OLEH :
NAMA : NI MADE
PURIASIH NIM : P07120219013
KELAS : S.Tr KEPERAWATAN/2A
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2021
A. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung, dengan disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan
gangguan fungsi otak. Menurut Brain Injury Association of America, cedera
kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang
dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Morton (2012). Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit
kepala, tengkorak, dan otak. Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari
fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi
otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-
271).
M. Clevo Rendi, Margareth TH (2012). Cedera kepala yaitu adanya deformasi
berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak,
percepatan dan pelambatan (accelerasi-deceleasi) yang merupakan perubahan
bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan
penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
B. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala klinis untuk trauma cedera kepala ringan:
1. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun untuk beberapa saat kemudian
sembuh
2. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
3. Mual dan muntah
4. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
5. Perubahan kepribadian diri
6. Legartik
Tanda dan gejala klinis untuk trauma cedera kepala berat:
1. Gejala atau tanda-tanda cardinal yang menunjukan peningkatan di otak
menurun atau meningkat
2. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
3. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernafasan)
4. Apabila peningkatannya tekanan intracranial terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstermitas.
Selain itu, menurut Andra Saferi Wijaya, Yessie Mariza Putri (2013) manifestasi
klinis dari cedera kepala adalah:
a. Cedera kepala ringan-sedang
1. Disorientasi ringan
2. Amnesia post trauma
3. Hilang memori sesaat
4. Sakit kepala
5. Mual dan muntah
6. Vertigo dalam perubahan posisi
7. Gangguan pendengaran
b. Cedera kepala sedang-berat
1. Oedema pulmonal
2. Kejang
3. Infeksi
4. Tanda herniasi otak
5. Hemiparise
6. Gangguan akibat saraf
cranial Manifestasi klinis spesifik:
a. Gangguan otak
1. Commotion cerebri/gegar otak
1) Tidak sadar < 10 menit
2) Muntah-muntah dan pusing
3) Tidak ada tanda deficit neurologis
2. Perdarahan epidural/hematoma epidural
1) Suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian
dalam dan meningen paling luar. Terjadi akibat robekan arteri
meningeal
2) Gejala : penurunan kesadaran ringan, gangguan neurologis dari
kacau mental sampai koma
3) Peningkatan TIK yang mengakibatkan gangguan pernapasan,
bradikardi, penurunan TTV
4) Herniasi otak yang menimbulkan:
Dilatasi pupil dan reaksi cahaya hilang, isokor, dan anisokor, ptosis
3. Hematoma subdural
1) Akumulasi darah antara durameter dan araknoid, akrena robekan
vena
2) Gejala : sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfasia
4. Hematoma subdural
1) Akut : gejala 24-48 jam setelah cedera, perlu intervensi segera
2) Sub akut : gejala terjadi 2 hari sampai 2 minggu setelah cedera
3) Kronik : 2 minggu sampai 3-4 bulan setelah cedera
5. Hematoma intracranial
1) Pengumpulan darah >25 ml dalam parenkim otak
2) Penyebab : fraktur depresi tulang tengkorak, cedeera penetrasi
peluru, gerakan akselerasi tiba-tiba
6. Fraktur tengkorak
1) Fraktur linear/simple
Melibatkan Os temporalis dan pariental, jika garis fraktur meluas
kearah orbita/sinus paranasal sehingga menyebabkan terjadinya
perdarahan
2) Fraktur basiler
Fraktur pada dasar tengkorak, bisa menimbulkan kontak CSS
dengan sinus, memungkinkan bakteri masuk
C. Pohon Masalah
Gangguan autoregulasia
Gangguan Metabolism
oksigenasi anaerob
Nyeri Akut
Oedema otak
Risiko Perfusi
Serebral
Tidak Efektif
D. Pemeriksaan Diagnostik
1. Foto polos kepala
Foto polos kepala/ otak memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah
dalam mendeteksi perdarahan intracranial. Pada era CT scan, foto polos kepala
mulai ditinggalkan.
2. CT Scan Kepala
CT scan kepala merupakan strandar baku untuk mendeteksi perdarahan
intracranial. Semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani
pemeriksaan CT scan, sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan
dilakukan hanya dengan indikasi tertentu seperti :
a. Nyeri kepala hebat.
b. Adanya tanda-tanda fraktur basis kranial.
c. Adanya riwayat cedera yang berat.
d. Muntah lebih dari 1 kali.
e. Penderita lansia (usia > 65 tahun) denggan penurunan kesadaran atau
amnesia.
f. Kejang.
g. Riwayat gangguan vaskuler atau menggunakan obat-obat antikoagulan.
h. Amnesia, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis.
i. Rasa baal pada tubuh.
j. Gangguan keseimbangan atau berjalan.
3. MRI Kepala
MRI adalah teknik pencitraan yang lebih sensitive dibandingkan dengan CT
scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI.
Namun, dibutuhkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan dengan CT
scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat.
4. PET dan SPECT
Positron Emission Tomography (PET) dan Single Photon Emission Computer
Tomography (SPECT) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase
akut dan kronis meskipun CT scan atau MRI dan pemeriksaan neurologis
tidak memperlihatkan kerusakan. Namun, spesifisitas penemuan abnormalitas
tersebut masih dipertanyakan. Saat ini, penggunaan PET atau SPECT pada
fase awal kasus CKR masih belum direkomendasikan.
5. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis Pemeriksaan Laboratorium
1.
AGD, PO2, PH, HCO3: untuk mengakji keadekuatan ventilasi
(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin aliran darah
serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi yang dapat
meningkatkan TIK
2.
Elektrolit serum : cedera kepala dapat dihubungkan dengan gangguan regulasi
natrium, retensi Na dapat berakhir beberapa hari, diikuti dengan dieresis Na,
peningkatan letargi, konfusi dan kejang akibat ketidakseimbangan elektrolit
3.
Hematologi : leukosit, Hb, albumin, globulin, protein serum
4.
Pemeriksaan Toksikologi : mendeteksi obat yang mengakibatkan penurunan
kesadaran
5.
Kadar antikonvulsan darah : untuk mengetahui tingkatan terapi yang cukup
efektif mengatasi kejang
E. Penatalaksanaan Medis
1. Survei Primer (Primary Survey)
a. Jalan napas
Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus
dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head
block, dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.
b. Pernapasan
Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan
kesimetrisan gerakan dinding dada, pengunaan otot-otot pernapasan
tambahan, dan auskultasi bunyi napas di kedua aksila.
c. Sirkulasi
Resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat
atau Normal Salin (20 ml/kgBB) jika pasien syok, transfuse darah 10-15
ml/kgBB harus dipertimbangkan.
d. Defisit Neurologis
Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan
GCS. Anak dengan kelianan neurologis yang berat, seperti anak dengan
nilai GCS ≤ 8, harus diintubasi. Hiperventilasi menurunkan pCO2
dengan sasaran 35-40 mmHg, sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh
darah ke otak dan menurunkan tekanan intracranial. Pengguanaan
manitol dapat menurunkan tekanan intracranial
e. Kontrol pemaparan/lingkungan
Semua pakaian harus dilepas sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-
anak sering datang dengan keadaan hipotermia ringan karena
permukaaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan
alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena
(yang telah dihangatkan sampai 39ºC).
2. Survei Sekunder
Obervasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah
dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas,
penapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan
luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan defisit
neurologis. Selain itu, pemakaian penyangga leher diindikasikan jika:
a. Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher.
b. Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher.
c. Rasa baal pada lengan.
d. Gangguan keseimbangan atau berjalan.
e. Kelemahan umum.
Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa :
a. Penurunan kesadaran (menunrut skala koma Glasgow) dari observasi
awal.
b. Gangguan daya ingat.
c. Nyeri kepala hebat.
d. Mual dan muntah.kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, refleks
patologis)
e. Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan.
f. Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan.
Maka penderita dapat meninggalakan rumah sakit dan melanjutkan
perawatannya di rumah. Namun, bila tanda –tanda di atas ditemukan pada
observasi 24 jam pertama, penderita harus di rawat di rumah sakit dan
observasi ketat. Status cedera kepala yang dialami menjadi cedera kepala
sedang atau berat dengan penanganan yang berbeda.
Jarak antara rumah dan rumah sakit juga perlu dipertimbangkan sebelum
penderita diisinkan pulang, sehingga bila terjadi perubahan keadaan penderita,
dapat langsung dibawa kembali ke rumah sakit.
Bila pada CT scan kepala ditemukan hematom epidural (EDH) atau hematom
subdural (SDH), maka indikasi bedah adalah:
a. Indikasi Bedah pada Perdarahan Epidural (edh)
1) EDH simtomatik
2) EDH asimtomatik akut berukuran paling tebal > 1cm (EDH yang
lebih besar daripada ini akan sulit diresopsi).
3) EDH pada pasien pediatric.
b. Indikasi Bedah pada Perdarahan Subdural (SDH)
1) SDH simtomatik.
2) Sdh dengan ketebalan > 1 cm pada dewasa atau > 5 mm pada
pediatri
F. Pengkajian Keperawatan
Proses keperawatan adalah penerapan pemecahan masalah keperawatan secara
ilmiah yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah- masalah pasien,
merencanakan secara sistematis dan melaksanakannya serta mengevaluasi hasil
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan (Nasrul Effendy dalam Andra, dkk.
2013).
Menurut Rendi dan Margareth. ( 2012 ), asuhan keperawatan pada pasien cedera
kepala meliputi:
1. Pengkajian
1) Identitas pasien
Berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis kelamin, tempat tanggal
lahir, golongan darah, pendidikan terakhir, agama, suku, status
perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
2) Identitas penanggung jawab
Berisikan biodata penangguang jawab pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
3) Keluhan utama
Keluhan yang sering menjadi alasan klien untuk memnita pertolongan
kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai
penurunan tingkat kesadaran ( Muttaqin, A. 2008 ). Biasanya klien akan
mengalami penurunan kesadaran dan adanya benturan serta perdarahan
pada bagian kepala klien yang disebabkan oleh kecelakaan ataupun
tindakan kejahatan.
4) Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang
Berisikan data adanya penurunan kesadaran (GCS <15), letargi, mual
dan muntah, sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis,
perdarahan, fraktur, hilang keseimbangan, sulit menggenggam,
amnesia seputar kejadian, tidak bias beristirahat, kesulitan mendengar,
mengecap dan mencium bau, sulit mencerna/menelan makanan.
b) Riwayat kesehatan dahulu
Berisikan data pasien pernah mangalami penyakit system persyarafan,
riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat penyakit
sistemik/pernafasan cardiovaskuler, riwayat hipertensi, riwayat cedera
kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia,
penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, dan konsumsi alcohol.
c) Riwayat kesehatan keluarga
Berisikan data ada tidaknya riwayat penyakit menular seperti
hipertensi, diabetes mellitus, dan lain sebagainya.
5. Pemeriksaan fisik
a) Tingkat kesadaran
i. Kuantitatif dengan GCS (Glasgow Coma Scale)
Penilaian GCS
3 Ritihan
ii. Kualitatif
a. Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang
keadaan sekelilingnya, nilai GCS: 15-14.
b. Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk
berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, nilai
GCS: 13 - 12.
c. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang
berhayal, nilai GCS: 11-10.
d. Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun,
respon psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun
kesadaran dapat pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan)
tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal,
nilai GCS: 9 – 7.
e. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap,
tetapi ada respon terhadap nyeri, nilai GCS: 6 – 4.
f. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada
respon terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea
maupun reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil
terhadap cahaya), nilai GCS : ≤ 3 (Satyanegara.2010).
b) Fungsi motorik
Setiap ekstermitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut ini yang
digunakan secara internasional:
Kekuatan Otot
Respon Skala
Kekuatan normal 5
bantu pernapasan
vital menurun, menurun 6. Berikan minuman hangat semi fowler atau fowler
tekanan ekspirasi 6. Agar jalan kembali
8. Pemanjangan
menurun, tekanan normal berikan
fase ekspirasi
inspirasi menurun, minuman hangat
menurun
eksursi dada 7. Lakukan fisioterapi dada,
7. Agar jalan napas bisa
berubah. 9. Ortopnea
jika perlu
menurun kembali normal
8. Lakukan penghisapan 8. Untuk memudahkan
10. Pernapasan
lender kurang dari 15 detik jalan napas kembali
pursed-lip
9. Lakukan hiperoksigenasi normal
menurun
sebelum penghisapan 9. Agar memudahkan
11. Pernapasan
andotrakeal untuk melakukan
cuping hidung
penghisapa lendir
menurun 10. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan forsep 10. Unutk memudahkan
12. Frekuensi mengeluarkan benda
McGili
napas membaik yang menyumbat jalan
13. Kedalaman pernapasan
napas membaik 11. Berikan oksigen, jika
11. Unutk membantu
perlu
14. Eksursi pernapasan pasien
G. Referensi
Dewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., & Turana, Y. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Marbun, A. S., Sinuraya, E., Amila, & Volta, G. (2020). Manajemnen Cedera
Kepala. Malang: Ahlimedia Press.
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Purwanto, H. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Medkal Bedah 2.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
LEMBAR PENGESAHAN
Nama Pembimbing