Kasus 2
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_Perlu_Diketa
hui.html. 10 Agustus 2014.
Hasil Pembelajaran
1. Diagnosis Demam Tifoid
2. Gejala Demam Tifoid
3. Penatalaksanaan Demam Tifoid
Subyektif
Pasien An. S usia 3 tahun datang ke IGD RS TK IV Dr. bratanata yang
merupakan kiriman dari dr. Pandji Prijadi Budojo Sp.A dengan keluhan demam sejak
± 5 hari SMRS. Demam dirasakan terus menerus sepanjang hari namun lebih
meningkat di malam hari. Oleh ibunya diberi obat penurun panas dan panas turun
beberapa saat setelah minum obat, namun kemudian naik lagi. Demam tidak disertai
menggigil dan berkeringat, dan tidak ada kejang. Anak mengeluhkan nyeri didaerah
ulu hati dan juga mengalami mual namun tidak muntah, Nafsu makan anak menurun
sejak terjadinya demam, namun minum masih kuat. Anak juga mengeluhkan batuk
sejak 2 hari yang lalu, berdahak, dan tidak berdarah, serta mengeluhkan pilek. Buang
air kecil normal seperti biasa, berwarna kuning muda, dan tidak ada nyeri saat buang
air kecil. Anak juga mengalami tidak ada buang air besar sejak 2 hari yang lalu, flatus
ada. Tidak ada perdarahan pada gusi, hidung, BAB. Tidak ada riwayat berpergian ke
luar kota.
Obyektif
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALISATA
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Nadi : 90 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 38,7 0C
Berat badan : 14 kg
Kepala : Normocephaly
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, palpebra
edema (-)
Telinga : Sekret (-)
Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-),
Bibir : sianosis (-), anemis (-)
Lidah : simetris (+), kotor (+), tremor (+)
Leher : tidak teraba pembesaran tiroid, tidak teraba pembesaran KGB,
peningkatan vena jugularis (-).
Thoraks :
- Paru
a) Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, sikatrik (-), retraksi
sela iga (-)
b) Palpasi : vocal fremitus sama kanan dan kiri
c) Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
d) Auskultasi : suara nafas vesikuler, wheezing (-/-), ronchi (-/-)
- Jantung
a) Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
b) Palpasi : ictus cordis teraba ICS V
c) Auskultasi : S1 S2 reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen :
a) Inspeksi : Abdomen simetris, jejas (-)
b) Auskultasi : Bising Usus (+) N
c) Palpasi : Distensi abdomen (-), Nyeri tekan epigastrium (+),
Lien dan hepar tidak teraba.
d) Perkusi : Tympani (+), pekak hati (-), asites (-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin (13-02- 2017)
Hematologi
MCV/MCH/MCHC
RDW-SD 46,4 fl
RDW-CV 13 11-16 %
PCT 0,2 %
Differential
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 2 0,5-5 %
Limfosit 26 20-40 %
Monosit 3 2-8 %
Neutrofil 69 50-70 %
Lain-lain
Kadar : 6 mg/L
Titer Hasil Nilai rujukan Keterangan
Assessment
A. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh salmonella typhi.1
Pada tahun 1829 Pierre Louis (prancis) mengeluarkan istilah typhoid yang
berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata yunani
typhos. Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai
kesadaran yang terganggu.1
B. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus
kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di
daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000
penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita
yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.1
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat
bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk
beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering
maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu
pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp
63°C).1
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada
dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari
seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan
sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
C. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S.
paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).1,2
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-
negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap
multipel antibiotik.2
Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi
D. Patogenesis
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan
ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman
akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang
melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke
lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel
fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian
kelenjar getah bening mesenterika.2
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia
jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi
pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi
akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.1
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di
reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan
neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.1
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak
stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologis.2
E. Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari debgan rata-rata
antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat berfariasi, dari gejala klinis
ringan dan tidak memerlukanperawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus
dirawat. Variasi gejala ini disebabkan factor galur salmonella, status nutrisi dan
imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya. 2
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada
era pemakaian antibiotic belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusu yaitu step ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya
dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan
bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali
apabila terjadi focus infeksi.2
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala,
malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus
yang berpenampilan berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat.
Bahkan dapat juga dijumpai penderitademam tifoid yang dating dengan syok
hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. gejala
gastrointestinal sangat bervarias, pasien dapat mengeluh diare, obstipasi, atau
obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor
dengan putih ditengah sedang tepid an ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala
meteorismus, berbeda dengan buku bacaan barat pada anak Indonesia lebih banyak
dijumpai hepatomegaly dibandingkan splenomegaly.2,3
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-
5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung
pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronchitis banyak dijumpai
pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian dari
penyakit demam tifoid. Bradikardi relative jarang dijumpai pada anak.2
F. Komplikasi
H. Diagnosis
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis
demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥1/40 dengan
memakai uji Widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45
menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96%
kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan.
Banyak senter mengatur pendapat apabila titer o aglutinin sekali periksa ≥1/200 atau
pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul
negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif. 1,2,3
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk
mendeteksi antibodi S. typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah,
serum dan urin bahkan DNA S typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain
reaction talah digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. Typhi secara
spesifik pada darah pasien dan hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam.
Metode ini spesifik dan lebih sensitif dibandingkan dengan biakan darah. Walaupun
laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang baik namun sampai sekarang
tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang baik belum disepakati
adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.3
I. Diagnosis Banding
J. Tatalaksana
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah
baring, isolasiyang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian
antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan
cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat
dilakukan dengan seksama. Pengobatan antibiotik merupakan pengobatan utama
karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmoneella typhi berhubungan dengan
keadaan bakteriemia.2
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan
shock pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk
dosi awal, dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping
antibiotik yang memadai, dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi
10%. Demam tiloid dengan penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan
transfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada
peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan
diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai
penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10 cm
disetiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi
trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup
sehingga menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih
dalam pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah. 1,2,3
K. Prognosis
Prognosis pasien demam typoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidak nya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi
antibiotik yang angka mortalitas <1%. Dinegara berkembang, angka mortalitasnya
>10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan.
Munculnya komplika seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis, dan neumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas
yang tinggi.3
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi
≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada
anak- anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari
seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat
terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.3
L. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oc
untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57 oc beberapa menit dan secara
merata juga dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu
negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan
pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi.
Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.3
Plan
Terapi sesuai advice dr. Pandji Sp.A :
IVFD RL 10 tpm
Injeksi ceftriaxone 1 x 700 mg
Injeksi ranitidine 2 x 0,8 cc
Injeksi dexametason 3 x ½ amp
Paracetamol inf 20 cc / 4 jam
PO : Ataroc 2 x ½ c
Comtusi 3 x 1 cth
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
6-11-2017 Demam (+), sakit Kesadaran : CM Demam IVFD RL 10 tpm
perut (+), mual (+), Vital sign : tifoid Injeksi ceftriaxone 1 x
muntah (-), batuk Nadi: 700 mg (iv)
(+), pilek (+), BAB 90 kali/menit Injeksi ranitidine 2 x
(-), tidak mau Nafas: 0,8 cc (iv)
makan 24 kali/menit Injeksi dexametason 3
0
Suhu: 38,7 C x ½ amp (iv)
PF: NTE (+) Paracetamol inf 20 cc /
4 jam (iv)
Comtusi 3 x 1 cth
Ataroc 2 x ½ c
Sanvita B 3 x 1 cth
7-11-2017 Demam (+), sakit Kesadaran : CM Demam IVFD RL 10 tpm
perut (+) Vital sign : tifoid Injeksi ceftriaxone 1 x
berkurang, mual (- Nadi: 700 mg (iv)
), muntah (-), batuk 84 kali/menit Injeksi ranitidine 2 x
(+), pilek (+), BAB Nafas: 0,8 cc (iv)
(+) biasa 24 kali/menit Injeksi dexametason 3
0
Suhu: 37,7 C x ½ amp (iv)
PF: NTE (+) Comtusi 3 x 1 cth
Ataroc 2 x ½ c
Sanvita B 3 x 1 cth
8-11-2017 Demam (+), sakit Kesadaran : CM Demam IVFD RL 10 tpm
perut (+) Vital sign : tifoid Injeksi ceftriaxone 1 x
berkurang, mual (- Nadi: 700 mg (iv)
), muntah (-), batuk 82 kali/menit Injeksi ranitidine 2 x
(+) berkurang, pilek Nafas: 0,8 cc (iv)
(-), BAB (+) biasa 22 kali/menit Injeksi dexametason 3
0
Suhu: 37,2 C x ½ amp (iv)
PF: NTE (+) Comtusi 3 x 1 cth
Ataroc 2 x ½ c
Sanvita B 3 x 1 cth
9-11-2017 Demam (-), sakit Kesadaran : CM Demam Boleh pulang
perut (-), mual (-), Vital sign : tifoid Obat pulang :
muntah (-), batuk Nadi:
Comtusi 3 x 1 cth
(+) berkurang, pilek 80 kali/menit
Ataroc 2 x ½ c
(-) Nafas:
Sanvita B 3 x 1 cth
22 kali/menit
Suhu: 36,80C
PF: NTE (-)
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Ad Bonam
Ad functionam : Dubia Ad Bonam
Ad sanationam : Dubia Ad Bonam