kongenital ataupun didapat.berdasarkan etiologinya
glaukoma dibagi menjadi :
1. Glaukoma primer, tanpa faktor kontributor yang jelas
2. Glaukoma sekunder, dengan faktor kontributor ocular atau ekstra-
okular yang jelas yang berhubungan dengan peningkatan tekanan
intraocular.
2.4 Patofisiologi
Pada glaukoma akut, peningkatan tekanan intraocular mendadak hingga diatas
50 mmHg mengakibatkan kerusakan iskemia akut dari nervus optikus. Pada
glaukoma sudut terbuka primer, kerusakan sel ganglion retina mucul akibat jejas
kronis menahun. Pada glaukoma kronik, adanya peningkatan TIO dapat disebabkan
karena beberapa hal antara lain terjadinya obstruksi trabekular, adanya kehilangan sel
endotel trabekular, kehilangan kemampuan densitas trabekular dan menyempitnya
kanal Schlemm, kehilangan vakuola di dinding endotel kanal schlemm, gangguan
aktivitas fagositik, gangguan metabolisme KS, disfungsi kontrol adrenergik, dan
proses imunologik abnormal.
Mekanisme utama penurunan penglihatan adalah dengan terjadinya atrofi sel
ganglion difus yang ditandai dengan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian
dalam retina serta berkurangnya jumlah sel akson di saraf optikus. Beberapa postulat
telah diajukan untuk menerangkan terjadinya proses tersebut. Tatapi hingga kini
hanya ada dua postulat yang dapat menjelaskan proses ini secara lengkap yaitu: 4
1) Teori iskemik: gangguan pembuluh darah kapiler akson nervus optikus,
memainkan peranan penting pada patogenesis kerusakan akibat glaukoma.
Mekanime yang terjadi:
a) Hilangnya pembuluh darah
b) Perubahan aliran darah kapiler
c) Perubahan yang mempengaruhi penghantaran nutrisi ataupun
pembuangan produk metabolit dari akson
d) Kegagalan pengaturan aliran darah
e) Penghantaran substansi vasoaktif yang bersifat merusak ke dalam
pembuluh darah saraf optikus.
2) Teori mekanik langsung menjelaskan bahwa peningkatan tekanan intraokuler
yang bersifat kronik merusak saraf retina secara langsung pada saat saraf tersebut
melewati lamina kribosa. Kenaikan tekanan intraokuler memicu kolapsnya serta
perubahan pada lempeng laminar serta perubahan susunan kanal aksonal, serta
menyebabkan penekanan secara langsung pada serat saraf dan juga menyebabkan
gangguan aliran darah serta penurunan hantaran nutrien kepada akson pada papil
saraf optikus.

2.5 Manifestasi klinis

Glaukoma sudut tertutup akut primer ditandai oleh adanya gejala kekaburan
penglihatan mendadak yang disertai dengan nyeri hebat, rasa pegal di sekitar mata,
mata merah, melihat lingkaran-lingkaran berwarna seperti pelangi di sekitar sinar
lampu (halo), mual dan muntah.1,2 Selain itu perlu ditanyakan faktor presipitasi
serangan akut seperti pemakaian obat yang berfungsi melebarkan pupil
(simpatomimetik, antikolinergik), berdiam lama di tempat yang kurang terang atau
gelap dan berhubungan dengan emosional.2
Pada pemeriksaan oftalmologi dapat ditemukan injeksi silier yang lebih hebat
di dekat limbus kornea-skleral dan berkurang ke arah forniks; pembuluh darah tidak
bergerak dengan konjungtiva; mid-dilatasi pupil dan tidak bereaksi terhadap sinar;
kornea tampak edema dan keruh; dan kamera okuli anterior yang sempit. Pada
pemeriksaan tekanan intraokular meningkat, visus sangat turun hingga 1/300, lapang
pandang menyempit dan kamera okuli anterior sempit pada gonioskopi.

2.6 Diagnosis
Pemeriksaan yang penting dalam mendiagnosis galukoma adalah pemeriksaan
peningkatan tekanan intra-orbita. Pemeriskaan yang dilakukan dengan tonometri
(tonometri digital, Schiotz, aplanasi Goldmann). Beberapa hal perlu diingat yaitu
adanya variasi diurnal yang menyebabkan fluktuasi tekanan intra orbita, sehingga
perlunya dilakukan pemeriksaan pada beberapa waktu yang berbeda dalam sehari.
Adanaya perbedaan tekanan sebesar 5 mmHg antara kedua mata harus meningkatkan
kecurigaan kearah galukoma. 4 Penilaian diskus optikus juga penting dilakukan pada
pasien galukoma, yang dapat ditemukan antara lain tanda penggaungan yang khas
yaitu pinggir papil bagian temporal menipis, adanya ekskavasi melebar dan
mendalam tergaung, tampak bagian pembuluh darah di tengah papil tak jelas, tampak
pembuluh darah seolah-olah menggantung di pinggir dan terdorong ke arah nasal ,
dan jika tekanan cukup tinggi akan terlihat pulsasi arteri.

2.7 Tatalaksana
Penatalaksanaan pada pasien dengan glaukoma berujuan untuk mempertahankan
fungsi visual dengan mengendalikan tekanan intraokuler dan dengan begitu akan
mencegah atau menunda kerusakan saraf optik yang lebih lanjut. Pemberian
penatalaksanaan secara dini dapat meminimalisasi terjadinya gangguan penglihatan.
Penurunan tekanan intraokular dapat mencegah terjadinya kerusakan pada nervus
optikus.
1) Penatalaksanaan medikamentosa
Penatalaksanaan medikamentosa dibagi berdasarkan cara kerjanya dalam
menghambat produksi aqueus humor, fasilitasi aliran aqueus, reduksi volume
1
vitreus serta miotik, midriatik dan siklopegik. Obat-obatan yang digunakan
antara lain:
 Beta-blockers: bekerja dengan menurunkan produksi aqueous
humor, contohnya Timolol, Betaxolol, dan Carteolol.
 Agonis alpha: bekerja dengan menurunkan produksi cairan
sekaligus meningkatkan aliran keluar aqueous humor contohnya
Brimonidine dan Apraclonidine.
 Analog prostaglandin/prostamide: contohnya Latanaprost
0,005% bekerja dengan meningkatkan aliran keluar aqueous humor
melalui non-conventional (uveo-scleral) outflow pathway.
 Ihibitor karbonik anhidrase: contohnya Acetazolamide,
Dorzolamide dan Brinzolamide. Bekerja dengan menurunkan produksi
aqueous humor
 Agonis kolinergik: contohnya pilokarpin. Bekerja dengan
meningkatkan aliran keluar aqueous humor melalui conventional
outflow pathway
 Obat-obatan lain seperti epinefrin (meningkatkan outflow dan
menurunkan produksi aqueus humor)
 Agen hiperosmotik untuk menurunkan volume badan vitreus
seperti gliserol, isosorbid, urea, dan manitol.
2) Penatalaksanaan bedah
Pada umumnya operasi ditangguhkan selama mungkin dan baru dilakukan bila
terjadi beberapa keadaan antara lain:
 TIO tak dapat dipertahankan di bawah 22 mmHg
 Lapang pandangan yang terus mengecil
 Pada pasien yang tidak dapat dipercaya pengobatannya
 Tidak mampu membeli obat untuk seumur hidup
 Tak tersedia obat-obatan yang diperlukan
Teknik bedah yang dilakukan adalah dengan iridotomi perifer, trabekuloplasti serta
bedah untuk drainase (prosedur trabekulektomi). Jika semua usaha bedah tersebut
gagal dilakukan prosedur siklodestruktif untuk menghancurkan badan silier. Prosedur
siklodestruktif antara lain dengan krioterapi, diatermi, ultrasonik frekuensi tinggi dan
dengan termal neodynium
BAB III
KESIMPULAN

Glaukoma merupakan suatu kumpulan gejala yang mempunyai suatu


karakteristik optik neuropati yang berhubungan dengan hilangnya lapangan pandang.
Walaupun kenaikan tekanan intra okuli adalah salah satu dari faktor risiko primer, ada
atau tidaknya faktor ini tidak merubah definisi penyakit.
Pemeriksaan yang penting dalam mendiagnosis galukoma adalah
pemeriksaan peningkatan tekanan intra-orbita. Pemeriskaan yang dilakukan dengan
tonometri (tonometri digital, Schiotz, aplanasi Goldmann). Beberapa hal perlu diingat
yaitu adanya variasi diurnal yang menyebabkan fluktuasi tekanan intra orbita,
sehingga perlunya dilakukan pemeriksaan pada beberapa waktu yang berbeda dalam
sehari. Adanaya perbedaan tekanan sebesar 5 mmHg antara kedua mata harus
4
meningkatkan kecurigaan kearah galukoma. Penilaian diskus optikus juga penting
dilakukan pada pasien galukoma, yang dapat ditemukan antara lain tanda
penggaungan yang khas yaitu pinggir papil bagian temporal menipis, adanya
ekskavasi melebar dan mendalam tergaung, tampak bagian pembuluh darah di tengah
papil tak jelas, tampak pembuluh darah seolah-olah menggantung di pinggir dan
terdorong ke arah nasal , dan jika tekanan cukup tinggi akan terlihat pulsasi arteri.
Penatalaksanaan pada pasien dengan glaukoma berujuan untuk
mempertahankan fungsi visual dengan mengendalikan tekanan intraokuler dan
dengan begitu akan mencegah atau menunda kerusakan saraf optik yang lebih lanjut.
Pemberian penatalaksanaan secara dini dapat meminimalisasi terjadinya gangguan
penglihatan. Penurunan tekanan intraokular dapat mencegah terjadinya kerusakan
pada nervus optikus.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ananda, E. P. (2016). Hubungan Pengetahuan, Lama Sakit dan Tekanan


Intraokuler Terhadap Kualitas Hidup Penderita Glaukoma. Surabaya: Fakultas
Kesehatan Masyarakat UNAIR.
2. Artini, W. (2015). Tatalaksana Glaukoma Primer Sudut Tertutup Akut.
Jakarta: Departemen Medik Mata FK UI.
3. Chaidir, Q. (2016). Hubungan Tingkat Pengetahuan Penderita Glaukoma
dengan Ketaatan Menggunakan Obat. Jurnal Kedokteran Dippponegoro, 1517-
1525.
4. Crish Tanto, F. L. (2014). Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius.
5. Fetty Ismandari, H. (2011). Kebutaan pada Pasien Glaukoma Primer di
Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jurnal Kesehatan
Masyarakat Nasional, 185-196.
6. Indonesia, K. K. (2015, Maret 8-14). Situasi dan Analisis Glaukoma. Pusat
Data dan Informasi, pp. 1-7.
7. Soeroso, A. (2007). The role of IL-10 Cytokine in Increased intraocular
Pressure On Primary Open Angle Glaucoma. Jurna Oftalmologi Indonesia, 124-
136.

Anda mungkin juga menyukai