BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepatitis telah menjadi masalah global, dimana dipengaruhi oleh pola makan, kebiasaan
merokok, gaya hidup tidak sehat, penggunaan obat-obatan, bahkan tingkat ekonomi dan
pendidikan menjadi beberapa penyebab dari penyakit ini. Penyakit hepatitis merupakan suatu
kelainan berupa peradangan organ hati yang dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain infeksi
virus, gangguan metabolisme, obat-obatan, alkohol, maupun parasit. Hepatitis juga merupakan
salah satu penyakit yang mendapatkan perhatian serius di Indonesia merupakan negara dengan
endemisitas nomor 2 Hepatitis B setelah Myanmar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2013
bahwa jumlah orang yang didiagnosa hepatitis di pelayanan kesehatan mengalami peningkatan dua
kali lipat dibandingkan tahun 2007,hal tersebut menunjukantentang uaya pengendalian di masa lalu
yang masih belum sepenuhnya berhasil, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih intens
untuk sekarang dan mendatang (Kemenkes RI, 2014).
Hepatitis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peradangan pada hati.
Hepatitis merupakan suatu proses terjadinya inflamasi atau nekrosis pada jaringan hati yang dapat
disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan sistem
antibodi. Infeksi yang disebabkan virus merupakan penyebab paling banyak dari Hepatitis akut.
Terdapat 6 jenis virus penyebab utama infeksi akut, yaitu virus Hepatitis A, B, C, D, dan E.
Penyakit Hepatitis yang disebabkan oleh virus, Hepatitis B menduduki tempat pertama dalam hal
jumlah dan penyebarannya yang di akibatkan oleh virus (Harrison, 2015).
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di dunia pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia pernah
terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan pengidap hepatitis B.1 Prevalensi yang
lebih tinggi didapatkan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap
hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di
luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa.2,3 Secara genotip, virus hepatitis B di
Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%)
dan A (0.8%).
Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (KHS) adalah dua keluaran klinis hepatitis B kronik
yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B
yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang
2
menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya.5-8 Sementara insidensi kumulatif KHS
pada pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada pemantauan 6
tahun.
Pada hepatitis kronis, peradangan hati berlanjut setidaknya selama enam bulan. Kondisi ini
mungkin ringan, menyebabkan kerusakan yang relatif kecil, atau lebih serius berlanjut secara
perlahan merusak hepar, akhirnya mengakibatkan sirosis (jaringan parut hepar yang parah),
gagal hepar , dan kadang-kadang kanker hepar (Rutherford, 2019).
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan referat ini, yaitu :
1. Mengetahui tentang hepatitis kronis
2. Menambah pengetahuan mengenai etiopatofisiologi, manifestasi, diagnosis, dan
penatalaksanaan hepatitis kronis
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis Kronis
Hepatitis kronis adalah terjadinya inflamasi dan nekrosis hepar karena bermacam penyebab
yang berlangsung minimal 6 bulan (Harrison, 2015). Hepatitis kronis, lebih jarang dibandingkan
hepatitis akut, dapat bertahan selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Pada kebanyakan
orang, tidak menyebabkan kerusakan hepar yang signifikan. Namun, pada beberapa orang,
peradangan yang berlanjut secara perlahan merusak hepar, akhirnya
mengakibatkan sirosis (jaringan parut hepar yang parah), gagal hepar , dan kadang
kadang kanker hepar (Rutherford, 2019).
Klasifikasi hepatitis kronis didasarkan pada penyebab, grade dan stagenya (Harrison,
2015), yaitu:
Virus hepatitis C menyebabkan sekitar 60 hingga 70% kasus, dan setidaknya 75% kasus
hepatitis C akut menjadi kronis. Sekitar 5 hingga 10% dari kasus hepatitis B , kadang-kadang
dengan koinfeksi hepatitis D, menjadi kronis. (Hepatitis D tidak terjadi dengan sendirinya,
terjadi sebagai koinfeksi dengan hepatitis B.) Hepatitis B akut menjadi kronis hingga 90%
pada bayi baru lahir yang terinfeksi dan pada 25 hingga 50% anak kecil. Virus hepatitis
E menyebabkan hepatitis kronis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah, seperti
mereka yang menggunakan imunosupresan, setelah transplantasi organ, yang menggunakan
obat untuk mengobati kanker, atau yang memiliki infeksi HIV. Sedangkan virus hepatitis
A tidak menyebabkan hepatitis kronis (Rutherford, 2019).
Hepatitis autoimun adalah kelainan hati inflamasi kronis yang ditandai dengan
adanya autoantibodi dalam serum, kadar imunoglobulin serum yang tinggi, dan sering
4
dikaitkan dengan penyakit autoimun lainnya. Hepatitis autoimun diyakini disebabkan oleh
reaksi autoimun terhadap hepatosit normal pada orang yang memiliki kecenderungan genetik
atau orang yang terpapar pemicu tak dikenal proses autoimun terhadap antigen hepar
(Pawlotsky, 2012).
Obat- obatan tertentu dapat menyebabkan hepatitis kronis, terutama ketika diminum
dalam waktu yang lama, seperti isoniazid , methyldopa , dan nitrofurantoin. Waktu reaksi
obat beracun tidak dapat diprediksi, dan reaksi ini dapat terjadi setelah bertahun-tahun
menggunakan obat dengan jangka waktu lama (Mohan, 2018; Rutherford, 2019).
e. Penyakit Tertentu
e. Idiopatik (Cryptogenic)
5
Hepatitis kriptogenik (hepatitis dari penyebab yang tidak diketahui) adalah diagnosis
eksklusi ketika semua penyebab di atas tidak ditemukan. Bergantung pada lokasi dan usia
populasi yang diteliti, hepatitis kriptogenik menyumbang sekitar 25% dari kasus hepatitis
kronis (Mohan, 2018).
Tabel 1. (A) Tipe Hepatitis (B) Grade dan Stage Hepatitis Kronis secara histologi
7
Hepatitis B adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel–sel hepar (Harrison, 2015).
2.2.2 Epidemiologi
Infeksi hepatitis virus hepatitis B merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang
cukup besar di Indonesia. Dan berbaagai penelitian yang ada, Frekuensi pengidap HBsAg berkisar
antara 3-20%. Penelitian dari berbagai daerah di Indonesia menunjukkan angka yang sangat
bervariasi bergantung pada tingkat endemisitas hepatitis B di tiap-tiap daerah, contoh: tingkat
endemisitas daerah Indonesia bagian Timur lebih tinggi dibandingkan daerah Indonesia bagian
Barat.
Infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia. Di Eropa
dan Amerika 15-25% penderita Hepatitis B kronik meninggal karena proses hati atau kanker hati
8
primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria Cina yang HBsAg positif bahkan
mendapatkan angka yang lebih besar yaitu antara 40-50%.
Menurut tingginya, prevalensi infeksi virus hepatitis B, WHO membagi dunia menjadi 3
macam daerah yaitu daerah dengan endemitas tinggi, sedang dan rendah.
penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah frekuensi HBsAg
dalam populasi berkisar 10-15%.
penularan terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi HBsAg dalam
populasi berkisar 2-10%.
penularan utama terjadi pada masa dewasa, penularan pada masa perinatal dan kanak-kanak
sanngat jarang tejadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar kurang 2 %.
2.3.3 Etiologi
Penyebab hepatitis B adalah virus hepatitis B, sebuah virus DNA dari keluarga
Hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200 pasang basa dan
mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut hepatitis B
surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian dari molekul tunggal
dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu DNA polymerase. Disamping
itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg). Antigen ini hanya ditemukan pada penderita
dengan HBsAg positif. HBeAg positif pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif
dan artinya derajat infektivitasnya tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa
HBeAg untuk menentukan prognosis penderita.
9
Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan vertikal.
- Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B kepada individu yang
masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput
lendir,
- Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang dilahirkan
Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan
parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah penularan melalui
kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit
dan radang kulit.
Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah selaput
lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir genetalia. Penularan
vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero), selama persalinan atau
perinatal dan setelah persalinan atau post natal.
Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus membrane
mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata sekitar 60-90 hari. HbsAg
telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva,
air mata, asites, air susu ibu, urin, dan bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tubuh ini (terutama
darah, semen, dan saliva) telah terbukti bersifat infeksius.
2. Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik
3. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang terinfeki
4. Pria homoseksual yang secara seksual aktif
5. Pasien rumah sakit jiwa
6. Narapidana pria
7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu dari plasma
8. Kontak serumah dengan karier HBV
9. Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan darah
10. Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau segera setelah lahir.
2.2.4 Patofisiologi
Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis akut yang
kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2)
Berkembang menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase
penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase
reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin
aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika sistem
imun berusaha melawan virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien
kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA VHB yang
rendah < 2000 IU/ml, ALT normal, dan kerusakan hati minimal. Seringkali pasien pada fase
pengidap inaktif dapat mengalami fase reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai >2000
IU/ml dan inflamasi hati kembali terjadi.
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah partikel
Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan
memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler dan
HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B merangsang respon imun
tubuh, yang pertama kali adalah respon imun non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian
diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B.
Aktivasi sel T CD8 + terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC
kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang ada
11
di dalam sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan
menyebabkan meningkatnya ALT.
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan mengakibatkan produksi antibody
antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel virus hepatitis
B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan demikian anti-HBs akan mencegah
penyebaran virus dari sel ke sel.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat diakhiri
tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis B yang menetap.
Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor
virus atau pun faktor pejamu.
Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B,
hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel – sel terinfeksi, terjadinya mutan virus
hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus hepatitis B dalam genom sel
hati
Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin dan
hormonal. Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus
yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga persistensi infeksi virus hepatitis B
pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului
invasi virus hepatitis B, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan
sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.
Gambaran klinis Hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan
keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hepar hasilnya normal. Pada sebagian lagi
didapatkan hepatomegali atau bahkan spleenomegali atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya,
misalnya eritema palmaris dan spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan
kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan
12
konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal kecuali
pada kasus-kasus yang parah.
2.2.6 Penatalaksanaan
Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi
VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati,
dan mencegah karsinoma hepatoselular. Sasaran pengobatan adalah menurunkan kadar HBV DNA
serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT. Sasaran sebenarnya adalah
menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga
sasaran tersebut tidak digunakan.
Sebelum memulai pengobatan maka evaluasi menyeluruh dan konseling wajib dilakukan
kepada pasien.
Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu imunomodulator
(golongan interferon alfa konvensional dan PEG IFN) dan obat anti viral (golongan nukleosida).
Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam
pertahanan terhadap virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3 – 8
jam. Pengikatan interferon pada molekul polyethylene glycol (disebut dengan pegylation) akan
memperlambat absorbsi pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu lama
sehingga memungkinkan pemberian mingguan. Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yakni
pegylated-interferon α-2a (Peg-IFN α-2a) dan pegylated-interferon α-2b (Peg-IFN α-2b).
Bukti-bukti terbaru menunjukkan pemberian Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 µg/minggu
selama 48 minggu menunjukkan hasil lebih baik. Selama pemberian interferon, pemeriksaan darah
tepi harus dilakukan setiap bulan untuk menilai efek samping terapi. Pemantauan adanya depresi
berat juga harus dilakukan pada setiap kunjungan pasien.
19
- Pemeriksaan darah tepi, secara rutin harus dilakukan sedikitnya 4 minggu sekali. Perhatikan
penurunan kadar Hb, leukosit dan trombosit sampai toleransi yang diperbolehkan untuk
pemberian Peg IFN.
- Kadar ALT; peningkatan kadar ALT selama pengobatan menunjukkan respon obat yang baik,
namun bila disertai tanda penurunan fungsi hati, maka harus dipertimbangkan untuk
menghentikan obat. Kadar ALT diperiksa setiap 4 minggu.
- Pemeriksaan kadar HBsAg (kuantitatif) awal pengobatan, dan kemudian diikuti pada minggu
ke-12 pengobatan penting dilakukan untuk strategi meneruskan atau menghentikan
pengobatan. Penurunan kadar HBsAg yang signifikan pada minggu ke-12 memprediksi
keberhasilan pengobatan.
- Pemeriksaan HBV DNA (viral load) penting dilakukan. Pada minggu ke-12 pengobatan,
pemeriksaan HBV DNA bersama dengan kadar HBsAg kuantitatif merupakan prediktor kuat
keberhasilan pengobatan.
Penghentian pengobatan Peg IFN
Dilakukan sesuai jadwal, yaitu setelah tercapai 48x pemberian pegilated interferon alfa 2A.
Penghentian juga dapat dilakukan bila terjadi efek samping sehingga tidak memungkinkan
diberikan obat ini.
Analog Nukleosida
Analog nukleosida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polymerase virus,
bekompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah lamivudin, adefovir dipivoxil, entecavir,
telbivudin, dan tenofovir disoproxil fumarate. Dari lima obat tersebut, hanya entecavir dan
tenofovir yang masih memiliki efektivitas tinggi dengan tingkat resistensi yang relatif rendah,
sehingga obat-obat golongan nukleosida lainnya sudah mulai ditinggalkan.
Pada prinsipnya, terapi analog nukleosida harus diteruskan sebelum tercapai indikasi
penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagal terapi. Perlu diperhatikan bahwa
sebagian pasien terbukti tidak bisa mempertahankan respon virologist ataupun serologis setelah
penghentian terapi analog nukleosida, maka pemantauan terhadap indikator-indikator hepatitis B
harus dilakukan secara berkala.
20
- Pemeriksaan ALT, secara berkala harus dilakukan. Pada minggu ke-12 pengobatan dilakukan
pemeriksan ALT, dan kemudian setiap 12 minggu setelahnya, atau tergantung hasil
pemeriksaan. Peningkatan ALT pada setiap pemeriksaan patut dicurigai sebagai tanda
kegagalan terapi.
- Pemeriksaan kadar HBV DNA, pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan secara berkala dan
biasanya dilakukan minimal setiap 12 minggu. Pada umumnya setelah minggu ke-24 bila
kadar HBV DNA masih dapat terdeteksi, maka perlu dipikirkan untuk mengubah strategi
pengobatan.
- Pemahaman respons pengobatan selama monitor pengobatan dengan AN harus dikuasai
seorang dokter klinisi, sehingga tidak membahayakan pasien
Penghentian pengobatan analog nukleosida
Pada pasien dengan HBe positif, penghentian pengobatan dilakukan bila telah terjadi
penurunan kadar HBV DNA sampai nilai tak terdeteksi dan menghilangnya HBeAg yang disertai
serokonversimenjadi Anti HBe. Kondisi ini setidaknya dilakukan sampai 3x pemeriksaan selang
24 minggu. Namun demikian beberapa konsensus internasional menganjurkan pengobatan
diteruskan selama mungkin.
Pada pasien dengan HBeAg negatif, setelah tercapai penurunan kadar HBV DNA sampai
tidak terdeteksi penghentian pengobatan masih kontroversial, beberapa konsensus internasional
menganjurkan pemberian diteruskan selama mungkin.
Tatalaksana pasien infeksi VHB kronik dengan koinfeksi virus hepatits D atau hepatits C
sebaiknya disesuaikan dengan virus yang dominan. Koinfeksi berhubungan dengan peningkatan
kejadian hepatitis yang fulminan dan insiden sirosis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
monoinfeksi.
Peg-IFN adalah satu-satunya obat yang efektif terhadap VHD. Pemberian Peg-IFN 1,5
µg/kg/minggu selama 12 bulan menunjukkan hasil yang cukup baik. Sedangkan dalam terapi
koinfeksi dengan VHC, Peg-IFN dan ribavirin merupakan pilihan utama.
Wanita Hamil
Pada wanita hamil yang telah didiagnosis mengidap infeksi VHB kronik pada awal
kehamilan, keputusan dimulainya terapi harus melihat risiko dan keuntungan pengobatan tersebut.
Terapi VHB pada wanita hamil biasanya ditunda sampai trimester 3 untuk menghindari transmisi
perinatal.
Sampai saat ini masih terdapat kontroversi tentang kelompok yang mendapat keuntungan
paling tinggi dengan pemberian terapi antiviral selama kehamilan. Namun, panduan yang ada
menunjukkan batasan DNA VHB > 2 x 106 IU/mL sebagai indikasi pemberian terapi antiviral.
Reaktivasi replikasi VHB dengan dekompensasi hati pada pasien imunosupresi dilaporkan
pada 20 – 50 % pasien dengan infeksi VHB kronik yang menjalani kemoterapi atau terapi
imunosupresi. Karena risiko reaktivasi yang tinggi ini, maka seluruh pasien yang akan menjalani
kemoterapi disarankan untuk menjalani pemeriksaan HBsAg dan anti-HBc. Pada pasien dengan
HBsAg positif, pemeriksaan DNA VHB harus dilakukan dan pasien harus mendapat terapi
profilaksis sejak 1 minggu sebelum menjalani kemoterapi sampai 12 bulan setelah kemoterapi.
Penggunaan lamivudin sebagai terpai profilaksis menurunkan risiko reaktivasi VHB serta
menurunkan insiden gagal hati dan kematian terakit infeksi VHB. EASL merekomendasikan pada
pasien dengan DNA VHB tinggi atau akan menjalani sesi kemoterapi yang panjang dan repetitive,
antiviral potensi tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir atau tenofovir digunakan
sebagai profilaksis.
Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan dengan HBsAg positif dan DNA VHB >2000 IU/ml dapat diberikan
antiviral potensi tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir atau tenofovir.
Hepatitis Akut
Pemberian lamivudin 100-150 mg/hari menyebabkan hilangnya HBsAg pada 82,4% pasien
hepatitis akut fulminan selama kurang dari 6 bulan. Panduan dari EASL merekomendasikan
pemberian lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi atau setelah munculnya anti-HBe pada
pasien HBsAg positif.
Terapi profilaksis untuk menurunkan muatan virus sebelum tranplantasi dilakukan perlu
diberikan untuk mencegah rekurensi post transplantasi. Terapi profilaksis yang dapat diberikan
adalah analog nukleosida dengan ambang resistensi yang tinggi.
24
Profilaksis pre transplantasi yang digabungkan dengan kombinasi lamivudin dan HBIG
dosis tinggi setelah transplatasi hati dapat menurunkan risiko rekurensi sampai 90%.
25
Resistensi Strategi
Lamivudine - Tambahkan adefovir atau tenofovir
- Stop lamivudine, ganti dengan tenofovir
Adefovir - Tambahkan lamivudine
- Stop adefovir, ganti dengan tenofovir
- Tambah atau ganti dengan entecavir
Entecavir - Ganti dengan tenofovir
Telbivudine - Tambahkan adefovir atau tenofovir
- Stop telbivudine ganti dengan tenofovir
26
2.2.7 Komplikasi
Setelah umur rata-rata 30 tahun, 30% dari pasien dengan hepatitis B kronis aktif akan
berkembang menjadi sirosis. Dekompensasi hati terjadi pada sekitar seperempat dari pasien sirosis
dengan hepatitis B selama periode lima tahun, dimana 5-10% yang lainnya akan terus berkembang
menjadi kanker hati. Tanpa pengobatan, sekitar 15% pasien dengan sirosis akan meninggal dalam
waktu 5 tahun.
Resiko untuk karsinoma hepatoseluler pada orang yang terinfeksi hepatitis B kronik adalah
sekitar 10-25%. Mereka yang mempunyai resiko lebih tinggi mengalami kanker hati adalah laki-
laki dewasa dengan penyakit sirosis yang pertama kali terjangkit hepatitis B pada usia dini. Sekitar
80% dan 90% dari pasien karsinoma hepatoseluler memiliki penyakit sirosis yang mendasarinya.
Lebih dari 50% kasus karsinoma hepatoseluler di seluruh dunia dan 70-80% kasus karsinoma
hepatoseluler di daerah endemik hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B. Nilai median untuk
kelangsungan hidup pasien dengan karsinoma hepatoseluler adalah <5 bulan tanpa perawatan yang
tepat, yang meliputi operasi, perawatan perkutan, iradiasi hati dan kemoterapi.
2.2.8 Pencegahan
Hepatitis B dapat dicegah melalui dua cara, yaitu modifikasi pola hidup dan vaksinasi.
27
2.2.9 Prognosis
Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik. Pada sebagian kasus
penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 – 3 tahun.
Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronik aktif berubah menjadi keadaan
yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat
kelainan biokimiawi, pasien tetap asimptomatik dan jarang terjadi kegagalan hati. Infeksi hepatitis
B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi.
2.3.1 Defenisi
Hepatitis C adalah peradangan pada organ hati akibat infeksi virus hepatisis C. Sebagian
penderita hepatitis C dapat mengalami penyakit liver kronis, hingga mengalami kanker hati.
2.3.2 Epidemiologi
2.3.3 Etiologi
Hepatitis C disebabkan oleh virus Hepatitis C yang termasuk golongan virus
RNA (ribonuceic acid). Masa inkubasinya sekitar 2-24 minggu. Penularan hepatitis C
melalui darah dan cairan tubuh, perinatal sangat kecil, jarum suntik, ytranspalntasi
29
organ dan hubungan seks. Ada enam genotip utama dan sejumlah subtipe dari HCV
berdasarkan pendekatan molekular. HCV genotip 1, khususnya 1b, tidak berespon
terhadap terapi sama seperti genotip 2 dan 3. Genotip 1 juga dihubungkan dengan
penyakit liver yang lebih berat dan resiko yang lebih tinggi untuk mendapat HCC.
Kadar HCV dalam cairan tubuh seperti saliva, sperma, urin, feses dan sekresi
vagina amat rendah dibandingkan di dalam serum. Transmisi HCV melalui hubungan
seksual hanya kurang dari 3-7%. Hal ini dapat dieliminir lagi dengan pemakaian
kondom. Insiden meningkat pada free sex, mempunyai penyakit seksual yang menular,
homoseksual, lama kawin dan meningkatnya jumlah virus.
2.3.4 Patofisiologi
Bila seorang terinfeksi HCV sebagian kecil akan sembuh sempurna dan
sebagian besar menjadi kronis dengan terbentuknya antibodi terhadap virus C (anti
HCV). Reaksi imunologis bersifat humoral dan selular dimana sistem humoral
membentuk IgM anti HCV dan imunologik selular mengaktivasi sel sitotoksik untuk
menghancurkan virus C dengan bantuan MHC (mayor histocompability) dan interferon,
dimana interferon melalui enzim 2,5 oligo adenylate sintetase menghambat
pembentukan protein virus (replikasi virus).
Bila sel T sitotoksik mampu mengeliminasi virus akan terjadi penyembuhan dan
30
bila gagal akan menjadi hepatitis kronik. Walaupun anti HCV negatif selama lebih dari
6 bulan dan transaminase normal namun kalau masih ditemukannya HCV RNA (+)
maka penderita dianggap sebagai pengidap hepatitis C.
2.3.5 Diagnosis
Karena gejala klinis sangat minimal maka pemeriksaan penunjang memang mempunyai
peranan yang sangat penting.
Diagnosis ditegakkan dengan: Anti HCV positif “Marker of infection”
1. Laboratorium
Tes anti bodi Hepatitis C
Skrining serologis anti HCV mencakup enzim immunoassay (EIA) yaitu EIA 1 dan EIA 2
yang 97% spesifik. Cara ini untuk membedakan kasus akut dan kronis. EIA generasi ketiga
sudah dapat mendeteksi antibodi 4-10 minggu setelah terinfeksi. Rekombinan imunoblot
assay (RIBA) yaitu RIBA-2 digunakan untuk konfirmasi infeksi HCV dengan hasil EIA
positif pada populasi resiko rendah.
HCV RNA dengan PCR digunakan untuk mendeteksi infeksi dalam 1-3 minggu terpapar.
Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Viral load test diperiksa secara kualitatif digunakan untuk memperkirakan hasil anti HCV
yang sepertinya menggambarkan progresifitas penyakit.
Genotip virus penting dalam terapi penderita, akan membantu dalam melihat hasil dan lama
terapi. Secara klinis perbedaan yang relevan adalah antara genotip 1 dan genotip 2 dan 3.
Genotip 1 biasanya diterapi 12 bulan sedang yang lain 6 bulan.
Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum pengobatan:
Genotip
HCV RNA kuantitatif; reverse transcriptase PCR lebih sensitif dari DNA
Skrining koinfeksi
2. USG hati dan sistem biliar untuk menyingkirkan kemungkinan diagnostik lain.
3. Biopsi hati
32
Biopsi hati sebenarnya tidak diharuskan pada awal pengobatan, dilakukan untuk
menilai aktivitas penyakit hati yang dihubungkan dengan HCV. Evaluasi histologis dari
biopsi hati dapat meramalkan prognosa dan progresifitas penyakit. Temuan biopsi juga
dapat menyingkirkan penyebab lain sehingga dianjurkan pada pemeriksaan awal infeksi
HCV. Tapi ada juga bila hanya tidak dijumpai adanya remisi menetap.
2.3.6 Penatalaksanaan
Indikator respon pengobatan yang diharapkan adalah klirens virus, ditunjukkan dengan tidak
terdapatnya HCV RNA di serum dengan menggunakan test yang paling sensitif. Respon virus pada
akhir pengobatan (End of Treatment Viral Response = ETVR) dinyatakan dengan tidak
dijumpainya HCV RNA pada akhir pengobatan. Respon virus menetap (Sustained Viral Response
= SVR) dinyatakan dengan HCV RNA pada 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan.
SVR adalah berkorelasi baik dengan manfaat perubahan fibrosis hati, pencegahan HCC dan
perbaikan klinis lain. Alanin Aminotransferase (ALT) sebagai indikator biokimia hepatitis
mempunyai beberapa kelemahan antara lain:
1. Penggunaan ALT untuk menggambarkan suatu respon (ETR atau SR) mempunyai angka
kesalahan 15%
2. Penggunaan ALT untuk menggambarkan tidak respon mempunyai angka kesalahan 10-
50% tergantung pada adanya sirosis, penggunaan regimen interferon yang lebih kuat atau
produk interferon seperti pegylated (PEG)-IFN
1. Regresi fibrosis
3. Mengurangi laju terjadinya komplikasi lain seperti gagal hati dan angka kematian oleh
karena penyebab hati.
33
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Variabilitas virus
5. Keparahan fibrosis
Pasien dengan ALT serum normal tidak diterapi. Pasien dengan tidak ada atau fibrosis yang
minimal tidak penting sekali diterapi dengan antiviral. Bila telah ditetapkan untuk tidak diterapi
maka pasien ini harus diikuti untuk melihat progresi penyakitnya, mencakup biopsi liver ulangan
untuk melihat tingkatan fibrosis, setiap 3-7 tahun. Pasien dengan fibrosis nyata yang berisiko
menjadi sirosis dengan sirosis kompensata harus dipertimbangkan pemberian terapi antiviral.
Pasien dengan sirosis dan gagal hati secara umum tidak boleh diterapi dengan antivirus
HCV. Sebaliknya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati.
Yang mempengaruhi hasil pengobatan: usia, jenis kelamin, variabilitas virus, titer HCV
RNA, keparahan fibrosis.
Rekomendasi dari Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan Hepatitis C kronik adalah
terapi kombinasi dengan interferon/ribavirin. Lama terapi 6 bulan untuk genotip 2 dan 3 atau
genotip 1 dengan beban virus rendah (<2.000.000 virus ekivalen/ml) dan 12 bulan untuk genotip
1 dan 4 dengan beban virus tinggi (>2.000.000 virus ekivalen/ml). Pemakaian IFN dosis tinggi
setiap hari selama 4-6 minggu pertama pengobatan (terapi induksi) memperbaiki efikasi antiviral
tetapi belum dapat dibuktikan meningkatkan SVR. Jika terapi kombinasi tidak tersedia atau
kontraindikasi maka monoterapi IFN dan regimen khusus atau produk lain yang menambah efikasi
masih mempunyai peranan.
34
Terapi ulangan harus dipertimbangkan pada pasien yang relaps setelah ETR terhadap
pengobatan sebelumnya dengan regimen yang kini dipertimbangkan suboptimal, misal IFN 3
juta U, tiga kali seminggu selama 6 bulan.
Rekomendasi yang dianjurkan antara lain:
a. IFN 3 juta U, 3x/minggu, selama 6 bulan ditambah ribavirin 1000 1200 mg/hari, sesuai
dengan berat badan.
b. Monoterapi IFN optimal seperti dosis yang lebih tinggi dan/atau waktu yang lebih lama,
atau penggunaan produk iFN yang lebih kuat.
Efek samping segera berupa flu like symptom, mual, iritabilitas, insomnia, diare, gangguan
pendengaran, visual, dan anoreksia. Efek samping jangka panjang berupa penurunan berat
badan, sering buang air besar, banyak tidur, efek psikologis (anxietas, depresi, dan iritabilitas),
rambut rontok, insomnia, trombositopenia dan lekopenia. Ribavirin (7-10%) dapat
menimbulkan anemia hemolitik.
2.3.7 Komplikasi
Sekitar 10% dari penderita hepatitis C kronis dapat mengalami komplikasi. Komplikasi
ini umumnya timbul sekitar 20 tahun setelah terinfeksi hepatitis C. Komplikasi yang dapat
terjadi akibat hepatitis C adalah:
-Muncul jaringan parut di hati (sirosis)
Infeksi hepatitis C yang terjadi selama 20-30 tahun membuat timbulnya jaringan parut yang
menggantikan jaringan sehat dari hati. Jaringan parut itu akan menyulitkan kerja hati.
-Kanker hati
Selain sirosis, infeksi kronis pada hati juga berisiko menyebabkan perubahan pada sel-sel hati
menjadi ganas (kanker hati). Perubahan ini dapat terjadi dalam 20 tahun dan bisa berakibat
35
fatal.
2.3.8 Pencegahan
Skrining pasien dengan resiko tinggi dan memulai pengobatan yang tepat dapat
membatasi insiden terjadinya sirosis dan HCC
2.3.9 Prognosis
Infeksi HCV bersifat self limiting hanya pada sejumlah kecil kelompok,
selainnya berkembang menjadi kronis.
20% berkembang menjadi sirosis setelah 20 tahun, dan 1-4% dari antaranya
menjadi HCC setiap tahunnya setelah 30 tahun. HCC lebih sering pada
penderita yang alkoholis, sirosis dan koinfeksi dengan HBV.
Dengan terapi baru yang direkomendasi, mencakup PEG IFN dan ribavirin,
sustained respond sebesar 60%.
36
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Hepatitis kronis adalah terjadinya inflamasi dan nekrosis hepar karena bermacam
penyebab yang berlangsung minimal 6 bulan yang diklasifikasi berdasarkan pada penyebabnya,
grade dan stagenya. Manifestasi yang tampak dapat berupa gejala gangguan hepar bahkan sirosis.
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang, serta dapat dilakukan
skrining pada seseorang yang berisiko. Pengobatan hepatitis kronis berfokus pada mengobati
penyebab dan mengelola komplikasi. Prognosis sangat bervariasi sesuai derajat hepatitisnya.
3.2 Saran
Pengenalan manifestasi lebih dini sangat diperlukan pada hepatitis kronis sehingga dapat
dilakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan manifestasi yang lebih serius pada pasien.
37
Daftar Pustaka
Elia A.P. Hutapea,dkk. 2014. Gambaran Pengetahuan Petugas Kesehatan Terhadap Hepatitis
Harrison, et al. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th ed. New York, McGraw
Hill.
Mohan, P., Khan, MA, & Snyder, JD. 2018. Chronic hepatitis. Principles and Practices of
Childhood Infectious Diseases, 413-416.e1.
Pawlotsky, J.-M., & Mchutchison, J. 2012. Chronic Viral and Autoimmune Hepatitis. Cecil
Medicine, Goldman, 973–979.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2017. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B.
Jakarta: PPHI.
Rutherford, Ana E. 2019. Overview of Chronic Hepatitis. Diakses dari web
https://www.msdmanuals.com/professional/hepatic-and-biliary-disorders/hepatitis/overview-of-
chronic-hepatitis pada tanggal 15 Oktober 2019
Tjokroprawiro Askandar, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan kedua. Surabaya: