PENDAHULUAN
Bahan baku dasar pembuatan pulp adalah selulosa dalam bentuk serat dan
hampir semua tumbuhan yang mengandung selulosa dapat dipakai sebagai bahan baku
pembuatan pulp. Bahan baku yang digunakan dapat berupa sabut kelapa, kayu jarum
maupun kayu daun. Kayu jarum misalnya kayu pinus, kayu turi dan bambu, sedangkan
yang termasuk kayu daun misalnya jerami, merang, batang pisang dan rumput-
rumputan. Untuk mendapatkan kualitas pulp yang baik, maka kadar selulosa harus lebih
Indonesia. Hampir semua bagian dari tanaman kelapa baik dari batang, daun dan buah
yang mempunyai nilai ekonomi sosial yang cukup tinggi. Batang kelapa yang sudah tua
dapat dijadikan bahan bangunan, seperti bahan bangunan rumah dan jembatan darurat.
Kayu dari batang kelapa juga dapat dimanfaatkan untuk kerangka perahu dan kayu
bakar maupun mebel dengan tekstur yang menarik. Daun kelapa yang masih muda
sering digunakan untu hiasan dalam berbagai acara adat dan keagamaan, sedangkan
daun yang sudah tua dapat digunakan sebagai atap rumah, barang anyaman, sapu lidi
Buah kelapa merupakan bagian yang paling bermanfaat dari tanaman kelapa.
Sabut kelapa yang telah dibuang gabusnya merupakan salah satu limbah buangan dari
perkebunan kelapa dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pulp,
karena mengandung selulosa. Selulosa terdapat pada semua tumbuhan, dari pohon
bertingkat tingggi hingga organisme primitive seperti lumut dan ganggang. Hampir
semua tumgbuhan yang mengandung selulosa dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan pulp.
tumbuhan. Komponen ini terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lignoselulosa
sel tanaman sangat kompleks. Hemiselulosa bersama lignin membalut serta menyatukan
serat-serat selulosa. Wujud dari tiga dimensi lignin mengakibatkan struktur sel tanaman
bersifat pasif dan kaku. Susunan yang kompleks tersebut mengakibatkan proses
senyawa kompleks. Proses ini penting dilakukan sebelum hidrolisis bahan selulosa,
sebab lignin dapat menghambat penetrasi asam atau enzim sebelum hidrolisis
alami diharapkan menjadi mudah dihidrolisis oleh enzim (Wayan Gunam, dkk., 2010).
karena struktur bahan seluruh dunia tumbuhan terdiri atas sebahagian besar selulosa.
Suatu jaringan yang terdiri atas beberapa lapis serat selulosa adalah unsur penguat
utama dinding sel tumbuhan. Didalam selulosa terdapat dalam bentuk serat-serat. Serat-
serat selulosa mempunyai kekuatan mekanik yang tinggi. Selulosa merupakan suatu
polimer yang berantai lurus yang terdiri dari unit-unit glukosa. Bobot molekul selulosa
alamiah sukar diukur, dikarenakan degradasi yang terjadi selama isolasi. Panjang
rantainya berbeda-beda dari jenis tumbuhan yang berbeda. Selulosa termasuk senyawa
polisakarida yang mempunyai rumus empiris (C6H10O5)n, dimana n berkisar dari 2000
Lignin adalah polimer yang kompleks dengan berat molekul tinggi dan tersusun
atas unit-unit fenil propan. Meskipun tersusun atas karbon, hidrogen dan oksida, tetapi
lignin bukanlah suatu karbohidrat. Lignin terdapat di antara sel-sel dan didalam dinding
sel. Di antara dinding sel lignin berfungsi sebagai pengikat untuk sel-sel secara
bersama-sama.
Pulp adalah hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat (kayu maupun non
kayu) melalui berbagai proses pembuatannya (mekanis, semikimia dan kimia). Pulp
terdiri dari serat-serat (selulosa dan hemiselulosa) sebagai bahan baku kertas.
Pembuatan pulp dengan pelarut organik (organosolv pulping) merupakan salah satu
proses alternatif dalam pembuatan pulp. Prinsip proses orgonosolv adalah memilah
komponen utama biomassa (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dengan tanpa banyak
merusak dan mengkonversinya menjadi sejumlah produk tertentu. Selain itu, proses
organosolv juga memiliki beberapa keunggulan, seperti prosesnya yang relatif mudah,
ramah lingkungan dan membutuhkan energi lebih sedikit dibanding proses pembuatan
pulp konvensional. Beberapa pelarut organik yang dapat digunakan sebagai larutan
pemasak dalam pembuatan pulp adalah alkohol, asam organik, amina, keton, ester dan
fenol (Shatalov and Pereira 2006, Jahan et al. 2007) dalam Zulfansyah., dkk (2010).
1.2 Rumusan Masalah
Pada penelitian terlebih dahulu yang telah dilakukan oleh Syamsul Bahri (2015)
yaitu pembuatan pulp dari batang pisang dengan memvariasikan konsentrasi NaOH
sebagai larutan reaksi (0,5%, 1%, 1,5%, 2% dan 2,5%) dan variasi waktu reaksi (30, 60,
90, 120 dan 150) menit dengan menggunakan katalis NaOH 50%. Kondisi terbaik yang
diperoleh dari hasil penelitian tersebut adalah kadar pulp sebesar 61,43%, kandungan
selulosa 83,3% dan kandungan lignin 2,97% pada waktu pemasakan 120 menit dan
Pada penelitian terlebih dahulu yang telah dilakukan oleh Cinthia Dwi Jayanti
(2019) yaitu Pembuatan pulp dari limbah sabut kelapa muda dengan menggunakan
konsentrasi larutan etanol sebagai larutan reaksi (5%, 10% dan 15%) pada level
microwife 300 dan 400 W dan variasi waktu reaksi (30, 60, dan 90) menit.
Digunakannya larutan etanol sebagai larutan reaksi karena sangat ramah dengan
lingkungan, harga yang terjangkau dan dapat menjaga selulosa yang terdegradasi pada
suatu cairan dan padatan tertentu. Kondisi optimum yang didapat pada proses
pembuatan pulp adalah konsentrasi etanol 5%, dengan level microwafe 300 W, dan
Puspitasari, Zulfansyah, dan Hari Rionaldo (2015) yaitu delignifikasi batang jagung
konsentrasi asam formiat (70, 80 dan 90)% dengan konsentrasi katalis asam klorida
0,2% dan variasi waktu reaksi (0, 15, 30, 45, 60, 75, 90, 105, 120, 135, 150, 165 dan
180) menit dengan perbandingan nisbah padatan dan larutan 10:1. Dari penelitian
tersebut didapatkan hasil bahwa batang jagung dapat dijadikan pulp dengan proses
organosolv dan menghasilkan yield pulp 31,88-47,01% dan kadar lignin pulp 10-
14,31%.
Pada penelitian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Kardiman Silaban, Chairul,
dan Maria Peratenta Sembiring (2015) yaitu penentuan suhu dan waktu optimum pada
bleaching (60, 70, 80, 90, 100 dan 120) menit dan variasi temperatur bleaching (56, 75,
klorin dioksida (CIO2) dengan tujuan untuk merusak dan memisahkann struktur lignin
yang masih tersisa didalam pulp. Digunakannya variasi waktu dan suhu bleaching
karena dalam proses pembuatan pulp waktu dan suhu merupakan salah satu factor
penting untuk memperoleh suatu pulp dengan tingkat kecerahan yang stabil serta
kekuatan serat yang tinggi. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa persentase
brightness optimum yang dihasilkan yaitu pada suhu bleaching 65oC dan waktu 60
Penelitian terlebih dahulu yang dilakukan oleh Syamsul Bahri (2015), Cinthia
Dwi Jayanti (2019), Shelviana Hanika Puspitasari dkk (2015), dan Kardiman Silaban
dkk (2015) memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing dimana penelitian yang
dilakukan oleh Syamsul Bahri (2015) mengalami penurunan kadar lignin didalam pulp
dengan proses pemasakan menggunakan NaOH karena semakin lama waktu reaksi
maka semakin banyak lignin yang tersisihkan dari biomassa, sehingga kandungan lignin
dalam pulp semakin berkurang. Data komposisi batang pisang menunjukan bahwa
sebelum pemasakan kandungan lignin batang pisang sebesar 5-10%, sedangkan setelah
proses pemasakan dilakukan kandungan lignin didalam pulp menurun menjadi 2,97-
6,01%. Kandungan lignin tertinggi diperoleh pada waktu pemasakan 120 menit dengan
diperoleh pada waktu pemasakan 150 menit dengan konsentrasi NaOH 2,5% yaitu
sebesar 2,97%. Kandungan lignin diharapkan sekecil mungkin, karena lignin dapat
merusak kualitas pulp seperti warna pulp atau kertas akan menjadi bewarna kuning atau
sangat cepat. Pada penelitian Shelviana hanika dkk (2015) mengalami penurunan
perolehan yield seiring meningkatnya waktu reaksi dan konsentrasi asam formiat.
Kenaikan konsentrasi asam farmiat dari 70% menjadi 90% menyebabkan turunnya yield
pulp yang artinya peningkatan konsentrasi asam formiat akan meningkatkan derajat
delignifikasi karena pemakaian konsentrasi pemakaian asam formiat yang tinggi dapat
Silaban dkk (2015) dibutuhkan pengoptimalan proses bleaching pada proses pembuatan
pulp dengan cara memvariasikan dosis chemical yang digunakan serta pH reaksi dan
juga harus ada penelitian lebih lanjut untuk melakukan variasi waktu dan temperatur.
Sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan perbaikan baik secara metode
alternatif ataupun variasi lainnya untuk mendapatkan hasil yang terbaik dan optimal
dalam proses mendapatkan pulp dengan kadar selulosa lebih besar dan kadar lignin
lebih kecil, untuk itu maka metode penelitian yang akan dilakukan adalah dengan
menggunakan metode ekstraksi selulosa dengan cara organosolv dengan asam format
(tahapan delignifikasi dan bleaching). Organosolv pulping atau yang disebut juga
dengan proses pembuatan pulp dengan menggunakan pelarut organik dimana pelarut
organik tersebut menggunakan asam formiat. prinsip dari metode organosolv adalah
memilah komponen utama biomassa (selulosa, hemi selulosa dan lignin) tanpa banyak
merusak dan mengkonversinya menjadi sejumlah produk tertentu. Bahan baku yang
digunakan yaitu sabut kelapa dengan menggunakan pelarut organik asam formiat.
Digunakannya asam formiat sebagai pelarut organik karena asam formiat merupakan
pelarut organik yang digunakan sebagai larutan reaksi yang memiliki keunggulan yaitu
dapat dilakukan pada tekanan dan temperatur yang rendah, selektivitas tinggi untuk
menghasilkan pulp dengan kualitas terbaik. Pada penelitian ini variasi yang menjadi
konsentrasi hydrogen peroksida (H2O2) (5, 10, 15, 20, 25 dan 30)% dengan waktu reaksi
selama 120 menit menit. Digunakannya variasi konsentrasi hydrogen peroksida adalah
karena secara umum variabel proses itu berpengaruh terhadap nilai yield dan kadar
lignin pulp dimana waktu reaksi menjadi variabel yang paling berpengaruh terhadap
kadar lignin pulp, diikuti dengan hydrogen peroksida serta Yield juga dipengaruhi oleh
konsentrasi hydrogen peroksida dan waktu reaksi dimana yield pulp cenderung
namun yield pulp cenderung meningkat dengan bertambahnya waktu pemanasan oleh
karena itu Perbaikan dilakukan mulai dari bahan baku, metode, variasi, dan pelarut
organik dilakukan dengan harapan mendapatkan nilai yield terbaik dari ekstraksi
kadar lignin.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
peroksida dalam tahapan bleaching terhadap penurunan kadar lignin dari sabut kelapa
tua.
Manfaat penelitian ini adalah untuk memanfaatkan limbah sabut kelapa tua
sebagai sumber bahan baku energi alternatif untuk produksi selulosa sebagai bahan
yang dapat mengurangi pencemaran dan dapat dengan mudah di tangani sisa limbahnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelapa
Kelapa (Cocos nucifera) merupakan salah satu anggota tanaman palma yang
paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Pohon kelapa merupakan jenis
tanaman berumah satu dengan batang tanaman tumbuh lurus ke atas dan tidak
bercabang. Tinggi pohon kelapa dapat mencapai 10-14 meter lebih, daunnya berpelepah
dengan panjang dapat mencapai 3-4 meter lebih dengan sirip-sirip lidi yang menopang
tiap helaian.
Kelapa merupakan salah satu dari tanaman perkebunan atau industri dengan
batang tanaman yang lurus dan tinggi. Ada dua pendapat mengenai asal usul kelapa,
yaitu dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari dan Thor
Herjerdahl, dan dari Asia atau Indopasific menurut Berry, Werth, Mearil, Mayurathan,
Lapesma, dan Pureseglove. Kata coco pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama,
atau dapat juga disebut nux indica, al-djanz al-kindi, ganz-ganz, nargil, narli, tenga,
Kelapa (Cocos nucifera L) merupaakan salah satu anggota tanaman palmae yang
paling dikenal dan banyak tersebar di daerah tropis. Daunnya panjang dapat mencapai
sekitar 3-4 meter lebih dengan sirip-sirip lidi yang menopang pada tiap helaian. Dalam
sebagai berikut :
- Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)
- Ordo : Palmales
- Famili : Palmae
- Genus : Cocos
Tanaman kelapa mempunyai nilai ekonomi tinggi dan tumbuh baik di daerah
tropis dengan suhu sekitar 27 oC dan dapat dijumpai baik di dataran rendah maupun
dataran tinggi. Pohon kelapa ini dapat tumbuh dan berbuah dengan baik di daerah
dataran rendah dengan ketinggian 0 - 450 m dari permukaan laut. Pada dataran tinggi
dengan ketinggian antara 450 - 1000 m dari permukaan laut, walaupun pohon ini dapat
tumbuh, waktu berbuahnya lebih lambat, produksinya lebih sedikit dan kadar
https://id.wikipedia.org/wiki/Kelapa
2.1.2 Sabut Kelapa
tempurung kelapa. Ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri atas lapisan
serat-serat halus yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat tali, karung, pulp, karpet,
sikat, keset, isolator panas dan suara, filter, bahan pengisi jok kursi/mobil dan papan
hardboard. Satu butir buah kelapa menghasilkan 0,4 kg sabut yang mengandung 30%
serat. Komposisi kimia sabut kelapa terdiri atas selulosa, lignin, pyroligneous acid, gas,
arang, ter, tannin, dan potasium (Rindengan, et al., 1995). India dan Sri Lanka adalah
produsen terbesar produk-produk dari sabut dengan volume ekspor tahun 2000 masing-
masing 55.352 ton dan 127.296 ton dan masing-masing terdiri atas 6 dan 7 macam
produk. Pada saat yang sama, Indonesia hanya mengekspor satu jenis produk (berupa
serat mentah) dengan volume 102 ton. Angka ini menurun tajam dibandingkan ekspor
tertinggi pada tahun 1996 yang mencapai 866 ton (Ditjenbun, 2002; BPS, 2002).
Sabut kelapa jika diurai akan menghasilkan serat sabut (cocofibre) dan serbuk
sabut (cococoir). Namun produk inti dari sabut adalah serat sabut. Dari produk
cocofibre akan menghasilan aneka macam derivasi produk yang manfatnya sangat luar
biasa. Menurut Choir Institute, kelebihan serat sabut kelapa antara lain anti ngengat,
tahan terhadap jamur dan membusuk, memberikan insulasi yang sangat baik terhadap
suhu dan suara, tidak mudah terbakar, flame-retardant, tidak terkena oleh kelembaban
dan kelembaban, alot dan tahan lama, resilient, mata kembali ke bentuk konstan bahkan
setelah digunakan, totally statis, mudah dibersihkan serta mampu menampung air 3x
dari beratnya. Sabut 15 kali lebih lama daripada kapas untuk rusak dan 7 kali lebih lama
dari rami untuk rusak sedangkan kabut Geotextiles adalah 100% bio-degradable dan
ramah lingkungan.
Sabut kelapa dapat diolah menjadi beragam produk jadi dan setengah jadi yang
memiliki nilai jual tinggi. Produk tersebut antara lain: tali sabut, keset, serat sabut
Hasil uji komposisi serat sabut kelapa berdasarkan SNI yang dilakukan Sarana
Selulosa merupakan polisakarida yang terdiri atas satuan glukosa yang terikat
polimerisasinya. Struktur kimia inilah yang membuat selulosa bersifat kristalin dan tak
mudah larut, sehingga tidak mudah didegradasi secara kimia/ mekanis. Molekul
glukosa disambung menjadi molekul besar, panjang, dan berbentuk rantai dalam
susunan menjadi selulosa. Semakin panjang suatu rangkaian selulosa, maka rangkaian
selulosa tersebut memiliki serat yang lebih kuat, lebih tahan terhadap pengaruh bahan
Selulosa itu sendiri merupakan bahan dasar yang penting bagi industri,
seperti pabrik kertas, pabrik sutera tiruan, dll. Molekul selulosa seluruhnya berbentuk
linear dan memiliki kecenderungan kuat untuk membentuk ikatan hidrogen intra dan
inter molekul. Ketersediaan selulosa dalam jumlah besar akan membentuk serat yang
kuat, tidak larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organik, dan berwarna putih.
berbentuk tidak lurus tetapi merupakan polimer – polimer bercabang dan strukturnya
tidak terbentuk kristal. Hal ini yang menjadikan hemiselulosa lebih mudah dimasuki
pelarut dan bereaksi dengan larutan dibanding selulosa selama pembuatan pulp.
strukturnya yang kurang teratur. Kadar hemiselulosa pada pulp jauh lebih kecil
bereaksi dengan bahan pemasak dan lebih mudah terlarut daripada selulosa.
gula. Namun berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun atas glukosa, hemiselulosa
terdiri dari monomer gula berkarbon lima (pentosa/ C-5), gula berkarbon enam
(heksosa/ C-6), asam heksuronat dan deoksi heksosa. Hemiselulosa akan mengalami
reaksi oksidasi dan degradasi terlebih dahulu daripada selulosa, karena rantai
Hemiselulosa tidak larut dalam air tapi larut dalam larutan alkali encer dan lebih
mudah dihidrolisa oleh asam daripada selulosa. Sifat hemiselulosa yang hidrofilik
banyak mempengaruhi sifat dari pulp itu sendiri. Hemiselulosa berfungsi sebagai
mengakibatkan adanya lubang antar fibril dan berkurangnya ikatan antar serat
(Putera, 2012).
2.1.3.3 Lignin
Lignin merupakan senyawa yang sangat kompleks dengan berat molekul tinggi.
Lignin terdapat diantara sel – sel dan di dalam dinding sel. Dimana fungsi lignin yang
terletak diantara sel adalah sebagai perekat untuk mengikat/ perekat antar sel, sehingga
tidak dikehendaki. Sementara dalam dinding sel lignin sangat erat hubungannya dengan
selulosa dan berfungsi untuk memberi ketegaran pada sel. Lignin dapat diisolasi dari
tanaman sebagai sisa yang tak larut setelah penghilangan polisakarida dengan
hidrolisis. Secara alternatif, lignin dapat dihidrolisis dan diekstraksi ataupun diubah
menjadi turunan yang larut. Adanya lignin menyebabkan warna menjadi kecoklatan
Lignin ini merupakan polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil
propana melalui ikatan eter (C-O-C) dan ikatan karbon (C-C). Bila lignin berdifusi
dengan larutan alkali maka akan terjadi pelepasan gugus metoksil yang membuat lignin
larut dalam alkali. Reaksi dengan senyawa tertentu banyak dimanfaatkan dalam proses
pembuatan pulp dimana lignin yang terbentuk dapat dipisahkan, sedangkan reaksi
oksidasi terhadap lignin digunakan dalam proses pemutihan. Lignin dapat mengurangi
Struktur kimia lignin mengalami perubahan di bawah kondisi suhu yang tinggi
dan asam. Pada reaksi dengan temperatur tinggi mengakibatkan lignin terpecah menjadi
partikel yang lebih kecil dan terlepas dari selulosa (Taherzadeh, 2007). Pada suasana
asam, lignin cenderung melakukan kondensasi, yakni fraksi lignin yang sudah terlepas
dari selulosa dan larut pada larutan pemasak. Dimana peristiwa ini cenderung
menyebabkan bobot molekul lignin bertambah, dan lignin yang terkondensasi akan
pemasakan yang berlangsung pada suasana asam dapat pula menurunkan derajat
selulosa, dan hemiselulosa. Selulosa tak akan rusak saat proses pelarutan lignin
jika konsentrasi larutan pemasak yang digunakan rendah dan suhu yang digunakan
sesuai. Pemakaian suhu di atas 180⁰C menyebabkan degradasi selulosa lebih tinggi,
dimana pada suhu ini lignin telah habis terlarut (Casey, 1980).
beberapa senyawa, yaitu karbon, hidrogen, dan oksigen. Proses pemisahan atau
penghilangan lignin dari serat selulosa disebut dengan delignifikasi atau pulping.
proses pemisahan lignin dapat dibedakan menjadi 3, yaitu : (Paskawati, dkk. 2010)
b. Proses semi kimia, yaitu proses pembuatan pulpyang melalui proses kombinasi
antara proses mekanis dan proses kimia. Mula – mula bahan baku dihancurkan dengan
c. Proses kimia, yaitu bahan baku berserat ditambah dengan bahan kimia.
Bahan kimia yang digunakan adalah natrium sulfat (Na2SO4), soda api (NaOH), dan
soda abu (Na2CO3). Bahan dasar yang digunakan adalah kayu lunak maupun kayu keras;
Bahan kimia yang digunakan adalah asam sulfit (H2SO3), asam sulfat (H2SO4), dan
magnesium bisulfit (Mg(HSO3)2). Bahan dasar yang digunakan bisa kayu lunak, maupun
kayu keras. Proses ini sangat baik untuk membuat kertas berkualitas tinggi;
Bahan kimia yang digunakan adalah asam nitrat (HNO3) dan soda api (NaOH);
iv. Proses soda
Bahan kimia yang digunakan soda api (NaOH). Bahan dasar yang biasa digunakan
untuk proses ini adalah jerami, ampas tebu, dan rerumputan serta bahan non kayu
lainnya. Pulp yang dihasilkan cukup baik untuk membuat kertas buku, majalah dan lain
lainnya. Untuk proses pembuatan pulp dari bahan non kayu biasanya menggunakan
proses soda.
2.2.1 Organosolv
satu proses alternatif dalam pembuatan pulp. Prinsip proses orgonosolv adalah memilah
komponen utama biomassa (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) dengan tanpa banyak
Selain itu, proses organosolv juga memiliki beberapa keunggulan, seperti prosesnya
yang relatif mudah, ramah lingkungan dan membutuhkan energi lebih sedikit dibanding
proses pembuatan pulp konvensional. Beberapa pelarut organik yang digunakan sebagai
larutan pemasak dalam pembuatan pulp adalah alkohol, asam organik, amina, keton,
ester dan fenol (Shatalov and Pereira 2006, Jahan et al. 2007) dalam Zulfansyah., dkk
(2010).
Asam formiat merupakan salah satu pelarut organik yang sering digunakan
sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp. Keunggulan utama asam formiat
dibanding pelarut organik lain sebagai larutan pemasak adalah proses pembuatan pulp
dapat dilakukan pada suhu dan tekanan lebih rendah dan selektifitas tinggi untuk
membuktikan bahwa asam formiat, sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp,
mampu menyisihkan lignin secara selektif untuk berbagai biomassa dan menghasilkan
pulp dengan kualitas yang baik (Kham et al. 2005, Jahan et al. 2007, Ligero et al. 2008).
Karena itu, upaya pemanfaatan pelepah sawit sebagai bahan baku pulp dengan pelarut
asam formiat sangat menarik, mengingat pengunaan proses ini tidak hanya dapat
dengan katalis hidrogen peroksida dikenal dengan proses Milox. Katalis hidrogen
pembuatan pulp menggunakan asam formiat terjadi proses delignifikasi dan hidrolisis
polisakarida secara serempak. Kedua proses tersebut akan mempengaruhi yield dan
Sifat selulosa terdiri dari sifat fisika dan kimia. Selulosa dengan rantai panjang
memiliki sifat fisik yang lebih kuat, tahan lama terhadap degradasi yang disebabkan
oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun pengaruh biologis. Sifat fisika dari selulosa
yang pentung ialah panjang, lebar, dan tebal molekunya. Sifat fisik lain dari selulosa
ialah:
- Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut pada larutan
alkali.
- Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis (baik menyerap air), keras,
juga rapuh. Jika selulosa mengandung banyak air, maka akan bersifat lunak. Jadi
- Selulosa dalam kristal memiliki kekuatan lebih baik dibandingkan dengan bentuk
amorfnya.
zat pengotornya. Pemisahan dilakukan pada kondisi optimum untuk mencegah terjadi
degradasi terhadap selulsoa. Kesulitan yang dihadapi dalam proses pemisahan ini
disebabkan oleh :
Selama pembuatan serat selulosa murni, degradasi terjadi, antara lain karena
Terjadi pada temperatur yang cukup tinggi dan berada pada media asam pada
waktu cukup lama. Akibat dari degradasi ini adalah terjadinya reaksi yakni
lebih kecil. Hal ini tergantung dari oksidator dan kondisinya. Macam-macam
menjadi CO2 dan H2O, sedangkan oksidasi aldehid menjadi karboksil dan jika
ini tidak akan memecah rantai selulosa kecuali jika terdapat alkali
Pengaruh panas lebih besar jika dibandingkan dengan asam dan oksidator. Serat
Pada proses konvensional terdapat beberapa proses pembuatan pulp yaitu proses
pembuatan pulp secara mekanis, kimia, dan gabungan antara proses mekanis dan
kimia (Sjostrom, 1995). Teknik pembuatan pulp secara mekanis memberikan sifat
kekuatan lembaran pulp yang rendah dan penggunaan energi yang cukup tinggi,
sedangkan teknik pembuatan pulp secara kimia memberikan sifat kekuatan lembaran
pulp yang tinggi, tetapi biaya produksi lebih mahal karena adanya penggunaan bahan –
bahan kimia dalam jumlah besar dan berpotensi mencemari lingkungan. Pada proses
pembuatan pulp gabungan antara mekanis dan kimia didapatkan kekuatan lembaran
pulp yang lebih baik, tetapi proses ini masih mempunyai kelemahan yaitu
membutuhkan energi yang besar baik pada proses pemisahan serat maupun dalam
refining pulp, sehingga biaya produksi juga semakin besar disamping itu, adanya
tahapan proses untuk mendapatkan pulp dengan kualitas yang lebih baik karena pulp
hasil proses tersebut masih berwarna gelap dan harus diputihkan terlebih dahulu.
Hal ini disebabkan masih adanya sisa lignin yang terdapat dalam pulp. Pada umumnya
proses pemutihan pulp (proses bleaching) masih menggunakan pemakaian bahan kimia
seperti klor dan klorit. Penggunaan bahan kimia pemutih ini dapat menimbulkan
senyawa klorin mendapat sorotan khususnya dari organisasi peduli lingkunngan karena
Indonesia sebagai salah satu produsen pulp terbesar di dunia juga tidak luput
Warna pada pulp yang belum diputihkan pada umumnya disebabkan oleh lignin
yang tersisa. Penghilangan lignin dapat lebih banyak pada proses pemasakan, tetapi
akan mengurangi hasil cukup banyak dan merusak serat sehingga menghasilkan
kualitas pulp yang rendah. Oleh karena itu, harus dilakukannya proses pemasakan
dengan benar-benar cukup dan sesuai. Variabel dasar pada proses pemutihan antara lain
Pengurangan kandungan resin juga faktor lain yang penting dalam proses pemutihan.
Zat – zat pemutih menurut sifatnya dibagi menjadi dua yaitu, zat pemutih yang
bersifat oksidator dan yang bersifat reduktor. Zat pemutih oksidator berfungsi untuk
mendegradasi dan menghilangkan zat penyebab warna yaitu lignin. Zat pemutih
Zat pemutih yang bersifat oksidator, pada umumnya digunakan untuk pemutihan
serat – serat selulosa dan beberapa diantaranya dapat pula dipakai untuk serat-serat
Hidrogen peroksida (H2O2), Natrium peroksida (Na2O2), dan lain-lain. Zat – zat
pengelantang yang bersifat reduktor hanya dapat dipakai untuk serat-serat protein
(binatang). Contohnya: Sulfur dioksida (SO2), Natrium bisulfit (NaHSO3), dan Natrium
hidrosulfit (Na2S2O4).
serat kapas, rayon, wol dan sutera. Hidrogen peroksida ini memiliki suhu optimum yaitu
80 - 85⁰C. bila suhu pada saat proses kurang dari 80⁰C maka proses akan berjalan
lambat, sedangkan kalau lebih dari 85⁰C hasil proses tidak sempurna.
dengan asam. Peroksida murni merupakan cairan yang bereaksi agak asam, larut dalam
H2O2 → H2O + On
lahan.
karena menghasilkan oksigen dan air. Skemanya ditunjukkan pada Gambar 2.9.
Pada kondisi basa, H2O2 mudah terurai. Zat reaktif dalam sistem pemutihan
dengan H2O2 dalam suasana basa adalah ion perhidroksil (HOO-) (Dence, 1996).
Ion ini sebagai bahan aktif yang bereaksi dengan struktur karbonil pada lignin
sehingga lignin terpecah dan larut pada larut pada larutan alkali (Jumantara, 2011).
85⁰C. Apabila suhu pengerjaannya kurang dari 85⁰C maka proses akan berjalan
- Pengaruh logam atau oksida logam, Beberapa logam atau oksida logam
(oxygen carrier).
menaikkan suhu hingga 85⁰C secara konstan selama ± 1 jam, maka serat akan
maka warna asli pada serat dapat terurai dan bahan menjadi lebih putih
dan rata. Hasil derajat putih yang dihasilkan juga stabil, tidak mudah
menjadi kuning.
- Kemungkinan kerusakan kecil, karena daya oksidasi Hidrogen peroksida
lebih kecil, kerusakan yang dihasilkan juga kecil. Demikian juga karena
lebih kecil.
Pembuangan limbah bekas proses dilakukan dengan pengaliran dengan air hingga
seencer mungkin. Pada dasarnya diukur dari jumlahnya sedikit dan tidak mengubah
kondisi air, seperti warna, bau, rasa dan suhu. Faktor pH juga penting, agar
menyesuaian pH air buangan dengan pH air netral yaitu 7. Namun demikian, dalam