Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN


KRITIS PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA HEMOFILIA
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

Oleh :
AJENG RAHMA MIAJI
NIM. 40219002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2019
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN
KRITIS PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA HEMOFILIA
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : AJENG RAHMA MIAJI

NIM : 40219002

PRODI : PENDIDIKAN PROFESI NERS

PEMEBIMBING INSTITUSI PEMEBIMBING LAHAN (CI)

(………………………………….) (………………………………….)
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS PADA
PASIEN DENGAN DIAGNOSA HEMOFILIA
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR

A. DEFINISI
Hemofilia adalah suatu kelainan pembekuan darah yang biasanya
disebabkan defisiensi faktor pembekuan yang sifatnya diturunkan ataupun
didapat. Secara umum, tanda dan gejala hemofilia dialami oleh laki-laki,
sedangkan perempuan hanya bersifat sebagai pembawa sifat. (Wa'u, 2017)
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter ata didapat yang paling
sering dijumpai , bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermitten (Nurarif
& Amin, 2015).

B. ETIOLOGI
Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik
sexlinked resesif dan autosomal resesif, dimana perdarahan dapat terjadi tanpa
penyebab trauma yang jelas atau berupa perdarahan spontan. Hemofilia adalah
kelainan perdarahan herediter akibat defisiensi kongenital faktor pembekuan
darah. Faktor pembekuan yang paling sering terganggu adalah faktor VIII (FVIII)
pada hemofilia A dan faktor IX (FIX) pada hemofilia B. Defisiensi faktor
pembekuan ini merupakan kelainan perdarahan resesif terkait kromosom X (X-
linked) yang hampir selalu terjadi pada laki-laki (Prasetyawaty,dkk., 2016).
SIFAT HEMOFILIA
Hemofilia kelainan herediter yang terjadi pada darah ditandai dengan darah yang
sukar membeku ketika keluar dari tubuh seperti terjadi pada luka. Penyakit
hemofilia jika terjadi pada seorang perempuan maka akan menimbulkan fetal
death yaitu mati sejak masih dalam kandungan saat masih berbentuk embrio. Oleh
sebab itu tidak pernah dijumpai perempuan yang menderita hemofilia sehingga
yang ada adalah perempuan sebagai carrie saja. Berdasarkan hukum Mendel maka
pewarisan sifat hemofilia adalah sebagai berikut:
1) Seorang laki-laki hemofilia dapat lahir dari pasangan ibu carier dan bapak
normal dan dari ibu carier dan bapak hemofilia.
2) Seorang laki-laki hemofilia dapat lahir dari pasangan ibu carier dan bapak
hemofilia.
3) Seorang ayah yang hemofilia tidak akan mewariskan sifat hemofilia kepada
anak laki-lakinya, tetapi mewariskannya kepada anak perempuannya.
(Sriyanti, 2016)

C. KLASIFIKASI

Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen –gen faktor VIII(FVIII) atau faktor
IX(FIX) diklasifikasikan sebagai hemofilia A atau B kedua gen ini terletak pada
kromosom X, menyebabkan gangguan resesif terkait –X. Oleh karena itu pada
semua anak perempuan dari anak laki-laki pendrita hemofilia adalah akrier
penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena, anak laki-laki dari perempuan yang
karier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofelia
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked
recessive yaitu (Nurarif & Amin, 2015). :
1. Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat akibat defisiensi atau disfungsi factor
pembekuan VIII.
2. Hemofilia B (cristmas disease) akibat defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor IX.
Legg mengklasifikasikan hemofilia menjadi (Nurarif & Amin, 2015). :

Berat Sedang Ringan


Aktivitas f VIII/F IX-U/ml <0,01 (<1) 0,01-0,05(1-5) >0,05(>5)
(%)
Frekuensi hemofilia A (%) 70 15 15

Frekuensi hemofilia B (%) 50 30 20


Usia awitan < 1 tahun 1-2 tahun >2 tahun
Gejala neonatus Sering PCB Sering PCB Ta pernah PCB
kejadian ICH Jarang ICB Jarang sekali
ICB
Pendarahan otot/sendi Tampa trauma Trauma ringan Trauma cukup
kuat
Perdarahan Ssp Resiko tinggi Resiko sedang Jarang

Pendarahan post operasi Sering dan fatal Butuh bebat Pada operasi
besar
Pendarahan oral ( trauma Sering terjadi Dapat terjadi Kadang terjadi
cabut Gigi)
Ket : PCB : post circumcisional bleeding
ICH : intracranial hemorrhage
D. Proses Pembekuan Darah (Hemostasis)
Hemostasis adalah kemampuan alami dan merupakan proses normal sebagai
respon untuk menghentikan perdarahan pada lokasi luka oleh spasme pembuluh
darah, adhesi trombosit dan keterlibatan aktif faktor koagulasi, adanya koordinasi
dari endotel pembuluh darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Fungsi utama mekanisme koagulasi adalah menjaga keenceran darah (blood
fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik, serta
membentuk thrombus sementara atau hemostatic thrombus pada dinding
pembuluh darah yang mengalami kerusakan (vascular injury).
Komponen-komponen yang berperan dalam Hemostasis terdiri dari
beberapa faktor diantaranya yaitu: pembuluh darah (kolagen), trombosit,
procoagulant plasma protein faktors, natural anticoagulant proteins, protein
fibrinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam
jumlah cukup, dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat
menjalankan faal hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu
terjadinya thrombosis disebut sebagai sifat prothrombotik dan dapat juga
menghambat proses thrombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat
antithrombotik. Faal hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan
antara faktor prothrombotik dan faktor antithrombotik.
Proses pembekuan darah merupakan mekanisme bertingkat yang
melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya.
Pada tahap terakhir pembekuan darah, trombin akan mengubah fibrinogen
menjadi serat atau benang-benang fibrin yang dapat menjaring komponen-
komponen darah yang berukuran besar, sel darah merah, dan plasma sehingga
terbentuk bekuan darah. Jika terjadi luka atau kerusakan jaringan dan berdarah,
tubuh akan berusaha untuk menghentikan pendarahan dengan cara menutup luka
oleh pembekuan darah, atau bisa disebut blood clotting.
Banyak terdapat zat-zat penting yang mempengaruhi pembekuan darah
yang berada di dalam darah dan jaringan, beberapa di antaranya mempermudah
terjadinya pembekuan disebut prokoagulan dan yang lain menghambat
pembekuan, disebut antikoagulan. Dalam keadaan normal, antikoagulan lebih
dominan sehingga darah tidak membeku, tetapi bila pembuluh darah rusak,
prokoagulan di daerah yang rusak menjadi teraktivasi dan melebihi aktivitas
antikoagulan, dan bekuan pun terbentuk. Dari mekanisme yang berperan dalam
hemostasis, pembekuan darah terjadi melalui tiga langkah utama:
a Sebagai respons teradap rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu
sendiri, maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah
yang melibatkan –faktor-faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah
terbentuknya suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif
disebut activator protrombin.

b Activator protrombin mengkatalisis pengubahan protrombin mejadi trombin.

c Trombin bekerja sebagai enzim untuk mengubah fibrinogen menjadi benang


fibrin yang merangkai trombosit, sel darah, dan plasma untuk membentuk
bekuan.
Terdapat beberapa faktor pembekuan darah yang menyebabkan terhentinya
perdarahan. Proses yang mengawali pembentukan bekuan fibrin sebagai respon
terhadap cedera jaringan diperankan oleh lintasan di luar pembuluh darah.
Sedangkan lintasan yang berada di dalam pembuluh darah terjadi karena pengaruh
dari protein kolagen dan kalikrein di dalam tubuh.

1. Faktor- Faktor Pembekuan Darah

Untuk menghentikan terjadinya perdarahan selain diperankan oleh


vaskuler dan trombosit, faktor-faktor pembekuan darah memegang peran
yang sangat penting untuk menutup luka. Terdapat tiga belas faktor
pembekuan di dalam tubuh manusia diantaranya, yaitu:

a. Faktor I (Fibrinogen )
Fibrinogen merupakan salah satu pembekuan darah atau koagulasi yang
melibatkan protein plasma sehingga dapat berubah menjadi benang fibrin
melalui proses yang diperankan oleh trombin. Seseorang yang
mengalami kekurangan fibriogen disebut afibrinogenemia atau yang
lebih dikenal dengan hypofibrinogenemia. Gejala kekurangan fibrinogen
ini yaitu terjadinya perdarahan yang memanjang

Fibrinogen akan diubah menjadi fibrin berbentuk benang oleh adanya


thrombin. Fibrinogen ini diproduksi di dalam hati dan berperan sebagai
protein phase akut. Fibrinogen pada orang dewasa normal berkisar
antara 200-400 mg/dl. Atau sekitar 2-4 gram/L. pada bayi yang baru lahir
jumlah fibrinogen sekitar 125-300 mg/dl. Nilai kritisnya adalah < 100
mg/dl. Di dalam kondisi tertentu, fibrinogen terjadi peningkatan pada
keadaanimplamasi, infeksi (rheumatoid arthritis, pneumonia,
tuberkulosos), Infark myocardial akut, penyakit jantung coroner,
kehamilan dan preklamsia. Dalam keadaan dimana kadar fibrinogen
menurun ditemukan pada kondisi penyakit hati (hepatitis, serosis), DIC,
kanker, fibrinolysis primer, malnutrisis, transfuse darah, kanker lanjut.
b. Faktor II (Prothrombin)
Fungsi sebagai protein plasma dan akan dikonversi menjadi bentuk
yang aktif berupa trombin (faktor IIa) melalui pembelahan dengan
aktivasi faktor X (Xa) di jalur umum dari pembekuan. Fibrinogen
trombin kemudian memotong ke bentuk aktif fibrin. Kekurangan
protrombin dapat mengakibatkan hypoprothrombinemia. Prothrombin
merupakan salah satu pembekuan darah atau koagulasi yang melibatkan
protein plasma sehingga dapat berubah menjadi senyawa aktif trombin
(faktor IIa) melalui proses pembelahan yang mengaktifkan salah satu
faktor yaitu X (Xa) yang berada di jalur umum dari proses pembekuan
.Thrombin di dalam tubuh diproduksi di hati yang biasa disebut
prothrombin. Gene penanda prothrombin berada pada lokasi kromosom
#11. Kekuarangan faktor pembekuan dan vitamin K akan berakibat pada
perubahan prothrombin untuk merubah menjadi thrombin. Thrombin
berperan sebagai enzim dan hampir sebagian berat molekul adalah
prothrombin. Thrombin mengubah larutan plasma protein menjadi
bekuan fibrin yang komplek yang disebut benang fibrin.
c. Faktor III (Thromboplastin, Tissue Thromboplastin)
Factor III atau thromboplastin jaringan berperan sebagai aktivasi
faktor VII untuk membentuk trombin.Jaringan Tromboplastin koagulasi
faktor yang berasal dari beberapa sumber yang berbeda dalam tubuh,
seperti otak dan paru-paru; Jaringan Tromboplastin penting dalam
pembentukan prothrombin ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di Jalur
koagulasi ekstrinsik. Disebut juga faktor jaringan. Jaringan
Tromboplastin: merupakan salah satu faktor pembekuan darah atau
koagulasi yang berasal dari sejumlah sumber yang berbeda didalam
tubuh, misalnya seperti otak serta paru-paru.
d. Faktor IV (Ion Calcium) (Font: Calibri, size 12)
Ion Kalsium adalah ion Ca 2+, yang mempunyai bilangan oksidasi
2 dan termasuk logam alkali. Dalam system periodic unsur-unsur
Kalsium termasuk dalam gol. II A. Ion Kalsium bisa berikatan dengan
ion OH- membentuk senyawa Ca(OH)2 atau calsium hidroksida. Dalam
tubuh ion Kalsium terdapat di dalam system pembekuan darah, yang
termasuk faktor pembekuan faktor IV, yang ada di dalam darah dan
jaringan berbentuk ion bebas yang suatu saat bisa berikatan dengan ion
lainnya. Factor IV atau ion kalsium adalah sejenis ion yang fungsinya
digunakan disemua proses pembekuan darah pada setiap jalur
pembekuan.Kalsium ini merupakan sebuah faktor koagulasi yang
diperlukan dalam fase pembekuan darah jalur pembekuan intrinsic, jalur
pembekuan ekstrinsik dan pada jalur pembekuan bersama dan berbentuk
ion yang setiap saat akan mudah berikatan dengan bentuk ion yang lain.
e. Faktor V (Proakselerin, Labil Factor)
Factor pembekuan faktor V atau Proaccelerin merupakan salah satu
faktor pembekuan darah atau koagulasi dalam menyimpan panas, yang
ada didalam plasma, memiliki fungsi intrinsik dan ekstrinsik yang berada
di dalam jalur koagulasi. Proaccelerin melakukan katalisis atau
pembelahan prothrombin trombin yang masih aktif. Seseorang yang
mengalami kekurangan faktor ini, akan memiliki darah yang langka yang
biasa disebut dengan parahemophilia, pada tahapan yang parah disebut
dengan akselerator globulin. Fungsi faktor V ini sebagai sistem intrinsik
dan ekstrinsik dan juga sebagai katalisis pembelahan protrombin trombin
yang aktif. Kekurangan faktor Proakselerin dapat mengakibatkan
parahemophilia. Proaccelerin sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang
relatif labil dan panas, yang ada dalam plasma, tetapi tidak ada di dalam
serum, dan fungsi baik di intrinsik dan ekstrinsik koagulasi jalur.
Proaccelerin mengkatalisis pembelahan prothrombin trombin yang aktif.
Kekurangan faktor ini, sifat resesif autosomal, mengarah pada
kecenderungan berdarah yang langka yang disebut parahemophilia,
dengan berbagai derajat keparahan. Disebut juga akselerator globulin.
f. Faktor VI (unknown)
Factor pembekuan faktor VI atau faktor yang belum diketahui
(unknown), Faktor ini sudah tidak dipakai lagi karena fungsinya sama
seperti faktor V.Sebuah faktor koagulasi sebelumnya dianggap suatu
bentuk aktif faktor V, tetapi tidak lagi dianggap dalam skema hemostasis.
g. Faktor VII (Prokonvertin, Stabil Factor)
Factor pembekuan faktor VII atau prokonvertin berfungsi sebagai
sistem yang bekerja di dalam jalur intrinsik.Proconvertin ini merupakan
sebuah faktor koagulasi penyimpanan yang relatif stabildan panas dan
berpartisipasi dalam Jalur koagulasi ekstrinsik. Hal ini diaktifkan oleh
kontak dengan kalsium, dan bersama dengan mengaktifkan faktor III itu
faktor X. Defisiensi faktor Proconvertin, yang mungkin herediter
(autosomal resesif) atau diperoleh (yang berhubungan dengan
kekurangan vitamin K), hasil dalam kecenderungan perdarahan. Disebut
juga serum prothrombin konversi faktor akselerator dan stabil.
Proconvertin merupakan salah satu faktor pembekuan darah atau
koagulasi penyimpanan yang stabil dan panas serta ikut berpartisipasi
dalam Jalur koagulasi ekstrinsik. Proses ini melibatkan kalsium, dan
bersama-sama mengaktifkan faktor III dan faktor X.
h. Faktor VIII (Faktor Antihemophilia, Anti Hemophilic Globulin)
Factor pembekuan faktor VIII atau antihemophilic faktor, faktor
antihemofilia A, globulin antihemofilia/ AHG). berfungsi sebagai sistem
ekstrinsik.Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi penyimpanan
yang relatif labil dan berpartisipasi dalam jalur intrinsik dari koagulasi,
bertindak (dalam konser dengan faktor von Willebrand) sebagai kofaktor
dalam aktivasi faktor X. Defisiensi, sebuah resesif terkait-X sifat,
penyebab hemofilia A. Disebut juga antihemophilic globulin dan faktor
antihemophilic A.
Antihemophilic faktor, merupakan salah satu faktor pembekuan
darah atau koagulasi penyimpanan yang labil serta berpartisipasi didalam
jalur intrinsik dari pembekuan darah atau koagulasi, biasanya bertindak
sebagai kofaktor didalam proses aktivasi faktor X. Defisiensi merupakan
sebuah resesif yang terkait dengan sifat X, yang menjadi penyebab
hemofilia A biasanya disebut juga dengan sebutan antihemophilic
globulin serta faktor antihemophilic A.
i. Faktor IX (Komponen Tromboplastik Plasma, Chrismas Factor)
Factor pembekuan faktor IX atau Krismas faktor berfungsi sebagai
sistem ekstrinsik.Tromboplastin Plasma komponen, sebuah faktor
koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan terlibat dalam jalur
intrinsik dari pembekuan. Setelah aktivasi, diaktifkan Defisiensi faktor
X. hasil di hemofilia B. Disebut juga faktor Natal dan faktor
antihemophilic B. Tromboplastin Plasma komponen, merupakan salah
satu faktor pembekuan darah atau koagulasi penyimpanan yang stabil
sera melibatkan diri dalam jalur intrinsik dari pembekuan darah atau
koagulasi. Setelah proses aktivasi diaktifkan, Defisiensi dari faktor X
merupakan hasil pada hemofilia B. Yang disebut juga dengan sebutan
faktor Natal serta faktor antihemophilic B.
j. Faktor X (faktor stuart-prower)
Factor pembekuan faktor X atau Stuart faktor berfungsi sebagai
sistem intrinstik dan ekstrinsik.Stuart faktor, sebuah faktor koagulasi
penyimpanan yang relatif stabil dan berpartisipasi dalam baik intrinsik
dan ekstrinsik jalur koagulasi, menyatukan mereka untuk memulai jalur
umum dari pembekuan. Setelah diaktifkan, membentuk kompleks
dengan kalsium, fosfolipid, dan faktor V, yang disebut prothrombinase;
hal ini dapat membelah dan mengaktifkan prothrombin untuk trombin.
Kekurangan faktor ini dapat menyebabkan gangguan koagulasi sistemik.
Disebut juga Prower Stuart-faktor. Bentuk yang diaktifkan disebut juga
thrombokinase. Stuart faktor, merupakan salah satu faktor pembekuan
darah atau koagulasi penyimpanan yang stabil dan ikut berpartisipasi
dalam faktor intrinsik dan ekstrinsik pada jalur pembekuan darah atau
koagulasi, yang dapat menyatukan mereka untuk melakukan penbekuan
darah atau koagulasi pada jalur umum dari pembekuan. Setelah proses
diaktifkan, nantinya akan membentuk proses yang kompleks dengan
melibatkan fosfolipid, kalsium, serta faktor V, yang disebut
prothrombinase. Proses ini dapat membelah serta mengaktifkan
prothrombin menjadi trombin. Seseorang yang mengalami kekurangan
pada faktor ini akan menyebabkan gangguan pada koagulasi sistemik.
Biasanya sering disebut juga dengan sebutan Prower Stuart-faktor.
k. Faktor XI (Plasma Thromboplastin Antecedantfaktor antihemofilia C)
Factor pembekuan faktor XI atau plasma Thromboplastin
Antecedant atau antihemophilic C berfungsi sebagai sistem
intrinsik.Tromboplastin plasma yang di atas, faktor koagulasi yang stabil
yang terlibat dalam jalur intrinsik dari koagulasi; sekali diaktifkan, itu
mengaktifkan faktor IX. Kondisi dengan kekurangan faktor XI, Disebut
juga faktor antihemophilic C.
l. Faktor XII (Faktor Hageman, Contack faktor)
Factor pembekuan faktor XII atau Hageman faktor berfungsi
sebagai sistem intrinsik.Hageman faktor faktor koagulasi yang stabil
yang diaktifkan oleh kontak dengan kaca atau permukaan asing lainnya
dan memulai jalur intrinsik dari koagulasi dengan mengaktifkan faktor
XI. Kekurangan faktor ini menghasilkan kecenderungan trombosis.

m. Faktor XIII (Faktor Stabilisasi Fibrin, Fibrinase)


Factor pembekuan faktor XIII atau yang disebut faktor stabilisasi
fibrin atau fibrinasi berfungsi sebagai penghubung silang filamen
fibril.Fibrin-faktor yang menstabilkan, sebuah faktor koagulasi yang
merubah fibrin monomer untuk polimer sehingga mereka menjadi stabil
dan tidak larut di dalam, fibrin yang memungkinkan untuk membentuk
pembekuan darah. Kekurangan faktor pembekuan ini memberikan
kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut juga fibrinase dan
protransglutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga disebut
transglutaminase (Durachim & Dewi ,2018).
2. Mekanisme Pembekuan
mekanisme pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu sistem intrinsik dan
sistem ekstrinsik. Reaksi awal pada sistem intrinsik adalah konversi faktor
XII inaktif menjadi faktor XII aktif (XIIa). Aktivasi ini dikatalisis oleh
kininogen HMW dan kalikrein. Faktor XII aktif kemudian mengaktifkan
faktor XI, dan faktor XI aktif mengaktifkan faktor IX. Faktor IX yang aktif
membentuk suatu kompleks dengan faktor VIII aktif. Kompleks IXa dan
VIIIa mengaktifkan faktor X. Fosfolipid dari trombosit dan Ca2+ diperlukan
untuk mengaktifkan faktor X secara sempurna.
Sementara sistem ekstrinsik dipicu oleh pelepasan faktor III
(tromboplastin) dari jaringan yang mengaktifkan faktor VII. Faktor III dan
faktor VIIa mengaktifkan faktor IX dan X. Dengan adanya fosfolipid, Ca2+,
dan faktor V, maka faktor X akan mengkatalisis konversi protrombin menjadi
trombin. Selanjutnya trombin mengkatalisis konversi fibrinogen menjadi
fibrin. Untuk memahami proses penejelasan di atas, silahkan lihat jalur
pembekuan darah dalam bagan berikut:
a. Jalur Ekstrinsik
Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue faktor)
berasal dari luar darah. Lintasan ekstrinsik melibatkan faktor jaringan,
faktor VII,X serta Ca2+ dan menghasilkan faktor Xa. Produksi faktor Xa
dimulai pada tempat cedera jaringan dengan ekspresi faktor jaringan pada
sel endotel. Factor jaringan berinteraksi dengan faktor VII dan
mengaktifkannya; faktor VII merupakan glikoprotein yang mengandung
Gla, beredar dalam darah dan disintesis di hati. Factor jaringan bekerja
sebagai kofaktor untuk faktor VIIa dengan menggalakkan aktivitas
enzimatik untuk mengaktifkan faktor X. faktor VII memutuskan ikatan
Arg-Ile yang sama dalam faktor X yang dipotong oleh kompleks tenase
pada lintasan intrinsic. Aktivasi faktor X menciptakan hubungan yang
penting antara lintasan intrinsic dan ekstrinsik.
2. Jalur Intrinsik
Disebut intrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue faktor)
berasal dari luar darah. Lintasan intinsik melibatkan faktor XII, XI, IX,
VIII dan X, prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi/ High
Molecular Weight Kininogen (HMWK), ion Ca2+ dan fosfolipid
trombosit. Jalur ini memerlukan faktor IX, faktor X, faktor XI, dan faktor
XII, selain itu juga memerlukan prekalikrein dan HMWK, begitu juga ion
kalsium dan fosfolipid yang disekresi dari trombosit. Darah yang
mengalami kontak dengan serat kolagen pembuluh darah yang kasar
secara bertahap akan mengaktifkan faktor XII, XI, dan IX. Selanjutnya
faktor IX akan mengaktifkan faktor X yang aktif bereaksi dengan faktor
V, Ca2+ dan fosfolipid dari trombosit untuk mengatur aktifator
protrombin.

Gambar 3. Jalur Intrinsik

3. Jalur Bersama
Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh
lintasan intrinsic dak ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin(II) menjadi
thrombin (IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan
memerlukan perakitan kompelks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid
anionic platelet, Ca2+, faktor Va, faktor Xa dan protrombin. Factor V yang
disintesis dihati, limpa serta ginjal dan ditemukan didalam trombosit serta
plasma berfungsi sebagai kofaktor dng kerja mirip faktor VIII dalam kompleks
tenase. Ketika aktif menjadi Va oleh sejumlah kecil thrombin, unsure ini
terikat dengan reseptor spesifik pada membrane trombosit dan membentuk
suatu kompleks dengan faktor Xa serta protrombin. Selanjutnya kompleks ini
di inaktifkan oleh kerja thrombin lebih lanjut, dengan demikian akan
menghasilkan sarana untuk membatasi pengaktifan protrombin menjadi
thrombin. Protrombin (72 kDa) merupakan glikoprotein rantai-tunggal yang
disintesis di hati.

Gambar 45. Mekanisme pembekuan darah


(Durachim & Dewi ,2018)

E. PATOFISIOLOGI
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat
berkembang biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi
eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut
kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan
dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan
menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang
kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada
keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk
pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah
berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring,
bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat
menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri
pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak
reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.
Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah
jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati.
Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan
gangguan pernafasan (Fitrina, 2014).
 Cara Penularan
Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena
kontak dekat dengan kasus atau carier. Penularan dari manusia ke manusia
secara langsung umumnya terjadi melalui droplet (batuk, bersin,
berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge dari
lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu, baju, buku dan
barang-barang yang terkontaminasi karena bakteri cukup resisten terhadap
udara panas, suhu dingin dan kering (Fitrina, 2014).
o Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari)
o Periode Penularan
a. Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari ke-
empat setelah terapi dengan antibiotik yang efektif dimulai.
b. Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan
lesi kulit masih dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.
a. Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai
enam bulan lebih setelah terinfeksi.

F. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum manifestasi pada hemofilia adalah sebagai berikut (Nurarif
&Amin , 2015) :
1. Terdapat perdarahan jaringan lunak, otot, dan sendi, terutama sendi-sendi
yang menopang berat badan, disebut hematrosis (perdarahan sendi)
2. Perdarahan berulang kedalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago
artikulasi disertai gejala-gejala atritis.
3. Perdarahan tibul secara spontan atau akibat dari trauma ringan sampai
sedang.
4. Dapat timbul pada saat bayi merangkak
5. Tanda perdarahan: hemartrosis, hematom subkutan / intra muscular,
pendarahan mukosa mulut, perdarahan intracranal, epistaksis, hematuria,.
6. Pendarahan berkelanjutan pasca operasi (sirkumsisi, ekstrasi gigi)

Menurut Vincentius Yoshua & Engeline Angliadi (2013 ) Gejala yang


paling sering terjadi pada hemofilia ialah perdarahan, baik yang terjadi di dalam
tubuh (internal bleeding) maupun yang terjadi di luar tubuh (external bleeding).
Internal bleeding yang terjadi dapat berupa: hyphema, hematemesis, he-matoma,
perdarahan intrakranial, hematuria, melena, dan hemartrosis. Terdapatnya
external bleeding dapat bermanifestasi sebagai perdarahan masif dari mulut ketika
ada gigi yang tanggal atau pada ekstraksi gigi; perdarahan masif ketika terjadi luka
kecil; dan perdarahan dari hidung tanpa sebab yang jelas

G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus hemofilia ialah komplikasi
muskuloskeletal dan reaksi auto-antibodi (inhibitor) terhadap faktor pembekuan darah
itu sendiri, baik terhadap faktor VIII atau faktor IX. Komplikasi muskuloskeletal yang
dapat terjadi ialah artritis hemofilik dan perdarahan otot. Berdasarkan patofisiologinya,
artritis hemofilik dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu hemartrosis akut, sinovitis
kronis, dan artritis degeneratif (Gambar 1). Pada perdarahan sendi, posisi nyaman bagi
pasien ialah cenderung posisi fleksi. Kondisi ini akan memengaruhi otot-otot stabilisator
di daerah tersebut. Kelemahan otot stabilisator akan memicu kerja otot-otot mobilisator
di dekatnya untuk menggantikan fungsinya sebagai stabilisa-tor, sehingga otot-otot
mobilisator akan cenderung overcontracted yang berakibat mudah terjadi fatique (otot
mobilisator terdiri dari serat otot tipe IIb). Kondisi ini rawan bagi otot untuk terjadinya
per-darahan otot .( Yoshua & Engeline, 2013 )
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
hemofilia adalah perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus imunodefisiensi
manusia sebelum diciptakannya F VIII artificial, kekakuan sendi, hematuria
spontan dan perdarahan gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS akibat
transfusi darah. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hemofilia (Cecily
Lynn Betz, 2009) :
1. Arthritis
2. Sindrom kompartemen
3. Atrofi otot
4. Kontraktur otot
5. Paralisis
6. Perdarahan intracranial
7. Kerusakan saraf
8. Hipertensi
9. Kerusakan ginjal
10. Splenomegali
11. Hepatitis
12. Sirosis
13. Infeksi HIV karena terpajan produk darah yang terkontaminasi
14. Antibody terbentuk sebagai antagonis F VIII dan IX
15. Reaksi tranfusi alergi terhadap produk darah
16. Anemia hemolitik
17. Thrombosis
18. Nyeri kronis

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG/ DIAGNOSTIK


Pemeriksaan penunjang untuk memperkuat diagnosis pada hemofilia yaitu
(Nurarif & Amin, 2015) :
1. Uji skrinning untuk koagulasi darah.
a. Jumlah thrombosit (normal 150,000 – 450.000 per mm3 darah )
b. Masa protrombin (normal memerlukan waktu 11 – 13 detik )
c. Masa thromboplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan
factor koagulasi intrinsic)
d. Masa perdarahan (normal, mengkaji pembentukan sumbatan
thrombosit dalam kapiler)
e. Assys fungsional terhadap factor VIII dan IX (memastikan
diagnosis)
f. Masa pembekuan thrombin( normalnya 10-13 detik)
2. Biopsi hati digunakan untuk memperoleh jaringan untuk pemeriksaan
patologi dan kultur.
3. Uji fungsi hati digunakan untuk mendeteksi adanya penyakit hati.
Serum Glutamic Pyruvic Transaminase (SGPT), Serum Glutamic
Oxaloacetic Tansaminase (SGOT), Fosfatase alkali, bilirubin.
4. Venogram (menunjukkan sisi actual dari thrombus)
5. Ultrasonograph Dopples / Pletismografi (menandakan aliran darah
lambat melalui pembuluh darah.
I. PENATALAKSANAAN
1. Terapi Suportif
a. Melakukan pencegahan baik menghindari luka atau benturan
b. Merencanakan suatu tindakan operasi serta mempertahankan kadar
aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%
c. Lakukan Rest, Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi
perdarahan untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi.
d. Kortikosteroid, untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis
akut yang terjadi setelah serangan akut hemartrosis
e. Analgetik, diindikasikan pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat,
hindari analgetik yang mengganggu agregasi trombosit
f. Rehabilitasi medik, sebaiknya dilakukan sedini mungkin secara
komprehensif dan holistic dalam sebuah tim karena keterlambatan
pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik
fisik, okupasi maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medic
atritis hemofilia meliputi : latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas,
penggunaan ortosis, terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.
2. Terapi Pengganti Faktor Pembekuan
Dilakukan dengan memberikan F VIII atau F IX baik rekombinan,
kosentrat maupun komponen darah yang mengandung cukup banyak factor
pembekuan tersebut. Hal ini berfungsi untuk profilaktif/untuk mengatasi
episode perdarahan. Jumlah yang diberikan bergantung pada factor yang
kurang.
3. Terapi lainnya
a. Pemberian DDAVP (desmopresin) pada pasien dengan hemofili A
ringan sampai sedang. DDAVP meningkatkan pelepasan factor VIII.
b. Pemberian prednisone 0.5-1 mg/kg/bb/hari selama 5-7 hari mencegah
terjadinya gejala sisa berupa kaku sendi (atrosis) yang mengganggu
aktivitas harian serta menurunkan kualitas hidup pasien Hemofilia
(Aru et al, 2010)
c. Transfusi periodik dari plasma beku segar (PBS)
d. Hindari pemberian aspirin atau suntikan secara IM
e. Membersihkan mulut sebagai upaya pencegahan
f. Bidai dan alat orthopedic bagi pasien yang mengalami perdarahan otak
dan sendi
(Hadayani, Wiwik, 2008)

J. PENCEGAHAN
1. Tingkatkan imunitas tubuh dengan makan makanan yang mengandung nutrisi
seimbang, berolahraga dan cukup istirahat serta mengurangi stress.
2. Beri nasehat pasien untuk tidak menkonsumsi aspirin , bias disarankan
menggunakan asetaminofen.
3. Rujuk pada konseling genetic untuk identifikasi kerier hemophilia dan
beberapa kemungkinan yang lain
4. Rujuk kepada agen atau organisasi bagi penderita hemophilia
5. Dorong orang tua anak untuk memilih aktivitas yang dapat diterima dan
aman.

K. ASUHAN KEPERAWATAN TEORI


A. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian umum
a. Biodata Klien
Biasanya lebih banyak terjadi pada pria karena mereka hanya memiliki
1 kromosom X. Sedangkan wanita, umumnya menjadi pembawa sifat
saja (carrier)
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sering terjadi nyeri pada luka, pembengkakan, perdarahan pada
jaringan lunak, penurunan mobilitas, perdarahan mukosa oral,
ekimosis subkutan diatas tonjolan-tonjolan tulang
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Focus primer yang sering terjadi pada hemofilia adalah sering terjadi
infeksi pada daerah luka, dan mungkin terjadi hipotensi akibat
perdarahan yang terus menerus dan apabila sering terjadi perdarahan
yang terus-menerus pada daerah sendi akan mengakibatkan kerusakan
sendi, dan sendi yang paling rusak adalah sendi engsel, seperti patella,
pergelangan kaki, siku. Pada sendi engsel mempunyai sedikit
perlindungan terhadap tekanan, akibatnya sering terjadi
perdarahan.Sedangkan pada sendi peluru seperti panggul dan bahu,
jarang terjadi perdarahan karena pada sendi peluru mempunyai
perlindungan yang baik. Apabila terjadi perdarahan, jarang
menimbulkan kerusakan sendi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adakah riwayat penyakit hemofilia atau penyakit herediter seperti
kekurangan faktor VIII protein dan faktor pembekuan IX yang:
 Kurang dari 1% tergolong berat
 Kurang dari 1%-5% tergolong sedang
 Kurang dari 5%-10% tergolong ringan
Keluarga yang tinggal serumah, ataupun penyakit herediter lainnya
yang ada kaitannya dengan penyakit yang diderita klien saat ini.
e. Riwayat Psikososial
Adanya masalah nyeri, perdarahan dan resiko infeksi yang dapat
menimbulkan anxietas dan ketegangan pada klien
f. Pola Aktifitas
Klien sering mengalami nyeri dan perdarahan yang memungkinkan
dapat mengganggu pola aktifitas klien. Pola istirahat akan terganggu
dengan adanya nyeri anak sering menangis.
2. Pengkajan fisik
a. TTV
- Nadi
- Pernafasan
b. Kulit
- Warna pucat, ikterus
- Petekia
- Memar / hematom
- Perdarahan dari membran mukosa / dari luar suntikan / pungsi vena.
c. Abdomen
- Pembesaran hati
- Pembesaran limpa
d. Kaji anak terhadap perilaku verbal dan non verbal yang
mengindikasikan nyeri.
e. Kaji tempat tempat terkait untuk menilai luasnya perdarahan dan
luasnya kerusakan sensori, saraf dan motoris.
f. Kaji kemampuan anak untuk melakukan aktivitas perawatan diri
(missal : menyikat gigi).
g. Kaji tingkat perkembangan anak.
h. Kaji kesiapan anak dan keluarga untuk pemulangan dan kemampuan
penatalaksanaan program pengobatan di rumah.
i. Tanyakan riwayat keluarga mengenai kelaina perdarahan
j. Tanyakan perdarahan yang tak biasanya.
k. Pemeriksaan fisik selama periode eksaserbasi :
Pembentukan hematoma (subkutan / intramuskular)
Neuropati perifer.
Hemorragi intrakranial : sakit kepala, gangguan penglihatan,
perubahan tingkat kesadaran, peningkatan TD, nadi lemah,
ketidaksamaan pupil.
Hemrthrosis : perdarahan pada sendi
Hematuria
Epistaksis.
l. kaji kemampuan pasien dan keluarga tentang kondisi dan tindakan.
m. Kaji dampak kondisi pada gaya hidup baru.

1. Diagnosa keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi Hb
b. Nyeri akut b.d.agen pencidera fisiologis
c. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri
d. Risiko syok b.d kekurangan volume cairan
e. Risiko cedera b.d disfungsi Biokimia (defisit neurologis, hipoksia
jaringan)
2. Intervensi keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
1. Perfusi perifer tidak efektif b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan sirkulasi
penurunan konsentrasi Hb diharapkan perfusi perifer meningkat dengan 1. Observasi
luaran :  Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema , cCRT,
 Denyut nadi perifer meningkat warna, kulit, akral, suhu)
 Warna kulit pucat menurun  Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (misal
 Parestheia, kelemahan otot, menurun anemia, DM< perokok, orang tua, hiprtensi, kadar
 Pengisian kapiler, akral, turgor kulit, kolesterol tinggi)
tekanan darah sistolik diastolik  Monitor panas, kelemahan, nyeri atau bengkak
membaik 2. Terpeutik
 Hindari pengukuran tekanan darah di areA ekstrmitas
dengan keterbatasan perfusi
 Lakukan hidrasi
3. Edukasi
 Informasikan tanda gejala darurat yang perlu
diinformasikan (misal rasa lemas, pusing, berkunang
kunang)
Pemantauan hasil laboratorium
1. Observasi
 Identifikasi pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
 Monitor hasil laboratorium yang diperlukan
2. Terpeutik
 Ambil darah sampel, interprestasikan hasil
pemeriksaan laboratorium
Transfusi darah
1. Observasi
 Identifikasi rencana transfusi
 Monitor ttv sebelum dan sesudah transfusi
 Monitor reaksi transfusi
2. Terpeutik
 Lakukan pengecekan ganda (double check) pada label
darah
 Berikan NaCl 0,9% sebanyak 50-100 cc sebelum
transfusi dilakukan
 Beri transfusi maksimal dalam waktu 4 jam
 Hentikan transfusi jika terdapat reaksi transfusi
 Dokumentasikan tanggal, waktu, jumlah darah, dan
respon transfusi
3. Edukasi
 Jelaskan tujuandan prosedur transfusi
 Jelaskan tanda gejala reaksi transfusi yang perlu
dilaporkan (misal gatal, pusing, sesak nafas, myeri
dada)

2. Nyeri akut b.d.agen pencidera Setelah dilakukan tindakan keperawatan, 1. Observasi


fisiologis diharapkan tingkat nyeri menurun dengan  Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi , frequensi
luaran : kualitas dan intensitas nyeri
 tingkatan nyeri menurun  Identifikasi skala nyeri
 Kontrol nyeri meningkat  Identifikasi respon nyeri non verbal
 Kemampuan mengenali nyeri  Identifikasi faktor yang memperberat nyeri
meningkat  Identifikasi pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup
 Status kenyamanan meningkat  Monitor penggunaan efek samping analgetik
2. Terapeutik
 Berikan tehnik non-farmakologis untuk mengurani
rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang dapat memperberat nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
3. Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan memonitor nyeri secara mandiri
 Ajarkan terapi non farmakologis untuk mengurangi
nyeri
4. Kolaborasi : pemberian analgetik jika perlu
3. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri Setelah dilakukan tindakan keperawatan Dukungan Ambulasi
diharapkan kemampuan dalam gerak fisik 1. Observasi
secara mandiri meningkat dengan kriteria  Identifiasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
hasil :  Identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
 Pergerakan ekstermitas dari menurun  monitor kondisi umum selama melakukan ambulasi
menjadi sedang 2. Terapeutik
 Retan gerak dari menurun menjadi  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu (misal
sedang kekuatan otot dari menurun tongkat, kruk)
menjadi sedang  Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika perlu
 Kelemahan fisik dari meningkat  Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam
menjadi sedang meningkatkan ambulasi
3. Edukasi
 Anjurkan pasien melakukan ambulasi dini
 Ajarkanmbulasi sederhana yang harus dilakukan (mis.
Berjalan sesuai toleransi
Tehnik Latihan Penguatan Otot
1. Observasi
 Identifikasi resiko latihan
 Monitor efektifitas alatihan
2. Terapeutik
 Lakukan latihan sesuai program yang ditentukan
 Fasilitasi menetapkan tujuan jangka panjang dan jangka
pendek yang realistis dalam menentukan rencana latihan
 Fasilitasi untuk mengubah atau mengembangkan latihan
untuk menghindari kebosanan
 Berikan intruksi tertulis tentang pedoman dan bentuk
gerakan untuk setiap gerakan otot
3. Edukasi
 Jelaskan fungsi otot, fisiologi olahraga / bergerak dan
konsekuensi jika tidak digunakannya otot
 Anjurkan menghindari latihan selama suhu ekstrim
4. Kolaborasi
 Tetapkan jadwal tindak lanjut untuk mempertahankan
motivasi
 Kolaborasi dengan tim ke sehatan lain (mis. Terais
aktivitas, fisioterapi) dalm perencanaan, pengajaran dan
memonitor pogram latihan
4. Risiko syok b.d kekurangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan Management syok
volume cairan diharapkan tidak terjadi syok, dengan luaran 1. Observasi
:  Monitor status kardiopulmunal (frekuensi dan kekuatan
 Kekuatan nadi, output urine, tingkat nadi, frekuensi napas, TD, MAP).
kesadaran dan saturasi oksigen  Monitor status oksigenasi (oksimetri nadi, AGD).
meningkat  Monitor status cairan (masukan dan haluaran, turgor
 Akral dngin , pucat, haus , asidosis kulit, CRT).
metabolik menurun  Monitor tingkat kesadaran dan respon pupil.
 Tekanan darah sistolik diastolik 1. Terapeutik
membaik  Pertahankan jalan napas paten
 Pengisian kapiler, freq. Nadi, freq.  Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen
Napas membaik diatas 94%
 Persiapkan intubasi dan ventilasi mekanis, jika
perlu’berikan possi syok (modified tendenberg)’pasang
jalur iv
2. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian infus kristaloid 1-2 l pada dewasa,
20 mL/kgBB pada anak,
 Kolaborasi pemberian transfusi darah jika perlu
5. Risiko cedera b.d disfungsi Setelah dilakukan tindakan keperawatan Pencegahan Cedera
Biokimia (defisit neurologis, diharapkan tingkat cedera menurun dengan 1. Observasi
hipoksia jaringan) luaran :  Identifikasi area lingkungan yang bisa menyebabkan
 Kejadian cedera menurun cedera
 Perdarahan menurun 2. Terpeutik
 Toleransi aktivitas membaik  Gunakan pengamanan tempat tidur sesuai dengan
 Tekanan darah, freq, nadi dan freq. kebijakan faskes
Napas membaik  Pastikan barang-barang pribadi mudah dijangkau
 Pertahankan posisi tempat tidur berapa pada posisi
terendah
 Pastikan roda tempat tidur terkunci
 Tingkatkan frekuensi observasi dan pengawasan
pasien
3. Edukasi
 Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke pasien
dan keluarga
 Anjurkan posisi bertahap selama beberapa menit
sebelum berdiri
DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L.. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik E/3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 1. Jakarta:EGC

Durachim, Adang & Dewi Astuti . 2018. Bahan Ajar Teknologi Laporatorium
Medik Hemostasis. 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan

PPNI. 2018. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Indikator


Diagnostik, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

__________. Standart Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

__________. Standart Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan Kriteria Hasil


Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

Prasetyawaty, Findy .,dkk. 2016. Laporan penelitian Prediktor Kualitas Hidup


terkait Kesehatan pada Pasien Hemofilia Dewasa di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Vol. 3, No. 3
,September 2016

Sriyanti, C. 2016. PATOLOGI KEPERAWATAN KOMPREHENSIF. Kemenkes


RI. Diakses dari : http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wp-
content/uploads/2017/08/Patologi-Keperawatan-Komprehensif.pdf.
Desember 2016.

Wa‘u , David V. 2017. Laporan Akhir Pemantauan Kasus Artropati Pada Hemofilia
A. Universitas Gadjah Mada. Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Yoshua , Vincentius & Engeline Angliadi. 2013. Rehabilitasi Medik pada


Hemofilia.. Jurnal Biomedik (Jbm), Volume 5, Nomor 2, Juli 2013, Hlm. 67-
73 . Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado

Anda mungkin juga menyukai