Anda di halaman 1dari 84

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut data United Nation Children’s (UNICEF) dan World

Health Organization (WHO) tahun 2016, perkembangan penyakit pada

bayi di dunia dapat dilihat dari beberapa data penyakit seperti infeksi

saluran pernapasan akut (ISPA) 25%, diare 7%, asma 5%, bronkiolitis 5%

dan pneumonia 4,5%. Dari data tersebut ISPA merupakan penyakit yang

menyebabkan kematian dan kesakitan tertinggi pada anak yaitu sebanyak

4,25 juta setiap tahunnya.

ISPA merupakan salah satu penyebab utama kematian anak di dunia

dan diperkirakan insiden ISPA dengan angka kematian pada anak diatas

40 per 1000 kelahiran hidup atau 15% - 25% pertahun pada golongan anak

usia dibawah 2 tahun (WHO, 2016). ISPA menjadi salah satu penyebab

angka kesakitan dan kematian dari penyakit infeksi yang ada di dunia

dengan angka kematian tertinggi menyerang pada anak usia 12-24 bulan,

yang dapat merusak kesehatan (Kemenkes RI, 2017).

Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari Angka Kematian

Balita (AKABA). Menurut Kementerian Kesehatan RI, Angka Kematian

Balita (AKABA) sebesar 26,29 per 1.000kelahiran hidup. Salah satu

penyebab utama kematian pada balita adalah penyakit infeksi seperti ISPA

(KemenKes RI, 2017).


Berdasarkan data Riskesdas (2018) kejadian ISPA di Indonesia

sebesar 4,4%. Angka kejadian ISPA di provinsi Sumatera Barat mencapai

4,1%. Kejadian ISPA di kota Padang pada tahun 2018 diperkirakan

mencapai 20.687 kasus (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2018).

Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Lubuk Buaya Padang

(2019) dari bulan Januari sampai bulan Maret 2019 jumlah kunjungan

anak usia 12-24 bulan yang mengalami ISPA yaitu sebanyak 63 orang. Hal

tersebut dapat memicu terjadinya kesakitan pada anak bahkan bisa

mengakibatkan kematian.

Kematian pada anak karena berbagai penyakit termasuk ISPA

disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang tidak adekuat. Kekebalan

tubuh sangat tergantung pada faktor ketahanan ibu yang ditransfer malalui

plasenta dan ASI (Palmer, 2011, dalam Febriani dan Hayati, 2014). ASI

yang mengandung kolostrum akan melindungi anak dari berbagai penyakit

seperti bakteri, virus dan jamur. Pemerintah menekankan untuk

mengurangi angka kematian anak dengan perbaikan gizi masyarakat

melalui program pemberian ASI Eksklusif (Menkokesra, 2012, dalam

Febriani dan Hayati, 2014).

Kejadian ISPA juga akan sangat berpengaruh apabila kelengkapan

imunisasi tidak lengkap. Imunisasi merupakan salah satu cara untuk

memberikan kekebalan seseorang secara aktif terhadap penyakit menular.

Imunisasi merupakan sistem imun yang spesifik. Imunisasi terdiri dari

beberapa jenis, yaitu diantarnya, imunisasi BCG, imunisasi DPT,


imunisasi polio, imunisasi campak, dan imunisasi Hb-0 (Ariko dan Soffia,

2012, dalam Desiyana, 2017).

Kejadian ISPA pada anak juga dapat disebabkan oleh beberapa

faktor lain, diantaranya adalah usia anak kurang dari 2 tahun, hal ini

disebabkan sistem pertahanan tubuh pada anak terhadap penyakit infeksi

masih dalam tahap perkembangan. Anak yang gizinya kurang atau buruk

akan lebih mudah terjangkit ISPA (Oktaviani, 2014). Durasi pemberian

ASI secara signifikan mempengaruhi terjadinya ISPA. Anak yang tidak

mendapat ASI eksklusif rata-rata mengalami ISPA pada tahun pertama

kehidupan dibandingkan dengan anak yang diberi ASI (Febriani, 2014).

Dampak ISPA pada anak jika terus menurus dibiarkan akan

mengakibatkan anak mengalami sakit tenggorokan sehingan anak akan

mengalami gangguan aktivitas, selain itu juga dapat menyebabkan

kematian. Salah satu bahaya yang paling ditakuti dari ISPA adalah

menyebabkan kematian. Penyakit ISPA memang ada beberapa yang cukup

berbahaya sehingga dapat menyebabkan kematian mendadak. Kematian

bisa terjadi karena penyakit yang sudah parah, kurangnya perawatan,

pengobatan yang tidak sesuai, dan lain-lain. ISPA sebaiknya mendapatkan

pengobatan sejak dini karena jika tidak akan mudah menjadi parah

sehingga menyebabkan kematian yang tidak diinginkan.

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2016

menunjukkan rata-rata pemberian ASI eksklusif di dunia baru berkisar

38%. Sementara data di Indonesia tahun 2018 hanya 37.3% dari anak yang

berusia 6 bulan yang mendapatkan ASI eksklusif. Angka tersebut jelas


berada di bawah target WHO yang mewajibkan cakupan pemberian ASI

eksklusif hingga 50%. Angka ini menandakan hanya sedikit anak

Indonesia yang memperoleh kecukupan nutrisi dari ASI (Riset Kesehatan

Dasar, 2018). Cakupan pemberian ASI eksklusif di Provinsi Sumatera

Barat tercatat baru sebesar 35% dan merupakan salah satu provinsi di

Indonesia dengan cakupan pemberian ASI eksklusif yang masih dibawah

target. Sedangkan di Kota Padang anak yang tercatat dalam pemberian

ASI eksklusif adalah sebanyak 74% (Dinas Kesehatan Kota Padang,

2018). Menurut data yang didapatkan dari Puskesmas Lubuk Buaya

Padang (2018) jumlah anak yang tercatat dalam pemberian ASI Eksklusif

adalah sebesar 62,5%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nuzula dan Yulia (2017),

menunjukan bahwa balita dengan riwayat pemberian ASI tidak eksklusif

mempunyai kemungkinan 7 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan

dengan balita yang memiliki riwayat pemberian ASI eksklusif. Dengan

demikian faktor riwayat pemberian ASI dengan kejadian ISPA pada balita

secara statistik menunjukkan hubungan yang signifikan.Penelitian

Agustin, Laelia dan Idaningsih (2018), hasil penelitian menunjukkan

bahwa ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian

ISPA (batuk non pnenumonia) pada balita di Wilayah Kerja UPTD

Puskesmas DTP Maja Kabupaten Majalengka Tahun 2016.Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Rahman dan Nur (2015), berdasarkan hasil analisis

bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian penyakit ISPA. Hal ini


menunjukkan Prevalensi kejadian ISPA lebih besar pada anak yang diberi

ASI tidak eksklusif dibandingkan pada anak yang diberi ASI secara

eksklusif.

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar(2018) jumlah bayi yang

mendapat imunisasi dasar lengkap pada usia 12-24 bulan yaitu sebesar

57,9%. Cakupan kelengkapan imunisasi di Provinsi Sumatera Barat

tercatat baru sebesar 39,3%, dan merupakan salah satu provinsi di

Indonesia dengan cakupan kelengkapan imunisasi yang masih rendah.

Sedangkan di Kota Padang balita yang tercatat mendapatkan imunisasi

lengkap adalah sebanyak 83% (Dinas Kesehatan Kota Padang, 2018).

Menurut data yang didapatkan dari Puskesmas Lubuk Buaya Padang

(2018) jumlah balita yang mendapatkan imunisasi lengkap adalah sebesar

66,3%, Puskesmas Lubuk Buaya merupakan Puskesmas dikota padang

yang angka pemberian status kelengkapan imunisasi terendah dikota

Padang.

Penelitian yang dilakukan Desiyana, Lubis dan Nasution (2017),

menunjukkan hasil bahwa berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

diperoleh hasil statistik dengan menggunakan uji Chi-Square sebesar

p>0,05 artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kelengkapan

imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Sawit Seberang Kabupaten Langkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Nur, Febriani dan Nugraheni (2017), didapatkan hasil bahwaterdapat

hubungan antara status imunisasi dan infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA) pada balita di Puskesmas Ngoresan Surakarta dengan hasil


penelitian didapatkan dimana balita dengan status imunisasi lengkap

mempunyai kemungkinan 0,067 kali untuk mengalami ISPA dibandingkan

dengan balita yang tidak imunisasi lengkap.

Berdasarkan hasil survei awal yang telah dilakukan peneliti pada

tanggal 11 April 2019 di Puskesmas Lubuk Buaya Padang, yang

diwawancarai 10 orang ibu, didapatkan 7 orang anak pernah mengalami

ISPA. Dari hasil wawancara yang telah dilakukan dari 7 orang anak yang

pernah mengalami ISPA didapatkan 6 orang anak tidak diberikan ASI

secara eksklusif dan dengan status imunisasi tidak lengkap dan 1 orang

anak diberikan ASI secara eksklusif dengan status imunisasi lengkap,

sedangkan 3 orang anak yang tidak pernah mengalami ISPA diberikan ASI

eksklusif dengan status imunisasi lengkap.

Maka berdasarkan fenomena diatas peneliti tertarik untuk

mengetahui Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan Kelengkapan

Imunisasidengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 12-24 Bulan di Wilayah

Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka peneliti

dapat mengambil suatu rumusan masalah yaitu “apakah ada Hubungan

Pemberian ASI Eksklusif dan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian

ISPA pada Anak Usia 12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk

Buaya Padang Tahun 2019.”.


C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan

Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Anak Usia 12-24

Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui distribusi frekuensi pemberian ASI Eksklusif pada anak

usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya

Padang

b. Diketahui distribusi frekuensi kelengkapan imunisasi pada anak

usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya

Padang

c. Diketahui hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian

ISPA pada anak usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Lubuk Buaya Padang

d. Diketahui hubungan kelengkapan imunisasi dengan Kejadian ISPA

pada anak usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk

Buaya Padang

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti selanjutnya

Penelitian ini dapat digunakan bagi peneliti selanjutnya untuk

menambah referensi dan juga untuk menambah wawasan dan

pengalaman dalam melakukan penelitian, mengolah, menganalisa, dan


menginformasikan data yag didapatkan, kemudian manfaat selanjutnya

untuk menambah pengetahuan tentang hubungan pemberian ASI

eksklusif dan kelengkapan imunisasi dengan kejadia ISPA pada anak

usia 12-24 bulan dan juga salah satu syarat dalam menyelesaikan

pendidikan SI Keperawatan STIKes MERCUBAKTIJAYA Padang.

2. Bagi PelayananKeperawatan

Masukan bagi pelayanan keperawatan dalam bahan informasi tentang

infeksi ini sehingga penularan ISPA dapat menurun.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Masukan bagi institusi pendidikan keperawatan dalam rangka

mempersiapkan lulusannya dengan mutu terbaik agar dapat

memberikan pelayanan keperawatan yang lebih profesional dalam

menjawab tingginya tututan masyarakat terhadap pelayanan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA)

1. Defenisi ISPA

ISPA merupakan suatu penyakit saluran pernapasan atas atau

bawah biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum

penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan

sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen

penyebabnya, faktor lingkungan dan faktor penjamu (WHO, 2013).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi saluran

pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru

yang berlangsung kurang lebih 14 hari, ISPA mengenai struktur

saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian

saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Hidayat,

2012).

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyakit yang

disebabkan oleh virus atau bakteri yang biasanya diawali dengan

panas disertai salah satu atau lebih gelaja, seperti tenggorakan sakit

atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau batuk berdahak (Endang,

2015, dalam Widagdo 2011).


2. Penyebab ISPA

Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan

riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus

Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan

Korinebakterium. Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma,

Herpesvirus dan lain-lain. Bakteri seperti, Respiratory Syncytial Virus,

Virus Influenza, Adenovirus, Cytomegalovirus. Jamur seperti,

Mycoplasma Pneumoces Dermatitides, Coccidioides Immitis,

Aspergillus, Candida Albicanus (Depkes RI, 2015).

Selain itu ISPA juga disebabkan oleh nutrisi yang kurang baik

pada bayi dimana pemberian ASI secara eksklusif memberikan

perlindungan terhadap berbagai penyakit terutama penyakit infeksi.

ASI sangat memberikan dampak dan manfaat untuk bayi dimana bayi

yang diberi ASI eksklusif akan sedikit beresiko terkena ISPA

(Nugroho, 2011). Bayi yang tidak diberi ASI eksklusif akan beresiko

terkena ISPA 5,33 kali lebih besar dibandingkan bayi yang mendapat

ASI eksklusif. ISPA juga disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh

yang tidak adekuat. Kekebalam tubuh bayi yang tergantung pada

faktor ketahanan ibu yang ditransfer melalui plasenta dan ASI (Elly,

2013, dalam Febriani & Hayati, 2014).

3. Tanda dan Gejala ISPA

Menurut kemenkes RI (2014), berdasarkan berat ringannya, ISPA

dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :


1) Gejala dari ISPA Ringan

Seorang anak dikatakan menderita ISPA ringan jika

ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :

a) Anak mengalami batuk

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan

suara (misal pada waktu berbicara atau menangis).

c) Pilek, yaitu mengeluarkan lender atau ingus dari hidung.

d) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 370 C

2) Gejala dari ISPA Sedang

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika ditemui

gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala

sebagai berikut :

a) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang

berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per

menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih.

b) Suhu tubuh lebih dari 390 C

c) Tenggorokan berwarna merah.

d) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak

campak.

e) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga.

f) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok (mendengkur).

g) Pernafasan berbunyi menciut-ciut.


3) Gejala dari ISPA Berat

Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai

gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang dan disertai dengan

satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut:

a) Bibir atau kulit membiru.

b) Lubang hidung kembang kempis pada saat bernafas.

c) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun.

d) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak

tampak gelisah.

e) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba.

f) Tenggorokan berwarna merah.

4. Pencegahan ISPA

a. Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik

ASI adalah makanan terbaik untuk bayi terutama pada bulan

pertama kehidupannya. Karena pada tahun pertama kehidupan

bayi memiliki daya tahan tubuh yang masih belum matang

sehingga bayi dilindungi dari infeksi oleh antibodi yang

ditransmisikan oleh ibu melalui ASI, hal ini dapat dimenyebabkan

bayi terhindar dari ISPA. ASI memiliki kandungan gizi yang ideal

untuk prtumbuhan dan perkembangan otak bayi. ASI

mengandung karbohidrat, lemak, dan protein yang dapat

mencegah bayi dari penyakit infeksi seperti ISPA Pemberian ASI

eksklusif dapat mengurangi angka kesakitan pada bayi yang


disebabkan oleh berbagai penyakit yang yang umumnya menimpa

anak-anak, seperti ISPA, serta mempercepat menyembuhan

pemulihan jika anak sakit.

b. Imunisasi

Pemberian imunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak.

Imunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh supaya tidak

mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh

virus/bakteri(Oktaviani, 2014). Pemberian imunisasi juga

merupakan cara yang efektif untuk mencegah terjadinya ISPA

dengan pemberian imunisasi campak, pemberian imunisasi

lengkap sebelum bayi berusi kurang dari 1 (satu) tahun. Bayi akan

terlindung dari beberapa penyebab yang paling utama dari infeksi

pernafasan. Dengan pemberian imunisasi lengkap dapat

mencegah kematian ISPA yang di akibatkan oleh komplikasi

penyakit campak dan pertusis (Kemenkes RI, 2013).

e. Kejadian ISPA

Berdasarkan hasil survei Demografi dan Kesehatan Indonesia

(SDKI) tahun 2012, di Indonesia ada 6 Provinsi yang masuk kategori

AKABa tertinggi yaitu Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa

Tenggara Barat, Maluku, Kalimantan Selatan, dan Maluku Utara.

Angka kematian akibat ISPA mencapai 4,25 juta setiap tahun di

dunia (Najmah, 2016). ISPA merupakan salah satu penyebab utama

kunjungan pasien di Puskesmas (40% - 60%) dan rumah sakit (15% -


30%) (Kemenkes RI, 2012). Tingkat mortalitas sangat tinggi pada

bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara

dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah (WHO, 2013).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan kasus

ISPA yang tinggi. Indonesia merupakan negara yang selalu

menempati urutan pertama penyebab kematian ISPA pada kelompok

bayi dan balita.

Menurut data Riskesdas 2013, kejadian ISPA di Indonesia sebesar

25% tidak jauh berbeda dari tahun 2007 yaitu sebesar 25,5%, dengan

karakteristik penduduk dengan ISPA tertinggi terjadi pada kelompok

umur 1 - 4 tahun 25,8% dan dengan jenis kelamin tidak berbeda antara

laki-laki dan perempuan. Berdasarkan data dinas kesehatan kota

padang (2017) ISPA merupakan penyakit pertama yang yang terjadi

pada bayi dengan kasus 87.413..

B. Konsep ASI

1. Defenisi ASI

ASI adalah sebuah suatu emulsi lemak dalam larutan protein,

laktosa dan garam-garam anorganik atau cairan tanpa tanding ciptaan

Allah untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dan melindunginya dalam

melawan kemungkinan serangan penyakit (Maryunani, 2012).

ASI merupakan makanan utama yang sempurna serta terbaik

untuk bayi karena mengandung unsu-unsur gizi yang di perlukan bayi

dalam proses pertumbuhan dan perkembangan (DepKes, 2012)


ASI merupakan makanan yang ideal bagi pertumbuhan dan

perkembangan bayi karena mengandung nutrisi yang diperlukan bayi

untuk membangun dan menyediakan energi (Kurnia, 2015, dalam

Agrina, 2018).

2. Defenisi ASI Eksklusif

ASI eksklusif adalah pemberian ASI tanpa pemberian makan

tambahan lain pada umur 0-6 bulan (Maryunani, 2012).

ASI eksklusif adalah tindakan memberikan ASI kepada bayi

hingga berusia 6 bulan tanpa makanan dan minuman lain, kecuali sirup

obat. Setelah bayi berumur 6 bulan, barulah bayi mulai diberikan

makanan pendamping ASI, sedangkan ASI dapat diberikan sampai 2

tahun atau lebih (Siregar, 2012, dalam Maryunani, 2012).

ASI eksklusif adalah hanya memberikan ASI saja tanpa

didampingi dengan pemberian makanan dan minuman lain kepada bayi

sejak lahir sampai berumur 6 bulan, kecuali obat dan vitamin (WHO,

2011)

3. Kandungan ASI

Kandungan gizi dari ASI sangat khusus dan sangat sempurna

serta sesuai dengan kebutuhan tumbuh kembang bayi. Menurut Anik

(2012), adapun kandungan dalam ASI serta memiliki komposisi yang

tepat dengan kebutuhan bayi adalah :


a. Laktosa (karbohidrat)

1) Laktosa merupakan jenis karbohidrat utama dalam ASI yang

berperan penting sebagai sumber energi.

2) Laktosa (gula susu) merupakan satu-satunya karbohidrat

utama, meningkatkan penyerapan kalsium dalam tubuh,

merangsang tumbuhnya laktobasilus bifidus.

3) Sebagai sumber penghasil energi, sebagai karbohidrat utama,

meningkatkan penyerapan kalsium dalam tubuh, merangsang

tumbuhnya laktobacilus bifidus.

4) Laktobacilus bifidus berfungsi menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dalam tubuh bayi yang dapat menyebabkan

berbagai penyakit atau gangguan kesehatan.

5) Selain itu laktosa juga akan diolah menjadi glukosa dan

galaktosa yang berperan dalam perkembangan sistem saraf.

6) Zat gizi ini membantu penyerapan kalsium dan magnesium di

masa pertumbuhan bayi.

7) Komposisi dalam ASI : laktosa – 7gr/100ml.

b. Lemak

1) Lemak merupakan zat gizi terbesar kedua di ASI dan menjadi

sumber energi utama bayi serta berperan adalam pengaturan

suhu tubuh bayi.

2) Berfungsi sebagai penghasil kalori/energi utama menurunkan

resiko penyakit jantung di usia muda.


3) Lamak di ASI mengandung komponen asma lemak esensial

yaitu asam linoleat dan asam alda linolenat yang akan di olah

oleh tubuh bayi menjadi AA dan DHA.

4) Lemak : 50% tinggi pada ASI prematur, asam lemak essensial.

5) Komposisi dalam ASI : lemak -3,7-4,8 gr/100ml.

c. Protein

1) Memilki fungsi untuk pengatur dan pembangunan tubuh bayi

2) Komponen dasar dari protein adalah asam amino, berfungsi

sebagai pembentuk struktur otak.

3) Protein dalam susu adalah whey dan casein/kasein.

4) Beberapa jenis amino tertentu, yaitu sistin, taurin, triptofan, dan

fenilalanin merupakan senyawa berperan dalam dalam proses

ingatan.

5) Sistin dan taurin merupakan dua macam asam amino yang

tidak terdapat dalam susu sapi.

6) Komposisi dalam ASI : protein - 0,8-1,0gr/ml.

d. Garam dan mineral

1) ASI mengandung mineral yang lengkap walaupun kadarnya

relatif rendah, tetapi bisa mencukupi kebutuhan bayi sampai

berumur 6 bulan.

2) Zat besi dan kalsium dalam ASI merupakan mineral yang

sangat stabil dan mudah diserap dan jumlahnya tidak

dipengaruhi oleh diet ibu.


3) Dalam PASI kandungan mineral jumlahnya tinggi, tetapi

sebagian besar tidak dapat diserap hal ini akan memperberat

kerja usus bayi serta mengganggu keseimbangan dalam usus

dan meningkatkan pertumbuhan bakteri yang merugikan

sehingga mengakibatkan kontraksi usus bayi tidak normal.

Bayi akan kambung, gelisah karena obstipasi atau gangguan

metabolisme.

e. Vitamin

1) ASI mengandung berbagai viatamin yang diperlukan bayi

2) ASI mengandung vitamin yang lengkap yang dapat mencukupi

kebutuhan bayi sampai 6 bulan kecuali vitamin K, karena bayi

baru lahir ususnya belum mampu membentuk vitamik K.

3) Vitamin A, D, dan C cukup, sedangkan golongan vitamin B,

kecuali riboflavin dan asam panthotenik adalah kurang.

4. Kandungan ASI Sebagai Zat Pelindung

Menurut Maryunani (2012) ASI memiliki kandungan sebagai zat

pelindung, yaitu sebagai berikut :

a. Faktor Bifidus

1) Faktor bifidus : fasilitas pertumbuhan lactobacillus bifidus

(melawan bakteri patogen dalam usus)

2) Zat ini penting untuk merangsang pertumbuhan bakteri

lactobacillus bifidus yang membantu melindungi usus bayi dari


peradangan atau penyakit yang ditimbulkan oleh infeksi

beberapa jenis bakteri merugikan, seperti keluarga coli.

3) Faktor bifidus, sejenis karbohidart yang mengandung nitrogen,

menunjang pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus.

b. Laktobacilus Bifidus

a. Lactobasillus bifidus berfungsi menghambat pertumbuhan

mikroorganisme dalam tubuh bayi yang dapat menyebabkan

berbagai penyakit atau gangguan kesehatan.

b. Bakteri ini menjaga keasaman flora usus bayi dan berguna

untuk menghambat pertumbuhan bakteri yang merugikan.

c. Laktoferin

1) Laktoferin adalah protein yang berikatan dengan zat besi, yang

merupakan protein multi fungsi sebagai anti bakteri dan anti

virus, membunuh bakteri baik dalam sistem pencernaan,

berperan penting dalam pembentukan sistem imunitas.

2) Laktoferin yaitu sejenis protein yang merupakan komponen zat

kekebalan yang mengikat zat besi di saluran pencernaan,

karena bayi yang baru lahir akan menyerap laktoferin dari ASI

dengan baik, disebabkan oleh lambung yang masih belum

berkembang sempurna dan karena sekresi asam lambungnya

hanya sedikit, laktoferinpun tidak terurai.

3) Loktoferin : menyerap Fe dari saluran pencernaan, berfungsi

menghambat perkembangan jamur kandida dan bakteri

stafilokokus yang merugikan kesehatan bayi.


d. Lisozim

1) Lysozim, enzim yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. Coli

dan salmonella) dan virus. Jumlah lysozim dalam ASI 3000

kali lebih banyak dari pada susu sapi.

2) Lisozim adalah enzim yang dapat memecah dinding bakteri

(bakteriosidal) dan anti-inflamatory, bekerjasama dengan

peroksida dan askorbat untuk menyerang E.coli dan sebagai

spesies salmonela.

3) Lisozim sangat bermanfaat untuk mengurangi karies dentis dan

muloklusi serta dapat memecah dinding bakteri yang

merugikan.

4) Lisozim : whey protein, baktericidal, anti inflamasi melawan

shigella dan salmonella, kadar makin tinggi setelah umur 6

bulan.

e. Immunoglobulin (antibodi)

1) Immunoglobulin A (ig.A) dalam kolostrum atau ASI kadarnya

cukup tinggi. Sekretori ig.A tidak diserap tetapi dapat

melumpuhkan bakteri patogen E.coli dan berbagai virus pada

saluran pencernaan.

2) Susu formala : hanya sedikit mengandung imunoglobulin, dan

sebagian besar merupakan jenis yang “salah” (tidak dibutuhkan

oleh bayi). Selain itu tidak mengandung sel-sel darah putih dan

sel-sel lain dalam keadaan hidup.


3) Susu yang diturunkan sIgA merupakan sumber yang signifikan

dari kekebalan pasif diperoleh untuk bayi selama minggu-

minggu sebelum endogen produksi sIgA terjadi. Bayi memiliki

keterbatasan pertahanan terhadap patogen di telan, oleh karena

itu sIgA merupakan faktor protektif penting terhadap infeksi.

4) Imunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B. Sel limfosit B

terutama produksi sekretori IgA (sIgA) yang berfungsi

melindungi IgA dari enzim penghancur protein (tripsin, pepsin)

di saluran cerna bayi dan keasaman lambung.

5. Manfaat ASI Eksklusif Selama 6 Bulan

Menururt Nugroho (2011) dan Maryunani (2012), ASI eksklusif

memiliki manfaat selama 6 bulan, yaitu sebagai berikut :

a. Untuk Bayi

1) Melindungi dari infeksi gastrointestinal,

2) Nutrisi yang sesuai untuk bayi karena mengandung :

a) Lemak, karena lemak didalam ASI lebih tinggi

dibandingkan dengan susu formula, ASI mengandung

asam lemak jenuh yang seimbang dibandingkan dengan

susu sapi yang lebih banyak mengandung asam lemak

jenuh, karena jika terdapat banyak asam lemak jenuh dan

dalam keadaan lama tidak baik untuk kesehatan jantung

dan pembuluh darah.


b) Karbohidrat, karena karbohidrat yang menjadi penyusun

utama ASI adalah laktosa yang berfungsi sebagai salah

satu sumber energi untuk otak. Manfaat lain dari laktosa

yaitu mempertinggi absorpsi kalsium dan merangsang

pertumbuhan lactobacilus bifidus.

c) Potein dalam ASI lebih banyak terdiri dari protein whey

yang lebih mudah diserap oleh usus bayi. Kualitas protein

juga lebih baik dibandingkan dengan susu formula yang

terlihat dari profil asam amino (unit yang membentuk

protein). ASI mempunyai jenis asam amino yang lebih

lengkap diandingkan susu formula.

d) Mineral yang terkadung didalam ASI adalah kalsium,

fosfor, magnesium, vitamin D, dan lemak. Mineral lain

yang terkadung didalam ASI adalah zinc yang berguna

untuk membantu proses metabolisme, dan selnium yang

sangat dibutuhkan.

e) Vitamin yang didalam ASI jenisnya bergama, tetapi

terdapat jumlah relatif sedikit. Vitamin K yang berfungsi

sebagai faktor pembekuan jumlah sekitar seperempat jika

dibandingkan dengan kadar dalam susu formula. Vitamin

yang terkandung didalam ASI adalah vitaminA dan

vitamin E, selain itu juga ada vitamin yang air yang

terdapat didalam ASI yaitu vitamin B1, B2, B6, B9, dan

vitamin C.
3) ASI memberikan perlindungan terhadap berbagai penyakit

terutama penyakit infeksi. ASI sangat memberikan dampak

dan manfaat untuk bayi dimana bayi yang diberi ASI eksklusif

akan sedikit beresiko terkena penyakit infeksi terutama

penyakit diare. Jika bayi tidak diberi ASI eksklusif akn terkena

diare 3,94 kali lebih besar dari pada bayi yang diberikan ASI

ekskluisf. Selain itu pemberian ASI secara eksklusif juga

mengurangi penyakit infeksi saluran pernafasan.

4) Mengandung zat protektif : terdapat zat protektif berupa

laktobacillus bifidus, laktoferin, lisozim, komplemenC3 dan

C4, antibodi, tidak menimbulkan alergi.

5) Pemberian ASI secara eksklusif dapat menurunkan angka

kejadian asma dan eksim.

6) Menyebabkan pertumbuhan yang baik : bayi yang mendapat

ASI akan mengalami kenaikan berat badan yang baik setelah

lahir, pertumbuhan setelah periode perinatal baik dan

mengurangi obesitas.

7) Mengurangi kejadian karies dentis : insiden karies dentis pada

bayi yang mendapat susu formula lebih tinggi di bandingkan

yang mendapat ASI.

8) Meningkatkan kecerdasan anak : memberi ASI eksklusif

selama 6 bulan akan menjamin tercapainya pengembangan

potensi kecerdasan anak secraa optimal karena ASI


mengandung nutrien khusus yang diperlukan untuk menunjang

tumbuh-kembang otak.

9) Meningkatkan kekebalan tubuh : bayi yang di beri ASI

eksklusif akan memiliki daya kekebalan tubuh yang kuat yang

terdapat pada faktor ketahanan ibu yang ditranfes melalui

plasenta dan ASI.

10) Untuk kesehatan bayi : kandungan antibodi yang terdapat pada

ASI tetap paling baik sepanjang masa. Oleh karena itu bayi

yang ASI eksklusif lebih sehat dan lebih kuat dibanding

dengan yang tidak mendapat ASI

b. Untuk Ibu

1) ASI eksklusif adalah diet alami untuk ibu

2) Mengurangi resiko anemia

3) Mencegah kanker

4) Dari segi aspek psikologis : ibu akan merasa bangga

diperlakukan oleh bayinya karena dapat menyusui

c. Untuk Keluarga

1) Aspek ekonomi : ASI tidak perlu di beli dan karena ASI bayi

jarang sakit sehingga dapat mengurangi biaya berobat.

2) Aspek psikologis : kelahiran jarang sehingga kebahagiaan

keluarga bertambah dan mendekatkan hubungan bayi dengan

keluarga
3) Aspek kemudahan : menyusui sangat praktis sehingga dapat

diberikan dimana saja dan kapan saja serta tidak merepotkan

orang lain.

d. Untuk Negara

1) Menurunkan angka kesakitan dan kematian anak. Adanya

faktor protektif dan nutrien yang sesuai dalam ASI menjamin

status gizi bayi baik serta angka kesakitan dan kematian

menurun.

2) Mengurangi subsidi untuk rumah sakit

3) Mengurangi devisa untuk membeli susu formula. ASI dapat di

anggap sebagai kekayaan nasional. Jika semua ibu menyusui,

diperkirakan akan menghemat devisa sebesar Rp. 8,6 milayar

untuk membeli susu formula.

4) Meningkatkan kualitas generasi penerus bangsa.

6. Dampak Susu Buatan

Susu buatan (formula bayi) sejatinya diatur penggunaannya

hanya untuk indikasi medis. Untuk kasus tertentu yang memang tidak

punya pilihan lain. Dengan catatan tidak untuk diberikan dalam jangka

waktu lama. Mendapatkan ASI memang selalu menjadi prioritas.

a. Susah dicerna oleh usus bayi. Dalam buku Breastfeeding And

Human Lactation dijelaskan, bahwa 300cc susu formula baru

akan habis dicerna oleh usus bayi membutuhkan waktu 2 minggu.

Jadi bisa dibayangkan bayi setiap harinya diberi 150cc, betapa


organ pencernaan bayi bekerja sangat ekstra keras. Hal senada

dikemukakan oleh seorang dokter spesialis bedah usus yang

beradadi Jepang bernama DR. Hiromi Sinya. Beliau menyatakan

bahwa begitu berbahaya susu formula yang terbuat dari susu sapi

yang merupakan makanan terburuk yang paling sulit dicerna

dibandingkan dengan makanan yang lain. Ini disebabkan kafein

yang terdapat dalam komposisi susu sapi akan mengumpal

menjadi satu, saat susu tersebut masuk kedalam lambung. Dengan

demikian lambung akan sulit untuk mencernanya dengan cepat.

b. Memicu alergi, kandungan zat lemak teroksidasi yang terdapat

dalam susu sapi dapat memicu adanya bakteri jahat yang akhirnya

menghancurkan keseimbangan bakteri flora dalam usus tubuh si

kecil. Kalau lingkungan usus terganggu maka racun-racun seperti

hidrogen sulfida, radikal bebas dan juga amonia dapat dengan

mudah diproduksi di dalam usus. Bahkan menurut beberapa

penelitian yang terpercaya juga menyebutkan bahwa pemberian

susu formula bukan hanya menyebabkan alergi saja tetapi juga

mampu memicu penyakit kanker darah dan diabetes pada anak.

c. Gangguan saluran pencernaan (muntah, diare), judarwanto, 2007

menjelaskan bahwa yang sering mendapat susu formula lebih

sering muntah/gumoh, cegukan, sering buang angin, sering rewel,

gelisah terutama malam hari, sering buang air besar (>3 kali

perhari), tidak BAB setiap hari, feses berwarna hijau, hitam,

berbau, sangat keras, cair atau berdarah, hernia umbilikalis (pusar


menonjol), inguinalis (benjolan diselangkang, daerah buah zakar,

atau pusar) karena sering ngedan sehingga tekanan dalam perut

meningkat. Gangguan tersebut biasanya merupakan reaksi bayi

pada saat saluran pencernaan beradaptasi terhadap susu formula

(Raizah, 2008).

d. Infeksi saluran pernafasan, bila gangguan saluran pernafsan

terjadi dalam jangka panjang dapat mengakibatkan daya tahan

tubuh berkurang sehingga mudah terserang infeksi terutama ISPA

(batuk, pilek, panas, tonsilitis/amandel) berulang dan kadang

setiap bulan atau lebih.

7. Perbedaan ASI dan Susu Buatan

Tabel 2.1

Perbedaan ASI dan Susu Buatan

ASI Susu Sapi Formula


Kontaminasi Tidak ada Mungkin Mungkin
Anti infeksi Ada Tidak ada Tidak ada
Faktor tambahan Ada Berlebih Tidak ada
Protein Jumlah cukup Berlebih Meniru ASI
mudah dicerna
Lemak Cukup Kurang Kurang
DHA, AA Ada Tidak ada Ditambahkan
Lipase Ada Tidak ada Tidak ada
Zat besi Mudah dicerna Sukar dicerna Sukar dicerna
Vitamin Cukup Kurang Ditambahkan
8. Keunggulan ASI dibandingkan dengan Susu Buatan

Tabel 2.2

Keunggualan ASI dibandingkan dengan susu bauatan

Keunggulan ASI ASI Susu buatan


Sumber gizi Mengandung zat gizi Tidak seluruh zat gizi
sempurna berkualitas tinggi yang yang terkandung
berguna untuk pertumbuhan didalamnya dapat
dan perkembangan diserap oleh tubuh bayi.
kecerdasan bayi,
Mudah dicerna Pembentukan enzim Sulit dicerna karena
pencernaan bayi baru tidak mengandung
sampai sempurna pada usia anzim pencernaan.
kurang dari 5 bulan. ASI Akibatnya, lebih
mudah dicerna oleh bayi banyak sisa pencernaan
karena mengandung enzim- yang dihasilkan dari
enzim yang dapat proses metabolisme
membantu proses yang membuat ginjal
pencernaan. bayi harus bekerja
keras.
Komposisi sesuai Komposisi gizi ASI sejak Komposisi zat gizinya
kebutuhan hari pertama menyusui selalu sama untuk
biasanya berubah dari hari setiap kali minum
ke hari. Misalnya kolostrum (sesuai aturan pakai).
(cairan bening berwarna
kekuningan yang biasanya
keluar pada awal kelahiran)
terbukti mempunyai kadar
lemak dan laktosa (gula
susu) yang lebih rendah
dibandingkan ASI matur
(ASI yang keluar hari ke-10
setelah melahirkan).
Selain itu komposisi ASI
pada saat mulai menyusui
berbeda dengan komposisi
pada akhir menyusui.
Cita rasa Cita rasa ASI bervariasi Bercita rasa sama dari
sesuai dengan jenis senyawa waktu ke waktu.
atau zat yang terkandung
didalam makanan dan
minuman yang dikonsumsi
ibu.
C. Konsep Imunisasi

1. Defenisi Imunisasi

Imunisasi adalah upaya pencegahan yang telah berhasil

menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi pada bayi dan

anak (Maryunani, 2010).

Imunisasi adalah pemberian imunitas (kekebalan) tubuh terhadap

suatu penyakit dengan memasukkan sesuatu kedalam tubuh agar tubuh

tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi

manusia (Maryunani, 2010).

Imunisasi adalah usuha memberikan kekebalan kepada bayi dan

anak dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat

zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu (anonim, 2008,

dalam Maryunani, 2010).

2. Tujuan Imunisasi

Menurut Maryunani (2010), tujuan dalam pemberian imunisasi,

antara lain :

a. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan

menghilangkan penyakit tertentu didunia.

b. Untuk melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang

sangat berbahaya bagi bayi dan anak.

c. Diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit terhingga dapat

menurunkan angka kematian dan kesakitan serta dapat mengurangi

kecatatan akibat penyakit tertentu.


d. Untuk menurunkan kesakitan, kematian serta bila mungkin didapat

eradikasi sesuatu penyakit dari suatu daerah atau negara.

e. Untuk mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat

membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian

pada penderitanya.

f. Untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan

menghilangkan suatu penyakit tertentu pada sekelompok

masyarakat atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari

dunia seperti pada penyakit ISPA.

3. Jenis-jenis Imunisasi

a. Imunisasi dasar

Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan

pada semua orang, terutama pada bayi dan anak-anak pada saat

lahir untuk melindungi tubuhnya dari peenyakit-penyakit

berbahaya (Maryunani, 2010).

1) Imunisasi BCG

a) Defenisi

Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit TBC, yaitu

penyakit paru-paru yang sangat menular (Maryunani, 2010).

Imunisasi BCG adalah imunisasi yang digunakan untuk

mencegah terjadinya penyakit TBC yang primer atau yang

ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan imunisasi


BCG, pencegahan imunisasi BCG untuk TBC yang berat

seperti TBC pada selaput otak, TBC millier, atau TBC

tulang (Maryunani, 2010).

b) Pemberian imunisasi

Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali

dan tidak perlu diulang. Sebab vaksin BCG berisi kuman

hidup sehingga antibodi yang dihasilkannnya tinggi terus.

Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga

memerlukan pengulangan.

c) Usia pemberian imunisasi

Sedini mungkin atau secepatnya, tetapi pada umumnya

dibawah 2 (dua) bulan. Jika diberikan setelah usia 2 bulan,

disarankan dilakukan tes mantoux (tubercolin) terlebih

dahulu untuk mengetahui bayi sudah kemasukan kuman

Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinansi

dilakukan apabila hasil tesnya negatif. Jika TB yang tinggal

serumah atau sering bertandang kerumah, segera setelah

lahir bayi diimunisasi BCG.

d) Cara pemberian imunisasi

Cara pemberian imunisasi BCG adalah melalui

intedermal dengan lokasi penyuntikan pada lengan kanan

atas atau penyuntikan pada paha.


e) Efek samping imunisasi

Umunya tidak ada, namun pada beberapa anak timbul

pembengkakan kelenjar getah bening diketiak atau leher

bagian bawah, biasanya akan sembuh sendiri.

f) Kontra indikasi imunisasi

Imunisasi BCG tidak dapat diberikan pada anak yang

berpenyakit TB atau menunjukan uji mantoux positif atau

pada anak yang mempunyai penyakit kulit yang

berat/menahun.

2) Imunisasi DPT

a) Defenisi

Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan

untuk mencegah terjadinya penyakit difter, pertusis dan

tetanus.

Imunisasi DPT merupakan imunisasi dengan

memberikan vaksin yang mengandung racun kuman difteri

yang telah dihilangkan sifat racunnya akan masih dapat

merangsang pembentukan zat anti (toxioid).

b) Pemberian imunisasi dan usia pemberian

Pemberian imunisasi 3 kali, yaitu pada usia 2 bulan, 4

bulan, dan 6 bulan. Namun bisa juga ditambahkan 2 kali

lagi, yaitu 1 kali diusia 18 bulan dan 1 kali diusia 5 tahun.

Selanjutnya diusia 12 tahun, diberikan imunisasi TT.


c) Efek samping imunisasi

Biasanya hanya gejala-gejala ringan, seperti sedikit

demam dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan,

pembengkakan, agak nyeri atau pegal-pegal pada tempat

suntikan, yang akan hilang sendiri dalam beberapa hari, atau

bila masih demam dapat diberikan obat penurun panas bayi,

atau juga bisa diberikan minuman cairan lebih banyak dan

tidak terlalu memakaikan pakaian terlalu banyak.

d) Kontra indikasi imunisasi

Imunisasi DPT tidak dapat diberikan pada anak-anak

yang mempunyai penyakit atau kelainan saraf baik berdifat

keturunan atau bukan seperti, epilepsi, menderita kelainan

saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi

otak, anak-anak yang sedang demam/sakit keras yang mudah

mendapat kejang dan mempunyai sifat alergi, seperti eksimk

dan asma.

3) Imunisasi polio

a) Defenisi

Imunisasi polio adalah imunisasi yang diberikan untuk

menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomeilitis,

yaitu penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat

mengakibatkan lumpuh kaki.


Imunisasi polio adalah imunisasi yang digunakan untuk

mencegah terjadinya penyakit poliomielitis yang dapat

menyebabkan kelumpuhan pada anak.

b) Pemberian imunisasi

Bisa lebih dari jadwal yang ditetapkan, mengingat

adanya imunisasi polio masaal atau Pakan Imunisasi

Nasional. Tetapi jumlah dosis yang berlebihan tidak akan

berdampak buruk, karena tidak ada istilah overdosis dalam

imunisasi.

c) Usia pemberian imunisasi

Waktu pemberian polio adalah pada umur bayi 0-11

bulan atau saat lahir (0 bulan), dan berikutnya pada usia bayi

2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Kecuali saat lahir, pemberian

vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT.

d) Efek samping imunisasi

Hampir tidak ada efek samping. Hanya sebagian kecil

yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot.

e) Kontra - indikasi imunisasi

Sebaiknya pada saat anak dengan diare berat atau

sedang sakit parah, seperti demam tinggi ditangguhkan. Pada

yang menderita penyakit gangguan kekebalan tidak

diberikan imunisasi polio. Demikian juga dengan anak

HIV/AIDS, penyakit kanker atau keganasan, sedang


menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum,

tidak diberikan imunisasi polio

4) Imunisasi campak

a) Defenisi

Imunisasi campak adalah imunisasi yang digunakan

untuk mencegah terjadinya penyakit campak pada anak

karena penyakit ini sangat menular.

Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan

untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit

campak.

b) Usia pemberian imunisasi

Imunisasi campak diberikan 1 kali pada usia 9 bulan,

dan dianjurkan pemberiannya sesuai jadwal. Selain karena

antibodi dari ibu sudah menurun diusia bayi 9 bulan,

penyakit campak pada umumnya menyerang anak usia

balita. Jika sampai usia 12 bulan anak belum mendapatkan

imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan ini anak harus

diimunisasi MMR.

c) Efek samping imunisasi

Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Bisa

saja terjadi demam ringan dan terdapat efek

kemerahan/bercak merah pada pipi dibawah telinga pada

hari ke-7 - 8 setelah penyuntikan.

d) Kontra - indikasi imunisasi


Dengan penyakit infeksi akut yang disertai demam,

dengan penyakit gangguan kekebalan, dengan penyakit TBC

tanpa pengobatan, dengan kekurangan gizi berat, dengan

penyakit keganasan, dengan kerentanan tinggi terhadap

protein telur.

5) Imunisasi hepatitis B

a) Defenisi

Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan

untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit

hepatitis B, yaitu penyakit infeksi yang dapat merusak hati.

Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang digunakan

untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis, yang

kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair.

b) Usia pemberian imunisasi

Sebaiknya diberikan 12 jam setelah lahir, dengan syarat

kondisi bayi dalam dalam keadaan stabil, tidak ada

gangguan pada paru-paru dan jantung. Kemudian

dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan.

Khusus bayi yang lahir ibu pengidap hepatitis B, selain

imunisasi yang diberikan kurang dari 12 jam setelah lahir,

juga diberikan imunisasi tambahan dengan imunoglobulin

anti hepatitis B dalam waktu sebelum usia 24 jam.


c) Efek samping imunisasi

Umumnya tidak terjadi. Jikapun terjadi beberapa

keluhan pada tempat suntikan, yang disusul demam ringan

dan pembengkakan. Namun reaksi tersebut akan hilang

dalam waktu 2 hari.

d) Kontra - indikasi

Tidak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit

berat.

b. Imunisasi Booster

Imunisasi booster adalah imunisasi ulangan (revaksinasi) dari

imunisasi dasar yang diberikan pada waktu-waktu tertentu dan juga

diberikan bila terdapat suatu wabah yang terjangkit atau bila

terdapat kontak dengan penyakit bersangkutan. Imunisasi ulangan

dapat meninggikan secara cepat kadar zat-zat anti dalam tubuh.

c. Imunisasi yang tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan

1) Imunisasi MMR (Measles, Mumps, Dan Rubela)

Imunisasi MMR adalah imunisasi yang diberikan untuk

mencegah terjadinya penyakit campak, parotis epidermika,

mapak jerman (Rubela).

2) Imunisasi Typoid

Imunisasi typoid adalah imunisasi yang diberikan untuk

mencegah terjadinya penyakit typoid atau tifus abdominalis.


3) Imunisasi HiB (Haemophilus Influenzae tipe B)

Imunisasi HiB adalah imunisasi yang diberikan untuk

mencegah terjadinya penyakit influenza tipe B, penyakit radang

selaput otak atau maningitis.

4) Imunisasi hepatitis A

Imunisasi hepatitis A adalah imunisasi yang diberikan

untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis A.

5) Imunisasi varisela (cacar air)

Imunisasi varicella adalah imunisasi yang diberikan untuk

mencegah terjadinya penyakit varisela (cacar air).

D. Peran ASI Eksklusif Terhadap ISPA

Di dalam ASI terdapat zat-zat yang disebut antibodi, yang memberi

kekebalan pada bayi sehingga dapat melindungi bayi dari serangan

penyakit. Apabila dibandingkan dengan bayi yang tidak diberikan ASI

eksklusif, bayi yang diberi ASI eksklusif jarang mengalami infeksi saluran

pernafasan bagian atas. Rendahnya pemberian ASI eksklusif dan tingginya

kejadian ISPA pada bayi ini tentunya menjadi masalah yang perlu menjadi

perhatian. Kejadian ISPA pada bayi usia 12-24 bulan adalah suatu keadaan

dimana bayi usia 12-24 bulan pernah mengalami ISPA yang ditandai

dengan mengalami gejala utama berupa batuk, pilek, panas, sakit

tenggorokkan dan atau pernah didiagnosa mengalami ISPA oleh dokter

(Maryunani, 2012).
Pemberian ASI secara eksklusif signifinakan mempengaruhi

terjadinya ISPA dan anak yang diberi susu formula mempunyai resiko

terkena ISPA 2,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang diberi

ASI eksklusif, selain itu anak yang tidak diberi ASI eksklusif lebih banyak

terkena ISPA dibandingkan dengan anak yang diberi ASI eksklusif

(Rahman dan Nur, 2015).

Pemberian ASI secara eksklusif dapat mengurangi angka kematian

pada bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-

anak, seperti ISPA dan radang paru-paru, serta mempercepat pemulihan

bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran. Bayi usia dini sangat

rentan terhadap bakteri penyebab ISPA, terutama lingkungan yang kurang

higienis.

E. Pengaruh Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA

Dari hasil penelitian kelengkapan imunisasi berhubungan dengan

peningkatan penderita ISPA walaupun tidak bermakna. Hal tersebut sesuai

dengan penelitian yang mendapatkan bahwa imunisasi yang lengkap dapat

memberikan peranan yang cukup bearti dalam mencegah kejadian ISPA

Bayi dan balita yang pernah terseranng campak akan mendapatkan

kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak.

sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang

dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis,

campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam

upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan


mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang

mempunyai status imunisasi lengkap apabila menderita ISPA dapat

diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat.

Cara yang paling efektif saat ini untuk mencegah kematian balita

terhadap kejadian ISPA adalah dengan pemberian imunisasi campak dan

pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11%

kematian pneumonia balita dapat dicegah dengan imunisasi pertusis (DPT)

6% kematian pneumonia dapat dicegah

F. Faktor lain yang Mempengaruhi Kejadian ISPA

1. Umur

ISPA dapat menyerang semua manusia baik pria maupun wanita

pada semua tingkat usia, terutama pada usia kurang dari 2 tahun

karena daya tahan tubuh anak lebih rendah dari orang dewasa

sehingga menyebabkan mudah menderita ISPA. Umur terkait dengan

sistem kekebalan tubuhnya. anak merupakan kelompok yang

kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap

berbagai penyakit infeksi.

Sejumlah studi yang besar menunjukan bahwa insiden penyakit

pernapasan oleh virus melunjak pada bayi dan usia dini dan insiden

tertinggi terjadi pada usia 6-12 bulan (Oktaviani, 2014).

2. Status Gizi

Masukan zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan

perkembangan anak dipengaruhi oleh umur, keadaan fisik, kondisi


kesehatan, kesehatan fisiologis pencernaan, tersedianya makanan dan

aktivitas dari anak itu sendiri. Keadaan gizi yang buruk muncul

sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Pada

keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan

serangan yang lebih lama (Oktaviani, 2014).

3. Kelengkapan Imunisasi

Terdapat dua jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi

pasif. Pemberian imunisasi pada anak biasanya akan dilakukan dengan

cara pemberian imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan memberi

kekebalan yang lebih lama. Imunisasi pasif hanya diberikan pada anak

dalam keadaan yang sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh anak

belum mempunyai kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit

yang ganas.

Hasil penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan status

imunisasi yang menunjukkan bahwa ada kaitan antara penderita ISPA

yang mendapatkan imunisasi tidak lengkap dan lengkap, dengan hasil

yang bermakna secara statistis.

4. Usia Pemberian MP-ASI Pada Bayi

Menurut peneliti, usia yang tepat saat mulai memberikan MP-ASI

akan sangat mempengaruhi kesehatan anak. Bila MP-ASI diberikan

ketika usia bayi dibawah 6 bulan, maka akan mempengaruhi anak

terhadap kejadian ISPA. Selain itu, MP-ASI juga harus diberikan pada

anak yang berusia diatas 6 bulan dikarenakan oleh ketika usia 6 bulan
kebutuhan nutrisi anak sudah tidak bisa dipenuhi hanya oleh ASI

(Asmaini, 2013).
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teori

Pada tahun pertama, seorang anak mengalami perkembangan yang

cukup pesat. Pada periode pertama setelah kelahiran merupakan masa

yang sangat penting karena terdapat periode kritis pertumbuhan otak.

Masa ini disebut juga windows of opportunity, yang berdampak buruk jika

tidak diperhatikan dan berdampak baik jika pada masa tersebut

dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pada masa ini anak harus mendapat

gizi yang optimal agar kelak mencapai tahap perkembangan yang optimal.

Oleh karena itu pada semua anak dianjurkan untuk mendapat ASI secara

eksklusif.

ASI mengandung zat-zat penting yang dibutuhkan oleh anak

diantaranya protein, karbohidrat, dan lemak yang terkumpul dikelenjar

alveolar payudara. Kelebihan komposisi ASI jika dibandingkan dengan

susu formula lainnya adalah pertama, protein dalam ASI lebih mudah

dicerna dari pada protein yang tersedia dalam susu formula. Selain itu,

Laktosa adalah karbohidrat utama. Karbohidrat dalam ASI mengandung

sekitar 42% kalori. Lemak dalam ASI mengandung sekitar 52% kalori.

ASI juga mengandung vitamin dan mineral yang ditransfer dari plasma

maternal, ASI mengandung antibodi dari sistem maternal yang dapat

mengurangi bahaya infeksi pada anak (Pratama & Budiati, 2013).


Pemberian ASI secara eksklusif dapat meningkatkan perkembangan

pada bayi karena semua unsur nutrisi yang dibutuhkan anak untuk

mencapai tahap perkembangan tersebut, dapatdipenuhi oleh ASI. Selain

mempunyai nilai gizi yang sempurna, ASI juga mengandung zat kekebalan

yang sangat diperlukan untuk melindungi anak dari berbagai penyakit.

Dibandingkan dengan anak yang diberi ASI eksklusif anak yang tidak

diberi ASI secara eksklusif akan lebih mudah terkena penyakit disebabkan

karena ASI non eksklusif yang dikonsumsi oleh anak tidak memenuhi

kandungan gizi yang dibutuhkan.

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan kepada anak

dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti

untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud

vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti

yang dimasukan kedalam tubuh melalui suntikan seperti vaksin hepatitis

B, BCG, DPT, campak dan melalui mulut seperti vaksin polio (Hidayat,

2012).

Faktor lain yang menyebabkan ISPA yaitu diantaranya adalah Umur

anak yang kurang dari 2 tahun akan rentan terkena ISPA. Status gizi yang

buruk atau kurang menyebabkan menjadi pemicu terjadinya ISPA.

Kelengkapan Imunisasi baik imunisasi yang kurang, tidak lengkap atau

tidak mendapat imunisasi berhubungan langsung dengan peningkatan

terjadinya ISPA. Usia pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6

bulan. Usia pemberian MP-ASI pada anak, pada anak yang kurang dari 6
(enam) bulan yang telah diberikan MP-ASI akan memudahkan anak

terkena penyakit infeksi seperti ISPA.


Anak usia12-24 bulan

Pemberian ASI eksklusif Kelengakapan imunisasi


yang diberikan pada anak

Peningkatan sistem
imunitas Kekebalan tubuh yang sangat
kuat

Mengurangi resiko infeksi

Terhindar terhadap penularan


infeksi ke anak
Terhindar dari penyakit ISPA dan
diare serta penyakit lainnya

Faktor yang dapat

Penyakit infeksi yang disebabkan menyebabkan ISPA

oleh agen infeksi (bakteri, virus) --------------


1) Umur
2) Pemberian ASI
Penyakit-penyakit pada
eksklusif
anak :
3) Status gizi
 ISPA 4) Kelengkapan Imunisasi

 Diare 5) Mencuci tangan

 Asma 6) Usia pemberian MPASI

 Bronkiolitis
 Pneumonia

Skema 3.1 Kerangka Teori

Sumber : Asmaini, 2013. Kemenkes RI, 2013. Hidayat, 2012.

Maryunani, 2010. Oktaviani, 2014..


B. Kerangka Konsep

Kerangka konsep terdiri dari variabel serta hubungan variabel yang

satu dengan yang lain (Notoatmodjo, 2012). Dengan demikian, maka

kerangka konsep penelitian ini meliputi variabel independen yaitu ASI

eksklusif dan kelengkapan imunisasi dan variabel dependen yaitu

kejadian ISPA.

Variabel Independen Variabel Dependen

ASI eksklusif

Kejadian ISPA

Kelengakapan
imunisasi

Skema 3.2 Kerangka Konsep

Hipotesa Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, landasan teoritis dan kerangka

konsep yang dikemukakan maka, hipotesa yang akan di uji adalah :

Ha1 : Ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada

anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja puskesmas lubuk buaya

padang.

Ha2 : Ada hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada

anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja puskesmas lubuk buaya

padang.
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan adalah metode case control study

atau kasus kontrol. Metode case control study adalah penelitian analitik

yang menyangkut variabel bebas (ASI eksklusif dan kelengkapan

imunisasi) dipelajari dengan menggunakan pendekatan study retrospektif.

Dengan kata lain, efek (penyakit) diidentifikasi saat ini yaitu kejadian

ISPA pada anak, kemudian faktor resiko diidentifikasikan ada atau

terjadinya pada waktu yang lampau yaitu pemberian ASI eksklusif dan

kelengkapan imunisasi (Notoatmodjo, 2012).


Populasi
ASI eksklusif
ASI eksklusif
Tidak eksklusif Kasus
Retrospekktif
Anak ISPA
Lengkap
Kelengkapan
imunisasi
Tidak lengkap
Sampel

ASI eksklusif
ASI eksklusif
Tidak eksklusif
Retropsektif Kontrol

Lengkap Tidak ISPA


Kelengkapan
imunisasi
Tidak lengkap
B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya

Padang yang dimulai pada tanggal 10 Mei 2019 sampai tanggal 24 Mei

2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah sekelompok individu atau objek yang memiliki

karakteristik yang sama, yang mungkin untuk diselidiki/diamati

(Notoatmodjo, 2012). Populasi pada penelitian ini yaitu :

a) Populasi kasus anak usia 12-24 bulan yang mengalami

ISPA

b) Populasi kontrol anak usia 12-24 bulan yang tidak

mengalami ISPA

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoatmodjo, 2012). Jumlah sampel untuk kasus ditentukan

menggunakan rumus sampel kasus kontrol dengan alokasi

(pembagian) kasus kontrol 1:1 (equal size) dengan rumus sebagai

berikut:

n1 = n2 = (Z √2 𝑃𝑄 + Z√𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2 )2

(P1 – P2)2
Keterangan :

n1 = n2 = Besar sampel pada kelompok kasus dan kelompok

kontrol

Z = Nilai Z pada derajat kemaknaan 95% = 1,96

Z = Nilai Z pada derajat kemaknaan 80% = 0,842

P1 = Proporsi standar

Q1 = 1 – P1

P2 = proporsi yang diteliti

Q2 = 1 – P2

n1 = n2 = (Z √2 𝑃𝑄 + Z√𝑃1𝑄1 + 𝑃2𝑄2 )2

(P1 – P2)2

= (1,96 √0,29 + 0,842 √0,28 )2

(0,24)2

= 2,2531

0,0576

= 39

Berdasarkan rumus diatas hasil sampel minimal berjumlah 39

kasus. Jadi sampel kasus dalam penelitian ini adalah berjumlah 39

orang anak yang pernah mengalami ISPA. Sampel kontrol diambil

dengan perbandingan 1 : 1 (kelompok kasus 39 : kelompok kontrol 39

sehingga sampel keseluruhan berjumlah 78 orang.


3. Kriterian sampel

a. Kriteria inklusi

1) Ibu bersedia anaknya yang menjadi sampel atau responden

penelitian yang dibuktikan dengan tanda persetujuan

2) Ibu yang mempunyai buku KIA

3) Dapat berkomunikasi baik dengan ibu

4) Ada pada saat penelitian

b. Kriteria eksklusi

Adalah keadaan dimana subjek tidak memenuhi kriteria inklusi

atau tidak bersedia ikut serta dalam penelitian (Supardi, 2013).

1) Anak yang berusia 12-24 bulan dengan kondisi/penyakit kronik

2) Tidak ada dirumah dalam 2x kunjungan

4. Teknik pengambilan sampel

Sampel kasus diambil dengan menggunakan teknik acak

sederhana (simple random sampling) dengan cara mengundi anggota

populasi atau biasa disebut dengan lotre technique dengan membuat

nama dan alamat anak yang pernah berkunjung ke Puskesmas Lubuk

Buaya Padang dan mengalami ISPA dari bulan Januari sampai bulan

Maret 2019, yaitu sebanyak 63 orang. Pada sebuah kertas kecil dibuat

sebanyak 63 gulungan lalu mengambil gulungan kertas tersebut

sebanyak 39 buah, nama yang tertera pada gulungan kertas yang telah

diambil tersebut itulah yang dijadikan sampel dalam penelitian.

Setelah dilakukan lotre technique didapatkan 39 anak usia 12-24 bulan


diwilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang dan akan ditemui

untuk dijadikan responden penelitian. Sedangkan sampel pada

kelompok kontrol (tidak ISPA) diambil dengan metode pencocokan

(matching) terhadap umur anak. Pencocokan terhadap umur pada

kelompok kontrol didapatkan dari hasil umur anak dari kelompok

kasus. Pada kelompok kasus yang dijadikan responden didapatkan

anak usia 12 bulan 3 orang, usia 13 bulan 2 orang, usia 14 bulan 1

orang, 15 bulan 4 orang, usia 16 bulan 1 orang, usia 17 bulan1 orang,

usia 18 bulan 4 orang, usia 19 bulan 6 orang, usia 20 bulan 5 orang,

usia 21 bulan 5 orang, usia 22 bulan 3 orang, usia 23 bulan 3 orang,

dan usia 24 bulan 1 orang. Maka pada kelompok kontrol yang

dijadikan responden juga didapatkan anak usia 12 bulan 3 orang, usia

13 bulan 2 orang, usia 14 bulan 1 orang, 15 bulan 4 orang, usia 16

bulan 1 orang, usia 17 bulan1 orang, usia 18 bulan 4 orang, usia 19

bulan 6 orang, usia 20 bulan 5 orang, usia 21 bulan 5 orang, usia 22

bulan 3 orang, usia 23 bulan 3 orang, dan usia 24 bulan 1 orang. 78

orang anak yang dijadikan sampel tersebut harus sudah sesuai dengan

kriteria yang dijadikan responden.


D. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional

1. Variabel

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian ASI

eksklusif dan kelengkapan imunisasi, sedangkan variabel dependen

dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA di Wilayah Kerja

Puskesmas Lubuk Buaya Padang.

2. Definisi operasional

Tabel 4.1
Defenisi operasional
Variabel Defenisi Pengukuran Skala
penelitian operasional ukur
Alat ukur Cara ukur Hasil ukur
ASI Pemberian ASI Kuisioner Wawancara 0 = Tidak ASI Ordinal
eksklusif saja tanpa terpimpin eksklusif
dicampur dengan 1 = ASI
makanan atau eksklusif
minuman apapun
sampai anak
berumur 6 bulan
Kelengkap Tercukupinya Lembar Melihat 0 = tidak lengkap Ordinal
an pemberian observasi buku KIA 1 = Lengkap
imunisasi imunisasi pada
anak berupa :
a. BCG 1 kali
b. DPT 3 kali
c. Polio 4 kali
d. Campak 1 kali
e. Hepatitis B 3
kali
ISPA Anak yang Kuisioner Wawancara 0 = ISPA Ordinal
mengalami 1 = tidak ISPA
infeksi saluran
pernafasan yang
berlangsung
kurang lebih 14
hari, yang
terdapat satu atau
lebih gejala
seperti : panas
tenggorokan,
sakit atau nyeri
telan, batuk
kering, batuk
berdahak, serak,
demam, pilek.
yang pernah
terjadi dalam
kurun waktu ±3
bulan terakhir.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah

berupa kuisioner dari Damanik (2014) yang telah teruji validitas dan

reabilitas pada kuisioner tersebut, dengan jumlah pertanyaan tertulis yang

digunakan untuk memperoleh suatu informasi dari responden dan juga

menggunakan lembar observasi untuk melihat status kelengkapan

imunisasi terhadap anak di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang.

1. Kuisioner A

Kuisioner A berisi tentang data karakteristik responden yang terdiri dari

nomor responden, nama (inisial) ibu, pendidikan ibu, pendapatan

keluarga, nama (inisial) anak, umur anak, dan jenis kelamin anak.

2. Kuisioner B

Kuisoner B berisi untuk mengukur pemberian ASI eksklusif yang

terdiri dari 4 pertanyaan dan diberi nilai 1 jika diberi ASI eksklusif dan

nilai 0 jika tidak diberi ASI eksklusif.

3. Kuisioner C

Kuisioner C untuk mengukur kejadian ISPA pada anak usia 12-24

bulan, yang terdiri dari 3 pertanyaan, masing-masing pertanyaan diberi


nilai untuk jawaban nilai 0 untuk ISPA dan 1 untuk jawaban tidak

ISPA.

F. Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang

sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan

berhubungan langsung dengan manusia (Nursalam, 2012). Masalah etika

dalam penelitian yang harus diperhatikan adalah :

1. Lembar persetujuan

Memperlihatkan dan menjelaskan maksud dan tujuan dari lembar

persetujuan kepada ibu untuk bersedia anaknya dijadikan sebagai

responden. Jika ibu sudah mengerti dan sudah bersedia maka

responden ibu harus menandatangani surat yang telah disediakan oleh

peneliti.

2. Tanpa nama (Anominity)

Ibu telah bersedia anaknya dijadikan sebagai responden dan

mengisi lembar persetujuan selanjutnya ibu mengisi data responden ibu

tersebut boleh mengisi nama lengkapnya dan juga bisa mencantumkan

inisial.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Peneliti menjelaskan kepada ibu bahwa diberikan jaminan

kerahasiaan atas hasil penelitian yang dilakukan, baik berupa informasi

maupun masalah-masalah lainnya, semua informasi yang sudah

terkumpul dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok


tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset seperti institusi

pendidikan, tempat penelitian, dan peneliti lain.

4. Justice (keadilan)

Peneliti memberikan keadilan dan perlakuan yang sama secar adil

sebelum, selama, dan sesudah ikut serta dalam penelitian pada setiap

responden dan tidak membeda-bedakan responden. Memberikan

informasi yang dibutuhkan responden tanpa mengurangi bahwakan

menambah informasi yang diperlukan pada satu responden dengan

responden lainnya.

G. Jenis Data Dan Teknik Pengumpulan Data

1. Jenis data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

data primer dan data sekunder. Data sekunder yang diperoleh oleh

peneliti yaitu sebanyak 63 orang anak yang berkunjung ke Puskesmas

Lubuk Buaya padang yang mengalami ISPA , sedangkan data primer

yang didapatkan oleh peneliti secara berkunjung kerumah (door to

door) mengenai kasus ISPA yang dikumpulkan dengan menggunkan

kuisioner dan didapatkan sebanyak 39 orang anak pada kelompok

kasus dan 39 orang anak pada kelompok kontrol

Pengumpulan data dilakukan di wilayah kerja puskesmas Lubuk

Buaya padang yang telah mendapat persetujuan dari kampus STIKes

MERCUBAKTIJAYA PADANG, Dinas Kesehatan Kota Padang dan

dari pihak Puskesmas Lubuk Buaya Padang. Sebelum data


dikumpulkan diberikan penjelasan terlebih dahulu kepada responden

tentang tujuan penelitian kemudian diberikan Informed Consent

sebagai persetujan keterlibatan dan perlindungan terhadap kerahasian

responden untuk ikut dalam proses penelitian yang akan dilakukan.

Setelah dilakukan penelitian selama 2 minggu maka didapatkan

sampel sebanyak 78 responden, yaitu 39 responden pada kelompok

kasus dan 39 responden pada kelompok kontrol. Dimana setiap hari

dilakukan penelitian ke rumah untuk mendapatkan data.

2. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data untuk menilai pemberian ASI eksklusif

dilakukan dengan menggunakan kuisioner dengan teknik wawancara

terpimpin. Pengumpulan data untuk kelengkapan imunisasi

menggunakan lembar observasi dengan melihat buku KIA.

Pengumpulan data untuk menilai kejadian ISPA dengan menggunakan

kuisioner dengan teknik wawancara.

a. Persiapan

1) Tanggal 28 Desember 2018, peneliti meminta surat izin dari

administrasi akademik STIKes MERCUBAKTIJAYA

PADANG bahwasanya akan dilakukan penelitian di Puskesmas

Lubuk Buaya Padang

2) Tanggal 2 Januari 2019, peneliti mendapat surat izin dari

administrasi akademik STIKes MERCUBAKTIJAYA


PADANG kemudian peneliti melanjutkan surat tersebut ke

Dinas Kesehatan Kota Padang.

3) Tanggal 9 Januari 2019, peneliti mendapat surat izin dari Dinas

Kesehatan Kota Padang, kemudian peneliti mengajukan surat

tersebut ke Puskesmas Lubuk Buaya Padang.

4) Tanggal 11 Januari 2019, peneliti mendapat izin dari kepala

Puskesmas Lubuk Buaya Padang.

5) Tanggal 11-2 Januari 2019, peneliti melihat data masing-

masing kejadian ISPA di Puskesmas Lubuk Buaya Padang

serta melakukan survey awal di Puskesmas Lubuk Buaya

Padang.

b. Pelaksanaan

1) Penelitian hari pertama dilakukan mulai tanggal 10 Mei 2019

yang dimulai pada jam 13.30 WIB – 17.00 WIB, awalnya

penelitian melapor kembali kepihak Puskesmas bahwa akan

dilakukan penelitian mulai hari itu, setelah mendapatkan izin

peneliti pergi mencari alamat yang telah didapatkkan dari

Puskesmas, setelah menemukan alamat peneliti menemui ibu

dari anak yang akan dijadikan responden. Setelah bertemu

peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan masksud dan tujuan

kedatangan peneliti, bahwa akan melakukan penelitian, setelah

saling berkenalan penelitian menanyakan umur anak dan

apakah ibu memiliki buku KIA, setelah itu peneliti

menjelaskan informed concent dan lembar persetujuan menjadi


responden, setelah ibu bersedia ibu melanjutkan untuk mengisi

data, selanjutnya mengisi kusioner yang telah disediakan oleh

peneliti sambil peneliti melakukan wawancara terpimpin.

Setelah ibu selesai mengisi kuisioner peneliti melanjutkan

untuk mengisi lembar observasi untuk menilai kelengkapan

imunisasi sambil melihat buku KIA. Setelah selesai peniliti

mengucapkan terima kasih kepada ibu karena telah bersedia

anaknya menjadi responden dan mengisi kuisioner penelitian.

Selanjutnya peneliti melanjutkan untuk mencari responden

selanjutnya. Setelah selesai mendapatkan responden peneliti

mengakhiri penelitian pada hari itu dan didapatkan data

responden berupa kuisioner sebanyak 3 responden.

2) Hari ke-2 dilakukan tanggal 11 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 13.00 WIB, sebelum memulai untuk

melakukan penelitian peneliti terlebih dahulu mencara alamat

responden untuk mendapatkan data kuisioner, setelah

didapatkan alamatnya peneliti menjelaskan maksud dan tujuan

dilakukan penelitian, meminta ibu dari responden untuk

mengisi kuisioner dan peneliti melakukan observasi dengan

melihat buku KIA. Kemudian peneliti melanjutkan untuk

mencari alamat berikutnya sampai penelitian pada hari itu

selesai. Sehingga didapatkan data responden berupa kuisioner

sebanyak 5 responden .
3) Hari ke-3 dilakukan tanggal 12 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 13.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 7 responden

4) Hari ke-4 dilakukan tanggal 13 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 09.00 WIB – 14.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 5 responden

5) Hari ke-5 dilakukan tanggal 14 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 15.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 9 responden

6) Hari ke-6 dilakukan tanggal 15 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 10.00 WIB – 13.00, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga WIB didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 4 responden

7) Hari ke-7 dilakukan tanggal 16 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 12.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 6 responden

8) Hari ke-8 dilakukan tanggal 17 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 09.00 WIB – 13.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 5 responden


9) Hari ke-9 dilakukan tanggal 18 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 14.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 5 responden

10) Hari ke-10 dilakukan tanggal 19 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 16.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 7 responden

11) Hari ke-11 dilakukan tanggal 20 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 10.00 WIB – 15.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 4 responden

12) Hari ke-12 dilakukan tanggal 21 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 17.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 6 responden

13) Hari ke-13 dilakukan tanggal 22 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 08.00 WIB – 15.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 5 responden

14) Hari ke-14 dilakukan tanggal 23 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 10.00 WIB – 14.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 4 responden


15) Hari ke-15 dilakukan tanggal 24 Mei 2019 yang dimulai pada

jam 10.00 WIB – 16.00 WIB, sama dengan proses penelitian

sebelumnya sehingga didapatkan data responden berupa

kuisioner sebanyak 3 responden

H. Teknik pengolahan data

Menurut Notoadmojo, 2012 setelah data terkumpul, maka langkah

yang dilakukan berikutnya adalah pengolahan data. Sebelum

melaksanakan analisa data beberapa tahapan harus dilakukan terlebih

dahulu guna mendapatkan data yang valid sehingga saat menganalisa data

tidak mendapat kendala. Langkah-langkah pengolahan data yaitu :

1. Editing (pemeriksaan data)

Dalam penelitian yang telah dilakukan, semua data sudah terisi dengan

jelas dan lengkap.

2. Coding (pengkodean data)

Memberikan kode dalam data yang sudah di periksa. Variabel kejadian

ISPA pada anak “ISPA = 0, tidak ISPA = 1”. Variabel pemberian ASI

eksklusif pada anak “tidak ASI eksklusif = 0, ASI eksklusif = 1”.

Variabel kelengkapan imunisasi pada anak “tidak lengkap = 0, lengkap

= 1”.

3. Entry (memasukkan data)

Memasukkan data dari hasil penelitian yang sudah diberi kode sesuai

dengan kategorinya masing-masing ke dalam master tabel.


4. Cleaning (membersihkan data)

Pengecekan kembali data yang telah terkumpul untuk memastikan

bahwa tidak terdapat kesalahan pada saat entry data, sehingga data

benar-benar siap untuk di analisis.

5. Tabulating (memasukkan data)

Setelah data diolah secara manual kemudian hasil tabulating disajikan

dalam bentuk tabel didtribusi frekuensi.

I. Analisa Data

Data yang telah diperoleh kemudian akan diedit dan dianalisa secara

manual dengan menggunakan rumus. Adapun analisa yang dilakukan

adalah dengan cara :

1. Analisa univariat

Analisa univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi variabel

pemberian ASI eksklusif dan kelengkapan imunisasi.

Data dalam bentuk tabel dianalisa dengan teknik persentase dengan

menggunakan rumus :

𝑓
p= x 100%
𝑛

Keterangan :

p = persentasi data yang dicari

f = jumlah frekuensi responden yang masuk kategori

n = jumlah seluruh item (sampel)


2. Analisa bivariat

Analisa bivariat untuk menilai adanya hubungan pemberian ASI

eksklusif dengan kejadian ISPA dan juga untuk menilai hubungan

kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA. Analisa data dilakukan

secara manual dengan menggunakan uji Chi Square.

Analisa bivariat digunakan untuk menguji hipotesis yang dinyatakan

sebagai berikut :

H0 diterima : jika X2 hitung < X2 tabel, maka tidak terdapat hubungan

yang bermakna.

H0 ditolak : jika X2 hitung  X2 tabel, maka terdapat hubungan yang

bermakna.

Pada penelitian kasus kontrol yang dapat dinilai adalah berapa

seringnya terdapat pajanan kasus dibandingkan pada kontrol, yaitu

dengan menghitung Odds Ratio (OR.

Interpretasi hasil OR :

1. OR > 1 artinya mempertinggi resiko

2. OR = 1 tidak terdapat hubungan

3. OR < 1 artinya mengurangi resiko

4. OR = 0 tidak terdapat hubungan


BAB V

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian tentang Hubungan Pemberian ASI

Eksklusif dan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Anak

Usia 12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun

2019, desain penelitian case control, didapatkan hasil sebagai berikut :

A. Analisa Univariat

1. Pemberian ASI eksklusif

Distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada anak usia

12-24 bulan dikategorikan dalam 2 kategori yaitu ASI eksklusif

dan tidak ASI eksklusif, terlihat pada tabel berikut :

Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Kelomok Kasus Responden Berdasarkan
Pemberian ASI Eksklusif pada Anak Usia 12-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Padang Tahun 2019

ASI Eksklusif Frekuensi (𝒇) Persentase (%)


Kelompok Kasus
Tidak ASI Eksklusif 27 69.2
ASI Eksklusif 12 30.8
Jumlah 39 100

Pada tabel 5.1 pada kelompok kasus dapat dilihat bahwa 27

(69.2%) anak tidak mendapatkan ASI eksklusif.


Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Kelomok Kontrol Responden Berdasarkan
Pemberian ASI Eksklusif pada Anak Usia 12-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Padang Tahun 2019

ASI Eksklusif Frekuensi (𝒇) Persentase (%)


Kelompok Kontrol
Tidak ASI 14 35.9
Eksklusif
ASI Eksklusif 25 64,1
Jumlah 39 100

Pada tabel 5.2 pada kelompok kontrol dapat dilihat bahwa 14

(35.9%) anak tidak mendapatkan ASI eksklusif.

2. Kelengkapan Imunisasi

Distribusi frekuensi kelengkapan imunisasi pada anak usia

12-24 bulan dikategorikan dalam 2 kategori yaitu lengkap dan

tidak lengkap, terlihat pada tabel berikut :

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Kelompok Kasus Responden Berdasarkan
Kelengkapan Imunisasi pada Anak Usia 12-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Padang Tahun 2019

Kelengkapan Imunisasi Frekuensi (𝒇) Persentase (%)


Kelompok Kasus
Tidak Lengkap 28 71.8
Lengkap 11 28.2
Jumlah 39 100

Berdasarkan tabel 5.3 pada kelompok kasus dapat dilihat

bahwa 28 (71.8%) anak tidak mendapat imunisasi lengkap.


Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Kelompok Kontrol Responden Berdasarkan
Kelengkapan Imunisasi pada Anak Usia 12-24 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Padang Tahun 2019

Kelengkapan Imunisasi Frekuensi (𝒇) Persentase (%)


Kelompok Kontrol
Tidak Lengkap 13 33.3
Lengkap 26 66.7
Jumlah 39 100

Berdasarkan tabel 5.4 pada kelompok kontrol dapat dilihat

bahwa 13 (33.3%) anak tidak mendapat imunisasi lengkap.


B. Analisa Bivariat

1. Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada

anak usia 12-24 bulan

Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA

pada anak usia 12-24 bulan terlihat pada tabel berikut :

Hasil analisis hubungan pemberian ASI Eekslusif dengan kejadian

ISPA dapat dilihat pada tabel 5.5

Tabel 5.5
Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada
Anak Usia 12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk
Buaya Padang Tahun 2019

Pemberian Kejadian ISPA


ASI ISPA Tidak ISPA Total % X2h OR
Eksklusif (Kasus) (Kontrol)
𝑓 % 𝑓 %
Tidak ASI 27 69.2 14 35.9 41 52.6
Eksklusif 8.68 4.018
ASI 12 30.8 25 64.1 37 47.4
Eksklusif
Jumlah 39 100 39 100 78 100

Berdasarkan tabel 5.5 dapat dilihat bahwa dari 39 anak yang

mengalami ISPA sebanyak 27 (69.2%) anak tidak mendapatkan

ASI eksklusif dan 12 (30.8%) anak mendapatkan ASI eksklusif.

Sedangkan dari 39 anak yang tidak mengalami ISPA sebanyak 14

(35.9%) anak tidak mendapatkan ASI eksklusif dan 25 (64.1%)

anak mendapatkan ASI eksklusif.

Dari tabel 5.5 dapat dilihat bahwa proporsi kejadian ISPA

lebih tinggi terjadi pada anak yang tidak ASI eksklusif 27 (69.2%)

dibandingkan dengan ASI Eksklusif 12 (30.8%). Hasil uji


didapatkan X2h > X2t yaitu 8.68 > 3.841, didapatkan nilai yang

artinya ada hubungan pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian

ISPA pada anak usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas

Lubuk Buaya Padang Tahun 2019.

Perhitungan Odds Ratio (OR) artinya anak yang tidak

mendapatkan ASI eksklusif 4.018 kali beresiko mengalami

kejadian ISPA dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI

eksklusif.

2. Hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada anak

usia 12-24 bulan

Hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA

pada anak usia 12-24 bulan terlihat pada tabel berikut :

Hasil analisis hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian

ISPA dapat dilihat pada tabel 5.6

Tabel 5.6
Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada
Anak Usia 12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk
Buaya Padang Tahun 2019

Kelengka Kejadian ISPA


pan ISPA Tidak ISPA Tota % X2h OR
Imunisasi (Kasus) (Kontrol) l
𝑓 % 𝑓 %
Tidak 28 71.8 13 33.3 41 52.6
lengkap 11.5 5.09
Lengkap 11 28.2 26 66.7 37 47.4 66 1
Jumlah 39 100 39 100 78 100
Berdasarkan tabel 5.6 dapat dilihat bahwa dari 39 responden

yang mengalami ISPA sebanyak 28 (71,8%) anak tidak

mendapatkan imunisasi lengkap dan 11 (28.2%) anak mendapatkan

imunisasi lengkap, sedangkan dari 39 anak yang tidak mengalami

ISPA sebanyak 13 (33.3%) anak tidak mendapatkan imunisasi

lengkap dan 26 (66.7%) anak mendapatkan imunisasi lengkap.

Dari tabel 5.6 dapat dilihat bahwa proporsi kejadian ISPA

lebih tinggi terjadi pada anak yang tidak mendapat imunisasi

lengkap 28 (71.8%) dibandingkan dengan anak yang mendapat

imunisasi lengkap 11 (28.2%). Hasil uji didapatkan nilai X2h > X2t

yaitu 11.566 > 3.841, yang artinya ada hubungan kelengkapan

imunisasi dengan kejadian ISPA ISPA pada anak usia 12-24 bulan

di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019.

Perhitungan Odds Ratio (OR) artinya anak yang tidak

mendapatkan imunisasi lengkap 5.091 kali beresiko mengalami

kejadian ISPA dibandingkan dengan anak yang mendapatkan

imunisasi lengkap.
BAB VI

PEMBAHASAN

A. Analisa Univariat

1. Pemberian ASI eksklusif

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa dari 78 responden

sebanyak 41 (52.6%) anak tidak mendapatkan ASI eksklusif di

Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019.

ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja kepada bayi sampai

umur 6 bulan tanpa memberikan makanan/cairan lain. Bayi yang

mendapat ASI Ekslusif lebih tahan terhadap ISPA (lebih jarang

terserang ISPA), karena dalam ASI terdapat zat anti terhadap kuman

penyebab ISPA (Heryanto, 2016).

Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa

kandungan gizi yang terdapat pada ASI dan adanya sistem kekebalan

dapat menjaga kekebalan tubuh anak sehingga tidak mudah terserang

penyakit. ASI bukan hanya merupakan sumber nutrisi tetapi juga

sebagai sumber zat anti kuman yang kuat, karena adanya beberapa

faktor yang bekerja secara sinergis membentuk sistem biologis

(Agustin, 2016). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Chabibah (2012), yang dilakukan diwilayah kerja Puskesmas Kajen I

yang menunjukan bahwa terdapat hubungan yang bermakana antara

pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA.


ASI mampu memberikan perlindungan baik secara aktif maupun

pasif, karena ASI tidak saja menyediakan perlindungan terhadap

infeksi, tetapi juga merangsang perkembangan sistem kekebalan.

Dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka anak yang dengan ASI

eksklusif akan terlindung dari berbagai macam infeksi baik yang

disebabkan oleh bakteri, virus, jamur atau parasit dan ASI juga

mengandung zat anti peradangan (Rahman dan Nur, 2015).

Teori tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Utomo B (2009), di kabupaten Konawe yang menyatakan bahwa

pemberian ASI tidak eksklusif behubungan dengan kejadian ISPA

pada anak usia 6-23 bulan, dimana ISPA 1,8 kali lebih tinggi terjadi

pada anak yang tidak ASI eksklusif dibandingkan dengan anak yang

diberi ASI eksklusif.

Memberikan ASI utamanya ASI eksklusif bukan hanya untuk

memenuhi kebutuhan dasar anak sebagai hak anak tetapi juga sangat

bermanfaat untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia dan

membina hubungan kasih sayang antara anak dan ibunya. Secara

ekonomi pemberian ASI sangat menguntungkan baik ditingkat rumah

tangga maupun secara nasional (Rahman dan Nur, 2015).

ASI mengandung berbagai zat antimikroba, komponen anti

inflamasi dan faktor-faktor yang memberikan perkembangan

perlindungan kekebalan tubuh. Hal tersebut meningkatkan kekebalan

tubuh bayi yang belum matang dan mekanisme pertahanan melawan

agen infeksi selama menyusui. Manfaat yang telah ditemukan terkait


dengan ASI eksklusif yaitu memberikan perlindungan yang

berkepanjangan terhadap infeksi saluran pernapasan di tahun peratama

kehidupan (Tromp, Jong, Raat,.....& Moll, 2017).

Sesuai dengan penelitian sebelumnya tentang ASI eksklusif

yang melindungi perkembangan infeksi terhadap perkembangan

infeksi saluran pernapasan dan juga menurunkan resiko infeksi saluran

pernapasan setelah anak berumur 4 tahun (Tromp et all, 2017).

Manfaat yang telah ditemukan tergantung pada dosis dan terkait

dengan durasi menyusui. Perlindungan pemberian ASI eksklusif yang

berkepanjangan terhadap infeksi saluran pernapasan di ASI tahun

pertama kehidupan sering disarankan dan juga ditemukan dalam The

Generation R. Disarankan bahwa pengaruh ASI pada bayi sistem

kekebalan tubuh dapat bertahan melampaui masa menyusui, karena

tidak hanya memberikan kekebalan pasif tetapi juga pematangan

sistem kekebalan dalam jangka yang panjang. Sejak menyusui akan

melindungi terhadap penyakit di masa dewasa seperti diabetes tipe 1

dan penyakit radang usus. Perlindungan berkepanjangan terhadap

infeksi saluran pernapasan setelah tahun pertama kehidupan

tampaknya masuk akal (Tromp et all, 2017).

Berdasarkan hasil penelitian kejadian ISPA lebih banyak terjadi

pada anak usia 19 bulan, dengan jenis kelamin lebih banyak terjadi

pada anak laki-laki. Pada anak yang mengalami ISPA pemberian ASI

tidak eksklusif lebih banyak terjadi pada anak dengan jenis kelamin

laki-laki.
Analisa peneliti banyaknya responden yang tidak mendapat ASI

eksklusif karena masih rendahnya pengetahuan ibu tentang pentingnya

ASI eksklusif, ibu-ibu yang mengatakan bahwa gizi yang diperoleh

olehnya dari ASI saja tidak mencukupi gizi untuk anaknya, ibu-ibu

yang lebih banyak memberikan MP-ASI pada anaknya sebelum

berumur 6 bulan, ibu-ibu yang tidak mau menyusui anaknya karena

tukut gemuk, dan juga karena ibu-ibu yang tidak mau memberikan

ASI-nya karena anaknya yang sering tidak mau menyusui kepada

dirinya sehingga diberikan susu tamabahan.

2. Kelengkapan Imunisasi

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa dari 78 responden

sebanyak 41 (52.6%) anak tidak mendapatkan imunisasi lengkap di

Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019.

Pemberian imunisasi lengkap sebelum anak mencapai usia 1

tahun, anak akan terlindung dari beberapa penyebab yang paling

utama dari infeksi pernafasan termasuk batuk rejan, difteri,

tuberkulosis dan campak. Dengan pemberian imunisasi lengkap dapat

mencegah kematian ISPA yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit

campak dan pertusis (Desiyana, 2017).

Teori tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Exodus (2016), yang dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Desa

Binjai Kota Medan, dimana terdapat hubungan kelengakapan


imunisasi dengan kejadian ISPA, dimana semakin lengkap status

imunisasi maka kejadian ISPA semakin kecil (Desiyana, 2017).

Imunisasi polio bertujuan untuk mencegah penyakit

poliomielitis dengan gejala setelah panas singkat anak mengalami

kekakuan leher dan paralisis flaksid yang asimetris dan berlanjut

menjadi paralisis bulbar atau pernapasan. Virus polio masuk ke dalam

tubuh melalui saluran pernapasan atas dan saluran pencernaan.

Komplikasi utama adalah gagal napas (Febriani, 2014).

Imunisasi DPT bertujuan untuk mencegah penyakit difteri,

pertusis, dan tetanus. Kuman difteri menempel dan berkembangbiak

pada mukosa saluran napas atas. Pertusis merupakan penyakit yang

bersifat toxin-mediated, toksin yang dihasilkan (melekat pada bulu

getar saluran nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar sehingga

menyebabkan gangguan aliran sekret saluran pernafasan, berpotensi

menyebabkan sumbatan jalan napas dan pneumonia (Febriani, 2014).

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan

tubuh seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila

kelak jika terpapar pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit.

Anak dikatakan status imunisasinya lengkap apabila telah

mendapatkan keseluruhan imunisasi dasar (Malik, 2015).

Teori tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya yaitu dengan adanya pemberian imunisasi dasar yang

lengkap maka resiko terserang ISPA akan semakin kecil. Sebagian

besar kejadian ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat


dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Maka

peningkatan cakupan imunisasi dasar akan berperan besar dalam upaya

pemberantasan ISPA (Malik, 2015).

Imunisasi terbagi atas imunisasi dasar yang wajib dan imunisasi

yang penting. Sebelum anak berusia di atas dua tahun kelengkapan

imunisasi dasar harus dipenuhi. Anak balita dikatakan status

imunisasinya lengkap apabila telah mendapat imunisasi secara lengkap

menurut umur dan waktu pemberian. Adapun anak telah memperoleh

lima imunisasi dasar namun tidak sesuai umur pemberian vaksin.

Sebagian besar imunisasi dasar yang diperoleh anak tidak tepat waktu

adalah imunisasi campak dan polio (Febriani, 2014).

Analisa peneliti tidak lengkapnya imunisasi yang didapatkan

anak disebabkan oleh masih rendahnya kunjungan ibu ke puskesmas

atau tempat pelayanan kesehatan yang lain. Hal tersebut terlihat dari

hasil observasi buku KIA yang dimiliki oleh masing-masing ibu.

Selain itu juga disebabkan oleh kesibukan ibu dengan aktivitasnya

sehingga banyak anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara

lengkap, selain itu juga karena anggapan dari masyarakat yang tabu,

bahwa memberikan imunisasi kapada anak bearti memasukan penyakit

kedalam tubuh anak yang kebanyakan anak mengalami sakit setelah di

imunisasi, hal tersebut yang memperkuat tidak lengkapnya imunisasi

yang didapatkan anak. Padahal tujuan pemberian imunisasi ini sendiri

adalah mendapatkan kekebalan pasif terhadap suatu penyakit.


Tujuan pemberian imunisasi adalah membentuk kekebalan demi

mencegah penyakit pada diri sendiri dan orang lain sehingga kejadian

penyakit menular menurun dan bahkan dapat menghilang (Hadinegoro,

2011).

Menurut analisa peneliti hal ini karena adanya inisiatif dari ibu

untuk membawa anaknya ke puskesmas atau posyandu untuk

mendapatkan imunisasi, agar anaknya kebal terhadap infeksi penyakit

salah satunya adalah penyakit ISPA. Selain itu juga disebabkan oleh

adanya peran serta petugas dalam memberitahu kepada setiap ibu

tentang jadwal kunjungan posyandu dan jenis imunisasi yang akan

diberikan kepada anak.

B. Analisa Bivariat

1. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian ISPA pada

Anak Usia 12-24 Bulan

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa dari 39 anak

mengalami ISPA sebanyak 27 (69.2%) anak tidak mendapatkan ASI

Eksklusif dan 12 (30.8%) anak mendapatkan ASI eksklusif.

Setelah dilakukan uji didapatkan X2h > X2t yaitu 8.68 > 3.841,

didapatkan nilai yang artinya ada hubungan pemberian ASI ekslusif

dengan kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019. Perhitungan Odds

Ratio (OR) artinya anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif 4.018
kali beresiko mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan anak

yang mendapatkan ASI eksklusif.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Agustin, Lealia dan Idaningsih (2016) tentang hubungan

pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA (batuk non

pneumonia) pada balita di Wilayah Kerja Uptd Puskesmas DTP Maja

Kabupaten Majalengka Tahun 2016, dimana ditemukan bahwa ada

hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA

(batuk non pnenumonia) pada balita (ρ value = 0,021).

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Rahman dan Nur (2015) tentang hubungan Pemberian ASI

Eksklusif dengan kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut

pada anak balita di Wilayah Kerja Puskesmas Managaisaki, dimana

didapatkan ada hubungan yang bermakna antara pemberian ASI

Eksklusif dengan kejadian penyakit ISPA (p = 0,013).

Menurut analisa peneliti dari 39 anak yang mengalami ISPA

sebayak 27 (69.2%) anak tidak mendapatkan ASI eksklusif hal ini

karena kurangnya pengetahuan ibu akan pentingnya zat gizi yang

terkandung didalam ASI. Ibu yang merasa bahwa anaknya tidak

mendapatkan gizi yang cukup hanya dari ASI saja sehingga ibu

tersebut pada anak yang usia kurang dari 6 (enam) bulan sudah

diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI).

ASI merupakan makanan terbaik bagi anak terutama pada

bulan-bulan pertama karena dapat mencukupi kebutuhan gizi bayi


untuk tumbuh kembang dengan normal sampai berusia 6 bulan. ASI

juga kaya akan antibodi yang dapat melindungi bayi dari berbagai

macam infeksi bakteri, virus, dan alergi serta mampu merangsang

perkembangan sistem kekebalan bayi (Damanik, 2014).

Hasil penelitian juga didapatkan dari 39 anak yang tidak

mengalami ISPA sebesar 14 (35.9%) anak tidak mendapatkan ASI

eksklusif, hal ini mungkin disebabkan oleh tercukupinya asupan gizi

yang didapatkan dari pemberian vitamin A, karena pemberian vitamin

A jelas dihubungkan dengan kejadian ISPA.

Sedangkan dari 39 anak yang tidak mengalami ISPA sebesar 25

(64,1%) mendapatkan ASI eksklusif. Hal ini karena pemberian ASI

eksklusif dapat memberikan zat antibodi untuk kekebalan tubuh anak

yang diperoleh dari janin semenjak dalam kandungan melalui plasenta

juga terdapat dalam ASI, oleh sebab itu ASI harus diberikan sedini

mungkin agar tubuh anak tahan terhadap virus penyakit.

2. Hubungan Kelengkapan Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada

Anak Usia 12-24 Bulan

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa dari 39 anak yang

mengalami ISPA sebanyak 28 (71.8%) anak tidak mendapatkan

imunisasi lengkap dan 11 (28.2%) anak mendapatkan imunisasi

lengkap.

Setelah dilakukan uji didapatkan nilai X2h > X2t yaitu 11.566 >

3.841, yang artinya ada hubungan kelengkapan imunisasi dengan


kejadian ISPA pada anak usia 12-24 bulan di Wilayah Kerja

Puskesmas Lubuk Buaya Padang Tahun 2019. Perhitungan Odds

Ratio (OR) artinya anak yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap

5.091 kali beresiko mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan

anak yang mendapatkan imunisasi lengkap.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh Hidayatullah, Helmi dan Aulia (2014), tentang hubungan antara

kelengkapan imunisasi dasar dan frekuensi infeksi saluran pernapasan

akut (ISPA) pada balita yang datang berkunjung ke puskesmas sekip

Palembang 2014, dimana ditemukan bahwa ada hubungan yang

bermakna antara riwayat imunisasi dasar dan frekuensi ISPA pada

balita yang datang ke Puskesmas Sekip Palembang periode Oktober-

Desember tahun 2014. Sedangkan, nilai odd ratio (OR) sebesar 2,161

mengindikasikan bahwa balita dengan riwayat imunisasi dasar tidak

lengkap memiliki risiko untuk sering terkena ISPA 2,161 kali lebih

besar dibandingkan balita dengan riwayat imunisasi dasar lengkap.

Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan

oleh M. Amar, Taksande dan Yeole (2015), tentang faktor risiko

Pernafasan Akut Infeksi (ISPA) pada anak balita di rumah sakit

pedesaan India Tengah dimana ditemukan bahwa, anak yang

diimunisasi lengkap dilindungi dari berbagai macam infeksi saluran

pernapasan seperti difteri, pertusis dan komplikasi campak. Anak-

anak yang tidak diimunisasi lengkap beresiko berkembang infeksi ini.


Dalam penelitian ini, hubungan signifikan ditemukan antara ISPA dan

ARI imunisasi (p < 0,005).

Menurut analisa peneliti dari 39 anak yang mengalami ISPA

sebanyak 28 (71.8%) anak n tidak mendapatkan imunisasi lengkap hal

ini karena kurangnya daya tahan tubuh anak terhadap penyakit yang

datang dari luar tubuh sehingga tubuh tidak mampu menahan virus

penyakit yang masuk. Masih adanya anak yang mengalami ISPA

tetapi mendapatkan imunisasi lengkap responden, hal ini bisa

disebabkan oleh faktor lingkungan tempat tinggal, dimana lingkungan

yang tidak bersih dapat mempengaruhi udara yang tercemar dan

masuk kedalam saluran pernapasan dan juga disebabkan oleh adanya

anggota keluarga dalam rumah yang merokok.

Imunisasi sangat berguna dalam menentukan ketahanan tubuh

anak terhadap gangguan penyakit. Para ahli kesehatan menyebutkan

bahwa di banyak negara, dua penyebab utama tingginya angka

kematian pada anak adalah infeksi dan gangguan gizi. Hal ini dapat

dicegah dengan imunisasi yang merupakan hal mutlak memelihara

kesehatan dan gizi anak (Maryunani, 2010).

Hasil penelitian juga didapatkan dari 39 anak yang tidak

mengalami ISPA sebesar 13 (33.3%) anak tidak mendapatkan

imunisasi lengkap, hal ini mungkin disebabkan oleh cukupnya asupan

gizi yang didapatkan anak dari ibunya seperti pemberian ASI, asupan

makanan, sehingga walapun tidak lengkap mendapatkan imunisasi

tetapi tidak mengalami ISPA.


Sesuai dengan teori Prabu (2009), yang mengatakan bahwa

masuka zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan

perkembangan anak dipengaruhi oleh umur, keadaan fisik, kondisi

kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya

makanan dan pemberian ASI eksklusif. Anak dengan gizi yang cukup

kecil kemungkinan untuk terserang ISPA dibandingkan anak dengan

gizi kurang.

Sedangkan dari 39 anak yang tidak mengalami ISPA sebesar 26

(66.7%) anak mendapatkan imunisasi lengkap. Hal ini karena

pemberian imunisasi yang lengkap dapat memberikan kekebalan aktif

pada tubuh anak terhadap virus penyakit.


BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan

pemberian ASI eksklusif dan kelengkapan imunisasi dengan kejadian

ISPA pada anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Lubuk

Buaya Padang Tahun 2019, dapat disimpulkan bahwa :

1. Lebih dari separoh 41 (52.6%) anak yang mengaami ISPA tidak

mendapatkan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya

Padang tahun 2019.

2. Ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada

anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya

Padang tahun 2019 (X2h > X2t yaitu 8.68 > 3.841) dan OR = 4.018.

3. Lebih dari separoh 41 (52.6%) anak yang mengalami ISPA tidak

mendapatkan imunisasi lengkap di wilayah kerja Puskesmas Lubuk

Buaya Padang tahun 2019.

4. Ada hubungan kelengkapan imunisasi dengan kejadian ISPA pada

anak usia 12-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya

Padang tahun 2019 (X2h > X2t yaitu 11.566 > 3.841) dan OR = 5.091.
B. Saran

1. Bagi Puskesmas

Diharapkan kepada tenaga kesehatan khususnya petugas

puskesmas yang berhadapan langsung dengan masyarakat khususnya

petugas KIA, agar menurunkan angka kejadian ISPA pada anak

dengan cara menyarankan kepada ibu-ibu untuk memberikan ASI

eksklusif kepada anaknya dan juga dengan cara turun langsung ke

lapangan untuk memberikan kelengkapan imunisasi, serta juga

memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu-ibu.

2. Bagi Ibu

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

informasi kepada ibu-ibu, agar dapat menambah pengetahuannya

dalam mencegah penyakit ISPA, salah satu dengan cara memberikan

ASI eksklusif dan imunisasi lengkap.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data

awal untuk melakukan penelitian terkait tentang faktor-faktor resiko

ISPA dengan variabel yang berbeda seperti status gizi, lingkungan dan

umur.

Anda mungkin juga menyukai