Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN


KRITIS PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA DIFTERI
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

Oleh :
AJENG RAHMA MIAJI
NIM. 40219002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN
KRITIS PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA DIFTERI
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : AJENG RAHMA MIAJI

NIM : 40219002

PRODI : PENDIDIKAN PROFESI NERS

PEMEBIMBING INSTITUSI PEMEBIMBING LAHAN (CI)

(………………………………….) (………………………………….)
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS PADA
PASIEN DENGAN DIAGNOSA DIFTERI
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

A. DEFINISI
Menurut Hartoyo (2018) Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif
anaerob. Penyakit ini ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan
pada pemeriksaan ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau
rongga hidung. Difteri adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak
langsung atau droplet dari penderita. Pemeriksaan khas menunjukkan
pseudomembran tampak kotor dan berwarna putih keabuan yang dapat
menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil dan meluas ke struktur
yang berdekatan sehingga dapat menyebabkan bull neck. Membran mudah
berdarah apabila dilakukan pengangkatan.
Difteri merupakan penyakit akut yang sangat menular yang terjadi secara
local pada mukosa saluran pernafasan atau kulit yang disebabkan oleh basil
gram positif Corynebacterium diphtheriae, ditandai oleh terbentuknya eksudat
yang berbentuk membram pada tempat infeksi (Nurarif & Amin, 2015)

B. ETIOLOGI

Difteri adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Corynebacterium


diphtheriae, yang dapat menghasilkan eksotoksin bila diinsersi Corynephage
yang membawa gen diphtheria toxin (dtx). Corynebacterium ulcerans dan
Corynebacterium pseudotuberculosis juga dapat menghasilkan eksotoksin dan
menyebabkan penyakit yang mirip difteri (diphtheria - like diseases) (Fitrina,
2014).

C. KLASIFIKASI
Berikut ini adalah beberapa jenis difteri menurut lokasinya (Hartoyo, 2018) :
1. Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi,
menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan
pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas
merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit
tenggorokan merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien
memiliki gejala demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara
serak, malaise atau sakit kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan
pembentukan membran tonsilar baik uni maupun bilateral yang bisa meluas
ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis yang dimediasi oleh toksin),
palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx, atau area glotis.
2. Difteri hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan gejala
pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung
berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian mukopurulen,
menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada pemeriksaan tampak
membran putih pada daerah septum nasi. Absorpsi toksin sangat lambat
dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat
dibuat.
3. Difteri tonsil dan faring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam ringan, dan
nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran yang mudah
perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan
dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring
dan trakea. Dapat terjadi limfadenitis servikalis dan submandibular, bila
limfadenitis terjadi bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang
luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun bilateral,
disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa
terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan
terjadi secara berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis.
Pada kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya
terjadi penyembuhan sempurna.
4. Difteri laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring karena mukosa
laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa
faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala
klinis difteria laring sukar dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti
nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal, interkostal, dan
supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang menutup jalan nafas
bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas
ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria laring terjadi sebagai
perluasan dari difteria faring maka gejala yang tampak merupakan
campuran gejala obstruksi dan toksemia. Grafik 2. Case fatality rate
berdasarkan kelompok umur

5. Difteri kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus
superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya,
sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan
biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi,
difteri merupakan infeksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka bakar,
tersengat atau impetigo. Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher
atau kepala. Infeksi simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus
respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil
penderita difteria kulit.
6. Difteri pada tempat lain
diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada tempat lain,
seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan ulseratif
konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif vulvovaginitis).
Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan membran dan perdarahan
submukosa membantu dalam membedakan difteria dari penyebab bakteri
lain dan virus. Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa
kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga
berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

Menurut tingkat keparahannya, difteri dibagi menjadi tiga , yaitu (Sudoyo,


2009) :
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa
hidungf dan gejala hanya pilek dan nyeri waktu meneln
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring
dan laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak
3. Infeksi berat , apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis, dan
nefritis.

D. PATOFISIOLOGI
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat
berkembang biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi
eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut
kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan
dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan
menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang
kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada
keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk
pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah
berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring,
bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat
menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri
pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak
reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.
Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah
jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati.
Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan
gangguan pernafasan (Fitrina, 2014).
 Cara Penularan
Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena
kontak dekat dengan kasus atau carier. Penularan dari manusia ke manusia
secara langsung umumnya terjadi melalui droplet (batuk, bersin,
berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge dari
lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu, baju, buku dan
barang-barang yang terkontaminasi karena bakteri cukup resisten terhadap
udara panas, suhu dingin dan kering (Fitrina, 2014).
o Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari)
o Periode Penularan
a. Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari ke-
empat setelah terapi dengan antibiotik yang efektif dimulai.
b. Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan
lesi kulit masih dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.
a. Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai
enam bulan lebih setelah terinfeksi.

E. MANIFESTASI KLINIS
Tergantung pada berbagai faktor, manifestasi penyakit ini bisa bervariasi dari
tanpa gejala sampai keadaan berat dan fatal. Sebagai faktor primer adalah
imunitas pejamu, virulensi serta toksigenitas C. diphteriae (kemampuan
kuman membentuk toksin) dan lokasi penyakit secara anatomis. Difteria
mempunyai masa tunas 2-6 hari (Hartoyo, 2018). Gejala difteri tergantung
kepada lokasi infeksi, imunitas penderitanya, ada tidaknya toksin difteri yang
beredar dalam sirkulasi darah. Secara umum manifestasi pada difteri adalah
sebagai berikut (Nurarif &Amin , 2015) :
1. Demam yang tidak tinggi (sekitar 380C)
2. Kerongkongan sakit dan suara parau
3. Perasaan tidak enak, mual, muntah, dan lesu
4. Sakit kepala
5. Rinorrhea, berlendir kadang-kadang bercampur darah

Menurut Fitriana (2014) Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap,
yaitu:
1. Early
 Terdapat pseudomembran
 Stridor (difteri laringeal)
 Sakit tenggorokan (difteri faringotonsilar)
 Blood-stained nasal discharge (difteri nasal)
 Hoarseness (difteri laringeal)
 Swollen tender cervical lymph nodes
2. Severe
 Swelling dan eodema leher (“bull neck”)
 Petekie haemorhagik submukosa atau kulit
 Kolaps toksik sirkulasi
 Insufiensi renal akut
3. Late
 Miokarditis
 Paralisis bibir
 Paralysis soft palatum
 Paralisis diafragma
 Blurred vision

F. KOMPLIKASI
Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas,
miokarditis, paralisis otot palatum, otitis media dan juga dapat menyebar ke
paru-paru menyebabkan pneumonia (Hartoyo, 2018).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG/ DIAGNOSTIK


Pemeriksaan penunjang untuk memperkuat diagnosis pada difteri yaitu
(Nurarif & Amin, 2015) :
1. Bakteriologik : preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa
hiding dan tenggorokan (Nasofaringeal swab)
2. Darah Lengkap 9hb, leukosit, hiting jenis, eritrosit, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein dan sedimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan Kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot
jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu ,
kecuali bila ada indikasi bissa dilakukan 2-3x seminggu
7. Pemeriksaan radiografi thoraks untuk mengecek adanya hiperinflasi
8. Test schick
Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes
ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa
hari kemudian. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang
diberikan intrakutan dalam bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak
0,1 ml bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin akan timbul vesikel
pada bekas suntikan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang
mengandung titer antitoksin yang rendah uji schick dapat positif, pada
bekas suntikan akan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji
schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat
suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung
antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi
terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
H. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang
terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta
mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.
1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3
minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria
laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
2. Khusus
Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan
segera setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada
hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun,
dengan penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini
bisa meningkat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji
kulit atau uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi
anafilaktik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam
semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dakam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam
20 menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan
1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis.
Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung
pada berat badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam
fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap
kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian
antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor
terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
3. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50
mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram
per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous
pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV atau
IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi
setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan
difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus
dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari hidung dan
tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai. Terapi
dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae.
4. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala :
a. Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak
bullneck)
b. Bila terdapat penyulit miokarditis.
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan
dosisnya bertahap.
5. Pengobatan penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap
baik. Penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila
tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
6. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan
berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis
diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan
observasi harian. Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan
booster toksoid difteria.
7. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji
Schick negatif tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari
oral/iv atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin
diperlukan tindakan tonsilektomi/ adenoidektomi.
(Hartoyo, 2018).

I. PENCEGAHAN
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah
seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah
sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT
dan pengobatan karier. Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu
yang kebal terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif
yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi
DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas
ambang pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali
imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan
uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan
imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4-6 minggu.
Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan
imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah lengkap
imunisasi primer (<1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18
bulan dan 5 tahun.
• DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
• DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
• Td untuk usia 7 tahun keatas
(Hartoyo, 2018)
J. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
1. Pengkajian
a. Identitas: dapat terjadi pada semua golongan umur, namun sering
dijumpai pada anak (usia 1-10 tahun).
b. Keluhan utama: Biasanya pasien datang dengan keluhan kesulitan
bernapas pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan, dan bengkak pada
tenggorokan/leher.
c. Riwayat kontak dengan keluarga perlu dikaji.
2. Pemeriksaan fisik:
a. Pernapasan, sulit bernapas, produksi sputum meningkat, dspneu, pada
tenggorakan ada luka, edema mukosa, pembesaran kelenjar getah
bening, pernapasan cepat dan dangkal, penggunaan otot bantu
pernapasan, terdengar wheezing (auskultasi). terdapat
pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullneck. Pada
difteri laring terdapat stridor, suara parau, dan batuk kering, sementara
pada obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra sternal,
subkostal, dan supra klavikula.Pada difteri hidung terdapat pilek
ringan, sekret hidung yang serosanguinus sampai mukopurulen, dan
membran putih pada septum nasi. Selain itu, difteri hidung bila
penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah.
b. Nutrisi
Tidak nafsu makan, sulit menelan, turgor kulit menurun, berat badan
menurun, edema, laring, faring.
c. Aktivitas
Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, kurang tidur, penurunan
kemampuan, beraktivitas, pusing, fatique, insomnia.
d. Sirkulasi
Nadi meningkat (takikardi), aritmia, interaksi sosial, merasa tergantung,
pembatasan mobilitas fisik.
e. Pada difteritonsil-faring terdapat malaise,
f. suhu tubuh lebih dari 38,9oC
g. mulut dan leher
Difteri faring dan tonsil, terlihat pembengkakan kelenjar leher. Juga akan
tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga
mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).
h. Difteri kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan
pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya tetapi
tidak nyeri.

3. Diagnosa keperawatan
a. Penurunan curah jantung b.d perubahan kontraktilitas jantung
b. Bersihan jalan nafas ridak efektif b.d. spasme jalan nafas
c. Hiperthermia b.d. proses penyakit
d. Nyeri akut b.d.agen pencidera fisiologis
e. Resiko defisit nutrisi b.d. ketidakmampuan menelan makanan
f. Ansietas b.d kurangnya terpapar informasi
4. Intervensi keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
1. Penurunan curah jantung b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Jantung
perubahan kontraktilitas jantung diharapkan curah jantung meningkat dengan 1. Observasi
luaran :  Identifikasi tanda gejala primer penurunan curah
a Kekuatan nadi perifer meningkat jantung (meliputi diosnea, kelelahan, edema,
b Palpitasi, bradikardi, peningkatan CVP)
takikatdia,gambaran EKG aritmia, lelah,  Identifikasi tanda gejala skunder penurunan curah
edema menurun jantung (meliputi peningkatan berat badan,
c Suara jantung S3 S4 menurun hepatomegali, distensi vena jugularis, palpitasi, ronchi
d Tekanan darah membaik abasah, oliguria, batuk , kulit pucat)
 Monitor tekanan darah
 Monitor intake output cairan
 Monitor EKG
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor aritmia
 Monitor nilai laborat jantung
2. Terpeutik
 Posisikan semi fowler atau fowloer dengan kaki
kebawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai
 Beri oksigen untuk mempertahankan saturasij oksigen
>94%
3. Edukasi
 Anjurkan beraktifitas fisik sesuai toleransi
 Anjurkan pasien dan keluarga untuk mengukur intake
dan output cairan harian
 Anjurkan beraktifitas fisik secara bertahap
4. kolaborasi
 kolaborasi pemberian anti aritmia jika perlu
 rujuk ke program rehabilitasi jantung
2. Bersihan jalan nafas ridak efektif Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Management Jalan Nafas
b.d. spasme jalan nafas keperawatan diharapkan masalah bersihan 1. Observasi
jalan nafas dapat teratasi  Monitor pola nafas (frekuensi, kedalaman, dan usaha
Kriteria hasil : nafas)
- Produksi sputum menurun
- Tidak ada suara nafas tambahan  Monitor bunyi nafas tambahan (mis. Gurgling, mengi,
- Pola nafas membaik wheezing, ronchi)
- Frekuensi nafas membaik  Monitor sputum
2. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan nafas (posisi jaw trust/head
till chin lift)
 Posisikan semi fowler atau fowler
 Berikan minum hangat
 Berikan oksigen tambahan
3. Edukasi
 anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari , jika tidak
kontraindikasi
 ajarkan tehnik batuk efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektor,
mukolitik, jika perlu
3. Hiperthermia b.d. proses Setelah dilakukan tindakan perawatan, pasien Management hiperthermia
penyakit mengalami keseimbangan termoregulasi 1. observasi
dengan luaran :  Monitor TTV (suhu, nadi, RR, TD)
 Suhu tubuh dalam rentang normal 36,5  Monitor Intake output cairan
0
C – 37,5 0C  Monitor komplikasi akibat demam (mis. Kejang,
 Nadi dan RR dalam rentang normal penurunan kesadaran, kadar elektrolit abnormal,
 perfusi perifer baik (tidak ada perubahan ketidakseimbangan asam basa, aritmia)
warna kulit, CRT<2dtk) 2. Terapeutik
 Tidak ada pusing  Tutupi badan dengan selimut / pakaian dengan tepat (
mis. Selimut / pakaian tebal saat merasa dingin, dan
Selimut / pakaian tipis saat merasa panas
 Lakukan tepid sponge jika perlu
 Berinoksigen jika perlu
3. Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan memperbanyak minum
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
 Kolaborasi pembrian antipiretik jika perlu
 Kolaborasi pemberian antibiotik jika perlu
4. Nyeri akut b.d.agen pencidera Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Observasi
fisiologis diharapkan tingkat nyeri menurun dengan  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi , frequensi
luaran : kualitas dan intensitas nyeri
 tingkatan nyeri menurun  Identifikasi skala nyeri
 Kontrol nyeri meningkat  Identifikasi respon nyeri non verbal
 Kemampuan mengenali nyeri  Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
meningkat  Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
 Status kenyamanan meningkat  Monitor penggunaan efek samping analgetik
2. Terapeutik
 Berikan tehnik non-farmakologis untuk mengurani
rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang dapat memperberat nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
3. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan memonitor nyeri secara mandiri
 Ajarkan terapi non farmakologis untuk mengurangi
nyeri
4. Kolaborasi : pemberian analgetik jika perlu
5. Resiko defisit nutrisi b.d. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi
ketidakmampuan menelan keperawatan nutrisi dapat terpenuhi 1. Observasi :
makanan Kriteria hasil :  Identifikasi status nutrisi
- Porsi makanan yang dihabiskan  Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
meningkat  Identifikasi makanan yang disukai
- Kekuatan otot menelan meningkat  Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
- Serum albumin meningkat  Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
- Nyeri abdomen menurun  Monitorasupan makanan
- Berat badan membaik  Monitor berat badan
- IMT membaik
 Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
- Kekuatan otor mengunyah, menelan
2. Terapeutik
meningkat
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
- Berat badan, freq. Makan, nafsu akan,
 Fasilitasi menentukan pedoman diet
bising usus membaik
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan
 Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik
jika asupan oral dapat ditoleransi
3. Edukasi
 Anjurkan posisi duduk
 Ajarkan diet yang diprogramkan
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan
6. Ansietas b.d kurangnya terpapar Setelah dilakukan tindakan keperawatan Reduksi Ansietas
informasi diharapkan ansieas menurun dengan luaran : 1. Observasi
a. Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang  Identifikasi kemampuan mengambil keputusan
dihadapi menurun  Monitor adanya randa-tanda ansietas (verbal dan non
b. Perilaku gelisah, tegang menurun verbal
c. Konsentrasi dan pola tidur membaik 2. Terpeutik
d. Perasaan keberdayaan membaik  Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan
kepercayaan
 Pahami situasi yang membuat ansietas
 Dengarkan dengan penuh perhatian
 Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
 Diskusikan perencanaan realitas tentang peristiwa
yang akan datang
3. Edukasi
 Jelaskan prosedur, termasuk sensasi yang mungkin
dialami
 Informasikan secara faktual mengenai diagnosis,
pengobatan, dan prognosis
 Anjurkan keluarga untuk tetap bersama pasien jika
perlu
 Anjurkan mengungkapkan perasaandan persepsi
 Latih kegiatan pengalihan untuk mengurangi
ketegangan
 Latih penggunaan mekanisme pertahanan diri yang
tepat
 Latih tehnik relaksasi
4. kolaborasi
 kolaborasi pemberian obat ansietas, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA

Fitriana, Harli Novriani . 2014. Penatalaksanaan Difteri. J Indon Med Assoc, Volum:
64, Nomor: 12, Desember 2014. Puslitbang Sumber Daya dan Pelayanan
Kesehatan, Balitbangkes,Kemenkes RI, Jakarta, Indonesia
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan

Hartoyo, Edi. 2018. Difteri pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 19, No. 5, Februari 2018.
RSUD Ulin, Banjarmasin

Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta:EGC

PPNI. 2018. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

__________. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

__________. Standart Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Sudoyo, Aru., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta :
Internal Publishing

Anda mungkin juga menyukai