Anda di halaman 1dari 39

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hepatitis telah menjadi masalah global, dimana dipengaruhi oleh pola makan, kebiasaan
merokok, gaya hidup tidak sehat, penggunaan obat-obatan, bahkan tingkat ekonomi dan
pendidikan menjadi beberapa penyebab dari penyakit ini. Penyakit hepatitis merupakan suatu
kelainan berupa peradangan organ hati yang dapat disebabkan oleh banyak hal, antara lain infeksi
virus, gangguan metabolisme, obat-obatan, alkohol, maupun parasit. Hepatitis juga merupakan
salah satu penyakit yang mendapatkan perhatian serius di Indonesia merupakan negara dengan
endemisitas nomor 2 Hepatitis B setelah Myanmar. Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2013
bahwa jumlah orang yang didiagnosa hepatitis di pelayanan kesehatan mengalami peningkatan dua
kali lipat dibandingkan tahun 2007,hal tersebut menunjukantentang uaya pengendalian di masa lalu
yang masih belum sepenuhnya berhasil, sehingga perlu dilakukan upaya-upaya yang lebih intens
untuk sekarang dan mendatang (Kemenkes RI, 2014).
Hepatitis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peradangan pada hati.
Hepatitis merupakan suatu proses terjadinya inflamasi atau nekrosis pada jaringan hati yang dapat
disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan sistem
antibodi. Infeksi yang disebabkan virus merupakan penyebab paling banyak dari Hepatitis akut.
Terdapat 6 jenis virus penyebab utama infeksi akut, yaitu virus Hepatitis A, B, C, D, dan E.
Penyakit Hepatitis yang disebabkan oleh virus, Hepatitis B menduduki tempat pertama dalam hal
jumlah dan penyebarannya yang di akibatkan oleh virus (Harrison, 2015).
Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di dunia pada
umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa sepertiga populasi dunia pernah
terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan pengidap hepatitis B.1 Prevalensi yang
lebih tinggi didapatkan di negara berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap
hepatitis B pada populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di
luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa.2,3 Secara genotip, virus hepatitis B di
Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%), diikuti oleh C (26%), D (7%)
dan A (0.8%).
Sirosis dan Karsinoma Hepatoselular (KHS) adalah dua keluaran klinis hepatitis B kronik
yang tidak diterapi dengan tepat. Insidens kumulatif 5 tahun sirosis pada pasien dengan hepatitis B
yang tidak diterapi menunjukkan angka 8-20%, dengan 20% dari jumlah ini akan berkembang
2

menjadi sirosis dekompensata dalam 5 tahun berikutnya.5-8 Sementara insidensi kumulatif KHS
pada pasien dengan hepatitis B yang sudah mengalami sirosis mencapai 21% pada pemantauan 6
tahun.
Pada hepatitis kronis, peradangan hati berlanjut setidaknya selama enam bulan. Kondisi ini
mungkin ringan, menyebabkan kerusakan yang relatif kecil, atau lebih serius berlanjut secara
perlahan merusak hepar, akhirnya mengakibatkan sirosis (jaringan parut hepar yang parah),
gagal hepar , dan kadang-kadang kanker hepar (Rutherford, 2019).

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik mengumpulkan beberapa referensi


terkait hepatitis kronis dan akan dibahas di dalam referat ini.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada referat ini, yaitu :
1. Apakah yang dimaksud dengan hepatitis kronis?
2. Bagaimana etiopatofisiologi, manifestasi, diagnosis, dan penatalaksanaan hepatitis kronis?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan referat ini, yaitu :
1. Mengetahui tentang hepatitis kronis
2. Menambah pengetahuan mengenai etiopatofisiologi, manifestasi, diagnosis, dan
penatalaksanaan hepatitis kronis
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis Kronis

2.1.1 Defenisi Hepatitis Kronis

Hepatitis kronis adalah terjadinya inflamasi dan nekrosis hepar karena bermacam penyebab
yang berlangsung minimal 6 bulan (Harrison, 2015). Hepatitis kronis, lebih jarang dibandingkan
hepatitis akut, dapat bertahan selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Pada kebanyakan
orang, tidak menyebabkan kerusakan hepar yang signifikan. Namun, pada beberapa orang,
peradangan yang berlanjut secara perlahan merusak hepar, akhirnya
mengakibatkan sirosis (jaringan parut hepar yang parah), gagal hepar , dan kadang
kadang kanker hepar (Rutherford, 2019).

2.1.2 Klasifikasi Hepatitis Kronis

Klasifikasi hepatitis kronis didasarkan pada penyebab, grade dan stagenya (Harrison,
2015), yaitu:

(1) Berdasarkan Penyebabnya

a. Hepatitis viral kronis ; hepatitis B, B plus D, C atau virus lainnya

Virus hepatitis C menyebabkan sekitar 60 hingga 70% kasus, dan setidaknya 75% kasus
hepatitis C akut menjadi kronis. Sekitar 5 hingga 10% dari kasus hepatitis B , kadang-kadang
dengan koinfeksi hepatitis D, menjadi kronis. (Hepatitis D tidak terjadi dengan sendirinya,
terjadi sebagai koinfeksi dengan hepatitis B.) Hepatitis B akut menjadi kronis hingga 90%
pada bayi baru lahir yang terinfeksi dan pada 25 hingga 50% anak kecil. Virus hepatitis
E menyebabkan hepatitis kronis pada orang dengan sistem kekebalan yang lemah, seperti
mereka yang menggunakan imunosupresan, setelah transplantasi organ, yang menggunakan
obat untuk mengobati kanker, atau yang memiliki infeksi HIV. Sedangkan virus hepatitis
A tidak menyebabkan hepatitis kronis (Rutherford, 2019).

b. Hepatitis autoimun, termasuk beberapa subkategori, I, II dan III

Hepatitis autoimun adalah kelainan hati inflamasi kronis yang ditandai dengan
adanya autoantibodi dalam serum, kadar imunoglobulin serum yang tinggi, dan sering
4

dikaitkan dengan penyakit autoimun lainnya. Hepatitis autoimun diyakini disebabkan oleh
reaksi autoimun terhadap hepatosit normal pada orang yang memiliki kecenderungan genetik
atau orang yang terpapar pemicu tak dikenal proses autoimun terhadap antigen hepar
(Pawlotsky, 2012).

c. Alkoholik dan Nonalkoholik

Alkohol, setelah diserap dalam saluran pencernaan, biasanya diproses


(dimetabolisme) di hepar. Saat alkohol diproses, zat yang dapat merusak hepar
diproduksi. Hepatitis alkoholik biasanya terjadi pada orang yang minum banyak selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hepatitis alkoholik ditandai oleh perlemakan hepar,
meluas yang dapat menyebabkan kematian sel-sel hepar. Jika orang terus minum, jaringan
parut dapat terbentuk di hepar dan akhirnya dapat menggantikan sejumlah besar jaringan
hepar yang normal, sehingga menyebabkan sirosis. Steatohepatitis nonalkohol biasanya
terjadi pada orang dengan kelebihan berat badan (obesitas), diabetes, dan / atau kadar
kolesterol abnormal dan lemak lain (lipid) dalam darah. Semua kondisi ini menyebabkan
tubuh mensintesis lebih banyak lemak atau memproses (memetabolisme) dan mengeluarkan
lemak lebih lambat. Akibatnya, lemak menumpuk dan kemudian disimpan di dalam sel hepar
(disebut fatty liver ). Perlemakan hepar dapat menyebabkan peradangan kronis dan sirosis
(Rutherford, 2019).

d. Hepatitis Kronis Karena Obat-obatan

Obat- obatan tertentu dapat menyebabkan hepatitis kronis, terutama ketika diminum
dalam waktu yang lama, seperti isoniazid , methyldopa , dan nitrofurantoin. Waktu reaksi
obat beracun tidak dapat diprediksi, dan reaksi ini dapat terjadi setelah bertahun-tahun
menggunakan obat dengan jangka waktu lama (Mohan, 2018; Rutherford, 2019).

e. Penyakit Tertentu

Beberapa kelainan metabolisme bawaan yang dapat menyebabkan hepatitis kronis,


namun jarang menyebabkan hepatitis kronis. Penyakit Wilson, suatu kondisi di mana tubuh
mengalami kesulitan memetabolisme tembaga, Hemochromatosis, suatu kondisi endapan besi
yang berlebihan di hepar dan banyak bagian tubuh lainnya (Mohan, 2018; Rutherford, 2019).

e. Idiopatik (Cryptogenic)
5

Hepatitis kriptogenik (hepatitis dari penyebab yang tidak diketahui) adalah diagnosis
eksklusi ketika semua penyebab di atas tidak ditemukan. Bergantung pada lokasi dan usia
populasi yang diteliti, hepatitis kriptogenik menyumbang sekitar 25% dari kasus hepatitis
kronis (Mohan, 2018).

(2) Berdasarkan Aktivitas Histologisnya (Grade)

Grade/penilaian histologis aktivitas nekroinflamasi, didasarkan pada pemeriksaan biopsi


hepar. Penilaian sifat histologis yang penting meliputi derajat nekrosis periportal dan gangguan
lempeng pembatas hepatosit periportal oleh sel-sel inflamasi (disebut piecemeal necrosis atau
interface hepatitis); tingkat nekrosis konfluen yang menghubungkan atau membentuk jembatan
antara struktur pembuluh darah antara saluran portal dan saluran portal atau bahkan jembatan yang
lebih penting antara saluran portal dan vena sentral — disebut sebagai bridging necrosis; tingkat
degenerasi hepatosit dan nekrosis fokal di dalam lobulus; dan tingkat peradangan portal. Beberapa
sistem penilaian yang memperhitungkan sifat histologis ini telah disusun dalam Histologic Activity
Index (HAI), yang biasa digunakan di Amerika Serikat, dan skor METAVIR, digunakan di Eropa.
Berdasarkan adanya dan tingkat dari ciri-ciri aktivitas histologis ini, hepatitis kronis dapat dinilai
sebagai ringan, sedang, atau berat (Harrison, 2015).

(3) Berdasarkan Tingkat Perkembangannya (Stage)

Tahap hepatitis kronis, yang menggambarkan tingkat perkembangan penyakit, didasarkan


pada derajat fibrosis hepar. Ketika fibrosis sangat luas sehingga septa fibrosa mengelilingi nodul
parenkim dan mengubah arsitektur normal lobulus hepar, lesi histologis didefinisikan sebagai
sirosis. Penentuan stage berdasarkan derajat fibrosis yang dikategorikan pada skala numerik dari
0−6 (HAI) atau 0−4 (METAVIR) (Harrison, 2015).
6

Tabel 1. (A) Tipe Hepatitis (B) Grade dan Stage Hepatitis Kronis secara histologi
7

2.2 Hepatitis B Kronis

2.2.1 Definisi Hepatitis B

Hepatitis B adalah penyakit infeksi disebabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel–sel hepar (Harrison, 2015).

2.2.2 Epidemiologi

Infeksi hepatitis virus hepatitis B merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat yang
cukup besar di Indonesia. Dan berbaagai penelitian yang ada, Frekuensi pengidap HBsAg berkisar
antara 3-20%. Penelitian dari berbagai daerah di Indonesia menunjukkan angka yang sangat
bervariasi bergantung pada tingkat endemisitas hepatitis B di tiap-tiap daerah, contoh: tingkat
endemisitas daerah Indonesia bagian Timur lebih tinggi dibandingkan daerah Indonesia bagian
Barat.

Infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia. Di Eropa
dan Amerika 15-25% penderita Hepatitis B kronik meninggal karena proses hati atau kanker hati
8

primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria Cina yang HBsAg positif bahkan
mendapatkan angka yang lebih besar yaitu antara 40-50%.

Menurut tingginya, prevalensi infeksi virus hepatitis B, WHO membagi dunia menjadi 3
macam daerah yaitu daerah dengan endemitas tinggi, sedang dan rendah.

- daerah endemisitas tinggi

penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah frekuensi HBsAg
dalam populasi berkisar 10-15%.

- daerah endemisitas sedang

penularan terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi HBsAg dalam
populasi berkisar 2-10%.

- daerah endemisitas rendah

penularan utama terjadi pada masa dewasa, penularan pada masa perinatal dan kanak-kanak
sanngat jarang tejadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar kurang 2 %.

2.3.3 Etiologi

Penyebab hepatitis B adalah virus hepatitis B, sebuah virus DNA dari keluarga
Hepadnaviridae dengan struktur virus berbentuk sirkular dan terdiri dari 3200 pasang basa dan
mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada hepatitis B disebut hepatitis B
surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat genome dari HVB yaitu sebagian dari molekul tunggal
dari DNA spesifik yang sirkuler dimana mengandung enzim yaitu DNA polymerase. Disamping
itu juga ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg). Antigen ini hanya ditemukan pada penderita
dengan HBsAg positif. HBeAg positif pada penderita merupakan pertanda serologis yang sensitif
dan artinya derajat infektivitasnya tinggi, maka bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa
HBeAg untuk menentukan prognosis penderita.
9

Gambar. Struktur Virus Hepatitis B

Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan vertikal.

- Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis B kepada individu yang
masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput
lendir,

- Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang dilahirkan

Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas (penularan
parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang kedua adalah penularan melalui
kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit
dan radang kulit.

Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B adalah selaput
lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir genetalia. Penularan
vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero), selama persalinan atau
perinatal dan setelah persalinan atau post natal.

Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan menembus membrane
mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi rata-rata sekitar 60-90 hari. HbsAg
telah ditemukan pada hampir semua cairan tubuh orang yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva,
air mata, asites, air susu ibu, urin, dan bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tubuh ini (terutama
darah, semen, dan saliva) telah terbukti bersifat infeksius.

Orang yang beresiko tinggi menderita hepatitis B:

1. Imigran dari daerah endemis HBV


10

2. Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik
3. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang terinfeki
4. Pria homoseksual yang secara seksual aktif
5. Pasien rumah sakit jiwa
6. Narapidana pria
7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu dari plasma
8. Kontak serumah dengan karier HBV
9. Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan darah
10. Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau segera setelah lahir.

2.2.4 Patofisiologi

Pajanan virus ini akan menyebabkan dua keluaran klinis, yaitu: (1) Hepatitis akut yang
kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2)
Berkembang menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa mengalami 4 fase
penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune clearance, fase pengidap inaktif, dan fase
reaktivasi. Fase immune tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar alanin
aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune clearance terjadi ketika sistem
imun berusaha melawan virus. Hal ini ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien
kemudian dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan DNA VHB yang
rendah < 2000 IU/ml, ALT normal, dan kerusakan hati minimal. Seringkali pasien pada fase
pengidap inaktif dapat mengalami fase reaktivasi dimana DNA VHB kembali mencapai >2000
IU/ml dan inflamasi hati kembali terjadi.

Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran darah partikel
Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan
memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh, partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler dan
HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. Virus hepatitis B merangsang respon imun
tubuh, yang pertama kali adalah respon imun non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT. Kemudian
diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel limfosit T dan sel limfosit B.
Aktivasi sel T CD8 + terjadi setelah kontak reseptor sel T dengan komplek peptide VHB-MHC
kelas I yang ada pada permukaan dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang ada
11

di dalam sel hati terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan
menyebabkan meningkatnya ALT.

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan mengakibatkan produksi antibody
antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel virus hepatitis
B bebas dan mencegah masuknya virus ke dalam sel, dengan demikian anti-HBs akan mencegah
penyebaran virus dari sel ke sel.

Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis B dapat diakhiri
tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi virus hepatitis B yang menetap.
Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor
virus atau pun faktor pejamu.

Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B,
hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel – sel terinfeksi, terjadinya mutan virus
hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg, integarasi genom virus hepatitis B dalam genom sel
hati

Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN, adanya antibodi
terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons antiidiotipe, faktor kelamin dan
hormonal. Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B dalam
persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus
yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif, diduga persistensi infeksi virus hepatitis B
pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului
invasi virus hepatitis B, sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan
sel T karena tingginya konsentrasi partikel virus.

2.2.5 Diagnosa dan Gejala Klinik Hepatitis B Kronis

Gambaran klinis Hepatitis B kronik sangat bervariasi. Pada banyak kasus tidak didapatkan
keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hepar hasilnya normal. Pada sebagian lagi
didapatkan hepatomegali atau bahkan spleenomegali atau tanda-tanda penyakit hati kronis lainnya,
misalnya eritema palmaris dan spider nevi, serta pada pemeriksaan laboratorium sering didapatkan
kenaikan konsentrasi ALT walaupun hal itu tidak selalu didapatkan. Pada umumnya didapatkan
12

konsentrasi bilirubin yang normal. Konsentrasi albumin serum umumnya masih normal kecuali
pada kasus-kasus yang parah.

Berikut adalah tanda dan gejala dari Hepatitis B kronik:

 Banyak pasien dengan hepatitis B kronis asimptomatis


 Tanda-tanda non spesifik mungkin dapat mendominasi gambaran klinik
 Kelelahan
 Malaise
 Anorexia
 Jaundice dapat persisten atau intermitten
 Tanda-tanda lain dari penyakit liver kronis adalah:
 Hepatomegali
 Eritema palmaris
 Spider nevi
 Terkadang pasien datang dengan komplikasi dari sirosis yang ditunjukkan oleh:
 Ascites
 Edema
 Perdarahan Varises Gastroesofagus
 Enselopati Hepar
 Koagulopati
 Hyperspleenisme
 Sindroma hepatorenal
Pendekatan Diagnosis:
A. Marker serologi dari infeksi Hepatitis B kronik
o Berdasar dari HbeAg dan HBV DNA
o Kedua tes di atas untuk menentukan prognosa dan terapi
B. Biopsi hati dapat menentukan tingkat keparahan penyakit dan membantu dalam
intervensi pengobatan.

o Biopsi hati harus dipertimbangkan untuk pasien yang mempunyai ciri-ciri


yang sekiranya menunjukkan tanda-tanda hepatitis B kronik
1. HbsAg positif > 6 bulan
2. Serum HBV DNA > 105 /mL
13

3. Elevasi dari ALT / AST yang intermitten atau persisten


o Biopsi hati juga penting untuk pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk
pengobatan terapi, mempunyai:
1. Serum HBV DNA 104 sampai 105 /mL dan
2. ALT/ AST level normal atau meningkat sedikit (<2x batas atas normal)
o Dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit,
memprediksi respon terhadap terapi dan mengeliminasi kemungkinan
hepatoma
C. Tes Laboratorium
Tes untuk Diagnosis

o HbsAg : Positif kecuali pada pasien inaktif carrier


o IgG anti-Hbe positif
o IgM anti HBc
 Positif pada infeksi akut atau baru saja terinfeksi
 Berguna untuk membedakan antara infeksi akut dan kronis
o Anti-HBs
 Biasanya tidak terdeteksi atau levelnya sangat rendah pada
infeksi kronis
 Terdeteksi setelah mendapat vaksin Hepatitis B
 Dapat mengindikasikan infeksi hepatitis B pada waktu lalu
o HbeAg
 Marker kualitatif pada replikasi virus hepatitis B
o HBV DNA
 Marker kuantitatif pada replikasi virus hepatitis B
 Terkait dengan level dari kerusakan hepar dan resiko
memburuknya kondisi hepar pasien
 Digunakan untuk menilai respon dari pengobatan
o Replikasi Virus Hepatitis B yang aktif biasanya diindikasikan dengan
munculnya
o HbeAg
o HBV DNA
o Anti-Hbe positif
14

 Temuan Laboratorium tambahan


 ALT level: meningkat
 AST level: meningkat
 Alkaline phosphatase level: normal atau meningkat sedikit
 Serum Bilirubin level: meningkat banyak
 Hipoalbuminemia
 Prothrombine time: memanjang
D. Imaging
Abdominal USG atau CT-scan, berguna untuk mengeliminasi kemungkinan Hepatoma
dan memandu biopsi hati.

Secara sederhana manifestasi klinis Hepatitis B kronik dapat dikelompokkan menjadi 2


yaitu :

1. Hepatitis B kronik aktif


HbsAg positif dengan DNA VHB lebih dari 105 kopi/ ml didapatkan kenaikan ALT
yang menetap atau intermetten. Pada pasien sering didapatkan tanda-tanda penyakit hati
kronik. Pada biopsi hati didapatkan gambaran peradangan yang aktif. Menurut status
HbsAg pasien dikelompokkan menjadi Hepatitis B kronik HbeAg positif dan hepatitis B
kronik HbeAg negatif.
2. Carrier VHB inaktif
Pada kelompok ini HbsAg positif dengan titer DNA VHB yang rendah yaitu kurang
dari 105 kopi/ ml. Pasien menunjukkan konsentrasi ALT normal dan tidak didapatkan
keluhan. Pada pemeriksaan histologic terdapat kelainan jaringan yang minimal. Sering sulit
membedakan Hepatitis B kronik Hbe negatif dengan pasien carrier VHB inaktif karena
pemeriksaan DNA kuantitatif masih jarang dilakukan secara rutin. Dengan demikian perlu
dilakukan pemeriksaan ALT berulang kali.
15

2.2.6 Penatalaksanaan

Tujuan terapi hepatitis B kronis adalah untuk mengeliminasi secara bermakna replikasi
VHB dan mencegah progresi penyakit hati menjadi sirosis yang berpotensial menuju gagal hati,
dan mencegah karsinoma hepatoselular. Sasaran pengobatan adalah menurunkan kadar HBV DNA
serendah mungkin, serokonversi HBeAg dan normalisasi kadar ALT. Sasaran sebenarnya adalah
menghilangnya HBsAg, namun sampai saat ini keberhasilannya hanya berkisar 1-5%, sehingga
sasaran tersebut tidak digunakan.

Tabel. Target terapi Hepatitis B Kronis


16

Sebelum memulai pengobatan maka evaluasi menyeluruh dan konseling wajib dilakukan
kepada pasien.

Anamnesis Risiko penularan Keluarga, transfusi, obat-obatan narkoba


Gejala penyakit hati

Pemeriksaan Tanda penyakit hati Ikterus, splenomegali, ascites


fisik Tanda gagal hati

Pemeriksaan lab Profil darah tepi Trombositopeni


ALT, dan AST,
GGT, alkali
fosfatase, bilirubin,
albumin dan globulin
serum, waktu
protrombin
Tes fungsi ginjal
Kadar glukosa darah

Penanda virus HBsAg kuantitatif Khusus pengobatan dengan Peg Interferon


HBeAg dan Anti Strategi pengobatan
HBe “alarm” pengobatan
HBV DNA
Imaging ultrasonografi Mengetahui kondisi hati, kemungkinan
hipertensi portal, ascites dan nodul

Biopsi hati Pada kasus terseleksi Fibro scan sebagai alternatif

Pemeriksaan ko Anti HCV


morbid-ko Anti HIV
infeksi Tes ANA
17
18

Terdapat 2 jenis obat hepatitis B yang diterima secara luas, yaitu imunomodulator
(golongan interferon alfa konvensional dan PEG IFN) dan obat anti viral (golongan nukleosida).

 Interferon
Interferon (IFN) adalah mediator inflamasi fisiologis dari tubuh berfungsi dalam
pertahanan terhadap virus. Waktu paruh interferon di darah sangatlah singkat, yaitu sekitar 3 – 8
jam. Pengikatan interferon pada molekul polyethylene glycol (disebut dengan pegylation) akan
memperlambat absorbsi pembersihan, dan mempertahankan kadar dalam serum dalam waktu lama
sehingga memungkinkan pemberian mingguan. Saat ini tersedia 2 jenis pegylated interferon, yakni
pegylated-interferon α-2a (Peg-IFN α-2a) dan pegylated-interferon α-2b (Peg-IFN α-2b).

Bukti-bukti terbaru menunjukkan pemberian Peg-IFN α-2a dengan dosis 180 µg/minggu
selama 48 minggu menunjukkan hasil lebih baik. Selama pemberian interferon, pemeriksaan darah
tepi harus dilakukan setiap bulan untuk menilai efek samping terapi. Pemantauan adanya depresi
berat juga harus dilakukan pada setiap kunjungan pasien.
19

Monitoring terapi Peg IFN

- Pemeriksaan darah tepi, secara rutin harus dilakukan sedikitnya 4 minggu sekali. Perhatikan
penurunan kadar Hb, leukosit dan trombosit sampai toleransi yang diperbolehkan untuk
pemberian Peg IFN.
- Kadar ALT; peningkatan kadar ALT selama pengobatan menunjukkan respon obat yang baik,
namun bila disertai tanda penurunan fungsi hati, maka harus dipertimbangkan untuk
menghentikan obat. Kadar ALT diperiksa setiap 4 minggu.
- Pemeriksaan kadar HBsAg (kuantitatif) awal pengobatan, dan kemudian diikuti pada minggu
ke-12 pengobatan penting dilakukan untuk strategi meneruskan atau menghentikan
pengobatan. Penurunan kadar HBsAg yang signifikan pada minggu ke-12 memprediksi
keberhasilan pengobatan.
- Pemeriksaan HBV DNA (viral load) penting dilakukan. Pada minggu ke-12 pengobatan,
pemeriksaan HBV DNA bersama dengan kadar HBsAg kuantitatif merupakan prediktor kuat
keberhasilan pengobatan.
Penghentian pengobatan Peg IFN

Dilakukan sesuai jadwal, yaitu setelah tercapai 48x pemberian pegilated interferon alfa 2A.
Penghentian juga dapat dilakukan bila terjadi efek samping sehingga tidak memungkinkan
diberikan obat ini.

 Analog Nukleosida
Analog nukleosida bekerja dengan menghambat tempat berikatan polymerase virus,
bekompetisi dengan nukleosida atau nukleotida, dan menterminasi pemanjangan rantai DNA.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah lamivudin, adefovir dipivoxil, entecavir,
telbivudin, dan tenofovir disoproxil fumarate. Dari lima obat tersebut, hanya entecavir dan
tenofovir yang masih memiliki efektivitas tinggi dengan tingkat resistensi yang relatif rendah,
sehingga obat-obat golongan nukleosida lainnya sudah mulai ditinggalkan.

Pada prinsipnya, terapi analog nukleosida harus diteruskan sebelum tercapai indikasi
penghentian terapi atau timbul kemungkinan resistensi dan gagal terapi. Perlu diperhatikan bahwa
sebagian pasien terbukti tidak bisa mempertahankan respon virologist ataupun serologis setelah
penghentian terapi analog nukleosida, maka pemantauan terhadap indikator-indikator hepatitis B
harus dilakukan secara berkala.
20

Monitor terapi dengan analog nukleosida

- Pemeriksaan ALT, secara berkala harus dilakukan. Pada minggu ke-12 pengobatan dilakukan
pemeriksan ALT, dan kemudian setiap 12 minggu setelahnya, atau tergantung hasil
pemeriksaan. Peningkatan ALT pada setiap pemeriksaan patut dicurigai sebagai tanda
kegagalan terapi.
- Pemeriksaan kadar HBV DNA, pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan secara berkala dan
biasanya dilakukan minimal setiap 12 minggu. Pada umumnya setelah minggu ke-24 bila
kadar HBV DNA masih dapat terdeteksi, maka perlu dipikirkan untuk mengubah strategi
pengobatan.
- Pemahaman respons pengobatan selama monitor pengobatan dengan AN harus dikuasai
seorang dokter klinisi, sehingga tidak membahayakan pasien
Penghentian pengobatan analog nukleosida

Pada pasien dengan HBe positif, penghentian pengobatan dilakukan bila telah terjadi
penurunan kadar HBV DNA sampai nilai tak terdeteksi dan menghilangnya HBeAg yang disertai
serokonversimenjadi Anti HBe. Kondisi ini setidaknya dilakukan sampai 3x pemeriksaan selang
24 minggu. Namun demikian beberapa konsensus internasional menganjurkan pengobatan
diteruskan selama mungkin.

Pada pasien dengan HBeAg negatif, setelah tercapai penurunan kadar HBV DNA sampai
tidak terdeteksi penghentian pengobatan masih kontroversial, beberapa konsensus internasional
menganjurkan pemberian diteruskan selama mungkin.

 Terapi pada Penyakit Hati Lanjut


Pada fase immune clearance, system imun penderita akan bereaksi melawan infeksi VHB.
Fasi ini ditandai dengan peningkatan ALT sampai lebih dari lima kali batas atas nilai normal.
Semakin tinggi ALT, maka semakin tinggi aktivitas imun penderita terhadap infeksi VHB.
Kerusakan hepatosit yang terjadi pun semakin ekstensif. Insiden sirosis dilaporkan meningkat pada
HBeAg negatif dibandingkan dengan HBeAg positif.
21

 Terapi pada Sirosis Kompensata


IFN dan Peg-IFN aman dan efektif digunakan pada pasien hepatitis B dengan sirosis
kompensata yang terkaitinfeksi VHB. Pada pasien yang mempunyai kontraindikasi atau tidak
berespon pada pemberian terapi berbasis interferon, maka pemberian analog nukleosida dapat
diperimbangkan sebagai terapi jangka panjang. Entecavir dan tenofovir direkomendasikan pada
pasien sirosis kompensata yang tidak dapat menggunakan terapi berbasis interferon atau tidak
memberikan respon terhadap terapi berbasis interferon.

 Terapi pada Sirosis Dekompensata


Penggunaan IFN pada pasien dengan sirosis dekompensata terkait VHB dapat
menyebabkan dekompensasi dan meningkatkan risiko infeksi bakteri, bahkan pada dosis kecil,
sehingga penggunaan IFN dikontraindikasikan pada pasien dengan sirosis dekompensata. Saat ini,
analog nukleosida seperti lamivudin, entecavir, telbivudin, dan tenofovir telah disetujui sebagai
terapi pada sirosis dekompensata terkait VHB.
22

 Terapi pada Populasi Khusus


Ko-infeksi dengan VHC atau VHD

Tatalaksana pasien infeksi VHB kronik dengan koinfeksi virus hepatits D atau hepatits C
sebaiknya disesuaikan dengan virus yang dominan. Koinfeksi berhubungan dengan peningkatan
kejadian hepatitis yang fulminan dan insiden sirosis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
monoinfeksi.

Peg-IFN adalah satu-satunya obat yang efektif terhadap VHD. Pemberian Peg-IFN 1,5
µg/kg/minggu selama 12 bulan menunjukkan hasil yang cukup baik. Sedangkan dalam terapi
koinfeksi dengan VHC, Peg-IFN dan ribavirin merupakan pilihan utama.

Ko-infeksi dengan HIV

Langkah pertama dalam menatalaksana koinfeksi HIV-VHB adalah mengevaluasi apakah


pasien tersebut membutuhkan terapi anti HIV. Pada pasien yang tidak termasuk dalam criteria
indikasi anti-HIV, pilihan utama terapi VHB adalah IFN, Peg-IFN, dan adefovir. Pada pasien HIV
positif dengan indikasi terapi anti-HIV, pilihan utama pengobatan VHB adalah tenofovir dengan
lamivudin atau emtricitabine. Pada pasien dengan VHB resisten lamivudin, maka regimen terapi
anti-HIV harus ditambahakn dengan tenofovir atau mengganti salah satu HRTI dengan tenofovir.

Wanita Hamil

Pada wanita hamil yang telah didiagnosis mengidap infeksi VHB kronik pada awal
kehamilan, keputusan dimulainya terapi harus melihat risiko dan keuntungan pengobatan tersebut.
Terapi VHB pada wanita hamil biasanya ditunda sampai trimester 3 untuk menghindari transmisi
perinatal.

Peg-IFN dikontraindikasikan pada kehamilan. Sedangakn lamivudin, entecavir, dan


adofovir dikategorikan dalam pregnancy safety class C. telbivudin dan tenofovir dikategorikan
pregnancy safety claa B. tenofovir lebih direkomendasikan sebagai terapi karena ririsko resistensi
yang rendah.
23

Sampai saat ini masih terdapat kontroversi tentang kelompok yang mendapat keuntungan
paling tinggi dengan pemberian terapi antiviral selama kehamilan. Namun, panduan yang ada
menunjukkan batasan DNA VHB > 2 x 106 IU/mL sebagai indikasi pemberian terapi antiviral.

Pasien dengan Terapi Imunosupresi

Reaktivasi replikasi VHB dengan dekompensasi hati pada pasien imunosupresi dilaporkan
pada 20 – 50 % pasien dengan infeksi VHB kronik yang menjalani kemoterapi atau terapi
imunosupresi. Karena risiko reaktivasi yang tinggi ini, maka seluruh pasien yang akan menjalani
kemoterapi disarankan untuk menjalani pemeriksaan HBsAg dan anti-HBc. Pada pasien dengan
HBsAg positif, pemeriksaan DNA VHB harus dilakukan dan pasien harus mendapat terapi
profilaksis sejak 1 minggu sebelum menjalani kemoterapi sampai 12 bulan setelah kemoterapi.

Penggunaan lamivudin sebagai terpai profilaksis menurunkan risiko reaktivasi VHB serta
menurunkan insiden gagal hati dan kematian terakit infeksi VHB. EASL merekomendasikan pada
pasien dengan DNA VHB tinggi atau akan menjalani sesi kemoterapi yang panjang dan repetitive,
antiviral potensi tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir atau tenofovir digunakan
sebagai profilaksis.

Petugas Kesehatan

Petugas kesehatan dengan HBsAg positif dan DNA VHB >2000 IU/ml dapat diberikan
antiviral potensi tinggi dengan barrier resistensi tinggi, seperti entacavir atau tenofovir.

Hepatitis Akut

Pemberian lamivudin 100-150 mg/hari menyebabkan hilangnya HBsAg pada 82,4% pasien
hepatitis akut fulminan selama kurang dari 6 bulan. Panduan dari EASL merekomendasikan
pemberian lamivudin sampai 3 bulan setelah serokonversi atau setelah munculnya anti-HBe pada
pasien HBsAg positif.

Pasien yang akan Menjalani Transplantasi Hati

Terapi profilaksis untuk menurunkan muatan virus sebelum tranplantasi dilakukan perlu
diberikan untuk mencegah rekurensi post transplantasi. Terapi profilaksis yang dapat diberikan
adalah analog nukleosida dengan ambang resistensi yang tinggi.
24

Profilaksis pre transplantasi yang digabungkan dengan kombinasi lamivudin dan HBIG
dosis tinggi setelah transplatasi hati dapat menurunkan risiko rekurensi sampai 90%.
25

Tabel 1. Rekomendasi Terapi Hepatitis B kronis

Strategi tatalaksana resistensi anti VHB

Resistensi Strategi
Lamivudine - Tambahkan adefovir atau tenofovir
- Stop lamivudine, ganti dengan tenofovir
Adefovir - Tambahkan lamivudine
- Stop adefovir, ganti dengan tenofovir
- Tambah atau ganti dengan entecavir
Entecavir - Ganti dengan tenofovir
Telbivudine - Tambahkan adefovir atau tenofovir
- Stop telbivudine ganti dengan tenofovir
26

Tenofovir - Dapat ditambah dengan entecavir, telbivudine atau


lamivudine

2.2.7 Komplikasi

Setelah umur rata-rata 30 tahun, 30% dari pasien dengan hepatitis B kronis aktif akan
berkembang menjadi sirosis. Dekompensasi hati terjadi pada sekitar seperempat dari pasien sirosis
dengan hepatitis B selama periode lima tahun, dimana 5-10% yang lainnya akan terus berkembang
menjadi kanker hati. Tanpa pengobatan, sekitar 15% pasien dengan sirosis akan meninggal dalam
waktu 5 tahun.

Gambar Perjalanan Infeksi Hepatitis B Kronik

Resiko untuk karsinoma hepatoseluler pada orang yang terinfeksi hepatitis B kronik adalah
sekitar 10-25%. Mereka yang mempunyai resiko lebih tinggi mengalami kanker hati adalah laki-
laki dewasa dengan penyakit sirosis yang pertama kali terjangkit hepatitis B pada usia dini. Sekitar
80% dan 90% dari pasien karsinoma hepatoseluler memiliki penyakit sirosis yang mendasarinya.
Lebih dari 50% kasus karsinoma hepatoseluler di seluruh dunia dan 70-80% kasus karsinoma
hepatoseluler di daerah endemik hepatitis B disebabkan oleh virus hepatitis B. Nilai median untuk
kelangsungan hidup pasien dengan karsinoma hepatoseluler adalah <5 bulan tanpa perawatan yang
tepat, yang meliputi operasi, perawatan perkutan, iradiasi hati dan kemoterapi.

2.2.8 Pencegahan

Hepatitis B dapat dicegah melalui dua cara, yaitu modifikasi pola hidup dan vaksinasi.
27

a. Modifikasi pola hidup


1. Penggunaan kondom bagi kelompok orang yang aktif secara seksual
2. Hindari pemakaian narkoba dengan satu jarum suntik secara bersama-sama
3. Jangan berbagi apa pun (termasuk produk perawatan) yang mungkin memiliki darah
di atasnya, seperti pisau cukur, sikat gigi, gunting kuku, dll
4. Hindari tatto
5. Pekerja kesehatan harus meningkatkan kewaspadaan terhadap alat-alat rumah sakit,
terutama yang berhubungan dengan pasien hepatitis B
6. Jika hamil dan merasa memiliki faktor resioko hepatitis B sebaiknya berkonsultasi
dengan praktisi kesehatan
b. Vaksin
Tujuan pemberian vaskin yaitu mencegah penyakit klinis dan penularan terhadap individu
lain. Ada dua produk yang digunakan untuk tindakan pencegahan hepatitis B yaitu :
1. Hepatitis B immune globulin (HBIG)
HBIG berasal dari plasma yang mengandung anti-HBS dengan titer tinggi dan digunakan
untuk prophylaxis postexposure. Dosis yang direkomendasikan untuk anak-anak dan
dewasa: 0,06 ml/kg dan dosis 0,5 ml untuk infeksi virus hepatitis B perinatal yaitu infant
yang lahir dari ibu dengan HBsAgnya yang positif.
2. Vaksin Hepatitis B
Vaksin hepatitis B menggunakan HBsAg yang diproduksi dari yeast Saccharomyces
cerevisiae dengan teknologi recombinant DNA dan digunakan sebagai immunisasi
preexposure dan profilaksis postexposure.
Ada dua vaksin hepatitis B monovalent yang tersedia, digunakan untuk dewasa dan anak-
anak yaitu Recombivax HB (Merck and Co., Inc.) dan Engerix B (SmithKline Beecham
Biologicals). Pemberiannya secara bertahap sebanyak tiga dosis, diberikan intramuskular pada
muskulus deltoid. Kombinasi Hepatitis B Immune Globulin dan vaksinasi hepatitis B dimulai
dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, diikuti dengan tiga dosis imunisasi yang jadwalnya
dimulai pada usia 1-2 bulan, telah terbukti melindungi 85-95% dari bayi yang ibunya positif untuk
kedua HBsAg dan HBeAg.
Orang-orang yang perlu mendapat vaskin.

1. Bayi yang baru lahir


2. Anak-anak yang berusia di bawah 19 tahun yang belum divaksinasi
28

3. Orang yang memiliki pasangan yang terinveksi HVB


4. Orang yang sering berganti pasangan
5. Pekerja kesehatan
6. Penderita HIV dan Liver kronik
7. Wisatawan yang akan berkunjung ke daerah endemik.

2.2.9 Prognosis

Dengan penanggulangan yang cepat dan tepat, prognosisnya baik. Pada sebagian kasus
penyakit berjalan ringan dengan perbaikan biokimiawi terjadi secara spontan dalam 1 – 3 tahun.
Pada sebagian kasus lainnya, hepatitis kronik persisten dan kronik aktif berubah menjadi keadaan
yang lebih serius, bahkan berlanjut menjadi sirosis. Secara keseluruhan, walaupun terdapat
kelainan biokimiawi, pasien tetap asimptomatik dan jarang terjadi kegagalan hati. Infeksi hepatitis
B dikatakan mempunyai mortalitas tinggi.

2.3 Hepatitis C Kronis

2.3.1 Defenisi

Hepatitis C adalah peradangan pada organ hati akibat infeksi virus hepatisis C. Sebagian
penderita hepatitis C dapat mengalami penyakit liver kronis, hingga mengalami kanker hati.

2.3.2 Epidemiologi

Prevalensi hepatitis virus C (HCV) meningkat di seluruh dunia. WHO


memperkirakan lebih dari 170 juta individu di seluruh dunia terjangkit HCV. Insiden
HCV di Indonesia sampai saat ini belum ada data pasti, namun dari pemeriksaan
terhadap penderita HCV (+) dilaporkan terdapat 44,8% HCV RNA (+), dan HCV RNA
(+) ini lebih banyak ditemukan pada usia tua dan ekonomi rendah.

2.3.3 Etiologi
Hepatitis C disebabkan oleh virus Hepatitis C yang termasuk golongan virus
RNA (ribonuceic acid). Masa inkubasinya sekitar 2-24 minggu. Penularan hepatitis C
melalui darah dan cairan tubuh, perinatal sangat kecil, jarum suntik, ytranspalntasi
29

organ dan hubungan seks. Ada enam genotip utama dan sejumlah subtipe dari HCV
berdasarkan pendekatan molekular. HCV genotip 1, khususnya 1b, tidak berespon
terhadap terapi sama seperti genotip 2 dan 3. Genotip 1 juga dihubungkan dengan
penyakit liver yang lebih berat dan resiko yang lebih tinggi untuk mendapat HCC.

Gambar. Struktur Virus Hepatitis C

Kadar HCV dalam cairan tubuh seperti saliva, sperma, urin, feses dan sekresi
vagina amat rendah dibandingkan di dalam serum. Transmisi HCV melalui hubungan
seksual hanya kurang dari 3-7%. Hal ini dapat dieliminir lagi dengan pemakaian
kondom. Insiden meningkat pada free sex, mempunyai penyakit seksual yang menular,
homoseksual, lama kawin dan meningkatnya jumlah virus.

Hepatitis virus C mempunyai kemampuan untuk bermutasi dalam replikasi


RNA (quasi spesies) yang pada akhirnya akan mempunyai sensitivitas yang berbeda
terhadap penatalaksanaan. Tingkatan perubahan (diversity) akan berbanding lurus
dengan resistensi terhadap terapi interferon.

2.3.4 Patofisiologi
Bila seorang terinfeksi HCV sebagian kecil akan sembuh sempurna dan
sebagian besar menjadi kronis dengan terbentuknya antibodi terhadap virus C (anti
HCV). Reaksi imunologis bersifat humoral dan selular dimana sistem humoral
membentuk IgM anti HCV dan imunologik selular mengaktivasi sel sitotoksik untuk
menghancurkan virus C dengan bantuan MHC (mayor histocompability) dan interferon,
dimana interferon melalui enzim 2,5 oligo adenylate sintetase menghambat
pembentukan protein virus (replikasi virus).
Bila sel T sitotoksik mampu mengeliminasi virus akan terjadi penyembuhan dan
30

bila gagal akan menjadi hepatitis kronik. Walaupun anti HCV negatif selama lebih dari
6 bulan dan transaminase normal namun kalau masih ditemukannya HCV RNA (+)
maka penderita dianggap sebagai pengidap hepatitis C.

Koinfeksi dengan HBV juga telah dihubungkan peningkatan keparahan hepatitis


C kronik dan mempercepat laju ke arah sirosis. Tambahan koinfeksi dengan HBV
mempengaruhi perkembangan ke arah HCC.
31

2.3.5 Diagnosis

Karena gejala klinis sangat minimal maka pemeriksaan penunjang memang mempunyai
peranan yang sangat penting.
Diagnosis ditegakkan dengan: Anti HCV positif “Marker of infection”

HCV RNA positif “Marker of viremia”


Beberapa Pemeriksaan Penunjang Antara Lain:

1. Laboratorium
Tes anti bodi Hepatitis C
Skrining serologis anti HCV mencakup enzim immunoassay (EIA) yaitu EIA 1 dan EIA 2
yang 97% spesifik. Cara ini untuk membedakan kasus akut dan kronis. EIA generasi ketiga
sudah dapat mendeteksi antibodi 4-10 minggu setelah terinfeksi. Rekombinan imunoblot
assay (RIBA) yaitu RIBA-2 digunakan untuk konfirmasi infeksi HCV dengan hasil EIA
positif pada populasi resiko rendah.
HCV RNA dengan PCR digunakan untuk mendeteksi infeksi dalam 1-3 minggu terpapar.
Sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Viral load test diperiksa secara kualitatif digunakan untuk memperkirakan hasil anti HCV
yang sepertinya menggambarkan progresifitas penyakit.
Genotip virus penting dalam terapi penderita, akan membantu dalam melihat hasil dan lama
terapi. Secara klinis perbedaan yang relevan adalah antara genotip 1 dan genotip 2 dan 3.
Genotip 1 biasanya diterapi 12 bulan sedang yang lain 6 bulan.
Pemeriksaan yang harus dilakukan sebelum pengobatan:

 Anti HCV anti bodi EIA

 Genotip

 HCV RNA kuantitatif; reverse transcriptase PCR lebih sensitif dari DNA

 Pemeriksaan ALT dan AST, bilirubin dan level albumin

 Skrining koinfeksi

2. USG hati dan sistem biliar untuk menyingkirkan kemungkinan diagnostik lain.

3. Biopsi hati
32

Biopsi hati sebenarnya tidak diharuskan pada awal pengobatan, dilakukan untuk
menilai aktivitas penyakit hati yang dihubungkan dengan HCV. Evaluasi histologis dari
biopsi hati dapat meramalkan prognosa dan progresifitas penyakit. Temuan biopsi juga
dapat menyingkirkan penyebab lain sehingga dianjurkan pada pemeriksaan awal infeksi
HCV. Tapi ada juga bila hanya tidak dijumpai adanya remisi menetap.

2.3.6 Penatalaksanaan

Indikator respon pengobatan yang diharapkan adalah klirens virus, ditunjukkan dengan tidak
terdapatnya HCV RNA di serum dengan menggunakan test yang paling sensitif. Respon virus pada
akhir pengobatan (End of Treatment Viral Response = ETVR) dinyatakan dengan tidak
dijumpainya HCV RNA pada akhir pengobatan. Respon virus menetap (Sustained Viral Response
= SVR) dinyatakan dengan HCV RNA pada 6 bulan setelah menyelesaikan pengobatan.

Respon Virus Menetap (Svr)

SVR adalah berkorelasi baik dengan manfaat perubahan fibrosis hati, pencegahan HCC dan
perbaikan klinis lain. Alanin Aminotransferase (ALT) sebagai indikator biokimia hepatitis
mempunyai beberapa kelemahan antara lain:
1. Penggunaan ALT untuk menggambarkan suatu respon (ETR atau SR) mempunyai angka
kesalahan 15%
2. Penggunaan ALT untuk menggambarkan tidak respon mempunyai angka kesalahan 10-
50% tergantung pada adanya sirosis, penggunaan regimen interferon yang lebih kuat atau
produk interferon seperti pegylated (PEG)-IFN

Manfaat Pengobatan Antiviral Pada Hepatitis Kronis C

1. Regresi fibrosis

2. Mengurangi angka terjadinya HCC

3. Mengurangi laju terjadinya komplikasi lain seperti gagal hati dan angka kematian oleh
karena penyebab hati.
33

4. Meningkatkan kualitas hidup

Hal berikut di bawah ini mempengaruhi hasil pengobatan:

1. Usia

2. Jenis kelamin

3. Variabilitas virus

4. Titer HCV RNA

5. Keparahan fibrosis

Pasien dengan ALT serum normal tidak diterapi. Pasien dengan tidak ada atau fibrosis yang
minimal tidak penting sekali diterapi dengan antiviral. Bila telah ditetapkan untuk tidak diterapi
maka pasien ini harus diikuti untuk melihat progresi penyakitnya, mencakup biopsi liver ulangan
untuk melihat tingkatan fibrosis, setiap 3-7 tahun. Pasien dengan fibrosis nyata yang berisiko
menjadi sirosis dengan sirosis kompensata harus dipertimbangkan pemberian terapi antiviral.
Pasien dengan sirosis dan gagal hati secara umum tidak boleh diterapi dengan antivirus
HCV. Sebaliknya harus dipertimbangkan untuk dilakukan transplantasi hati.
Yang mempengaruhi hasil pengobatan: usia, jenis kelamin, variabilitas virus, titer HCV
RNA, keparahan fibrosis.

Terapi Pasien Yang Belum Pernah Diterapi Sebelumnya

Rekomendasi dari Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan Hepatitis C kronik adalah
terapi kombinasi dengan interferon/ribavirin. Lama terapi 6 bulan untuk genotip 2 dan 3 atau
genotip 1 dengan beban virus rendah (<2.000.000 virus ekivalen/ml) dan 12 bulan untuk genotip
1 dan 4 dengan beban virus tinggi (>2.000.000 virus ekivalen/ml). Pemakaian IFN dosis tinggi
setiap hari selama 4-6 minggu pertama pengobatan (terapi induksi) memperbaiki efikasi antiviral
tetapi belum dapat dibuktikan meningkatkan SVR. Jika terapi kombinasi tidak tersedia atau
kontraindikasi maka monoterapi IFN dan regimen khusus atau produk lain yang menambah efikasi
masih mempunyai peranan.
34

Pasien Yang Tidak Memberi Respon Virus Menetap


Yang termasuk golongan ini adalah pasien yang respon tetapi kemudian relaps ataupun
yang tidak respon sama sekali, walaupun pada beberapa pasien ini ada terlihat manfaat
perlambatan progresi ke arah fibrosis dan perbaikan klinis.
Rekomendasi Konsensus Asia Pasifik:

Terapi ulangan harus dipertimbangkan pada pasien yang relaps setelah ETR terhadap
pengobatan sebelumnya dengan regimen yang kini dipertimbangkan suboptimal, misal IFN 3
juta U, tiga kali seminggu selama 6 bulan.
Rekomendasi yang dianjurkan antara lain:

a. IFN 3 juta U, 3x/minggu, selama 6 bulan ditambah ribavirin 1000 1200 mg/hari, sesuai
dengan berat badan.
b. Monoterapi IFN optimal seperti dosis yang lebih tinggi dan/atau waktu yang lebih lama,
atau penggunaan produk iFN yang lebih kuat.

Efek Samping Ribavirin dan Interferon

Efek samping segera berupa flu like symptom, mual, iritabilitas, insomnia, diare, gangguan
pendengaran, visual, dan anoreksia. Efek samping jangka panjang berupa penurunan berat
badan, sering buang air besar, banyak tidur, efek psikologis (anxietas, depresi, dan iritabilitas),
rambut rontok, insomnia, trombositopenia dan lekopenia. Ribavirin (7-10%) dapat
menimbulkan anemia hemolitik.

2.3.7 Komplikasi
Sekitar 10% dari penderita hepatitis C kronis dapat mengalami komplikasi. Komplikasi
ini umumnya timbul sekitar 20 tahun setelah terinfeksi hepatitis C. Komplikasi yang dapat
terjadi akibat hepatitis C adalah:
-Muncul jaringan parut di hati (sirosis)
Infeksi hepatitis C yang terjadi selama 20-30 tahun membuat timbulnya jaringan parut yang
menggantikan jaringan sehat dari hati. Jaringan parut itu akan menyulitkan kerja hati.
-Kanker hati
Selain sirosis, infeksi kronis pada hati juga berisiko menyebabkan perubahan pada sel-sel hati
menjadi ganas (kanker hati). Perubahan ini dapat terjadi dalam 20 tahun dan bisa berakibat
35

fatal.

2.3.8 Pencegahan

 Tidak ada produk yang disediakan untuk mencegah hepatitis virus C

 Pengembangan imunoprofilaksis untuk penyakit ini masih sulit

 Pasien dengan HCV harus dinasehatkan untuk berhenti menggunakan alkohol

 Selama hubungan seksual agar menggunakan pengaman

 Skrining pasien dengan resiko tinggi dan memulai pengobatan yang tepat dapat
membatasi insiden terjadinya sirosis dan HCC

2.3.9 Prognosis

 Infeksi HCV bersifat self limiting hanya pada sejumlah kecil kelompok,
selainnya berkembang menjadi kronis.
 20% berkembang menjadi sirosis setelah 20 tahun, dan 1-4% dari antaranya
menjadi HCC setiap tahunnya setelah 30 tahun. HCC lebih sering pada
penderita yang alkoholis, sirosis dan koinfeksi dengan HBV.
 Dengan terapi baru yang direkomendasi, mencakup PEG IFN dan ribavirin,
sustained respond sebesar 60%.
36

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Hepatitis kronis adalah terjadinya inflamasi dan nekrosis hepar karena bermacam
penyebab yang berlangsung minimal 6 bulan yang diklasifikasi berdasarkan pada penyebabnya,
grade dan stagenya. Manifestasi yang tampak dapat berupa gejala gangguan hepar bahkan sirosis.
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan pemeriksaan penunjang, serta dapat dilakukan
skrining pada seseorang yang berisiko. Pengobatan hepatitis kronis berfokus pada mengobati
penyebab dan mengelola komplikasi. Prognosis sangat bervariasi sesuai derajat hepatitisnya.

3.2 Saran
Pengenalan manifestasi lebih dini sangat diperlukan pada hepatitis kronis sehingga dapat
dilakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan manifestasi yang lebih serius pada pasien.
37

Daftar Pustaka
Elia A.P. Hutapea,dkk. 2014. Gambaran Pengetahuan Petugas Kesehatan Terhadap Hepatitis

B Di Rsup Prof. R. D. Kandou Manado

Harrison, et al. 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 19th ed. New York, McGraw
Hill.
Mohan, P., Khan, MA, & Snyder, JD. 2018. Chronic hepatitis. Principles and Practices of
Childhood Infectious Diseases, 413-416.e1.
Pawlotsky, J.-M., & Mchutchison, J. 2012. Chronic Viral and Autoimmune Hepatitis. Cecil
Medicine, Goldman, 973–979.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. 2017. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B.
Jakarta: PPHI.
Rutherford, Ana E. 2019. Overview of Chronic Hepatitis. Diakses dari web
https://www.msdmanuals.com/professional/hepatic-and-biliary-disorders/hepatitis/overview-of-
chronic-hepatitis pada tanggal 15 Oktober 2019

Tjokroprawiro Askandar, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan kedua. Surabaya:

Airlangga University Press


38
39

Anda mungkin juga menyukai