Anda di halaman 1dari 41

GEOLOGY, GEOCHEMISTRY AND FLUID INCLUSION STUDY

OF THE BATURAPPE EPITHERMAL SILVER-BASE METAL


PROSPECT, SOUTH SULAWESI, INDONESIA

STUDI GEOLOGI, GEOKIMIA DAN INKLUSI FLUIDA PADA


PROSPEK MINERALISASI PERAK-LOGAM DASAR EPITERMAL,
SULAWESI SELATAN, INDONESIA

RINGKASAN DISERTASI

OLEH:
IRZAL NUR
08/274832/STK/00195

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNIK


PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA

SEPTEMBER 2012
Daftar Isi

1. Pendahuluan ……………………………………………………………... 1
2. Hipotesis …………………………………………………………………. 2
3. Metode Penelitian ………………………………………………………... 4
3.1. Pekerjaan laboratorium ……………………………………………… 4
3.2. Pengolahan data dan interpretasi ……………………………………. 7
4. Hasil, Diskusi dan Kesimpulan ………………………………………….. 11
4.1. Geologi .……………………………………………………………... 11
4.2. Petrologi dan geokimia ……………………………………………… 13
4.3. Alterasi hidrotermal …………………………………………………. 16
4.4. Mineralisasi …………………………………………………………. 18
4.5. Studi inklusi fluida ………………………………………………….. 23
4.6. Model genetik dan implikasi eksplorasi …………………………….. 30
Daftar Pustaka ……………………………………………………………….. 35

Daftar Tabel

1. Hasil-hasil analisis mikrotermometri inklusi fluida ……………………... 24


2. Temperatur formasi dan salinitas fluida hidrotermal ……………………. 26

Daftar Gambar

1. Peta lokasi prospek Baturappe (daerah penelitian) …………………….. 1


2. Peta geologi daerah penelitian dan sebaran mineralisasi signifikan ........ 12
3. Spider diagram and pola-pola REE ……………………………………. 15
4. Peta alterasi hidrotermal prospek Baturappe ............................................ 17
5. Singkapan urat utama Bincanai ................................................................ 20
6. Estimasi exposed level dan kisaran zona pembentukan urat …………… 21
7. Fotomikrograf inklusi fluida primer pada kuarsa urat Bincanai .............. 24
8. Model genetik urat Bincanai …………………………………………… 32
9. Model genetik urat Baturappe-1 ……………………………………….. 33
10. Model genetik urat Baturappe-2 ……………………………………….. 34
1. Pendahuluan
Daerah Baturappe, yang berlokasi di ujung selatan busur plutono-volkanik
Tersier Sulawesi bagian barat, Indonesia (Gambar 1), telah dilaporkan oleh
sejumlah peneliti terdahulu sebagai sebuah prospek potensial mineralisasi urat
logam dasar (terutama galena). Geologi regional daerah ini disusun oleh Sukamto
dan Supriatna (1982) yang melaporkan bahwa mineralisasi ini berkembang di
sekeliling kompleks intrusi diorit Volkanik Baturappe, yang merupakan batuan
wadah mineralisasi tersebut. Volkanik ini berumur akhir Miosen Tengah,
berafinitas alkalin dan berkarakter tak-jenuh silika (Yuwono et al., 1985, 1988;
Priadi et al., 1994; Leterrier et al., 1990).

Gambar 1. Lokasi prospek Baturappe pada peta distribusi dan polarisasi busur-busur
magmatik termineralisasi Kapur Akhir – Pliosen di Indonesia (Carlile dan Mitchell,
1994). Prospek Baturappe berada di ujung selatan busur magmatik Sulawesi bagian
barat yang berumur Miosen Tengah-Akhir.

Hasil-hasil penyelidikan pendahuluan pada daerah Baturappe dan sekitarnya


mengindikasikan bahwa cebakan logam dasar (terutama galena) pada prospek ini
terjadi dalam bentuk urat kuarsa polimetalik dan cebakan tipe diseminasi, dengan
kumpulan mineral meliputi pirit, sfalerit, kalkopirit, galena, kovelit/kalkosit,
magnetit, stibnit, emas, arsenopirit, perak (Sutisna, 1990; Sukmana et al., 2002;

1
Zulkifli et al.,2002). Kadar bijih tertinggi adalah 10,36% Pb; 2,69% Cu;
24,54% Zn; 510 ppm Ag; 1.420 ppm As; 4.000 ppm Sb; 3.840 ppb Au; dan
400 ppm Sn (Sukmana et al., 2002). Urat-urat kuarsa setebal 5-50 cm dengan
orientasi N(230-260)oE/(50-80)o berkembang dalam batuan volkanik teralterasi
hidrotermal kuat dengan kumpulan mineral serisit, kaolinit, kuarsa, pirit, dan
sedikit epidot; sebaran urat-urat kuarsa ini lebih dari 2 km, dikontrol oleh cone
sheets fractures (Zulkifli et al.,2002).
Laporan-laporan tersebut di atas masih didasarkan pada hasil studi regional
dan penyelidikan pendahuluan; belum dilakukan riset detail pada prospek
Baturappe, terutama dari segi genetik dan implikasi eksplorasinya. Sehubungan
dengan hal tersebut, studi disertasi ini bertujuan untuk melakukan kajian
mendalam terhadap aspek-aspek genetik mineralisasi pada prospek Baturappe,
dan selanjutnya merumuskan petunjuk-petunjuk eksplorasi tindak-lanjut untuk
pengembangan prospek tersebut. Untuk tujuan tersebut, maka studi ini difokuskan
pada studi geologi, mineralogi, geokimia dan inklusi fluida.
Daerah penelitian berada dalam wilayah administrasi Desa Batumalonro dan
Baturappe, Kecamatan Biringbulu, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan,
Indonesia. Daerah ini terletak sekitar 50 km dari Makassar (ibukota Provinsi
Sulawesi Selatan), atau sekitar 40 km dari Sungguminasa (ibukota Kabupaten
Gowa), ke arah tenggara. Daerah ini dapat dicapai dengan kendaraan roda empat
selama lebih kurang 90 menit dari Makassar, sedangkan Makassar sendiri dapat
dicapai melalui penerbangan sekitar 1,5 jam dari Jakarta, ibukota Indonesia.
Daerah penelitian merupakan wilayah konsesi eksplorasi PT. Sungai Berlian
Bhakti Mining, dengan luas sekitar 1.000 ha.

2. Hipotesis
Berdasarkan hasil studi literatur terhadap endapan epitermal dan hasil-hasil
penyelidikan terdahulu pada prospek Baturappe dan sekitarnya, hipotesis-
hipotesis berikut akan coba dibuktikan melalui studi disertasi ini:

2
1. Tatanan geologi, terutama litologi dan struktur geologi, mengontrol proses
alih tempat dan distribusi mineralisasi di daerah penelitian. Unit-unit batuan
anggota Volkanik Baturappe merupakan batuan wadah mineralisasi, dan
struktur geologi mengontrol transportasi fluida hidrotermal termineralisasi
dari sumbernya menuju ke situs-situs pengendapannya. Karakteristik litologi
dan tipe-tipe serta orientasi struktur geologi akan mempengaruhi geometri,
pola dan distribusi mineralisasi.
2. Batuan-batuan volkanik yang menyusun daerah penelitian berafinitas sosonitik
atau alkalin. Perilaku unsur-unsur jejaknya akan konsisten dengan
karakteristik tipikal batuan volkanik alkalin potasik. Batuan volkanik ini
tergenerasi pada lingkungan dalam-lempeng (within-plate), pada tatanan
tektonik ekstensional, dan tidak berhubungan langsung dengan peristiwa
subduksi.
3. Urat-urat termineralisasi di daerah penelitian akan dicirikan oleh tekstur khas
urat epitermal, seperti crustiform banding dan vuggy quartz. Mineral-mineral
gangue terutama adalah kuarsa dan karbonat. Kuarsa pada urat akan bertekstur
kristalin dan urat dapat mengandung mineral-mineral karbonat dan silikat
yang membawa mangan. Urat-urat akan dilingkupi oleh halo alterasi
illit/serisit yang tidak mengandung adularia, yang bergradasi (ke arah luar) ke
zona alterasi propilitik. Kumpulan mineral sulfida utama pada urat meliputi
galena, sfalerit, pirit, kalkopirit, tenantit dan tetrahedrit, yang merupakan
kumpulan mineral penciri endapan epitermal sulfidasi menengah; perak dalam
kuantitas minor juga dapat hadir.
4. Temperature, tekanan dan kedalaman formasi urat akan berada dalam kisaran
lingkungan epitermal level dalam; maksimal 300oC dan lebih dari 300 m di
bawah muka air tanah purba. Sehubungan dengan kumpulan mineral sulfida
utama pada urat-urat Baturappe (logam dasar), maka kedalaman formasi urat
akan berada di bawah level pendidihan lingkungan epitermal. Salinitas fluida
hidrotermal pembawa mineralisasi akan berada pada kisaran salinitas endapan

3
epitermal sulfidasi menengah, yaitu <2.4 to 23 wt.% NaCl eq. Pola sebaran
titik-titik plot temperatur homogenisasi inklusi fluida versus salinitas akan
mengindikasikan tidak adanya mekanisme pendidihan pada pembentukan urat.
Kisaran nilai-nilai fugasitas sulfur fluida hidrotermal akan berkorelasi dengan
kumpulan mineral sulfida (terutama sulfidasi menengah) dan temperatur
formasi urat.
5. Pengembangan prospek mineralisasi di daerah penelitian ke tahap eksplorasi
lebih lanjut dapat dirumuskan berdasarkan model genetik cebakan yang akan
dikonstruksi dari hasil studi ini.

3. Metode Penelitian
Studi ini dilaksanakan dalam empat tahapan utama, yaitu: studi literatur,
pekerjaan lapangan, pekerjaan laboratorium, dan pengolahan data dan interpretasi.
Studi literatur terutama dilakukan pada referensi-referensi yang relevan dengan
cakupan penelitian. Pekerjaan lapangan meliputi pemetaan dan pemercotohan
(sampling) geologi permukaan, alterasi hidrotermal, dan mineralisasi. Pekerjaan
laboratorium meliputi analisis mineralogi dan geokimia serta studi inklusi fluida.
Analisis mineralogi mencakup petrografi, mikroskopi bijih, dan X-ray diffraction
(XRD); sedangkan analisis geokimia mencakup X-ray fluorescence spectrometry
(XRF), inductively coupled – mass spectrometry (ICP-MS), dan scanning electron
microscope – energy dispersive X-ray micro analysis (SEM-EDX). Study inklusi
fluida mencakup petrografi dan mikrotermometri. Berikut diuraikan secara singkat
pekerjaan-pekerjaan laboratorium tersebut, yang diikuti dengan uraian metode
pengolahan data dan interpretasi.

3.1. Pekerjaan laboratorum


3.1.1. Petrografi dan mikroskopi bijih
Analisis petrografi dilakukan melalui observasi pada sampel sayatan tipis
batuan menggunakan mikroskop transmisi, sedangkan analisis mikroskopi bijih

4
dilakukan melalui observasi pada sayatan poles batuan/mineral menggunakan
mikroskop refleksi. Selain untuk mengidentifikasi jenis-jenis batuan dan
membedakan batuan-batuan teralterasi dan tak-teralterasi, tujuan utama analisis
petrografi adalah untuk melakukan studi alterasi hidrotermal (kumpulan mineral
dan zonasi alterasi hidrotermal). Sedangkan analisis mikroskopi bijih bertujuan
untuk melakukan studi mineralisasi bijih (kumpulan mineral bijih, hubungan-
hubungan tekstural dan paragenesisnya).

3.1.2. XRD
Tujuan utama analisis XRD adalah untuk mengidentifikasi mineral-mineral
yang terdapat pada sampel bubuk batuan dan lempung, untuk studi alterasi
hidrotermal. Di samping itu, untuk tujuan studi mineralisasi, teknik ini juga
digunakan dalam mengidentifikasi kumpulan-kumpulan mineral bijih dan gangue
yang terkandung pada sampel-sampel mineralisasi (urat dan diseminasi). Sebelum
analisis XRD dilakukan, sampel-sampel terlebih dahulu dipreparasi dalam bentuk
spesimen bubuk. Analisis kemudian dilakukan menggunakan alat X-ray
diffractometer tipe Rigaku RINT-2100. Preparasi dan analisis ini dilaksanakan di
Laboratory of Economic Geology, Department of Earth Resources Engineering,
Kyushu University.

3.1.3. XRF
Metode XRF dilaksanakan untuk menganalisis komposisi kimia (unsur-unsur
mayor dan jejak) sampel-sampel batuan dan bijih. Hasilnya digunakan untuk studi
petrologi dan geokimia, alterasi hidrotermal, dan distribusi kadar bijih
mineralisasi di daerah penelitian. Sampel-sampel yang dianalisis meliputi batuan
teralterasi dan tak-teralterasi, urat, serta batuan-batuan termineralisasi diseminasi.
Sampel-sampel tersebut pertama-tama dipreparasi dalam bentuk bubuk (crushed,
grinded, pulverized and milled), sebelum akhirnya dipelletisasi dalam bentuk
pressed powder discs yang siap untuk dianalisis. Sebelum analisis dilakukan, satu

5
gram dari setiap sampel bubuk (milled sample) dipisahkan untuk dilakukan
pengukuran kandungan LOI (H2O)-nya. Analisis XRF tersebut dilaksanakan di
Kyushu University, menggunakan dua tipe instrumen, yaitu XRF Rigaku ZSX
Primus II dan XRF Rigaku RIX-3100.

3.1.4. ICP-MS
Metode ICP-MS dilaksanakan untuk menganalisis komposisi kimia (unsur-
unsur jejak dan REE) sampel-sampel batuan dan bijih. Hasilnya, bersama-sama
dengan komposisi unsur-unsur (oksida) mayor yang sebelumnya telah
dideterminasi dengan metode XRF, digunakan untuk studi petrologi dan
geokimia, serta alterasi hidrotermal. Untuk analisis ICP-MS ini, sisa sampel
bubuk (milled sample), yang sebagian telah dianalisis dengan metode XRF (untuk
determinasi komposisi oksida mayornya), dikirim ke laboratorium komersial
(the Actlabs, Canada), untuk dianalisis komposisi unsur-unsur jejak dan REE-nya
(43 unsur) dengan metode ICP-MS.

3.1.5. SEM-EDX
Analisis dengan metode SEM-EDX dilakukan untuk mengidentifikasi
mineral-mineral pada sayatan poles yang sulit dikenali melalui observasi
mikroskopi bijih, terutama karena ukurannya yang sangat kecil. Proses
identifikasinya sebagai berikut: setelah kegiatan observasi mikroskopi bijih
dilakukan, areal spesies mineral yang tak teridentifikasi ditandai pada permukaan
sayatan poles, sebagai target analisis SEM-EDX; selanjutnya, pada saat analisis
dilakukan, daerah yang ditandai tersebut diobservasi melalui scanning electron
microscope (SEM); dan akhirnya komposisi kimia dari spesies mineral target
dideterminasi dengan metode energy dispersive X-ray micro analysis (EDX) yang
prinsipnya sama dengan metode XRF. Hasil-hasil analisis SEM-EDX ini terutama
digunakan untuk studi kumpulan dan paragenesis mineral bijih pada sampel-
sampel mineralisasi. Analisis SEM-EDX ini dilakukan di dua laboratorium, yaitu:

6
the Center of Advanced Instrumental Analysis, Kyushu University, dan
Laboratorium Pengujian Tekmira, Bandung, Indonesia. Di Kyushu University
analisis dilakukan menggunakan seperangkat instrumen SHIMADZU SS-550
SEM dan Genesis2000 EDS. Sedangkan di Tekmira, analisis dilakukan dengan
alat SEM-EDX tipe JEOL JED-2200 Series (SEM JEOL-JSM6360LA), di mana
keseluruhan permukaan mineral target dipindai dan dideterminasi komposisinya.

3.1.6. Mikrotermometri inklusi fluida


Tujuan utama analisis mikrotermometri inklusi fluida adalah untuk
menentukan temperatur pembentukan dan salinitas fluida hidrotermal yang
membentuk urat mineralisasi di daerah penelitian. Nilai-nilai temperatur dan
salinitas yang didapat kemudian digunakan untuk menginterpretasi dan
mengevaluasi kondisi-kondisi fisika-kimia terkait lainnya selama berlangsungnya
pembentukan urat, seperti kedalaman, tekanan, figasitas sulfur, mekanisme
presipitasi dan sumber-sumber fluida, serta tipe endapan. Untuk tujuan tersebut,
maka studi inklusi fluida (petrografi and mikrotermometri) dilakukan pada
mineral gangue kuarsa pada semua urat kuarsa signifikan di daerah penelitian.
Sampel-sampel kuarsa urat pertama-tama dipreparasi dalam bentuk sayatan tipis
(doubly polished wafers) dengan tebal sekitar 100 μm. Identifikasi inklusi fluida
dalam preparat tersebut kemudian dilakukan pada suhu kamar menggunakan
mikroskop transmisi, dan selanjutnya analisis mikrotermometri dilakukan dengan
alat heating-freezing stage tipe Linkam TH600. Preparasi dan analisis ini
dilakukan di Department of Earth Resources Engineering, Kyushu University.

3.2. Pengolahan data dan interpretasi


3.2.1. Peta geologi dan peta alterasi hidrotermal
Keseluruhan data terkait dari hasil pekerjaan lapangan dan laboratorium
dievaluasi dan diintegrasi untuk menyusun peta geologi daerah penelitian. Unsur-
unsur utama peta geologi seperti sebaran unit-unit batuan, komponen struktur

7
geologi, dan distribusi mineralisasi serta penampang geologi representatif
digambarkan pada peta, dengan tujuan untuk memahami secara komprehensif
kondisi geologi daerah penelitian serta kontrol litologi dan struktur terhadap
mineralisasi. Untuk studi geomorfologi dan struktur geologi, di samping
didasarkan pada data lapangan, observasi dan interpretasi peta topografi dan citra
satelit juga dilakukan. Analisis kinematik dan interpretasi data struktur geologi
dilakukan menggunakan diagram rose, di mana pengolahan datanya menggunakan
program Dips 5.103. Di samping itu, peta alterasi hidrotermal juga disusun
berdasarkan kumpulan mineral yang teridentifikasi baik pada saat kegiatan
lapangan, petrografi maupun analisis XRD dilakukan. Peta ini mengambarkan
sebaran dan zonasi alterasi hidrotermal di daerah penelitian. Peta-peta tersebut
digambar dengan program ArcView 3.2.

3.2.2. Data mineralogi dan geokimia


Pada analisis XRD, identifikasi fasa-fasa mineral pada difraktogram
dilakukan menggunakan perangkat lunak yang tersedia pada instrumen XRD yang
digunakan dan dikombinasikan dengan buku manualnya. Proporsi mineral
diklasifikasi berdasarkan intesitas puncak-puncak (peaks) difraksinya pada
difraktogram, dari intensitas tertinggi ke terendah sebagai berikut: > 1000 cps,
500-1000 cps, 100-500 cps, dan < 100 cps. Di samping itu, untuk sampel-sampel
yang diambil secara sistematis (pada urat Bincanai), proporsi semi-kuantitatif
mineral juga dikalkulasi menggunakan program MATCH! 1.10, di mana
minimum figure of merit (FoM)-nya diset pada nilai 0,6; txt files dari hasil analisis
XRD digunakan sebagai data yang di-input pada program tersebut.
Untuk pengolahan, penggambaran dan interpretasi data geokimia, digunakan
perangkat lunak GCDkit (Geochemical Data Toolkit) yang dipublikasi oleh
Janousek et al. (2006). Sebelum pengolahan data dilakukan, nilai-nilai konsentrasi
unsur yang berada di bawah limit deteksi XRF dan ICP-MS terlebih dahulu
diganti dengan setengah nilainya.

8
Untuk studi petrologi dan geokimia, identifikasi sampel-sampel batuan tak-
teralterasi (H2O < 2 wt.%) dilakukan menggunakan diagram-diagram diskriminasi
yang didasarkan pada unsur-unsur mayor (Le Bas et al., 1986; Cox et al., 1979;
De la Roche et al., 1980; Peccerillo and Taylor, 1976). Sedangkan untuk sampel-
sampel batuan teralterasi (H2O > 2 wt.%), identifikasi didasarkan pada diagram-
diagram diskriminasi batuan volkanik teralterasi yang menggunakan unsur-unsur
immobile (Winchester and Floyd, 1977; Floyd and Winchester, 1978).
Untuk mengkaji hubungan antara mineralogi alterasi dan litogeokimia dari
batuan-batuan yang teralterasi hidrotermal, alteration box plot (diagram bivariat
indeks alterasi Ishikawa dan indeks klorit-karbonat-pirit) oleh Large et al. (2001)
dan aplikasinya pada endapan epitermal oleh Gemmell (2007) digunakan.
Evaluasi diagram-diagram variasi dari unsur-unsur mayor dan jejak tertentu juga
dilakukan pada studi ini.
Untuk mengevaluasi secara kuantitatif perubahan-perubahan komposisi kimia
yang terjadi pada batuan wadah mineralisasi yang diakibatkan oleh proses alterasi
hidrotermal, metode kalkulasi perubahan massa dan volume (mass balance) oleh
Gresens (1967) dan modifikasinya, diagram isocon oleh Grant (1986) digunakan.
Persamaan Gresen untuk kalkulasi tersebut, adalah sebagai berikut:
Xn = {[fv(gB/gA)CnB – CnA}100 (1)
di mana: Xn = pertambahan atau kehilangan massa dari suatu unsur antara batuan
tak-teralterasi (A) dengan batuan ekuivalen teralterasinya (B)
fv = faktor perubahan volume
g = densitas batuan
Cn = konsentrasi unsur.
Persamaan 1 tersebut kemudian dimodifikasi oleh Grant (1986) untuk
mengalkulasi perubahan-perubahan konsentrasi unsur (∆C), dan juga perubahan
massa dan volume (∆M dan ∆V) batuan akibat pengaruh alterasi hidrotermal.
Persamaan-persamaan pada kalkulasi ini adalah: ∆C = (MO/MA)*[(CA/CO)-1];
∆M = [(MO/MA)-1]*100; dan ∆V = (MO/MA)*[(ρA/ρO)-1]*100; di mana:

9
∆C = perubahan konsentrasi unsur (oksida mayor dan unsur-unsur jejak) dari
batuan teralterasi terhadap batuan ekuivalen tak-teralterasinya (batuan asal),
∆M = perubahan massa dalam %, ∆V = perubahan volume dalam %, MO = massa
batuan asal, MA = massa batuan teralterasi, CO = konsentrasi unsur pada batuan
asal, CA = konsentrasi unsur pada batuan teralterasi, ρO = berat jenis batuan asal,
dan ρA = konsentrasi unsur pada batuan asal. Hasil kalkulasi ini (pertambahan dan
kehilangan unsur) diekspresikan dalam bentuk grafik di mana terdapat sebuah
garis iso-konsentrasi (merepresentasikan unsur-unsur immobile) yang
memisahkan antara unsur-unsur yang terkayakan dan unsur-unsur yang terdeplesi.
Garis ini disebut isocon. Unsur-unsur yang terplot di atas isocon terkayakan
selama berlangsungnya proses alterasi, sebaliknya yang berada di bawah isocon
terdeplesi. Gradien garis isocon ditentukan melalui rasio massa batuan asal
terhadap massa batuan teralterasi: MO/MA.
Pada studi ini, pengolahan data dan penggambaran grafik hasil kalkulasi mass
balance dilakukan menggunakan program GEOISO (J. Coelho, 2005). Berat jenis
sampel diukur dengan metode Archimedes principle. Unsur-unsur TiO2, Zr dan Y
digunakan sebagai immobile elements (Mauk and Simpson, 2007).
Pada studi mineralisasi, identifikasi fasa-fasa mineral berdasarkan komposisi
kimianya (hasil determinasi dengan metode SEM-EDX) dilakukan dengan
bantuan program-program identifikasi mineral. Mineral-mineral yang paling
memungkinkan dicari pada daftar mineral IMA (International Mineralogical
Association, Mineral List Database) menggunakan program IMA-RRUFF
(www.minerales.info/IMA-RRUFF), dengan cara meng-input unsur-unsur
esensialnya. Untuk menentukan spesies mineralnya, karakteristik spesifik mineral
tersebut, seperti tipe genetik, tatanan geologi, asosiasi-asosiasi mineral dan
karakteristik kimianya (rumus kimia dan komposisi) kemudian disesuaikan
dengan database mineral yang ada, yang antara lain dapat diakses pada websites:
webmineral.com/data/mineral-species.shtml dan www.mindat.org/min-code-
number.html.

10
3.2.3. Data mikrotermometri inklusi fluida
Data primer hasil analisis mikrotermometri inklusi fluida (temperatur
homogenisasi, T h dan temperatur peleburan es, Tm) dikoreksi menggunakan
persamaan kalibrasi alat (Linkam TH600):
Th = -0,000203 (Th’)2 + 1,030491 Th’ - 0,636487 (2)
di mana: Th = temperatur homogenisasi sebenarnya (oC)
Th’ = temperatur homogenisasi terukur (oC);
dan:
Tm = 0,002 (Tm’)2 + 1,076 Tm’ - 0,102 (3)
di mana: Tm = temperatur peleburan es sebenarnya (oC)
Tm’ = temperatur peleburan es terukur (oC).
Untuk determinasi salinitas, temperatur peleburan es (Tm) dikonversi melalui
persamaan Bodnar (1993) dan Bodnar and Vityk (1994):
Sal. = 0,00 + 1,78 (Tm) – 0,0442 (Tm)2 + 0,000557 (Tm)3 (4)
di mana: Sal. = salinitas (wt.% NaCl equivalent).

4. Hasil, Diskusi dan Kesimpulan


4.1. Geologi
Studi disertasi ini mengungkap bahwa prospek mineralisasi perak-logam
dasar epitermal Baturappe terbentuk pada unit-unit batuan anggota Volkanik
Baturappe yang berumur akhir Miosen Tengah, yang di daerah penelitian tersusun
oleh (dari yang tertua ke yang termuda): lava basaltik-andesitik, intrusi stok
gabroik-dioritik, dan retas-retas basaltik-andesitik (Gambar 2). Mineralisasi-
mineralisasi signifikan di daerah ini umumnya terbentuk pada satuan lava
basaltik-andesitik, termasuk anggota breksi volkaniknya. Berdasarkan
karakteristik litologi dan posisi geografinya yang relatif sangat dekat dengan pusat
erupsi Gunungapi Baturappe, batuan volkanik di daerah penelitian dikategorikan
ke dalam fasies sentral – proksimal (berdasarkan kriteria dan klasifikasi fasies
volkanik oleh Bogie and Mackenzie, 1998 dan Bronto, 2006).

11
1

4
5 3
6
8

Gambar 2. Peta geologi daerah penelitian. Sebaran mineralisasi-mineralisasi signifikan


yang dikaji pada studi ini juga digambarkan pada peta: (1) Urat Bincanai, (2) Diseminasi
Ritapayung, (3) Urat Baturappe-1, (4) Urat Baturappe-2, (5) Urat Bungolo,
(6) Urat Paranglambere, (7) Urat Bangkowa, dan (8) Stringer Bangkowa.

Dua jenis struktur geologi berkembang di daerah penelitian, retakan/patahan


radial dan patahan utama berarah baratlaut-tenggara. Struktur yang pertama
berhubungan dengan struktur volkanik yang terbentuk sebagai respon
pembentukan kubah akibat intrusi (stok) di pusat volkanik Baturappe.
Retakan/patahan radial ini mengontrol atau memfasilitasi proses alih-tempat retas-
retas dan urat-urat kuarsa yang tipis/barren. Struktur geologi yang kedua
merupakan struktur tektonik yang berkembang setelah periode struktur volkanik
tersebut. Struktur ini adalah patahan normal yang memiliki bukaan yang lebih

12
lebar sehingga dapat memfasilitasi pengendapan urat-urat yang signifikan, seperti
urat kuarsa-siderit-galena di daerah Bincanai dan urat-urat kuarsa-galena di daerah
Baturappe.
Dari hasil studi kontrol geologi terhadap mineralisasi, disimpulkan bahwa
dari kedua tipe mineralisasi yang berkembang di daerah penelitian, mineralisasi
urat dikontrol oleh struktur geologi, di mana fluida hidrotermal yang bersumber
dari magma mengalir naik melalui zona-zona lemah yang dibentuk oleh struktur,
dan akhirnya terendapkan pada bukaan patahan sebagai urat epitermal pada
batuan anggota unit lava basaltik-andesitik. Di sisi lain, mineralisasi tipe
diseminasi dikontrol oleh karakteristik litologi batuan wadahnya, yaitu
permeabilitas breksi volkanik. Kedua jenis kontrol ini (struktur dan litologi)
khas pada endapan epitermal (Hedenquist et al., 1996; 2000).

4.2. Petrologi dan geokimia


Dari hasil studi petrologi dan geokimia diketahui bahwa batuan volkanik di
daerah penelitian umumya berkomposisi basaltik dan sedikit andesitik. Satuan
lava disusun oleh batuan-batuan traki basal, traki-andesit basaltik, basal alkali,
tefrit, basanit, hawaiit, mugearit, dan pikrit. Basanit atau basal felspatoid, yang
pada pengamatan mikroskopis dicirikan oleh kehadiran leusit dan sedikit nefelin,
bersama dengan basal alkali, merupakan batuan tipikal Volkanik Baturappe
seperti yang dilaporkan oleh Yuwono et al. (1985, 1988), Leterrier et al. (1990),
dan Priadi et al. (1994). Berdasarkan klasifikasi komoposisi kimianya,
disimpulkan juga bahwa lava di daerah penelitian berkarakter tak-jenuh silika.
Karakteristik khas lava anggota Volkanik Baturappe yang berciri tak-jenuh silika
juga telah dilaporkan oleh Yuwono et al. (1985) dan Leterrier et al. (1990).
Komposisi batuan intrusi secara umum berkorespondensi dengan lava
ekuivalennya, terutama gabroik, dengan kisaran dari gabro alkalik hingga
ultramafik. Felspatoid leusit juga dikenali pada sayatan tipis, yang
mengindikasikan kesamaan karakteristik batuan intrusi ini dengan batuan

13
volkanik ekstrusifnya, basal leusit. Komposisi gabro alkalik juga merupakan
komposisi yang dominan pada retas-retas anggota Volkanik Baturappe seperti
yang dilaporkan oleh Yuwono et al. (1985) dan Leterrier et al., (1990). Sebagian
kecil intrusi lainnya berkomposisi andesitik-traki andesitik hingga dasitik.
Afinitas magmatik volkanik di daerah penelitian adalah sosonitik atau alkalin
potasik, yang direfleksikan oleh relatif tingginya kandungan K2O dibandingkan
dengan SiO2, yaitu 1,45-4,19 wt.% dan 44,06-51,22 wt.%. Karakteristik kimia ini
jelas terefleksikan oleh tipe-tipe batuan volkaniknya yang dideterminasi
berdasarkan klasifikasi kimianya, yang pada umumnya merupakan batuan beku
potasik (alkalin). Afinitas magmatik sosonitik/alkalin dari Volkanik Baturappe
dan sebagian besar batuan volkanik pasca-Miosen Tengah hingga Plistosen di
Sulawesi bagian selatan juga telah dilaporkan oleh Yuwono et al. (1988) dan
Polvé et al. (1997).
Hasil evaluasi unsur-unsur jejak menunjukkan adanya konsistensi umum
antara perilaku unsur-unsur jejak (pengayaan-deplesi unsur-unsur inkompatibel
dan fraksinasi antara LREE dan MREE dengan HREE) dengan karakteristik
mineral-mineral penyusun batuan volkanik di daerah penelitian. Perilaku unsur-
unsur jejak tertentu, terutama pengayaan Rb, Cs, Sr dan LREE (Gambar 3) juga
konsisten dengan karakteristik batuan potasik (kaya-K) pasca-kaldera tipikal di
Roman comagmatic region (Peccerillo et al., 1984).
Hasil interpretasi tatanan volkano-tektonik dan evolusi magmatik berdasarkan
evaluasi unsur-unsur mayor dan jejak, menunjukkan bahwa batuan volkanik
potasik/sosonitik tak-jenuh silika di daerah penelitian tergenerasi pada lingkungan
within-plate (intraplate), pada rezim ekstensional. Batuan volkanik kaya-K ini
awalnya terbentuk dari peleburan mantel bumi bagian atas yang sebelumnya telah
termetasomatisme. Mantel bagian atas tersebut terkayakan oleh potasium dan
unsur-unsur inkompatibel lainnya melalui proses metasomatisme, yaitu melalui
kontribusi kimia dari material subkontinental purba atau sedimen-sedimen
tersubduksi selama berlangsungnya peristiwa subduksi di masa sebelumnya; yaitu

14
1000
A
Sample TRP.4C
Sample BK.09
Sample / Primitive Mantle Sample BR.07
Sample BR.52
100

10

1
Cs Rb Ba Th U Nb K La Ce Pb Pr Sr P Nd Zr Sm Eu Ti Dy Y Yb Lu

100
B
Sample TRP.4C
Sample BK.09
Sample BR.07
Sample / REE chondrite

Sample BR.52

10

1
La Ce Pr Nd Pm Sm Eu Gd Tb Dy Ho Er Tm Yb Lu

Gambar 3. A. Spider diagram empat sampel batuan volkanik tak-


teralterasi yang dinormalisasi ke komposisi mantel primitif (Sun and
McDonough, 1989). B. Pola REE keempat sampel batuan yang
dinormalisasi ke komposisi REE chondrite (Boynton, 1984).

subduksi miring ke barat antara lengan- barat dan timur Sulawesi pada Miosen
Awal (Yuwono et al., 1988; Soeria-Atmadja et al., 1998). Anomali negatif Nb
yang kuat pada spider diagram (Gambar 3.A) dan pengayaan LREE pada diagram
pola REE (Gambar 3.B) mendukung kesimpulan ini; keduanya merupakan

15
indikasi terjadinya keterlibatan atau kontaminasi kerak pada magma selama
evolusinya (Rollinson, 1993). Subduksi Miosen Awal tersebut kemudian terhenti
dengan terjadinya kolisi antara antara lengan- barat dan timur Sulawesi pada
Miosen Tengah (Yuwono et al., 1988; Soeria-Atmadja et al., 1998; Kadarusman
et al., 2004). Volkanik kaya-K di daerah penelitian (anggota Volkanik Baturappe),
kemudian terendapkan melalui erupsi pada Miosen Tengah, di mana pada saat itu
lengan selatan Sulawesi berada pada rezim tektonik ekstensional (dicirikan oleh
terbentuknya horst and graben) yang berhubungan dengan peristiwa block
faulting di Selat Makassar dan juga kemungkinan di Teluk Bone; peristiwa ini
tidak berhubungan secara langsung dengan subduksi, karena seperti telah
disebutkan, pada saat itu peristiwa subduksi telah berakhir dengan terjadinya
kolisi (Yuwono et al., 1988).

4.3. Alterasi hidrothermal


Alterasi hidrotermal terzonasi dari distal ke proksimal terhadap zona-zona
mineralisasi sebagai berikut: zona klorit, zona epidot-klorite-kalsit, dan zona illit-
kuarsa dan kuarsa-karbonat (Gambar 4). Zona klorit terbentuk pada kisaran
temperatur sekitar 220-300oC dan terdistribusi di sekeliling sistem hidrotermal.
Zona epidot-klorite-kalsit merupakan zona alterasi propilitik yang berhubungan
genetik dengan urat dan tersebar pada zona yang sempit di sekeliling urat, pada
bagian luar zona illit-kuarsa di daerah Baturappe dan Bangkowa, serta pada
bagian luar zona kuarsa-karbonat di daerah Bincanai (Gambar 4). Zona illit-kuarsa
(argilik) terbentuk pada daerah maksimal 7 m dari urat-urat yang dikontrol
struktur di daerah Baturappe dan Bangkowa (Gambar 4). Sedangkan zona kuarsa-
karbonat terbentuk pada daerah maksimal 0,4 m dari urat yang dikontrol patahan
di Bincanai, serta pada batuan wadah mineralisasi tipe diseminasi di daerah
Ritapayung, sebagai alterasi yang dikontrol litologi (Gambar 4). Ketiga zona
alterasi terakhir yang berhubungan genetik dengan mineralisasi tersebut diestimasi
terbentuk pada kisaran temperatur sekitar 220-320oC.

16
Gambar 4. Peta alterasi hidrotermal prospek Baturappe.

Distribusi batuan volkanik teralterasi pada alteration box plot secara umum
konsisten kumpulan mineral alterasi, intensitas alterasi, dan zonasi alterasi
hidrotermal. Terdapat hubungan yang kuat antara peningkatan intensitas alterasi
dengan penurunan kandungan Na2O pada setiap zona alterasi yang berhubungan
genetik dengan mineralisasi, yang kemungkinan disebabkan oleh penghancuran
plagioklas sodik sebagai akibat proses alterasi hidrotermal. Pada semua zona
alterasi, secara umum terjadi deplesi kandungan Na2O dari sampel-sampel yang
diambil dari bagian luar atau distal ke sampel-sampel yang diambil dari bagian
dalam atau proximal terhadap mineralisasi. Secara umum, terdapat juga korelasi

17
negatif antara MgO dan FeO dengan Na2O dan K2O, di mana peningkatan
kandungan MgO dan FeO akan disertai dengn penurunan kandungan Na2O dan
K2O; hal ini kemungkinan berhubungan dengan pembentukan mineral-mineral
alterasi klorit-Mg dan klorit-Fe, terutama pada zona propilitik. Sebaliknya, ketika
Na2O dan K2O diplot terhadap unsur-unsur jejak, secara umum terdapat korelasi
positif antara kedua oksida mayor tersebut dengan Rb dan Sr, di mana korelasi
positif yang paling kuat terjadi antara K2O dan Rb. Hal ini mengimplikasikan
bahwa pembentukan mineral-mineral alterasi hidrotermal di daerah penelitian di
samping menyebabkan penurunan kandungan Na2O dan K2O (penghancuran
mineral-mineral pembawa Na dan K), juga secara umum menyebabkan penurunan
kandungan Rb dan Sr yang terkandung pada mineral-mineral pra-alterasi.
Hasil kalkulasi mass balance menunjukkan bahwa pada zona alterasi
propilitik terjadi penurunan komposisi total batuan teralterasi dibandingkan
dengan batuan ekuvalen tak-teralterasinya; perubahan massa dan volume
masing-masing -0,95% dan -8,75%. Sebaliknya, batuan-batuan di zona alterasi
kuarsa-karbonat mengalami peningkatan komposisi total jika dibandingkan
dengan batuan tak-teralterasinya, yang diekspresikan oleh nilai positif perubahan
massa dan volumenya, yaitu masing-masing +15,56% hingga +20,93% dan
+6,09% hingga +33,87%. Peningkatan dan penurunan konsentrasi oksida-oksida
mayor dan unsur-unsur jejak pada kedua zona alterasi umumnya konsisten dengan
kumpulan mineral alterasi hidrotermal yang hadir, indikasi-indikasi proses alterasi
hidrotermal seperti destruksi mineral primer dan absorpsi unsur-unsur tertentu
pada mineral teralterasi, serta perilaku geokimia mineral-mineral sulfida awal
pembawa-logam (early metal-bearing sulphides).

4.4. Mineralisasi
Di daerah penelitian, tidak kurang dari 20 unit urat kuarsa yang bersama-
sama dengan endapan sulfida terdiseminasi dan stringer sulfida terdistribusi di
sekeliling intrusi stok, dan berkembang pada host unit-unit lava dan retas.

18
Di antara keseluruhan tipe mineralisasi tersebut, delapan mineralisasi signifikan
dikaji secara detail pada studi ini, yang tersebar pada empat zona/wilayah, yaitu:
Bincanai, Baturappe, Bangkowa and Ritapayung. Ke-delapan mineralisasi
tersebut adalah: urat Bincanai; urat Baturappe-1, urat Baturappe-2, urat Bungolo
dan urat Paranglambere (mengelompok di zona Baturappe); urat Bangkowa dan
stringer Bangkowa (di zona Bangkowa); dan diseminasi Ritapayung (Gambar 2).
Urat-urat di daerah penelitian umumnya berjurus utara-baratlaut hingga
barat-baratlaut, dengan kemiringan sebagian besar terjal serta sedikit landai,
miring ke arah baratdaya. Urat utama di zona Bincanai dan sebagian besar urat di
zona Baturappe dikontrol oleh patahan normal Bincanai-Baturappe yang berarah
baratlaut-tenggara. Berdasarkan sebaran dan orientasi jurusnya, urat Bungolo
tampaknya berkembang pada orde lebih rendah dari patahan normal tersebut.
Di sisi lain, urat dan stringer Bangkowa dikontrol oleh struktur volkanik yang
lebih dahulu terbentuk, karena sebarannya umumnya searah dengan orientasi
radial struktur volkanik tersebut, serta umumnya tersingkap berselingan dengan
retas-retas radial di zona Bangkowa (Gambar 2). Hal ini mengimplikasikan bahwa
urat Bangkowa secara relatif lebih tua (lebih dahulu terbentuk) dibandingkan
urat-urat lain di daerah penelitian.
Urat-urat di daerah penelitian umumnya menampakkan tekstur tipikal urat
epitermal, yaitu crustiform banding. Umumnya urat-urat tersebut bertekstur
crustiform banding sederhana kuarsa-sulfida, kecuali pada urat utama Bincanai
dan urat Paranglambere, yang tekstur crustiform banding-nya lebih kompleks.
Urat utama Bincanai bertekstur symmetric crustiform banding, dengan suksesi
band dari luar ke dalam: kuarsa-, siderit-, sulfida (Gambar 5); sedangkan urat
Paranglambere bertekstur multiphase crustiform banding dengan perselingan
band sulfida-kuarsa-sulfida.
Crustiform banded merupakan tekstur pertumbuhan primer yang tipikal pada
endapan epitermal yang mengindikasikan presipitasi episodik pada zona bukaan
dan merefleksikan fluktuasi konsentrasi unsur-unsur tertentu dalam larutan serta

19
A B

Andesit porfiritik teralterasi


C (hanging wall)

Kuarsa (1 cm)
Siderit (2,5 cm)
Sulfida (galena) (3,5 cm)
Siderit (2.5 cm)

Kuarsa (3,5 cm)

Andesit porfiritik teralterasi


(foot wall) dengan urat-urat
tipis (veinlets) kuarsa.

Gambar 5. Singkapan urat utama Bincanai dengan kedudukan N162oE/64o dan ketebalan
13-18 cm, pada host andesit porfiritik teralterasi kuat. Gambar C merupakan perbesaran
dari bidang yang ditandai dengan garis putus-putus berwarna kuning di Gambar B, yang
memperlihatkan tekstur symmetric crustiform banding kuarsa-siderit-galena.

fluktuasi kondisi fluida selama berlangsungnya presipitasi; mineral-mineral


banded terpresipitasi secara episodik dari arah luar (berbatasan dengan dinding
rekahan) ke arah dalam/tengah. Perubahan kondisi fluida tersebut dapat
disebabkan oleh satu atau lebih mekanisme, seperti: pendinginan (cooling),
percampuran (mixing) antara dua jenis fluida, reaksi antara fluida dan batuan
samping, serta pendidihan (boiling) (Morrison et al., 1990; Dong et al., 1995;
Echavarria et al., 2006). Sehingga pada urat symmetric crustiform banding
Bincanai, fluktuasi konsentrasi unsur dan perubahan kondisi fluida hidrotermal

20
bertanggungjawab terhadap presipitasi band-nya, secara episodik dan simetrik
dari kuarsa ke siderit ke sulfida. Mekanisme yang sama juga terjadi pada
pembentukan urat-urat lain di daerah penelitian, tetapi dalam konteks yang lebih
sederhana, sesuai tingkat kesederhanaan tekstur crustiform banded-nya. Episode-
episode perselingan presipitasi band terjadi pada urat Paranglambere.
Keseluruhan urat memperlihatkan tekstur kristalin, baik pada kuarsa maupun
sulfidanya (yang didominasi oleh galena), dari ukuran kristal yang sangat halus
hingga kasar (mencapai 3 cm pada kristal kuarsa dan 1,2 cm pada galena).
Morrison et al. (1990) mengonstruksi model genetik endapan epitermal
berdasarkan karakteristik dan zonasi tekstur uratnya, di mana zona-zona tekstural
disertakan pada model tipikal endapan epitermal Buchanan, 1981 (Gambar 6).

VEIN TEXTURE

Crystalline carbonate Agate, bladed,


molds

Chalcedonic
superzone
Agate,
Bladed carbonate amethyst

Massive Lattice,
chalcedonic moss, agate
Crystalline-colloform

Lattice bladed,
Moss + chalcedonic sulphide bands,
> crystalline moss adularia
superzone

Needle adularia,
Crystalline > sulphide bands,
moss + chalcedonic disseminated
sulphides

Crystalline quartz +
adularia + sulphide Crustiform
Crystalline
superzone

Possible exposed level


of the veins in Baturappe
Bincanai Crystalline quartz +
prospect based on their Crustiform
textural characteristics
main vein carbonate

Possible range of formation of the


Baturappe vein-1 veins in Baturappe prospect based
on their textural characteristics
T (oC)

Gambar 6. Estimasi exposed level dan kisaran zona pembentukan urat pada prospek
Baturappe berdasarkan karakteristik tekstural urat (dimodifikasi dari Morrison et al., 1990).

Berdasarkan kriteria klasifikasi dan model Morrison et al. (1990) tersebut, maka
tekstur crustiform-crystalline quartz-siderite-sulphide urat Bincanai dapat

21
dikategorikan ke dalam crystalline superzone, dengan kisaran dari crystalline
quartz+carbonate-crustiform hingga crystalline quartz+sulfide-crustiform zone
(adularia tidak ditemukan pada urat-urat di prospek Bincanai). Sedangkan urat-
urat lainnya, karena tidak memiliki carbonate band, maka dikategorikan ke dalam
crystalline quartz+sulfide-crustiform zone (juga dengan absennya adularia).
Secara genetik, tekstur pada zona ini, crystalline superzone, terbentuk dari fluida
yang didominasi fasa liquid dan terendapkan di bawah level pendidihan, minimal
sekitar 350 m di bawah permukaan, dan pada temperatur sekitar >225oC
(Morrison et al., 1990). Berdasarkan model genetik ini, kisaran zona pembentukan
dan exposed level urat-urat di prospek Baturappe dapat diestimasi, seperti terlihat
pada Gambar 6.
Selain logam dasar, urat Bincanai juga dicirikan dengan kehadiran mineral-
mineral mengandung perak dan bismut, seperti polibasit, kupro-polibasit, jalpait,
angelait, kupro-bismutit, freieslebenit dan bismutinit. Komposisi kimia urat juga
mengnfirmasi hal ini (rata-rata: Ag 713 g/t dan Bi 308 g/t). Kumpulan mineral
sulfida pada sampel-sampel urat Bincanai mengindikasikan tingkatan sulfidasi
menengah. Sulfida-sulfida penciri endapan epitermal sulfidasi menengah seperti
tenantit, tetrahedrit, kalkopirit, dan pirit (Hedenquist et al., 2000; Einaudi et al.,
2003; Sillitoe and Hedenquist, 2003; Simmons et al., 2005) dijumpai pada urat
Bincanai. Karakteristik lain urat Bincanai seperti tekstur kuarsa dan mineral-
mineral gangue juga mendukung indikasi ini. Endapan epitermal sulfidasi
menengah yang kaya Ag  logam dasar umumya dicirikan oleh tekstur kristalin
pada kuarsa uratnya dan kehadiran mineral-mineral karbonat dan silikat
mengandung mangan sebagai gangue; kuarsa dan karbonat merupakan mineral
gangue utama, sedangkan adularia umumnya absen yang mengindikasikan
kondisi pembentukan pada temperatur tinggi, pada level kedalaman, di bawah
zona pendidihan (Sillitoe and Hedenquist, 2003). Karakteristik-karakteristik
tersebut secara umum dimiliki oleh urat Bincanai; kuarsa, siderit, dan rodonit
diidentifikasi sebagai gangue, sedangkan adularia tidak dijumpai; tekstur kristalin

22
juga dikenali pada kuarsa urat, seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Terbentuknya band siderit dalam ketebalan yang signifikan sebagai gangue pada
urat Bincanai menjelaskan kondisi pembentukan pada temperatur tinggi, pada
level kedalaman, di bawah zona pendidihan.
Sillitoe and Hedenquist (2003) juga menyimpulkan bahwa fluida yang
bertanggungjawab pada pengendapan mineral-mineral gangue kuarsa dan
karbonat pada endapan epitermal sulfidasi menengah kaya Ag  logam dasar
umumnya bersalinitas rendah (umumnya < 2,4 wt.% NaCl eq.). Kesimpulan ini
secara umum konsisten dengan kisaran salinitas fluida pembentuk urat Bincanai,
yang dideterminasi dari hasil studi mikrotermometri inklusi fluida, yaitu berkisar
2,0 hingga 2,5 wt.% NaCl eq.
Karakteristik lain urat Bincanai juga lebih-kurang sama dengan karakteristik
tipikal urat-urat epitermal sulfidasi menengah seperti pada urat-urat di Caylloma
vein disctrict, Peru, yang dilaporkan oleh Echavarria et al. (2006). Tekstur
symmetric crustiform banding, vugs dan comb, batuan wadah (host) andesit
porfiritik silisik, mineral-mineral gangue utama kuarsa, silikat kaya-mangan
(didominasi oleh rodonit) dan karbonat, serta kumpulan mineral bijih seperti
sfalerit, galena, kalkopirit, tetrahedrit, dengan subordinate polibasit dan sulfosalt
Pb dan Ag yang dilaporkan oleh Echavarria et al. (2006), umumnya dijumpai
pada urat Bincanai.

4.5. Studi inklusi fluida


Studi inklusi fluida dilakukan pada kuarsa dari semua urat signifikan yang
ditinjau pada studi disertasi ini. Di bawah mikroskop, secara umum ukuran inklusi
fluida berkisar dari <5 hingga 40 μm, tetapi pada kuarsa dari urat-urat Bungolo,
Paranglambere, dan Bangkowa, inklusi-inklusi fluida yang dijumpai berukuran
sangat kecil, < 5 μm, sehingga pengukuran temperatur peleburan es tidak dapat
dilakukan; hanya temperatur homogenisasi yang diukur pada ketiga urat tersebut.
Secara umum inklusi fluida bervariasi dalam bentuk, sebagian besar menyudut,

23
memanjang, dan prismatik. Pada suhu kamar, inklusi-inklusi fluida menampakkan
kondisi dua-fasa liquid-vapor (liquid rich) dengan kisaran V/(V + L) 20-50%.
Inklusi-inklusi tersebar relatif sejajar dan sebagian terdistribusi pada tepi-tepi
kristal kuarsa yang diinterpretasi sebagai kumpulan inklusi primer (Gambar 7);

20 μm

Figure 7. Fotomikrograf inklusi-inklusi fluida primer dua-


fasa liquid-vapor (liquid-rich) pada kuarsa dari sampel urat
Bincanai (sampel WBC.1A.V).

Tabel 1. Hasil-hasil analisis mikrotermometri inklusi fluida


Urat Sampel n Th (oC) Tm (oC) Salinitas (wt.% NaCl eq.)
Bincanai WBC.1A.V 20 208 - 267 -1.6 - -1.0 1.7 - 2.7
WBC.3A.V 22 204 - 278 -1.7 - -0.9 1.6 - 2.9
TBC.1A 17 192 - 301 -2.2 - -0.9 1.6 - 3.7
TBC.1B 22 245 - 305 -1.9 - -1.0 1.7 - 3.2
Baturappe-1 TRP.1G 22 195 - 275 -3.5 - -0.5 0.9 - 5.7
TRP.1H 22 173 - 286 -3.3 - -0.8 1.4 - 5.4
Baturappe-2 TRP.6D 22 203 - 293 -2.9 - -1.1 1.9 - 4.8
TRP.6F 19 203 - 279 -3.0 - -1.2 2.1 - 5.0
Bungolo TRP.2E 20 143 - 237 tidak diukur tidak diukur
Paranglambere BR.11 20 145 - 203 tidak diukur tidak diukur
Bangkowa TBK.2A.3 22 208 - 307 tidak diukur tidak diukur
TBK.2F.3 22 223 - 325 tidak diukur tidak diukur
n: jumlah pengukuran

24
sebagian kecil juga diamati terperangkap di sepanjang rekahan-rekahan mikro,
yang diinterpretasi sebagai inklusi sekunder (berdasarkan kriteria Roedder,
1979, 1984; Bodnar et al., 1985). Temperatur homogenisasi dan temperatur
peleburan es hanya diukur pada inklusi primer. Hasil-hasil analisis
mikrotermometri inklusi fluida pada 12 sample kuarsa urat diikhtisarkan pada
Tabel 1. Nilai-nilai salinitas dikalkulasi melalui konversi temperatur peleburan es
(Tm) menggunakan persamaan Bodnar (1993) dan Bodnar and Vityk (1994)
(persamaan 4). Seperti telah dijelaskan, beberapa sampel kuarsa megandung
inklusi fluida yang sangat halus, < 5 μm, sehingga Tm tidak dapat diukur dan
salinitasnya tidak dapat dikalkukasi.
Pada studi endapan epitermal, hasil analisis mikrotermetri inklusi fluida dapat
digunakan untuk mengestimasi temperatur formasi dan salinitas fluida hidrotermal
pembentuknya. Pada lingkungan epitermal yang relatif bertekanan rendah, tidak
diperlukan koreksi tekanan terhadap temperatur homogenisasi inklusi fluida,
untuk menentukan temperatur pemerangkapannya (Bodnar et al., 1985).
Temperatur formasi (temperatur pemerangkapan inklusi) umumnya ditentukan
dari histogram mean (peak) temperatur homogenisasi; sedangkan salinitas fluida
hidrotermal ditentukan dari histogram mean (peak) salinitas (Etoh et al., 2002;
Harijoko et al., 2007). Sehingga, estimasi temperatur pembentukan dan salinitas
fluida hidrotermal dari setiap urat di daerah penelitian ditentukan melalui kedua
histogram tersebut. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Di zona Bincanai, dua jenis urat dievaluasi pada studi ini yaitu urat utama
(diwakili oleh sampel WBC.1A.V dan WBC.3A.V) dan urat tipis (diwakili oleh
sampel TBC.1A dan TBC.1B). Dari hasil mikrotermometri inklusi fluida,
didapatkan temperatur pembentukan urat utama adalah 230-240oC (Tabel 2) yang
ekuivalen dengan kedalaman formasi 300-370 m di bawah muka air tanah purba
(setelah diplot pada kurva titik didih Haas, 1971), sedangkan urat tipis diestimasi
terbentuk pada temperatur 270-280oC atau 620-740 m di bawah muka air tanah
purba. Sehingga terdapat perbedaan kedalaman pembentukan sekitar 300 m antara

25
Tabel 2. Temperatur formasi urat-urat mineralisasi signifikan di daerah penelitian
dan salinitas fluida hidrotermal pembentuknya

Urat Sampel Temperatur formasi (oC); Salinitas (wt.% NaCl eq.)


diestimasi dari histogram peak fluida hidrotermal; diestimasi
temperatur homogenisasi dari histogram peak salinitas
Bincanai WBC.1A.V 230 - 240 2.0 - 2.5
WBC.3A.V 230 - 240 2.0 - 2.5
TBC.1A 270 - 280 2.0 - 2.5
TBC.1B 270 - 280 2.0 - 2.5
Baturappe-1 TRP.1G 260 - 270 2.0 - 2.5
TRP.1H 230 - 240 2.0 - 2.5
Baturappe-2 TRP.6D 270 - 280 3.0 - 3.5
TRP.6F 230 - 240 3.5 - 4.0
Bungolo TRP.2E 200 - 210 tidak diukur
Paranglambere BR.11 170 - 180 tidak diukur
Bangkowa TBK.2A.3 280 - 290 tidak diukur
TBK.2F.3 280 - 290 tidak diukur

kedua urat. Di lapangan, teramati bahwa urat-urat tipis tersebar dengan orientasi
umum hampir tegak-lurus terhadap urat utama, di mana urat utama tersebut
memotong urat-urat tipis. Sehingga dapat diinterpretasi bahwa terdapat dua
generasi pembentukan urat di zona Bincanai. Urat-urat tipis diinterpretasi
terbentuk lebih awal pada zona yang lebih dalam, yang secara genetik
berhubungan dengan aktifitas intrusi. Lava yang merupakan batuan wadah
mineralisasi terekahkan (fractured) akibat intrusi. Rekahan-rekahan tersebut
kemudian terisi oleh fluida hidrotermal termineralisasi yang bertemperatur relatif
tinggi, dan membentuk urat-urat tipis pada kedalaman sekitar 620-740 m di bawah
muka air tanah purba. Setelah periode pembentukan urat-urat tipis termineralisasi
tersebut, daerah Bincanai mengalami pengangkatan (uplift), dari zona kedalaman
tersebut ke zona yang lebih dangkal, yaitu sekitar 300-370 m di bawah muka air
tanah purba, atau naik sekitar 300 m. Pada level kedalaman ini, urat utama
Bincanai kemudian terbentuk pada zona bukaan patahan Bincanait; bukaan ini
relatif lebih lebar sehingga urat utama lebih tebal. Jika diasumsikan tingkat
pengangkatan (uplift rate) pulau Sulawesi dan sekitarnya sebesar 1 mm/tahun
(berdasarkan kriteria Hedenquist et al., 2000), maka untuk pengangkatan sebesar

26
300 m, terdapat selang waktu sekitar 0,3 juta tahun antara pembentukan kedua
jenis urat Bincanai tersebut.
Kisaran temperatur dan kedalaman formasi urat-urat Bincanai yang
diestimasi dari hasil analisis mikrotermometri inklusi fluida secara umum
konsisten dengan temperatur dan kedalaman yang diestimasi berdasarkan
karaktersitik teksturnya, seperti yang telah didiskusikan sebelumnya (Gambar 6).
Kondisi tekanan pada saat pembentukan urat juga relevan, yaitu 54-63 bar untuk
urat-urat tipis dan 27-33 bar untuk urat utama (diestimasi menggunakan profil
temperatur-kedalaman-tekanan-densitas untuk larutan NaCl-H2O oleh Haas,
1971). Kisaran nilai salinitas mengindikasikan bahwa fluida yang
bertanggungjawab terhadap pembentukan mineralisasi urat di Bincanai bersalintas
relatif rendah. Berdasarkan evaluasi diagram Th vs salinitas, diinterpretasi bahwa
secara genetik fluida pembentuk mineralisasi di zona Bincanai berasal dari hasil
isothermal mixing antara fluida-fluida yang bersalinitas kontras; yaitu dari hasil
percampuran fluida magmatik kedalaman yang lebih panas dengan fluida yang
lebih dingin dan bersalinitas lebih rendah yang berasal dari air meteorik (Shepherd
et al., 1985; Wilkinson, 2001). Trend titik-titik plot pada diagram Th vs salinitas
tidak mengindikasikan adanya mekanisme pendidihan selama presipitasi urat.
Kisaran nilai fugasitas sulfur urat tipis Bincanai secara umum lebih tinggi
daripada urat utama, berturut-turut 10-9 - 10-12 dan 10-11 - 10-14; yang di samping
merefleksikan lebih tingginya temperatur pembentukan urat-urat tipis
dibandingkan urat utama, juga menjelaskan kumpulan mineral sulfida pada
urat-urat Bincanai yang berada pada kisaran sulfidasi menengah.
Secara umum, urat-urat di zona Baturappe bervariasi dalam asosiasi mineral
bijihnya, yang mengindikasikan perbedaan karakter fluida-fluida hidrotermalnya.
Urat Baturappe-1 dicirikan oleh asosiasi mineral kaya-tembaga (kalkopirit, bornit
dan enargit) yang merupakan penciri kumpulan mineral sulfidasi tinggi
(Einaudi et al., 2003). Sehingga dapat disimpulkan bahwa fluida hidrotermal yang
membentuk urat Baturappe-1 adalah fluida berkarakter sulfidasi tinggi.

27
Kesimpulan ini didukung oleh kisaran temperatur dan salinitas yang relatif lebih
tinggi, masing-masing mencapai 286oC dan 5,7 wt.% NaCl eq. (Tabel 1).
Kedalaman dan tekanan formasi urat ini masing-masing minimal 520-620 m di
bawah muka air tanah purba dan 46-53 bar. Kisaran fugasitas sulfurnya juga lebih
tinggi dengan kisaran nilai yang lebih lebar, yaitu 10-8 - 10-13, yang konsisten
dengan kisaran sulfidasi menengah hingga tinggi (Einaudi et al., 2003). Kisaran
nilai fugasitas sulfur yang lebih tinggi merepresentasi kumpulan mineral sulfidasi
tinggi (kalkopirit, bornit dan enargit), sedangan kisaran yang lebih rendah
merepresentasi mineral-mineral sulfidasi menengah yang terdapat pada urat
(tenantit, tetrahedrit, pirit). Seperti pada urat Bincanai, fluida pembentuk urat
Baturappe-1 juga berasal dari hasil isothermal mixing antara fluida-fluida yang
bersalinitas kontras yaitu dari hasil percampuran fluida magmatik kedalaman yang
lebih panas dengan fluida yang lebih dingin dan bersalinitas lebih rendah yang
berasal dari air meteorik. Berdasarkan tingginya kisaran nilai salinitasnya,
diinterpretasi juga bahwa intensitas fluida magmatik lebih tinggi dibandingkan
fluida asal air meteorik.
Berdasarkan kumpulan mineralnya, urat Baturappe-2 juga berkarakter
sulfidasi menengah; asosiasi galena dan sfalerit dengan kalkopirit dan tenantit
terbentuk pada urat ini. Tingginya temperatur dan salinitas, masing-masing
maksimal 270-280oC dan 3,5-4,0 wt.% NaCl eq. (Tabel 2), diinterpretasi
berkorelasi dengan kelimpahan kalkopirit dan kehadiran molibdenit yang
terbentuk pada rekahan kuarsa urat. Temperatur dan tekanan formasi urat ini
masing-masing minimal 620-740 m di bawah muka air tanah purba dan 53-62 bar.
Sedangkan kisaran fugasitas sulfurnya adalah 10-9 - 10-12. Berdasarkan evaluasi
diagram Th vs salinitas, diinterpretasi bahwa fluida pembentuknya berasal dari
hasil mixing antara fluida magmatik kedalaman yang lebih panas dengan fluida
yang lebih dingin dan bersalinitas lebih rendah yang berasal dari air meteorik.
Trend titik-titik plot pada diagram T h vs salinitas tidak mengindikasikan adanya
mekanisme pendidihan selama presipitasi urat Baturappe -1 dan Baturappe -2.

28
Dibandingkan urat-urat lainnya, urat Paranglambere dan Bungolo terbentuk
pada temperatur yang lebih rendah, masing-masing 170-180oC dan 200-210oC
(Tabel 2). Sebaliknya, urat Bangkowa terbentuk pada temperatur yang paling
tinggi dibandingkan urat-urat lainnya, yaitu 280-290oC (Tabel 2). Kisaran
fugasitas sulfur ketiga urat ini berturut-turut 10-15 - 10-16, 10-13 - 10-15, 10-9 - 10-11.
Peningkatan nilai-nilai fugasitas sulfur ini mencerminkan peningkatan temperatur
pembentukan dari ketiga urat. Tidak dilakukan pengukuran temperatur peleburan
es pada ketiga urat karena kecilnya ukuran inklusi fluidanya, sehingga salinitas
dan kondisi-kondisi fisika-kimia lain selama pembentukan ketiga urat juga tidak
dapat dideterminasi. Urat Bangkowa, walaupun menunjukkan kisaran temperatur
homogenisasi yang tinggi (histogram mean dari dua sampel adalah 280-290oC;
Tabel 2), tetapi urat ini sangat sedikit termineralisasi; hanya pirit, kalkopirit dan
sedikit tetrahedrit yang teridentifikasi pada sampel. Sehingga diinterpretasi bahwa
urat Bangkowa terbentuk dari fluida hydrotermal yang relatif barren.
Berdasarkan evaluasi kumpulan mineral (sufida dan gangue) dan hasil-hasil
studi mikrotermometri inklusi fluida, secara umum disimpulkan bahwa sedikitnya
tiga generasi fluida hidrotermal telah bekerja di daerah penelitian. Urat Bangkowa
terbentuk lebih dahulu, dari fluida yang relatif tak-termineralisasi (barren); urat-
urat Bincanai, Baturappe-2, Bungolo dan Paranglambere terbentuk dari fluida
sulfidasi-menengah yang kaya logam dasar ± perak; dan urat Baturappe-1
terbentuk dari fluida sulfidasi- menengah hingga tinggi yang kaya tembaga. Urat-
urat tersebut terbentuk dari fluida yang merupakan hasil percampuran (mixing)
antara fluida magmatik kedalaman bersuhu tinggi dengan air meteorik bersalinitas
dan bersuhu rendah. Berdasarkan trend inklusi fluida pada diagram Th vs salinitas,
disimpulkan bahwa secara umum urat-urat epitermal di daerah penelitian tidak
terbentuk dari mekanisme pendidihan, di mana kesimpulan ini konsisten dengan
hasil evaluasi karakteristik tekstur serta kumpulan mineral logam dasar yang
dominan pada urat (terutama galena, sfalerit, dan kalkopirit) yang
mengindikasikan pembentukan di bawah zona pendidihan (Gambar 6).

29
4.6. Model genetik dan implikasi eksplorasi
Berdasarkan hasil-hasil studi disertasi ini, dikonstruksi model genetik dari
tiga urat mineralisasi signifikan di prospek Baturappe, yaitu urat Bincanai, urat
Baturappe-1 dan urat Baturappe-2 (berturut-turut pada Gambar 8, 9 and 10). Pada
ketiga model tersebut, level permukaan saat ini ditentukan berdasarkan elevasi
aktual setiap urat yang diukur di lapangan. Level muka air tanah purba
dideterminasi berdasarkan estimasi kedalaman formasi setiap urat, yang diukur
secara vertikal ke arah atas dari level permukaan saat ini. Posisi level permukaan
purba dan level pendidihan dirujuk dari model epitermal Buchanan, 1981
(pada model Morrison, 1990; Gambar 6), berturut-turut sekitar 40 m di atas muka
air tanah purba dan 300 m di bawah muka air tanah purba.
Untuk pengembangan prospek ke tahap eksplorasi lebih lanjut,
direkomendasikan untuk melaksanakan program eksplorasi bawah permukaan
dalam bentuk survei geofisika dan terutama pemboran perintis pada ketiga urat.
Seperti telah diuraikan, urat Bincanai mengandung kumpulan mineral ekonomis
yang lebih signifikan dibandingkan urat-urat lainnya. Selain logam dasar, mineral-
mineral mengandung perak dan bismut juga terdapat pada urat ini. Kadar rata-rata
urat Bincanai adalah: Pb 17,51 %, Zn 0,35 %, Cu 0,66 %, Ag 713 g/t, Bi 308 g/t.
Dibandingkan urat lainnya, urat Bincanai juga memiliki ketebalan yang lebih
besar, mencapai 18 cm pada singkapan. Karena urat ini memiliki kemiringan yang
besar (64o SW), maka tidak disarankan untuk melakukan yang tepat tegaklurus
terhadap kemiringannya (26o), tetapi direkomendasikan kemiringan pemboran
minimum yang dianggap ekonomis, yaitu 45o. Dengan asumsi kedalaman
pemboran 100 m (kedalaman minimum yang ekonomis untuk tahap pemboran
perintis), maka lokasi titik bor yang direkomendasikan untuk urat Bincanai adalah
sekitar 90 m di sebelah baratdaya urat tersebut (Gambar 8).
Urat Baturappe-1 juga dipertimbangkan penting untuk dikembangkan karena
mengandung kisaran mineral sulfida yang lebih bervariasi/lebar, dari sulfidasi
menengah hingga tinggi. Demikian juga dengan urat Baturappe-2 yang
mengandung salah satu sulfida penting, molibdenit. Kedua urat ini memiliki
kemiringan yang lebih kecil (< 45o), sehingga, untuk urat Baturappe-1 pemboran

30
perintis disarankan dilakukan dengan kemiringan 50o terhadap permukaan
(tegaklurus terhadap kemiringan urat; 40o SW). Seperti digambarkan pada model
Gambar 9), pemboran dengan kedalaman sekitar 10 m, dimulai di permukaan
pada lokasi sekitar 15 m sebelah baratdaya urat, akan memotong tegaklurus urat
tersebut di bawah permukaan. Untuk urat Baturappe-2, dengan pertimbangan yang
sama (kecilnya kemiringan urat; 28o SW), maka pemboran perintis disarankan
dilakukan dengan kemiringan 62o terhadap permukaan (tegaklurus terhadap
kemiringan urat). Seperti juga digambarkan pada model (Gambar 10), pemboran
dengan kedalaman sekitar 8 m, dimulai di permukaan pada lokasi sekitar 16 m
sebelah baratdaya urat, akan memotong tegaklurus urat tersebut di bawah
permukaan.

31
Quartz-carbonate
Quartz-carbonatezone
zone

Recommended scout drilling

Gambar 8. Model genetik urat Bincanai yang juga menggambarkan rekomendasi lokasi pemboran perintis.
Arah pandang gambar utara-baratlaut, kedudukan urat N162oE/64o.

32
Recommended scout drilling

Gambar 9. Model genetik urat Baturappe-1 yang juga menggambarkan rekomendasi lokasi pemboran perintis.
Arah pandang gambar utara-baratlaut, kedudukan urat N140oE/40o.

33
Recommended scout drilling

Gambar 10. Model genetik urat Baturappe-2 yang juga menggambarkan rekomendasi lokasi pemboran perintis.
Arah pandang gambar utara-baratlaut, kedudukan urat N160oE/28o.

34
Daftar Pustaka

Audley-Charles, M.G. and Harris, R.A., 1990. Allochtonous terranes of the Southwest Pacific and
Indonesia. Phil. Trans. Royal Society of London, A.331, 571-580.
Bergman, S.C., Coffield, D.Q., Talbot, J.P. and Garrard, A.G., 1996. Tertiary tectonic and
magmatic evolution of western Sulawesi and the Makassar Strait, Indonesia: evidence for a
Miocene continent-continent collision. In Hall, R. and Blundell, D. (eds.), Tectonic evolution
of southeast Asia, Geological Society Special Publication, 106, 391-429.
Bodnar, R.J., 1993. Revised equation and table for determining the freezing point depression of
H2O-NaCl solutions. Geochimica et Cosmochimica Acta, 57, 683-684.
Bodnar, R.J. and Vityk, M.O., 1994. Interpretation of microthermometric data for H2O-NaCl fluid
inclusions. In De Vivo, B. and Frezzotti, M.L. (eds.), Fluid inclusions in minerals, methods and
applications, published by Virginia Tech, Blacksburg, VA, 117-130.
Bodnar, R.J., Reynolds, T.J. and Kuehn, C.A., 1985. Fluid-inclusion systematics in epithermal
systems. In Berger, B.R. and Bethke, P.M. (eds.), Geology and geochemistry of epithermal
systems, Reviews in Economic Geology, 2, 73-97.
Bogie, I. and Mackenzie, K.M., 1998. The application of a volcanic facies models to an andesitic
stratovolcano hosted geothermal system at Wayang Windu, Java, Indonesia. Proceedings of
20th NZ Geothermal Workshop, 265-276.
Boynton, W.V., 1984. Geochemistry of the rare earth elements: meteorite studies. In Henderson,
P. (ed.), Rare earth element geochemistry. Elsevier, Amsterdam, 1984, 63-114.
Bronto, S., 2006. Volcanic facies and its application (in Indonesian). Jurnal Geologi Indonesia, 1,
59-71.
Carlile, J.C. and Mitchell, A.H.G, 1994. Magmatic arcs and associated gold and copper
mineralization in Indonesia. Journal of Geochemical Exploration, 50, 91-142.
Carlile, J.C., Digdowirogo, S. and Darius, K., 1990. Geological setting, characteristics and
regional exploration for gold in the volcanic arcs of North Sulawesi, Indonesia. Journal of
Geochemical Exploration, 35, 105-140.
Cooke, D.R. and Simmons, S.F., 2000. Characteristics and genesis of epithermal gold deposits.
Reviews in Economic Geology, 13, 221-244.
Corbett, G.J. and Leach, T.M., 1998. Southwest Pacific rim gold-copper systems: structure,
alteration, and mineralization. Society of Economic Geologists Special Publication, 6, 237 p.
Cox, K.G., Bell, J.D. and Pankhurst, R.J., 1979. The interpretation of igneous rocks. George, Allen
and Unwin, London.
Cox, S.F., Knackstedt, M.A. and Braun, J., 2001. Principles of structural control on permeability
and fluid flow in hydrothermal systems. Reviews in Economic Geology, 14, 1-24.
Darman, H. and Sidi, F.H., 2000. An outline of the geology of Indonesia. Indonesian Association
of Geologists (IAGI), Jakarta, 192 p.
De la Roche, H., Leterrier, J., Granclaude, P. and Marchal, M., 1980. A classification of volcanic
and plutonic rocks using R1R2-diagram and major-element analyses – its relationships with
current nomenclature. Chemical Geology, 29, 183-210.
Dong, G., Morrison, G. and Jaireth, S., 1995. Quartz textures in epithermal veins, Queensland –
classification, origin, and implication. Economic Geology, 90, 1841-1856.
Echavarria, L., Nelson, E. and Humphrey, J., 2006. Geologic evolution of the Caylloma epithermal
vein district, Southern Peru. Economic Geology, 101, 843-863.
Einaudi, M.T., Hedenquist, J.W. and Esra Inan, E., 2003. Sulfidation state of fluids in active and
extinct hydrothermal systems: transitions from porphyry to epithermal environments. Society
of Economic Geologists Special Publication, 10, 285-313.
Elburg, M.A., van Leeuwen, T., Foden, J. and Muharjo, 2002. Origin of geochemical variability
by arc-continent collision in the Biru area, southern Sulawesi (Indonesia). Journal of
Petrology, 43, 581-606.

35
Elburg, M., Kamenetsky, V.S., Nikogosian, I., Foden, J. and Sobolev, A.V., 2006. Co-existing
high- and low-calcium melts identified by mineral and melt inclusion studies of a subduction-
influenced syn-collisional magma from South Sulawesi, Indonesia. Journal of Petrology, 47,
2433-2462.
Etoh, J., Izawa, E. and Taguchi, S., 2002. A fluid inclusion study on columnar adularia from the
Hishikari low-sulfidation epithermal gold deposit, Japan. Resource Geology, 52, 73-78.
Floyd, P.A. and Winchester, J.A., 1978. Identification and discrimination of altered and
metamorphosed volcanic rocks using immobile elements. Chemical Geology, 21, 291-306.
Gemmell, J.B., 2007. Hydrothermal alteration associated with the Gosowong epithermal Au-Ag
deposit, Halmahera, Indonesia: mineralogy, geochemistry, and exploration implications.
Economic Geology, 102, 893-922.
Gifkins, C., Herrmann, W. and Large, R., 2005. Altered volcanic rocks: a guide to description and
interpretation. Centre for Ore Deposit Research, University of Tasmania, Australia, 275 p.
Grant, J.A., 1986. The isocon diagram – a simple solution to Gresens’ equation for metasomatic
alteration. Economic Geology, 81, 1976-1982.
Gresens, R.L., 1967. Composition-volume relationships of metasomatism. Chemical Geology, 2,
47-65.
Gribble, C.D. and Hall, A.J., 1985. A practical introduction to optical mineralogy. George Allen
& Unwin (Publishers) Ltd., London, UK, 249 p.
Guntoro, A., 1999. The formation of the Makassar strait and the separation between SE
Kalimantan and SW Sulawesi. Journal of Asian Earth Sciences, 17, 79-98.
Haas, J.L., 1971. The effect of salinity on the maximum thermal gradient of a hydrothermal system
at hydrostatic pressure. Economic Geology, 66, 940-946.
Hall, R., 2002. Cenozoic geological and plate tectonic evolution of SE Asia and the SW Pacific:
computer-based reconstructions, model and animations. Journal of Asian Earth Sciences, 20,
353-431.
Hall, R. and Wilson, M.E.J, 2000. Neogene sutures in eastern Indonesia. Journal of Asian Earth
Sciences, 18, 781-808.
Hamilton, W.B., 1979. Tectonics of the Indonesian region. USGS Professional Paper, 1078, 345
pp., reprinted with corrections 1981 and 1985.
Harijoko, A., Ohbuci, Y., Motomura, Y., Imai, A. and Watanabe, K., 2007. Characteristics of the
Cibaliung gold deposit: Miocen low-sulfidation-type epithermal gold deposit in western Java,
Indonesia. Resource Geology, 57, 114-123.
Hayba, D.O., Bethke, P.M., Heald, P. and Foley, N.K., 1985. Geologic, mineralogic and
geochemical characteristics of volcanic-hosted epithermal precious metal deposits. Reviews in
Economic Geology, 2, 129-167.
Heald, P., Foley, N.K. and Hayba, D.O., 1987. Comparative anatomy of volcanic-hosted
epithermal deposits: acid-sulfate and adularia-sericite types. Economic Geology, 82, 1-26.
Hedenquist, J.W., Izawa, E., Arribas, A. and White, N.C., 1996. Epitermal gold deposits: styles,
characteristics, and exploration. Resource Geology Special Publication, 1, Tokyo.
Hedenquist, J.W., Arribas, A., Jr. and Reynolds, T.J., 1998. Evolution of an intrusion-centered
hydrothermal system: Far Southeast-Lepanto porphyry and epithermal Cu-Au deposits,
Philippines. Economic Geology, 93, 373-404.
Hedenquist, J.W., Arribas, R.A. and Gonzalez-Urien, E., 2000. Exploration for epithermal gold
deposits. Reviews in Economic Geology, 13, 245-277.
Henderson, P., 1984. General geochemical properties and abundances of the rare earth elements.
In Henderson, P. (ed.), Rare earth element geochemistry. Elsevier, Amsterdam, 1984, 1-32.
Idrus, A., Kolb, J. and Meyer, F.M., 2009. Mineralogy, lithogeochemistry and elemental mass
balance of the hydrothermal alteration associated with the gold-rich Batu Hijau porphyry
copper deposit, Sumbawa island, Indonesia. Resource Geology, 59, 215-230.

36
Idrus, A., Sufriadin and Nur, I., 2011. Hydrothermal ore mineralization in Sulawesi: a view point
of tectonic setting and metallogenesis. Proceedings of the Joint Convention HAGI-IAGI,
Makassar, Indonesia, 26-29 September 2011, paper no. JCM 2011-298.
Izawa, E., Urashima, Y., Ibaraki, K., Suzuki, R., Yokoyama, T., Kawasaki, K., Koga, A. and
Taguchi, S., 1990. The Hishikari gold deposit: high-grade epithermal veins in Quaternary
volcanics of southern Kyushu, Japan. Journal of Geochemical Exploration, 36, 1-56.
Janousek, V., Farrow, C.M. and Erban, V., 2006. Technical note; interpretation of whole-rock
geochemical data in igneous geochemistry: introducing Geochemical Data Toolkit (GCDkit).
Journal of Petrology, 47, 1255-1259.
Jensen, E.P. and Barton, M.D., 2000. Gold deposits related to alkaline magmatism. Reviews in
Economic Geology, 13, 279-314.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C.D. and Ishikawa, A., 2004. Petrology,
Geochemistry and Paleogeographic Reconstruction of the East Sulawesi Ophiolite, Indonesia.
Tectonophysics, 392, 55-83.
Kelley, K.D. and Ludington, S., 2002. Cripple Creek and other alkaline-related gold deposits in
the southern Rocky Mountains, USA: influence of regional tectonics. Mineralium Deposita, 37,
38-60.
Kretz, R., 1983. Symbols for rock-forming minerals. American Mineralogist, 68, 277-279.
Large, R.R., Gemmell, J.B., Paulick, H. and Huston, D.L., 2001. The alteration box plot: a simple
approach to understanding the relationship between alteration mineralogy and
lithogeochemistry associated with volcanic-hosted massive sulphide deposits. Economic
Geology, 96, 957-971.
Le Bas, M.J., Le Maitre, R.W., Streckeisen, A. and Zanettin, B., 1986. A chemical classification of
volcanic rocks based on the total alkali-silica diagram. Journal of Petrology, 27, 745-750.
Leterrier, J., Yuwono, Y.S., Soeria-Atmadja, R. and Maury, R.C., 1990. Potassic volcanism in
Central Java and South Sulawesi, Indonesia. Journal of Southeast Asian Earth Sciences, 4,
171-187.
Lindgren, W., 1922. A suggestion for the terminology of certain mineral deposits. Economic
Geology, 17, 292-294.
Lindgren, W., 1933. Mineral deposits, 4th edition. McGraw-Hill Book Company, Inc., New York
and London, 930 p.
MacKenzie, W.S., Donaldson, C.H. and Guilford, C., 1982. Atlas of igneous rocks and their
textures. Longman Group, UK, 148 p.
Marshall, D., Anglin, C.D. and Mumin, H., 2004. Ore mineral atlas. Geological Association of
Canada – Mineral Deposits Division, 112 p.
Mauk, J.L. and Simpson, M.P., 2007. Geochemistry and stable isotope composition of altered
rocks at the Golden Cross epithermal Au-Ag deposit, New Zealand. Economic Geology, 102,
841-871.
McDonough, W.F. and Sun, S.S., 1995. The composition of the earth. Chemical Geology, 120,
223-253.
McPhie, J., Doyle, M. and Allen, R., 1993. Volcanic textures, a guide to the interpretation of
textures in volcanic rocks. Centre for Ore Deposit and Exploration Studies, University of
Tasmania, 196 p.
Morrison, G.W., Dong, G. and Jaireth, S., 1990. Textural zoning in epithermal quartz veins.
Klondike Exploration Services, Townsville, Australia, 33 p.
Muntean, J.L. and Einaudi, M.T., 2001. Porphyry-epithermal transition: Maricunga belt, northern
Chile. Economic Geology, 96, 743-772.
Pearce, J.A. and Norry, M.J., 1979. Petrogenetic implications of Ti, Zr, Y and Nb variations in
volcanic rocks. Contrib. Mineral. Petrol., 69, 33-47.
Peccerillo, A. and Taylor, S.R., 1976. Geochemistry of Eocene calc-alkaline volcanic rocks from
the Kastamonu area, northern Turkey. Contrib. Mineral. Petrol., 58, 63-81.

37
Peccerillo, A., Poli, G. and Tolomeo, L., 1984. Genesis, evolution and tectonic significance of K-
rich volcanics from the Alban Hills (Roman comagmatic region) as inferred from trace element
geochemistry. Contrib. Mineral. Petrol., 86, 230-240.
Philpotts, A.R., 2003. Petrography of igneous and metamorphic rocks. Waveland Press, Inc.,
Illinois, USA, 179 p.
Polvé, M., Maury, R.C., Bellon, H., Rangin, C., Priadi, B., Yuwono, S., Joron, J.L. and Soeria-
Atmadja, R., 1997. Magmatic evolution of Sulawesi (Indonesia): constraints on the Cenozoic
geodynamic history of the Sundaland active margin. Tectonophysics, 272, 69-92.
Pracejus, B., 2008. The ore minerals under the microscope, an optical guide. Atlases in
Geoscience 3, Elsevier, Netherlands, 875 p.
Priadi, B., Bellon, H., Maury, R.C., Polvé, M., Soeria-Atmadja, R., Philippet, J.C., 1994.
Magmatic evolution in Sulawesi in the light of new 40K-40Ar age data. Proceedings of the 23th
IAGI Annual Convention, 1994, 355-370.
Reyes, A.G., 1990. Petrology of Philippine geothermal systems and the application of alteration
mineralogy to their assessment. J. of Volcanology and Geothermal Research, 43, 279-309.
Roedder, E., 1984. Fluid inclusions. In Ribbe, P.H. (ed.), Reviews in Mineralogy Vol.12,
Mineralogical Society of America, BookCrafters, Inc., Chelsea, Michigan, 646 p.
Roedder, E. and Bodnar, R.J., 1980. Geologic pressure determinations from fluid inclusion
studies. Ann. Rev. Earth Planet. Sci., 8, 263-301.
Roedder, E. and Bodnar, R.J., 1997. Fluid inclusion studies of hydrothermal ore deposits. In
Barnes, H.L. (ed.), Geochemistry of hydrothermal ore deposits, 3 th edition, John Wiley and
Sons, Inc., Canada, 657-697.
Rollinson, H., 1993. Using geochemical data: evaluation, presentation, interpretation. Longman
Group, UK, 351 p.
Shepherd, T.J., Rankin, A.H. and Alderton, D.H.M., 1985. A practical guide to fluid inclusion
studies. Blackie & Son Ltd., Glasgow, 239 p.
Sillitoe, R.H., 1989. Gold deposits in western Pacific island arcs: the magmatic connection.
Economic Geology Monograph, 6, 274-291.
Sillitoe, R.H. and Hedenquist, J.W., 2003. Linkages between volcanotectonic settings, ore-fluid
compositions, and epithermal precious metal deposits. Society of Economic Geologists Special
Publication, 10, 315-343.
Simmons, S.F., White, N.C. and John, D.A., 2005. Geological characteristics of epithermal
precious and base metal deposits. Economic Geology 100th Anniversary Volume, 485-522.
Soeria-Atmadja, R., Suparka, S., Abdullah, C., Noeradi, D. and Sutanto, 1998. Magmatism in
western Indonesia, the trapping of the Sumba Block and the gateways to the east of
Sundaland. Journal of Asian Earth Sciences, 16, 1-12.
Soeria-Atmadja, Priadi, B., van Leeuwen, T.M. and Kavalieris, I., 1999. Tectonic setting of
porphyry Cu-Au, Mo and related mineralization associated with contrasted Neogene
magmatism in the Western Sulawesi Arc. The Island Arc, 8, 47-55.
Sukamto, R., 1982. Geologic map of the Pangkajene and western part of Watampone quadrangles,
Sulawesi. Geological Research and Development Centre, Bandung, Indonesia.
Sukamto, R. and Supriatna, S., 1982. Geologic map of the Ujung Pandang, Benteng and Sinjai
quadrangles, Sulawesi. Geological Research and Development Centre, Bandung, Indonesia.
Sukmana, Zulkifli, M.D. and Simangunsong, H., 2002. Results of inventory and evaluation of
metallic minerals in South Sulawesi Province (Gowa, Takalar, Enrekang, and Tana Toraja
Regencies) and Central Sulawesi Province (Donggala and Toli-Toli Regencies) (in
Indonesian). Centre of Geological Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources,
Bandung, Indonesia, unpublished report.
Sun, S.S. and McDonough, W.F., 1989. Chemical and isotopic systematics of oceanic basalts;
implications for mantle composition and processes. In Saunders, A. D. and Norry, M. J. (eds.),
Magmatism in the ocean basins. Geological Society Special Publications, 42, 313–345.

38
Sutisna, D.T., 1990. Preliminary investigation of base metal (Cu, Pb, Zn) deposit in Takalar
regency, South Sulawesi (in Indonesian). Proceedings of the 19th IAGI Annual Convention,
Bandung, 1990, 341-349.
Thompson, A.J.B. and Thompson, J.F.H., 1996. Atlas of alteration, a field and petrographic guide
to hydrothermal alteration minerals. Geological Association of Canada, Mineral Deposits
Division, 118 p.
van Leeuwen, T.M., 1981. The geology of southwest Sulawesi with special reference to the Biru
area. The Geology and Tectonics of Easterm Indonesia, Geological Research and Development
Centre Special Publication, 2, 277-304.
Varentsov, I.M., 1996. Manganese ores of supergene zone: geochemistry of formation. Kluwer
Academic Publisher, Netherlands, 342 p.
Weaver, B. and Tarney, J., 1984. Empirical approach to estimating the composition of the
continental crust. Nature, 310, 575-577.
White, N.C. and Hedenquist, J.W., 1990. Epithermal environments and styles of mineralizations:
variations and their causes, and guidelines for exploration. Journal of Geochemical
Exploration, 36, 445-474.
White, N.C. and Poizat, V., 1995. Epithermal deposits: diverse styles, diverse origins?. Exploring
the Rim, PACRIM 1995 Congress, Auckland, New Zealand, Proceedings, 623-628.
White, N.C., Leake, M.J., McCaughey, S.N. and Parris, B.W., 1995. Epithermal gold deposits of
the southwest Pacific. Journal of Geochemical Exploration, 54, 87-136.
Wilkinson, J.J., 2001. Fluid inclusions in hydrothermal ore deposits. Lithos, 55, 229-272.
Winchester, J.A. and Floyd, P.A., 1977. Geochemical discrimination of different magma series
and their differentiation products using immobile elements. Chemical Geology, 20, 325-343.
Winter, J.D., 2001. An introduction to igneous and metamorphic petrology. Prentice Hall Inc.,
New Jersey, USA, 697 p.
Yuwono, Y.S., Bellon, H., Soeria-Atmadja, R. and Maury, R.C., 1985. Neogene and Pleistocene
volcanism in South Sulawesi. In Koesoemadinata, R.P. and Noeradi, D. (eds.), Indonesian
island arcs: magmatism, mineralization, and tectonic setting, ITB, 2003, 120-131.
Yuwono, Y.S., Maury, R.C., Soeria-Atmadja, R. and Bellon, H., 1988. Tertiary and Quaternary
geodynamic evolution of South Sulawesi: constraints from the study of volcanic units. In
Koesoemadinata, R.P. and Noeradi, D. (eds.), Indonesian island arcs: magmatism,
mineralization, and tectonic setting, ITB, 2003, 157-173.
Zulkifli, M.D., Tholib, A., Franklin, Sofyan A. and Sudiaman, 2002. Results of inventory and
evaluation of metallic minerals in Takalar and Gowa Regencies, South Sulawesi Province (in
Indonesian). Centre of Geological Resources, Ministry of Energy and Mineral Resources,
Bandung, Indonesia, unpublished report.

39

Anda mungkin juga menyukai