Oleh :
AJENG RAHMA MIAJI
NIM. 40219002
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 40219002
(………………………………….) (………………………………….)
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
DEPARTEMEN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DAN KRITIS PADA
PASIEN DENGAN DIAGNOSA HEMOFILIA
DI INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD)
RSUD MARDI WALUYO
KOTA BLITAR
A. DEFINISI
Hemofilia adalah suatu kelainan pembekuan darah yang biasanya
disebabkan defisiensi faktor pembekuan yang sifatnya diturunkan ataupun
didapat. Secara umum, tanda dan gejala hemofilia dialami oleh laki-laki,
sedangkan perempuan hanya bersifat sebagai pembawa sifat. (Wa'u, 2017)
Hemofilia merupakan gangguan koagulasi herediter ata didapat yang paling
sering dijumpai , bermanifestasi sebagai episode perdarahan intermitten (Nurarif
& Amin, 2015).
B. ETIOLOGI
Hemofilia adalah kelompok kelainan pembekuan darah dengan karakteristik
sexlinked resesif dan autosomal resesif, dimana perdarahan dapat terjadi tanpa
penyebab trauma yang jelas atau berupa perdarahan spontan. Hemofilia adalah
kelainan perdarahan herediter akibat defisiensi kongenital faktor pembekuan
darah. Faktor pembekuan yang paling sering terganggu adalah faktor VIII (FVIII)
pada hemofilia A dan faktor IX (FIX) pada hemofilia B. Defisiensi faktor
pembekuan ini merupakan kelainan perdarahan resesif terkait kromosom X (X-
linked) yang hampir selalu terjadi pada laki-laki (Prasetyawaty,dkk., 2016).
SIFAT HEMOFILIA
Hemofilia kelainan herediter yang terjadi pada darah ditandai dengan darah yang
sukar membeku ketika keluar dari tubuh seperti terjadi pada luka. Penyakit
hemofilia jika terjadi pada seorang perempuan maka akan menimbulkan fetal
death yaitu mati sejak masih dalam kandungan saat masih berbentuk embrio. Oleh
sebab itu tidak pernah dijumpai perempuan yang menderita hemofilia sehingga
yang ada adalah perempuan sebagai carrie saja. Berdasarkan hukum Mendel maka
pewarisan sifat hemofilia adalah sebagai berikut:
1) Seorang laki-laki hemofilia dapat lahir dari pasangan ibu carier dan bapak
normal dan dari ibu carier dan bapak hemofilia.
2) Seorang laki-laki hemofilia dapat lahir dari pasangan ibu carier dan bapak
hemofilia.
3) Seorang ayah yang hemofilia tidak akan mewariskan sifat hemofilia kepada
anak laki-lakinya, tetapi mewariskannya kepada anak perempuannya.
(Sriyanti, 2016)
C. KLASIFIKASI
Hemofilia disebabkan oleh mutasi gen –gen faktor VIII(FVIII) atau faktor
IX(FIX) diklasifikasikan sebagai hemofilia A atau B kedua gen ini terletak pada
kromosom X, menyebabkan gangguan resesif terkait –X. Oleh karena itu pada
semua anak perempuan dari anak laki-laki pendrita hemofilia adalah akrier
penyakit, dan anak laki-laki tidak terkena, anak laki-laki dari perempuan yang
karier memiliki kemungkinan 50% untuk menderita penyakit hemofelia
Sampai saat ini dikenal 2 macam hemofilia yang diturunkan secara sex-linked
recessive yaitu (Nurarif & Amin, 2015). :
1. Hemofilia A (hemofilia klasik), akibat akibat defisiensi atau disfungsi factor
pembekuan VIII.
2. Hemofilia B (cristmas disease) akibat defisiensi atau tidak adanya aktivitas
faktor IX.
Legg mengklasifikasikan hemofilia menjadi (Nurarif & Amin, 2015). :
Pendarahan post operasi Sering dan fatal Butuh bebat Pada operasi
besar
Pendarahan oral ( trauma Sering terjadi Dapat terjadi Kadang terjadi
cabut Gigi)
Ket : PCB : post circumcisional bleeding
ICH : intracranial hemorrhage
D. Proses Pembekuan Darah (Hemostasis)
Hemostasis adalah kemampuan alami dan merupakan proses normal sebagai
respon untuk menghentikan perdarahan pada lokasi luka oleh spasme pembuluh
darah, adhesi trombosit dan keterlibatan aktif faktor koagulasi, adanya koordinasi
dari endotel pembuluh darah, agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi.
Fungsi utama mekanisme koagulasi adalah menjaga keenceran darah (blood
fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam sirkulasi dengan baik, serta
membentuk thrombus sementara atau hemostatic thrombus pada dinding
pembuluh darah yang mengalami kerusakan (vascular injury).
Komponen-komponen yang berperan dalam Hemostasis terdiri dari
beberapa faktor diantaranya yaitu: pembuluh darah (kolagen), trombosit,
procoagulant plasma protein faktors, natural anticoagulant proteins, protein
fibrinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam
jumlah cukup, dengan fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat
menjalankan faal hemostasis dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu
terjadinya thrombosis disebut sebagai sifat prothrombotik dan dapat juga
menghambat proses thrombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat
antithrombotik. Faal hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan
antara faktor prothrombotik dan faktor antithrombotik.
Proses pembekuan darah merupakan mekanisme bertingkat yang
melibatkan kesinambungan pengaktifan faktor yang satu dengan yang lainnya.
Pada tahap terakhir pembekuan darah, trombin akan mengubah fibrinogen
menjadi serat atau benang-benang fibrin yang dapat menjaring komponen-
komponen darah yang berukuran besar, sel darah merah, dan plasma sehingga
terbentuk bekuan darah. Jika terjadi luka atau kerusakan jaringan dan berdarah,
tubuh akan berusaha untuk menghentikan pendarahan dengan cara menutup luka
oleh pembekuan darah, atau bisa disebut blood clotting.
Banyak terdapat zat-zat penting yang mempengaruhi pembekuan darah
yang berada di dalam darah dan jaringan, beberapa di antaranya mempermudah
terjadinya pembekuan disebut prokoagulan dan yang lain menghambat
pembekuan, disebut antikoagulan. Dalam keadaan normal, antikoagulan lebih
dominan sehingga darah tidak membeku, tetapi bila pembuluh darah rusak,
prokoagulan di daerah yang rusak menjadi teraktivasi dan melebihi aktivitas
antikoagulan, dan bekuan pun terbentuk. Dari mekanisme yang berperan dalam
hemostasis, pembekuan darah terjadi melalui tiga langkah utama:
a Sebagai respons teradap rupturnya pembuluh darah atau kerusakan darah itu
sendiri, maka rangkaian reaksi kimiawi yang kompleks terjadi dalam darah
yang melibatkan –faktor-faktor pembekuan darah. Hasil akhirnya adalah
terbentuknya suatu kompleks substansi teraktivasi yang secara kolektif
disebut activator protrombin.
a. Faktor I (Fibrinogen )
Fibrinogen merupakan salah satu pembekuan darah atau koagulasi yang
melibatkan protein plasma sehingga dapat berubah menjadi benang fibrin
melalui proses yang diperankan oleh trombin. Seseorang yang
mengalami kekurangan fibriogen disebut afibrinogenemia atau yang
lebih dikenal dengan hypofibrinogenemia. Gejala kekurangan fibrinogen
ini yaitu terjadinya perdarahan yang memanjang
3. Jalur Bersama
Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh
lintasan intrinsic dak ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin(II) menjadi
thrombin (IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan trombosit aktif dan
memerlukan perakitan kompelks protrombinase yang terdiri atas fosfolipid
anionic platelet, Ca2+, faktor Va, faktor Xa dan protrombin. Factor V yang
disintesis dihati, limpa serta ginjal dan ditemukan didalam trombosit serta
plasma berfungsi sebagai kofaktor dng kerja mirip faktor VIII dalam kompleks
tenase. Ketika aktif menjadi Va oleh sejumlah kecil thrombin, unsure ini
terikat dengan reseptor spesifik pada membrane trombosit dan membentuk
suatu kompleks dengan faktor Xa serta protrombin. Selanjutnya kompleks ini
di inaktifkan oleh kerja thrombin lebih lanjut, dengan demikian akan
menghasilkan sarana untuk membatasi pengaktifan protrombin menjadi
thrombin. Protrombin (72 kDa) merupakan glikoprotein rantai-tunggal yang
disintesis di hati.
E. PATOFISIOLOGI
Corynebacterium diphtheria yang masuk ke dalam tubuh dapat
berkembang biak pada mukosa saluran nafas, untuk kemudian memproduksi
eksotoksin yang disebut diphtheria toxin (dt). Toksin yang terbentuk tersebut
kemudian dapat diserap oleh membran mukosa dan menimbulkan peradangan
dan penghancuran epitel saluran nafas hingga terjadi nekrosis, leukosit akan
menginfiltasi daerah nekrosis sehingga banyak ditemukan fibrin yang
kemudian akan membentuk patchy exudate, yang masih dapat dilepaskan. Pada
keadaan lanjut akan terkumpul fibrous exudate yang membentuk
pseudomembran (membran palsu) dan semakin sulit untuk dilepas serta mudah
berdarah. Umumnya pseudomembran terbentuk pada area tonsil, faring, laring,
bahkan bisa meluas sampai trakhea dan bronkus. Membran palsu dapat
menyebabkan edema pada jaringan mukosa dibawahnya, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi saluran nafas dan kematian pada penderita difteri
pernafasan. Toksin kemudian memasuki peredaran darah dan menyebar ke
seluruh tubuh, terutama pada jantung dan jaringan saraf yang memiliki banyak
reseptor dt, serta menyebabkan degenerasi dan nekrosis pada jaringan tersebut.
Bila mengenai jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan payah
jantung, sedangkan pada jaringan saraf akan menyebabkan polineuropati.
Kematian biasanya disebabkan karena adanya kegagalan jantung dan
gangguan pernafasan (Fitrina, 2014).
Cara Penularan
Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena
kontak dekat dengan kasus atau carier. Penularan dari manusia ke manusia
secara langsung umumnya terjadi melalui droplet (batuk, bersin,
berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge dari
lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu, baju, buku dan
barang-barang yang terkontaminasi karena bakteri cukup resisten terhadap
udara panas, suhu dingin dan kering (Fitrina, 2014).
o Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari)
o Periode Penularan
a. Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari ke-
empat setelah terapi dengan antibiotik yang efektif dimulai.
b. Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan
lesi kulit masih dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.
a. Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai
enam bulan lebih setelah terinfeksi.
F. MANIFESTASI KLINIS
Secara umum manifestasi pada hemofilia adalah sebagai berikut (Nurarif
&Amin , 2015) :
1. Terdapat perdarahan jaringan lunak, otot, dan sendi, terutama sendi-sendi
yang menopang berat badan, disebut hematrosis (perdarahan sendi)
2. Perdarahan berulang kedalam sendi menyebabkan degenerasi kartilago
artikulasi disertai gejala-gejala atritis.
3. Perdarahan tibul secara spontan atau akibat dari trauma ringan sampai
sedang.
4. Dapat timbul pada saat bayi merangkak
5. Tanda perdarahan: hemartrosis, hematom subkutan / intra muscular,
pendarahan mukosa mulut, perdarahan intracranal, epistaksis, hematuria,.
6. Pendarahan berkelanjutan pasca operasi (sirkumsisi, ekstrasi gigi)
G. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus hemofilia ialah komplikasi
muskuloskeletal dan reaksi auto-antibodi (inhibitor) terhadap faktor pembekuan darah
itu sendiri, baik terhadap faktor VIII atau faktor IX. Komplikasi muskuloskeletal yang
dapat terjadi ialah artritis hemofilik dan perdarahan otot. Berdasarkan patofisiologinya,
artritis hemofilik dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu hemartrosis akut, sinovitis
kronis, dan artritis degeneratif (Gambar 1). Pada perdarahan sendi, posisi nyaman bagi
pasien ialah cenderung posisi fleksi. Kondisi ini akan memengaruhi otot-otot stabilisator
di daerah tersebut. Kelemahan otot stabilisator akan memicu kerja otot-otot mobilisator
di dekatnya untuk menggantikan fungsinya sebagai stabilisa-tor, sehingga otot-otot
mobilisator akan cenderung overcontracted yang berakibat mudah terjadi fatique (otot
mobilisator terdiri dari serat otot tipe IIb). Kondisi ini rawan bagi otot untuk terjadinya
per-darahan otot .( Yoshua & Engeline, 2013 )
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
hemofilia adalah perdarahan intrakranium, infeksi oleh virus imunodefisiensi
manusia sebelum diciptakannya F VIII artificial, kekakuan sendi, hematuria
spontan dan perdarahan gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS akibat
transfusi darah. Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita hemofilia (Cecily
Lynn Betz, 2009) :
1. Arthritis
2. Sindrom kompartemen
3. Atrofi otot
4. Kontraktur otot
5. Paralisis
6. Perdarahan intracranial
7. Kerusakan saraf
8. Hipertensi
9. Kerusakan ginjal
10. Splenomegali
11. Hepatitis
12. Sirosis
13. Infeksi HIV karena terpajan produk darah yang terkontaminasi
14. Antibody terbentuk sebagai antagonis F VIII dan IX
15. Reaksi tranfusi alergi terhadap produk darah
16. Anemia hemolitik
17. Thrombosis
18. Nyeri kronis
J. PENCEGAHAN
1. Tingkatkan imunitas tubuh dengan makan makanan yang mengandung nutrisi
seimbang, berolahraga dan cukup istirahat serta mengurangi stress.
2. Beri nasehat pasien untuk tidak menkonsumsi aspirin , bias disarankan
menggunakan asetaminofen.
3. Rujuk pada konseling genetic untuk identifikasi kerier hemophilia dan
beberapa kemungkinan yang lain
4. Rujuk kepada agen atau organisasi bagi penderita hemophilia
5. Dorong orang tua anak untuk memilih aktivitas yang dapat diterima dan
aman.
1. Diagnosa keperawatan
a. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi Hb
b. Nyeri akut b.d.agen pencidera fisiologis
c. Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri
d. Risiko syok b.d kekurangan volume cairan
e. Risiko cedera b.d disfungsi Biokimia (defisit neurologis, hipoksia
jaringan)
2. Intervensi keperawatan
No. Diagnosa Keperawatan Luaran Intervensi
1. Perfusi perifer tidak efektif b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan sirkulasi
penurunan konsentrasi Hb diharapkan perfusi perifer meningkat dengan 1. Observasi
luaran : Periksa sirkulasi perifer (nadi perifer, edema , cCRT,
Denyut nadi perifer meningkat warna, kulit, akral, suhu)
Warna kulit pucat menurun Identifikasi faktor resiko gangguan sirkulasi (misal
Parestheia, kelemahan otot, menurun anemia, DM< perokok, orang tua, hiprtensi, kadar
Pengisian kapiler, akral, turgor kulit, kolesterol tinggi)
tekanan darah sistolik diastolik Monitor panas, kelemahan, nyeri atau bengkak
membaik 2. Terpeutik
Hindari pengukuran tekanan darah di areA ekstrmitas
dengan keterbatasan perfusi
Lakukan hidrasi
3. Edukasi
Informasikan tanda gejala darurat yang perlu
diinformasikan (misal rasa lemas, pusing, berkunang
kunang)
Pemantauan hasil laboratorium
1. Observasi
Identifikasi pemeriksaan laboratorium yang diperlukan
Monitor hasil laboratorium yang diperlukan
2. Terpeutik
Ambil darah sampel, interprestasikan hasil
pemeriksaan laboratorium
Transfusi darah
1. Observasi
Identifikasi rencana transfusi
Monitor ttv sebelum dan sesudah transfusi
Monitor reaksi transfusi
2. Terpeutik
Lakukan pengecekan ganda (double check) pada label
darah
Berikan NaCl 0,9% sebanyak 50-100 cc sebelum
transfusi dilakukan
Beri transfusi maksimal dalam waktu 4 jam
Hentikan transfusi jika terdapat reaksi transfusi
Dokumentasikan tanggal, waktu, jumlah darah, dan
respon transfusi
3. Edukasi
Jelaskan tujuandan prosedur transfusi
Jelaskan tanda gejala reaksi transfusi yang perlu
dilaporkan (misal gatal, pusing, sesak nafas, myeri
dada)
Betz, Cecily L.. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik E/3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Durachim, Adang & Dewi Astuti . 2018. Bahan Ajar Teknologi Laporatorium
Medik Hemostasis. 2018. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Nurarif, Amin Huda & Kusuma, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan
Wa‘u , David V. 2017. Laporan Akhir Pemantauan Kasus Artropati Pada Hemofilia
A. Universitas Gadjah Mada. Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/