Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan baku dasar pembuatan pulp adalah selulosa dalam bentuk serat dan

hampir semua tumbuhan yang mengandung selulosa dapat dipakai sebagai bahan baku

pembuatan pulp. Bahan baku yang digunakan dapat berupa sabut kelapa, kayu jarum

maupun kayu daun. Kayu jarum misalnya kayu pinus, kayu turi dan bambu, sedangkan

yang termasuk kayu daun misalnya jerami, merang, batang pisang dan rumput-

rumputan. Untuk mendapatkan kualitas pulp yang baik, maka kadar selulosa harus lebih

besar dan kadar lignin lebih kecil.

Kelapa merupakan salah satu tanaman yang terpenting dalam perekonomian

Indonesia. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa baik dari batang, daun dan buah

yang mempunyai nilai ekonomi sosial yang cukup tinggi. Batang kelapa yang sudah tua

dapat dijadikan bahan bangunan, seperti bahan bangunan rumah dan jembatan darurat.

Kayu dari batang kelapa juga dapat dimanfaatkan untuk kerangka perahu dan kayu

bakar maupun mebel dengan tekstur yang menarik. Daun kelapa yang masih muda

sering digunakan untu hiasan dalam berbagai acara adat dan keagamaan, sedangkan

daun yang sudah tua dapat digunakan sebagai atap rumah, barang anyaman, sapu lidi

dan tususk sate.

Buah kelapa merupakan bagian yang paling bermanfaat dari tanaman kelapa.

Sabut kelapa yang telah dibuang gabusnya merupakan salah satu limbah buangan dari

perkebunan kelapa dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp,
karena mengandung selulosa. Selulosa terdapat pada semua tumbuhan, dari pohon

bertingkat tingggi hingga organisme primitive seperti lumut dan ganggang. Hampir

semua tumgbuhan yang mengandung selulosa dapat digunakan sebagai bahan baku

pembuatan pulp.

Komponen lignoselulosa merupakan bagian terbesar yang menyusun tumbuh

tumbuhan. Komponen ini terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lignoselulosa

yang terdapat dalam limbah pertanian terdiri dari 40 – 60 % selulosa, 20 – 30 %

hemiselulosa, dan 15 – 30 % lignin. Susunan selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam

sel tanaman sangat kompleks. Hemiselulosa bersama lignin membalut serta menyatukan

serat-serat selulosa. Wujud dari tiga dimensi lignin mengakibatkan struktur sel tanaman

bersifat pasif dan kaku. Susunan yang kompleks tersebut mengakibatkan proses

pemisahan komponen- komponen ini cukup rumit.

Delignifikasi merupakan suatu proses pembebasan lignin dari suatu

senyawa kompleks. Proses ini penting dilakukan sebelum hidrolisis bahan selulosa,

sebab lignin dapat menghambat penetrasi asam atau enzim sebelum hidrolisis

berlangsung. Dengan pemberian perlakuan delignifikasi pada substrat maka selulosa

alami diharapkan menjadi mudah dihidrolisis oleh enzim (Wayan Gunam, dkk., 2010).

Selulosa merupakan senyawa organik yang paling banyak melimpah di alam,

karena struktur bahan seluruh dunia tumbuhan terdiri atas sebahagian besar selulosa.

Suatu jaringan yang terdiri atas beberapa lapis serat selulosa adalah unsur penguat

utama dinding sel tumbuhan. Didalam selulosa terdapat dalam bentuk serat-serat. Serat-

serat selulosa mempunyai kekuatan mekanik yang tinggi. Selulosa merupakan suatu

polimer yang berantai lurus yang terdiri dari unit-unit glukosa. Bobot molekul selulosa

alamiah sukar diukur, dikarenakan degradasi yang terjadi selama isolasi. Panjang
rantainya berbeda-beda dari jenis tumbuhan yang berbeda. Selulosa termasuk senyawa

polisakarida yang mempunyai rumus empiris (C6H10O5)n, dimana n berkisar dari 2000

sampai dengan 3000.

Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi dan tersusun

atas unit-unit fenil propan. Meskipun tersusun atas karbon, hidrogen dan oksida, tetapi

lignin bukanlah suatu karbohidrat. Lignin terdapat di antara sel-sel dan didalam dinding

sel. Di antara dinding sel lignin berfungsi sebagai pengikat untuk sel-sel secara

bersama-sama.

Pulp adalah hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat (kayu maupun non

kayu) melalui berbagai proses pembuatannya (mekanis, semikimia dan kimia). Pulp

terdiri dari serat-serat (selulosa dan hemiselulosa) sebagai bahan baku kertas.

Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) merupakan salah satu

proses alternatif dalam pembuatan pulp. Prinsip proses orgonosolv adalah memilah

komponen utama biomassa (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dengan tanpa banyak

merusak dan mengkonversinya menjadi sejumlah produk tertentu. Selain itu, proses

organosolv juga memiliki beberapa keunggulan, seperti prosesnya yang relatif mudah,

ramah lingkungan dan membutuhkan energi lebih sedikit dibanding proses pembuatan

pulp konvensional. Beberapa pelarut organik yang dapat digunakan sebagai larutan

pemasak dalam pembuatan pulp adalah alkohol, asam organik, amina, keton, ester dan

fenol (Shatalov and Pereira 2006, Jahan et al. 2007) dalam Zulfansyah., dkk (2010).
1.2 Rumusan Masalah

Pada penelitian terlebih dahulu yang telah dilakukan oleh Syamsul Bahri (2015)

yaitu pembuatan pulp dari batang pisang dengan memvariasikan konsentrasi NaOH

sebagai larutan reaksi (0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%) dan variasi waktu reaksi (30, 60,

90, 120 dan 150) menit dengan menggunakan katalis NaOH 50%. Kondisi terbaik yang

diperoleh dari hasil penelitian tersebut adalah kadar pulp sebesar 61,43%, kandungan

selulosa 83,3% dan kandungan lignin 2,97% pada waktu pemasakan 120 menit dan

konsentrasi NaOH 2%.

Pada penelitian terlebih dahulu yang telah dilakukan oleh Cinthia Dwi Jayanti

(2019) yaitu Pembuatan pulp dari limbah sabut kelapa muda dengan menggunakan

metode organosolv menggunakan pemanas microwave dengan memvariasikan

konsentrasi larutan etanol sebagai larutan reaksi (5%, 10% dan 15%) pada level

microwife 300 dan 400 W dan variasi waktu reaksi (30, 60, dan 90) menit.

Digunakannya larutan etanol sebagai larutan reaksi karena sangat ramah dengan

lingkungan, harga yang terjangkau dan dapat menjaga selulosa yang terdegradasi pada

suatu cairan dan padatan tertentu. Kondisi optimum yang didapat pada proses

pembuatan pulp adalah konsentrasi etanol 5%, dengan level microwafe 300 W, dan

waktu pemasakan 30 menit dengan kadar lignin 1,875%.

Pada penelitian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Shelviana Hanika

Puspitasari, Zulfansyah, dan Hari Rionaldo (2015) yaitu delignifikasi batang jagung

dengan proses organosolv menggunakan pelarut asam formiat dengan memvariasikan

konsentrasi asam formiat (70, 80 dan 90)% dengan konsentrasi katalis asam klorida

0,2% dan variasi waktu reaksi (0, 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan

180) menit dengan perbandingan nisbah padatan dan larutan 10:1. Dari penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa batang jagung dapat dijadikan pulp dengan proses

organosolv dan menghasilkan yield pulp 31,88-47,01% dan kadar lignin pulp 10-

14,31%.

Pada penelitian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Kardiman Silaban, Chairul,

dan Maria Peratenta Sembiring (2015) yaitu penentuan suhu dan waktu optimum pada

tahap D0 (delignifikasi pertama) proses bleaching pulp dengan memvariasikan waktu

bleaching (60, 70, 80, 90, 100 dan 120) menit dan variasi temperatur bleaching (56, 75,

80 dan 90) oC yang kemudian pemutihan (bleaching) selulosa dengan menggunakan

klorin dioksida (CIO2) dengan tujuan untuk merusak dan memisahkann struktur lignin

yang masih tersisa didalam pulp. Digunakannya variasi waktu dan suhu bleaching

karena dalam proses pembuatan pulp waktu dan suhu merupakan salah satu factor

penting untuk memperoleh suatu pulp dengan tingkat kecerahan yang stabil serta

kekuatan serat yang tinggi. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa persentase

brightness optimum yang dihasilkan yaitu pada suhu bleaching 65oC dan waktu 60

menit yaitu 66,42% ISO brightness.

Penelitian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Syamsul Bahri (2015), Cinthia

Dwi Jayanti (2019), Shelviana Hanika Puspitasari dkk (2015), dan Kardiman Silaban

dkk (2015) memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing dimana penelitian yang

dilakukan oleh Syamsul Bahri (2015) mengalami penurunan kadar lignin didalam pulp

dengan proses pemasakan menggunakan NaOH karena semakin lama waktu reaksi

maka semakin banyak lignin yang tersisihkan dari biomassa, sehingga kandungan lignin

dalam pulp semakin berkurang. Data komposisi batang pisang menunjukan bahwa

sebelum pemasakan kandungan lignin batang pisang sebesar 5-10%, sedangkan setelah

proses pemasakan dilakukan kandungan lignin didalam pulp menurun menjadi 2,97-
6,01%. Kandungan lignin tertinggi diperoleh pada waktu pemasakan 120 menit dengan

konsentrasi NaOH 2% yaitu sebesar 6,01%. Sedangkan perolehan lignin terendah

diperoleh pada waktu pemasakan 150 menit dengan konsentrasi NaOH 2,5% yaitu

sebesar 2,97%. Kandungan lignin diharapkan sekecil mungkin, karena lignin dapat

merusak kualitas pulp seperti warna pulp atau kertas akan menjadi bewarna kuning atau

kecoklatan. Pada penelitian Cinthia Dwi Jayanti (2019) mengalami penurunan

konsentrasi kadar lignin dimana penurunan tersebut dikarenakan proses delignifikasi

sangat cepat. Pada penelitian Shelviana hanika dkk (2015) mengalami penurunan

perolehan yield seiring meningkatnya waktu reaksi dan konsentrasi asam formiat.

Kenaikan konsentrasi asam farmiat dari 70% menjadi 90% menyebabkan turunnya yield

pulp yang artinya peningkatan konsentrasi asam formiat akan meningkatkan derajat

delignifikasi karena pemakaian konsentrasi pemakaian asam formiat yang tinggi dapat

mempercepat proses delignifikasi. Dan penelitian yang dilakukan oleh Kardiman

Silaban dkk (2015) dibutuhkan pengoptimalan proses bleaching pada proses pembuatan

pulp dengan cara memvariasikan dosis chemical yang digunakan serta pH reaksi dan

juga harus ada penelitian lebih lanjut untuk melakukan variasi waktu dan temperatur.

Sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan perbaikan baik secara metode

alternatif ataupun variasi lainnya untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan optimal

dalam proses mendapatkan pulp dengan kadar selulosa lebih besar dan kadar lignin

lebih kecil, untuk itu maka metode penelitian yang akan dilakukan adalah dengan

menggunakan metode ekstraksi selulosa dengan cara organosolv dengan asam format

(tahapan delignifikasi dan bleaching). Organosolv pulping atau yang disebut juga

dengan proses pembuatan pulp dengan menggunakan pelarut organik dimana pelarut

organik tersebut menggunakan asam formiat. prinsip dari metode organosolv adalah
memilah komponen utama biomassa (selulosa, hemi selulosa dan lignin) tanpa banyak

merusak dan mengkonversinya menjadi sejumlah produk tertentu. Bahan baku yang

digunakan yaitu sabut kelapa dengan menggunakan pelarut organik asam formiat.

Digunakannya asam formiat sebagai pelarut organik karena asam formiat merupakan

pelarut organik yang digunakan sebagai larutan reaksi yang memiliki keunggulan yaitu

dapat dilakukan pada tekanan dan temperatur yang rendah, selektivitas tinggi untuk

mempertahankan selulosa terdegradasi, mampu menyisihkan lignin secara selektif dan

menghasilkan pulp dengan kualitas terbaik. Pada penelitian ini variasi yang menjadi

sasaran adalah variasi ditahap bleaching (konsentrasi hydrogen peroksida) dimana

konsentrasi hydrogen peroksida (H2O2) (5, 10, 15, 20, 25 dan 30)% dengan waktu reaksi

selama 120 menit menit. Digunakannya variasi konsentrasi hydrogen peroksida adalah

karena secara umum variabel proses itu berpengaruh terhadap nilai yield dan kadar

lignin pulp dimana waktu reaksi menjadi variabel yang paling berpengaruh terhadap

kadar lignin pulp, diikuti dengan hydrogen peroksida serta Yield juga dipengaruhi oleh

konsentrasi hydrogen peroksida dan waktu reaksi dimana yield pulp cenderung

berkurang dengan bertambahnya konsentrasi asam formiat dan hydrogen peroksida

namun yield pulp cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu pemanasan oleh

karena itu Perbaikan dilakukan mulai dari bahan baku, metode, variasi, dan pelarut

organik dilakukan dengan harapan mendapatkan nilai yield terbaik dari ekstraksi

selulosa serta mengetahui pengaruh konsentrasi hydrogen peroksida terhadap penurunan

kadar lignin.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi hydrogen

peroksida dalam tahapan bleaching terhadap penurunan kadar lignin dari sabut kelapa

tua.

Manfaat penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah sabut kelapa tua

sebagai sumber bahan baku energi alternatif untuk produksi selulosa sebagai bahan

yang dapat mengurangi pencemaran dan dapat dengan mudah di tangani sisa limbahnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa

2.1.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera) merupakan salah satu anggota tanaman palma yang

paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Pohon kelapa merupakan jenis

tanaman berumah satu dengan batang tanaman tumbuh lurus ke atas dan tidak

bercabang. Tinggi pohon kelapa dapat mencapai 10-14 meter lebih, daunnya berpelepah

dengan panjang dapat mencapai 3-4 meter lebih dengan sirip-sirip lidi yang menopang

tiap helaian.

Kelapa merupakan salah satu dari tanaman perkebunan atau industri dengan

batang tanaman yang lurus dan tinggi. Ada dua pendapat mengenai asal usul kelapa,

yaitu dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari dan Thor

Herjerdahl, dan dari Asia atau Indopasific menurut Berry, Werth, Mearil, Mayurathan,

Lapesma, dan Pureseglove. Kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama,

atau dapat juga disebut nux indica, al-djanz al-kindi, ganz-ganz, nargil, narli, tenga,

temuai, atau coconut. Kelapa juga disebut sebagai pohon kehidupan.

Kelapa (Cocos nucifera L) merupaakan salah satu anggota tanaman palmae yang

paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Daunnya panjang dapat mencapai

sekitar 3-4 meter lebih dengan sirip-sirip lidi yang menopang pada tiap helaian. Dalam

taksonomi tumbuh-tumbuhan, maka tanaman kelapa dimasukkan ke dalam klasifikasi

sebagai berikut :
- Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

- Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

- Sub-divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

- Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu)

- Ordo : Palmales

- Famili : Palmae

- Genus : Cocos

- Spesies : Cocos nucifera L (Nurul, 2007)

Tanaman kelapa mempunyai nilai ekonomi tinggi dan tumbuh baik di daerah

tropis dengan suhu sekitar 27 oC dan dapat dijumpai baik di dataran rendah maupun

dataran tinggi. Pohon kelapa ini dapat tumbuh dan berbuah dengan baik di daerah

dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m dari permukaan laut. Pada dataran tinggi

dengan ketinggian antara 450 - 1000 m dari permukaan laut, walaupun pohon ini dapat

tumbuh, waktu berbuahnya lebih lambat, produksinya lebih sedikit dan kadar

minyaknya rendah (Amin dan Sarmidi, 2009).

Gambar 2.1 Kelapa (Cocos nucifera)

https://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa
2.1.2 Sabut Kelapa

Sabut kelapa merupakan bagian terluar buah kelapa yang membungkus

tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan

terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium). Endocarpium mengandung

serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet,

sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan

hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30%

serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas,

arang, ter, tannin, dan potasium (Rindengan, et al., 1995). India dan Sri Lanka adalah

produsen terbesar produk-produk dari sabut dengan volume ekspor tahun 2000 masing-

masing 55.352 ton dan 127.296 ton dan masing-masing terdiri atas 6 dan 7 macam

produk. Pada saat yang sama, Indonesia hanya mengekspor satu jenis produk (berupa

serat mentah) dengan volume 102 ton. Angka ini menurun tajam dibandingkan ekspor

tertinggi pada tahun 1996 yang mencapai 866 ton (Ditjenbun, 2002; BPS, 2002).

Sabut kelapa jika diurai akan menghasilkan serat sabut (cocofibre) dan serbuk

sabut (cococoir). Namun produk inti dari sabut adalah serat sabut. Dari produk

cocofibre akan menghasilan aneka macam derivasi produk yang manfatnya sangat luar

biasa. Menurut Choir Institute, kelebihan serat sabut kelapa antara lain anti ngengat,

tahan terhadap jamur dan membusuk, memberikan insulasi yang sangat baik terhadap

suhu dan suara, tidak mudah terbakar, flame-retardant, tidak terkena oleh kelembaban

dan kelembaban, alot dan tahan lama, resilient, mata kembali ke bentuk konstan bahkan

setelah digunakan, totally statis, mudah dibersihkan serta mampu menampung air 3x

dari beratnya. Sabut 15 kali lebih lama daripada kapas untuk rusak dan 7 kali lebih lama
dari rami untuk rusak sedangkan kabut Geotextiles adalah 100% bio-degradable dan

ramah lingkungan.

Gambar 2.2 Sabut Kelapa

Sabut kelapa dapat diolah menjadi beragam produk jadi dan setengah jadi yang

memiliki nilai jual tinggi. Produk tersebut antara lain: tali sabut, keset, serat sabut

(cocofibre), serbuk sabut (cocopeat), serbuk sabut padat (cocopeatbrick), cocomesh,

cocopot, cocosheet, coco fiber board (CFB) dan cococoir.

2.1.3 Komposisi Serat Sabut Kelapa

Hasil uji komposisi serat sabut kelapa berdasarkan SNI yang dilakukan Sarana

Riset dan Standarisasi dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut:

Tabel 2.1 Komposisi Serat Sabut Kelapa Berdasarkan SNI

Sumber : Sunario, 2008 ( Laboratorium Balai Besar Pulp dan Kertas)


2.1.3.1 Selulosa

Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat

dengan ikatan β 1,4-glycosidic dengan rumus (C6H10O5)n dengan n adalah derajat

polimerisasinya. Struktur kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tak

mudah larut, sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia/ mekanis. Molekul

glukosa disambung menjadi molekul besar, panjang, dan berbentuk rantai dalam

susunan menjadi selulosa. Semakin panjang suatu rangkaian selulosa, maka rangkaian

selulosa tersebut memiliki serat yang lebih kuat, lebih tahan terhadap pengaruh bahan

kimia, cahaya, dan mikroorganisme.

Selulosa itu sendiri merupakan bahan dasar yang penting bagi industri,

seperti pabrik kertas, pabrik sutera tiruan, dll. Molekul selulosa seluruhnya berbentuk

linear dan memiliki kecenderungan kuat untuk membentuk ikatan hidrogen intra dan

inter molekul. Ketersediaan selulosa dalam jumlah besar akan membentuk serat yang

kuat, tidak larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik, dan berwarna putih.

Struktur selulosa ditunjukkan pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Struktur Selulosa (Lankinen, 2004)


2.1.3.2 Hemiselulosa

Rantai hemiselulosa lebih pendek dibandingkan rantai selulosa, karena derajat

polimerisasinya yang lebih rendah. Berbeda dengan selulosa, polimer hemiselulosa

berbentuk tidak lurus tetapi merupakan polimer – polimer bercabang dan strukturnya

tidak terbentuk kristal. Hal ini yang menjadikan hemiselulosa lebih mudah dimasuki

pelarut dan bereaksi dengan larutan dibanding selulosa selama pembuatan pulp.

Hemiselulosa bersifat hidrofibil (mudah menyerap air) yang mengakibatkan

strukturnya yang kurang teratur. Kadar hemiselulosa pada pulp jauh lebih kecil

dibandingkan dengan serat asal, karena selama proses pemasakan hemiselulosa

bereaksi dengan bahan pemasak dan lebih mudah terlarut daripada selulosa.

Secara struktural, hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer

gula. Namun berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa

tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa

terdiri dari monomer gula berkarbon lima (pentosa/ C-5), gula berkarbon enam

(heksosa/ C-6), asam heksuronat dan deoksi heksosa. Hemiselulosa akan mengalami

reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu daripada selulosa, karena rantai

molekulnya yang lebih pendek dan bercabang.

Hemiselulosa tidak larut dalam air tapi larut dalam larutan alkali encer dan lebih

mudah dihidrolisa oleh asam daripada selulosa. Sifat hemiselulosa yang hidrofilik

banyak mempengaruhi sifat dari pulp itu sendiri. Hemiselulosa berfungsi sebagai

perekat dan mempercepat pembentukan serat. Hilangnya hemiselulosa akan

mengakibatkan adanya lubang antar fibril dan berkurangnya ikatan antar serat

(Putera, 2012).
2.1.3.3 Lignin

Lignin merupakan senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul tinggi.

Lignin terdapat diantara sel – sel dan di dalam dinding sel. Dimana fungsi lignin yang

terletak diantara sel adalah sebagai perekat untuk mengikat/ perekat antar sel, sehingga

tidak dikehendaki. Sementara dalam dinding sel lignin sangat erat hubungannya dengan

selulosa dan berfungsi untuk memberi ketegaran pada sel. Lignin dapat diisolasi dari

tanaman sebagai sisa yang tak larut setelah penghilangan polisakarida dengan

hidrolisis. Secara alternatif, lignin dapat dihidrolisis dan diekstraksi ataupun diubah

menjadi turunan yang larut. Adanya lignin menyebabkan warna menjadi kecoklatan

sehingga perlu adanya pemisahan melalui pemutihan. Banyaknya lignin juga

berpengaruh terhadap konsumsi bahan kimia dalam pemasakan dan pemutihan

(Wibisono, 2002) dalam Putera 2012.

Lignin ini merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil

propana melalui ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Bila lignin berdifusi

dengan larutan alkali maka akan terjadi pelepasan gugus metoksil yang membuat lignin

larut dalam alkali. Reaksi dengan senyawa tertentu banyak dimanfaatkan dalam proses

pembuatan pulp dimana lignin yang terbentuk dapat dipisahkan, sedangkan reaksi

oksidasi terhadap lignin digunakan dalam proses pemutihan. Lignin dapat mengurangi

daya pengembangan serat serta ikatan antar serat.

Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi

dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin terpecah menjadi

partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh, 2007). Pada suasana

asam, lignin cenderung melakukan kondensasi, yakni fraksi lignin yang sudah terlepas

dari selulosa dan larut pada larutan pemasak. Dimana peristiwa ini cenderung
menyebabkan bobot molekul lignin bertambah, dan lignin yang terkondensasi akan

mengendap (Achmadi, 1990).

Disamping terjadinya reaksi kondensasi lignin yang mengendap, proses

pemasakan yang berlangsung pada suasana asam dapat pula menurunkan derajat

kerusakan pulp sehingga mengurangi degradasi selulosa dan hemiselulosa.

Suhu, tekanan, dan konsentrasi larutan pemasak selama proses pulping

merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi pelarutan lignin,

selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa tak akan rusak saat proses pelarutan lignin

jika konsentrasi larutan pemasak yang digunakan rendah dan suhu yang digunakan

sesuai. Pemakaian suhu di atas 180⁰C menyebabkan degradasi selulosa lebih tinggi,

dimana pada suhu ini lignin telah habis terlarut (Casey, 1980).

Adapun struktur dasar lignin ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Struktur Lignin (Lankinen, 2004)


2.2 Delignifikasi

Lignin mengandung substansi yang kompleks dan merupakan suatu gabungan

beberapa senyawa, yaitu karbon, hidrogen, dan oksigen. Proses pemisahan atau

penghilangan lignin dari serat selulosa disebut dengan delignifikasi atau pulping.

proses pemisahan lignin dapat dibedakan menjadi 3, yaitu : (Paskawati, dkk. 2010)

a. Proses mekanis, yaitu proses pembuatan pulpyang seluruhnya menggunakan

proses mekanis. Pulp yang dihasilkan mempunyai kekuatan rendah;

b. Proses semi kimia, yaitu proses pembuatan pulpyang melalui proses kombinasi

antara proses mekanis dan proses kimia. Mula – mula bahan baku dihancurkan dengan

larutan kimia selanjutnya melakukan pemisahan serat dengan cara mekanik;

c. Proses kimia, yaitu bahan baku berserat ditambah dengan bahan kimia.

Berdasarkan bahan kimia yang digunakan terdapat bermacam-macam proses kimia, di

antaranya sebagai berikut:

i. Proses kraft/proses sulfat

Bahan kimia yang digunakan adalah natrium sulfat (Na2SO4), soda api (NaOH), dan

soda abu (Na2CO3). Bahan dasar yang digunakan adalah kayu lunak maupun kayu keras;

ii. Proses Sulfit

Bahan kimia yang digunakan adalah asam sulfit (H2SO3), asam sulfat (H2SO4), dan

magnesium bisulfit (Mg(HSO3)2). Bahan dasar yang digunakan bisa kayu lunak, maupun

kayu keras. Proses ini sangat baik untuk membuat kertas berkualitas tinggi;

iii. Proses nitrat

Bahan kimia yang digunakan adalah asam nitrat (HNO3) dan soda api (NaOH);
iv. Proses soda

Bahan kimia yang digunakan soda api (NaOH). Bahan dasar yang biasa digunakan

untuk proses ini adalah jerami, ampas tebu, dan rerumputan serta bahan non kayu

lainnya. Pulp yang dihasilkan cukup baik untuk membuat kertas buku, majalah dan lain

lainnya. Untuk proses pembuatan pulp dari bahan non kayu biasanya menggunakan

proses soda.

2.2.1 Organosolv

Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) merupakan salah

satu proses alternatif dalam pembuatan pulp. Prinsip proses orgonosolv adalah memilah

komponen utama biomassa (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dengan tanpa banyak

merusak dan mengkonversinya menjadi sejumlah produk tertentu (Muurinen 2000).

Selain itu, proses organosolv juga memiliki beberapa keunggulan, seperti prosesnya

yang relatif mudah, ramah lingkungan dan membutuhkan energi lebih sedikit dibanding

proses pembuatan pulp konvensional. Beberapa pelarut organik yang digunakan sebagai

larutan pemasak dalam pembuatan pulp adalah alkohol, asam organik, amina, keton,

ester dan fenol (Shatalov and Pereira 2006, Jahan et al. 2007) dalam Zulfansyah., dkk

(2010).

Asam formiat merupakan salah satu pelarut organik yang sering digunakan

sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp. Keunggulan utama asam formiat

dibanding pelarut organik lain sebagai larutan pemasak adalah proses pembuatan pulp

dapat dilakukan pada suhu dan tekanan lebih rendah dan selektifitas tinggi untuk

mempertahankan selulosa terdegradasi (Muurinen 2000). Beberapa peneliti telah

membuktikan bahwa asam formiat, sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp,

mampu menyisihkan lignin secara selektif untuk berbagai biomassa dan menghasilkan
pulp dengan kualitas yang baik (Kham et al. 2005, Jahan et al. 2007, Ligero et al. 2008).

Karena itu, upaya pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan baku pulp dengan pelarut

asam formiat sangat menarik, mengingat pengunaan proses ini tidak hanya dapat

menanggulangi limbah perkebunan sawit, tetapi juga mampu menghasilkan produk

dengan proses yang ramah lingkungan. (Zulfansyah, dkk, 2010)

Pengembangan proses pembuatan pulp organosolv berbasis asam formiat

dengan katalis hidrogen peroksida dikenal dengan proses Milox. Katalis hidrogen

peroksida menambah kelarutan lignin dan meningkatkan selektifitas delignifikasi

[Muurinen 2000]. Sebagaimana proses pembuatan pulp orgnosolvlainnya, pada proses

pembuatan pulp menggunakan asam formiat terjadi proses delignifikasi dan hidrolisis

polisakarida secara serempak. Kedua proses tersebut akan mempengaruhi yield dan

kemurnian pulp. (Zulfansyah, dkk, 2010)

2.3.3 Sifat Selulosa

Sifat selulosa terdiri dari sifat fisika dan kimia. Selulosa dengan rantai panjang

memiliki sifat fisik yang lebih kuat, tahan lama terhadap degradasi yang disebabkan

oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh biologis. Sifat fisika dari selulosa

yang pentung ialah panjang, lebar, dan tebal molekunya. Sifat fisik lain dari selulosa

ialah:

- Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fotokimia, maupun secara mekanis

sehingga berat molekulnya menurun.

- Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut pada larutan

alkali.
- Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis (baik menyerap air), keras,

juga rapuh. Jika selulosa mengandung banyak air, maka akan bersifat lunak. Jadi

fungsi air disini adalah sebagai pelunak.

- Selulosa dalam kristal memiliki kekuatan lebih baik dibandingkan dengan bentuk

amorfnya.

Dilakukan tahapan untuk mendapatkan selulosa murni yang dipisahkan dari

zat pengotornya. Pemisahan dilakukan pada kondisi optimum untuk mencegah terjadi

degradasi terhadap selulsoa. Kesulitan yang dihadapi dalam proses pemisahan ini

disebabkan oleh :

- Berat molekul tinggi

- Keasaman sifat antara komponen impurities dengan selulosa itu sendiri

- Kristalinitas yang tinggi

- Ikatan fisika dan kimia yang kuat

Selama pembuatan serat selulosa murni, degradasi terjadi, antara lain karena

beberapa hal sebagai berikut :

- Degradasi oleh hidrolisa asam

Terjadi pada temperatur yang cukup tinggi dan berada pada media asam pada

waktu cukup lama. Akibat dari degradasi ini adalah terjadinya reaksi yakni

selulosa terhidrolisa menjadi selulosa dengan berat molekul rendah. Keaktifan

asam pekat untuk mendegradasi selulosa berbeda-beda.

- Degradasi oleh oksidator

Senyawa oksidator sangat mudah mendegradasi selulosa menjadi molekul yang

lebih kecil. Hal ini tergantung dari oksidator dan kondisinya. Macam-macam

oksidator adalah sebagai berikut :


o Chlorin mengoksidasi gugus karboksil dan aldehid. Oksidasi karboksil

menjadi CO2 dan H2O, sedangkan oksidasi aldehid menjadi karboksil dan jika

oksidasi diteruskan akan menjadi CO2 dan H2O

o Hipoklorit akan menghasilkan oksidasi selulosa yang mengandung presentase

gugus hidroksil tinggi pada kondisi netral/ alkali.

o NO2 mengoksidasi hidroksil primer dari selulosa menjadi karboksil. Oksidasi

ini tidak akan memecah rantai selulosa kecuali jika terdapat alkali

- Degradasi oleh panas

Pengaruh panas lebih besar jika dibandingkan dengan asam dan oksidator. Serat

selulosa yang dikeringkan pada temperatur tinggi akan mengakibatkan hilangnya

sebagian higroskopisitasnya (swealing ability). Hal ini karena :

o Bertambahnya ikatan hidrogen antara molekul selulosa yang berdekatan

o Tebentuknya ikatan rantai kimia diantara molekul selulosa yang berdekatan

o Pemanasan serat pada temperatur sekitar 100⁰C akan menghilangkan

kemampuan menggembung sekitar 50%.


2.4 Proses Pemutihan

Pada proses konvensional terdapat beberapa proses pembuatan pulp yaitu proses

pembuatan pulp secara mekanis, kimia, dan gabungan antara proses mekanis dan

kimia (Sjostrom, 1995). Teknik pembuatan pulp secara mekanis memberikan sifat

kekuatan lembaran pulp yang rendah dan penggunaan energi yang cukup tinggi,

sedangkan teknik pembuatan pulp secara kimia memberikan sifat kekuatan lembaran

pulp yang tinggi, tetapi biaya produksi lebih mahal karena adanya penggunaan bahan –

bahan kimia dalam jumlah besar dan berpotensi mencemari lingkungan. Pada proses

pembuatan pulp gabungan antara mekanis dan kimia didapatkan kekuatan lembaran

pulp yang lebih baik, tetapi proses ini masih mempunyai kelemahan yaitu

membutuhkan energi yang besar baik pada proses pemisahan serat maupun dalam

refining pulp, sehingga biaya produksi juga semakin besar disamping itu, adanya

pemakaian bahan kimia yang mempunyai potensi untuk mencemari lingkungan.

Setelah proses pembuatan pulp secara konvensional selesai, masih terdapat

tahapan proses untuk mendapatkan pulp dengan kualitas yang lebih baik karena pulp

hasil proses tersebut masih berwarna gelap dan harus diputihkan terlebih dahulu.

Hal ini disebabkan masih adanya sisa lignin yang terdapat dalam pulp. Pada umumnya

proses pemutihan pulp (proses bleaching) masih menggunakan pemakaian bahan kimia

seperti klor dan klorit. Penggunaan bahan kimia pemutih ini dapat menimbulkan

potensi mencemari lingkungan (Bajpai, 1999). Proses bleaching dengan menggunakan

senyawa klorin mendapat sorotan khususnya dari organisasi peduli lingkunngan karena

limbah yang dihasilkan sangat berbahaya bagi lingkungan (Bajpai, 1999).

Indonesia sebagai salah satu produsen pulp terbesar di dunia juga tidak luput

dari desakan untuk memperbaiki prosesnya lebih-lebih dengan diterapkannya kebijakan


“eco-labelling” dibanyak negara – negara maju yaitu dengan tidak mengimport atau

menggunakan produk yang diolah dengan proses yang mencemari lingkungan.

2.4.1 Teori Pemutihan atau Bleching

Warna pada pulp yang belum diputihkan pada umumnya disebabkan oleh lignin

yang tersisa. Penghilangan lignin dapat lebih banyak pada proses pemasakan, tetapi

akan mengurangi hasil cukup banyak dan merusak serat sehingga menghasilkan

kualitas pulp yang rendah. Oleh karena itu, harus dilakukannya proses pemasakan

dengan benar-benar cukup dan sesuai. Variabel dasar pada proses pemutihan antara lain

bahan kimia, temperatur, dan pH.

Tujuan utama proses pemutihan secara umum yakni sebagai berikut :

- Memperbaiki brightness/ kecerahan dan kemurnian

- Degradasi serat selulosa seminimum mungkin

Pengurangan kandungan resin juga faktor lain yang penting dalam proses pemutihan.

2.4.2 Zat Pemutih

Zat – zat pemutih menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu, zat pemutih yang

bersifat oksidator dan yang bersifat reduktor. Zat pemutih oksidator berfungsi untuk

mendegradasi dan menghilangkan zat penyebab warna yaitu lignin. Zat pemutih

reduktor berfungsi mendegradasi lignin secara hidrolisa dan membantu pelarutan

senyawa lignin terdegradasi yang dihasilkan pada proses pemutihan sebelumnya.

Zat pemutih yang bersifat oksidator, pada umumnya digunakan untuk pemutihan

serat – serat selulosa dan beberapa diantaranya dapat pula dipakai untuk serat-serat

binatang dan sintesis. Contohnya: Kaporit (CaOCl2), Sodium Chlorite (NaClO2),

Hidrogen peroksida (H2O2), Natrium peroksida (Na2O2), dan lain-lain. Zat – zat

pengelantang yang bersifat reduktor hanya dapat dipakai untuk serat-serat protein
(binatang). Contohnya: Sulfur dioksida (SO2), Natrium bisulfit (NaHSO3), dan Natrium

hidrosulfit (Na2S2O4).

2.4.2.1 Hidrogen peroksida (H2O2)

Hidrogen peroksida adalah zat pemutih yang digunakan untuk memutihkan

serat kapas, rayon, wol dan sutera. Hidrogen peroksida ini memiliki suhu optimum yaitu

80 - 85⁰C. bila suhu pada saat proses kurang dari 80⁰C maka proses akan berjalan

lambat, sedangkan kalau lebih dari 85⁰C hasil proses tidak sempurna.

Hidrogen peroksida (H2O2) dalam perdagangan berupa larutan dan distabilkan

dengan asam. Peroksida murni merupakan cairan yang bereaksi agak asam, larut dalam

air pada berbagai perbandingan. Karena kemampuannya melepaskan oksigen maka

sangat efektif dipakai sebagai bahan pemutih.

H2O2 → H2O + On

On yang terjadi akan bekerja sebagai oksidator untuk memutihkan bahan,

sehingga penguraian hidrogen peroksida dapat terkontrol dan berlangsung perlahan-

lahan.

Reaksi pemecahan H2O2 di alam tidak menimbulkan ancaman bagi lingkungan

karena menghasilkan oksigen dan air. Skemanya ditunjukkan pada Gambar 2.9.

Gambar 2.9 Mekanisme Penguraian H2O2 (Selig, 2009)

Pada kondisi basa, H2O2 mudah terurai. Zat reaktif dalam sistem pemutihan

dengan H2O2 dalam suasana basa adalah ion perhidroksil (HOO-) (Dence, 1996).
Ion ini sebagai bahan aktif yang bereaksi dengan struktur karbonil pada lignin

sehingga lignin terpecah dan larut pada larut pada larutan alkali (Jumantara, 2011).

Faktor yang mempengaruhi penguraian Hidrogen peroksida, antara lain :

- Pengaruh pH, Hidrogen peroksida stabil dalam suasana asam. Di dalam

suasana alkali mudah terurai melepaskan oksigen. Makin besar pH,

penguraiannya makin cepat.

- Pengaruh Suhu, Penguraian Hidrogen peroksida juga dipengaruhi oleh suhu.

Pemutihan dengan Hidrogen peroksida biasanya dilakukan pada suhu 80-

85⁰C. Apabila suhu pengerjaannya kurang dari 85⁰C maka proses akan berjalan

lambat. Diatas suhu tersebut proses akan berjalan cepat.

- Pengaruh stabilisator, Stabilisator berguna untuk memperlambat penguraian

walaupun pada pH dan suhu tinggi.

- Pengaruh logam atau oksida logam, Beberapa logam atau oksida logam

tertentu dapat mempercepat penguraian Hidrogen peroksida seperti besi,

tembaga, kobal dan nikel. Logam-logam tersebut disebut pembawa oksigen

(oxygen carrier).

Pemutihan dengan H2O2 ini memiliki beberapa keuntungan yaitu :

- Waktu pengerjaannya singkat, karena pada saat proses pengerjaan dengan

menaikkan suhu hingga 85⁰C secara konstan selama ± 1 jam, maka serat akan

lebih cepat diputihkan.

- Hasil pemutihan baik dan rata, dengan menggunakan proses pemanasan

maka warna asli pada serat dapat terurai dan bahan menjadi lebih putih

dan rata. Hasil derajat putih yang dihasilkan juga stabil, tidak mudah

menjadi kuning.
- Kemungkinan kerusakan kecil, karena daya oksidasi Hidrogen peroksida

lebih kecil, kerusakan yang dihasilkan juga kecil. Demikian juga karena

pengaruh penggunaan Natrium silikat sebagai stabilisator yang

memperlambat penguraian dari Hidrogen peroksida sehingga kerusakan

lebih kecil.

Pembuangan limbah bekas proses dilakukan dengan pengaliran dengan air hingga

seencer mungkin. Pada dasarnya diukur dari jumlahnya sedikit dan tidak mengubah

kondisi air, seperti warna, bau, rasa dan suhu. Faktor pH juga penting, agar

menyesuaian pH air buangan dengan pH air netral yaitu 7. Namun demikian, dalam

keseharian tidak semua pelaku usaha dapat menerapkan pengukuran pH.

Anda mungkin juga menyukai