DIABETES MELITUS
A. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
Diabetes Mellitus (DM) adalah penyakit kronis yang membutuhkan
perawatan medis berkelanjutan pada pasien sehingga dibutuhkan pengelolaan diri,
pendidikan dan dukungan untuk mencegah komplikasi akut dan untuk mengurangi
risiko komplikasi jangka panjang (ADA, 2012) Diabetes Mellitus (DM) adalah
penyakit kronis yang membutuhkan perawatan medis berkelanjutan pada pasien
sehingga dibutuhkan pengelolaan diri, pendidikan dan dukungan untuk mencegah
komplikasi akut dan untuk mengurangi risiko komplikasi jangka panjang (ADA, 2012).
Diabetes melitus merupakan peyakit kronis yang berkaitan denan defisiensi atau
resistansi insulin relatif atau absolut dan ditandai dengan ganguan metabolisme
karbohidrat, protein, dan lemak. (Paramita, 2011).
B. Etiologi
Penyebab diabetes melitus belum diketahui pasti tapi umumnya diketahui
kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor herediter memegang peranan.
Menurut Kwinahyu (2011) ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan diabetes
melitus, yaitu :
a. Pola Makan
Makan secara berlebihan dan melebihi jumlah kadar kalori yang dibutuhkan
oleh tubuh dapat memacu timbulnya diabetes melitus. Hal ini disebabkan
jumlah/kadar insulin oleh sel β pankreas mempunyai kapasitas maksimum untuk
disekresikan. Oleh karena itu, mengonsumsi makanan secara berlebihan dan tidak
diimbangi oleh sekresi insulin dalam jumlah memadai dapat menyebabkan kadar
gula dalam darah meningkat dan meyebabkan diabetes melitus.
b. Obesitas
Orang yang gemuk dengan berat badan melebihi 90 kg mempunyai
kecenderungan yang lebih besar untuk terserang diabetes melitus dibanding
dengan orang yang tidak gemuk.
c. Faktor genetik
Seorang anak dapat diwarisi gen penyebab diabetes melitus orang tua.
Biasanya, seseorang yang menderita diabetes melitus mempunyai anggota
keluarga yang juga terkena. Jika kedua orang tua menderita diabetes, insiden
diabetes pada anak-anaknya meningkat, tergantung pada umur berapa orang tua
menderita diabetes. Risiko terbesar bagi anak-anak terserang diabetes terjadi jika
salah satu atau kedua orang tua mengalami penyakit ini sebelum berumur 40
tahun. Riwayat keluarga pada kakek dan nenek kurang berpengaruh secara
signifikan terhadap cucunya.
d. Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
Bahan kimia tertentu dapat mengiritasi pankreas yang menyebabkan radang
pankreas. Peradangan pada pankreas dapat menyebabkan pankreas tidak
berfungsi secara optimal dalam mensekresikan hormon yang diperlukan unuk
metabolisme dalam tubuh, termasuk hormon insulin.
e. Penyakit dan infeksi pada pankreas
Mikroorganisme seperti bakteri dan virus dapat menginfeksi pankreas
sehingga menimbulkan radang pankreas. Hal itu menyebabkan sel β pada
pankreas tidak bekerja optimal dalam mensekresi insulin. Beberapa penyakit
tertentu, seperti kolesterol tinggi dan dislipidemia dapat meningkatkan risiko
terkena diabetes melitus.
C. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2011, klasifikasi
Diabetes Melitus adalah sbb:
1. Diabetes type I (Insulin Depedent Diabetes Melitus/IDDM ) tergantung insulin dapat
disebabkan karena faktor genetik, imunologi dan mungkin lingkungan misalnya
infeksi virus.
2. Diabetes type II (Non Insulin Depedent Diabetes Melitus /NIDDM) yaitu tidak
tergantung insulin. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan penting dalam
proses terjadinya resistensi insulin.
3. Diabetes Kehamilan/gestasional yaitu Diabetes kehamilan didefinisikan sebagai
intoleransi glukosa dengan onset pada waktu kehamilan. Diabetes jenis ini
merupakan komplikasi pada sekitar 1-14% kehamilan. Biasanya toleransi glukosa
akan kembali normal pada trimester ketiga.
D. Patofisiologi
Diabetes mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa di dalam darah
tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup.
Sehingga mengakibatkan hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi
dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang
dikonsumsi. Insulin merupakan hormon yang diproduksi pankreas dan
mengendalikan kadar glukosadalam darah dengan mengatur produksi dan
penyimpanannya. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang
berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel sehingga
terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel Adanya
resistensi insulin pada diabetestipe II disertai dengan penurunan reaksi intrasel
membuat insulin tidak efektif dalam menstimulasi pengambilan glukosa oleh
jaringan (Kwinahyu, 2011).
Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh. Pasien – pasien yang mengalami
defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang
normal atau toleransi sesudah makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi
ambang ginjal normal (konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml),
akan timbul glikosuria karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali
semua glukosa. Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang
menyebabkan poliuri disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat.
Adanya poliuri menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi.
Akibat glukosa yang keluar bersama urine maka pasien akan mengalami
keseimbangan protein negatif dan berat badan menurun serta cenderung terjadi
polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau kekurangan energi sehingga pasien
menjadi cepat telah dan mengantuk yang disebabkan oleh berkurangnya atau
hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya penggunaan karbohidrat untuk
energi. Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan
membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya
gangren.
Pathway
Resiko infeksi
Poliuri
Sklerosis mikrovaskuler
Perubahan nutrisi
kurang dari kebutuhan Kekurangan volume cairan Neuron
Perubahan persepsi
E. Manifestasi Klinis
Menurut Kwinahyu
Gangguan sensori
(2011) manifestasi klinik dapat
fungsi penglihatan perabaan menjadi gejala
digolongkn
akut dan gejala kronik
1. Gejala Akut
Gejala penyakit
Perubahan persepsiDM inipenglihatan
sensori dari satu penderita ke penderita lainnya tidaklah
sama ; dan gejala yang disebutkan di sini adalah gejala yang umum tibul dengan
tidak mengurangi kemungkinan adanya variasi gejala lain, bahkan ada penderita
diabetes yang tidak menunjukkan gejala apa pun sampai pada saat tertentu. Pada
permulaan gejala ditunjukkan meliputi tiga serba banyak, yaitu :
a. Banyak makan ( polifagia )
b. Banyak minum ( polidipsia )
c. Banyak kencing ( poliuria )
Bila keadaan tersebut tidak cepat diobati, lama-kelamaan mulai timbul gejala
yang disebabkan kurangnya insulin. Jadi, bukan 3P lagi melainkan hanya 2P saja
(polidipsia dan poliuria ) dan beberapa keluhan lain seperti nafsu makan mulai
berkurang, bhkan kadang-kadang timbul rasa mual jika kadar glukosa darah
melebihi 500 mg/ dl, disertai :
a. Banyak minum
b. Banyak kencing
c. Berat badan turun dengan cepat ( bisa 5- 10 kg dalam waktu 2-4 minggu.
d. Mudah lelah
e. Bila tidak lekas diobati akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh
koma ( tidak sadarkan diri ) dan di sebut koma diabetik.
2. Gejala Kronik
Kadang-kadang penderita DM tidak menunjukkan gejala sesudah beberapa
bulan atau beberapa tahun mengidap penyakit DM. Gejala ini di sebut gejala
kronik atau menahun. Gejala kronik yang sering timbul adalah seorang penderita
dapat mengalami beberapa gejala, yaitu :
a. Kesemutan
b. Kulit terasa panas atau seperti tertusuk-tusuk jarum.
c. Rasa tebal di kulit sehingga kalau berjalan seperti di atas bantal atau kasur.
d. Kram
e. Mudah mengantuk.
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Tarwoto (2012), untuk menentukan penyakit DM, di samping di kaji
ng dan gejala yang dialami pasien juga yang penting adalah di lakukan tes diagnostik
diantarannya:
1. Pemeriksaan gula darah puasa atau fasting Blood sugar (FBS)
Menentukan jumlah glukosa darah pada saat puasa, klien tidak makan selama 12
jam sebelum tes biasanya jam 08.00 pagi sampai jam 12.00, darah diambil dari
vena dan kirim ke laboratorium. Hasil Normal : 80-120 mg/ 100 ml serum dan
abnormal jika 140 mg/100 ml atau lebih.
2. Pemeriksaan gula darah postprandial
Menentukan gula darah setelah makan, pasien diberi makan kira-kira 100 gr
karbohidrat, dua jam kemudian di ambil darah venanya, hasil normal (kurang dari
20 mg/100 ml serum) dan abnormal apabila lebih dari 120 mg/100 ml atau lebih,
indikasi DM.
3. Pemeriksaan glukosa urine
Pemeriksaan ini kurang akurat karena hasil pemeriksaan ini banyak
dipengaruhi oleh berbagai hal misalnya karena obat-obatan seperti aspirin,
vitamin C dan beberapa antibiotik, adanya kelainan ginjal pada lansia dimana
ambang ginjal meningkat. Adanya glukosuria menunjukkan bahwa ambang ginjal
terhadap glukosa terganggu.
4. Pemeriksaan ketone urin
Badan ketone merupakan produk sampingan proses pemecahan lemak, dan
senyawa ini akan menumpuk pada darah dan urine. Jumlah keton yang besar pada
urin akan merubah preaksi pada stirip menjadi keunguan. Adanya ketonuria
menunjukkan adanya ketoasidosis
5. Pemeriksaan kolesterol dan kadar serum trigliserida, dapat meningkat karena
ketidakadekuatan kontrol glikemik
6. Pemeriksaan hemoglobin glikat (HbA1c)
Pemeriksaan lain untuk memantau rata-rata kadar glukosa darah adalah
glykosytaled hemoglobin ( HbA1c). tes ini mengukur protensis glukosa yang
melekat pada hemoglobim. Pemeriksaan ini menunjukkan kadar glukosa rata-rata
selama 120 hari sebelumnya, sesuai dengan usia eritrosit. HbA1c digunakan
untuk mengkaji kontrol glukosa jangka panjang, sehingga dapat memprediksi
risiko komplikasi. Hasil HbA1c tidak berubah karna pengaruh kebiasaan makan
sehari sebelum test. Pemeriksaan HbA1c dilakukan diagnosis dan pada inteval
tertentu untul mengevaluasi penatalaksanaan DM, direkomendasikan dilakukan 2
kali dalam sethaun bagi pasien DM. kadar yang direkomendasikan oleh ADA <
7% (ADA 2003 dalam black dan hawks, 2005 : ignativicius dan workman, 2006).
B. Komplikasi
Menurut Tarwoto (2012) komplikasi yang berkaitan dengan diabetes melitus
digolongkan menjadi dua, yaitu :
1. Komplikasi Akut
Komplikasi akut terjadi sebagai akibat dari ketidakseimbangan jangka pendek
dalam glukosa darah, yaitu : hipoglikemia, ketoasidosis diabetik, sindrom
hiperglikemik hiperosmolar non-ketotic (HHNK).
a. Hipoglikemia
Sindrom hipoglikemia ditandai dengan gejala klinis penderita merasa pusing,
lemas, gemetar, pandangan berkunang-kunang, pitam (pandangan menjadi gelap),
keluar keringat dingin, detak jantung meningkat, sampai hilang kesadaran.
Apabila tidak segera ditolong dapat terjadi kerusakan otak dan akhirnya
kematian.
Menurut Depkes (2005), serangan hipoglikemia pada penderita diabetes
umumnya terjadi apabila penderita:
1) Lupa atau sengaja meninggalkan makan (pagi, siang atau malam)
2) Makan terlalu sedikit, lebih sedikit dari yang disarankan oleh dokter atau ahli
gizi .
3) Berolah raga terlalu berat
4) Mengkonsumsi obat antidiabetes dalam dosis lebih besar dari pada seharusnya.
5) Minum alkohol
6) Stress.
7) Mengkonsumsi obat-obatan lain yang dapat meningkatkan risiko.
b. Sindrom hiperglikemik hiperosmolar non- ketotic
HHNK terjadi pada manula, penyandang diabetes dengan obesitas, seringkali
adanya diabetes tidak terdiagnosis sebelumnya. Seringkali ditemukan faktor
pencetus seperti infark miokard, stroke, atau infeksi. Onsetnya lambat dengan
poliuri selama 2-3 minggu dan dehidrasi progresif. Kadar glukosa darah tinggi
(sering di atas 45,0 mmol/L) dan osmolalitas (seringkali di atas 400 mmol/L).
Bikarbonat plasma biasanya normal tanpa disertai ketonuria. Jika kadar
bikarbonat plasma rendah, pikirkan asidosis laktat. Pasien ini memrlukan cairan
dalam jumlah banyak (10 liter) yang diberikan dalam bentuk Nacl 0,9 % (David.
dkk, 2011).
2. Komplikasi kronis
Umumnya terjadi 10 sampai 15 tahun setelah awitan, yaitu : makrovaskuler,
mikrovaskular, dan penyakit neuropati.
a. Komplikasi mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler berupa retinopati, nefropati, dan neuropati
merupakan kelainan yang lebih sering timbul setelah pubertas, namun juga
dapat terjadi selama periode prepurbertas memberikan efek yang tidak sama
pada masing-masing individu dalam hal komplikasi.
b. Neuropati
Menurut Batubara (2010), sistem saraf sentral dan perifer juga terkena oleh
diabetes. Pola keterlibatan yang paling sering adalah neuropati perifer simetris
di ekstremitas bawah yang mengenai, baik fungsi motorik maupun sensorik,
terutama yang terakhir. Walaupun gejala klinis kelainan saraf pada anak dan
remaja jarang didapatkan namun eberadaan kelainan subklinis sudah didapatan.
Evaluasi klinis dari pemeriksaan saraf perifer harus meliputi :
1. Anamnesis timbulnya nyeri,parestasia,maupun rasa tebal.
2. Penentuan sensasi vibrasi.
c. Komplikasi makrovaskuler
Penelitian tentang penebalan intima-media pada karotis merupakan tanda
yang sensitif untuk timbulnya komplikasi makrovaskuler yaitu penyakit jantung
koroner dan penyakit serebro vaskuler.
C. Penatalaksanaan
Tujuan utama dari pengobatan adalah untuk mencoba menormalisasi aktivitas
insulin dan kadar gula darah untuk menurunkan perkembangan komlikasi neuropati
dan vaskular. Tujuan terapeutik dari masing-masing diabetes adalah untuk mencapai
kadar glukosa darah tanpa mengalami hipoglikemia dan tanpa mengganggu aktivitas
sehari-hari pasien dengan serius. Terdapat lima komponen penatalaksanaan untuk
diabetes, yaitu : diet, latihan, pemantauan, obat-obatan dan penyuluhan (Tarwoto,
2012).
Menurut Tarwoto (2012) prinsip utama dalam penanganan pasien waktu sakit
yaitu :
1. Pemberian insulin
Insulin harus terus diberikan dengan dosis biasa meskipun anak tidak makan.
Pada penderita diabetes yang sakit mungkin akan menimbulkan hiperglikemia
akibat glukoneogenesis atau glikolisis karena kerja hormon anti insulin. Bila kadar
glukosa darah > 250 mg/dL, segera lakukan pemeriksaan keton darah. Bila keton
darah >1mmol/L berarti dosis insulin kurang dan perlu ditambah . Bila kadar
glukosa darah >250mg/dL dan keton darah <1 mmol/L, tidak perlu ditambahan
insulin dan periksa kembali glukosa darah setelah 2 jam. Pemberian insulin
tambahan pada balita sebesar 1U dapat menurunkan glukosa darah rata-rata 100
mg/dL, sedangkan pada anakn sekolah dan remaja dosis tersebut mungkin hanya
menurunkan glukosa darah sebesar 30-50 mg/dL. Penambahan dosis insulin dapat
juga dilakukan dengan memperhitungkan 5-20% dari total dosis harian,tergantung
situasi.
2. Pemberian minum yang cukup
Apabila kadar glukosa darah tidak menurun dengan dosis tambahan dosis
insulin, maka pemberian cairan untuk hidrasi tubuh pasien kemungkinan kurang
adekuat. Berikan minum sebanyak mungkin kepada pasien. Bila glukosa tetap
tinggi, maka pada pasien masih akan terjadi diuresis osmotik yang menyebabkan
kehilangan cairan. Adanya demam akan meningkatkan kebutuhan kesehatan
pasien.
3. Pemberian obat yang tidak mengandung gula
Penting untuk tidak memberikan obat-obatan yang mengandung gula.
4. Penyuluhan
Lingkungan pasien DM tipe-1 amat penting. Kerabat pasien harus mengetahui
prinsip-prinsip menangani pasien DM tipe-1 yang sedang sakit. Insulin harus tetap
diberikan meskipun pasien DM tipe-1 yang sedang sakit tidak mau makan atau
hanya mau makan sedikit. Glukosa darah pasien dapat meningkat selama sakit
karena glukoneogenesis. Muntah merupakan gejalah serius yang perlu penangan
segera. Adanya keton dalam urin atau darah yang disertai kadar glukosa darah
yang tinggi merupakan tanda kurangnya kerja insulin, dan bila hal ini tidak segera
diatasi maka pasien akan jatuh ke dalam KAD yang mengancam jiwa.
5. Pemberian nutrisi
Bila pasien merasa mual dan tidak mau makan, maka dianjurkan untuk tetap
minum cairan berkalori.
Ada lima kategori obat hipoglikemik oral, yaitu:
a. Sulfonilurea
1) Secara primer menstimulasi pelepasan insulin dari sel beta selama waktu
kerja farmakologis obat (4 sampai 24).
2) Sulfonilurea sering berhasil jika digunakan secara tunggal.
3) Efek samping meliputi penambahan berat badan
4) Dikontraindikasikan pada defisiensi insulin (diabetes tipe 1), kehamilan dan
menyusui.
b. Biguanida (metformin)
1) Menurunkan glukosa darah dengan menurunkan absorpsi glukosa usus,
meningkatkan sensitivitas insulin dan ambilan glukosa perifer hepar.
2) Tidak menyebabkan hipoglikemia.
3) Keuntungan lain meliputi penurunan kadar kolesterol total, trigliserida, dan
LDL.
4) Karena terkadang berefek samping kehilangan selera makan dan penurunan
berat badan, obat ini lebih disukai penanganan pasien obese.
5) Efek samping meliputi gastrointestinal minor yang dapat dikontrol dengan
menurunkan dosis. Konsekuensi serius yang jarang terjadi adalah asidosis
laktat, ini biasanya muncul bila ada kontraindikasi seperti insufisiensi ginjal
yang tidak ketahuan.
6) Dikontraindikasikan pada gangguan ginjal, kehamilan, dan ketergantungan
insulin, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien hepar, jantung,
atau paru.
c. Derivat asam benzoat (meglitinida, repaglinida)
1) Secara struktur berbeda dari sulfonilurea, tetapi serupa dalam mekanisme
stimulasi sekresi insuli.
2) Dirancang untuk meningkatkan sekresi insulin saat makan dan harus
diminum saat makan.
d. Inhibitor alfa-glukosidase (acarbose, voglibose, miglitol)
1) Mempunyai aksi memengaruhi enzim di dalam usus yang memecah gula
kompleks. Memperlambat kecepatan pencernaan polisakarida,
mengakibatkan keterbatasan absorpsi glukosa dari karbohidrat yang
dikonsumsi. Tampaknya memperbaiki kadar glukosa darah setelah makan
dan menurunkan hemoglobin terglikosilasi.
2) Tidak menyebabkan hipoglikemia
3) Efek samping berupa serupa degan intoleransi laktosa karena efek gula yang
tidak tercerna oleh bakteria kolon (diare, nyeri abdomen, flatus dan distensi
abdomen).
e. Tiazolidinedion (rosiglitazon, pioglitazon)
1) Meningkatkan sensitivitaas hepar dan menurunkan resistensi insulin.
2) Efek sampingnya minimal dan meliputi retensi cairan dan kadang
peningkatan enzim fungsi hepar secara reversibel.
B. Diagnosa