Anda di halaman 1dari 11

VITAMIN DAN DEFISIENSI VITAMIN

Viitamin merupakan bahan makanan organik yang dalam jumlah kecil


diperlukan untuk pertumbuhan normal dan kesehatan tubuh. Jumlah
yang diperlukan sehari-hari demikian kecilnya, sehingga dapat
diperkirakan bahwa vitamin bekerja sebagai katalisator. Telah dapat
dibuktikan bahwa beberapa vitamin merupakan bahan esensial pada
sistem oksidasi karbohidrat, protein dan lemak. Tubuh tidak dapat
membuat vitamin akan tetapi harus memilikinya. Terutama organ yang
sedang tumbuh sangat rentan akan defisiensi vitamin. Oleh karena itu
gejala defisiensi suatu vitamin sangat penting dalam Ilmu Kesehatan
Anak. Lebih penting pula ialah mengetahui bentuk laten dan bentuk
dini dari penyakitnya. Kecurigaan akan hal ini dapat dibuktikan dengan
pemeriksaaan biokimia. Anamnesis makanan yang cermat dapat
menolong dugaan kemungkinan penyakit defisiensi. Sebaliknya
dengan munculnya banyak pabrik farmasi yang menyodorkan
bermacam-macam vitamin kepada rakyat, maka kemungkinan
timbulnya hipervitaminosis tidak dapat diabaikan pula.
Biasanya vitamin digolongkan dalam 2 golongan, yaitu:
1. Golongan yang larut dalam air, misal: vitamin B kompleks dan vitamin C
2. Golongan yang larut dalam lemak, misal: vitamin A, D, E dan K.

Defisiensi vitamin A (Xeroftalmia)


Defisiensi vitamin A dalam diet seseorang yang berlangsung lama akan
menimbulkan penyakit yang disebut defisiensi vitamin A atau
xeroftalmia. Bersama-sama dengan penyakit Malnutrisi Energi Protein
(MEP), penyakit tersebut merupakan penyakit yang sangat penting di
antara penyakit gangguan gizi di Indonesia dan di banyak negeri yang
sedang berkembang. Ia mempunyai peranan yang penting sebagai
penyebab kebutaan.
Faktor etiologis
Gejala defisiensi vitamin A akan timbul bilamana:
1. Dalam jangka waktu yang lama dalam diet terdapat kekurangan vitamin A atau
provitamin A.
2. Terdapat gangguan resorpsi vitamin A atau provitamin A.
3. Terdapat gangguan konversi provitamin A menjadi vitamin A.
4. Kerusakan hati.
5. Kelainan kelenjar tiroidea.

Peranan vitamin A pada fungsi penglihatan


Telah dapat ditentukan bahwa retina mata yang normal mengandung
pigmen yang dikenal sebagai rodopsinatau visual puple. Pigmen
tersebut mengandung vitamin A yang terikat pada protein. Jika mata
menerima cahaya maka akan terjadi konversi rodopsin menjadi visual
yellow dan kemudian visual white. Pada konversi demikian akan
menghilang sebagai vitamin A. Regenerasi visual purple hanya akan
terjadi bila tersedia vitamin A. Tanpa regenerasi maka penglihatan
pada cahaya remang setelah mata menerima cahaya yang terang
akan terganggu.
Patologi
Pada defisiensi vitamin A, kelainan yang dapt timbul pada manusia
ialah:
1. Buta senja.

Kelainan sebagai akibat dari gangguan regenerasi rodopsin. Merupakan gejala


pertama defisiensi vitamin A dan timbul sebelum gejala lainnya tampak.
2. Xeroftalmia

Dimulai dengan timbulnya perubahan pada jaringan epitel yang menjadi kering
dan keras. Kadang-kadang terlihat bercak Bitot yang merupakan bercak putih
berbuih dan berbentuk segitiga, terdapat di daerah nasal atau temporal dari kornea
mata. Fotofobia dan konjungtivitis timbul lebih dahulu disusul oleh pigmentasi
coklat muda dari konjungtiva. Perubahan jaringan epitel konjungtiva dapat
menjalar ke kornea dan disusul oleh ulserasi, perforasi dan destruksi total mata
(keratomalasia). Kerusakan demikian dapat timbul dengan cepat, sehingga
diagnosis dini dari tanda-tanda defisiensi tersebut sangat penting.
3. Kelainan kulit

Dapat ditemukan kelainan berupa hiperkeratosis folikularis dan biasanya terdapat


pada bagian lateral dari lengan, tungkai bawah dan bokong.
4. Metaplasia jaringan epitel di bagian tubuh lain seperti di trakea, pelvis renalis,
kelenjar ludah, ureter dan sebagainya.
5. Konsentrasi vitamin A dan karotin dalam plasma rendah (normal 30-50
mikrogram per-100 ml untuk vitamin A dan 60-240 gama untuk karotin).

Kebutuhan akan vitamin A.


Oleh Food and Nutrition Board of te National Research Council of the
United States of America dianjurkan pemberian vitamin A dalam diet
sebagai berikut:
 Bayi : 1.500 SI
 Umur 1 – 3 tahun : 2.000 SI
 Umur 4 – 6 tahun : 2.500 SI
 Umur 7 – 9 tahun : 3.500 SI
 Umur 10 – 12 tahun : 4.500 SI
 Umur 13 – 19 tahun : 5.000 SI

Defisiensi vitamin B1 (Atiaminosis)


Faktor etiologis.
Defisiensi tiamin menyebabkan penyakit beri-beri. Bilamana diet
wanita yang sedang mengandung tidak cukup mengandung vitamin
B1, maka anak yang dilahirkan dapat menderita beri-beri kongenital
atau gejala beri-beri akan timbul pada bayi yang sedang disusui.
Penyakit ini dapat pula timbul pada anak dengan penyakit
gastrointestinal yang menahun, misalnya diare kronis dan sindrom
seliak. Gejala penyakit beri-beri pada bayi dan anak umumnya sama
dengan gejala yang terjadi pada orang dewasa. Manifestasi penting
ialah kelainan saraf, mental dan jantung. Kadang-kadang ditemukan
kasus beri-beri bawaan, akan tetapi sebagian besar terdapat dalam
triwulan pertama.
Gejala antiaminosis.
1. Beri-beri infantil.

Umumnya ditemukan dalam keadaan akut. Gejala prodormal


ringan saja atau tidak tampak sama sekali. Anak yang
tampaknya sehat selama 1-2 minggu tidak menunjukkan
bertambahnya berat badan, kadang-kadang tampak gelisah,
menderita pilek atau diare. Perubahan jantung datang tiba-tiba
dengan takikardia dan dispne yang dapat mengakibatkan
kematian mendadak. Pada pemeriksaan ditemukan jantung yang
membesar terutama bagian kanan. Paru menunjukkan tanda
kongesti, kadang-kadang terdapat edema, yang disertai oliguria
sampai anuria.
Pada kasus yang lebih menahun terdapat edema yang jelas,
sering ditemukan efusi perikardial dan kadang-kadang asites.
Muntah merupakan gejala yang sering ditemukan. Sistem urat
saraf tidak mengalami banyak perubahan, hanya mungkin
ditemukan atonia, refleks lutut mungkin negatif, meninggi atau
berubah. Kadang-kadang terdapat kejang.
2. Kasus menahun sering ditemukan pada anak yang lebih besar (late infancy dan
childhood). Penderita demikian umumnya lebih kecil dibandingkan anak yang
sehat, keadaan gizinya kurang dan tedapat edema. Sering gejala yang menarik
perhatian ialah atonia yang disebabkan oleh edema pita suara. Kadang-kadang
perutnya membuncit karena meteorismus. Paralisis seperti yang tampak pada
orang dewasa jarang terlihat pada anak, walaupun atonia tampak jelas dan refleks
lutut berkurang atau menghilang.

Pencegahan.
Diet anak yang baik umumnya mengandung cukup tiamin. Pemberian
vitamin B1 tambahan diperlukan untuk para ibu yang sedang
mengandung atau menyusui. Dianjurkan untuk memberikan 1,8 mg
vitamin B1 setiap hari pada para ibu yang sedang mengandung dan
2,3 mg vitamin B1 pada ibu yang sedang menyusui, 0,4 mg untuk bayi
dan 0,6-2 mg pada anak yang lebih besar. Anak dengan penyakit
gastrointestinal menahun atau yang sedang mendapat makanan
parenteral, harus diberi tiamin tambahan.
Pengobatan.
Bayi : 5-10 mg/hari
Anak : 10-20 mg/hari
Pengobatan diberikan untuk beberapa minggu lamanya. Bilamana
penderita mengalami diare atau muntah yang lama, maka vitamin
tersebut harus diberikan secara intramuskulus atau intravena. Pada
penderita yang masih mendapat ASI, maka ibunya harus pula diberi
vitamin B1 tambahan.
Defisiensi vitamin B2 (Ariboflavinosis)
Faktor etiologis.
Gejala defisiensi vitamin B2 akan tampak bilamana:
1. Stomatitis angularis.

Pada sudut mulut terdapat maserasi dan retak-retak (fisura) yang memancar ke
arah pipi. Kadang-kadang luka sudut mulut tersebut tertutup keropeng. Bilamana
luka demikian berulang-ulang timbul pada akhirnya akan menimbulkan jaringan
parut.
2. Glositis.

Lidah akan tampak merah jambu dan licin karena struktur papil hilang.
3. Kelainan kulit.

Perubahan pada kulit berupa luka seboroik pada lipatan nasolabial, alae nasi,
telinga dan kelopak mata. Kadang-kadang ditemukan juga dermatitis pada tangan,
sekitar vulva, anus dan perineum.
4. Kelainan mata.

Dapat timbul fotofobia, lakrimasi, perasaan panas. Pada pemeriksaan dengan


slitlamp akan tampak vaskularisasi kornea dan keratitis interstitialis.
Pencegahan dan pengobatan.
Ariboflavinosis dapat dicegah dengan diet yang mengandung cukup
susu, telur, sayur-mayur dan daging. Dianjurkan pemberian sehari-hari
0,6 mg untuk bayi, 1-2 mg untuk anak dan 2-3 mg untuk dewasa.
Pada anak dengan tanda-tanda ariboflavinosis dapat diberikan 10
mg/hari vitamin B2 untuk beberapa minggu lamanya.
Defisiensi asam follat
Patofisiologis.
Bayi yang baru dilahirkan mempunyai persediaan asam folat yang
cukup akan tetapi persediaan tersebut lambat laun menurun oleh
sebab tambahan dari susu tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Tanda defisiensi asam folat dapat timbul pada bayi yang tumbuh
cepat, terutama bayi prematur atau anak dengan kelainan resorpsi.
Gejala
Gejala terpenting adalah timbulnya anemia makrositik, megaloblastik
yang disebabkan kelainan sintesis asam nukleat. Dapat timbul pula
granulositopenia dan trombositopenia. Gejala lainnya ialah perubahan
selaput lendir gastrointestinal yang menimbulkan kelainan resoprsi dan
diare sehingga penderita jadi kurus.
Defisiensi niasin (Pelagra)
Gejala
Terutama dermatitis kadang-kadang disertai kelainan saraf dan psikis.
Pengobatan
Dapat diberikan niasin 0,02 g/kgbb/hari, peroral, subkutan atau
intramuskular.
Defisiensi vitamin B6
Gejala
Gejala defisiensi piridoksin ialah cengeng, mudah kaget, kejang (tonik-
klonik). Pemberian INH yang lama pada orang dewasa tanpa tambahan
vitamin B6 dapat menimbulkan polineuritis. Ada yang berpendapat
bahwa vitamin B6 dapat menyembuhkan dermatitis seberoik.
Kebutuhan akan vitamin B6
Bayi: 0,2 – 0,5 mg/hari. Anak yang lebih besar 1,5 – 2 mg/hari. Banyak
vitamin B6 yang diperlukan bertalian dengan banyaknya pemberian
protein, sehingga makin besar anak makin banyak vitamin B6 yang
diperlukan. Adakalanya terdapat gejala defisiensi vitamin B6 pada
seorang penderita, walaupun makanannya mengandung cukup vitamin
B6
Defisiensi vitamin B12
Fisiologi
Vitamin B12 dianggap sebagai komponen antianemia dalam faktor
ekstrinsik. Getah lambung orang normal mengandung substansi yang
disebut faktor intrinsik yang bereaksi dengan faktor ekstrinsik yang
terdapat dalam daging, susu atau bahan makanan lain untuk membuat
substansi antianemia. Faktor antianemia tersebut diserap dan
disimpan dalam hati. Pada anemia pernisiosa biasanya faktor intrinsik
tidak terdapat dalam getah lambung.
Walaupun daging mengandung vitamin B12, namun tidak dapat
digunakan oleh penderita anemia pernisiosa, karena faktor intrinsik
tidak ada. Vitamin B12 terikat pada protein dan hanya dapat dileaskan
oleh faktor intrinsik untuk kemudian diserap.
Patologi
Defisiensi vitamin B12 dapat timbul bila:
a. Terdapat kekurangan vitamin B12 dalam diet (seperti orang vegetarian)
b. Tidak terdapat faktor intrinsik seperti pada penderita anemia pernisiosa.
c. Terdapat gangguan resorpsi vitamin B12.

Gejala
Defisiensi vitamin B12 menimbulkan anemia dengan gejala lidah yang
halus dan mengkilap, tidak terdapat asam hidroklorida dalam asam
lambung (pada penderita anemia pernisiosa), perubahan saraf, anemia
makrositik hiperkromik. Sel darah membesar dan berkurang
jumlahnya. Hal ini disebabkan oleh gangguan pembentukan atau
proses pematangan sel darah merah.
Kebutuhan: 1 – 2 gama/hari.
Pengobatan
Pemberian vitamin B12 pada penderita anemia pernisiosa akan
merangsang sumsum tulang membuat sel darah merah. Pada anemia
makrosistik lain, vitamin B12 akan memberikan perbaikan seperti
halnya dengan asam folat. Vitamin B12 digunakan pula masa
rekovalensi penyakit berat sebagai perangsang metabolisme.
Defisiensi vitamin E
Gejala
Vitamin E digunakan sebagai pencegahan abortus habitual, partus
prematur habitual, juga pada sklerodermia, penyakit neuromuskulus
dan muskulus terutama distrofia muskulorum progresiva. Adakalanya
vitamin E digunakan pada penderita hipoproteinemia karena vitamin E
mempunyai daya anabolik pada metabolisme protein.
MINERAL
Tubuh hewan memerlukan 7 elemen dalam jumlah besar, yaitu
kalsium, klorida, magnesium, kalsium, fosfor, natrium dan sulfur serta
sedikit-dikitnya 7 elemen dalam jumlah kecil (trace elements) seperti
kobalt, tembanga, iodium, besi, mangan, selenium dan seng. Di
samping itu krom, fluor dan molibden berperan penting dalam
metabolisme manusia. Keperluan optimum akan berbagai elemen
tersebut belum diketahui. Walaupun trace elements terdapat dimana-
mana, defisiensi elemen tersebut baik pada manusia maupun pada
hewan dapat timbul. Sebaliknya gejala-gejala toksis pada pemberian
mineral yang berlebihan juga pernah dilaporkan.
Magnesium.
Seperti halnya dengan fosfor, mineral ini diperlukan untuk
pembentukan tulang dan terdapat pula pada jaringan lunak.
Magnesium merupakan bahan esensial dari cairan sel. Keperluan akan
magnesium tidak diketahui, akan tetapi susu ibu mengandung cukup
magnesium untuk kebutuhan bayi.
Kalsium dan magnesium adakalanya bekerja antagonis akan tetapi
kadang-kadang dapat saling menggantikan. Pemberian kalsium dapat
menghilangkan depresi pernafasan akibat magnesium, tetapi kedua
mineral tersebut dapat menghilangkan gejala tetani.
Besi
Semua sel mengandung besi, akan tetapi hemoglobin darah dan otot
mempunyai konsentrasi yang tertinggi. Kebutuhan besi bagi bayi relatif
tinggi yaitu karena pertumbuhan yang cepat dari jaringan yang baru.
Diet bayi umumnya tidak mengandung cukup besi untuk memenuhi
kebutuhannya. Sumber utama besi untuk bayi adalah ialah ekses
hemoglobin waktu lahir. Tekanan O2 yang rendah dari sirkulasi
plasenta menyebabkan konsentrasi hemoglobin yang tinggi dalam sel
darah merah fetus. Setelah bayi lahir, paru-paru akan mengembang
dan berfungsi sehingga konsentrasi hemoglobin yang tinggi tidak
diperlukan lagi. Hemoglobin yang berlebihan dihancurkan, akan tetapi
besinya akan disimpan dalam hati untuk dipakai kemudian bila
diperlukan. Tambahan besi diperlukan jika bayi berumur 5 bulan.
Bayi prematur lebih cepat menjadi anemis dibandingkan dengan bayi
yang dilahirkan cukup bulan. Bayi kurang bulan tersebut, umumnya
lebih kecil sehingga dengan sendirinya juga mengandung lebih sedikit
darah. Oleh karena itu jumlah besi yang dapat disimpan juga tidak
begitu banyak. Pertumbuhan bayi prematur yang cepat akan
menghabiskan persediaan besi dengan cepat pula sehingga lebih
cepat pula menjadi anemis. Baik ASI maupun susu sapi tidak
mengandung cukup besi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,
sehingga makanan tambahan berupa buah dan sayur harus diberikan
dalam makanan bayi sebelum persediaan besi habis terpakai. Biasanya
pemberian makanan tambahan demikian sudah harus dimulai pada
umur 3 bulan. Untuk bayi prematur hendaknya diberikan tambahan
preparat besi peroral atau parenteral. Biasanya sulfas ferous dan sitras
amonium sering digunakan untuk tambahan tersebut.
Tembaga.
Mineral ini diperlukan pada utilitas besi simpanan dan besi yang
diperoleh dari makanan pada konversi menjadi hemoglobin. Jumlah
yang dibutuhkan tidak banyak. Perbandingan tembaga dan besi 1 : 10
dianggap optimum untuk menaikkan kadar hemoglobin. Tembaga
sudah terdapat pada hati bayi baru lahir. Umumnya makanan bayi
mengandung cukup tembaga untuk kebutuhannya.
Selenium
Selenium merupakan mineral yang tergolong pada trace mineral,
karena keberadaannya dalam tubuh sangat sedikit (jarang). Namun
demikian mineral ini terdapat dimana-mana diseluruh jaringan tubuh
seperti tulang, otot dan darah walaupun kandungannya sangat rendah.
Kadar Se yang rendah dalam darah merupakan salah satu indikator
yang baik untuk menentukan status mineral dalam tubuh.
Clark et,al. (1998) mengemukakan bahwa Selenium merupakan
mineral jarang esensial yang dapat meningkatkan fungsi imun pada
ternak, memperbesar neuropsykologic pada manusia dan memperbaiki
kondisi penyakit spesifik pada manusia dan ternak. Keuntungan dari
segi kesehatan ini beberapa penelitian telah dilakukan dengan
menggunakan mineral Se untuk melihat total insiden penyakit kanker
dengan pengurangan secara spesifik dari resiko kanker paru-paru,
prostat dan colorectal.
Dasar percobaan di atas maka telah dilaporkan pula bahwa kontributor
utama terjadinya penyakit kanker pada manusia bersumber dari
makanan yang dikonsumsi, karena sebagian besar sumber selenium
dalam makanan berasal dari tanaman dan makanan yang dikonsumsi
rendah mineral selenium.
Seng
Zinc adalah trace element yang merupakan komponen penting bagi
ratusan metalloenzim, termasuk alkalin pospat, karboksipeptidase,
timidin kinase, dan DNA-RNA polimerase. Zinc merupakan komponen
penting pada struktur dan fungsi membran sel, berfungsi sebagai
antioksidan, dan melindungi dari serangan peroksidae lipid. Peranan
zinc pada sintesis protein dan transkripsi protein, dimana zinc berperan
penting pada regulasi gen. Defisiensi zinc dikaitkan dengan perubahan
fungsi sistem immun, seperti menurunnya fungsi sel B dan T,
menurunnya reaksi hipersensitivitas, menurunnya fagositosis dan
menurunnya produksi cytokine.
ASAM AMINO
L-Glutamin
Glutamin merupakan prekursor untuk sintesis nukleotida, sebagai
substrat hepatik glukoneogenesis dan merupakan nutrisi yang penting
dalam penanganan amonia renal. Glutamin juga merupakan sumber
bahan bakar bagi sel yang mengalami pembelahan sangat cepat
seperti epitel saluran pencernaan, limfosit, fibroblas dan retikulosit.

PERAN MIKRONUTRIEN PADA RESPONS IMUN

Peran beberapa mikronutrien pada respons imun telah dibuktikan pada


berbagai penelitian. Defisiensi mikronutrien tersendiri jarang
ditemukan kecuali defisiensi besi, vitamin A dan zinc. Defisiensi
mikronutrien sering sebagai komponen malnutrisi energi protein dan
banyak penyakit sistemik. Lebih jauh, malnutrisi pada manusia
biasanya menyertai defisiensi nutrien yang multipel.
Menurut Chandra (1990) ada 5 konsep umum mengenai peran
beberapa vitamin dan trace element dalam kompetensi imun :
1. Perubahan respons imun terjadi dini pada asupan mikronutrien yang rendah/
kurang.
2. Perluasan gangguan imunologik bergantung dari tipe nutrien yang bersangkutan,
interaksi dengan nutrien esensial, beratnya defisiensi serta adanya infeksi yang
menyertai dan usia pasien.
3. Kelainan imunologik meramalkan risiko infeksi dan mortalitas.
4. Pada kasus banyak jenis mikronutrien, asupan yang berlebihan dapat
menimbulkan gangguan respons imun.
5. Uji kompetensi imun berguna untuk titrasi kebutuhan fisiologis dan pengukuran
batas keamanan terendah dan tertinggi asupan mikronutrien.

Vitamin dan respons imun


Vitamin A
Vitamin A dikenal sebagai vitamin antiinfeksi dan defisiensi vitamin A
dapat menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas.
Karotenoid mempunyai fungsi imunoregulator limfosit T dan limfosit B,
sel Natural Killer dan makrofag. Vitamin A merupakan mikronutrien
penting yang diperlukan untuk fungsi kekebalan tubuh spesifik maupun
nonspesifik. Defisiensi vitamin A dilaporkan dapat menyebabkan
gangguan kekebalan humoral serta selular. Efek antioksidan karenoid
ini secara tidak langsung dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh
dengan jalan menurunkan konsentrasi partikel bebas beserta
produknya yang bersifat imunosupresif. Dengan pencegahan oksidasi
leukosit, dapat menurunkan kadar prostaglandin yang bersifat
imunosupresif. Peningkatan asupan diet antioksidan dapat menurunkan
konsentrasi peroksidase lipid, konsentrasi prostaglandin yang
diproduksi oleh makrofag yang selanjutnya meningkatkan respons
hipersensitivitas tipe lambat dan proliferasi limfosit.
Vitamin A juga bersifat sebagai ajuvan dengan jalan merusak
membran lisosom yang dapat merangsang pembelahan sel pada saat
antigen berada dalam sel. Lisosom ini mempunyai peranan dalam
memulai terjadinya pembelahan sel. Kerusakan lisosom ini akan
merangsang sistim imun. Pembelahan sel akibat pemberian ajuvan
terjadi hanya sebatas pada sel imunokompeten yang dirangsang oleh
ajuvan. Vitamin A berperan pada proses epitelisasi. Dengan
peningkatan proses ini, maka akan terjadi perbaikan fungsi pertahanan
fisik nonspesifik terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh.
Defisiensi vitamin A mengakibatkan berat kelenjar timus sedikit
berkurang, respons proliferasi limfosit terhadap mitogen menurun,
produksi antibodi spesifik dan proliferasi limfosit T invitro juga
menurun serta peningkatan aderen bakteri pada sel epitel saluran
napas.
Vitamin B6
Defisiensi vitamin B6 dapat mempengaruhi respons imun pada
binatang percobaan. Kelenjar timus mengecil dan aktivitas hormon
timus menurun. Gangguan imunitas selular dibuktikan dengan adanya
kegagalan reaksi hipersensitivitas tipe lambat, penurunan sitotoksisitas
sel limfosit T dan rejeksi lambat alograft. Terdapat penurunan respons
limfosit terhadap mitogen dan antigen. Pembentukan antibodi setelah
imunisasi primer dan sekunder juga menurun. Defisiensi vitamin B6
sebagai penyakit tersendiri jarang ditemukan.
Vitamin E
Defisiensi vitamin E yang berat dapat menyebabkan gangguan CMI
dan sintesis antibodi.
Zinc
Defisiensi zinc, baik didapat atau diturunkan dihubungkan dengan
atrofi limfoid, penurunan respons hipersensitivitas tipe lambat dan
rejeksi homograft serta aktivitas hormon timus. Contoh yang paling
baik adalah pasien akrodermatitis enteropatika yang menunjukkan
gangguan respons limfosit terhadap fitohemaglutinin, penurunan
aktivitas timulin serta menurunnya reaksi kulit hipersensitivitas tipe
lambat.
Defisiensi zinc dapat menyebabkan gangguan penghancuran mikroba
(ingestion) dan fagositosis. Nutrien ini diduga berperan pada stimuli
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) oksidase,
sebagai kofaktor untuk fosfolipase A2 dan atau fosfolipase C. Zinc
dapat menstabilkan 20 : 4 asam arakidonat terhadap oksidasi oleh
kompleks besi. Zinc dapat bereaksi dengan oksigen membentuk zat
toksik terhadap patogen yang ditelan oleh sel.
Defisiensi zinc juga dapat menghambat penyembuhan luka. Defisiensi
zinc dibuktikan meningkatkan angka kejadian investasi parasit cacing
nematoda.
Cuprum (Tembaga)
Defisiensi cuprum dibuktikan dapat menyebabkan gangguan respons
imun. Fungsi sistim retikulo endotelial tertekan dan aktivitas
mikrobisidal sel fagosit terganggu. Hal ini berhubungan dengan peran
cuprum dalam sistim superoksid dismutase dan enzim sitokrom
oksidase. Juga didapatkan penurunan respons antibodi terhadap
antigen sel T dependen.
Ferum (Besi)
Defisiensi besi merupakan masalah komponen nutrisi yang paling
utama di seluruh dunia,bahkan juga di negara industri/ maju. Di satu
sisi, besi bebas diperlukan untuk pertumbuhan bakteri.Pengikatan besi
melalui pemberian laktoferin atau chelating agent lain dapat
mengurangi multiplikasi bakteri, terutama dengan adanya antibodi
spesifik. Di sisi lain besi diperlukan oleh sel Natural killer, neutrofil dan
limfosit untuk berfungsi secara optimal. Oleh karena itu pada defisiensi
besi, kapasitas bakterisidal akan menurun. Hal ini mungkin disebabkan
enzim mieloperoksidase dan sitokin yang bergantung besi.
Selain itu juga terdapat gangguan proliferasi limfosit terhadap mitogen
dan antigen, penurunan respons terhadap antigen toksoid tetanus dan
Herpes simplex dan terdapat perbaikan nyata setelah pengobatan
dengan besi. Gangguan proliferasi limfosit pada defisiensi besi melalui
defisiensi ribonukleotidil reduktase yang diperlukan untuk proliferasi
sel.
Apakah pemberian suplementasi besi dapat meningkatkan risiko
infeksi? Hal ini ternyata dibuktikan pada penelitian invitro, tetapi data
klinis tidak ada yang menunjang hipotesis tersebut.
Asam Amino
Asam amino memodulasi respons imun melalui berbagai cara.
Defisiensi beberapa jenis asam amino dapat menurunkan respons
antibodi. Didapatkan juga penurunan klirens makromolekul oleh sel
fagosit dari darah. Bukti akhir menunjukkan efek imunostimulan dan
antiinfeksi yang diperani oleh asam amino glutamin dan arginin.
Lipid
Banyak bukti menunjukkan bahwa lipid mempunyai peran
imunoregulator. Mekanismenya melalui modulasi sistem eikosanoid,
perubahan membran sel, perubahan jumlah dan kepadatan reseptor,
perubahan jumlah dan fungsi beberapa subpopulasi sel serta produksi
dan kinerja sitokin. Defisiensi asam lemak esensial akan menurunkan
berbagai respons imun. Sebaliknya, kelebihan lipid misalnya pada
obesitas juga dapat menyebabkan gangguan respons imun.
http://www.medicastore.com/zamel/isi_zamel.php?isi_zamel=vitamin

Anda mungkin juga menyukai