Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang
Kelahiran seorang anak merupakan salah satu pengalaman yang paling
penting dalam kehidupan orang tua. Namun apa yang terjadi ketika seorang anak
yang di lahirkan oleh ibunya mempunyai kekurangan yang tak dimiliki oleh anak-
anak lainnya, banyak sekali anak-anak yang dilahirkan dengan anatomi yang tidak
lengkap dan fisiologisnya yang tidak sempurna. Diantara kelainan-
kelainantersebut ada sebuah kelainan yang dimana kelainan tersebut jarang di
temukan,namun kelainan ini berada di sekitar kita. Kelainan yang di maksud
adalah atresiaani.
Atresia yang diartikan tidak mempunyai lubang dapat terjadi pada
seluruhsaluran tubuh misalnya atresia ani, atresia saluran empedu dan atresia
esophagus.Atresia ani dalam dunia kedokteran disebut juga sebagai imperforate
anus,malformasi anorectal, atau kelainan ektopik anal. Atresia ani termasuk
kelainankonginetal yang terjadi karena gangguan pemisahan kloka menjadi
rectum dansinus urogenital. Pada kelainan bawaan anus ini umumnya tidak ada
kelainanrectum, sfingter dan otot dasar panggul.
Atersia ani merupakan kelainan konginital yang angka
kejadiannyarendah, dibandingkan dengan penyakit yang lain dalam saluran
pencernaan.Kejadian di amerika 600 anak lahir dengan atresia ani, data yang
didapatkanatresia ani timbul dengan perbandingan 1 : 5000 kelahiran.
Sampai saat ini atresia ani tidak dapat di ketahui penyebabnya, namun
ada pula yang mengatakan bahwa etiologinya multifaktorial. Namun ada alasan
yangdi percayai bahwa keterkaitan genetik mempengaruhi adanya kasus atresia
ani, berdasarkan adanya peningkatan resiko saudara pasien yang akan lahir
dengan kelainan yang sama.
Selain faktor genetik ada pula factor kekurangan asam folat pada wanita
juga berkaitan, berdasarkan studi yang dilakukan beberapa peneliti di china
mengambil sampel pada wanita-wanita yang sedang hamil dan sudah
melahirkan,dimana para wanita ini di berikan supplement asam folat dan hasilnya
cukupmemuaskan yaitu resiko terkena atresia ani berkurang.

1
Walaupun angka kejadiannya sedikit namun ada pula pasien atresia
aniyang di diagnosa setelah umur bayi sudah mencapai 2 minggu dan ada pula
yangterdiagnosa setelah berumur 14 tahun. Bila atresia ani tidak di tangani dengan
baik, maka dapat terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi
daninkontinensia feses. Evaluasi yang seksama pada penderita atresia adalah
cukup pentingdimana adanya kelainan kongenital penyerta adalah bertanggung
jawab terhadapmorbiditas dan mortalitas penderita. (RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar periode 2004-2007).
Di indonesia sendiri atresia ani tidak diketahui berapa angka
kejadiannya,namun dengan bertambahnya angka kelahiran di indonesia
kemungkinan besar angka kejadiannya tinggi. Insiden penyakit atresia ani adalah
1 dalam 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan
tingkat kelahiran permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1.00 bayi
dengan penyakit atresia ani Kartono mencatat 20%-40% pasien penyakit atresia
ani yang dirujuk setiap tahunnya ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta
dengan rasio laki-laki dan perempuan adalah 4:1. Insidensi ini dipengaruhi oleh
group etnik, untuk Afrika dan Amerika adalah 2,1 dalam 10.000 kelahiran,
Caucassian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan Asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran
(Holschneider dan Ure, 2005 Kartono,1993).
Didapatkan data kasus atresia ani di Jawa Tengah, khususnya di
Semarang yaitu sekitar 50% dalam kurun waktu tahun 2007-2009, di RS Dr.
Kariadi Semarang terdapat 20% pasien dengan kasus atresia ani, Menyikapi kasus
yang demikian serius akibat dari komplikasi penyakit atresia ani, maka penulis
mengangkat kasus atresia ani untuk lebih memahami perawatan pada pasien
dengan atresia ani. (WHO, 2001).

2
Angka kejadian penyakit atresia ani pada tahun 1990-1994 di RSUP dr.
M. Jamil, Padang diperoleh 36 kasus , 25 (69.4 %) bayi laki-laki dan 11 (30,6%)
bayi perempuan. Dan, pada saat peneliti studi pendahuluan di ruang bedah anak
RSUP H. Adam Malik Medan diperoleh data bahwa, pada bulan Januari 2010
sampai bulan Maret 2010 terdapat 13 anak yang mengalami tindakan pembedahan
kolostomi. Perempuan lebih banyak mengalami tindakan ini dibanding laki-laki.
Perempuan berjumlah 8 anak, dan selebihnya laki-laki berjumlah 5 anak. Peneliti
juga memperoleh data bahwa pada bulan Maret 2010, 3 orang tua dari anak yang
mengalami tindakan kolostomi mengeluh tentang perawatan kolostomi yang
benar. Karena selama ini mereka hanya melakukan perawatan kolostomi tidak
berdasarkan prosedur yang baik. Tidak memikirkan apa efek samping yang dapat
terjadi, bagaimana cara membuka kantung kolostomi dengan baik, membersihkan
stoma, tidak tahu apa yang harus dilakukan jika kantung kolostomi sudah penuh
dan tidak tahu kapan kantung kolostomi itu harus diganti. Hal ini juga diperlukan
penanganan keperawatan dalam pemberian pelatihan perawatan kolostomi. Data
yang saya peroleh dari perawat yang bekerja di ruang bedah anak RSUP H. Adam
Malik Medan hanya 3 dari 11 perawat yang bekerja di RB2 anak yang
mengajarkan perawatan kolostomi kepada orang tua yang memiliki anak dengan
kolostomi permanen.
Menurut catatan Swenson, 81,1 dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-
laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan
pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Atresia ani dapat
mengakibatkan asidosis hiperkloremia, infeksi saluran kemih yang bisa
berkepanjangan, kerusakan uretra (akibat prosedur bedah), komplikasi jangka
panjang yaitu eversi mukosa anal, stenosis (akibat konstriksi jaringan perut
dianastomosis), masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training, inkontinensia (akibat stenosis anal atau impaksi), prolaps mukosa
anorektal dan fistula (karena ketegangan diare pembedahan daninfeksi). Masalah
tersebut dapat diatasi dengan peran aktif petugas kesehatan baik berupa promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative. Hal ini dilakukan dengan
pendidikankesehatan, pencegahan, pengobatan sesuai program dan memotivasi
klien agar cepat pulih sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan secara
optimal.

3
1.2Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum :
Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan kelainan Sistem
Pencernaan Atresia Ani.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Mampu melaksanakan pengkajian tentang keluhan utama masalah
Atresia Ani serta mampu menganalisa dan merumuskan diagnosa
keperawatan.
2. Mampu menyusus rencana diagnose tindakan keperawatan untuk
memenuhi kebutuhan pasien sesuai prioritas masalah.
3. Mampu menerapkan rencana keperawatan yang telah dibuat dalam
tindakannya atau untuk menentukan kebutuhan pasien.
4. Mampu mengevaluasi proses keperawatan yang telah diberikan terahadap
klien.

1.3Manfaat
1.3.1 Manfaat Penelitian

1. Bagi Orang Tua

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan informasi


bagi orang tua tentang pentingnya pengetahuan dan sikap dalam melakukan
perawatan kolostomi.

2. Bagi Pelayanan Keperawatan


Hasil penelitian ini dapat dijadikan intervensi kepada perawat yang
bekerja di lingkungan rumah sakit dalam memberikan pelatihan perawatan
kolostomi pada orang tua untuk merubah perilaku orang tua dalam melakukan
perawatan kolostomi.

3. Bagi Peneliti
Mendapatkan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian dan
memperkaya pengetahuan sebagai peran perawat peneliti dan memanfaatkan hasil
penelitian untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan anak.

4
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Teoritis Medis


2.1.1 Pengertian
Atresia Ani / Atresia Rekti adalah ketiadaan atau tertutupnya rectal
secara congenital (Dorland, 1998).
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
(Purwanto, 2001).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (
agung hidayat. 2009 )
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2001).
Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya
lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).

5
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar : Susunan Saluran Pencernaan (Syaifuddin, 2006).

Susunan saluran pencernaan terdiri dari :


1. Mulut
Mulut atau oris adalah permulaan saluran pencernaan yang terdiri atas 2
bagian yaitu :
a. Bagian luar yang sempit atau vestibula yaitu ruang di antara gusi, gigi,
bibir dan pipi.
b. Bagian rongga mulut bagian dalam, yaitu rongga mulut yang di batasi
sisinya oleh tulang maksilaris, palatum mandibularis, di sebelah belakang
bersambung dengan faring.
Selaput lendir mulut ditutupi epitelium yang berlapis-lapis, di bawahnya
terletak kelenjar-kelenjar halus yang mengeluarkan lendir. Selaput ini kaya akan
pembuluh darah dan juga memuat banyak ujung akhir saraf sensoris.

6
Di sebelah luar mulut ditutupi oleh kulit dan di sebelah dalam ditutupi
oleh selaput lendir (mukosa). Otot orbikularis oris menutupi bibir. Levator anguli
oris mengangkat dan depresor anguli oris menekan ujung mulut.
Palatum, terdiri atas 2 bagian yaitu :
Palatum durum (palatum keras) yang tersusun atas tajuk-tajuk palatum
dan sebelah depan tulang maksilaris dan lebih ke belakang terdiri dari 2 Palatum
yang dapat bergerak, terdiri mole (palatum lunak) terletak di belakang yang
merupakan lipatan menggantung atas jaringan fibrosa dan selaput lendir.
Gerakannya dikendalikan oleh ototnya sendiri, di sebelah kanan dan kiri dari tiang
fauses terdapat saluran lendir menembus ke tonsil.

2. Lidah
Lidah terdiri dari otot serat lintang dan dilapisi oleh selaput lendir, kerja
otot lidah ini dapat digerakkan ke seluruh arah.
Lidah dibagi atas tiga bagian, radiks lingua (pangkal lidah), dorsum
lingua (punggung lidah), dan apeks lingua (ujung lidah). Pada pangkal lidah yang
belakang terdapat epiglotis yang berfungsi untuk menutup jalan nafas pada waktu
kita menelan makanan, supaya makanan jangan masuk ke jalan nafas. Punggung
lidah (dorsum lingua) terdapat puting-puting pengecap atau ujung saraf pengecap.
Frenulum lingua merupakan selaput lendir yang terdapat pada bagian bawah kira-
kira di tengah, jika lidah digerakkan ke atas nampak selaput lendir. Flika
sublingua terdapat di sebelah kiri dan kanan frenulum lingua, di sini terdapat pula
lipatan selaput lendir. Pada pertengahan flika sublingua ini terdapat saluran dari
grandula parotis, submaksilaris, dan glandula sublingualis.
Fungsi lidah yaitu mengaduk makanan, membentuk suara, sebagai alat
pengecap dan menelan, serta merasakan makanan.

3. Faring
Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut dengan
kerongkongan (esofagus). Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel)
yaitu kumpulan kelenjar limfe yang banyak mengandung limfosit merupakan
pertahanan terhadap infeksi. Di sini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan
jalan makanan, letaknya di belakang rongga mulut dan rongga hidung, di depan
ruas tulang belakang, ke atas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung,
dengan perantara lubang bernama koana. Keadaan tekak berhubungan dengan
rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium.

7
Tekak terdiri dari bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring
bermuara tuba yang menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian
media disebut orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah,
sedangkan bagian inferior disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring
dengan laring.
Menelan (deglutisio), jalan udara dan jalan makanan pada faring terjadi
penyilangan. Jalan udara masuk ke bagian depan terus ke leher bagian depan
sedangkan jalan makanan masuk ke belakang dari jalan napas dan di depan dari
ruas tulang belakang. Makanan melewati epiglotis lateral melaui ressus piriformis
masuk ke esophagus tanpa membahayakan jalan udara. Gerakan menelan
mencegah masuknya makanan masuk ke jalan udara, pada waktu yang sama jalan
udara ditutup sementara.

4. Esofagus
Esophagus merupakan saluran yang menghubungkan tekak dengan
lambung, panjangnya ± 25 cm, mulai dari faring sampai pintu masuk kardiak di
bawah lambung. Lapisan dinding dari dalam keluar, lapisan selaput lendir
(mukosa), lapisan submukosa, lapisan otot melingkar sirkuler, dan lapisan otot
memanjang longitudinal.
Esophagus terletak di belakang trakea dan di depan tulang punggung.
Setelah melalui thorak menembus diafragma masuk ke dalam abdomen
menyambung dengan lambung.

5. Hati
Hati atau hepar adalah organ yang paling besar di dalam tubuh kita,
warnanya coklat dan beratnya kira-kira 1 ½ kg. Letaknya di bagian atas dalam
rongga abdomen di sebelah kanan bawah diafragma. Hati terdiri atas 2 lapisan
utama : permukaan atas berbentuk cembung, terletak di bawah diafragma, dan
permukaan bawah tidak rata dan memperlihatkan lekukan fisura transverses. Hati
mempunyai 2 jenis peredaran darah yaitu arteri hepatika dan vena porta.
Arteri hepatika, keluar dari aorta dan member 1/5 darah pada hati, masuk
ke hati akan membeku jaringan kapiler setelah bertemu dengan kapiler vena,
akhirnya keluar sebagai vena hepatika. Vena porta yang terbentuk dari lienalis dan
vena mesentrika superior menghantarkan 4/5 darahnya ke hati.

8
Fungsi hati :
a. Mengubah zat makanan yang di absorpsi dari usus dan yang disimpan di
suatu tempat dalam tubuh.
b. Mengubah zat buangan dan penawar racun untuk disekresi dalam
empedu dan urine.
c. Menghasilkan enzim glikogenik glukosa menjadi glikogen.
d. Sekresi empedu, garam empedu dibuat di hati, dibentuk dalam sistem
retikuloendotelium.
e. Menyiapkan lemak untuk pemecahan terakhir asam karbonat.

6. Lambung
Lambung atau gaster merupakan bagian dari saluran yang dapat
mengembang paling banyak terutama di daerah epigaster. Lambung terdiri dari
bagian atas fundus uteri berhubungan dengan esophagus melalui orifisium pilorik,
terletak di bawah diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah
kiri fundus uteri.
Sekresi getah lambung mulai terjadi pada awal orang makan. Bila
melihat makanan dan mencium bau makanan maka sekresi lambung akan
terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi lambung karena kerja saraf
menimbulkan rangsang kimiawi yang menyebabkan dinding lambung melepaskan
hormon yang disebut sekresi getah lambung. Getah lambung di halangi oleh
sistem saraf simpatis yang dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah
dan rasa takut.
Fungsi lambung :
1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan
oleh peristaltik lambung dan getah lambung.
2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :
a. Pepsin, fungsinya memecah putih telur menjadi asam amino (albumin
dan pepton).
b. Asam garam (HCL), fungsinya mengasamkan makanan, sebagai
antiseptic dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada
pepsinogen sehingga menjaddi pepsin.
c. Renin, fungsinya sebagai ragi yang membekukan susu dan
membentuk kasein dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).
d. Lapisan lambung jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam
lemak yang merangsang sekresi getah lambung.

9
7. Pankreas
Panjangnya kira-kira 15 cm, lebar 5 cm mulai dari deudenum sampai ke
limpa. Bagian dari pankreas : kaput pankreas, terletak di sebelah kanan rongga
abdomen dan di dalam lekukan deudenum yang melingkarinya. Korpus pankreas,
merupakan bagian utama dari organ ini, letaknya dibelakang lambung dan di
depan vertebra umbalis pertama. Ekor pankreas, bagian runcing di sebelah kiri
menyentuh limpa.

8. Usus halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pylorus dan berakhir pada sekum panjangnya ± 6
m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorpsi hasil
pencernaan yang terdiri dari lapisan usus halus (lapisan mukosa (sebelah di
dalam), lapisan otot melingkar (M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M.
longitudinal), dan lapisan serosa (sebelah luar).
Absorpsi makanan yang sudah dicerna seluruhnya berlangsung di dalam
usus halus melalui 2 saluran yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan seluruh
limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vilus berisi lakteal, pembuluh
darah epitelium dan jaringan otot yang diikat bersama oleh jaringan limfoid
seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar
dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang
diabsorpsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke
dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk
mengalami beberapa perubahan.
Fungsi usus halus :
a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui
kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe.
b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino.
c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida.

9. Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk
sepatu kuda melengkung ke kiri, pada lengkungan ini terdapat pankreas. Pada
bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang membukit disebut papilla
vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledokus) dan
saluran pankreas (duktus pankreatikus).

10
Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus
koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.
Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadi disakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam
amino atau albumin dan polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung
kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar Brunner, berfungsi untuk
memproduksi getah intestinum.

10. Jejunum dan ileum


Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar 6 m. Dua perlima bagian
atas adalah jejunum dengan panjang ± 23 m, dan ileum dengan panjang 4-5 m.
Lekukan jejunum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan
perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas dikenal sebagai
mesenterium.
Sambungan antara jejunum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas.
Ujung bawah ileum berhubungan dengan sekum dengan perantaraan lubang yang
bernama orifisium ileosekalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan
pada bagian ini terdapat katup valvula sekalis valvula baukhini yang berfungsi
untuk mencegah cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum.
11. Usus besar
Usus besar atau intestinum mayor panjangnya ± 1 ½ m, lebarnya 5-6 cm.
Lapisan-lapisan usus besar dari dalam keluar : selaput lendir, lapisan otot
melingkar, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah
menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri.
12. Sekum
Dibawah sekum terdapat apendiks vermiformis yang berbentuk seperti
cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya ditutupi
oleh peritoneum mudah bergerak walaupun tidak mempunyai mesenterium dan
dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang masih hidup.
13. Kolon asendens
Panjangnya 13 cm, terletak dibawah abdomen sebelah kanan, membujur
ke atas dari ileum ke bawah hati. Di bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan
ini disebut fleksura hepatika, dilanjutkan sebagai kolon transversum.

11
14. Apendiks (usus buntu)
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
mempunyai pintu keluar yang sempit tetapi masih memungkinkan dapat dilewati
oleh beberapa isi usus. Apendiks tergantung menyilang pada linea terminalis
masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal dibelakang sekum.
Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang apendiks bereaksi secara
hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan perforasi dindingnya ke dalam
rongga abdomen.

15. Kolon transversum


Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon desenden, berada dibawah
abdomen, sebelah kanan terdapat fleksura hepatika dan sebelah kiri terdapat
fleksura lienalis.

16. Kolon desendens


Panjangnya ± 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri membujur
dari atas ke bawah dan fleksura lienalis sampai ke depan ileum kiri, bersambung
dengan kolon sigmoid.

17. Kolon sigmoid


Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring
dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S, ujung bawahnya
berhubungan dengan rektum.

18. Rektum
Rektum terletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os sacrum
dan os koksigis. Organ ini berfungsi untuk tempat penyimpanan feses sementara.

19. Anus
Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang menghubungkan
rektum dengan dunia luar (udara luar). Terletak didasar pelvis, dindingnya
diperkuat oleh sfingter :
a. Sfingter ani interus (sebelah atas), bekerja tidak menurut
kehendak
b. Sfingter levator ani, bekerja juga tidak menurut kehendak.
c. Sfingter ani eksternus (sebelah bawah), bekerja menurut
kehendak.

12
Defekasi (buang air besar) didahului oleh transport. Feses ke dalam
rektum yang mengakibatkan ketegangan dinding rektum mengakibatkan
rangsangan untuk reflex defekasi sedangkan otot usus lainnya berkontraksi. M.
Levator ani relaksasi secara volunter dan tekanan ditimbulkan oleh otot-otot
abdomen.

2.1.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun
ada sumber yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena
ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu
atau 3 bulan.
d. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).

2.1.4 Manifestasi Klinik


Tanda dan gejala yang sering timbul, yaitu :
a. Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
b. Pada bayi wanita sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala
bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan jarang
rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.

13
c. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan
berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
d. Mekonium tidak keluar dalm 24 jam pertama setelah
kelahiran. (Suriadi,2001).
e. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
f. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
g. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir.
h. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
i. Tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula
j. Bila ada fistula pada perineum(mekoneum +) kemungkinan letak
rendah
k. Bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan
intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen
akan terlihat menonjol
(Ngastiyah, 2005)

Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital
saat lahir, seperti :
1. Kelainan sistem pencernaan terjadi kegagalan perkembangan anomali
pada gastrointestinal.
2. Kelainan sistem perkemihan terjadi kegagalan pada genitourinari

14
2.1.5 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian
belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang
merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena
adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada
kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan
usus besar yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat
dikeluarkan sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang
anus.
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M. levator ani (M.
puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rektum dengan kulit
perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel
ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani tetapi tidak
menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani sehingga jarak antara
kulit dan ujung rektum paling jauh 1 cm.

15
16
2.1.6 Komplikasi
1. Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2. Obstruksi intestinal
3. Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4. Komplikasi jangka panjang :
a. Eversi mukosa anal.
b. Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c. Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
e. Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f. Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi.
(Betz, 2002)

2.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan atresia ani menurut Aziz Alimul
Hidayat ( 2006 ), Suriadi dan Rita Yuliani ( 2001 ), Fitri Purwanto ( 2001 )
adalah sebagai berikut :
a. Penatalaksanaan Medis
1. Therapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan
keparahan defek. Untuk anomaly tinggi dilakukan colostomi beberapa
hari setelah lahir, bedah definitifnya yaitu anoplasti perineal ( prosedur
penarikan perineum abdominal ). Untuk lesi rendah diatasi dengan
menarik kantong rectal melalui sfingter sampai lubang pada kulit anal,
fistula bila ada harus ditutup. Defek membranosa memerlukan tindakan
pembedahan yang minimal yaitu membran tersebut dilubangi dengan
hemostat atau scalpel.
2. Pemberian cairan parenteral seperti KAEN 3B
3. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah
infeksi pada pasca operasi.
4. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

17
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Monitor status hidrasi ( keseimbangan cairan tubuh intake dan output )
dan ukur TTV tiap 3 jam.
2. Lakukan monitor status gizi seperti timbang berat badan, turgor kulit,
bising usus, jumlah asupan parental dan enteral.
3. Lakukan perawatan colostomy, ganti colostomybag bila ada produksi,
jaga kulit tetap kering.
4. Atur posisi tidur bayi kearah letak colostomy.
5. Berikan penjelasan pada keluarga tentang perawatan colostomy dengan
cara membersihkan dengan kapas air hangat kemudian keringkan dan
daerah sekitar ostoma diberi zing zalf, colostomybag diganti segera
setiap ada produksi.

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang
sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
a. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk
mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
b. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam sistem
pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi
oleh karena massa tumor.
c. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
d. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
e. Pemeriksaan fisik rektum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan
selang atau jari.

f. Rontgenogram abdomen dan pelvis


Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

18
2.2. TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN
2.2.1 Pengkajian
Konsep teori yang digunakan penulis adalah model konseptual
keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11
konsep yang meliputi :
I. Pola Persepsi Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di
rumah.
II. Pola Nutrisi dan Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umumnya terjadi pada pasien
dengan atresia ani post tutup kolostomi. Keinginan pasien untuk makan
mungkin terganggu oleh mual dan muntah dampak dari anastesi.
III. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka
tubuh dibersihkan dari bahan-bahan yang melebihi kebutuhan dan dari
produk buangan. Oleh karena itu pada pasien atresia ani tidak
terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami
kesulitan dalam defekasi.
IV. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menghindari kelemahan
otot.
V. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman dan
daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
VI. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri
pada luka insisi.
VII. Pola Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body
comfort. Tidak terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena
dampak luka jahitan operasi.
VIII. Pola Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah
sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggung jawab atau perubahan
kapasitas fisik untuk melaksanakan peran.
IX. Pola Reproduksi dan Seksual

19
Pola ini bertujuan untuk menjelaskan fungsi sosial sebagai alat
reproduksi.
X. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, dan
rumah.
XI. Pola Keyakinan
Untuk menerapkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama
yang dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini
diharapkan perawat memberikan motivasi dan pendekatan terhadap
klien dalam upaya pelaksanaan ibadah.
Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani biasanya
anus tampak merah, usus melebar, termometer yang dimasukkan melalui anus
tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengar hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam waktu 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urine dan vagina.

2.2.2 Diagnosa keperawatan


1. Pre Operasi
a. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya
pembentukan anus ditandai dengan bentuk tinja yang lembek.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah
ditandai dengan turgor kulit jelek.
c. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang penyakit dan prosedur perawatan ditandai dengan klien
tampak gelisah.

2. Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi
pembedahan ditandai dengan klien tampak meringis kesakitan.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia ditandai dengan BB klien menurun
c. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan ditandai
dengan adanya infeksi,peningkatan leukosit.
d. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan
perawatan dirumah ditandai dengan klien tidak memahami cara
perawatan untuk post operasi.

20
2.2.3 Intervensi keperawatan
I. Pre Operasi
1. Inkontinentia bowel berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan
anus ditandai dengan bentuk tinja yang lembek.
Tujuan : Terjadi peningkatan fungsi usus.
Kriteria Hasil :
a. Pasien menunjukkan konsistensi tinja lembek
b. Terbentuknya tinja
c. Tidak ada nyeri saat defekasi
d. Tidak terjadi perdarahan
Intervensi :
a. Lakukan dilatasi anal sesuai program.
Rasional : Meningkatkan kenyamanan pada anak.
b. Kaji bising usus dan abdomen setiap 4 jam.
Rasional : Menyakinkan berfungsinya usus.
c. Ukur lingkar abdomen klien.
Rasional : Membantu mendeteksi terjadinya distensi.
d. Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus
normal.
Rasional : Memulihkan dan mengembalikan fungsi usus.
2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah ditandai
dengan turgor kulit jelek.
Tujuan : Volume cairan terpenuhi
Kriteria Hasil :
a. Turgor kulit baik dan bibir tidak kering
b. TTV dalam batas normal
Intervensi :
a. Awasi masukan dan keluaran cairan.
Rasional : Untuk memberikan informasi tentang keseimbangan cairan
b. Kaji tanda-tanda vital seperti TD, frekuensi jantung, dan nadi.
Rasional : Kekurangan cairan meningkatkan frekuensi jantung, TD dan
nadi turun.
c. Observasi tanda-tanda perdarahan yang terjadi post operasi.
Rasional : Penurunan volume menyebabkan kekeringan pada jaringan.
d. Kolaborasi dalam pemberian cairan elektrolit sesuai indikasi.
Rasional : Untuk pemenuhan cairan yang hilang.

21
3. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan ditandai dengan klien tampak gelisah.
Tujuan : Rasa cemas dapat hilang atau berkurang.
Kriteria Hasil :
a. Ansietas berkurang
b. Klien tidak gelisah

Intervensi :
a. Kaji status mental dan tingkat ansietas dari klien dan keluarga.
Rasional : Derajat ansietas akan dipengaruhi bagaimana informasi
tersebut diterima.
b. Jelaskan dan persiapkan untuk tindakan prosedur sebelum dilakukan
operasi.
Rasional : Dapat meringankan ansietas terutama ketika tindakan operasi
tersebut dilakukan.
c. Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan
takutnya.
Rasional : Mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut
dapat ditujukan.
d. Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman.
Rasional : Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi ansietas.

2. Post Operasi
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
ditandai dengan klien tampak merigis kesakitan.
Tujuan : Nyeri dapat berkurang dan skala nyeri berkurang
Kriteria Hasil :
a. Klien mengatakan nyeri berkurang
b. Skala nyeri 0-1
c. Ekspresi wajah terlihat rileks

Intervensi :
a. Kaji karakteristik, lokasi, durasi, frekuensi, dan kualitas nyeri.
Rasional : Bantu klien untuk menilai nyeri dan sebagai temuan dalam

22
pengkajian.
b. Ajarkan klien manajemen nyeri dengan teknik relaksasi dan distraksi
Rasional : Membantu dalam menurukan atau mengurangi persepsi atau
respon nyeri. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan anjurkan klien
untuk istirahat
c. Rasional : Memberikan kenyamanan untuk klien agar dapat istirahat.
Kolaborasi untuk pemberian analgetik sesuai advis dokter.
Rasional : Untuk mengurangi rasa nyeri.

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


anoreksia ditandai dengan BB klien menurun.
Tujuan : Asupan nutrisi dapat terpenuhi dan menuunjukkan perbaikan
usus.
Kriteria Hasil :
a. Tidak terjadi penurunan BB.
b. Klien tidak mual dan muntah

Intervensi :
a. Kaji kemampuan klien untuk menelan dan menguyah makanan.
Rasional : Menentukan pemilihan jenis makanan sehingga mencegah
terjadinya aspirasi.
b. Timbang berat badan sesuai indikasi.
Rasional : Mengevaluasi keadekuatan rencana pemenuhan nutrisi.
c. Jaga keamanan saat memberikan makan klien seperti kepala sedikit fleksi
saat menelan.
Rasional : Menurunkan resiko terjadinya aspirasi dan mengurangi rasa
nyeri pada saat menelan
d. Berikan makanan lembut dalam porsi sedikit tapi seringRasioanl :
Meningkatkan pemasukan dan menurunkan distress gaster.

23
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan di tandai
dengan adanya infeksi,peningkatan leukosit.
Tujuan : Tidak ditemukannya tanda-tanda infeksi
Kriteria Hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi
b. Pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan peningkatan leukosit.
c. Luka post operasi bersih

Interversi :
a. Pantau suhu tubuh klien (peningkatan suhu).
Rasional : Demam dapat terjadi karena infeksi.
b. Ajarkan keluarga teknik mencuci tangan dengan benar dan
menggunakan sabun anti mikroba.
Rasional : Faktor ini paling sederhana tetapi paling penting untuk
mencegah infeksi di rumah sakit.
c. Pertahankan teknik aseptik pada perawatan luka.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi nosokomial.
d. Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
Rasional : Mencegah terjadinya infeksi luka.
e. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.
Rasional : Peningkatan leukosit menunjukkan adanya infeksi.

4. Kurangnya pengetahuan keluarga berhubungan dengan kebutuhan


perawatan dirumah ditandai dengan klien tidak memahami cara
perawatan untuk post operasi.
Tujuan : Pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah
Kriteria Hasil :
a. Kelurga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawatan untuk
bayi di rumah.
b. Keluarga tahu dan memahami dalam memberikan perawatan pada
klien.

Intervensi :
a. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan.
Rasional : Agar keluarga dapat melakukannya.

24
b. Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala yang perlu dilaporkan
perawat.
Rasional : Agar segera dilakukan tindakan.
c. Ajarkan keluarga cara perawatan luka yang tepat.
Rasional : Dapat memberikan pengetahuan keluarga
d. Latih keluarga untuk kebiasaan defekasi.
Rasional : untuk melatih pasien.
e. Ajarkan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat).
Rasional : Membantu klien memperlancar defekasi.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Hidayat, A. Azis Alimul . (2006) . Pengantar Ilmu Anak buku 2. Editor Dr


Dripa Sjabana
2. Purwanto, Fitri (2001). Buku Pedoman Rencana Asuhan Keperawatan
Bedah Anak.Jakarta : Amarta Jakarta.
3. Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri
Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4. Jakarta :
EGC.

26

Anda mungkin juga menyukai