Anda di halaman 1dari 3

Nama : Annysa Sovia Nurani

NPM : 1906333396
Program : Pascasarjana Ilmu Politik
Mata Kuliah : Politik di Indonesia
Pengajar : Dr. Isbodroini Suyanto, M.A

‘Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa’ adalah buku yang disusun
oleh Guru Besar Ilmu Politik, Miriam Budiardjo sebagai suatu kumpulan literasi dari
para intelektual politik yakni Miriam Budiardjo sendiri. Soelaeman Soemardi,
Benedict R.O’G Anderson, Koentjaraningrat, Soemarsaid Moertono, dan A. Rahman
Zainuddin yang menguraikan beberapa konsep kekuasaan dengan penekanan pada
aspek-aspek tertentu. Penulis kemudian tertarik untuk mengkaji secara singkat tulisan
dari Soemarsaid Moertono berjudul ‘Budi dan Kekuasaan dalam Konteks
Kesejarahan’ yakni mengenai pandangannya terkait kekuasaan jawa dan
penekanannya pada aspek tertentu, dalam hal ini ‘Budi’.
Sebelum memulai analisis mengenai konsep kekuasaan Jawa terlebih dahulu
dimulai dari bahasan tentang kekuasaan secara umum. Berangkat dari konsep
kekuasaan Miriam Budiardjo, kekuasaan dianggap sebagai kemampuan pelaku untuk
mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku
pelaku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai
1
kekuasaan. Berbeda dengan faham kekuasaan Barat modern yang sumber
kekuasaannya berasal dari hasil interaksi manusia dalam masyarakat, kekuasaan Jawa
diyakini bersumber dari Tuhan. Faham kekuasaan Jawa tradisional mengkonsepsikan
kekuasaan dengan sifat-sifat adikodrati dan tidak membutuhkan legitimasi formal
rasional.2
Di awal tulisan, Soemarsaid Moertono menjelaskan mengenai tema inti yang
ingin dibahas mengenai hubungan yang ada antara budi dan kekuasaan. Bahwa budi
pada zaman kerajaan di Jawa tidak hanya merupakan prinsip etis belaka melainkan
juga fungsi yang nyata dalam sistem dan tata pemerintahan kerajaan. Kata ‘Budi’
berasal dari bahasa Sansekerta dan mempunyai arti “kemampuan berpikir” atau

1
Miriam Budiardjo, “Konsep Kekuasaan: Tinjauan Kepustakaan”, dalam Miriam Budiardjo (ed.), Aneka
Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan, 1984, hlm. 9
2
Isbodroini Suyanto dan Gunawan, “Faham Kekuasaan Jawa: Pandangan Elit Kraton Surakarta dan
Yogyakarta”, Antropologi Indonesia Vol.29 No.2, 2005, hlm. 208
“kecerdasan otak”.3 Tetapi di Jawa, arti budi lebih daripada itu yakni meliputi seluruh
kemampuan dari insan manusia yang bersifat moral dan mental yang mengenai sikap,
pikiran dan tindak-tanduk manusia sebagai insan yang mempunyai cipta dan rasa.
Orang Jawa sangat peka akan perasaan bahwa ia tidak hidup sendiri di dunia
yang kasat mata ini, bahwa mereka berdampingan hidupnya dengan yang tak kasat
mata. Terbuka kemungkinan tercapainya tahap-tahap dan tingkat kemampuan fisik
maupun spiritual atau kemampuan ‘Budi’ dari yang paling rendah hingga paling
tinggi. Dalam proses pengembangan pribadi ini, manusia makin mampu menyadap
kekuatan-kekuatan yang berada di alam semesta ini namun dengan syarat mutlak
bahwa kekuatan yang diperoleh itu sesuai dengan tingkat perkembangan budinya.
Kekuatan yang besar jika tidak didampingi dengan budi yang tinggi pasti tidak akan
mencapai keberlangsungan yang baik.
Raja bagi masyarakat Jawa dilihat sebagai mediator yang dapat
menghubungkan alam mikro manusia dan makro Tuhan. Legitimasi kekuasaan Raja
ditandai dengan ada tidaknya ‘wahyu’ pada diri sang penguasa. Raja merupakan
pengejewantahan kekuasaan Tuhan, maka dari itu sifatnya bersifat vertikal, langsung
dan personal. Tidak heran bahwa kekuasaan Raja Jawa disini adalah mutlak dan tidak
terbatas, sehingga kontrol kekuasaan ada pada diri raja itu sendiri, bagaimana agar
wahyu yang telah diperolehnya tidak berpindah atau hilang. Salah satu cara untuk
memperbesar kekuatan spiritual raja, penguasa harus terus melakukan komunikasi
intens dengan dunia tak kasat mata. Sebagai contoh, memberikan sesajen ke tempat-
tempat sakral atau dengan memelihara benda pusaka.
Orang yang memiliki budi luhur dapat dipastikan memiliki kewibawaan atau
diibaratkan sebagai orang yang sakti. Budi luhur atau kesatriaan dijadikan dasar bagi
terciptanya kekuatan moral yang besar atau alat pemerintahan yang tangguh. Dengan
adanya budi, maka menjadi dasar bagi para penguasa untuk dapat mengekang diri dan
menjalankan pemerintahan dengan penuh keikhlasan dan kekuasaan tanpa pamrih.
Budi seorang penguasa akan sangat menentukan tatanan masyarakat.
Berdasarkan pandangan di atas, penulis sangat setuju mengenai konsep budi
dalam sebuah kekuasaan. Kendati demikian, untuk melihat kebenaran pandangan ini,
perlu dilihat realitasnya pada masa kini. Terkadang, konsep-konsep ini tidak bisa

3
J. Gonda, “Sanskrit in Indonesia”, New Delhi : International Academy of Indian Culture, 1952, hlm. 56
dipaksakan berlaku pada konteks kesejarahan yang lain, yang kemudian melahirkan
kekecewaan akibat harapan yang tak sesuai.
Pada era sebelum reformasi, tepatnya pada masa kepemimpinan Soeharto
terdapat pemusatan kekuasaan yang didasarkan pada kultur budaya Jawa tradisional.
Pada saat itu, praktik usaha mengumpulkan kekuasaan adikodrati juga terlihat dari
cara Soeharto yang mengisi Keraton maupun Istana Presiden dengan benda-benda
atau simbol kekuasaan yang berbau mistis, yang dianggap sakti dan keramat seperti
keris, cincin dan sebagainya. Tak ayal, citranya pada saat itu adalah pemimpin dengan
kekuatan besar dan tidak dapat ditaklukkan oleh sembarang orang.
Kekuasaan pada masa orde baru, banyak dipengaruhi oleh faham kekuasaan
Jawa. Meski demikian, yang mustinya berbudi luhur justru pada praktiknya
berkebalikan. Ada penyelewengan atau penyalahgunaan konsep maupun faham
kekuasaan Jawa. Untuk keberlangsungan kekuasaan, pemerintah jadi seringkali
menghalalkan beragam cara. Hal ini tentu berseberangan dengan cita-cita terciptanya
tatanan masyarakat yang baik. Realitanya sangat sulit bagi manusia khususnya
penguasa untuk mempertahankan atau mencapai kesempurnaan Budi yang luhur.
Seperti yang diungkapkan oleh tokoh pemikir dari Barat yakni Thomas Hobbes
bahwa manusia pada dasarnya egois. Sangat sulit untuk dapat mengekang diri dan
menjalankan pemerintahan dengan penuh keikhlasan dan kekuasaan tanpa pamrih.
Maka, untuk menutup kekurangan yang ada pada pandangan Soemarsaid
Moertono, kiranya etika politik yang diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno menjadi
solusi terhadap permasalahan tersebut. Etika politik berperan sebagai aturan-aturan
yang harus dimiliki oleh para elit agar mereka tidak sewenang-wenang. Etika politik,
memang tidak dapat menawarkan suatu sistem normatif sebagai dasar negara, etika
politik tidak berada ditingkat sistem legitimasi politik tertentu dan tidak dapat
menyaingi suatu ideologi negara. Tetapi etika politik dapat membantu usaha
masyarakat untuk mengejawantahkan ideologi negara kedalam realitas politik yang
nyata, misalnya dengan merefleksikan apa inti keadilan sosial, apa dasar etis
kerakyatan, bagaimana kekuasaan harus ditangani dan sebagainya.4

4
Franz Magnis Suseno, “Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern”, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2016, hlm. 7

Anda mungkin juga menyukai