KELOMPOK 1
AMANDA P. MEGA 1607010072
DAVID R.L SIRAIT 1607010024
DEWA A.R NINGRUM 1607010041
ELISABETH S. LISU 1607010122
JUNITA M. MBADHI 1607010097
MODESTA R. MANIS 1607010067
NOVITA Y. MAU 1607010094
RIZKI F. MAULIDYA 1607010106
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kelompok panjatkan, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kelompok boleh menyelesaikan makalah tentang Determinan Sosial
Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru ini dengan baik.
Walaupun dalam menyelesaikan makalah ini kelompok dihadapi dengan beberapa
tantangan, namun kelompok berhasil melewatinya dan menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini dibuat sebagai salah satu prasyarat memenuhi nilai tugas kelompok mata kuliah
Epidemiologi Sosial dan Perilaku Kesehatan. Kelompok mendapatkan banyak pengetahuan
selama menyelesaikan makalah tentang tuberkulosis paru ini.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kelompok menerima segala
masukan ataupun kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kelompok
berharap kiranya makalah ini boleh berguna bagi berbagai pihak.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau sering disebut TB adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Apabila penyakit ini tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas maka
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya bahkan hingga menyebabkan kematian.
Berdasarkan laporan WHO pada 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada
tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien dengan HIV positif. Pada
tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang mengidap TB-MDR dan 170.000
diantarnya meninggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara
seluruh kasus TB secara global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak per tahun.
Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR) menggambarkan cakupan
penemuan kasus TB. Secara umum, angka notifikasi kasus BTA positif baru dan semua kasus
dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan. CNR pada tahun 2015 untuk semua
kasus sebesar 117 per 100.000 penduduk.
Penyakit TB memang disebabkan oleh infeksi agent (Mycobacterium tuberculosis) pada
manusia, sehingga penanggulangannya dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan yang
wajib diminum pasien sampai tuntas. Akan tetapi perlu juga diperhatikan faktor-faktor sosial
budaya yang mempengaruhi penularan penyakit maupun memperparah penyakit. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor sosial budaya yang berkaitan
dengan kejadian tuberkulosis.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit TB Paru (TB, TB-HIV, TB-MDR, XDR)?
2. Apa saja faktor risiko atau determinan sosial TB Paru?
3. Apa saja solusi atau rekomendasi untuk penanganan penyakit TB?
C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Menjelaskan tentang penyakit TB Paru (TB, TB-HIV, TB-MDR, XDR)
1
2. Menjelaskan tentang faktor risiko atau determinan sosial TB Paru
3. Memberikan solusi atau rekomendasi untuk penanganan penyakit TB Paru
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
ini harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi demikian,
tentu akan sulit bagi mereka untuk memprioritaskan kesehatan di atas pekerjaan mereka
karena tuntutan hidup yang ada.
3. Pendidikan dan Pengetahuan
Menurut karakteristik pendidikan, prevalensi TB semakin rendah sejalan dengan
tingginya tingkat pendidikan.
5
Gambar 2.3 Prevalensi TB menurut karakteristik kuintil indeks kepemilikan
Kesakitan TB menurut kuintil indeks kepemilikan ternyata tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti antara kelompok terbawah sampai dengan menengah ke atas. Hal
menarik adalah tingkat ekonomi menunjukkan perbedaan berarti hanya pada kelompok
teratas yang memiliki prevalensi TB terendah.
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat
menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga mempermudah infeksi kuman TB
Paru.
5. Kebiasaan Merokok
Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230
batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada
laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker
kandung kemih. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya
infeksi TB Paru. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali.
6. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita
TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat
menjadi sumber penularan bagi orang di sekelilingnya.
Faktor pengetahuan, sikap dan perilaku mempunyai pengaruh besar terhadap status
kesehatan individu maupun masyarakat dan berperan penting dalam menetukan
keberhasilan suatu program penanggulangan penyakit dan pencegahan penularannya
termasuk penyakit TB. Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan
oleh pengetahuan, sikap kepercayaan, tradisi dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Misalnya sebagian masyarakat punya perilaku malas berobat dan
menunggu penyakit bertambah parah atau mengganggu aktivitasnya baru mencari
6
pengobatan dan perilaku hidup bersih yang kurang yang dapat dilihat pada adanya
kebiasaan masyarakat untuk menggunakan barang secara bersama-sama misalnya
menggosok gigi memakai batu merah dengan jari, dan batu merah tersebut dipakai secara
bersama-sama dan kebiasaan masyarakat mencuci tangan di mangkok (wadah) yang
sama, tanpa sabun.
7. Budaya
Sosial budaya dan kebiasaan masyarakat yang menjadi faktor risiko penyakit TB
adalah sebagai berikut:
a. Adanya anggapan masyarakat bahwa penyakit TB merupakan penyakit keturunan,
keracunan, atau karena terkena ilmu hitam. Akibatnya masyarakat juga cenderung
mencari pengobatan tidak ke fasilitas kesehatan, melainkan mencari pengobatan
tradisional seperti daun rambutan dan daun sekakeh.
b. Perasaan malu apabila ketahuan mengidap penyakit TB, karena adanya stigma dan
diskriminasi terhadap penderita TB paru. Akibatnya masyarakat takut untuk
memeriksakan kesehatan mereka karena takut didiagnosa menderita TB, mereka
cenderung untuk mendiagnosa gejala-gejala yang mereka derita sebagai penyakit
pernapasan lain yang tidak berbahaya. Dampaknya, penemuan kasus TB dan
penanganan terlambat sehingga meningkatkan angka kematian.
c. Budaya dan kepercayaan masyarakat di Rote Ndao, dimana proses melahirkan bayi
dilakukan di rumah adat Sei NTT. Selama 40 hari, ibu dan bayi tidak boleh keluar
dari rumah, sehingga hal ini dapat menghambat program imunisasi TB.
d. Budaya pesta masyarakat di Rote Ndao yang mengalahkan kepentingan menjaga
kesehatan masyarakat untuk berobat, termasuk berobat TB.
e. Salah satu budaya (belief) “selamatan” pada acara keagamaan dan adat di Minang,
seringkali pada acara tersebut, cuci tangan dilakukan di tembala kobokan, dimana 1
tembala ditujukan untuk 4 orang, sehingga dapat meningkatkan risiko penularan
penyakit TB paru.
f. Budaya lain seperti makan sirih pinang yang akan mendorong orang untuk lebih
sering meludah. Kebiasaan meludah, dan termasuk membuang dahak, masih sering
dilakukan di sembarang tempat. Kebiasaan ini dapat meningkatkan risiko penularan
penyakit TB, apalagi bila dilakukan di dalam rumah yang lantainya tanah.
g. Desain rumah masyarakat di NTT, 10% rumah adat tidak ada jendela, 50%
masyarakat rumahnya berlantai tanah.
7
h. Kebiasaan masyarakat yang sering mengadakan syukuran, dimana dalam acara
tersebut masyarakat akan makan bersama menggunakan talam dan minum memakai
kendi secara bersama-sama, satu kendi dapat diberikan kepada puluhan orang untuk
minum, dan bahkan air yang diminum terkadang merupakan air sumur atau air dari
PAM yang tidak dimasak. Selain itu, kepercayaan (belief) masyarakat yang
beranggapan bila minum bekas air minum Kiai datuk Ismail adalah hal yang
bermanfaat bagi mereka terutama untuk mendapatkan kesembuhan, sehingga
diminum masyarakat ramai-ramai.
i. Budaya “begibung” (makan bersama dalam satu nampan) di Lombok Barat, NTB,
dapat memungkinkan pintu penularan penyakit TB.
j. Budaya memapak dari nenek ke cucunya atau dari ibu ke anaknya.
k. PMO sering drop out, sehingga pemilihan PMO perlu disesuaikan dengan struktur
sosial daerah setempat, seperti di Lombok Barat bila penderita TB adalah suaminya,
maka PMO sebaiknya ibu dari suaminya atau kakak suami yang tinggal tidak jauh
darinya. Struktur sosial di tempat ini mengharuskan istri patuh kepada suami sehingga
pemilihan istri sebagai PMO kurang tepat. Namun, apabila penderitanya adalah istri,
maka yang menjadi PMO adalah suaminya.
10
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama ada di dunia. Penyakit ini
merupakan penyakit berbahaya yang dapat menginfeksi beberapa organ tubuh, salah satunya
paru-paru. TB Paru diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu TB-HIV, MDR-TB,
dan XDR-TB. Dari aspek sosial, penyakit ini dapat dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, tingkat
pendidikan, kuintil indeks kepemilikan (keadaan sosial ekonomi), perilaku merokok, perilaku
dan budaya yang ada di masyarakat.
Pengobatan TB Paru bagi pasien baru dilakukan dengan strategi DOTS, dimana pasien
diberikan obat-obatan lini pertama. Untuk MDR-TB dan XDR-TB serta TB-HIV
memerlukan perlakuan khusus dalam pengobatannya. Diperlukan komitmen bersama untuk
penanganan dan pencegahan TB, baik pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, dan pasien itu
sendiri.
B. Saran
Penanganan kasus TB Paru harus lebih dini dan gencar lagi, terutama di wilayah dengan
prevalensi kasus yang tinggi. Pemerintah perlu lebih aktif lagi dalam menerapkan dan
mengawasi pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan TB Paru di Indonesia.
Pendekatan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan perlu diubah agar lebih
berorientasi pada pasien, sehingga penanganan pasien dapat lebih meningkatkan kesadaran
pasien dan keluarga mengenai pentingnya pengobatan TB sampai tuntas. Selain itu,
pendekatan yang lebih ramah dapat membuat pasien nyaman dan tidak putus asa terhadap
penyakitnya sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan. Fasilitas pelayanan kesehatan juga dapat
mengedukasi masyarakat maupun keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan pentingnya
dukungan terhadap pasien TB. Terakhir, perlunya peran keluarga maupun orang terdekat
yang memberikan dukungan terhadap pasien untuk sembuh dan mencegah penularan kepada
orang lain.
11
DAFTAR PUSTAKA