Anda di halaman 1dari 15

EPIDEMIOLOGI SOSIAL DAN PERILAKU

DETERMINAN SOSIAL PENYAKIT TUBERKULOSIS (TB) PARU

KELOMPOK 1
AMANDA P. MEGA 1607010072
DAVID R.L SIRAIT 1607010024
DEWA A.R NINGRUM 1607010041
ELISABETH S. LISU 1607010122
JUNITA M. MBADHI 1607010097
MODESTA R. MANIS 1607010067
NOVITA Y. MAU 1607010094
RIZKI F. MAULIDYA 1607010106

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa kelompok panjatkan, karena atas
berkat dan rahmat-Nya kelompok boleh menyelesaikan makalah tentang Determinan Sosial
Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru ini dengan baik.
Walaupun dalam menyelesaikan makalah ini kelompok dihadapi dengan beberapa
tantangan, namun kelompok berhasil melewatinya dan menyelesaikan makalah ini. Makalah
ini dibuat sebagai salah satu prasyarat memenuhi nilai tugas kelompok mata kuliah
Epidemiologi Sosial dan Perilaku Kesehatan. Kelompok mendapatkan banyak pengetahuan
selama menyelesaikan makalah tentang tuberkulosis paru ini.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kelompok menerima segala
masukan ataupun kritik yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Kelompok
berharap kiranya makalah ini boleh berguna bagi berbagai pihak.

Kupang, Oktober 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................... i


Daftar Isi ............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1


A. Latar Belakang .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan ........................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................... 3


A. Gambaran Umum Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru ................................................... 3
B. Determinan Sosial TB Paru .......................................................................................... 4
C. Solusi atau Rekomendasi Penanganan TB Paru ........................................................... 8

BAB III PENUTUP ........................................................................................................... 11


A. Simpulan ....................................................................................................................... 11
B. Saran ............................................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau sering disebut TB adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Apabila penyakit ini tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas maka
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya bahkan hingga menyebabkan kematian.
Berdasarkan laporan WHO pada 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada
tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien dengan HIV positif. Pada
tahun 2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang mengidap TB-MDR dan 170.000
diantarnya meninggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara
seluruh kasus TB secara global mencapai 6% atau 530.000 pasien TB anak per tahun.
Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR) menggambarkan cakupan
penemuan kasus TB. Secara umum, angka notifikasi kasus BTA positif baru dan semua kasus
dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan. CNR pada tahun 2015 untuk semua
kasus sebesar 117 per 100.000 penduduk.
Penyakit TB memang disebabkan oleh infeksi agent (Mycobacterium tuberculosis) pada
manusia, sehingga penanggulangannya dilakukan dengan cara memberikan obat-obatan yang
wajib diminum pasien sampai tuntas. Akan tetapi perlu juga diperhatikan faktor-faktor sosial
budaya yang mempengaruhi penularan penyakit maupun memperparah penyakit. Oleh karena
itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai faktor-faktor sosial budaya yang berkaitan
dengan kejadian tuberkulosis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan penyakit TB Paru (TB, TB-HIV, TB-MDR, XDR)?
2. Apa saja faktor risiko atau determinan sosial TB Paru?
3. Apa saja solusi atau rekomendasi untuk penanganan penyakit TB?

C. Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah:
1. Menjelaskan tentang penyakit TB Paru (TB, TB-HIV, TB-MDR, XDR)
1
2. Menjelaskan tentang faktor risiko atau determinan sosial TB Paru
3. Memberikan solusi atau rekomendasi untuk penanganan penyakit TB Paru

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Penyakit Tuberkulosis (TB) Paru


Tuberkulosis atau sering disebut TB adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang berbahaya karena setiap
satu penderita TB positif akan menularkan kepada 10-15 orang penduduk setiap tahunnya.
Dengan demikian, penemuan penderita dan pengobatannya merupakan suatu kunci penting
dalam menangani tuberkulosis paru. Namun, proses penemuan penderita (case finding)
tidaklah sederhana, harus melalui berbagai tahapan mulai dari jenis gejala yang timbul
sampai ke mana penderita pergi berobat untuk mengatasi gejala.
TB paru juga diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu TB-HIV, TB-MDR, dan
TB-XDR. TB-HIV merupakan pasien TB yang juga mengidap HIV. Pada penderita TB yang
mendapat pengobatan, angka kematian pada penderita HIV positif lebih tinggi daripada
penderita dengan HIV negatif. Hal ini karena HIV akan menekan daya tahan tubuh manusia
sehingga tubuh tidak mampu untuk memulihkan dirinya dan melawan bakteri tuberkulosis.
Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB) disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang resisten terhadap dua obat antituberkulosis (OAT) yaitu isoniazid (H) dan
rifampisin (R). Penyebab resistensi mungkin dari penyedia pelayanan kesehatan, penyediaan
atau kualitas obat tidak adekuat, faktor bakteri atau dari pasien itu sendiri.
Extensively Drug Resistant Tuberculosis (XDR-TB) atau TB yang resisten terhadap
obat secara luas adalah suatu bentuk TB yang disebabkan oleh bakteri yang kebal terhadap
beberapa obat anti-TB yang paling efektif. Strain XDR-TB telah muncul setelah salah kelola
individu dengan TB yang resisten terhadap multi-obat (TB-MDR). TB biasanya diobati
dengan empat obat anti-TB standar atau yang disebut lini pertama, yaitu isoniazid, rifampin,
dan fluoroquinolone. Jika obat ini disalahgunakan atau salah kelola, TB yang resisten
terhadap beberapa jenis obat (MDR-TB) dapat berkembang, sehingga membutuhkan waktu
lebih lama untuk diobati dengan obat lini kedua, yaitu amikacin, kanamycin, atau
capreomycin yang lebih mahal dan memiliki efek samping yang lebih banyak. XDR-TB
dapat berkembang ketika obat lini kedua juga disalahgunakan atau salah kelola dan menjadi
tidak efektif. WHO mendefinisikan XDR-TB sebagai MDR-TB yang resisten terhadap
setidaknya satu fluoroquinolone dan obat suntik lini kedua (amikacin, capreomycin, atau
kanamycin).
3
B. Determinan Sosial TB Paru
1. Pekerjaan

Gambar 2.1 Prevalensi TB menurut karakteristik pekerjaan


Gambaran kesakitan menurut karakteristik pekerjaan menunjukkan bahwa
kelompok masyarakat yang tidak bekerja memiliki prevalensi TB yang lebih tinggi
diantara kelompok lainnya. Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus
dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu, paparan
partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan atau kerusakan
pada saluran pernafasan sehingga dapat mempermudah infeksi sistem pernapasan oleh
berbagai kuman penyakit, salah satunya TB Paru. Selain itu, lingkungan kerja yang
kurang memperhatikan kesehatan pekerja seperti desain ruang kerja yang kurang baik
(berkaitan dengan ventilasi dan pencahayaan), tidak adanya alat pelindung diri (seperti
masker), dan fasilitas pendukung lain (seperti fasilitas untuk cuci tangan), bahkan karena
perilaku tidak sehat pekerja tersebut dapat meningkatkan morbiditas penyakit termasuk
TB paru.
2. Pendapatan
Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota
keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk
terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis konstruksi rumah dengan
mempunyai pendapatan yang kurang, maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak
memenuhi syarat kesehatan sehingga mempermudah terjadinya penularan penyakit TB
Paru.
Masyarakat yang pekerjaannya membuat gula nira, pendapatannya sangat
bergantung pada musim, jika ada musim kemarau bisa menghasilkan Rp10.000 sehari
atau lebih. Sementara itu, petani padi menghasilkan dalam kurun waktu kurang lebih 3
bulan. Petani sayur tidak setiap bulan bisa menghasilkan, sehingga kelompok masyarakat

4
ini harus berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan kondisi demikian,
tentu akan sulit bagi mereka untuk memprioritaskan kesehatan di atas pekerjaan mereka
karena tuntutan hidup yang ada.
3. Pendidikan dan Pengetahuan
Menurut karakteristik pendidikan, prevalensi TB semakin rendah sejalan dengan
tingginya tingkat pendidikan.

Gambar 2.2 Prevalensi TB menurut karakteristik pendidikan


Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang
diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit
TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk
mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan
mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan (Soewasti dkk
1997;56) menyatakan bahwa keterbatasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan serta upaya pencegahan
penyakit.
Oleh karena tingkat pendidikan yang rendah, masyarakat mungkin tidak tahu
informasi terkait penyakit TB, baik gejala, pencegahan, maupun penanggulangannya.
Selain itu, masyarakat masih memikirkan biaya untuk pengobatan TB paru, karena
ketidaktahuan akan informasi pengobatan gratis TB paru di Puskesmas maupun RS.
4. Kuintil Indeks Kepemilikan (Keadaan Sosial Ekonomi)

5
Gambar 2.3 Prevalensi TB menurut karakteristik kuintil indeks kepemilikan
Kesakitan TB menurut kuintil indeks kepemilikan ternyata tidak menunjukkan
perbedaan yang berarti antara kelompok terbawah sampai dengan menengah ke atas. Hal
menarik adalah tingkat ekonomi menunjukkan perbedaan berarti hanya pada kelompok
teratas yang memiliki prevalensi TB terendah.
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi
lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat
menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan
menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga mempermudah infeksi kuman TB
Paru.
5. Kebiasaan Merokok
Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230
batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480
batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada
laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%.
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk
mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker
kandung kemih. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya
infeksi TB Paru. Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terkena TB paru
sebanyak 2,2 kali.
6. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita
TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan akhirnya berakibat
menjadi sumber penularan bagi orang di sekelilingnya.
Faktor pengetahuan, sikap dan perilaku mempunyai pengaruh besar terhadap status
kesehatan individu maupun masyarakat dan berperan penting dalam menetukan
keberhasilan suatu program penanggulangan penyakit dan pencegahan penularannya
termasuk penyakit TB. Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan
oleh pengetahuan, sikap kepercayaan, tradisi dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Misalnya sebagian masyarakat punya perilaku malas berobat dan
menunggu penyakit bertambah parah atau mengganggu aktivitasnya baru mencari
6
pengobatan dan perilaku hidup bersih yang kurang yang dapat dilihat pada adanya
kebiasaan masyarakat untuk menggunakan barang secara bersama-sama misalnya
menggosok gigi memakai batu merah dengan jari, dan batu merah tersebut dipakai secara
bersama-sama dan kebiasaan masyarakat mencuci tangan di mangkok (wadah) yang
sama, tanpa sabun.
7. Budaya
Sosial budaya dan kebiasaan masyarakat yang menjadi faktor risiko penyakit TB
adalah sebagai berikut:
a. Adanya anggapan masyarakat bahwa penyakit TB merupakan penyakit keturunan,
keracunan, atau karena terkena ilmu hitam. Akibatnya masyarakat juga cenderung
mencari pengobatan tidak ke fasilitas kesehatan, melainkan mencari pengobatan
tradisional seperti daun rambutan dan daun sekakeh.
b. Perasaan malu apabila ketahuan mengidap penyakit TB, karena adanya stigma dan
diskriminasi terhadap penderita TB paru. Akibatnya masyarakat takut untuk
memeriksakan kesehatan mereka karena takut didiagnosa menderita TB, mereka
cenderung untuk mendiagnosa gejala-gejala yang mereka derita sebagai penyakit
pernapasan lain yang tidak berbahaya. Dampaknya, penemuan kasus TB dan
penanganan terlambat sehingga meningkatkan angka kematian.
c. Budaya dan kepercayaan masyarakat di Rote Ndao, dimana proses melahirkan bayi
dilakukan di rumah adat Sei NTT. Selama 40 hari, ibu dan bayi tidak boleh keluar
dari rumah, sehingga hal ini dapat menghambat program imunisasi TB.
d. Budaya pesta masyarakat di Rote Ndao yang mengalahkan kepentingan menjaga
kesehatan masyarakat untuk berobat, termasuk berobat TB.
e. Salah satu budaya (belief) “selamatan” pada acara keagamaan dan adat di Minang,
seringkali pada acara tersebut, cuci tangan dilakukan di tembala kobokan, dimana 1
tembala ditujukan untuk 4 orang, sehingga dapat meningkatkan risiko penularan
penyakit TB paru.
f. Budaya lain seperti makan sirih pinang yang akan mendorong orang untuk lebih
sering meludah. Kebiasaan meludah, dan termasuk membuang dahak, masih sering
dilakukan di sembarang tempat. Kebiasaan ini dapat meningkatkan risiko penularan
penyakit TB, apalagi bila dilakukan di dalam rumah yang lantainya tanah.
g. Desain rumah masyarakat di NTT, 10% rumah adat tidak ada jendela, 50%
masyarakat rumahnya berlantai tanah.

7
h. Kebiasaan masyarakat yang sering mengadakan syukuran, dimana dalam acara
tersebut masyarakat akan makan bersama menggunakan talam dan minum memakai
kendi secara bersama-sama, satu kendi dapat diberikan kepada puluhan orang untuk
minum, dan bahkan air yang diminum terkadang merupakan air sumur atau air dari
PAM yang tidak dimasak. Selain itu, kepercayaan (belief) masyarakat yang
beranggapan bila minum bekas air minum Kiai datuk Ismail adalah hal yang
bermanfaat bagi mereka terutama untuk mendapatkan kesembuhan, sehingga
diminum masyarakat ramai-ramai.
i. Budaya “begibung” (makan bersama dalam satu nampan) di Lombok Barat, NTB,
dapat memungkinkan pintu penularan penyakit TB.
j. Budaya memapak dari nenek ke cucunya atau dari ibu ke anaknya.
k. PMO sering drop out, sehingga pemilihan PMO perlu disesuaikan dengan struktur
sosial daerah setempat, seperti di Lombok Barat bila penderita TB adalah suaminya,
maka PMO sebaiknya ibu dari suaminya atau kakak suami yang tinggal tidak jauh
darinya. Struktur sosial di tempat ini mengharuskan istri patuh kepada suami sehingga
pemilihan istri sebagai PMO kurang tepat. Namun, apabila penderitanya adalah istri,
maka yang menjadi PMO adalah suaminya.

C. Solusi atau Rekomendasi Penanganan TB Paru


1. Tindakan pencegahan TBC paru pada orang yang belum terinfeksi
a. Selalu berusaha mengurangi kontak dengan penderita TBC paru aktif.
b. Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya bisa dengan mengkonsumsi
makanan yang bernilai gizi tinggi, menjaga lingkungan selalu sehat baik itu di rumah
maupun di tempat kerja (kantor), dan menjaga kebugaran tubuh dengan cara
menyempatkan dan meluangkan waktu untuk berolah raga.
c. Pemberian vaksin BCG, tujuannya untuk mencegah terjadinya kasus infeksi TBC
yang lebih berat. Vaksin BCG secara rutin diberikan kepada semua balita.
2. Tindakan pencegahan TBC paru pada orang yang sudah terinfeksi
Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi penederita TBC aktif tindakan yang bisa
dilakukan adalah menjaga kuman (bakteri) dari diri sendiri. Hal ini biasanya
membutuhkan waktu lama sampai beberapa minggu untuk masa pengobatan dengan obat
TBC hingga penyakit TBC sudah tidak bersifat menular lagi. Berikut ini adalah beberapa
tips dan cara untuk membantu menjaga pencegahan TBC agar infeksi bakteri tidak
menular kepada orang-orang di sekitar:
8
a. Selama beberapa minggu menjalani pengobatan sebaiknya tidak berpergian ke mana
pun baik itu sekolah, tidak melakukan aktifitas di tempat kerja (ngantor), dan tidak
tidur sekamar dengan orang lain meskipun keluarga sendiri sebagai usaha pencegahan
TBC agar tidak menular.
b. Sifat dari kuman (bakteri) TBC adalah memiliki kemampuan menyebar lebih mudah
di dalam ruangan yang tertutup di mana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan
untuk sirkulasi udara kurang, bukalah jendela dan nyalakan kipas angin untuk
meniupkan udalah dari dalam ke luar ruangan.
c. Selalu menggunakan masker untuk menutup mulut kapan saja ketika didiagnosis
TBC. Hal ini merupakan langkah pencegahan TBC secara efektif dan jangan
membuang masker yang sudah tidak dipakai lagi pada tempat yang tepat dan aman
dari kemungkinan terjadinya penularan TBC ke lingkungan sekitar.
d. Jangan meludah di sembarangan tempat, meludah hendaknya pada wadah atau tempat
tertentu yang sudah diberi desinfektan atau air sabun.
e. Menghindari udara dingin dan selalu mengusahakan agar pancaran sinar matahari dan
udara segar dapat masuk secukupnya ke ruangan tempat tidur. Usahakan selalu
menjemur kasur, bantal, dan tempat tidur terutama di pagi dan di tempat yang tepat.
f. Tidak melakukan kebiasaan sharing penggunaan barang atau alat. Semua barang yang
digunakan penderita TBC harus terpisah dan tidak boleh digunakan oleh orang lain
bai itu teman bahkan anak, istri dan keluarga. Perlu dingat dan diperhatikan bahwa
meraka yang sudah mengalami terkena penyakit infeksi TBC dan menjadi penderita
kemudian diobati dan sembuh kemungkinan bisa terserang infeksi kembali jika tidak
melalukan pencegahan TBC dan menjaga kesehatan tubuh.
g. Mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak kadar karbohidrat dan protein
tinggi.
Selain itu, memastikan program pengendalian TB Nasional berjalan dan dilakukan
sesuai standar internasional untuk perawatan TB, memberikan diagnosis dan pengobatan
yang tepat yntuk semua pasien TB, manajemen obat anti-TB yang tepat dan memberikan
dukungan kepada pasien untuk memaksimalkan kepatuhan minum obat yang diresepkan,
merawat kasus XDR-TB dengan ventilasi yang tepat, meminimalkan kontak pasien dengan
pasien lain, juga dibutuhkan infrastuktur pengendalian penyakit yang efektif untuk
pencegahan TB-XDR. Peningkatan pendanaan untuk penelitian, penguatan fasilitas
laboratorium, deteksi segera melalui tes kepekaan obat sangat penting, ketika mencoba
menghentikan penyebaran TB XDR.
9
Penderita hendaknya menelan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara teratur sesuai
petunjuk dan jangan berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai agar tidak
terjadi resistensi obat dan selama masa pengobatan hendaknya berobat secara teratur sampai
dinyatakan sembuh dan tidak menular.
Bagi petugas kesehatan diharapkan mampu menemukan penderita TB paru (finding
case) sedini mungkin dan penderita tersebut segera diobati secara teratur karena
sesungguhnya TB paru dapat disembuhkan dengan berobat teratur agar tidak menjadi sumber
penular bagi orang yang ada disekitarnya, menjelaskan kepada pasien tentang pentingnya
pengobatan tahap lanjutan walaupun pengobatan tahap intensif sudah selesai karena tahap
lanjutan dapat mencegah terjadinya kekambuhan, mengawasi pasien selama pengobatan
untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat agar tidak terjadi resistensi obat.
“Menuju masyarakat bebas masalah TB, sehat, mandiri dan berkeadilan”,
dikembangkan tujuh strategi yang merupakan terobosan menuju akses universal. Tujuh
strategi tersebut meliputi empat strategi utama dalam implementasi pengendalian TB dan tiga
strategi pendukung lainnya sebagai berikut:
1. Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu
2. Menghadapi tantangan TB/HIV, TB MDR, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya
3. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, LSM, dan swasta melalui
pendekatan Public-Private Mix (PPM) dan menjamin penerapan International Standards
for TB Care
4. Memberdayakan masyarakat dan pasien TB
didukung dengan:
5. Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan, termasuk pengembangan
SDM dan manajemen program pengendalian TB
6. Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program pengendalian TB
7. Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis

10
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang telah lama ada di dunia. Penyakit ini
merupakan penyakit berbahaya yang dapat menginfeksi beberapa organ tubuh, salah satunya
paru-paru. TB Paru diklasifikasikan menjadi beberapa kategori, yaitu TB-HIV, MDR-TB,
dan XDR-TB. Dari aspek sosial, penyakit ini dapat dipengaruhi oleh faktor pekerjaan, tingkat
pendidikan, kuintil indeks kepemilikan (keadaan sosial ekonomi), perilaku merokok, perilaku
dan budaya yang ada di masyarakat.
Pengobatan TB Paru bagi pasien baru dilakukan dengan strategi DOTS, dimana pasien
diberikan obat-obatan lini pertama. Untuk MDR-TB dan XDR-TB serta TB-HIV
memerlukan perlakuan khusus dalam pengobatannya. Diperlukan komitmen bersama untuk
penanganan dan pencegahan TB, baik pemerintah, tenaga kesehatan, keluarga, dan pasien itu
sendiri.

B. Saran
Penanganan kasus TB Paru harus lebih dini dan gencar lagi, terutama di wilayah dengan
prevalensi kasus yang tinggi. Pemerintah perlu lebih aktif lagi dalam menerapkan dan
mengawasi pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan TB Paru di Indonesia.
Pendekatan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan perlu diubah agar lebih
berorientasi pada pasien, sehingga penanganan pasien dapat lebih meningkatkan kesadaran
pasien dan keluarga mengenai pentingnya pengobatan TB sampai tuntas. Selain itu,
pendekatan yang lebih ramah dapat membuat pasien nyaman dan tidak putus asa terhadap
penyakitnya sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan. Fasilitas pelayanan kesehatan juga dapat
mengedukasi masyarakat maupun keluarga tentang pencegahan, pengobatan dan pentingnya
dukungan terhadap pasien TB. Terakhir, perlunya peran keluarga maupun orang terdekat
yang memberikan dukungan terhadap pasien untuk sembuh dan mencegah penularan kepada
orang lain.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Infodatin. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Kementerian Kesehatan RI,


Pusat Data dan Informasi. 2016
2. Zulaikhah ST, dkk. Pemantauan efektivitas obat anti tuberkulosis berdasarkan
pemeriksaan sputum pada penderita tuberkulosis paru. Semarang. 2010 Juni; 3 (1): 1-5
3. Ajmala IE, dkk. Terapi arv pada penderita ko-infeksi tb-hiv. Jurnal Respirasi. 2015
Januari; 1 (1): 22-28
4. Mursyaf NA, dkk. Keberhasilan pengobatan tb paru di wilayah kerja puskesmas
panambungan kota makassar. Higiene. Makassar. 2018; 4 (1): 32-40
5. Kemenkes RI. Programmatic management of drug resistance tuberculosis pengendalian
tuberculosis Indonesia:2011-2014. 2011
6. Wahyuni. Determinan Perilaku Masyarakat Dalam Pencegahan Penularan Penyakit
TBC Di Wilayah Kerja Puskesmas Bendosari. Gaster. 2008; 4 (1): 178-183. Dalam:
http://jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/stikes/article/download/99/98
(Diakses pada Oktober 2019)
7. Lohonau, Febriane. Determinan Sosial Penyakit Tuberkulosis. Dalam:
https://www.academia.edu/28667607/Determinan_Sosial_Penyakit_Tuberkulosis
(Diakses pada Oktober 2019)
8. Media, Yulfrra. Faktor-Faktor Sosial Budaya yang Melatarbelakangi Rendahnya
Cakupan Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Puskesmas Padang Kandis, Kecamatan
Guguk Kabupaten 50 Kota (Provinsi Sumatera Barat). Buletin Penelitian Kesehatan.
2011; 39 (3): 119-128
9. Pratiwi LP, dkk. Faktor Determinan Budaya Kesehatan Dalam Penularan Penyakit TB
Paru. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2012 Januari; 15 (1): 26-37

Anda mungkin juga menyukai