Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 1
“Mata Kanan Mahmud Merah”

Tutor:
dr. Merry Tyas Aggraini, M.Kes
Disusun Oleh: Kelompok 9 Blok 8
Pertemuan I
Moderator : Izza Alya Ardana P. (H2A018080)
Sekretaris : Delanaura P.A. (H2A018056)
Pertemuan II
Moderator : Bariklana Wildan S. (H2A018075)
Sekretaris : Abel Larasati S.D. (H2A018117)

Anggota:
Besty Barsaliputri (H2A018040)
Intan Pandini (H2A018066)
Cici Rezkika Nasution (H2A018076)
Anggita Pungki Leksani (H2A018079)
Farda Amelia (H2A018081)
Yusri Candra Alim (H2A018122)

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
Skenario 1 “Mata Kanan Mahmud Merah”

Mahmud, 28 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan mata


kanan merah sejak 2 hari yang lalu,mata terasa seperti berpasir,mata keluar lodok
(+), lodok berwarna kuning dan kental, mata tidak dirasakan kabur, silau (-).
Penderita saat ini sedang tidak batuk, pilek maupun demam. Riwayat mata merah
berulang disangkal. Visus mata kanan 6/6, konjungtiva didapatkan injeksi
konjungtiva (+), sekret mukopurulen (+). Mahmud merasa tidak percaya diri
sehingga selalu memakai kacamata. Terlebih lagi besok Mahmud harus menjalani
wawancara pekerjaan, ini yang membuat hatinya sedih. Karena bias saja pekerjaan
yang sudah diidam-idamkannya sejak lama terlewat begitu saja.

STEP 1

1. Injeksi konjungtiva: Pelebaran arteri konjungtiva posterior karena pengaruh


mekanik infeksi/alergi.
2. Visus: Ketajaman penglihatan, sensasi dimana benda diluar lingkungan
dirasakan dengan menggunakan cahaya yang dilepaskan atau dipantulkan.
3. Mukopurulen: Mengandung mucus maupun nanah.
4. Silau: Keluhan tidak nyaman pada mata dan penurunan penglihatan sentral.
5. Konjungtiva: Membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi bagian
anterior bola mata dan bagian dalam palpebral.

STEP 2

1. Apakah yang dialami pasien?


2. Bagaimana gejala dari penyakit tersebut?
3. Kenapa mata pasien bias merah?
4. Kenapa mata pasien mengeluarkan sekret?
5. Bagaimana cara pemeriksaan visus?
6. Apakah penyebab keluhan yang dialami pasien?
7. Mengapa mata pasien visusnya tetap dalam keadaan normal?
8. Bagaimana pencegahan dari kasus tersebut?
STEP 3

1. Apakah yang dialami pasien?


Keluhan pak Mahmud adalah mata merah, rasa mengganjal, dan
mengeluarkan sekret yang sesuai dengan gejala konjungtivitis bakteri akut.
Konjungtivitis bakteri akut (mukopurulen) sering terdapat dalam bentuk
epidemik dan disebut mata merah “pinkeye”. Penyakit ini ditandai dengan
hiperemia konjungtiva akut dan sekret mukopurulen sedang. Penyebab
paling umum Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus aegyptius. Pada
pak Mahmud, konjungtivitis belum mengakibatkan komplikasi kornea,
ditandai tidak didapatkan keluhan epifora blepharospasme yang merupakan
gejala khas keratitis.
Terdapat persepsi yang tidak tepat pada sebagian masyarakat,
misalnya konjungtivitis ditularkan dengan menatap mata orang yang sakit.
Konjungtivitis bakteri akut menular ke mata orang yang sehat melalui
tangan yang mengandung mikroorganisme penyebab konjungtivitis.
Mikroorganisme ini berpindah melalui mata yang tidak disadari diusap oleh
penderita dan selanjutnya mengakibatkan kontaminasi pada barang yang
terpegang oleh penderita dan dipakai bersama oleh orang yang sehat.
2. Bagaimana gejala dari penyakit tsb?
Gejala pada penyakit konjungtivitis bakteri akut:
 Injeksi konjungtiva baik segmental atau menyeluruh
 Hiperemi (fornix paling jelas), limbus
 Merah terang = bacterial
 Keputihan = allergic conjunctivitis
 Terdapat eksudat
 Terdapat discharge mukopurulen
 Terdapat sensasi benda asing di mata
 Keratitis berulang
 Terkadang ditemukan demam
3. Kenapa mata pasien bisa merah?
Mata merah merupakan keluhan yang timbul akibat perubahan warna bola
mata yang sebelumnya berwarna putih menjadi merah. Hiperemia
merupakan tanda klinis konjungtivitis akut yang paling menyolok.
Kemerahan paling jelas di forniks dan makin berkurang ke arah limbus
karena dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior. Pada mata
normal sklera terlihat berwarna putih karena sklera dapat terlihat melalui
bagian konjungtiva dan kapsul Tenon yang tipis dan tembus sinar.
Hiperemia konjungtiva terjadi akibat bertambahnya asupan pembuluh
darah. Warna merah terang mengesankan konjungtivitis bakteri, dan
tampilan putih susu mengesankan konjungtivitis alergika. Mata merah pada
kasus konjungtivitis bakteri disebabkan karena melebarnya pembuluh darah
arteri konjungtiva posterior disebabkan karena adanya infeksi. Mata merah
akibat melebarnya pembuluh darah konjungtiva, misalnya: konjungtivitis,
keratitis/iridosiklitis. Selain itu, mata merah juga dapat terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah dan darah tertimbun di bawah jaringan
konjungtiva. Keadaan ini disebut perdarahan subkonjungtiva. Mata merah
juga dicurigai adanya paparan benda asing yang terkena mata, sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi berupa dilatasi pembuluh darah.
4. Kenapa mata pasien mengeluarkan secret?
Sekret merupakan produk kelenjar yang dikeluarkan oleh sel goblet
pada konjungtiva bulbi maupun konjungtiva palpebrae akibat kegagalan
mekanisme pertahanan primer dan/atau sekunder. Sekret konjungtiva bulbi
pada konjungtivitis dapat bersifat:
- Air, disebabkan oleh infeksi virus/alergi
- Purulen, disebabkan oleh bakteri/Chlamydia
- Hiperpurulen, disebabkan oleh gonococcus/meningococcus
- Mukoid, disebabkan oleh alergi/vernal
- Serosa, disebabkan oleh adenovirus
Akibat dari paparan alergi/benda asing yang terkena mata menimbulkan
injeksi konjungtiva yang memicu pengeluaran sekret. Sekret peradangan
terdiri dari sel plasma (eosinofil, basofil, neutrofil) bertemu dengan sel
goblet serta fibrin sehingga pembentukan sekret mata menjadi berlebih.
5. Pemeriksaan Visus Mata
Visus adalah ketajaman penglihatan. Pemeriksaan visus merupakan
pemeriksaan untuk melihat ketajaman penglihatan.
Cara memeriksa visus ada beberapa tahap:

a) Menggunakan 'chart' => yaitu membaca 'chart' dari jarak yang


ditentukan, biasanya 6 meter. Digunakan jarak sepanjang itu karena
pada jarak tersebut mata normal akan relaksasi dan tidak berakomodasi.
Kartu yang digunakan ada beberapa macam :
o Snellen chart => kartu bertuliskan beberapa huruf dengan ukuran
yang berbeda => untuk pasien yang bisa membaca.

o E chart => kartu yang bertuliskan huruf E semua, tapi arah kakinya
berbeda-beda.
o Cincin Landolt => Kartu dengan tulisan berbentuk huruf 'c', tapi
dengan arah cincin yang berbeda-beda.

b) Cara memeriksa :
o Kartu diletakkan pada jarak 5 atau 6 meter dari pasien dengan
posisi lebih tinggi atau sejajar dengan mata pasien.
Bila jarak 5 meter, maka visus normal akan bernilai 5/5 artinya
mata normal dapat melihat pada jarak 5 meter, pasien juga dapat
melihat pada jarak 5 meter. Bila berjarak 6 m, berarti visus
normalnya 6/6. Satuan selain meter ada kaki = 20/20, ada juga log
(logaritma).
o Pastikan cahaya harus cukup
o Bila ingin memeriksa visus mata kanan, maka mata kiri harus
ditutup dan pasien diminta membaca kartu.
o Cara menilai visus dari hasil membaca kartu :
 Bila pasien dapat membaca kartu pada baris dengan visus 5/5
atau 6/6, maka tidak usah membaca pada baris berikutnya =>
visus normal
 Bila pasien tidak dapat membaca kartu pada baris tertentu di
atas visus normal, cek pada 1 baris tersebut
 Bila cuma tidak bisa membaca 1 huruf, berarti visusnya
terletak pada baris tersebut dengan false 1.
 Bila tidak dapat membaca 2, berarti visusnya terletak pada
baris tersebut dengan false 2.
 Bila tidak dapat membaca lebih dari setengah jumlah huruf
yang ada, berarti visusnya berada di baris tepat di atas baris
yang tidak dapat dibaca.
 Bila tidak dapat membaca satu baris, berarti visusnya terdapat
pada baris di atasnya.
 Bila terdapat penurunan visus, maka cek dengan menggunakan
pinhole (alat untuk memfokuskan titik pada penglihatan
pasien)

› Bila visus tetap berkurang => berarti bukan kelainan


refraksi
› Bila visus menjadi lebih baik dari sebelumnya => berarti
merupakan kelainan refraksi

o Contoh: membaca Snellen chart


 Snellen chart yang digunakan dalam ukuran kaki: normalnya
20/20. Misal, pasien dapat membaca semua huruf pada baris
ke 8. Berarti visusnya normal
 Bila hanya membaca huruf E, D, F, C pada baris ke 6 =>
visusnya 20/30 dengan false 2. Artinya, orang normal dapat
membaca pada jarak 30 kaki sedangkan pasien hanya
dapat membacanya pada jarak 20 kaki.
 Bila pasien membaca huruf Z, P pada baris ke 6 => visusnya
20/40.
 Bila tidak dapat membaca huruf pada baris ke 6, cek baris ke
5 dengan ketentuan seperti di atas.
o Cara pemeriksaan berlaku untuk E chart dan cincin Landolt.
c) Bila tidak bisa membaca kartu, maka dilakukan penghitungan jari.
o Penghitungan jari di mulai pada jarak tepat di depan Snellen Chart
=> 5 atau 6 m
 Dapat menghitung jari pada jarak 6 m => visusnya 6/60
 Bila tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 m, mka maju 1
m dan lakukan penghitungan jari. Bila pasien dapat membaca,
visusnya 5/60.
 Begitu seterusnya, bila tidak dapat menghitung jari 5 m, di
majukan jadi 4 m, 3 m, sampai 1 m di depan pasien.
d) Bila tidak bisa menghitung jari pada jarak tertentu, maka dilakukan
pemeriksaan penglihatan dengan lambaian tangan.
o Lambaian tangan dilakukan tepat 1 m di depan pasien.
Dapat berupa lambaian ke kiri dan kanan, atau atas bawah. Bila
pasien dapat menyebutkan arah lambaian, berarti visusnya 1/300
e) Bila tidak bisa melihat lambaian tangan, maka dilakukan penyinaran,
dapat menggunakan 'pen light'. Bila dapat melihat sinar, berarti visusnya
1/~. Tentukan arah proyeksi :
o Bila pasien dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang,
berarti visusnya 1/~ dengan light projection baik. Proyeksi sinar ini
di cek dari 4 arah. Hal tersebut untuk mengetahui apakah tangkapan
retina masih bagus pada 4 sisinya, temporal, nasal, superior, dan
inferior.
o Bila tak dapat menyebutkan dari mana arah sinar yang datang,
berarti visusnya 1/~ dengan proyeksi salah.
f) Bila tidak dapat melihat cahaya, maka dikatakan visusnya = 0

6. Apa penyebab yang dialami pasien?


Pasien mengalami konjungtivitis. Konjungtivitis adalah peradangan
pada selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam
kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan berbagai macam gejala,
salah satunyayaitu mata merah. Setiap peradangan pada konjungtiva dapat
menyebabkan melebarnya pembuluh darah sehingga menyebabkan mata
terlihat merah.
Untuk kasus ini, kemungkinan pasien mengalami konjungtivitis
bakterial. Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang
disebabkan oleh bakteri. Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat
bentuk, yaitu hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri
hiperakut biasanya di sebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii, dan
N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptus. Penyebab yang paling sering pada
bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escheria coli,
sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder
atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.
7. Mengapa mata pasien visusnya tetap normal?
Visus berkaitan saat ada Cahaya memantulkan obyek dan mengirim pada
garis lurus menuju mata, lalu Cahaya melalui kornea, menuju pupil dan
diteruskan ke lensa mata. Kemudian Kornea dan lensa membelokkan
(membiaskan) cahaya agar di fokuskan ke retina. Setelah itu Photoreceptors
pada retina mengkonversi cahaya menjadi gelombang elektrik. Gelombang
elektrik melalui saraf optik menuju otak. Otak memproses sinyal-sinyal itu
menjadi sebuah bayangan. Sedangkan Konjungtiva merupakan lapisan tipis
yang berada di mata yang berguna melindungi sklera (area putih dari mata).
Sel pada konjungtiva akan memproduksi cairan yang akan melubrikasi
kornea sehingga tidak kering
8. Pencegahan
 Tidak menyentuh mata sehat setelah menyentuh mata sakit
 Tidak memakai lap/handuk bersama
 Menajaga kebersihan kelopak mata
 Cuci tangan sebelum dan sesudah memberiobat agar tidak menular ke
orang lain
 Hindari mengucek mata
STEP 4

STEP 5

1. Anatomi dan fisiologi


2. Etiologi dan factor risiko
3. Patofisiologi
4. Diagnosis dan diagnosis banding
5. Penatalaksanaan
6. Komplikasi dan prognosis
7. Peran dokter keluarga (edukasi: preventif, promotif, kuratif, rehabilitative.
Factor biopsikososial)
STEP 6

(Belajar mandiri)

STEP 7

1. Anatomi dan Fisiologi Bola Mata


Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal 24 mm. Bagian
anterior bola mata mempunyai kelengkungan yang lebih cembung sehingga
terdapat bentuk dengan dua kelengkungan berbeda. Bola mata dibungkus
oleh tiga lapisan jaringan, yaitu lapisan sklera yang bagian terdepannya
disebut kornea, lapisan uvea, dan lapisan retina. Di dalam bola mata terdapat
cairan aqueous humor, lensa dan vitreous humor.

Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
berbatasan dengan kulit pada tepi palpebral dan dengan epitel kornea di
limbus.

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan


melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva
melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus
jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris
melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali.
Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan
memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik

Lapisan epitel konjungtiva tediri dari dua hingga 5 lapisan sel epitel silinder
bertingkat, superfisial dan basal. Sel epitel superfisial mengandung sel
goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus yang mendorong inti
sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara
merata diseluruh prekornea. Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan
adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundal). Lapisan adenoid
mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung
struktur semacam folikel tanpa stratum germativum.

Hipertropi papilar adalah reaksi konjungtiva non-spesifik berupa eksudat


radang yang berkumpul di antara serabut-serabut konjungtiva yang
membentuk tonjolan pada konjungtiva. Kemosis yang hebat sangat
mengarah pada konjungtivitis alergika. Folikel tampak pada tepi palpebral.

2. Etiologi dan Faktor Risiko


Konjungtivitis bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang
disebabkan oleh bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang
dengan keluhan mata merah, sekret pada mata dan iritasi pada mata.
Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu
hiperakut, akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut
biasanya di sebabkan oleh N gonnorhoeae, Neisseria kochii, dan N
meningitidis. Bentuk yang akut biasanya disebabkan oleh Streptococcus
pneumonia dan Haemophilus aegyptus. Penyebab yang paling sering pada
bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan Escheria colli,
sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder
atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang
lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak
dengan penderita, sinusitis dan imunodefisiensi.
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal
seperti streptococci, staphylococci, dan jenis Corynebacterium. Perubahan
mekanisme pada pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal
tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal
dapat terjadi karena kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar
ataupun melalui alliran darah. Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang
merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata,
serta resistensi terhadap antibiotic.
Faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis bakteri akut adalah
kontak dengan individu yang terinfeksi. Kelainan atau gangguan pada mata,
seperti obstruksi saluran nasolakrimal, kelainan posisi kelopak mata dan
defisiensi air mata dapat pula meningkatkan resiko terjadinya konjungtivitis
bakteri dengan menurunkan mekanisme pertahanan mata normal. Penyakit
dengan supresi imun dan trauma juga dapat melemahkan sistem imun
sehingga infeksi dapat mudah terjadi. Transmisi konjungtivitis bakteri akut
dapat diturunkan dengan higienitas yang baik, seperti sering mencuci tangan
dan membatasi kontak langsung dengan individu yang telah terinfeksi.

3. Patofisiologi
Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal
seperti streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan
pada mekanisme pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal
tersebut dapat menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal
dapat terjadi karena adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ
sekitar ataupun melalui aliran darah Penggunaan antibiotik topikal jangka
panjang merupakan salah satu penyebab perubahan flora normal pada
jaringan mata, serta resistensi terhadap antibiotic.

Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan epitel


yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya
adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme
pembersihan oleh lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan
pada mekanisme pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada
konjungtiva.

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya


dijumpai injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu
sekret pada kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada
konjungtivitis jenis lain, dan pada kasus yang ringan sering dijumpai edema
pada kelopak mata. Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami
gangguan pada konjungtivitis bakteri namun mungkin sedikit kabur karena
adanya sekret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil
masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling
melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur.

4. Diagnosis dan Diagnosis Banding

Pemeriksaan fisik konjungtivitis bakterial yang dapat ditemukan


adalah injeksi konjungtiva, palpebra bengkak dan eritema, sekret mata
mukopurulen, papillae (banyak ditemukan pada konjungtivitis bakterial),
serta erosi epitel kornea perifer dan infiltrasi ke stroma (lebih sering akibat
infeksi Haemophilus influenzae). Limfadenopati biasanya tidak ditemukan
pada konjungtivitis bakterial, kecuali pada infeksi berat oleh Neisseria
gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis.

Pada konjungtivitis bakterial akibat Neisseria gonorrhoeae pada


pemeriksaan fisik biasanya didapatkan eksudasi dalam jumlah banyak,
sekret yang hiperpurulen, kemosis berat, hiperemia konjungtiva berat,
edema palpebra. Pada kasus yang terlambat ditangani dapat ditemukan
infiltrat, ulkus, bahkan perforasi pada kornea.

Konjungtivitis trakoma yang diakibatkan oleh infeksi Chlamydia


trachomatis memiliki pemeriksaan fisik yang khas seperti pembentukan
folikel sangat banyak, sekret mukopurulen, jaringan parut pada konjungtiva
tarsal superior berbentuk linear atau stelata (Arlt line) yang timbul pada
proses penyembuhan setelah nekrosis folikel. Involusi dan nekrosis folikel
juga dapat menimbulkan depresi (lekukan) pada area limbus yang disebut
sebagai Herbert pits. Pada pemeriksaan dapat pula ditemukan kekeruhan
kornea, vaskularisasi kornea, trikiasis, dan entropion.

5. Terapi
Farmakoterapi:
Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen
mikrobanya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum
luas. Pada konjuntivitis purulen dan mukopurulen, sakus konjungtivitis
harus dibilas dengan larutan saline untuk menghilangkan sekret
konjungtiva.

Terapi konjungtivitis berdasarkan etiologinya :

a. Diptheric  topikal : antibiotik spektrum luas (gentamisin,


kloramfenikol) dan penisilin/tetrasiklin
b. Gonococcal  topikal : antibiotik spektrum luas (gentamisin,
kloramfenikol) dan sistemik seftriakson Igr intramuskular
c. Haemophillus aegyptius  topikal : antibiotik spektrum luas
(gentamisin, kloramfenikol)
d. Moraxella  topikal : antibiotik spektrum luas (gentamisin,
kloramfenikol) dan 0,25% - 2,5% zinc sulfate (spesifik terapi)

Non-farmakoterapi:

a. Tidak mengucek mata


b. Tidak pakai lensa kontak
c. Tidak pakai barang bersamaan dengan orang lain, seperti handuk, lap,
dll

6. Komplikasi
a. Komplikasi pengobatan antibiotik
Sebagian besar pengobatan antibiotik tidak rasional karena tidak ada
indikasi dan tidak tepat jenis. Hal tersebut merupakan salah satu faktor
pemicu terjadinya resistensi.

b. Komplikasi pengobatan kortikosteroid


 Resistensi dan efek samping pada penggunaan kortikosteroid jangka
panjang karena efeknya yang tidak bertahan lama dapat
menyebabkan resistensi.
 Terjadi katarak, resiko katarak berbanding lurus dengan lamanya
penggunaan kortikosteroid topikal.
 Terjadi gloukoma, potensi dan konsentrasi sediaan kortikosterois
topikal berbanding lurus dengan risiko gloukoma.

Prognosis
Konjungtivitis bakteri sangat baik selama etiologi diketahui secara tepat dan
tidak ada gejala sisa serta kornea tidak terkena infeksi. Komplikasi berlanjut
bisa terjadi sepsis dan meningitis karena N. gonorrhea.

7. Dalam upaya memutus rantai penularan konjungtivitis, edukasi oleh dokter


kepada pasien, keluarga pasien, maupun masyarakat penting dilakukan,
antara lain :
a. Menjaga hygiene mata
b. Rajin mencuci tangan, khususnya sebelum dan sesudah meneteskan
obat
c. Menghindari untuk mengucek mata
d. Tidak memakai secara bersamaaan barang-barang yang kontak dengan
mata penderita, seperti sapu tagan, sarung bantal, dan handuk

Faktor-faktor yang mempengaruhi kongjungtivitis pada pasien:

a. Faktor biologis : jenis kelamin pasien (laki-laki), usia pasien (28 tahun)
b. Faktor psikologis : pasien yang akan segera menjalani wawancara
pekerjaan
c. Faktor sosial : sistem pelayanan kesehatan, biaya kesehatan
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 32nd edition. Philadelphia:


Elsevier Saunders, 2012.
2. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit
FK UI, 2015.
3. Leibowitz HM. The red eye. Eng J Med. 2000; 343: 345-52.
4. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s General
Ophthalmology. 19th edition. USA: McGraw Hill Education, 2018.
5. Chris T, et al. Kapita Selekta Kedokteran edisi IV. Jakarta: Media
Aesculapius.
6. Notoadmojo. Metodologi Penelitian Kesehatan edisi 3. Jakarta: Rineka
Cipta., 2017.
7. Yeung KK, Weissman BA. Bacterial conjunctivitis (pink eye). Emedicine
Medscape. January 2019.

Anda mungkin juga menyukai