Anda di halaman 1dari 8

NIKAH MUT’AH

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Hukum
Perkawinan Islam

Dosen Pengampu:

Kemal Riza, S.Ag, MA.

Oleh Kelompok

Abdul Rouf`` (C95217030)


Fathuddin

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2019
1. Pengertian Mut’ah

Asal kata Mut’ah adalah dari kata mata dalam Bahasa Arab yang berarti segala
sesuatu yang dapat dimanfaati dan juga dinikmati, misalnya minuman, makanan, kenderaan,
pakaian dan sebagainya. Pengertian ini berbeda kalau dilihat dari istilah fiqih yang
dimaksudkan sebagai suatu pemberian daripada suami kepada istri karena terjadinya
perpisahan atau perceraian, sebagai “ganti rugi” atau “penghibur”. Pengertian ini harus
dibedakan dengan nikah Mut’ah yang sudah banyak kajian dan penjelasan tentang
keberadaan hukumnya.
Mazhab syafi’I mengertikan mut’ah sebagai harta yang wajib dibayarkan oleh snag
suami kepada isterinya yang telah dia ceraikan dalam kehidupan dengan perceraian serta apa
yang memiliki makan yang sama dengan syarat-syarat berikut. Mazhab Maliki
mengertikannya sebagai kebaikan untuk perempuan yang diceraikan ketika terjadai
perceraian dalam kadar yang sesuai dengan jumlah sedikit dan banyaknya tergantung kepada
harta si suami.1
Mut’ah ini adalah perintah oleh Allah Swt. sebagai pemberian daripada suami kepada
istrinya agar selalu mempergauli istri-istri mereka dengan cara yang baik dan yang layak ke
atas mereka serta harus sesuai dengan prinsip: imsak bi ma’ruf aw tasrih bi ihsan (yakni,
mempertahankan ikatan perkawinan dengan kebaikan atau melepaskan [menceraikan] dengan
kebajikan). Oleh karena itu, jika sesebuah perkawinan itu harus dihentikan, pergaulan atau
sikap yang baik tetap harus dilaksanakan dan dijaga oleh kedua-duanya. Hubungan baik di
antara mantan ahli keluarga istri juga harus dipertahan dan dijaga dengan baik, di samping
melaksanakan mut’ah dengan baik, ikhlas, sopan santun, tanpa menunjukkan kegusaran hati,
apalagi penghinaan dan celaan.2

2. Hukum Mut’ah
Para fuqaha berbeda pendapat di dalam hal ini, Mazhab Hanafi berpendapat bahwa,
mut’ah bisa menjadai wajib ataupun Sunnah. Mut’ah diwajibkan di dalam dua jenis
perceraian.

1 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, DarulFikir, hlm 285.


2 Bagir Muhammad, Padnduan Lengkap Muamalah menurut Al-Quran, Al-Sunnah, Dan Pendapat Para Ulama,
(Noura PT Mizan Publika, 2016, Bandung) hlm. 301.
1) Perceraian mufawwidhah iaitu sebelum terjadinya persetubuhan, maksudnya, perceraian yang
terjadi sebelum terjadi persetubuhan dan khalwat dalam pernikahan yang di dalamnya tidak
disebut mahar, dan tidak diwajibkan setelahnya atau penentuannya rusak. Pendapat ini
disepakati oleh jumhur ulama, kecuali mazhab Maliki. Berdasarkan kepada firman Allah
SWT,
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istri kamu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya.
Hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka.” (al-Baqarah: 236)
Allah SWT memerintahkan untuk memberikan mut’ah dan perintah memiliki arti wajib. Hal
ini ditegaskan dalam penghujunbg ayat yang berbunyi,
“Yang demikian itu merupakan ketentuan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (al-Baqarah:
236)
juga karena merupakan pengganti setengah mahar wajib. Penganti wajib adalah wajib
karena dia menepati posisinya, seperti halnya tayammum yang merupakan pengganti wudhu.
2) Perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dalam pernikahan yang di dalamnya
tidak disebutkan mahar, hanya saja diwajibkan setelahnya, menurut pendapat Abu Hanifah
dan Muhammad. Berdasarkan firman Allah SWT,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudia kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali
tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka
berilah mereka mut’ah.” (al-Ahzab: 49)

Juga ayat yang tadi telah disebutkan, “Maka berilah mereka mut’ah,” Ayat yang
pertama mewaibkanmut’ah untuk smeua perempuan yang diceraikan sebelum digauli.
Kemudian di khususkan orang yang maharnya ditentukan, maka tinggal perempuan yang
diceraikan yang tidak disebutkan mahar untuknya. Ayat kedua mewajibkan mut,ah bagi
orang yang tidak ditentukan kewajiban, yaitu beralih kepada kewajiban di dalam akad.

Abu Yusuf, Syafi’I dan Ahmad berpendapat bahwa mut’ah wajib bagi perempuan
yang ditalak sebelum digauli yang telah diwajibkan mahar untuknya. Kewabijan ini di dalam
akad ataupun setelahnya karena kewajiban setelah akad seperti kewajiban di dalam akad.
Yang diwajibkan di dalam akad bagi dua, begitu juga halnya yang diwajibkan setelahnya.
Mut,ah disunahkan menurut mazhab Hanafi dalam kondisi perceraian sebelum terjadi
persetubuhan dan perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dalam pernikahan
yang di dalamnya ditentukan mahar karena mut,ah sesungguhnya diwajibkan sebagai ganti
setengah bagian mahar.

Jika mahar musamma atau mahar mitsil di dapatkan setelah terjadi persetubuhan,
tidak perlu lagi mut,ah.Mazhab syafi’I mewajibkan mut,ah dalam perceraian setelah terjaadi
persetubuhan, berdasarkan firman AllahSWT,

“kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah


menurut yang makruf.”(al-Baqarah: 241)

3. Pemberian Mut’ah untuk Istri Qabla Dukhul


Fuqaha Zhahiri berpendapat bahwa pemberian mut’ah itu wajib untuk setiap istri yang
telah dicerai3. Manakala, Para ulama sepakat mewajibkan pemberian Mut’ah kepada istri
yang diceraikan sebelum berlangsung hubungan seksual dengannya (Qabla Dukhul) dengan
keadaan maharnya yang belum ditetapkan (Ketika akad jumlah maharnya tidak disebut
dengan kata lain suaminya berhutang mahar kepada istrinya). Firman Allah Swt. tentang hal
ini:

‫يضةً ۚ َو َمتِّعُوه َُّن َعلَى ْال ُمو ِس ِع قَ َد ُرهُ َو َعلَى ْال ُم ْقتِ ِر‬
َ ‫اَل ُجنَا َح َعلَ ْي ُك ْم إِ ْن طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء َما لَ ْم تَ َمسُّوه َُّن أَوْ تَ ْف ِرضُوا لَه َُّن فَ ِر‬
)٢٣٦( َ‫ُوف ۖ َحقًّا َعلَى ْال ُمحْ ِسنِين‬ ِ ‫قَ َد ُرهُ َمتَاعًا بِ ْال َم ْعر‬

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-
isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan
maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang
yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi
orang-orang yang berbuat kebajikan.4 (QS Al-Baqarah [2]: 236)

Imam Syafi’i mengartikan perintah tentang mut’ah pada ayat ini kepada keumuman
orang perempuan yang ditalak, kecuali orang perempuan yang telah ditetapkan maskawinnya
dan diceraikan sebelum digauli. Sedangkan fuqaha Zhahiri mengartikan perintah memberikan
mut’ah itu kepada keumumannya.5

3 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Dar Al-Jilil, Beirut, 2007, Jakarta) hlm, 622.
4 Al-Quran, Al-Mumayyaz.
5 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Dar Al-Jilil, Beirut, 2007, Jakarta) hlm, 623.
Jika jumlah mahar sudah dilafazkan ketika akad nikah, lalu si suami menceraikan
istrinya sebelum “menyentuhnya” (yaitu sebelum berlakunya hubungan seksual) maka si
suami hanya wajib memberinya separuh daripada jumlah mahar yang telah diberikan ketika
berlangsungnya akad nikah. Firman Allah Swt:

)٢٣٧( . . . َ‫ضةً فَنِصْ فُ َما فَ َرضْ تُ ْم إِاَّل أَ ْن يَ ْعفُون‬


َ ‫طلَّ ْقتُ ُموه َُّن ِم ْن قَ ْب ِل أَ ْن تَ َمسُّوه َُّن َوقَ ْد فَ َرضْ تُ ْم لَه َُّن فَ ِري‬
َ ‫َوإِ ْن‬

Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka,


padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari
mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan . . . (QS Al-
Baqarah [2]: 237)

Dalam kasus yang pertama di atas, bahwa kewajiban memberikan mut’ah adalah
sebagai “penghibur” ataupun sebagai “ganti rugi” kepada mantan istri, mengingti bahwa dia
kini harus menanggung rasa malu karena telah menjadi janda dan mungkin akan mengurangi
ketetarikan para lelaki untuk menikah dan menjadikan dirinya sebagai istri. Adapun kasus
yang kedua, mantan istri sudah cukup menerima mahar ketika berlangsungnya akad,
walaupun hanya seperdua dari mahar yang telah ditetapkan baginya.

4. Pemberian Mut’ah untuk istri Ba’da Dukhul

Bagi istri yang dicerai suaminya ba’da dukhul (yaitu, setelah disetubuhi atau setelah
berlangsung hubungan seksual antara keduanya), maka sebagian ulama seperti Imam Malik,
Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Abu Hanafi (dalam salah satu antara beberapa pendapat
yang diriwayatkan darinya), juga Imam Syafi’I (dalam pendapat qadim-nya atau pendapat
lamanya) menyatakan bahwa pemberian mut’ah ini hanyalah sekadar anjuran sahaja, tetapi
tidak diwajibkan ke atasnya (suami), ini karena perkawinan tersebut telah berjalan
sebagaimana kebiasaanya dan si istri juga telah menerima maharnya secara sempurna.
Namun, menurut sebagian para ulama yang lain, pemberian mut’ah kepada istri yang
diceraikan ba’da dukhul (yaitu yang telah berlangsung persetubuhan antara suami dan istri)
dihukumi wajib. Pendapat ini juga diriwayatkan oleh Imam syafi’I di dalam qaul jadid-nya
atau pendapat baru beliau, sama seperti beberapa tokoh sahabat Rasulullah saw, seperti Ali
dan Umar serta kedua putra mereka, Hasan bin Ali dan Abdullah bin Umar (Radhiyallahu
anhum).6

6 Bagir Muhammad, Padnduan Lengkap Muamalah menurut Al-Quran, Al-Sunnah, Dan Pendapat Para Ulama,
(Noura PT Mizan Publika, 2016, Bandung) hlm. 303.
Pendapat terakhir seperti inilah yang dinilai lebih sahih, sesuai dengan firman Allah
Swt:

َ‫ُوف َحقًّا َعلَى ْال ُمتَّقِين‬


ِ ‫ع بِ ْال َم ْعر‬ ِ ‫َولِ ْل ُمطَلَّقَا‬
ٌ ‫ت َمتَا‬
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah
menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Al-
Baqarah [2]: 241)

Di dalam firman ini, Allah Swt mewajibkan pemberian mut’ah kepada semua istri
secara umum, kecuali istri yang dikhususkan dengan dalil tertentu. Demikian juga Allah Swt.
telah memerintah kepada Nabi Saw. (Ketika para istri baginda menuntut kepadanya agar
diberikan sedikit kelebihan dalam nafkah sehari-hari, sehingga membuat marahnya Nabi
Saw. Lalu kemudian turun wahyu daripada Allah Swt memerintahkan kepada beliau agar
menyuruh para istrinya memilih sama ada untuk terus bersama dengan baginda di dalam
kesederhanaan atau memilih untuk hidup dengan kesenangan dunia dicerai dan diberikan
mut’ah) firman Allah Swt:

َ‫) َوإِ ْن ُك ْنتُ َّن تُ ِر ْدن‬٦٨( ‫ك ِإ ْن ُك ْنتُ َّن تُ ِر ْدنَ ْال َحيَاةَ ال ُّد ْنيَا َو ِزينَتَهَا فَتَ َعالَ ْينَ أُ َمتِّ ْع ُك َّن َوأُ َس ِّرحْ ُك َّن َس َراحًا َج ِمياًل‬ َ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي قُلْ أِل َ ْز َوا ِج‬
)٦٩( ‫َظي ًما‬ ِ ‫ت ِم ْن ُك َّن أَجْ رًا ع‬ ِ ‫هَّللا َ َو َرسُولَهُ َوال َّدا َر اآْل ِخ َرةَ فَإ ِ َّن هَّللا َ أَ َع َّد لِ ْل ُمحْ ِسنَا‬

Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta
(kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang
berbuat baik diantaramu pahala yang besar (28). Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di
antaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan di lipat gandakan
siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah (29).
(QS Al-Ahzab [33]: 28

5. Kadar dan jenis mut'ah

Tidak ada nash dalam menetapkan kadar dan jenis mut'ah, sehingga para fuqaha
melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi memutuskan bahwa kadar
mut'ah adalah tiga buah baju, rompi [pakaian yang dikenakan orang perempuan di atas baju),
kerudung, iubah yang dipergunakan oleh perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian
kepala sampai kaki, berdasarkan firman Allah SWT,"..yaitu pemberian menurut yang patut.
Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebaiikan." (al'
Baqarah:236)
Al-mataa' adalah nama barang menurut tradisi. Karena untuk mewajibkan pakaian
memiliki penilaian dalam asal syariat, yaitu pakaian yang diwajibkan untuk si istri pada saat
berlangsungnya ikatan suami-istri dan di saatmasa iddah. Pakaian yang paling minim yang
dikenakan oleh seorang perempuan dan yang menutupi tubuhnya ketika sedang pergi keluar
adalah tiga buah pakaian. Ketiga buah pakaian ini tidak melebihi setengah bagian mahar
mitsil jika suami adalah orang kaya, karena pakaian ini adalah pengganti mahar mitsil. juga
tidakkurang dari lima dirham jika suami adalah orang miskin.
Yang difatwakan bahwa sesungguhnya mut'ah dianggap sesuai dengan kondisi
suamiistri, seperti nafkah. fadi jika keduanya adalah orang kaya, si istri berhak mendapatkan
sesuatu yang lebih tinggi dari pakaian. Iika keduanya adalah orang miskin, maka sesuatu
yang lebih rendah jka kondisi keduanya berbeda, maka yang pertengahan.. jika suami istri
saling bersengketa mengenai kadarnya, qadhi menilainya dengan hasil ijtihadnya sesuai
dengan kelayakan kondisi dengan memperhatikan kondisi kedua suami-istri, sebagaimana
yang dikatakan oleh mazhab Hanafi, yang berupa kaya, miskin, nasab, dan sifat. Berdasarkan
firman Allah SWT, "Hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka.
Orang yang mqmpu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut
kemampuannya (pula)." (alBaqarah:236).
Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat, mut'ah dilihat dari kondisi kaya dan
miskinnya suami. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya dan orang yang miskin juga
sesuai dengan kadarnya. Berdasarkan ayat yang tadi telah disebutkan yang mengungkapkan
tentang kondisi mut'ah berdasarkan kondisi si suami. Tingkatan yang paling tingginya adalah
pembantu, maksudnya nilai pembantu pada zaman mereka jika si suami adalah orang kaya.
Yang paling rendah adalah jika si suami adalah orang miskin adalah pakaian lengkap yang
dapat dipergunakan untuk shalat, atau pakaian yang paling rendah, yang berupa rompi dan
kerudung, atau yang sejenisnya. Maksudnya yang paling rendahnya adalah tiga buah pakaian
sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab Hanafi, yang terdiri rompi [baju), kerudung yang
menutupi kepalanya, dan jubah. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas, "Mut'ah yang paling
tinggi adalah pembantu, kemudian yang setelahnya adalah nafkah, dan kemudian yang lebih
rendahnya adalah pakaian." Secara zahir yang rajih adalah pendapat ini.
Daftar Pusaka

Bagir Muhammad, Panduan Lengkap Muamalah Menurut Al-Quran, Al-Sunnah, dan


Pendapat Para Ulama, Nour PT Mizan Publika, 2016, Bandung.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Dar Al-Jilil, Beirut, 2007, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai