Anda di halaman 1dari 79

RUMAH SAKIT

UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SUMATERA UTARA
PREEKLAMPSIA (ICD 10 - O14)
1. Pengertian ( Definisi) Peningkatan tekanan darah pada wanita hamil
usia kehamilan di atas 20 minggu dengan tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik ≥ 90 mmHg dengan proteinuria
positif pada pemeriksaan dipstik urin ≥ +1 atau ≥
300 mg pada pemeriksaan urin 24 jam dan
gangguan organ lainnya
2. Anamnesis 1. Keluhan yang sering ditemukan adalah kaki
yang bengkak, nyeri kepala, pandangan mata
kabur, nyeri ulu hati, mual, muntah
2. Pasien datang dengan adanya tekanan darah
tinggi, hal-hal yang perlu ditanyakan:
 Apakah peningkatan tekanan darah pernah
dialami sebelumkehamilan 20 minggu?
 Apakah peningkatan tekanan darah pernah
dialami sebelum os hamil yang sekarang?
Jika ya, tanyakan:
• Sejak kapan diderita; ada tidaknya
menggunakan obat penurun tekanan
darah, apakah rutin menggunakan
obat,apakah ada efek samping yang
dialami dengan konsumsiobat tersebut;
tekanan darah tertinggi yang pernah
dialami;komplikasi yang pernah
dialami (seperti stroke); apa
sajapemeriksaan yang pernah
dilakukan.
- Apabila pasien sedang hamil anak kedua
ataupun seterusnya, perlu ditanyakan
apakah peningkatan tekanan darah
pernahdialami pada kehamilan
sebelumnya? Jika ya, tanyakan:
• Apakah kehamilan sebelumnya
tunggal atau gemelli; padausia
kehamilan berapa minggu dialami
peningkatan tekanandarah; apakah ada
menggunakan obat antihipertensi;
berapa tekanan darah tertinggi yang
pernah dialami; apakah terdapat
komplikasi pada ibu maupun janin;
apakah kelahiran tepatwaktu atau
prematur; kapan antihipertensi
diberhentikan,apakah penggunaan nya
dilanjutkan setelah persalinan.
• Perlu dipertanyakan apakah terdapat
riwayat Diabetes Mellitus pada pasien
maupun keluarganya

3. Pemeriksaan Fisik 1. Pada pemeriksaan Vital Sign dengan:


Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg
2. Pada pemeriksaan fisik toraks dapat dijumpai
suara tambahan yang menunjukkan ronkhi
basah pada lapangan paru (edema paru)
3. Pada pemeriksaan abdomen dapat ditemukan
tanda asites
4. Dapat dijumpai edema periorbita, pretibial,
edema pada vulva
5. Perlu diukur tinggi badan dan berat badan
untuk menyingkirkan obesitas dengan hasil
IMT (Indeks Massa Tubuh)
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan penunjang (Laboratorium, USG,
NST)

 Minimal Preeklamsia atau Moderate Pre-


eclampsia (O14.0)
Murni Preeklamsia (Tekanan Darah Diastolik
≥ 90 mmHg dengan proteinuria positif pada
pemeriksaan dipstik urin ≥ +1atau ≥ 300 mg
pada pemeriksaan urin 24 jam tanpa disertai
gejala pemberat (dijelaskan di bawah)
 Severe Pre-eclampsia (O14.1)
Preeklamsia dengan gejala pemberat,
preeklamsia yang disertai dengan salah satu
gejala/tanda gangguan organ di bawah ini
dengan atau tanpa proteinuria:
- TDS ≥160 mmHg dan/atau TDD ≥110
mmHg
- Trombositopenia  trombosit <
100.000/mm3
- Gangguan ginjal  kreatinin serum > 1,1
mg/dl atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum dari sebelumnya pada
kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal
lainnya
- Gangguan Liver  peningkatan
konsentrasi transaminase 2 kali normal
dan/atau adanya nyeri di daerah epigastrik/
regio kanan atas abdomen
- Edema paru
- Gejala Neurologis  stroke, nyeri kepalam
gangguan visus
- Gangguan sirkulasi  oligohidramnion,
Fetal Growth Restriction (FGR)
- Uteroplasenta  adanya absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV)

 Superimposed Preeclampsia on Chronic


Hypertension (O11)
Peningkatan tekanan darah pada wanita yang
sudah dialami sebelum kehamilan 20
minggu dengan Tekanan Darah Sistolik≥140
mmHg dan/atau Tekanan Darah Diastolik ≥
90 mmHgdan ditemukannya proteinuria
positif pada pemeriksaan dipstik urin ≥ +1
atau ≥ 300 mg pada pemeriksaan urin 24 jam
ataugangguan organ lainnya pada usia
kehamilan diatas 20 minggu
 Preeklamsia dengan HELLP Syndrome
(O14.2) 
Preeklamsia yang disertai adanya tanda-tanda
sindromaHELLP (Hemolysis, Elevated Liver
Enzyme, Low Platelet Count):
- Hemolysis: apusan darah tepi yang
abnormal, bilirubin total >1,2 mg/dl,
LDH > 600 U/L
- Elevated Liver Enzymes: SGOT > 70 U/L,
SGPT > 70 U/L,LDH > 600 U/L
- Low platelet count:< 100.000 /µL
DIC Scoring System
(1) Trombosit (>100 = 0, < 100 = 1, <50 = 2)
(2) Elevasi D-Dimer (tidak ada peningkatan
=0, peningkatan sedang = 2, peningkatan
kuat = 3)
(3) Waktu protrombin memanjang (< 3 detik =
0, > 3 detik tetapi < 6 detik = 1, > 6 detik
=2)
(4) Kadar Fibrinogen (> 1 g/L = 0, < 1,0 g/L =
1)

Jika score > 5, overt DIC ulangi pemeriksaan


setiap hari
Jika score < 5 sugestif DIC, ulangi
pemeriksaan 1-2 hari kedepan
5. Diagnosis Kerja Preeklamsia
6. Diagnosis Banding 1. Hipertensi Gestasional (O13)
Peningkatan tekanan darah pada wanita hamil
dengan usia kandungan di atas 20 minggu
dengan Tekanan Darah Sistolik ≥ 140 mmHg
dan/atau Tekanan Darah Diastolik ≥ 90 mmHg
tanpa adanya proteinuria atau gangguan organ
lainnya
2. Chronic Hypertension (O10.0)
Peningkatan tekanan darah pada wanita yang
sudah dialami dari sebelum 20 minggu dengan
Tekanan Darah Sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau
Tekanan Darah Diastolik ≥ 90 mmHg tanpa
adanya proteinuria atau gangguan organ
lainnya
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan Urinalisa, protein urin 24 jam
2. Laboratorium darah rutin (Darah lengkap,
ureum/creatinin, SGOT/SGPT/LDH, bilirubin,
HST, Fibrinogen, D-Dimer, albumin, KGD ad
random)
3. USG untuk biometri janin dan biofisik profile
janin (dapat ditemukan keadaan janin IUGR,
oligohidramnion maupun absent or reversed
end diastolic velocity (ARDV) pada doppler
arteri umbilikalis)
4. Non Stress Test (NST) dengan menggunakan
CTG (Cardiotocography)
8. Tata Laksana 1. Manajemen untuk wanita High Risk
- Wanita dengan risiko sangat tinggi yaitu
mereka yang dengan riwayat preeklamsia
dengan gejala pemberat; PE dengan
terminasi kehamilan < 34 minggu; PE
dengan BBL < 10th persentil; KJDK;
Solusio Plasenta. Risiko tinggi yaitu
mereka dengan penyakit hipertensi pada
kehamilan sebelumnya; gagal ginjal kronis;
penyakit autoimun seperti SLE atau APS;
Tipe I atau II DM; hipertensi kronis.
Sedangkan risiko sedang adalah mereka
yang primigravida; umur≥40 tahun; jarak
kehamilan > 10 tahun; IMT ≥ 35 kg/m2
pada kunjungan ANC pertama; riwayat
keluarga PE; kehamilan ganda.
- Pemberian aspirin 75 mg setiap hari dari
usia gestasi 12 minggu sampai melahirkan
(pada wanita dengan risiko sangat tinggi
atau dengan ≥ 2 risiko sedang maupun
mereka dengan ≥ 1 risiko tinggi)
- Pemeriksaan USG-biometri janin dan
doppler arteri umbilikal mulai pada usia
gestasi 28-30 minggu ulangi setiap 4
minggu
- Jika aktivitas fetal abnormal lakukan CTG
2. Minimal Preeklamsia (Preeklamsia tanpa
gejala pemberat)
Pasien rawat jalan dengan pantauan ketat:
- Evaluasi maternal : satu kali seminggu
ANC dengan asesmen preeklamsia dan
pemeriksaan laboratorium ( DL,
SGOT/SGPT, kreatinin serum)
- Evaluasi janin: hitung tendangan janin
perharinya, satu kali seminggu
pemeriksaan antenatal (profil biofisik),
USG pertumbuhan (biometri) janin setiap 3
minggu
- Pemberian antihipertensi tidak diperlukan
pada wanita dengan minimal preeklamsia,
apabila dalam pemantauan terjadi
peningkatan TD, TDS ≥160 mmHg
dan/atau TDD ≥110 mmHg maka dapat
diberikan Nifedipin (CCB) 4x10 mgatau
metildopa 3x250 mg. Target tekanan darah
sistolik <140 mmHg dan/atau tekanan
darah diastolik < 90 mmHg
- Pemberian kortikosteroid antenatal jika
diidikasikan; dexamethasone 6mg/12jam/iv
atau im dalam 48 jam atau betamethasone
12 mg/24 jam/iv atau im dalam 48 jam
- Prinsip manajemen minimal preeklamsia
adalah ekspektatif; jika terjadi perburukan
nonreassuring fetal testing pada CTG,
ataupun berubah menjadi preeklamsia
dengan gejala pemberat maka tindakan
terminasi segera dilakukan
- Terminasi kehamilan direkomendasikan
pada usia kehamilan 37 0/7 minggu atau di
atas 34 0/7 minggu jika terjadi Fetal
Growth Restriction

3. Preeklamsia dengan gejala pemberat


dengan usia kehamilan < 34 minggu
- Pasien dirawat inap
- Pemberian kortikosteroid antenatal
dexamethasone 6mg/12jam/iv atau im
dalam 48 jam atau betamethasone 12
mg/24 jam/iv atau im dalam 48 jam
- Berikan profilaksis antikejang yaitu
pemberian Magnesium Sulfas dengan dosis
awal 4 gr MgSO4 20% 20 cc iv bolus
lambat selama 10-15 menit dan dosis
rumatan 1 gr/ jam MgSO4 40% dalam
cairan RL atau D5% (misal MgSO4 40%
12 gr/30 cc dalam 500 cc RL dengan titrasi
14 tts/menit) diberikan dalam 1x24 jam.
Pemberian sulfas magnesikus dengan dosis
rumatan dilanjutkan selama 24 jam post
partum jika dilakukan terminasi
- Berikan antihipertensi 4x10 mg Nifedipin
atau pada yang tidak terkontrol nicardipin
atau perdipin secara kontinus
- Nonstress test setiap hari dengan CTG,
Hitung profil biofisik setiap minggu
(dengan USG), pantauan pertumbuhan
janin dengan USG setiap 3 minggu
- Terminasi kehamilan pada usia gestasi ≥ 34
minggu
- Kontraindikasi perawatan ekspektatif
jika dijumpai salah satu:
Eklamsia, edema paru, DIC, hipertensi
berat tidak terkontrol, gejala preeklamsia
berat yang tidak berkurang (nyeri kepala,
pandangan kabur), penurunan fungsi ginjal
yang progresif (adanya peningkatan
kreatinin serum dari pemeriksaan pertama
yang diperiksa setiap 3 hari), gawat janin,
solusio plasenta, IUFD, HELLP Syndrome
 lakukan terminasi segera setelah ibu
stabil dengan persiapan konsul perinatologi
dan bila perlu Ruang ICU untuk Ibu
4. Preeklamsia dengan gejala pemberat
dengan usia kehamilan ≥ 34 minggu
- Lakukan terminasi kehamilan
- Berikan profilaksis antikejang intrapartum
yaitu pemberian Magnesium Sulfas dengan
dosis awal 4 gr MgSO4 20% 20 cc iv bolus
lambat selama 10-15 menit dan dosis
rumatan 1 gr/ jam MgSO4 40% dalam
cairan RL atau D5% (misal MgSO4 40%
12 gr/30 cc dalam 500 cc RL dengan titrasi
14 tts/menit). Pemberian sulfas magnesikus
dengan dosis rumatan dilanjutkan selama
24 jam post partum
- Berikan antihipertensi 4x10 mg Nifedipin
atau pada yang tidak terkontrol nicardipin
atau perdipin secara kontinus
- Konsul bagian perinatologi dan bila perlu
Ruang ICU untuk Ibu
9. Edukasi 1. Penjelasan diagnosis
(Hospital Health Promotion) 2. Penjelasan tentang manajemen dan prognosis
3. Tentang kemungkinan timbulnya kembali
preeklamsia
10. Prognosis Pada wanita yang mengalami preeklamsia,
perubahan/perbaikan kondisi klinis terjadi
beberapa jam setelah pemberian terapi. Setelah
terminasi kehamilan kondisi ibu akan kembali
normal 2-4 hari setelah melahirkan.
Wanita dengan hipertensi dalam kehamilan
memiliki risiko pada kehamilan berikutnya:
 Hipertensi dalam kehamilan  16-47%
 Preeklamsia  2-7%
Wanita dengan preeklamsia, memiliki risiko
pada kehamilan berikutnya:
 Hipertensi dalam kehamilan  13-53%
 Preeklamsia  16%
 Tidak ada risiko tambahan apabila jarak ke
kehamilan setelahnya < 10 tahun
Wanita dengan preeklamsia dengan gejala
pemberat, HELLP Syndrome dan Eklamsia:
 dan apabila berujung dengan terminasi
kehamilan < 34 minggu  kemungkinan
mengidap preeklamsia pada kehamilan
selanjutnya adalah sekitar 25%
 dan apabila berujung dengan terminasi
kehamilan < 28 minggu  kemungkinan
mengidap preeklamsia 55%

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik
15. Kepustakaan 1. Pundir J, Coomarasamy A. Obstetrics:
Evidence-based Algorithms, 2016: United
Kingdom: Cambridge University Press. p 100-
106
2. Norwitz ER, Saade GR, Miller H, Davidson
CM. Obstetrical Clinical Algorithms, 2017.
USA: Wiley Blackwell. p 33--35
3. Cunningham et al. William Obstetrics, 24th
ed. 2014. McGraw-Hill Education. pp 728-769
4. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
Indonesia Himpunan Kedokteran Feto
Maternal. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Pre-
eklamsia, 2016
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
EKLAMSI (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi,
dalam kehamilan, persalinan atau nifas yang
ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau
tanpa penurunan kesadaraan (gangguan sistem
saraf pusat).
Eclampsia sine eclampsia adalah eklamsi yang
ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang
2. Anamnesis 1. Umur kehamilan > 20 minggu
2. Hipertensi
3. Kejang
4. Penurunan kesadaran
5. Penglihatan kabur
6. Nyeri kepala hebat
7. Nyeri ulu hati
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kesadaran: somnolen sampai koma
2. Tanda vital: Tekanan darah >160/110
mmHg
3. Proteinuria (+3)-(+4)
4. Kriteria Diagnosis
Penderita preeklamsi berat disertai kejang
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Epilepsi


2. Hipertensi menahun, kelainan ginjal dan
epilepsi
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan Hb, Ht, Lekosit, Trombosit, urin
lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal.
 Pemeriksaan foto rontgen thoraks
 Pemeriksaan CT scan bila ada dugaan
perdarahan otak.
 Punksi lumbal, bila ada indikasi.
 Pemeriksaan elektrolit Na, K, Ca, dan Cl;
kadar glukosa, Urea N, Kreatinin, SGOT,
SGPT, analisa gas darah, asam urat untuk
mencari penyebab kejang yang lain.
 Pemeriksaan USG, KTG
8. Tata Laksana
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KEHAMILAN DENGAN ANEMIA (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Anemia adalah suatu kondisi dimana terdapat
kekurangan sel darah merah atau hemoglobin.
2. Anamnesis Lemas, lesu
3. Pemeriksaan Fisik Pucat
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Kadar Hb< 11 g/dl (pada trimester I dan III)
atau< 10,5 g/dl (pada trimester II)

8. Tata Laksana Tatalaksana


a. Tatalaksana Umum
 Apabila diagnosis anemia telah
ditegakkan, lakukan pemeriksaan apusan
darah tepi untuk melihat morfologi sel
darah merah.
 Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak
tersedia, berikan suplementasi besi dan
asam folat. Tablet yang saat ini banya
ktersedia di Puskesmas adalah tablet
tambah darah yang berisi 60 mg besi
elemental dan 250 μg asam folat. Pada ibu
hamil dengan anemia, tablet tersebut dapat
diberikan 3 kali sehari. Biladalam 90 hari
muncul perbaikan, lanjutkan pemberian
tablet sampai 42 hari pasca salin. Apabila
setelah 90 hari pemberian tablet besi dan
asam folat kadar hemoglobin tidak
meningkat, rujuk pasien kepusat
pelayanan yang lebih tinggi untuk mencari
penyebab anemia.
 Berikut ini adalah tabel jumlah kandungan
besi elemental yang terkandung dalam
berbagai jenis sediaan suplemen besi yang
beredar:

Tabel Kandungan besi elemental dalam


berbagai sediaan besi
b. Tatalaksana Khusus
 Bila tersedia fasilitas pemeriksaan
penunjang, tentukan penyebab anemia
berdasarkan hasil pemeriksaan darah
perifer lengkap dan apus darah tepi.
 Anemia mikrositik hipokrom dapat
ditemukan pada keadaan:
 Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan
ferritin. Apabila ditemukan kadar
ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi
dengan dosis setara 180 mg besi
elemental per hari. Apabila kadar
ferritin normal, lakukan pemeriksaan
SI dan TIBC.
 Thalassemia: Pasien dengan
kecurigaan thalassemia perlu
dilakukan tatalaksana bersama dokter
spesialis penyakit dalam untuk
perawatan yang lebih spesifik
 Anemia normositik normokrom dapat
ditemukan pada keadaan:
 Perdarahan: tanyakan riwayat dan
cari tandadan gejala aborsi, mola,
kehamilan ektopik, atau perdarahan
pasca persalinan
 Infeksi kronik
 Anemia makrositik hiperkrom dapat
ditemukan pada keadaan:
 Defisiensi asam folat dan vitamin
B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan
vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg
 Transfusi untuk anemia dilakukan pada
pasien dengan kondisi berikut:
 Kadar Hb <7 g/dl atau kadar
hematokrit<20 %
 Kadar Hb>7 g/dl dengan gejala klinis:
pusing, pandangan berkunang-
kunang, atau takikardia (frekuensi
nadi>100x per menit)
Lakukan penilaian pertumbuhan dan
kesejahteraan janin dengan memantau
pertambahan tinggi fundus, melakukan
pemeriksaan USG, dan memeriksa denyut jantung
janin secara berkala.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
PERDARAHAN ANTEPARTUM (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Perdarahan antepartum adalah perdarahan dari
jalan lahir pada wanita hamil dengan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih, dapat berupa
plasenta previa atau solusio plasenta.
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya
tidak normal sehingga menutupi sebagian atau
seluruh ostium uteri internum.
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta
sebagian atau seluruhnya, pada plasenta yang
implantasinya normal sebelum janin lahir.
2. Anamnesis 1. Perdarahan dari jalan lahir pertama kali atau
berulang tanpa disertai rasa nyeri, dapat
sedikit-sedikit ataupun banyak.
2. Dapat disertai atau tanpa adanya kontraksi
rahim.
3. Faktor predisposisi: grande multipara, riwayat
kuretase berulang
4. Pemeriksaan spekulum darah berasal dari
ostium uteri eksternum.

3. Pemeriksaan Fisik 1. Tanda-tanda syok (ringan sampai berat).


2. Pada pemeriksaan luar biasanya bagian
terendah janin belum masuk pintu atas panggul
atau ada kelainan letak.

4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Ruptura sinus marginalis

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium: Crossmatch, kadar Hb, L, Tr,


Ht, golongan darah, fibrinogen, D-Dimer, BT,
CT, PT, APTT.
2. Pemeriksaan USG
- Bed side clotting test
Tujuan: menilai faktor pembekuan darah
secara cepat dan sederhana (metode
kualitatif)
Cara:
• Ambil 5cc darah vena dan masukkan ke
dalam tabung kosong yang telah
dimasukkan 1 batang lidi.
• Setelah 6 menit, 8 menit, dan 10 menit
dicoba diangkat batang lidi tersebut dan
lihat bekuan darahyang terbentuk.
• Bila bekuan darah terbentuk <10 menit dan
tidak mudah hancur/pecah berarti faktor
pembekuan darah masih baik dan
diperkirakan kadar fibrinogen >200 mg/Dl
• Bila bekuan darah terbentuk >10 menit dan
bekuannya mudah hancur berarti telah
terdapat gangguan faktor pembekuan darah
(kadar fibrinogen < 200 mg/dL)

8. Tata Laksana 1. Penatalaksanaan umum:


- Informed consent
- Stabilisasi :
• ABC (Posisikan semi ekstensi, bebaskan
jalan nafas, O2 jika perlu, resusitasi
cairan).
• Tentukan ada syok atau tidak.
• Jika ada, berikan transfusi darah, infus
cairan, oksigen dan kontrol perdarahan.
• Jika tidak ada syok atau keadaan umum
optimal, segera lakukan pemeriksaan untuk
mencari etiologi.

- Hentikan sumber perdarahan.


- Monitor tanda-tanda vital.

2. Penatalaksanaan spesifik:
- Ekspektatif:
• Syarat:
- Keadaan umum ibu dan anak baik.
- Perdarahan sedikit.
- Usia kehamilan kurang dari 37 minggu
atau taksiran berat badan janin kurang
dari2500 gr.
- Tidak ada his persalinan.

• Penatalaksanaan ekspektatif :
- Pasang infus, tirah baring
- Bila ada kontraksi prematur bisa diberi
tokolitik.
- Pemantauan kesejahteraan janin dengan
USG dan CTG setiap minggu.

- Aktif:
• Persalinan pervaginam:
- Dilakukan pada plasenta letak rendah,
plasenta marginalis atau plasenta previa
lateralis di anterior (dengan anak letak
kepala). Diagnosis ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan USG, perabaan
fornises atau pemeriksaan dalam di
kamar operasi tergantung indikasi.
- Dilakukan oksitosin drip disertai
pemecahan ketuban.

• Persalinan perabdominam, dilakukan pada


keadaan:
- Plasenta previa dengan perdarahan
banyak.
- Plasenta previa totalis.
- Plasenta previa lateralis di posterior.
- Plasenta letak rendah dengan anak letak
sungsang.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
PLASENTA PREVIA (ICD 10 - )
1. Pengertian (Definisi) Plasenta yang letaknya tidak normal sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri
internum.
2. Anamnesis 1. Perdarahan dari jalan lahir berulang tanpa
disertai rasa nyeri
2. Dapat disertai atau tanpa adanya kontraksi.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pada pemeriksaan luar biasanya bagian
terendah janin belum masuk pintu atas
panggul atau ada kelainan letak.
2. Pemeriksaan spekulum darah berasal dari
ostium uteri eksternum.
4. Kriteria Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Solusio placenta


2. Ruptura sinus marginalis
3. Vasa previa.

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium: golongan darah,


kadar hemoglobin, hematokrit, waktu
perdarahan dan waktu pembekuan.
2. Pemeriksaan USG untuk mengetahui jenis
plasenta previa ( totalis, parsialis,
marginalis,dan letak rendah ) dan taksiran
berat badan janin
8. Tata Laksana Persalinan pervaginam
1. Dilakukan pada plasenta letak rendah,
plasenta marginalis atau plasenta previa
lateralis di anterior (dengan anak letak
kepala). Diagnosis ditegakkan dengan
melakukan pemeriksaan USG, perabaan
fornises atau pemeriksaan dalam di kamar
operasi tergantung indikasi.
2. Dilakukan oksitosin drip disertai pemecahan
ketuban.

Persalinan perabdominam
1. Dilakukan pada keadaan :
2. Plasenta previa dengan perdarahan banyak.
3. Plasenta previa totalis.
4. Plasenta previa lateralis di posterior.
5. Plasenta letak rendah dengan anak letak
sungsang.

9. Edukasi ANC yang baik, aktifitas dibatasi.


(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
SOLUSIO PLASENTA (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya,
pada plasenta yang implantasinya normal
sebelum janin lahir.
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik 1. Perdarahan dari jalan lahir dengan atau tanpa
disertai rasa nyeri (tergantung derajat solusio
plasenta).
2. Perabaan uterus pada umumnya tegang,
palpasi bagianbagian janin biasanya sulit.
3. Janin dapat dalam keadaan baik, gawat janin
atau mati (tergantung derajat solusio
plasenta).
4. Pada pemeriksaan dalam bila ada pembukaan
teraba ketuban yang tegang dan menonjol.
4. Kriteria Diagnosis 1. Ringan:
- perdarahan yang keluar kurang dari 100-
200cc
- uterus tidak tegang
- belum ada tanda renjatan
- janin hidup
- kadar fibrinogen plasma lebih dari 250 mg
%

2. Sedang :
- perdarahan lebih dari 200 cc
- uterus tegang
- terdapat tanda renjatan
- gawat janin atau janin mati
- kadar fibrinogen plasma 120 - 150 mg%

3. Berat :
- uterus tegang dan kontraksi tetanik
- terdapat renjatan
- janin biasanya sudah mati
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Tidak ada

7. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan USG :


• Pada pemeriksaan USG didapatkan
implantasi plasenta normal dengan gambaran
hematom retroplasenter.

Pemeriksaan laboratorium :
1. Bed side clotting test (untuk menilai fungsi
pembekuan darah/penilaian tidak langsung
kadar fibrinogen)
Cara :
- Ambil darah vena 2 ml masukkan ke
dalam tabung kemudian diobservasi
- Genggam bagian tabung yang berisi darah
- Setelah 4 menit, miringkan tabung untuk
melihat lapisan koagulasi di permukaan
- Lakukan hal yang sama setiap menit

Interpretasi :
• Bila bagian permukaan tidak membeku
dalam waktu 7 menit, maka diperkirakan
titer fibrinogen di bawah nilai normal
(kritis)
• Bila terjadi pembekuan tipis yang mudah
robek saat tabung dimiringkan, keadaan
ini juga menunjukkan kadar fibrinogen di
bawah ambang normal

2. Pemeriksaan darah untuk fibrinogen,


trombosit, waktu perdarahan, waktu
pembekuan
8. Tata Laksana Derajat ringan:
 Ekspektatif bila :
- Usia kehamilan belum cukup bulan.
Penderita dirawat tanpa melakukan
pemeriksaan dalam. Pemantauan klinik
dilakukan secara ketat dan baik.
 Syarat :
- Perdarahan sedikit yang kemudian
berhenti
- Belum ada tanda-tanda in partu
- Keadaan ibu cukup baik (Kadar Hb
lebih dari 8 gr %)
- Janin baik

• Penatalaksanaan :
- Tirah baring.
- Berikan Deksametason 20mg/48
jam(dibagi 4 dosis)/ Betametason 24
mg/48 jam (dibagi 2 dosis)
- USG untuk mengetahui implantasi
plasenta, usia kehamilan, profil biofisik,
letak dan presentasi janin.
- KTG serial setiap 3 hari

• Aktif bila :
- Usia kehamilan cukup bulan, janin hidup
dilakukan persalinan perabdominam
- Usia kehamilan kurang bulan, janin viable
(pematangan paru sebelumnya bila
memungkinkan), dengan persalinan
perabdominam
- Bila keadaan memburuk (perdarahan dan
kontraksi uterus berlangsung terus)
dikelola sebagai derajat sedang/berat.

Derajat sedang/berat:
1. Perbaikan keadaan umum
a. Resusitasi cairan/transfusi darah
- Berikan darah lengkap segar
- Jika tidak tersedia pilih salah satu
dari plasma beku segar, sel darah
merah packed (PRC), kriopresipitat,
konsentrasi trombosit.
b. Atasi kemungkinan gangguan
perdarahan

2. Melahirkan janin
a. Dengan mengupayakan partus
pervaginam (amniotomi dan tetes
oksitosin) bila skor pelvik > 6 atau bila
diperkirakan persalinan bisa
berlangsung < 6 jam.
b. Dengan persalinan perabdominam bila
skor pelvik < 6 atau bila diperkirakan
persalinan akan berlangsung > 6 jam,
atau bila sesudah 6 jam dikelola janin
belum lahir pervaginam.

Catatan :
Bila janin masih hidup dan kemungkinan viable
(> 28 minggu dan atau BBJ > 1000 gram),
dilakukan tindakan persalinan dengan seksio
sesarea
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis
Dubia

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KETUBAN PECAH DINI (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) KPD Preterm : Pecahketuban yang terbukti
dengan
padausia< 37 minggu sebelum
onset persalinan
KPD Aterm :Pecah ketuban saat kehamilan>
37
minggu
2. Anamnesis Keluar Air, nyeri ( - ), lendir darah (-)
3. Pemeriksaan Fisik Dengan spekulum lebih dipilih dari pada periksa
dalam vaginal pooling , tesnitrazin , danatautes
fern (+)
4. Kriteria Diagnosis Penilaian awal harus meliputi tiga hal, yaitu
konfirmasi diagnosis, konfirmasi usia gestasi dan
presentasi janin, dan penilaian kesejahteraan
maternal dan fetal. Tidak semua pemeriksaan
penunjang terbukti signifikan sebagai penanda
yang baik dan dapat memperbaiki luaran.
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Gravida + lekorea


7. Pemeriksaan Penunjang 1. Ultrasonografi untuk : mengetahui jumlah
cairan ketuban dan kesejahteraan janin ( skor
biofisik janin dan atau non stress tes)
8. Tata Laksana 1. Ketuban Pecah Dini usia Kehamilan< 24
minggu
Pada usia ini didapati morbiditas minor
neonates seperti hyperbilirubinemia dan
takipnea transien lebih besar apabila ibu
melahirkan disbanding kehamilan diatas 36
minggu. Morbiditas mayor seperti sindoma
distress pernapasan dan perdarahan
interventricular tidak secara signifikan
berbeda.
2. Ketuban Pecah Dini usia 24 – 34 minggu
Kehamilan lebih baik dipertahankan dalam
menurunkan insiden korioamnionitis secara
signifikan.Tetapi tidak ada perbedaan
signifikan berdasarkan morbiditas neonatus.
3. Ketuban Pecah Dini 34 – 38 minggu
Mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan resiko korioamnionitis dan
sepsis. Tidak ada perbedaan signifikan
terhadap kejadian respiratory distress
syndrome.

KPD Memanjang
Antibiotik disarankan pada kejadian KPD
Preterm.Pemberian eritromycin atau penicillin
adalah pilihan terbaik. Pemberian antibiotic dapat
dipertimbangkan bila KPD memanjang.
Medikamentosa untuk KPD memanjang adalah
benzilpenisilin 1,2 gram secara IV setiap 4 jam,
dan dapat dibeli klindamisin (jika alergi penisilin)
600 mg IV setiap 8 jam.

Manajement aktif
Pada kehamilan>37 minggu disarankan untuk
dilakukan induksi . Meskipun demikian ,jika
pasien memilih ekspektatif, harus dihargai.
Pemberian Oksitocin lebih dipilih dibandingkan
dengan prostaglandin. Pemberian kortikosteroid
antenatal pada wanita dengan KPD Preterm dapat
menurunkan resiko RDS dan kematian neonatus.
Tokolisis tidak dianjurkan pada kasus KPD
Preterm.

Bila ada sirklase pada kasus KPD


Sirklase dilepas bila ada korioamnitis, tanda-
tanda inpartu, perdarahan pervaginam dan umur
kehamilan >34 minggu.
9. Edukasi 1. ANC
(Hospital Health Promotion) 2. Perhatikan cairan keputihan dari vagina
10. Prognosis
Sedang

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. care of the newborn in develoving country.


In probelms of the newborn. Available at:
http//www.oxfordjounals.org/our_journals/tr
opej/online/chapter1_bk2.pdf.
2. mercer B. Premature rupture of the
membrance. In : shaver DC, Phelan ST, eds.
Chinical Manual of Obtetrics.
Simmitengapore : McGraw Hill Inc: 1993:
p293-301
3. draper D, McGregor J, Hall J, Jones W,
Beuts M,Heine P et al. Elevated protease
getivities in human amnion dan ehol.ion
correlate with C preterm premature rupture
of membranes. Am J Gynecol 1995: 173:
1506-12
4. ACOG Committee on Practice Bulletins-
Obstetrics,authors. Clinical Manajement
guidelines for obstetrician-gynecologists.
(ACOG Practice Bulletin NO. 80: premature
rupture of membranes). Obstet Gynecol
2007:109:1007-1019)
5. Festin M. Antibiotics for preterm rupture of
membranes: RHL commentary (last revised:
14 June 2003). The WHO Reproductive
Health Library, Geneva: World Health
Organization.
6. SOGC clinical practice guideline. Antibiotic
therapy in preterm premature rupture of the
membranes. JOGC 2009:233:863-867
7. Crowley P. Propylactic corticosteroids
preterm birth. Cochrane Database Syst Rev.
2000:2 CD000065.
8. Caughey AB Robinson JN, Norwitz ER,
Contemporary diagnosis and Manajement of
preterm premature rupture of membranes.
Rev Obstet Gynecol 2009:1:11-22.
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KANKER OVARIUM (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Adalah proses keganasan primer yang terjadi
pada organ ovarium. Pada wanita umur kurang
dari 20 tahun terbanyak ditemukan jenis tumor sel
germinal sedangkan pada usia yang lebih tua
tumor jenis sel epitelial sering didapatkan.
Mayoritas kanker ovarium adalah jenis epitelial
yang berasal dari epitel ovarium. Kelompok
lainnya adalah non epitelial yang termasuk di
antaranya sel tumor germinal, sel tumor
granulosa, dan tumor sex cord stromal. Faktor
herediter berkaitan dengan 5-10% kanker
ovarium yang berkaitan dengan kanker payudara,
kanker usus dan ovarium.
2. Anamnesis Berat badan menurun, keluhan dispepsia, cepat
lelah.
3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik umum ditemukan massa di
abdomen/ pelvis, dan asites.
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Tumor ovarium jinak


2. Tumor korpus uteri
3. Mioma uteri
4. TBC peritoneal
5. Tumor abdomen non-ginekologis lainnya.
7. Pemeriksaan Penunjang 1. USG abdominal dan vagina /rectal
2. (dianjurkan pemeriksaan dengan color
Doppler) RI
3. CT scan atau MRI (optional)
4. Laboratorium :Petanda tumor : Ca 125, CEA ,
5. Bila usia muda AFP dan LDH, beta Hcg
Kuantitatif
6. Diagnosis pasti dengan Histopatologis
7. Penentuan stadium dilakukan dengan surgical
staging.
8. Tata Laksana Pembedahan Laparatomi
- Potong beku dilakukan atas indikasi
kecurigaan keganasan
- Hasil potong beku menjadi pertimbangan
untuk tindakan selanjutnya selama operasi
berlangsung.
- Pada usia muda, potong beku masih
diperlukan untuk pertimbangan konservasi
fertilitas.
- Dari hasil potong beku ada beberapa
kemungkinan hasil :
• Tumor_ovarium_jinak_(benign)
• Tumor_ovarium borderline
• Tumor_ovarium_ganas (maligna)
• Keganasan_ovarium belum dapat
dipastikan untuk kepastian diagnosis
menunggu hasil pemeriksaan parafin.
- Jika hasil potong beku adalah borderline
hanya dilakukan pengangkatan masa
tumor ovarium, hasil potong beku tumor
ovarium ganas, maka tindakan
selanjutnya:
• Surgical staging pada stadium awal;
Complete surgical staging
Sitologi bilasan peritoneal, histerektomi,
salpingo-ooforektomi bilateral,
limfadenektomi pelvis dan paraaorta,
omentektomi, appendektomi, biopsi-
biopsi peritoneum (parakolika,
subdiafragma, prevesikal, kavum
Douglasi, dan pada perlekatan dari lesi
yang dicurigai)
Conservative surgical staging (fungsi
reproduksi), konservatif yaitu tindakan
salpingo-ooforektomi unilateral,
omentektomi, limfadenektomi
ipsilateral, sitologi, biopsi,
appendiktomi.
• Debulking pada stadium lanjut.

Terapi adjuvan kemoterapi


Pengobatan kemoterapi pada kanker ovarium
diberikan intravena/intraperitoneal setiap 3
minggu, Kemoterapi pada kanker ovarium dengan
menggunakan Platinum (Cysplatin dosis 50–100
mg/m2 / Carboplatin AUC 5-6 )
• Tumor ovarium epitelial dapat dikombinasi
dengan :
- CAP : Cyclophosphamide Adriamycin
Platinum
- CP : Cyclophosphamid dan Platosin
- CC :Cyclophosphamide danCarboplatin
- AP :Adryamycin dan Platinum
- EP :Epirubicyn dan Platinum
- Paclitaxel dan Carboplatin.
- Docetaxel dan
Carboplatin/Cisplatin/Oxaliplatin
- Gemcitabin dan Oxaloplatin/Carboplatin
ditambahkan dg- Bevacizumab
• Tumor ovarium epitelial
- BEP (Bleomycin Etoposide Platinum), PVB,
BIP, Taxane+Carboplatin, VAC

Kanker Ovarium Residif


Kemoterapi pada kasus kanker ovarium residif
Dibagi menjadi pasien sensitif platinum (jika
terjadinya residif lebih dari 6 bulan) dan pasien
resisten platinum (jika terjadinya residif kurang
dari 6 bulan).
Pasien sensitif platinum dapat diberikan
kemoterapi pada lini pertama, atau dapat
diberikan kemoterapi lini kedua antara lain:
- Gemcitabine 1000–1250 mg/m2 ( D1, D8
setiap 3 minggu sekali)
- Liposomal doxorubicin 50–80 mg/m2 (setiap
4 minggu sekali)
- Topotekan / Irinotekan
- Etoposide.
- penghambat angiogenesis (Bevacizumab)
Sementara pasien yang resisten platinum dapat
dipilihkan terapis
- Oxaliplatin dikombinasikan dengan regimen
lini ke-2
- Penghambat angiogenesis (Bevacizumab)
Rentang respon pada kanker ovarium residif
berkisar 10-15%
Syarat pemberian kemoterapi
1. Kanker Ovarium secara histopatologis dan
telah dilakukan staging menurut FIGO
stadium IC-IV B
2. Status penampilan (performance status)
berdasarkan kriteria Eastern Cooperative
Oncology Group (ECOG) dengan skor ≤ 2.
Grade Tingkat aktivitas
Aktivitas penuh, dapat melakukan
0
aktivitas tanpa pertolongan
Aktivitas terbatas, dapat melakukan
1
pekerjaan ringan
Dapat mengurus diri sendiri, tetapi
2 tidak menyelesaikan pekerjaan, 50%
di tempat ti
Dapat mengurus diri sendiri secara
3ur
terbatas, lebih 50% berada di tempat
tidur
Tidak berdaya secara penuh, tidak
4 dapat mengurus diri sendiri, total di
tempat tidur
3. Laboratorium darah tepi (Hb ≥ 10g%,
leukosit ≥ 3000/mm3, trombosit ≥
100.000/mm3), fungsi hati (SGOT-SGPT
sampai 2x nilai normal) dan ginjal (Ureum <
50 mg/dL, Kreatinin 0,60-1.20 mg/dL, CCT
>68mL/menit
(tergantung regimen dan dapat dilakukan
penyesuaian dosis pada gangguan ginjal dan
hepar)
4. Pasien kanker ovarium diketahui tidak
mengidap penyakit berat lainnya (penyakit
kardiovaskuler yang tidak terkontrol, diabetes
mellitus yang tak terkontrol, gangguan
psikologis berat, peptic ulcer aktif) atau
imunodefisiensi/HIV.

Kemoterapi Neoadjuvan
Kemoterapi neoadjuvan adalah pemberian
kemoterapi sebelum pembedahan primer.Indikasi
kemoterapi neoadjuvan antara lain
1. Tumor ovarium suspek ganas stadium
lanjut,unresectable dengan sitologi
(ascites/pleura positif) atau resectabilitas
yang dinilai dg laparotomy atau
laparoscopy diagnostic
2. Operasi primer diperkirakan sukar
mencapai pembedahan debulking yang
optimal.Atau kondisi pasien diprediksi
berisiko tinggi untuk tindak pembedahan,
misalnya malnutrisi berat, memiliki
comorbiditas tindakan seperti, kelainan
fungsi paru maka dapat dipertimbangkan
untuk pemberian kemoterapi neoadjuvan.
3. Kondisi nonmedis

Terapi akan diberikan sebanyak 3 siklus


Respon klinik terhadap NAC :
1 Respon komplit
2. Respon parsial
3 .Stable disease
4 .Progresif

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Berek JS. Epithelial ovarian cancer. In:


Berek JS, Hacker NF, editors. Practical
gynecologic oncology. 2nd ed. Baltimore:
Williams & Wilkins; 2000.
2. Havrilesky LJ, Whitehead CM, Rubatt JM.
Evaluation of biomarker panels for early
stage ovarian cancer detection and
monitoring for disease recurrence.
Gynecologic Oncology. Elsevier 2008;
10(3).
3. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging
classifications and clinical practice
guidelines of gynaecologic cancer. FIGO and
IGCS, 3th Ed, November 2006.
4. Crowder S, Lee C. Ovarian Cancer. In:
Santoso JT and Coleman RL. Handbook of
Gyn Oncology. New York: Mc Graw-Hill;
2000. p.50-8.
5. Berek JS, Hacker NF. Nonepithelial ovarian
and fallopian tube cancer. In: Berek JS,
Hacker NF, editors. Practical gynecologic
oncology. 2nd ed. Baltimore: Williams &
Wilkins; 1994. p.377-402.
6. Rubin SC, Suton GP. Ovarian cancer. 2nd
Ed. Baltimore: Lippincott William and
Wilkins Publisher; 2004.
7. Rubin SC. Chemotherapy of gynecologic
cancer. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2004.
8. Hoskins WJ, et al. Principles and practice of
gynecologic. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2005.
9. Gerhenson DM, McGuire WP, Gore M,
Quuin MA, Thomas G. Gynecologic cancer
controversies in management. Toronto:
Elsevier. Churchil Livingstone; 2004.
10. Hegazy MA. Neoadjuvant chemotherapy
versus primary surgery in advanced ovarian
carcinoma. World Journal of Surgical
Oncology 2005.
11. Azis MF, Andrijono, Saifudin AB, editors.
Buku acuan nasional onkologi ginekologi.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo; 2007.
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KANKER ENDOMETRIUM (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Kanker endometrium di negara maju seperti
Amerika Serikat dan Eropa barat merupakan
kanker yang terbanyak pada kanker ginekologik.
Sekitar 75% dijumpai pada stadium I dimana
angka ketahanan hidupnya 75% atau lebih. Di
negara berkembang seperti India dan Asia
tenggara kejadiannya 4-5 kali lebih rendah
dibandingkan negara industri. Di Indonesia
insiden kanker endometrium adalah 4,8% dari
670.587 kanker pada perempuan (1998). Di
RSCM dari tahun 1994 – 2003 kanker
endometrium mencakup 2,7% dari keseluruhan
kanker ginekologi.
2. Anamnesis Sembilan puluh persen kanker endometrium
ditandai perdarahan uterus abnormal
(80-90%),berupa metrorhagia pada periode
perimenopause maupun perdarahan pasca
menopause
3. Pemeriksaan Fisik 1. Uterus bentuk dan ukuran normal atau lebih
besar dari normal
2. Cervix biasanya licin atau mungkin juga
terdapat proses
3. Parametrium biasanya masih lemas
4. Biasanya adneksa tidak terdapat massa
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Kanker serviks


2. Kanker ovarium
3. Kanker korpus uteri

7. Pemeriksaan Penunjang 1. Ultrasonografi / SIS (Saline Infusion


Sonography)
- Pippele ( Mikrokuret)
- Kuretase bertingkat
- Sitologi Endometrium (Endoram)
- Histeroskopi Diagnostik dengan atau
tanpa biopsi terarah
2. Pemeriksaan USG (transvaginal dan/atau
transrektal dan abdominal ) dan SIS
membantu menilai invasi ke miometrium,
pembesaran kelenjar getah bening pelvik dan
paraaortik, invasi ke adneksa maupun ke
parametrium.
3. Pemeriksaan Ca 125 jika terdapat invasi ke
adneksa, atau kecurigaan kanker ovarium.

Sebelum tindakan operasi, pemeriksaan yang


perlu dilakukan:
1. Foto toraks untuk menyingkirkan
metastasis paru
2. Tes Pap, untuk menyingkirkan kanker
serviks
3. Pemeriksaan laboratorium yang meliputi
pemeriksaan darah tepi, fungsi hati,
(SGOT/SGPT), fungsi ginjal (Ureum,
Kreatinin), elektrolit (Natrium, Kalium,
Klorida), faktor koagulasi (PT-APTT),
Gula darah puasa dan postprandial, TTGO
4. Pemeriksaan EKG
5. Pemeriksaan perioperatif (IPD/Kardiologi
dan Anestesi)
6. Pemeriksaan Ca 125
7. CT scan diperlukan bila dicurigai adanya
kanker primer lainnya

8. Tata Laksana TATALAKSANA KONSERVATIF


Pada penderita kanker endometrium, tatalaksana
konservatif masih dimungkinkan dengan berbagai
persayaratan dan pemantauan ketat.
Tatalaksana Konservatif pada usia muda
• Klinis Stadium I A, Tipe I, Derajat
Differensiasi Baik
• Lesi terbatas di Endometrium (Tidak ada
invasi ke miometrium)
• Tidak terdapat invasi ke kelenjar getah
bening (imaging CT Scan)
• Ingin mempertahankan fertilitas
• Tidak ada tumor ovarium
• Tidak ada riwayat Lynch Syndrome
• Tidak ada kontraindikasi terapi progestin
• Pasien patuh

Regimen tatalaksana konservatif


• Terapi Progestin oral 250 – 500 mg per
hari
• LNG – IUS
• GnRH
• Reseksi dengan histeroskopi
• Atau kombinasi dari terapi yang ada di
atas

Penilaian klinis, imaging, dan histopatologi


setelah 3 bulan
Pemantauan Konservatif
• Monitoring ketat
• USG dan klinis
• Pemeriksaan PA : D/C, mikrokuret,
Histeroskopi

PERTIMBANGAN OPERASI (stop konservatif)


• Tidak respon dengan terapi hormonal
• Progressif
• Kambuh
• Cukup anak

Tatalaksana kanker endometrium meliputi


operatif, kemoterapi, terapi hormonal dan radiasi.
Pembedahan merupakan tatalaksana utama
kanker endometrium, dengan histerektomi total
dan salpingoooforktomi bilateral sebagai prosedur
utama. Prosedur tambahan seperti
limfadenektomi dan/atau bergantung pada
stadium klinis, tipe histologi, differensiasi dan
rasio untung ruginya. Laporan operasi harus
mencantumkan jenis limfadenektomi yang
dilakukan (pelvik dan paraaorta).
Limfadenektomi pelvik meliputi diseksi kgb
pelvik iliaka eksterna dan interna.limfadenektomi
paraaorta meliputi diseksi kgb hingga vena renalis
kiri.
Histerektomi per laparaskopi, LAVH dan TVH
direkomendasikan untuk stadium 1. Laparatomi
direkomendasikan jika terdapat kondisi khusus
yaitu ukuran tumor yang besar, kegagalan atau
kontra-indikasi laparaskopi atau perlekatan hebat.
Terapi adjuvant pasca pembedahan

Radiasi dapat diberikan dengan metode EBRT


(external beam radiotherapy)/radiasi eksterna atau
BT (brachytherapy).Volume radiasi tergantung
dari stadium kanker endometrium.
Bila adjuvant kemoterapi diberikan maka
pemberiannya diberikan secara intravena atau
sekuensial sebelum atau sesudah radiasi, kecuali
bila terdapat kontraindikasi. Terapi hormonal
diindikasikan jika ditemukan reseptor hormon.
Pasien dengan kanker endometrium diobati
dengan tindakan pembedahan histerektomi saja
atau histerektomi dan radiasi pascabedah.
Pada stadium dini dengan diferensiasi baik, cukup
dilakukan histerektomi totalis dan salpingo-
ooforektomi bilateral. Operasi dilakukan dengan
insisi mediana (insisi pfanenstiel dapat dilakukan
pada kasus tertentu), dilakukan bilasan
peritoneum abdomen dan pelvis, eksplorasi dan
palpasi kemungkinan metastasis ke organ
abdomen, termasuk bagian atas abdomen,
histerektomi total dan salpingo-ooforektomi
bilateral, kemudian uterus dibelah untuk melihat
kedalaman invasi ke miometrium. Kelenjar getah
bening pelvis dan paraaorta dan omentektomi
dilakukan berdasarkan kriteria kelompok risiko
tinggi dan jenis histopatologi.
Pada stadium II dilakukan histerektomi total
diperluas (extended), salpingo-ooforektomi
bilateral, diseksi kelenjar getah bening pelvis dan
paraaorta bila mencurigakan, bilasan peritoneum.
Pada stadium III dan IV: operasi dan/atau radiasi
dan/atau kemoterapi. Pengangkatan tumor
merupakan terapi yang utama, walaupun telah
bermetastasis ke abdomen.
Radioterapi
Radiasi pelvis dan/atau brakhiterapi vagina
adjuvan pascabedah diberikan pada kasus pasca
operatif, kecuali pada stadium I A risiko rendah.
Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada kanker
endometrium yang memerlukan tatalaksana
kemoradiasi. Kemoterapi juga dapat diberikan
untuk kasus rekuren kanker endometrium yang
hanya diberikan kemoterapi.
Jenis obat kemoterapi yang dapat diberikan
adalah :

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Crowder S, Lee Christine, Santoso T. Cancer


servix. In: JT Santoso and RL Coleman,
Handbook of Gyn Oncology, Mc Graw-Hill,
New York, 2000, Pp 25-32
2. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging
classifications and clinical practice
guidelines of gynaecologic cancer. FIGO and
IGCS, 2nd edit, November 2003.
3. Clinical practice Guidelines in
Oncology V.1.2003. National
Comprehensive Cancer Network.
4. Paskett ED, Wewers ME, Ruffin MT.
Educational strategies for the prevention of
cervical cancer. In: TE Rohan, KV Shah
(eds), Cervical cancer: From etiology to
prevention. Kluwer Academic Publishers,
2004, pp.237-51.
5. Ali Ayhan . textbook of gynaecological
oncology, 2010 gunes publising
6. Pecorelli S: Revised FIGO staging for
carcinoma of the vulva, cervix, and
endometrium. Int J Gynaecol Obstet 105 (2):
103-4, 2009
7. NCCN 2013
8. Querleu
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KANKER VAGINA (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Kanker Vagina merujuk pada pertumbuhan
abnormal dan bersifat kanker di organ kelamin
wanita liang sanggama. Vagina merujuk pada
organ kelamin wanita dalam, yang meliputi liang
sanggama, introitus vagina..
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik Dengan spekulum terdapat tumor terlihat di
vagina dengan gambaran nekrotik disertai darah
atau cairan yang berbau. Pemeriksaan dalam
melalui vagina dapat meraba ada tidaknya massa
di cerviks atau labia, sedang pemeriksaan rektal
dapat mengetahui batas penyebaran tumor ke arah
rektum atau adakah metastasis rektum. Kalau
penyakit sudah meluas ke luar vagina maka dapat
ditemukan pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati, masa di abdomen , pelvis, atau
tanda penyebaran ke tulang dll.
4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis,
gejala, tanda, pemeriksaan klinik.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi.
Pemeriksaan klinik ini meliputi palpasi, inspeksi,
biopsi, foto toraks, CT scan, MRI pelvis.
Kecurigaan metastasis ke kandung kemih dan
rektum dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan
rektoskopi.
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. VAIN


2. Metastasis

7. Pemeriksaan Penunjang

8. Tata Laksana Penatalaksanaan


1. Radiasi/kemoradiasi:
Dapat dilakukan pada semua pasien.
Radiasi yang diberikan adalah radiasi eksternal di
kombinasi dengan intrakaviter/interstisial.untuk
lesi kecil cukup radiasi intrakaviter; untuk lesi
besar, radiasi dimulai dengan radiasi ekstrnal
5000 cGy pada tumor primer kemudian diberikan
radiasi ke KGB inguinal.
2. Surgery (bila memungkinkan)
a. Stadium I, dan lesi mengenai vagina 2/3
atas:
 bila uterus masih utuh lakukan
histerektomi radikal,
limfadenektomi pelvis,
vaginektomi pelvis,
vaginektomi parsialis.

 Pada pasien dengan post


histerektomi : lakukan
vaginektomi, limfadenektomi
pelvis.

b. ada wanita muda dilakukan transposisi


ovarium sebelum mendapat radiasi.
c. Pada stadium IV terutama bila ada fistula,
dilakukan eksenterasi.
d. Residif post radiasi : reseksi atau
eksenterasi.
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi


14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110
2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Benedet JL, Ngan HYS, Hacker NF. Staging


classifications and clinical practice guidelines
of gynaecologic cancer. FIGO and IGCS, 2nd
edit, November 2003.
2. Beller U, Benedet JL, Creasman WT, Ngan
HYS, Quinn MA, Maisonneuve P, et al.
Carcinoma of the vagina. Int J. Gynecol
Obstet 2006;95(Suppl 1):S29.
3. Clinical practice Guidelines in
Oncology V.1.2003. National
Comprehensive Cancer Network.
4. Ali Ayhan . textbook of gynaecological
oncology, 2010 gunes publising
5. Pecorelli S: Revised FIGO staging for
carcinoma of the vulva, cervix, and
endometrium. Int J Gynaecol Obstet 105 (2):
103-4, 2009

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KANKER VULVA (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Kanker Vulva merujuk pada pertumbuhan
abnormal dan bersifat kanker di organ kelamin
wanita luar. Vulva merujuk pada organ kelamin
wanita luar, yang meliputi bibir kemaluan,
introitus vagina, clitoris, dan perineum.

2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik Dengan spekulum tidak didapatkan kelainan di
serviks. Lesi invasif yang masih terlokalisasi
terlihat di vulva. Pemeriksaan rektal dapat
mengetahui besarnya uterus, perluasan ke
parametrium, rektum. Kalau penyakit sudah
meluas maka dapat ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening, pembesaran hati, masa di
abdomen , atau tanda penyebaran ke tulang dll.

4. Kriteria Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis,


gejala, tanda, pemeriksaan klinik.
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan
pemeriksaan histopatologi dari spesimen biopsi.
Pemeriksaan klinik ini meliputi palpasi, inspeksi,
biopsi, foto toraks, CT scan, MRI pelvik.
Kecurigaan metastasis ke kandung kemih dan
rektum dilakukan pemeriksaan sistoskopi dan
rektoskopi.

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Vulvitis


2. VIN
3. Metastasis dari kanker organ lain
7. Pemeriksaan Penunjang

8. Tata Laksana A. Operabel :


1. Wide Eksisi
2. Vulvektomi simpel
3. Vulvektomi radikal + limfadenektomi groin
4. Radiasi ajuvan

B. Non operabel
1. Radiasi / Kemoradiasi
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2


12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator Keluhan berkurang

15. Kepustakaan 1. Ali Ayhan . textbook of gynaecological


oncology, 2010 gunes publising
2. Pecorelli S: Revised FIGO staging for
carcinoma of the vulva, cervix, and
endometrium. Int J Gynaecol Obstet 105 (2):
103-4, 2009
3. Berek and Haecker’s Gynecology Oncology
2010, p 539 – 565.

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
TUMOR TROFOBLAS GESTASIONAL (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) PTG (Penyakit Trofoblas Gestasional) yang
bersifat ganas TTG/PTM meliputi Mola
Persistent, Mola invasive, Koriokarsinoma,
Placental Site Trophoblastic Tumor
HBES (History of Pregnancy Bleeding
2. Anamnesis Enlargment of Uterus, Softening Cervix)
3. Pemeriksaan Fisik

1. Diagnosis TTG sudah dapat ditegakkan


hanya berdasarkan klinis ( HBES) dan
peningkatan kadar hCG, tidak mutlak
diperlukan bukti secara histopatologis atau
radiologis (B HCG diperiksa minggu ke 4,
6, 8, dan 12)
a. Kadar hCG meningkat pada 2x
4. Kriteria Diagnosis
pemeriksaan berturut-turut
b. Kadar hCG menetap (penurunan <
25%) pada 3 x pemeriksaan
berturut-turut
c. hCG tetap positif setelah 12
minggu pasca evakuasi (> 5 IU)
d. Hasil histologi koriokarsinoma
5. Diagnosis Kerja Tumor Trofoblas Gestasional
1. Kanker endometrium
6. Diagnosis Banding
2. Hiperplasia Endometrium
Pemeriksaan penunjang untuk diagnostik TTG :
Laboratorium
8. Darah Lengkap (DPL, Ur/Cr, Ot/Pt,
Elektrolit, GDS)
9. BhCG
7. Pemeriksaan Penunjang 10. T3,T4,Ft3,Ft4 , TSH
11. Foto toraks untuk menyingkirkan
metastasis paru
12. USG
13. CT scan atau MRI apabila ada indikasi
metastasis
8. Tata Laksana
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi


14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110
2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Elston CW. The histopathology of


trophoblastic tumors. J Clin Path
1976;29(10):111-31.
2. Shahib N, Martaadisoebrata D, Kondo H, et
al. Genetik Origin of Malignant
Trophoblastic Neoplasms Analyzed by
Sequence Tag Site Polymorphic Markers.
Gynecol Oncol 2001;81:247-53.
3. Shih IM, Kurman RJ. Molecular Basis of
Gestational Trophoblastic Diseases. Curr
Mol Med 2002;2:1-12.
4. Fisher RA and Hodges MD. Genomic
Imprinting in Gestational Trophoblastic
Disease- A Review. Palcenta 2003;24:S111-
8.
5. Li HW, Tsao SW and Cheung ANY. Current
Uncerstanding of the Molecular Genetiks of
Gestational Trophoblastic Diseases. Placenta
2002;23:20-31.
6. Saxena A, Frank D, Panichkul P, Van den
Veyver IB, Tycko B and Thaker H. The
Product of the imprinted Gene IPL Marks
Human Villous Cytotrophoblast and is Lost
in Complete Hydatidiform Mole. Placenta
2003;24:835-42.
7. Trabetti E GR, Zanini L, Zardini F, Bernardi
F, Notarangelo A, Croce AI, et al. : The
parental origin of hydatidiform mole and
blighted ova : molecular probing with
hypervariable DNA polymorphisms. .
Molecular and Cellular Probes 1993; 7: 325-
9.
8. Andrijono, K Kurnia, N Asikin. A Case-
kontrol Study of Vitamin A Level in
Hydatidiform Mole. Med J Indones
1997;6:153-7.
9. Iwahashi M, Muragaki Y, Ooshima A and
Nakano R. Overexpression of Type IV
Collagen in Chorionic Villi in Hydatidiform
Mole. The J Clin Endo Metab 2001;86:2649-
52.
10. Tidy JA, Gillespi AM, Bright N, etal.
Gestational Trophoblastic Disease : A Study
of Mode Evacuation and Subsequent for
Treatment with Chemotherapy. Gynecol
Oncol 2000;78:309-12.
11. DiSaia PJ, Creasman WT. Gestational
Trophoblastic Neoplasia, dalam DiSaia PJ,
Creasman WT , ed Clinical Gynecologic
Oncology, Sixth Edition, Missouri, Mosby
Inc, 2002:185-210
12. Petignat P, Billieux MH, Blouin JL, Dahoun
S, Vassilakos P. Is genetik analysis useful in
the routine management of hydatidiform
mole. Human Reprod 2003;18(2):243-9.
13. Stackievicz R, Drucker L, Zemer R, Klein A,
Markovitch O and Yarkoni S. Cytokeratin 20
as a Biomarker of Gestational Trophoblastic
Disease : Diagnostic and Prognostic
Significance. Gyn Oncol 2002;87:34-8.
14. Halperin R, Peller S, Sandbank J, Bukovsky
I and Schneider D. Expression of the p53
Gene and Apoptosis in Gestational
Trophoblastic Disease. Placenta 2000;21: 58-
62.
15. Berkowitz RS, Goldstein DP. Gestational
Trophoblastic Diseases, dalam Gynecologic
Oncology, fourth edition, Philadelphia,
Lippincott Williams & Wilkins, 2005 :1055-
76.
16. Sasa H, Umekage T, Namima M, Arimura S,
Nakata H, Watanabe Y and Kobayashi M.
Expression of Ras GTPase-activating Protein
(GAP) in Human Normal Chorionic Villi and
Hydatidiform Mole. Placenta 1997;18:427-
31.
17. Sasaki S. Clinical presentation and
management of molat pregnancy. Best Prac
Res of Clin Obs and Gyn 2003;17:885-92.
18. The Management of Gestational
Trophoblastic Neoplasia. Royal College of
Obstricians and Gynaecologists. Guideline
No. 38, February 2004.
19. Gestational Trophoblastic Disease. SOGC
Clinical Practice Guidelines, May 2002.
20. Sasaki S. Management of Gestational
Trophoblastic Diseases in Japan- A Review.
Placenta 2003;24:S28-32.
21. Baergen RN, Rutger JL, Young RH,Osann K,
Robert E. Placental Site Trophoblastic
Tumor : A Study of 55 Cases and Review of
the Literatur Emphasizing Factors of
Prognostic Significance. Obstet Gynecol
Survey 2006;61(6):380-2.
22. Behtash N, Ghaemmaghami F, Hasanzadeh
M. Long term remission of metastatic
placental site trophoblastic tumor ( PSTT ) :
Case report and review of literature. World J
Surg Oncol 2005;3:34-48.
23. Raza A, Ahmad Z, Muzzaffar S. Placental
Site Trophoblastic Tumor (PSTT) with
metastases to lungs and adrenal glands.
JCPSP 2006;16(2):150-1.
24. Fadare O, Parkash V, Carcangiu M-L, Hui P.
Epithelioid trophoblastic tumor :
clinicopathological features with an
emphasis on uterine cervical involvement.
Modern Pathology 2006;19:75-82.
25. Coulson LE, Kong CS, Zaloudek C.
Epithelioid Trophoblastic Tumor of the
Uterus in a Postmenopausal Woman : a Case
report and Review of the Literature. The Am
J Surg Pathol 2000;24(11):1558-62.
26. Guvendag Guven ES, Guven S, Esinler I,
Ayhan A, Kucukali T, Usubutun A. Placental
site trophoblastic tumor in a patients with
brain and lung metastases. Int J Gynecol
Cancer 2004;14:558-69.
27. Feltmate Cm, Genest DR, Wise L, Bernstein
MR, Goldstein DP, Berkowitz RS. Placental
site trophoblastic tumor : a 17-experience at
the New England Trophoblastic Disease
Center. Gynecol Oncol 2001;82(3):413-4.
28. Lathrop Jc, Lauchlan S, Nayak R, Ambler M.
Clinical characteristics of placental site
trophoblastic tumor ( PSTT ). Gynecol Oncol
1988;31:32-42.
29. Yang X, Zhang Z, Jia C, Li J, Yin L, Jiang S.
The Relation Between Expression of c-ras, c-
erbB-2, nm23 and p53 Gene Products and
Development of Trophoblastic Tumor and
Their Predictive Significance for the
Malignant Transformation of Complete
Hydatidiform Mole. Gynecol Oncol
2002;85:438-44.
30. Fukunaga M. Flow Cytometric and
Clinicopathologic Study of Complete
Hydatdidiform Moles with Special
Reference to the Significance of Cytometric
Aneploidy. Gyn Oncol 2001;81:67-70.
31. Durand S, Angeltti S and Genti-Raimondi.
GTT1/StarD7, a Novel Phosphatidylcholine
Transfer Protein-like Highly Expressed in
Gestational Trophoblastic Tumour : Cloning
and Characterization. Placenta 2004;25:37-
44.
32. Sasa H, Umekage T, Namima M, Arimura S,
Nakata H, Watanabe Y and Kobayashi M.
Expression of Ras GTPase-activating Protein
(GAP) in Human Normal Chorionic Villi and
Hydatidiform Mole. Placenta 1997;18:427-
31.
33. Yang X, Zhang Z, Jia C, Li J, Yin L and
Jiang S. The Relationship Between
Expression of c-ras, c-erbB2, nm23, and p53
Gene Products and Development of
Trophoblastic Tumor and Their Predictive
Significace for the Malignant Trnasformation
of Complete Hydatidiform Mole. Gyn Oncol
2002;85:438-44.
34. Halperin R, Peller S, Sandbank J, Bukovsky
I and Schneider D. Expression of the p53
Gene and Apoptosis in Gestational
Trophoblastic Disease. Placenta 2000;21: 58-
62.
35. Bae SN, Kim SJ. Telomerase activity in
complete hydatidiform mole. Am J Obstet
Gynecol Oncol 1999;180:328-33.
36. Fukunaga M. Flow Cytometry and
Clinicopathologic Study of Complete
Hydatidiform Moles with Special Reference
to the Significance of Cytometry
Aneuploidy. Gynecol Oncol 2001;81:67-70.
37. Benedet JL, Pecorelli S. FIGO Spesial
Report on Gynecologic Cancer 2000. Int
Journal of Gynecology and Obstetrics
2000;70:209-62.
38. Kohorn EI, Goldstein DP, Hankock BW,
Kim SJ, Lurain JR, Newlands E, Soper JT,
Wong LC. Combining the staging system of
the International Federation of Gynecology
and Obstetrics with the scoring system of the
World Health Organization for Trophoblastic
Neoplasia. Report of the Working Committee
of International Society for the Study of
Trophoblastic Disease and the International
Gynecologic Cancer Society. Int J Gynecol
Cancer 2000;10:84-8.
39. Hammond CB, Borchett LG, Tyrey L,
Creasman WT, Parker RT. Treatment of
Metastatic Trophoblastic Disease : Good and
Poor Prognosis. Am J Obstet Gynecol
1973;115:451-7.
40. Matsui H, Suzuka K, Iitsuka Y, Seki K,
Sekiya S. Combination Chemotherapy with
Methotrexate, Etoposide, and Actinomycin D
for High-Risk Gestational Trophoblastic
Tumors. Gynecol Oncol 200;78:28-31.
41. Andrijono, Turk D, Kampono N, Aziz MF,
Syamsuddin, Nuranna L. Membandingkan
hasil penatalaksanaan penyakit trofoblas
ganas berdasarkan klasifikasi Hammond
dengan FIGO 1992. Maj Obstet Ginekol
Indones 2001;25:151-7.
42. Hancock BW, Welch EM, Gillespie AM,
Newlands ES. A retrospective comparison of
current and proposed staging and scoring
systems for persistent gestational
trophoblastic disease. Int J Gynecol Cancer
2000;10:318-22.
43. Pisal N, Nort C,Hancock B. Role of
Hysterectomy in Management of Gestational
Trophoblastic Disease. Gynecol Oncol
2002;87:190-2.
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
LESI PRA KANKER SERVIKS (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Lesi pra kanker adalah kondisi serviks yang
berpotensi menjadi kanker. Kondisi serviks
berupa displasia ringan sel-sel epithelial mukosa
serviks yang kemudian berkembang menjadi
displasia sedang-berat, karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif.

Penyebab utama lesi pra kanker serviks adalah


infeksi virus HPV (human papilloma virus) group
onkogenik resiko tinggi; terutama HPV-16 dan 18
serta pillogeni.
Deteksi lesi pra kanker terdiri atas metode
pemeriksaan sitologi Pap tes (konvensional dan
liquid-base cytology /LBC), inspeksi visual asam
asetat (IVA), inspeksi visual lugol iodin (VILI),
dan test DNA HPV (1).

Metode IVA dan VILI adalah metode yang


sederhana, murah, non invasive, akurasi memadai
dan diterima, serta tidak memerlukan fasilitas
laboratorium. Metode ini dapat dijadikan pilihan
di pelayanan primer dan secara masal. Sedangkan
untuk masyarakat kota dan daerah-daerah dengan
akses pelayanan kesehatan (sekunder dan tersier),
metode skrining dengan pemeriksaan sitologi
akan lebih tepat.
Asimtomatik.
2. Anamnesis
Keputihan berulang

3. Pemeriksaan Fisik

Diagnosis berdasarkan atas:

- Papsmear ditemukan LSIL, HSIL

4. Kriteria Diagnosis - Test IVA/VILI positif

- Test DNA HPV positif HC II/Genotyping

5. Diagnosis Kerja
1. Servisitis
6. Diagnosis Banding 2. Eritoplakia
3. Makulo-papula
Pemeriksaan tambahan dapat berupa kolposkopi,
7. Pemeriksaan Penunjang
biopsi terarah, dan kuretase endoservikal.

8. Tata Laksana Terapi lesi pra Kanker:


1. LSIL:- Observasi ulang test 3 bln:
a. Jika negatif  skrining 12 bln
b. Jika positif  LSIL/HSIL 
Kolposkopi

- Test DNA HPV:


a. Jika negatif  skrining rutin
b. Jika positif  kolposkopi
2. Kolposkopi
3. HSIL : - Kolposkopi memuaskan:
a. jika negatif  observasi
b. NIS I : Test DNA HPV negatif
/tidak dilakukan observasi
Test DNA HPV positif
 terapi ablasi
c. NIS II : Terapi ablasi
d. NIS III : bedah eksisi
4. Kolposkopi tidak memuaskan  konisasi

Terdapat beberapa metode pengobatan lesi


prakanker serviks :

1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal

Yang termasuk pada metode terapi ini


adalah krioterapi, elektrokauter, elektrokoagulasi,
dan CO2 laser. Penggunaan setiap metode ini
bertujuan untuk memusnahkan daerah-daerah
terpilih yang mengandung epitel abnormal, yang
kelak akan digantikan dengan epitel skuamosa
yang baru.

a. Krioterapi

Krioterapi ialah suatu usaha penyembuhan


penyakit dengan cara mendinginkan bagian yang
sakit sampai dengan suhu di bawah nol derajat
Celcius. Pada suhu sekurang-kurangnya 25
derajat Celcius sel-sel jaringan termasuk NIS
akan mengalami nekrosis. Sebagai akibat dari
pembekuan tersebut, terjadi perubahan-perubahan
tingkat seluler dan vaskuler, yaitu (1) sel-sel
mengalami dehidrasi dan mengerut; (2)
konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3)
syok termal dan denaturasi kompleks lipid
protein; (4) status umum sistem mikrovaskular.
(10,11)
Pada awalnya digunakan cairan Nitrogen
atau gas CO2, tetapi pada saat ini hampir semua
alat menggunakan N2O.

b. Elektrokauter

Metode elektrokauter dapat dilakukan pada


pasien rawat jalan. Penggunaan elektrokauter
memungkinkan untuk pemusnahan jaringan
dengan kedalaman 2 atau 3 mm. Lesi NIS I yang
kecil di lokasi yang keseluruhannya terlihat pada
umumnya dapat disembuhkan dengan efektif.(12)

c. Diatermi Elektrokoagulasi Radikal

Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan


jaringan lebih luas dan efektif jika dibandingkan
dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan
dengan anestesi umum. Tindakan ini
memungkinkan untuk memusnahkan jaringan
serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi
serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi
tersebut sangat luas. Dianjurkan penggunaannya
hanya terbatas pada kasus NIS 1/2 dengan batas
lesi yang dapat ditentukan.(13,14)

d. CO2 Laser

Penggunaan sinar laser (light amplication by


stimulation emission of radiation), suatu muatan
listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi
campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas CO2
sehingga akan menimbulkan sinar laser yang
mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan
patologis yang terdapat pada serviks dapat
dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan
dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa
serviks menguap karena cairan intraselular
mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami
nekrotik terletak di bawahnya. Volume jaringan
yang menguap atau sebanding dengan kekuatan
dan lama penyinaran.(15)

2. Terapi NIS dengan Eksisi

I.LEEP ( Loop Electrosurgical Excision


Procedures)

Ada beberapa istilah dipergunakan untuk LEEP


ini. Cartier dengan menggunakan kawat loop
kecil untuk biopsi pada saat kolposkopi yang
menyebutnya dengan istilah diatermi loop.(16)
Prendeville et al. menyebutnya LLETZ (Large
Loop Excisional Tranformation Zona).(17)

II.Konisasi.(18,19)

Tindakan konisasi dapat dilakukan dengan


berbagai teknik:

A.Konisasi cold knife,

B.Konisasi diatermi loop (=LLETZ), dan

C. Konisasi laser.

Di dalam prakteknya, tindakan konisasi juga


sering merupakan tindakan diagnostik.

III. Histerektomi (20)

Tindakan histerektomi pada NIS kadang-kadang


merupakan terapi terpilih pada beberapa keadaan,
antara lain, sebagai berikut.

1) Histerektomi pada NIS dilakukan pada


keadaan kelanjutan konisasi.

2) Konisasi akan tidak adekuat dan perlu


dilakukan histerektomi dengan mengangkat
bagian atas vagina.

3) Karena ada uterus miomatosus; kecurigaan


invasif harus disingkirkan.

4) Masalah teknis untuk konisasi, misalnya


porsio mendatar pada usia lanjut.

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B


13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. World Health Organization. Comprehensive


Cervical Cancer Control. A Guide to
Essential Practice. Geneva : WHO, 2006.

2. Petignat P, Roy M.. Diagnosis and


management of cervical cancer. BMJ
2007;335:765-768.

3. Bosch FX, Manos MM, Munos N, et al.


Prevalence of human papilloma virus in
cervical cancer : A worldwide prespective.
International biological study on cervical
cancer (IBSCC) Study group. J Natl Cancer
Inst 1995;87:796-802.

4. Walboomers JM, Jacobs MV, Manos MM,


Bosch FX, Kummer JA, Shah KV, rt.al.
Human Papillomavirus is a necessary cause
of invasive cervical cancer worldwide. J
Pathol 1999;189:12-9

5. Preventing cervical cancer in low-resources


settings. Outlook. Volume 18, number 1,
September 2000.

6. Boon ME, Suurmeijer AJH. The Tes Pap.


Leyden: Coulomb: 1991.

7. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar


R, Effective Screening programmes for
cervical cancer in low- and middle-income
developing countries. Bulletin of the World
Health Organization, 2001; 79:954-962

8. Nasiell K et al. Behaviour of mild dysplasia


during long term follow-up. Obstetrics and
Gynaecology, 1986, 67:665-669.

9. Holowaty P et al. Natural History of


dysplasia of the uterine cervix. Journal of the
National Cancer Institute, 1999, 91:252-268.

10. Meryman HT. Mechanics of freezing in


living cells and tissues. Science 1986;
124:515:19.

11. Singer AS. Managing the young women with


an abnormal cervical smear. The Practitioner
1983;227:725-31.

12. Ordell LD, Rimker K, Hagerty C.


Electrocautery for cervical neoplasia. J
Reprod Med 1971;6:143 – 46

13. Chanen W, Hollyock VE, Colposcopy and


electrocoagulation diathermy for cervical
dysplasia and carcinoma in situ. Obstet
Gynaecol 1971; 37: 623–28.

14. Rome RM. Electrocoagulation diathermy for


cervical intraepithelial neoplasia. Am J.
Obstet Gynaecol 1983; 61: 673–77

15. Belina JH, Wright VC, Voros JL, Riopelle


MA, Hohenschutz V. Carbodioxide laser
management of cervical intraepitethelial
neoplasia. By laser vaporisation.Br.J. Obstet
Gynecol 1985; 92: 394–98.

16. Cartier R. Practical Colposcopy. Besel –


Munchen – Paris – New York – Sydney : S
Kanger, 1977: 94–109.

17. Prendiville W, Lullimore NS. Large Loop


excision of the transformation zone
(LLETZ). A new methode of management
for women which cervical intraepithelial
neoplasia. Brit J Obstet Gynecol. 1989; 96 :
1054 - 60.

18. Campion Michael. Preinvasive Disease in :


Berek JS, Hacker NF, eds. Practical
Gynecologic Oncology. 3 rd ed.
Philadelphia-Baltimore : Lippincott Williams
and Wilkins ,2000 : 271–344.

19. Monaghan JM. Surgical Technique on


precancer cervix. In : Burghardt E,
Monaghan JM, Kindermann G, Tamussino
K. Eds. Surgical Gynecologic Oncology.
New York : George Thieme Verlag Stuttgart,
Thieme Medical Publishers Inc, 1993: 265–
76.

20. Hacker NF. Cervical Cancer. In: Berek JS,


Hacker NF. (eds). Practical gynecologic
oncology. 3rd edit, Philadelphia-Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins, 2000: 345–
405.

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
PROLAPSUS ORGAN PANGGUL(ICD 10 – N81)
1. Pengertian ( Definisi) Turunnya/descend/desencus atau penonjolan
(protusio/bulging)/ herniasi isi organ panggul ke
dalam vagina atau ke luar vagina akibat
kelemahan struktur penyokong dasar panggul
• Perasaan berat pada perut bagian bawah
• Penonjolan atau protusio jaringan pada vagina
atau melewati vagina
• Low back pressure/pain (merasa ada tekanan
atau rasa berat atau nyeri daerah panggul)
• Perubahan fungsi seksual
• Keluhan berkemih meliputi:
2. Anamnesis • Inkontinensia stres (tekanan)
• Urgensi dan inkontinensia urge
• Inkontinensia campuran
• Disfungsi berkemih (hesitansi atau
gangguan pengosongan kandung kemih)
• Perlu memasukan organ prolapsus saat
berkemih
• Sulit defekasi pada rektokel
• Tes stres/Tes valsalva
3. Pemeriksaan Fisik • Tes Bonney
• Perhatikan adanya ulkus pada porsio
• Anamnesis
• pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis • Pemeriksaan Ginekologi
• Pemeriksaan penunjang (USG)
• Pemeriksaan sistem POP-Q
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding Inversio Uteri Kronis (N85.5)


• Pemeriksaan sistem POP-Q (Prolapse Organ
Pelvic Quantification system) untuk
menentukan derajat prolapsus uteri, sistokel,
dan rektokel
7. Pemeriksaan Penunjang  Pemeriksaan sitologi (Pap Smear) untuk
menyingkirkan keganasan serviks
 Ultrasonografi
 Laboratorium
1. Tanpa pembedahan, dilakukan pada prolapsus
uteri derajat I. Dilakukan latihan otot dasar
panggul atau pemakaian Pessarium
2. Pembedahan
a. Histerektomi vagina (68.59)
8. Tata Laksana b. Kolporafi anterior
c. Kolpoperineorafi
d. Operasi Manchester Fothergill (69.22)
e. Operasi LeFort (70.8)
f. Fiksasi sakrospinosus
Kolposuspensi dengan mesh
9. Edukasi Latihan otot dasar panggul dengan senam kegel
(Hospital Health Promotion) Hindari aktifitas berat
a. Tingkat keberhasilan colporrhaphy anterior
tergantung pada operator, dan tingkat
kegagalan yang dilaporkan berkisar antara
0-20%
b. Tingkat keberhasilan yang obyektif untuk
perbaikan paravaginal telah dilaporkan
menjadi 98% untuk rute vagina pada follow
up 1 tahun, dan berkisar antara 76% [46]
sampai 97%
c. Tingkat keberhasilan perbaikan vagina
10. Prognosis
posterior tradisional berkisar antara 76-96%
d. Tingkat keberhasilan operasi sakrocolpopexy
per abdominal bervariasi dari 88-100% pada
follow up 2 tahun.
e. Tingkat keberhasilan fiksasi ligamen vagulus
vagina berkisar antara 88% pada 6 minggu
[50] sampai 97% pada 1 tahun.
f. Tingkat keberhasilan suspensi ligamentum
uterosakral yang tinggi telah dilaporkan
berkisar dari 87% [42] sampai 89%
11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

1. Berek & Nova’s Gynecology. LWW


2. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
15. Kepustakaan “Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
INFEKSI SALURAN KEMIH (ICD 10 – N39.0 )
1. Pengertian ( Definisi) Suatu infeksi yang melibatkan ginjal, ureter, buli-
buli, ataupun uretra
2. Anamnesis 1. Demam
2. Susah buang air kecil
3. Nyeri saat di akhir BAK (disuria terminal)
4. Sering BAK (frequency)
5. Nokturia
6. Anyang-anyangan (polakisuria)
7. Nyeri suprapubik
 Demam
 Flank pain (Nyeri ketok pinggang
3. Pemeriksaan Fisik
belakang/costovertebral angle)
 Nyeri tekan suprapubik
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja
1. Recurrent cystitis
2. Urethritis
6. Diagnosis Banding
3. Pielonefritis
4. Bacterial asymptomatic
1.Urine mikroskopik berupa peningkatan >103
bakteri /Lpb
7. Pemeriksaan Penunjang 2.Kultur urin (hanya diindikasikan untuk pasien
yang memiliki riwayat kekambuhan infeksi
salurah kemih atau infeksi dengan komplikasi).
1. Minum air putih minimal 2 liter/hari bila fungsi
ginjal normal.
2. Menjaga higienitas genitalia eksterna
3. Pada kasus nonkomplikata, pemberian
antibiotik selama 3 hari dengan pilihan antibiotik
8. Tata Laksana
sebagai berikut:
a. Trimetoprim sulfametoxazole
b. Fluorikuinolon
c. Amoxicillin-clavulanate
d. Cefpodoxime
9. Edukasi Gagal ginjal, Sepsis , ISK berulang atau kronik
(Hospital Health Promotion) kekambuhan

10. Prognosis
11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Weiss,Barry.20 Common Problems In


Primary Care.
2. Rakel, R.E. Rakel, D.P. Textbook Of Family
Medicine. 2011
3. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: PB
PABDI. 2009
4. Hooton TM. Uncomplicated urinary tract
infection. N Engl J Med 2012;366:1028- 37
(Hooton, 2012)

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
FISTULA UROGENITAL (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Suatu hubungan abnormal antara dua atau bahkan
lebih organ internal urogenital atau terbentuknya
hubungan antara saluran kemih (uretra, kandung
kemih, ureter) dan saluran genitalia (vagina,
uterus, perineum)
2. Anamnesis  Kebocoran urin melalui vagina tanpa nyeri
dan terjadi setelah proses persalinan atau
operasi dan radiasi
 Urin dapat merembes atau mungkin terjadi
sekali – sekali
 Bab keluar dari kemaluan
3. Pemeriksaan Fisik  Iritasi daerah vulva, paha dan infeksi saluran
kemih
 Vulva dan perineum biasanya basah dan
disertai bau urin atau feses
4. Kriteria Diagnosis Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Ginekologi
Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang  Test diagnostik


a. Test methylen blue
a. Bahan pewarna atau susu
b. Air dan udara (flat-tire)
c. Test Double-dye
d. Test tampon Moir
 Radiologi :
a. Urografi intravena
b. Urografi retrograde
c. BNO-IVP
d. Cystourethroscopy
e. CT-Scan
 Laboratorium
8. Tata Laksana Management konservatif
Jika suatu fistula dijumpai beberapa hari setelah
pembedahan ginekologi, kateter surprapubis atau
transurethral terpasang dan dipertahankan sampai
30 hari dan diharapkan fistula dapat menutup
spontan kembali setelah 3 minggu pemasangan
kateter.
Jika lebih dari 30 hari tidak ada perubahan, dalam
kasus FVV tidak akan menutup secara spontan &
dapat dilakukan tindakan operatif.
2. Pembedahan
Pendekatan operasi untuk fistula urogenital pada
prinsipnya ada 3 pilihan yaitu :
1. Transvaginal
2. Transabdominal (suprapubik)
3. Kombinasi transvaginal dan transabdominal

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. FistulaUrogenital,Uroginekologi


I,Uroginekologi Rekonstruksi, Obstet dan
Ginekologi FK-UI, Jakarta
2. Berek & Nova’s Gynecology. LWW
3. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
“Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
AGENESIS VAGINA DAN HIPOPLASIA VAGINA (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Kelainan kongenital yang terjadi pada wanita,
dimana tidak terbentuknya atau terbentuk
sebagian vagina sedangkan tanda - tanda seks
sekundernya berkembang normal.
2. Anamnesis  Gangguan dalam bersenggama
 Nyeri perut bawah siklik
 Amenorea primer
3. Pemeriksaan Fisik  Terdapat cekungan yang dangkal atau yang
agak dalam
 Ditemukan jaringan yang tebal pada labia
4. Kriteria Diagnosis Diperlukan karena seringkali agenesis vagina
disertai dengan tidak terdapatnya ginjal
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Himen imperforate


2. Vagina pendek
3. Sindorme Feminisasi Testikuler (SFT)
4. Hermaprodit
7. Pemeriksaan Penunjang  Tes Sonde
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
 Intravenus pielogram (IVP)
 Sistografi
 Laboratorium

Karena seringkali agenesis vagina disertai dengan


tidak terdapatnya cerviks, uterus bahkan ginjal
8. Tata Laksana 1. Tanpa pembedahan, dilakukan dengan
melakukan penekanan dilatasi pada tempat
cekungan vagina dalam jangka waktu tertentu.
Tehnik ini memerlukan kesabaran dan disiplin
penderita untuk mengerjakannya.
2. Pembedahan
a. Pembedahan yaitu membuat ruang vagina baru
pada cekungan vagina kemudian dilapisi
dengan graft dan kemudian digunakan suatu
bentuk cetakan untuk mempertahankan graft
b. Membuat vagina memakai jaringan vagina
sendiri dengan melakukan traksi dari
abdomen dan memasang akrilik yang
berbentuk seperti buah zaitun pada cekungan
vagina
c. Balloon vaginoplasty yaitu membuat vagina
dengan traksi menggunakan balon kateter

9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)

10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B


13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Berek & Nova’s Gynecology. LWW


2. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
“Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
SEPTUM VAGINA (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Sekat sagital di vagina dapat ditemukan di bagian
atas vagina
2. Anamnesis Biasanya penderita tidak akan mengeluhkan suatu
gejala, namun apabila pasien dalam keadaan
inpartu, septum vertikal dapat menghalangi
penurunan dan kesulitan menilai pembukaan.
Tampak selaput pada liang vagina, dapat parsial
3. Pemeriksaan Fisik
ataupun komplit
Anamnesis
4. Kriteria Diagnosis Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Penunjang
5. Diagnosis Kerja
6. Diagnosis Banding Himen Imperforata
 Pemeriksaan ultrasonografi (USG)
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)
 Intravenus pielogram (IVP)
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium
Karena seringkali agenesis vagina disertai dengan
tidak terdapatnya cerviks, uterus bahkan ginjal
 Apabila pasien dalam keadaan bersalin,
septum vertikal dapat digunting dan diikat.
8. Tata Laksana
 Dapat dilakukan tindakan pembedahan untuk
melihat luas septum vagina
 Setelah operasi, 3 hari pertama pasien
dianjurakan diet cair, dan diet normal pada
hari ke 6. Mobilisasi dilakukan pada hari ke
10.
9. Edukasi  Kateter dipertahankan selama satu minggu
(Hospital Health Promotion) hingga stent dibuka, tujuannya untuk
mencegah kontaminasi urin terhadap luka
operasi
 Enam bulan pertama pasien disuruh kontrol
setiap bulan

10. Prognosis Baik

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Berek & Nova’s Gynecology. LWW


2. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
“Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
RUPTURA PERINEUM (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Robeknya mukosa vagina dan atau kulit badan
perineum yang disebabkan proses persalinan
normal, episiotomi, persalinan buatan, atau
trauma lainnya
2. Anamnesis • Tidak dapat menahan flatus, feses cair atau
lembek yang dirasakan setelah persalinan
• Feses keluar dari vagina saat BAB
• Riwayat persalinan dengan episiotomi
• Riwayat persalinan dengan bantuan alat
• Persalinan dengan dugaan trauma traktus
genital
• Pernah mengalami robekan perineum
sebelumnya
• Adanya faktor risiko terjadinya ruptura
perineum, antara lain:
• Persalinan dengan ekstraksi forseps
(7%)
• Nullipara (4%)
• Kala II lebih dari 1 jam (4%)
• Distosia bahu (4%)
• Episiotomi mediana (3%)
• Posisi oksipito posterior menetap (3%)
• Berat bayi >4000gr (2%)
• Induksi persalinan (2%)
• Analgesia epidural (2%)

3. Pemeriksaan Fisik • Pemeriksaan inspeksi daerah genital


• Pemeriksaan inspekulo
• Pemeriksaan rectal toucher
• Pemeriksan pill rolling action
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding

7. Pemeriksaan Penunjang • USG


• Anal manometri
• Laboratorium

8. Tata Laksana  Perbaikan perineum langsung dilakukan


setelah persalinan atau maksimal 24 jam
pascasalin bila tidak ada infeksi atau
inflamasi, dengan golden period 6-8 jam
 Bila lebih dari 24 jam pascasalin maka
perbaikan perineum dilakukan 3 bulan
pascasalin
 Tehnik pembedahan:
o Sfingterorafi
o Perineoprafi
o Sfingteroplasti
Perineoplasti
9. Edukasi Diperlukan pada kasus kematian akibat penyulit
(Hospital Health Promotion) tindakan operatif maupun keadaan penyakitnya
sendiri
10. Prognosis
Baik

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi


14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110
2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Berek & Nova’s Gynecology. LWW


2. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
“Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KISTA/ABSES BARTHOLIN (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Penumpukan nanah atau cairan yang membentuk
benjolan (pembengkakan) di salah satu kelenjar
Bartholin yang terletak di setiap sisi lubang
vagina
2. Anamnesis Anamnesis:
b. Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik
atau berhubungan seksual.
c. Umunnya tidak diserati demam kecuali jika
terifeksi dengan organisem yang ditularkan
melaui hubungan seksual.
d. Pembengkakan pada vulva selam 2-4 hari.
e. Biasanya ada secret di vagina
f. Terasa ganjalan di vagina
g. Menstruasi tidak teratur
h. BAK sering

3. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan ginekologis:


Pembengkakan kelenjar bartholin di arah jam 5
atau jam 7
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding 1. Kista sebaseus,


2. Kista disontogenetik
3. Hematom
4. Lipoma
5. Kista inklusi vagina
6. Kista Duktus gardner
7. Hernia inguinalis
7. Pemeriksaan Penunjang
 Kultur jaringan
 Laboratorium

8. Tata Laksana Kalau ada infeksi sekunder dpt diberikan


antibiotik spektrum luas
Kateter Word
Operasi kecil (marsupialisasi)
Eksisi dilakukan jika terjadi rekurensi berulang
9. Edukasi Diperlukan bila:
(Hospital Health Promotion) a. Direncanakan untuk dioperasi
b. Disertai penyulit seperti infeksi
10. Prognosis
Baik

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Berek & Nova’s Gynecology. LWW


2. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
“Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
MAYER ROKITANSKY KUSTER HAUSER (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Suatu sindrom yang dikarakteristikkan dengan
tidak adanya uterus dan vagina yang dapat
disertai kelainan kongenital lain pada bagian
perkemihan, tulang belakang, jantung dan bagian
pendengaran pada wanita yang perkembangan
dan pertumbuhan tanda sekual sekunder normal
2. Anamnesis • Amenorea primer (tidak pernah haid)
• Nyeri kolik abdomen
• Tidak memiliki keturunan (infertil)
• Sulit atau tidak dapat melakukan hubungan
seksual
• Keluhan berkemih meliputi:
• Inkontinensia stres (tekanan)
• Urgensi dan inkontinensia urge
• Inkontinensia campuran
• Disfungsi berkemih (hesitansi atau
gangguan pengosongan kandung kemih)
 Anomali tulang belakang
3. Pemeriksaan Fisik  Pemeriksaan spekulum terkadang sulit
dilkakukan karena derajat agenesis vagina
tersebut
 Tanda seks sekunder normal
4. Kriteria Diagnosis  Anamnesis
 Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan penunjang
5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding  Atresia vagina


 WNT4 syndrome
 Androgen insensitivity
7. Pemeriksaan Penunjang  Laboratorium (FSH, LH, Kromosom,
Testosteron)
 USG
 MRI
 Laparoskopi
 Pyelografi
8. Tata Laksana Pembedahan
b. Histerektomi vagina (68.59)
c. Kolporafi anterior
d. Kolpoperineorafi
e. Operasi Manchester Fothergill (69.22)
f. Operasi LeFort (70.8)
g. Fiksasi sakrospinosus
Kolposuspensi dengan mesh
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis
Dubia

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan 1. Berek & Nova’s Gynecology. LWW


2. Fritz A, Speroff L, Clinical Gynaecology.
“Endocrinology and Infertility”, Eight
Edition. LWW

RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
MIOMA UTERI (ICD 10 – D25 )
1. Pengertian ( Definisi) Tumor jinak rahim yang berasal dari miometrium
yang tumbuh berkembang ke sub mukosa, intra
mural, subserosa maupun pedunkulated
2. Anamnesis - Keluhan tergantung kepada ukuran,
jumlah, dan lokasi dari pada mioma
- keluhan terbanyak perdarahan uterus yang
banyak dan panjang
- Perut terasa membesar, nyeri (rasa tidak
nyaman) pelvik ataupun perut
- Didapatkan gejala atau gangguan akibat
penekanan tumor, seperti : gangguan
urineren dan konstipasi
- Didapatkan riwayat subfertilitas, atau
riwayat keguguran dan riwayat gangguan
pertumbuhan janin
- Dispareunia
- Pada pemeriksaan di daerah perut
didapatkan adanya benjolan
uni/multinodular yang bersifat kenyal
(padat)
- Pemeriksaan fisik stabilitas keadaan
hemodinamik apabila dijumpai
manifestasi perdarahan akut dan banyak
- Pada pemeriksaan inspekulo bisa
didapatkan adanya benjolan yang keluar
3. Pemeriksaan Fisik
dari uterus dan pada perabaan kesan
keluar dari kanal servikalis terkesan
berasal dari uterus
- Pada pemeriksaan dalam (bimanual) :
teraba massa di rongga pelvik
kenyal/padat bisa digerakkan didapatkan
uterus lebih besar dari ukuran normal. Jika
massa pada daerah perut digerakkan,
serviks juga akan ikut bergerak.
- Anamnesis
- pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Ginekologi
- Pemeriksaan penunjang (USG)
- Mioma submukous
o tipe 0. massa mioma 100%
4. Kriteria Diagnosis
intrakavum uterus
o tipe 1. massa mioma > 50%
intrakavum uterus
o tipe 2. massa mioma < 50%
intrakavum uterus
5. Diagnosis Kerja
- Adenomiosis
- Kehamilan
- Neoplasma Ovarium
- Tumor jinak pelvis (tumor ovarium jinak,
6. Diagnosis Banding
kista ovarium hemoragik,
- Kista dermoid, endometrioma
- Tumor ganas pelvik (kanker ovarium,
kanker endometrium leiomiosarkoma)
a. Ultrasonografi TAS /TVS (gold standar)
(3D/4D)
b. Saline infusión sonography
7. Pemeriksaan Penunjang c. CT-Scan / MRI
d. Laboratorium Rutin
e. Papsmear / Kuretase Diagnostik
f. Foto Thoraks / EKG / BNO-IVP
g. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan
8. Tata Laksana  Asymptomatik hanya observasi
 Symptomatik
• Medikal (penanganan jangka
pendek )
• Pemberian NSAIDS
• Kontrasepsi
• LNG-IUS
• Progesteron reseptor
(mefiproston)
• Aromatase inhibitor
( lantrozol)
• GnRHa
• Surgikal
• mioma submukous < 3cm
endometrial ablation histeroskopik
• bila ukuran uterus lebih dari
gravida 12 minggu dan a tau
disertai penyulit seperti
perdarahan, torsi, infeksi,
degenerasi, gejala penekanan
akibat tumor, atau infertilitas. dan
gejala menetap pada medikal
therapi
• Bisa dilakukan miomektomi
(abdominal. laparaskopik,
histereskopik untuk tipe 0 dan 1),
histerektomi (abdominal dan
transvaginal) ataupun ekstirpasi.
• Minimal invasive (miolisis) :
Embolisasi
 Indikasi Pemberian GnRHa preoperatif
• koreksi anemi peroperatif
• estika, tindakan histeroskopik,
laparaskopik dan pendekatan
transvaginal operatif
 Dilakukan miomektomi bila fungsi
reproduksi masih diinginkan, atau
histerektomi bila pertumbuhannya cepat
atau tidak diperlukan lagi fungsi
reproduksi
 Pada pasien yang menolak pembedahan
dapat dilakukan medikal ataupun minimal
invasive
 Histerektomi merupakan penanganan
definitif mioma
 Pencegahan kanker ovarium, nyeri kronik
post operasi dapat dilakukan BSO ataupun
salphingektomi pada kasus beresiko
9. Edukasi Dilakukan edukasi mengenai diagnosis dan
(Hospital Health Promotion) rencana terapi serta prognosis dari penyakit
10. Prognosis - Miomektomi abdominal (rekurensi
single): 27%. rekurensi Multiple: 59%)
- Miomektomi laparaskopik (rekurensi 1
thn: 12% , 8 thn : 84%)
- Komplikasi miomektomi abdominal
(11%)
- Komplikasi miomektomi
laparaskopi (8-11%)
- Komplikasi miomektomi
histeroskopik (1-5%)
- Efektivenes histeroskopik
miomektomi (1thn: 95%, 5th: 76%)
- Serius komplikasi (3%). mortality
(0.038%)
- Jenis komplikasi
- Perdarahan dengan kebutuhan
transfusi (2.3%)
- Trauma ureter dan kandung
kemih (0.7%)
- Reoperatif (0.7%)
- Abses pelvik (0.2%)
- VTE (0.4%)
- Trauma usus (0.04%)
- Komplikasi histerektomi abdominal
- Sangat Sering (> 10%)
- Sering (1-10%)
- Tidak Sering (0,1-1%)
- Jarang (0,01-0,1%)
- Sangat Jarang (<0.01%)

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

1. Pundir Jyotsna & Coomarasamy Arri.


Gynaecology Evidence based Algorithms,
First ed, Cambridge University Press, 2016
15. Kepustakaan 2. Berek JS. Berek& Novak’s Gynecology.
Lippincott Williams and Wilkins, 2007.
3. Hoffman at all, William Gynecology, 3rd ed,
Mc Graw Hill. 2016
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
KISTA OVARIUM (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Tumor jinak berupa kantong berisi cairan atau
sebagian cairan (semi solid) pada ovarium
2. Anamnesis - Merasakan nyeri saat menstruasi
- Merasakan nyeri di perut bagian bawah
- Merasakan nyeri pada saat berhubungan
badan
- Siklus menstruasi tidak teratur.
- Merasakan nyeri saat buang air kecil/
buang air besar
- Merasakan nyeri pada punggung terkadang
menjalar ke kaki

3. Pemeriksaan Fisik - Didapatkan benjolan pada perut bawah,


pada perabaan konsistensi kistik/ padat.
- Dilakukan Pemeriksaan Dalam : untuk
Mengetahui asal massa, konsistensi
umumnya kistik, mobile, batas tegas,
permukaan umumnya rata
4. Kriteria Diagnosis

5. Diagnosis Kerja

6. Diagnosis Banding a. Mioma Uteri Subserosum


b. Tubal Ovarian Abses
c. Tumor Abdomen
7. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium (tumor marker CA 125)
- USG
- BNO-IVP
- Pap’s smear

8. Tata Laksana Pada pasien dengan Kista Endometriosis pada


tumor ukuran <8 cm dapat dilakukan pemberian
terapi GNRH Agonis, ataupun pemberiaan obat-
obat KB, pada pasien kista ovarium > 5 cm terapi
operatif dapat dilakukan, dengan tehnik
pengangkatan tumor saja (Kistektomi), atau
disertai pengangkatan indung telur dan saluran
indung telur. Pemilihan tehnik operasi didasarkan
apakah ada keinginan pasien untuk hamil, pasien
sudah menikah/ belum, dan besar massa tumor,
dan penemuan durante operasi
9. Edukasi
(Hospital Health Promotion)
10. Prognosis

11. Tingkat Evidens I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi B

13. Penelaah Kritis KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Tensi di bawah 160/110


2. Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

15. Kepustakaan
RUMAH SAKIT
UNIVERSITAS PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SUMATERA UTARA
PARTUS TERLANTAR (ICD 10 - )
1. Pengertian ( Definisi) Partus terlantar (neglected labor) adalah suatu
keadaan fase akhir dari suatu persalinan yang
macet dan berlangsung lama, sehingga
menimbulkan komplikasi terhadap ibu (kelelahan,
dehidrasi, infeksi) dan anak (asfiksia, kematian
janin dalam persalinan) karena penatalaksanaan
yang tidak baik atau kelalaian penolong
persalinan.
2. Anamnesis 1. bayi tidak lahir selama persalinan
2. Pemantauan kemajuan persalinan yang
terbengkalai
3. Pemeriksaan Fisik 1. Kontraksi uterus berlebihan
2. Oedem vulva
3. Gawat janin
4. Tanda-tanda dehidrasi
5. Dijumpai caput pada kepala janin

4. Kriteria Diagnosis Klinis :


a. Tanda-tanda kelelahan ibu :
Dehidrasi
Nadi cepat dan lemah, his lemah sampai
menghilang.
Febris
b. Tanda-tanda infeksi intrauterin/intrapartum
Air ketuban yang keluar berwarna keruh
kehijau-hijauan atau keruh kecoklatan dan
berbau.
c. Tanda-tanda gawat janin
Denyut jantung mula-mula meninggi, lalu
menurun sampai hilang
Air ketuban campur mekoneum.
Palpasi :
- His lemah sampai hilang
- Gerak janin lemah sampai hilang
- Kadang dijumpai tanda-tanda RUI
Auskultasi :
- Denyut jantung janin melemah sampai hilang
- Adanya meteorismus
Periksa dalam :
Dijumpai kaput suksedaneum yang besar dan air
ketuban berwarna keruh kehijau-hijauan sampai
kekuning-kuningan serta berbau
5. Diagnosis Kerja Partus Terlantar
6. Diagnosis Banding - Distosia jalan lahir

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Ultrasonografi TAS /TVS (gold standar)
(3D/4D)

8. Tata Laksana 1. Resusitasi ibu dan bayi


2. Pemberian antibiotik
3. Penilaian distosia sesuai partograf.
9. Edukasi - Inform consent mengenai keadaan persalinan
(Hospital Health Promotion) kepada pasien dan keluarga pasien
- Penilaian panggul pada sebelum kehamilan
atau sesudah kehamilan.
10. Prognosis
Bervariasi sesuai keadaan persalinan dan ibu

11. Tingkat Evidens


I untuk Tindakan no 1 & no 2

12. Tingkat Rekomendasi


B

13. Penelaah Kritis


1. KSM Obstetri dan Ginekologi

14. Indikator 1. Keluhan berkurang


2. Lama hari rawat : 3 hari
3. Tidak terjadi Infeksi Luka Operasi (ILO)
15. Kepustakaan 1. Williams obstetric, edisi 23, McGraw H ill
Professional, 2009
2. Sarwono, ilmu kebidanan, yayasan bina
pustaka, Jakarta, 2009

Anda mungkin juga menyukai