Anda di halaman 1dari 2

Misoeh, Perlukah?

Misuh dalam bahasa indonesia berarti suatu makian atau umpatan-umpatan kepada seseorang.
Tidak jarang seorang yang “kasar” menjadikan umpatan sebagai bentuk paling kecil dari
pelampiasannya, sehingga ia menajjadikan umpatan sebagai suatu hal yang biasa dan lumrah. Saat ini
misoeh bukan lagi menjadi ciri jhas dari orang-rang yang berwatak kasar, tidak sedikit mereka yang
terlihat adem ayem tentram dan damai tanpa kekasaran yang menjadikan umpatan-umpatan sebagai
bahasa harian yang dianggapnya biasa saja.

Di jawa timur sendiri khususnya di Surabaya, makian dan misuh serta umpatan Jnac*k dkk,
aalah suatu hal yang biasa sja, bahkan dianggap sebagai bahasa pemersatu, istilahnya adalah sebagai
bahasa keakraban mereka, jadi ketika belum ada misuh diantara mereka maka itu berarti hubungan
mereka belum dekat dan masih terdapat kesenjangan diantaranya.

Anggapan diatas menjadikan misuhan sebagai hal yang layak dan bukan suatu yang buruk,
anggapan semacam ini semakin merajalela, sehingga menjadi ciri dari sebutan ini. Jadi pertanyaannya,
apakah seluruh masyarkatnya senang akan hal tersebut? Dan bagaimana dengan warga non lokal yang
tidak biasa dngn hal tersebut, pendatang misal.

Jika alasan budaya misuh ini menjadi suatu hal yang dianggap layak, maka munkin kita bisa
kembali kepada tuntunan agama islam serta adat terdahulu yang mengedepankan akhlak. Yah, ahklak
dimana dalam kitab adabulalim wal mutaalim bahwa adab adalah suatu hal yang paling penting dan
mendasari suatu pokok tujuan, khususnya dalam hal keilmuan, dalam adabul alim, akhlak memilki
kedudukan yang lebih utama dibanding ilmu. Dalam cerita-cerita terdahulu oleh imam Abdurrahman
bin al Qossim bahwa “aku menjadi pelayan Imam Malik selama 20 tahun, selama 18 tahunnya aku
mempelajari adab dan 2 tahunnya baru aku mulai mempelajari ilmu. Itupun beliau menyesal, andai
selama 20 tahun semua belajar adab, karena ilmu akan datang dengan sendirinya.

Begitu tingginya adab higga dengan ilmu yang dapat meningggikna derajat pun menjadi yang
kedua. Lalu apakah dengan misuhan yang jelas-jelas bagi banyak telinga menjadi suatu adab yang
baik?. Tentu teman-teman pembaca paham bagaimana jawabannya.

Mungkin memang misuhan sudah menjadi adat yang mengakar di setiap jiwa yang kuat
didalamnya kobaran-kobaran kehidupan. Namun bukankah dalam islam adat terbagi menjadi, ada yng
fasihah dan adapula adat yang mana ia fasidah. Sedang misuh kita dapat nilai dan juga dilihai bagi
sebagian besar orang yang menyadari atau tidak sebagai ucapan yang sebenanya memeng kurang
berkenan disetiap telinga orang. Maka ia termasuk sebagai adat yang fasidah, maka bukankah harusnya
dijadikan sbagai evaluasi? Apakah harus dihilangkan atau tetap namun tidak untuk disarankan.
Memang tidak mudah untuk ditinggal, tidak ada saran untuk mengahapus namun jika dilihat
dari pandanga untuk menghargai orang lain, maka mungkin bisa sedikit dikurangi, dan lebih dijaga
untuk menekan misuhnya tidak di sembarang tempat dan waktu, sehingga ia mampu untuk terus
menjaga orang-orang disekekelilingnya.

Dalam hal menjaga perasaan seseorang adalah merupakan sesuatu yang dianggap mudah
namun berat saat diamalkan, berbeda tipis dengan ikhlas. Misuhan bila ditempatkan dikota “pahlawan”
adalah suatu hal yang wajar, namun tidak untuk di prioritaskan dan bukan suatu hal wajib untuk
dilesatrikan, banyak hal lain yang lebih yang bisa untuk terus di lestarikan agar mejadi tambahan nilai
kebaikan yang ujungnya mengalirkan pahala.

Misuh bukan suatu hal yang dianjurkan apalagi diwajibkan, lalu apa alasan kawan-kawan
menjadikannya sebagai suatu hal yg menjadi ciri has suatu kelompok atau daerah, jika ada yang lebih
baik mengapa memiliih yang buruk. Bila dikaitkan dengan dunia psikologi yang menitikberatkan pada
kepuasan diri, maka semua itu bisa diubah pelan asal terus, sehingga pelan-pelan tapi pasti akan
merubah dari ungkapan-ungkapn tidak baik menjadi ungkapan-ungkapan yang baik.

Memang susah untuk menghilangkan, namun setidak dapat dimulai dari menjaga lisan saat
ditempat umum sehingga tidak tersebar keberbagai penjuru daerah, sehingga menjadikan umpatan-
umpatan yang tidak baik dapat sedikit berkurang. Sekali lagi, menghilangkan ungkapan-ungkpan
tersebut bukan suatu yang mudah, maka setidaknya menekan laju menyebarnya adalah salah satu cara
paling efektif yang dapat dilakukan. Bukankah mencegah kemungkaran adalah suatu hal yang harus?

Anda mungkin juga menyukai