Anda di halaman 1dari 19

LBM 1 Pingsan Setelah Kepala Terbentur

Step 1
 Echymosis periorbital bilateral
Bercak perdarahan kecil pada kulit atau membran mukosa tapi lebih besar dari petekie,
berwarna biru atau keunguan yang terjadi di sekitar daerah rongga bola mata.
Petekiepurpuraechymosis
 Battle’s sign
Perubahan warna pada kulit di daerah mastoid tengkorak karena pecahnya pembuluh darah
pada garis arteri aurikular posterior.
 GCS: Glasgow Coma Scale
Penilaian kesadaran penderita dan reaksi nya terhadap rangsang, biasanya untuk menilai
berat ringannya trauma kepala.
 Epistaksis
Mimisan;keluar darah lewat hidung

Step 2
1. Mengapa terjadi epistaksis?
Pecahnya pembuluh darah kecil yang berada diujung yang mendarahi hidung yang letaknya
di anterior septum nasal cartilaginosa.
Pembuluh darah apa saja yang mendarahi hidung?
2. Mengapa terjadi echymosis periorbital bilateral?
Karena pecahnya pembuluh darah di sekitar mata namun tidak disertai dengan robeknya
kulit.
3. Mengapa terjadi battle’s sign?
Pecahnya pembuluh darah pada garis arteri aurikular posterior.
4. Mengapa keluar darah dari kedua telinga?
Pecahnya pembuluh darah pada pars petrosa os temporale sehingga merobek selaput
otaknya.
Dimana letak rusaknya lapisan otak yang menyebabkan keluarnya darah pada pars petrosa?
5. Bagaimana pemeriksaan GCS?
Pemeriksaan GCS dinilai Eye, Visual dan Motoriknya.
Eye: Membuka tanpa rangsangan (4)
Membuka dengan rangsangan suara (3)
Membuka dengan rangsangan nyeri (2)
Tidak membuka dengan rangsangan apapun (1)
Visual: Bicara jelas (5)
Bicara kurang jelas dan disorientasi tempat (4)
Bicara tidak jelas (3)
Hanya mengerangg (2)
Tidak bisa bicara (1)
Motorik: Sesuai rangsangan (4)
Fleksi abnorma (3)
Ekstensi abnormal (2)
Tanpa respon (1)
TotaL GCS 14-15: Cidera Kepala Ringan
9-13: Cidera Kepala Sedang
3-8 : Cidera Kepala Berat
<3 : Koma
6. Mengapa suhunya 38 derajat celcius?
Karena perubahan pada tekanan intrakranial meningkat dan reaksi inflamasi.
Ketika tekanan intrakranial meningkat, maka hipotalamus sebagai pengatur suhu tubuh
terganggu.
7. Mengapa terjadi gangguan kesadaran (tiba-tiba pingsan)?
Karena adanya kerusakan jaringan akibat benturan menyebabkan hematom atau
pendarahan sehingga menyebabkan tekanan intrakranial meningkat progresif dan akhirnya
pingsan.
Pingsan secara umum karena adanya blokade batang otak yang menghubungkan otak
dengan medulla spinalis sehingga input aferen turun.
8. Apa indikasi dilakukan pemeriksaan foto polos kepala dan CT-Scan kepala?
Riwayat terjadi benturan di kepala, penurunan kesadaran, konvulsi.

Step 3
1. Fisiologi sistem saraf secara umum
Sistem saraf pusat memiliki tingkatan-tingkatan:
a. Tingkat medulla spinalis:
b. Tingkat subkortikal: menjawab semua rangsangan sensorik dengan perilaku motorik
c. Tingkat korteks: sistem memori; sebagai pembanding segala sesuatu yang pernah terjadi
dan proses berpikir.
Semakin tingkat tinggi tingkatannya maka di tempat tersebutlah berguna untuk sistem
memori.
Kesadaran adalah keadaan yang mencerminkan terintegrasinya impuls aferen dan eferen.
Pusat kesadaran berada di gyrus parahipocampalis.
2. Trauma kapitis
a. Definisi
Cedera pada kepala yang menyebabkan kerusakan jaringan.
b. Etiologi
Trauma langsung: trauma langsung terjadi pada kepala, seperti pada kecelakaaan lalu
lintas
Trauma tidak langsung: trauma tidak langsung pada kepala namun efeknya sampai ke
kepala, contohnya komplikasi pada penyakit hipertensi intrakranial.
c. Faktor resiko
Tidak menggunakan pengaman kepala
Penyakit kronis seperti epilepsi
d. Klasifikasi
Berdasarkan patologi:
- Komosio cerebri atau gegar otak: otak tidak dapat menjalankan fungsinya dengan
baik; tidak ada kerusakan jaringan otak
- Contusio cerebri atau kerusakan jaringan otak
- Laseratio cerebri: adanya bangunan otak yang hilang; kerusakan besar dan luas
sehingga jaringan otak robek dan disertai fraktur terbuka pada tengkorak.
Berdasarkan lokasi lesi:
- Lesi difus: seluruhnya mengalami kerusakan
- Lesi vaskuler otak seperti lesi sekunder iskemik terutama karena hipoksia dan
hipoperfusi yang biasanya terjadi saat dibawa ke rumah sakit
- Lesi fokal seperti hematom subarachonoid,hematom intrakranial, hematom
intracerebral.
e. Patogenesis
Derajat kesadaran dipengaruhi oleh integritas difus ascendens retikular sistem. Ujung
rostral bersambung dengan otak sedangkan bagian caudal bersambung dengan medulla
spinalis. Jika ada akselerasi seperti goncangan kepala maka sambungan mudah teregang
sehingga timbulah blokade reversibel pada lintasannya sehingga input aferen tidak
tersalurkan dan timbullah ketidaksadaran.
Apakah akselerasi dan deakselerasi itu?
f. Patofisiologi
g. Manifestasi klinik
Gangguan kesadaran
Abnormalitas pupil
Adanya perubahan tanda vital
Gangguan penglihatan dan pendengaran
Disfungsi sensorik
h. Diagnosis
Anamnesis dan alloanamnesis: riwayat terjadi benturan: waktu, lokasi, sifat, kronologis,
kesadaran; GCS
PF: Airway, Breathing, Circulation
PP: Foto kepala polos, CT Scan, MRI, EEG (Echoensephalograph) untuk mengetahui
pergeseran garis tengah otak.
i. Penatalaksanaan
Utamakan ABC nya (pemberian oksigen, dll)
Debridemen luka
Transfusi darah
Trauma kapitis berat: transfusu,penilaian ulang jalan nafas dan ventilasi, monitor TD,
pemasangan monitor tekanan intrakranial pada pasien GCS <8, pemberian antikejang
Trauma kapitis sedang: lanjutkan ABC, pantai Vital Sign dan pupil, penanganan lanjut
GCS, gerakan ekstremitas, pantau GCS 4 jam sekali hingga GCS mencapai 15
Trauma kapitis ringan: pada umumnya dapat dipulangkan tanpa perlu dilakukan CT Scan
j. Komplikasi
Kejang
Infeksi (jika luka terbuka)
Gangguan koagulasi intravaskuler
Amnesia
Diabetes incipidus (jika terjadi kerusakan pada hipofisis)
Gangguan hormon
Kelumpuhan
Stroke
k. Prognosis
Tergantung derajat trauma. Trauma derajat ringan kebanyakan dubia ad bonam
Media penegakan prognosis?
Step 4
Langsung
TRAUMA

Tidak langsung

Blokade
Perdarahan
intrakranial Kesadaran <<

Epistaksis Keluar darah dari telinga

Echymosis Periorbital

Battle’s sign

GCS

ABC

Step 5
1. Mengapa terjadi epistaksis?
Pembuluh darah apa saja yang mendarahi hidung?
2. Mengapa terjadi echymosis periorbital bilateral?
3. Mengapa terjadi battle’s sign?
4. Mengapa keluar darah dari kedua telinga?
Dimana letak rusaknya lapisan otak yang menyebabkan keluarnya darah pada pars petrosa?
5. Bagaimana pemeriksaan GCS?
6. Mengapa suhunya 38 derajat celcius?
7. Mengapa terjadi gangguan kesadaran (tiba-tiba pingsan)?
8. Apa indikasi dilakukan pemeriksaan foto polos kepala dan CT-Scan kepala?
9. Fisiologi sistem saraf secara umum
10. Apa saja lapisan pembungkus otak?
11. Trauma kapitis
a. Definisi
b. Etiologi
c. Faktor resiko
d. Klasifikasi
e. Patogenesis
Apakah akselerasi dan deakselerasi itu?
f. Patofisiologi
g. Manifestasi klinik
h. Diagnosis
i. Penatalaksanaan
j. Komplikasi
k. Prognosis
Media penegakan prognosis?

Step 6

Step 7
1. MENGAPA TERJADI EPISTAKSIS?
PEMBULUH DARAH APA SAJA YANG MENDARAHI HIDUNG?
2. MENGAPA TERJADI ECHYMOSIS PERIORBITAL BILATERAL?
3. MENGAPA TERJADI BATTLE’S SIGN?
4. MENGAPA KELUAR DARAH DARI KEDUA TELINGA?
DIMANA LETAK RUSAKNYA LAPISAN OTAK YANG MENYEBABKAN KELUARNYA DARAH
PADA PARS PETROSA?
5. BAGAIMANA PEMERIKSAAN GCS?

GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah
pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik.
Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.

Eye (respon membuka mata) :

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat.
Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang
nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang
nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki
extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M…

Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3
yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)

6. MENGAPA SUHUNYA 38 DERAJAT CELCIUS?


7. MENGAPA TERJADI GANGGUAN KESADARAN (TIBA-TIBA PINGSAN)?
8. APA INDIKASI DILAKUKAN PEMERIKSAAN FOTO POLOS KEPALA DAN CT-SCAN
KEPALA?
9. FISIOLOGI SISTEM SARAF SECARA UMUM
10. APA SAJA LAPISAN PEMBUNGKUS OTAK?

11. TRAUMA KAPITIS


a. DEFINISI
Trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung
yang menyebabkan gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen. PERDOSSI 2006
b. ETIOLOGI
c. FAKTOR RESIKO
Usia muda (15 – 30 thn)
Sosio-ekonomi rendah
Tidak menikah
Pria
Riwayat penggunaan obat terlarang
Riwayat trauma kapitis sebelumnya
Dawodu, 2007
d. KLASIFIKASI

 Menurut Listiono (1998), klasifikasi TK berdasarkan keadaan patologis dan tampilan


klinisnya.

Klasifikasi Patologis TK

a. TK Primer

TK primer merupakan efek langsung trauma pada fungsi otak, dimana kerusakan
neurologis langsung disebabkan oleh suatu benda/serpihan tulang yang
menembus/merobek jaringan otak karena efek percepatan-perlambatan
(Lombardo, 1995). Jaringan yang mungkin terkena pada TK adalah:

1. Kulit (hematom kulit kepala; luka kulit kepala  luka lecet dan luka robek).

2. Tulang (fraktur calvaria  linear, impresi, depresi, ekspresi; fraktur basis cranii).

3. Lesi intrakranial :

 Lesi fokal (Kontusio cerebri, PIS, PED, PSD, PSA).

 Lesi difus (Konkusio/comutio cerebri, Cedera Axonal Difus, Laserasi cerebri).

b. TK Sekunder

Menurut Listiono (1998) dan Fauzi (2002), penyebab TK sekunder adalah:

 Penyebab sistemik (hipotensi, hipoksia, hipertermi, hiponatremia).

 Penyebab intrakranial (TIK meningkat, hematom, edema, kejang, vasospasme dan


infeksi).

Klasifikasi berdasarkan pemeriksaan klinis


Mengingat fasilitas pemeriksaan neuroradiologis berupa CT-scan masih
jarang, maka agar dapat mengelola dengan baik, pasien-pasien cedera otak,
khususnya jenis tertutup, berdasarkan gangguan kesadarannya (berdasarkan
Glasgow Coma Scale + GCS) dikelompokkkan menjadi :

1. Cedera kepala ringan (Head Injury Grade I)

GCS : 13-15 bisa disertai disorientasi, amnesia, sakit kepala, mual, muntah.

2. Cedera kepala sedang (Head Injury Grade II)

GCS : 9-12 atau lebih dari 12 tetapi disertai kelainan neurologis fokal.

Disini pasien masih bisa mengikuti/menuruti perintah sederhana.

3. Cedera kepala berat.

GCS : 8 atau kurang (penderita koma), dengan atau tanpa disertai gangguan
fungsi batang otak.

Perlu ditekankan di sini bahwa penilaian derajat gangguan kesadaran ini


dilakukan sesudah stabilisasi sirkulasi dan pernafasan guna memastikan bahwa
defisit tersebut diakibatkan oleh cedera otak dan bukan oleh sebab yang lain.

Skala ini yang digunakan untuk menilai derajat gangguan kesadaran,


dikemukakan pertama kali oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974.

Penilaiannya adalah berdasarkan respons membuka mata (= E), respon motorik


(= M) dan respon verbal (= V).

Pemeriksaan GCS tidak memerlukan alat bantu, mudah dikerjakan sehingga


dapat dilakukan dimana saja oleh siapa saja.

Patologi
o Komosio serebri
o Kontusio serebri
o Laserasio serebri
Lokasi lesi
o Lesi diffus
o Lesi kerusakan otak vaskuler
o Lesi fokal
 Kontusio dan laserasio serebri
 Hematoma intrakranial
e. PATOGENESIS
APAKAH AKSELERASI DAN DEAKSELERASI ITU?
f. PATOFISIOLOGI
g. MANIFESTASI KLINIK
Tanda Diagnostik Klinik Epidural Hematoma : 7

1. Lucid interval (+)


2. Kesadaran makin menurun
3. Late hemiparese kontralateral lesi
4. Pupil anisokor
5. Babinsky (+) kontralateral lesi
6. Fraktur daerah temporal

Gejala dan Tanda Klinis Epidural Hematoma di Fossa Posterior : 7

1. Lucid interval tidak jelas


2. Fraktir kranii oksipital
3. Kehilangan kesadaran cepat
4. Gangguan serebellum, batang otak, dan pernafasan
5. Pupil isokor

h. DIAGNOSIS
i. PENATALAKSANAAN

CKR :

 Perawatan selama 3-5 hari


 Mobilisasi bertahap
 Terapi simptomatik
 Observasi tanda vital
CKS :

 Perawatan selama 7-10 hari


 Anti cerebral edem
 Anti perdarahan
 Simptomatik
 Neurotropik
 Operasi jika ada komplikasi
CKB :

 Seperti pada CKS


 Antibiotik dosis tinggi
 Konsultasi bedah saraf

j. KOMPLIKASI
Menurut Harsono (1999), terdapat faktor prediksi terhadap komplikasi jangka
panjang TK, yaitu: kualitas TK, frekuensi TK, jenis perubahan anatomi, usia penderita.

Akibat jangka panjang TK;

1. Kerusakan saraf cranial (anosmia, gangguan visual, oftalmoplegi, paresis fasialis,


gangguan auditorik)

2. Disfasia.

3. Hemiparesis.

4. Sindrom Pasca TK/ Post Concussional Syndrome.

5. Fistula karotika-kavernosus.

6. Epilepsi post trauma.

7. Infeksi dan fistula LCS.

k. PROGNOSIS
Prognosis dari trauma kapitis selama ini adalah berdasarkan hasil dari
pemeriksaan CT scan, dan juga pemeriksaan neurologis, serta belakangan ini juga
dikembangkan penggunaan Magnetic Resonance Imaging, Cerebral Perfusion
Pressure, Cerebral Venous Oxygen saturation in the jugular veins, dan juga
cerebral blood flow. Namun belum ada yang dijadikan indikator yang reliable
adalah dengan pemeriksaan marker serum untuk koagulopati. Hoffman, dkk
2001

EPIDURAL HEMATOM
Epidural hematom adalah perdarahan akut pada lokasi epidural. Fraktur tulang kepala dapat merobek
pembuluh darah, terutama arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum
dan jalan antara duramater dan tulang di permukaan dalam os temporale

darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan
sebutan epidural hematom

ETIOLOGI
 Pada keadaan yang normal, sebenarnya tidak ada ruang epidural pada kranium. Dura melekat pada kranium.
Perdarahan biasanya terjadi dengan fraktur tengkorak bagian temporal parietal yang mana terjadi laserasi
pada arteri atau vena meningea media.

Oleh karena arteri meningea media terlibat, terjadi perdarahan yang tidak terkontrol,  maka akan
mengakibatkan  terjadinya akumulasi yang cepat dari darah pada ruang epidural, dengan peningkatan tekanan
intra kranial (TIK) yang cepat, herniasi dari unkus dan kompresi batang otak

Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi pembuluh darah
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga makin lama makin
besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah
terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan
pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan
diri dan tidak pernah mengalami fase sadar. (8)
Sumber perdarahan :
• Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
• Sinus duramatis
• Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica

GAMBARAN KLINIS
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini
seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada
saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. (3)
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang
muncul bersaman pada saat terjadi cedera kepala.
Gejala yang sering tampak : (3,8)
• Penurunan kesadaran, bisa sampai koma
• Bingung
• Penglihatan kabur
• Susah bicara
• Nyeri kepala yang hebat
• Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
• Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.
• Mual
• Pusing
• Berkeringat
• Pucat
• Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

PENATALAKSANAAN
Penanganan darurat :
• Dekompresi dengan trepanasi sederhana
• Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom

PROGNOSIS 
Prognosis tergantung pada :
• Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
• Besarnya
• Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara
menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus. Prognosis
sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

HEMATOMA SUBDURAL
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural. Dalam bentuk akut yang hebat,baik
darah maupun cairan serebrospinal memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya
arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak.
ETIOLOGI

Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan
ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater,
misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar
akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan
keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. 
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati. 

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak.
Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh
sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan
intra kranial yang cukup tinggi

PEMBAGIAN CEDERA KEPALA

1. Simple Head Injury


Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:

 Ada riwayat trauma kapitis


 Tidak pingsan
 Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan cukup
istirahat.

2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih
dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.

Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat amnesia
retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya
kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan
memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan
terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron
mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah
adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga
menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat
blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama
blockade reversible berlangsung.

Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan


“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky
yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya
menunjukkan “organic brain syndrome”.

Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada


trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga
terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau
menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah
dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya
kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral edem, anti
perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.

4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid
traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas laceratio
langsung dan tidak langsung.

Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka.
Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat
kekuatan mekanis.

5. Fracture Basis Cranii


Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior.
Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang terkena.

Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:

 Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding


 Epistaksis
 Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:

 Hematom retroaurikuler, Ottorhoe


 Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi :

 Gangguan pendengaran
 Parese N.VII perifer
 Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus
disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif
bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
Adapun pembagian cedera kepala lainnya:

 Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio


Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
 Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
 Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

Tanda – tanda dari fraktur dasar tengkorak adalah :


- Otorrhea atau keluarnya cairan otak melalui telinga menunjukan terjadi fraktur pada
petrous pyramid yang merusak kanal auditory eksternal dan merobek membrane timpani
mengakibatkan bocornya cairan otak atau darah terkumpul disamping membrane timpani
(tidak robek)
- Battle Sign (warna kehitaman di belakang telinga) : Fraktur meluas ke posterior dan
merusak sinus sigmoid. 
- Racoon atau pandabear: fraktur dasar tengkorak dari bagian anterior menyebabkan darah
bocor masuk ke jaringan periorbital. 

Selain tanda diatas fraktur basal juga diindikasikan dengan tanda – tanda kerusakan saraf
cranial. 
- Saraf olfaktorius, fasial dan auditori yang lebih sering terganggu. Anosmia dan kehilangan
dari rasa akibat trauma kepala terutama jatuh pada bagian belakang kepala. Sebagian besar
anosmia bersifat permanen 
- Fraktur mendekati sella mungkin merobek bagian kelenjar pituitary hal ini dapat
mengakibatkan diabetes insipidus 
- Fraktur pada tulang sphenoid mungkin dapat menimbulkan laserasi saraf optic dan dapat
menimbulkan kebutaan, pupil tidak bereaksi terhadap cahaya. Cedera sebagian pada saraf
optic dapat menimbulkan pasien mengalamipenglihatan kabur . 
- Kerusakan pada saraf okulomotorius dapat dikarakteriskan dengan ptosis dandiplopia 
- Kerusakan pada saraf optalmic dan trigeminus yang diakibatkan fraktur dasar tengkorak
menyebrang ke bagian tengah fossa cranial atau cabang saraf ekstrakranial dapat
mengakibatkan mati rasa atau Paresthesia 
- Kerusakan pada saraf fasial dapat diakibatkan karena fraktur tranversal melalui tulang
petrous dapat mengakibatkan facial palsy segera ,sedangkan jika fraktur longitudinal dari
tulang petrous dapat menimbulkan fasial palsy tertunda dalam beberapa hari. 
- Kerusakan saraf delapan atau auditorius disebabkan oleh fraktur petrous mengakibatkan
hilang pendengaran atau vertigo postural dan nystagmus segera setelah trauma. 
- Fraktur dasar melalui tulang sphenoid dapat mengakibatkan laserasi pada arteri karotis
internal atau cabang dari intracavernous dalam hitungan jam atau hari akan
didapat exopthalmus berkembang karena darah arteri masuk kes sinus dan bagian superior
mengembung dan bagian inferior menjadi kosong dapat mengakibatkan nyeri 
- Jika fraktur menimbulkan ke bagian meningen atau jika fraktur melalui dinding sinus
paranasal dapat mengakibatkan bakteri masuk kedalam cranial cavity dan
mengakibatkan meningitis dan pembentukan abses, dan cairan otak bocor kedalam sinus
dan keluar melalui hidung atau disebut rinorhea. Untuk menguji bahwa cairan yang keluar
dari hidung merupakan cairan otak dapat menggunakan glukotest dm (karena mucus tidak
mengandung glukosa). Untuk mencegah terjadinya meningitis pasien propilaksis diberikan
antibiotik. 
- Penimbunan udara pada ruang cranial (aerocele) sering terjadi pada fraktur tengkorak
atau prosedur –dapat menimbulakn pneumocranium 

1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri kepala sebentar
kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-
gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun,
nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit,
lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks cahaya. Ini adalah
tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati hematoma
subkutan
o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan traktus piramidalis,
misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks patologik positif.
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan pengikatan
pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri

o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama


Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian


Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.

Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak (bagian
dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak)

Isodens → terlihat dari midline yang bergeser

o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi)
dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut terdiri dari
trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada lobus
temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya
berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput
dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi.
Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak
yang terkena.

4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin hingga
berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah
dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.

 TIK meningkat
 Cephalgia memberat
 Kesadaran menurun
Jangka Panjang :

1. Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,
disfagia, kadang ada hemiparese

2. Sindrom pasca trauma


Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.

Mekanisme Trauma Kepala

1. Direct Impact → lesi berada satu sisi dengan trauma

2. Akselerasi-Deselerasi

* Dasar : massa jenis kranium > massa jenis otak.

* Terjadi percepatan kranium searah dengan trauma padahal cerebrum sedang dalam
perjalanan searah trauma→ terjadi benturan antara kranium dengan cerebrum.

3. Shock wave injury

- Dasar : trauma merupakan gelombang yang dijalarkan melalui kranium dan

cerebrum.

- Terjadi pada trauma beberapa kali sekaligus:

* trauma I → terjadi perambatan gelombang.

* trauma II → gelombang dialirkan kembali kearah semula sehingga

terjadi benturan 2 gelombang yang mengakibatkan kerusakan berupa


kontusio/comutio.

4. Rotational injury

Trauma dengan membentuk sudut akibat putaran kepala (pemuntiran).

Anda mungkin juga menyukai