Anda di halaman 1dari 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tata Niaga Labi-labi

Negara-negara di Asia Tenggara menjadi eksportir utama dari satwa-satwa


hasil tangkapan dari alam (Traffic 2008; Nijman 2010; Nijman et al. 2012)
termasuk kura-kura yang diperdagangkan di negara Cina sekarang ini berasal dari
negara-negara di Asia Selatan dan Asia Tenggara dimana penduduknya
beranggapan bahwa kura-kura lebih menguntungkan bila dijual daripada untuk
konsumsi sendiri (Dijk et al. 2000 dalam Stuart & Thorbjarnarson 2003).
Perdagangan kura-kura di Asia terdiri dari perdagangan untuk konsumsi dan pet,
dan untuk konsumsi dibedakan menjadi perdagangan kura-kura hasil penangkaran
komersil dan kura-kura hasil tangkapan dari alam. Eksploitasi besar-besaran
terhadap kura-kura dari habitat alaminya terjadi tidak hanya di negara-negara
berkembang tetapi juga di negara-negara maju (Traffic 1999). Data ekspor-impor
hidupan liar dari wilayah Asia Tenggara selama tahun 1999 – 2007 menunjukkan
sebanyak 85.9% dari total jumlah individu yang diekspor ditangkap dari habitat
alaminya (Nijman 2010). Indonesia merupakan eksportir terbesar untuk kelompok
reptil dengan jumlah ekspor mencapai angka 62% dari total 14 juta individu,
sementara negara pengimpornya berturut-turut adalah Singapura, Uni Eropa dan
Jepang. Sheperd (2000 dalam Nijman 2010) melaporkan ekspor tahunan labi-labi
dari Indonesia ke negara Cina mencapai angka 1 juta kilogram atau diperkirakan
setara dengan 200 000–300 000 ekor. Sheperd & Nijman (2007) menyebutkan
perdagangan kelompok penyu dan kura-kura dalam jumlah besar yang terlihat di
pasar-pasar domestik dapat digunakan sebagai indikator yang cocok untuk
mengevaluasi pengelolaan dan pengendalian pemanenan hidupan liar dan
perdagangannya di Indonesia.

2.1.1 Pelaku
Perdagangan reptil menyangkut jutaan spesimen per tahun serta menjadi
sumber pendapatan bagi banyak orang dan faktor ekonomi merupakan motivasi
utama dari perdagangan komoditi ini (Webb & Vardon 1998; Nijman 2010).
Perdagangan satwaliar terjadi di tingkat pendapatan lokal berskala kecil hingga
8

bisnis besar berorientasi profit dan mencakup pasar lokal, nasional bahkan
internasional. Para pengumpul satwaliar dihubungkan dengan para
pengguna/pembeli oleh jaringan perantara dengan jumlah dan fungsi yang
bervariasi di setiap lokasi. Para perantara ini bisa bergerak di berbagai bidang
mulai dari penyimpanan, penanganan, pengangkutan, pengolahan, produksi
industrial, pemasaran maupun usaha ekspor dan ritel (Nijman 2010). Para pelaku
dalam tata niaga labi-labi secara umum terdiri dari penangkap, perantara
(pengumpul atau pedagang kecil), pedagang besar dan eksportir (Mardiastuti
2008; Traffic 2008; Nijman et al. 2012).

2.1.2 Alur Perdagangan


Perdagangan kura-kura di Indonesia dan Indochina digambarkan oleh
Traffic (2008) memiliki kesamaan alur maupun pelaku-pelakunya, tetapi di
Indonesia berlangsung lebih dinamis. Dinamika ini ditunjukkan melalui hubungan
antar-pelaku yang berlangsung lebih fleksibel, dimana para penangkap bisa
langsung mengakses para eksportir tanpa melalui para pengumpul maupun
pedagang, sementara di Indochina yang bisa berhubungan dengan para eksportir
hanyalah para pedagang besar tingkat regional atau dengan kata lain hubungan
antara para pelaku memiliki struktur dan alur yang jelas dan tertentu.
Para penangkap menjual hasil tangkapannya kepada para pembeli lokal
yang kemudian menjual seluruh hasil tersebut kepada pedagang yang lebih besar
(Mardiastuti 2008; Traffic 2008), dan jumlah labi-labi yang terkumpul semakin
meningkat mengikuti alur perdagangan tersebut. Mardiastuti (2008) menyebutkan
bahwa transaksi jual beli labi-labi di Indonesia menerapkan sistem cash and
carry.

2.1.3 Harga
Labi-labi memiliki nilai kegunaan produktif yaitu nilai manfaat yang
diberikan kepada produk-produk yang diambil dari alam dan dijual ke pasar
komersial, baik pada tingkat nasional maupun internasional (Indrawan et al. 2007)
dan sebagai bentuk nyata dari nilai tersebut adalah harga. Tingginya harga beli
menjadi motivasi bagi para penangkap untuk melakukan eksploitasi berkelanjutan
terhadap labi-labi. Traffic (2005) menyebutkan bahwa sama halnya untuk spesies
9

kura-kura Pulau Rote (Chelonia mccordi), ancaman terbesar bagi keberadaannya


adalah perdagangan internasional dimana para pembeli luar negeri memasang
harga yang sangat tinggi, dan ketika spesies-spesies tersebut menjadi langka atau
bahkan diberikan status dilindungi, pada kenyataannya permintaan pasar justru
meningkat.
Beberapa hasil penelitian menyebutkan informasi mengenai harga labi-labi
untuk pasar dalam negeri, tetapi tidak untuk harga di pasar internasional. Amri
dan Khairuman (2000) menyebutkan harga ekspor labi-labi adalah USD 20.00/kg
sementara Nijman et al. (2012) mengemukakan apabila harga labi-labi
diasumsikan sebesar USD 10.00/kg maka nilai perdagangan labi-labi mencapai
angka USD 10 juta per tahun untuk beberapa wilayah yang diobservasi. Harga
labi-labi yang berlaku di pasar dalam negeri dibedakan oleh ukuran bobot
tubuhnya sebagaimana disebutkan dalam hasil penelitian Kusrini et al. (2009) dan
Oktaviani dan Samedi (2008).

2.1.4 Pemanenan Lestari


Pemanenan pada tingkat tertentu dari suatu populasi spesies bisa dilakukan
tanpa menimbulkan ancaman kepunahan dan tingkat tertentu tersebut
diterjemahkan dalam konsep pemanenan riap atau Maximum Sustainable Yield
(Robinson 1993; Sutherland 2001). Pemanenan terhadap hidupan liar pada
awalnya dilakukan oleh masyarakat yang hidup berdekatan dengan habitatnya dan
dalam jumlah sedikit untuk pemenuhan kebutuhan semata (Soehartono & Newton
2002; Platt et al. 2008), namun pertumbuhan populasi penduduk, meningkatnya
kemampuan pembeli dan era globalisasi menyebabkan kenaikan permintaan
terhadap hidupan liar eksotik (Nijman 2010) dan perdagangan yang terus menerus
merupakan ancaman utama bagi kelestariannya. Penurunan ukuran populasi
akibat pemanenan bisa ditandai oleh semakin sulitnya spesies tersebut ditemui
ataupun semakin besarnya upaya yang harus dikeluarkan (jumlah hari, alat
ataupun jarak tempuh) ketika akan dilakukan pemanenan (Soehartono & Newton
2002; Traffic 2005; Traffic 2008). CITES (2004) menyebutkan bahwa kelimpahan
labi-labi di perdagangan mengalami penurunan sebesar 2/3 dalam kurun waktu 15
tahun terakhir. Hal ini menggambarkan penurunan populasi lokal atau alami di
Indonesia dan di beberapa negara lain. Pemanfaatan yang berlebihan dan minim
10

regulasi bisa menjadi awal dari kepunahan suatu spesies karena terjadi penurunan
ukuran populasi akibat perburuan atau pemanenan (Lockwood et al. 2002 dalam
Indrawan et al. 2007).

2.2 Parameter Demografi Populasi


Kelompok kura-kura digambarkan memiliki karakteristik unik antara lain
berumur panjang, lambat mencapai umur dewasa, reproduksi tahunan yang
terbatas, tingginya kematian anakan, memiliki site fidelity yang tinggi dan
persebaran yang terbatas serta semakin berkurangnya habitat menjadikan kura-
kura sangat rentan terhadap pemanenan berlebih (Congdon et al. 1993; Gibbons
et al. 2001; Sriyadi et al. 2008). Kondisi dinamika yang khusus ini menyebabkan
pemanenan terhadap satu kelas umur tertentu dapat membahayakan populasi kura-
kura, sementara pemanenan pada kelas umur yang lain tidak menimbulkan
dampak yang sama. Pada kura-kura dengan pencapaian umur dewasa yang
lambat, contoh spesies Caretta caretta, peluang hidup yang tinggi pada kelas
umur juvenil sangat penting bagi pertumbuhan populasi sementara untuk kura-
kura dengan pencapaian umur dewasa yang lebih awal peluang hidup yang tinggi
pada kelas umur dewasa menjadi lebih penting bagi pertumbuhan populasi
(Heppel 1998 dalam Chacín 2010). Menurut Sinclair et al. (2006) pada spesies
mamalia besar pemanenan umumnya lebih banyak dilakukan terhadap individu
jantan dibandingkan individu betina ataupun lebih ditujukan pada kelas umur
yang lebih tinggi, namun tetap perlu diketahui terlebih dulu mengenai
karakteristik biologi spesies tersebut.

2.2.1 Ukuran Populasi


Populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu
spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya dan
keberadaan suatu populasi pada suatu wilayah sangat ditentukan oleh ketersediaan
sumberdaya untuk memenuhi segala kebutuhan hidup populasi tersebut. Kebutuhan
dasar populasi meliputi kebutuhan untuk berlindung, berkembangbiak, makanan
dan air, serta pergerakan (Alikodra 2002). Ukuran populasi dipengaruhi secara
langsung maupun tidak langsung oleh ketersediaan sumberdaya, disamping itu
11

dipengaruhi juga oleh beberapa parameter populasi seperti angka kelahiran, angka
kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin.
Ukuran populasi, seperti halnya parameter demografi lainnya, penting untuk
diketahui terutama dalam kaitannya dengan tujuan pemanfaatan. Pendugaan
ukuran populasi satwaliar di habitat alaminya membutuhkan pemilihan metode
inventarisasi yang tepat. Metode pendugaan ukuran populasi yang umum
digunakan untuk kelompok kura-kura adalah Capture-Mark-Recapture (CMR)
(Bodie & Semlitsch 2000) dan menurut Lathouder et al. (2009) metode ini sering
digunakan untuk melakukan estimasi ukuran populasi dimana jumlah populasi
keseluruhan tidak dapat dihitung secara langsung. Metode lain untuk pendugaan
kelimpahan populasi bagi satwa yang hidup di habitat perairan adalah Catch Per
Unit Effort (CPUE) serta telah digunakan dalam penelitian labi-labi untuk
menghitung kelimpahan relatifnya di suatu area (Kusrini et al. 2009; Mumpuni &
Riyanto 2010; Lilly 2010; Mumpuni et al. 2011).
Menurut Seber (1982) untuk mengatasi kesulitan mengetahui ukuran populasi
total satwaliar di suatu area dapat didekati dengan angka kelimpahan relatif dari
hasil penarikan contoh yang dilakukan secara acak, dimana estimasi ukuran
populasi total diperoleh dari hasil perkalian kepadatan rata-rata per unit area, yang
diestimasi dari sejumlah unit contoh, dengan luas total area populasi. Estimasi
kelimpahan relatif dapat disajikan dalam bentuk satuan jumlah per panjang area
tangkap (ekor/km), jumlah per luasan area tangkap (ekor/km2) dan jumlah per
satuan waktu tangkap (ekor/bulan).
Siklus hidup labi-labi hampir sama dengan reptil lainnya, yakni dari telur
menetas menjadi tukik, labi-labi remaja, dewasa dan kemudian melakukan
perkawinan, bertelur dan menetaskan telurnya untuk melanjutkan keturunannya. Di
alam, labi-labi umumnya berpijah antara Juli - Desember. Untuk periode musim
kawin labi-labi, Kusdinar (1995) menuliskan bahwa untuk kura-kura Belawa
dimulai pada bulan April – Juli dalam periode 1 tahun, sedang periode bertelur
terjadi pada bulan September - Februari dengan puncaknya pada bulan November -
Desember. Labi-labi berkembang biak dengan cara bertelur (ovipar). Jumlah telur
labi-labi dalam satu kali masa peneluran (clutch) bervariasi, antara 5-11 butir
(Kusdinar 1995), 5–30 butir untuk 3-4 sarang (Liat & Das 1999), sekitar 40 butir
12

(Iskandar 2000), berkisar antara 10-30 butir (Amri & Khairuman 2002) dan terakhir
Kusrini et al. (2007) menyebutkan antara 3–14 butir per sarang. Telur-telur yang
dikeluarkan induk ditimbun dalam tanah berpasir selama lebih kurang 45-50 hari
pada suhu 25–30 °C (Amri & Khairuman 2002), dan untuk penetasan telur menjadi
tukik menurut Iskandar (2000) dibutuhkan waktu sekitar 135–140 hari.

2.2.2 Nisbah Kelamin


Struktur populasi berdasarkan nisbah kelamin adalah perbandingan antara
jumlah individu jantan dan betina pada suatu populasi. Pada beberapa kelompok
satwa identifikasi jenis kelamin baru dapat dilakukan pada individu dewasa karena
perbedaan performa seksualnya lebih nyata. Kelompok mamalia besar dibedakan
jenis kelaminnya berdasarkan penciri tubuh seperti tanduk, ranggah dan warna
kulit. Identifikasi jenis kelamin pada kelompok reptilia baru dapat dilakukan apabila
terhadap individu tersebut dilakukan perabaan ataupun observasi organ reproduksi
secara langsung. Penciri jenis kelamin pada labi-labi dan spesies kura-kura lain
pada umumnya adalah bentuk ekornya (Gambar 1).

a b

Gambar 1 (a) ekor pada labi-labi betina; (b) ekor pada labi-labi jantan.
Labi-labi jantan memiliki ekor berbentuk memanjang sehingga ujungnya
banyak terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih
pendek dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Jensen & Das 2008;
Kusrini et al. 2007). Identifikasi jenis kelamin berdasarkan bentuk ekor ini baru
dapat dilakukan terhadap labi-labi dewasa dengan ukuran PLK minimum 25 cm
(Kusrini et al. 2007). Identifikasi jenis kelamin pada populasi panenan labi-labi
memberikan informasi proporsi antara jantan dan betina yang dipanen dan
bagaimana implikasinya terhadap kelestarian labi-labi di habitat alaminya.
13

2.2.3 Kelas Umur


Struktur populasi satwaliar dapat ditampilkan juga dalam bentuk pengkelasan
umur yang umumnya dibagi menjadi kelas umur anak, muda dan dewasa bahkan
untuk beberapa spesies dapat dikategorikan kedalam kelas umur yang lebih detil.
Pengelompokan kelas umur dapat dilakukan berdasarkan pendekatan morfologi
ataupun morfometri dari spesies satwaliar tersebut. Pendekatan morfometri
menggunakan ukuran atau massa bagian tubuh tertentu sementara pendekatan
morfologi berdasarkan penciri seperti warna tubuh, bentuk bagian tubuh tertentu
atau perilaku satwaliar yang kemudian diproyeksikan menjadi kelas umur individu
spesies satwaliar tersebut. Sebagai contoh untuk kelompok mamalia besar dengan
penciri tubuh seperti tanduk, ranggah dan warna kulit.
Tujuan dari identifikasi jenis kelamin dan kelas umur adalah untuk
mempermudah upaya mempelajari sifat-sifat biologi maupun perilaku satwaliar
yang berbeda pada jenis kelamin dan kelas umur tertentu. Data yang valid mengenai
struktur jenis kelamin dan umur dari suatu populasi satwaliar dapat digunakan
dalam perencanaan pengelolaan termasuk untuk pemanenan, khususnya dalam hal
penentuan jumlah, kelas umur maupun jenis kelamin yang dapat dipanen agar tidak
menimbulkan ketidakseimbangan terhadap populasi tersebut.

2.2.4 Angka Kematian


Ukuran populasi makhluk hidup akan mengalami fluktuasi karena pengaruh
kematian, kelahiran maupun perpindahan dari dan kedalam populasi tersebut.
Alikodra (2002) membagi angka kematian menjadi angka kematian kasar dan angka
kematian pada umur spesifik. Angka kematian kasar merupakan perbandingan
antara jumlah kematian dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode
waktu, sementara angka kematian pada umur spesifik merupakan perbandingan
antara jumlah kematian pada kelas umur tertentu dari semua sebab dengan total
populasi kelas umur yang sama selama satu periode waktu.
Tindakan pemanenan merupakan faktor utama penyebab kematian pada
populasi satwaliar yang memiliki nilai manfaat bagi manusia dan dengan
mengasumsikan jumlah pemanenan sebagai angka kematian pada populasi labi-labi
di alam maka pada tahun 1998 dan 1999 saja individu yang diperdagangkan di tiga
kota di Sumatera mencapai angka 200 000–450 000 (Nijman et al. 2012). Angka ini
14

belum mencakup jumlah labi-labi yang dipanen untuk dikonsumsi langsung oleh
para penangkapnya. Ini merupakan sebuah angka kematian yang sangat besar pada
suatu populasi meskipun ukuran populasi labi-labi secara keseluruhan di alam
belum diketahui.

2.3 Peubah Morfometri dan Biologi Reproduksi

2.3.1 Taksonomi
Di Indonesia labi-labi dikenal juga dengan sebutan bulus (Jawa) dan
bidawang (Kalimantan). Ernst dan Barbour (1989) menuliskan taksonomi labi-
labi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Kelas : Reptilia (Laurentie 1768)
Ordo : Testudines (Linnaeus 1758)
Famili : Tryonichidae (Fitzinger 1826)
Genus : Amyda (Geoffroy Saint-Hilaire 1809)
Spesies : cartilaginea (Boddaert, 1770)
Labi-labi dikenal juga dengan nama umum Asiatic softshell turtle atau Common
softshell turtle atau lack-rayed softshell turtle (Inggris), Trionyx cartilagineux
(Perancis), Knorpel weichschildkröte (Belanda) (Ernst & Barbour 1989). IUCN
Redlist (2011) menyebutkan labi-labi memiliki sinonim penamaan sebagai :
Testudo cartilaginea Boddaert, 1770, Trionyx cartilagineus (Boddaert, 1770),
Trionyx ephippium Theobald, 1875, Trionyx nakornsrithammarajensis
Nutaphand, 1979, Trionyx ornatus Gray, 1861 dan Trionyx phayrei Theobald,
1868.

2.3.2 Morfologi
Iskandar (2000) menuliskan bahwa suku labi-labi dapat dengan mudah
dibedakan dari kelompok kura-kura lainnya dari perisainya yang ditutupi oleh
kulit dan sebagian besar terdiri dari tulang rawan. Labi-labi termasuk jenis yang
mempunyai leher relatif panjang karena dapat mencapai paling sedikit
15

pertengahan dari perisainya, dan termasuk hewan yang galak sehingga hewan
berukuran besar sangat berbahaya bila dipegang.
Amri dan Khairuman (2002) menyebutkan bahwa labi-labi bernafas dengan
paru-paru (pulmo), termasuk anak-anaknya yang baru menetas, memiliki sepasang
tungkai kaki depan masing-masing berkuku tiga buah dan berselaput renang,
demikian pula sepasang tungkai belakangnya. Dua pasang tungkai tersebut
memungkinkan labi-labi dapat berenang dengan cepat karena selaput renangnya
cukup besar dan bisa berlari di daratan. Mata labi-labi berjumlah dua buah terletak
pada bagian samping kepala dilengkapi dengan kelopak mata. Alat pendengaran
labi-labi adalah membran tympani. Labi-labi tidak memiliki gigi tetapi rahangnya
sangat kuat dan tajam. Lidahnya tebal, pendek, lebar dan melekat di dasar mulut.
Warna punggung labi-labi dewasa bervariasi antara coklat, abu-abu sampai
hitam pekat, kadang-kadang berbintik kuning pada kepala, tungkai-tungkai dan
karapasnya. Plastron berwarna putih sampai abu-abu (pada usia remaja berwarna
lebih cerah dibandingkan dengan usia dewasa). Pada usia anak terdapat bintik
pada kepala dan tungkai-tungkainya (Ernst & Barbour 1989). Iskandar (2000)
menyebutkan bahwa pada perisai punggung terdapat bintil-bintil kecil membentuk
garis-garis yang terputus-putus dari depan ke belakang. Kepala dan kaki berwarna
hitam atau abu-abu, pada hewan muda umumnya dijumpai bintik-bintik berwarna
kuning dan kadang-kadang dijumpai juga enam sampai sepuluh bercak hitam
bertepi putih melengkung pada bagian belakang perisainya, terutama pada
individu muda.

2.3.3 Morfometri
Karakteristik morfometri seringkali digunakan untuk menduga umur suatu
spesies. Pendugaan kelas umur pada kelompok kura-kura umumnya menggunakan
ukuran panjang karapas yang diukur dengan metode straight-line (Ernst & Lovich
1986; Chen & Lue 2009; Lefebvre et al. 2011) maupun metode curve-line
(Kusrini et al. 2007; Oktaviani & Samedi 2008; Kusrini et al. 2009), sementara
beberapa parameter morfometri lainnya yang umum diukur adalah lebar karapas,
panjang plastron, lebar plastron, berat tubuh, dan panjang ekor (Lilly 2010).
Metode curve-line menghasilkan satuan pengukuran dengan istilah Panjang
Lengkung Karapas (PLK) yang kemudian diklasifikasikan dalam empat kelompok
16

dengan rentang ukuran tertentu untuk kemudian digunakan sebagai dasar


pengkelasan umur labi-labi (Kusrini et al. 2007).
Berat tubuh juga digunakan untuk menduga kelas umur labi-labi
(Mardiastuti 2008) sementara Riyanto (13 Februari 2012 komunikasi pribadi)
menyebutkan bahwa ukuran PLK dianggap lebih konsisten untuk dijadikan dasar
pendugaan kelas umur labi-labi. Ernst dan Lovich (1986) menyebutkan bahwa
beberapa penelitian mencoba mencari hubungan antara perubahan massa atau
bobot tubuh kura-kura dengan pertumbuhan bagian tempurungnya. CITES
Scientific dan Management Authority sejak tahun 2007 mengeluarkan peraturan
tentang ukuran berat yang sebaiknya tidak dipanen atau dibatasi pemanenannya,
yaitu pada kisaran berat 5–15 kg dengan batas toleransi 10% (Mardiastuti 2008).

2.3.4 Reproduksi
Pada labi-labi jantan bentuk ekor memanjang sehingga ujungnya banyak
terlihat diluar karapas, sebaliknya pada labi-labi betina bentuk ekor lebih pendek
dan gempal sehingga tidak tampak di luar karapas (Kusrini et al. 2009). Wyneken
(2001) menyebutkan bahwa organ reproduksi kura-kura atau disebut gonad terdiri
dari ovarium dan testis dan masing-masing menghasilkan gamet (sel telur ataupun
sperma) yang kemudian dipindahkan melalui salurannya menuju kloaka. Organ
reproduksi pada kura-kura betina mengalami perubahan bentuk dan ukuran
mengikuti pertambahan umur ataupun antar-periode bertelur (Wyneken 2001) dan
ukuran tubuh betina yang lebih besar berhubungan dengan ukuran telur yang lebih
besar ataupun frekuensi clutch tahunan (Walde et al. 2007; Naimi et al. 2012).
Kematangan gonad biasanya terjadi pada bulan Mei dan Juni pada saat
temperatur air berkisar 20 °C, dua minggu kemudian betina akan memijah dan
kemudian bertelur di darat di tempat yang berpasir (BBAT 2002). Bentuk telur
labi-labi menurut Kusdinar (1995) bundar, berwarna putih, tidak mengkilat,
kulitnya rapuh dengan ukuran diameter telur 31.1–33.2 mm, sementara menurut
Iskandar (2000) ukuran telurnya hanya sekitar 21–33 mm, berbentuk bulat seperti
bola pingpong (bola tenis meja) dan bercangkang keras. Amri dan Khairuman
(2002) menyebutkan bahwa telur labi-labi berwarna krem dengan diameter antara
2-3 cm.
17

Keberhasilan penetasan telur pada beberapa spesies penyu laut adalah


67.7% untuk Caretta caretta (Appleson 2004), 78.6% untuk spesies Eretmochelys
imbricata (Ditmer & Stapleton 2012) dan 73.8% untuk spesies Chelonia mydas
(Thomas 2006). Keberhasilan penetasan telur untuk kura-kura air tawar adalah
59% dan 52% untuk tahun yang berbeda pada Glyptemys insculpta (Walde et al.
2007), dan 60.8±37.5% untuk Phrynops geoffroanus (Ferreira 2011). Hasil
penelitian mengenai tingkat keberhasilan penetasan telur labi-labi sejauh ini masih
sangat terbatas. Mashar (2009) dalam penelitiannya tentang kura-kura Belawa
menyebutkan bahwa dari 97 butir telur yang diamati hanya 3 yang menetas.
Rendahnya persentase tetasan mungkin disebabkan telur-telur yang lain belum
cukup umur untuk menetas, mengingat waktu pengamatan hanya selama 3 bulan
sementara menurut Iskandar (2000) waktu inkubasi telur labi-labi berkisar antara
135-140 hari. Jumlah telur yang menetas kemudian tidak lagi terdokumentasikan.
Sunyoto (2012) menyebutkan bahwa berdasarkan informasi pengelola kolam
rekreasi Cikuya, kura-kura belawa (Amyda cartilaginea) selama bulan Agustus
2010–Februari 2011 terkumpul 187 butir telur yang kemudian direlokasikan dan
berhasil menetas sebanyak 115 butir (61.49%). Tingkat keberhasilan penetasan
telur kura-kura lebih tinggi pada clutches yang direlokasikan dari sarang alaminya
(Appleson 2004; Thomas 2006; Walde et al. 2007) karena telur-telur tersebut
terhindar dari predasi maupun gangguan alami lain seperti hanyut terbawa arus.

2.3.5 Jenis Pakan


Labi-labi biasanya menyukai perairan yang banyak dihuni oleh hewan air
(molusca, ikan, crustacea dan lain-lain) serta pada permukaan airnya terdapat
tumbuh-tumbuhan air seperti enceng gondok, salvinia, monochorida, teratai dan
lain-lainnya karena dapat menjadi bahan makanan di dalam air (Ditjenkan 1995).
Menurut Mumpuni dan Riyanto (2010) jenis pakan labi-labi sangat bervariasi,
terdiri dari buah sawit, umbi dari tanaman ubi kayu, berbagai jenis ikan, dedaunan
yang tidak teridentifikasi, biji-bijian, bahkan pakan burung. Ketersediaan berbagai
jenis ikan air tawar di habitatnya merupakan potensi pakan bagi labi-labi. Di
Sumatera Barat, tepatnya di Bandar Gadang, Mumpuni et al. (2011) menemukan 21
keong emas di dalam usus besar seekor labi-labi yang dibedah, dan keong emas
dikenal sebagai hama bagi tanaman padi di sawah. Variasi jenis pakan labi-labi
18

menunjukkan bahwa labi-labi termasuk kura-kura omnivorus, dan dari perilaku


makan ini labi-labi diduga bisa berfungsi sebagai predator hama sekaligus penyebar
biji.

2.4 Habitat dan Persebaran

2.4.1 Habitat
Secara umum habitat satwaliar dapat didefinisikan sebagai tempat dimana
satwaliar tersebut hidup. Berbeda dengan manusia, satwaliar dari satu spesies
dapat hidup di suatu tempat hanya apabila sumberdaya pokok yaitu pakan, air dan
tempat berlindung untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya
tersedia dan memampukan satwaliar tersebut untuk bisa beradaptasi terhadap
kondisi cuaca yang ekstrem maupun persaingan dan pemangsaan. Komponen
habitat yang telah diklasifikasikan sebelumnya meliputi pakan, air dan tempat
berlindung oleh Morrison et al. (2006) ditambahkan dengan faktor-faktor
lingkungan lainnya yang sangat bervariasi. Pola penyebaran ruang maupun waktu
dari seluruh elemen habitat tersebut menentukan distribusi, kepadatan, struktur
dan produktivitas populasi satwaliar. Ketersediaan sumberdaya mempengaruhi
keberadaan suatu spesies pada lanskap tertentu. Dalam konsep pemilihan habitat
oleh satwaliar dikenal habitat yang tersedia, habitat yang digunakan dan habitat
yang disukai yang diterjemahkan oleh manusia menjadi konsep home range, core
dan territory.
Hilangnya habitat dan penangkapan secara besar-besaran menurunkan
jumlah yang dapat ditangkap setiap tahunnya, mengurangi keuntungan bagi
manusia, dan dalam beberapa kasus ekstrim dapat meningkatkan kemungkinan
kepunahan. Perubahan yang terjadi terhadap habitat, disengaja ataupun tidak,
dapat merubah struktur populasi kura-kura air tawar (Chen & Lue 2009; Bodie
2001; Plummer et al. 2008) dan yang paling terpengaruh adalah kelas umur
juvenil dan jenis kelamin betina. Modifikasi habitat dapat menyebabkan
perubahan berbagai karakteristik habitat tersebut, seperti kedalaman menjadi lebih
dangkal, arus menjadi lebih kuat, dan kondisi vegetasi di pinggir sungai
mengalami perusakan bahkan penghilangan.
19

Labi-labi menyukai habitat perairan seperti kolam, rawa, danau, sungai dan
kanal (Asian Turtle Conservation Network 2012). Elviana (2000) menyebutkan
kondisi habitat labi-labi berupa perairan tergenang, berarus tenang dengan dasar
perairan lumpur berpasir, terdapat batu-batuan dan tak terlalu dalam. Labi-labi
biasanya tak hanya tinggal di dasar perairan, tetapi terkadang nampak di atas batu-
batuan untuk berjemur. Labi-labi mengalokasikan banyak waktunya untuk berada
di dalam air, sehingga kondisi perairan sebagai habitat labi-labi menjadi penting
untuk diketahui. Elviana (2000) memasukkan variabel peubah habitat berupa suhu
(air dan udara), pH sungai, lebar sungai, kedalaman, kecepatan arus permukaan,
debit air, kecerahan air, substrat dasar dan slope pinggir sungai. Amri dan
Khairuman (2002) menyebutkan beberapa variabel yang mempengaruhi
pemilihan habitat oleh labi-labi, diantaranya adalah : debit air, suhu air, derajat
keasaman (pH), warna perairan dan jenis substrat dasar perairan.
a. Kecepatan arus air
Labi-labi disebutkan lebih menyukai perairan yang tenang dengan kecepatan
arus air yang rendah. Menurut Suwigno (1996) untuk perairan alamiah dengan
kecepatan permukaan antara 10 sampai dengan 20 cm per detik memiliki dasar
perairan berlumpur, sehingga merupakan habitat perairan yang mungkin dipilih
oleh labi-labi.
b. Suhu air
Pada kondisi lingkungan bersuhu rendah (kurang dari 30 °C), aktifitas labi-labi
akan menurun, nafsu makan berkurang. Labi-labi biasanya akan menyelam dan
memendamkan dirinya dalam lumpur (BBAT 2002). Menurut Germano & Bury
(2009) beberapa hasil penelitian mengindikasikan bahwa jumlah konsumsi
pakan dan laju pertumbuhan kura-kura lebih tinggi dan ukuran tubuh lebih besar
di lingkungan yang lebih hangat dibandingkan dengan habitat yang lebih sejuk.
c. Derajat keasaman (pH)
Merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam
atau basa suatu perairan. Ukuran nilai pH adalah 1-14 dan angka 7 merupakan
pH netral atau normal. Derajat keasaman ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi
karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam. Pada siang hari pH air akan
meningkat karena fitoplankton dan tanaman air lainnya mengkonsumsi
20

karbondioksida dan menghasilkan oksigen di dalam air. Sebaliknya pada malam


hari biota air tersebut akan mengkonsumsi oksigen dalam proses respirasi dan
akan menghasilkan karbondioksida yang menurunkan pH air. Disebutkan bahwa
nilai pH air yang ideal untuk budidaya labi-labi adalah 7–8. Pada kondisi habitat
alami di perairan sungai maupun rawa, derajat keasaman air yang terukur
menunjukkan kisaran angka 6.0–6.6 di Jambi (Elviana 2000) dan 5.6-6.2,
5.7–6.5 dan 5.6–6.8 berturut-turut untuk lokasi survei di Jambi, Sumatera
Selatan dan Riau (Mumpuni & Riyanto 2010).
d. Kekeruhan air
Bruckner (2012) menyebutkan bahwa kekeruhan tubuh air berkaitan dengan
kebersihan air tersebut. Air dengan konsentrasi padatan tersuspensi yang rendah
lebih jernih dan kurang keruh dibandingkan dengan air berkonsentrasi padatan
tersuspensi yang tinggi. Kekeruhan dapat disebabkan oleh banyaknya kumpulan
biota seperti fitoplankton, atau karena adanya muatan materi abiotik seperti
sedimen. Kekeruhan menjadi penting dalam sistem perairan karena dapat
mengurangi intensitas cahaya yang menembus kedalam perairan, sehingga
berpotensi mempengaruhi laju fotosintesis dan distribusi organisme-organisme
di dalam air. Kondisi ini mungkin tidak langsung membahayakan kehidupan
labi-labi (Amri & Khairuman 2002), tetapi laju fotosintesis yang menurun pada
gilirannya mempengaruhi jumlah oksigen yang terurai di dalam tubuh air dan
akan mempengaruhi populasi yang lebih besar lagi, misalnya populasi ikan
(Bruckner 2012).
e. Warna perairan
Warna suatu perairan umumnya disebabkan oleh bahan terlarut, seperti asam
humus, plankton atau gambut (Amri & Khairuman 2002). Dominasi bahan-
bahan terlarut tersebut dapat dibedakan dari warna air suatu perairan. Perairan
biasanya akan berwarna coklat jika mengandung banyak lumpur. Jika
mengandung banyak plankton air berwarna hijau cerah, jika mengandung bahan
organik nabati hasil pelapukan air berwarna merah seperti teh, dan jika
mengandung limbah industri air berwarna hitam. Di daerah gambut perairan pun
bisa berwarna hitam.
21

f. Ketinggian tempat
Labi-labi tersebar pada daerah dataran rendah dengan ketinggian < 350 m dpl
(Iskandar 2000). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan suhu permukaan yang
berpengaruh pada aktivitas labi-labi. Iskandar (2000) menyebutkan bahwa
habitat yang paling disukai labi-labi adalah perairan berdasar lumpur dan berarus
lambat, dimana tipe perairan tersebut banyak terdapat di dataran rendah yang
meliputi sungai, rawa dan danau sungai mati (oxbow). Hasil survei di Sumatera
dan Kalimantan juga menunjukkan bahwa labi-labi banyak ditemukan di daerah
hilir. Menurut Oktaviani et al. (2008) wilayah tangkap labi-labi di Sumatera
Selatan berada pada ketinggian 7-141 m dpl.
g. Kedalaman ditemukan
Labi-labi dapat hidup di berbagai tipe habitat perairan dengan kedalaman yang
bervariasi. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa labi-labi ditemukan di
perairan dengan kedalaman berkisar antara 1,0–3,0 meter (Elviana 2000), 3-8
meter (Kusrini et al. 2009), 3-7 meter di sungai di Jambi dan 0,3-2 meter di
perairan di Riau (Mumpuni & Riyanto 2010) serta 0,3–1,2 meter di Sumatera
Barat (Mumpuni et al. 2011).
h. Jenis substrat dasar habitat perairan
Literatur menyebutkan bahwa labi-labi dapat hidup di berbagai tipe habitat
perairan yang substrat dasarnya berlumpur, berpasir bahkan berbatu. Substrat
dasar beberapa tipe perairan habitat labi-labi di Sumatera adalah berlumpur
(Elviana 2000) serta berlumpur dan berpasir (Mumpuni & Riyanto 2010;
Mumpuni et al. 2011). Di Kalimantan tipe perairan yang menjadi habitat labi-
labi umumnya berlumpur, berpasir dan ada juga berbatu (Kusrini et al. 2009;
Lilly 2010).
i. Tipe penutupan lahan
Umumnya kura-kura jantan lebih banyak menggunakan habitat perairan
dibandingkan betina karena betina membutuhkan habitat terestrial untuk tempat
meletakkan telur dan juga sebagai alternatif sumber pakan, sehingga kura-kura
betina lebih terancam peluang hidupnya ketika terjadi perusakan habitat terestrial
di sekitar habitat perairan yang dihuninya. Menurunnya peluang hidup kura-kura
betina bisa berakibat pada ketidakseimbangan nisbah kelamin populasi tersebut.
22

Zona antara habitat perairan dan terestrial merupakan aspek penting bagi
populasi kura-kura air tawar, terutama untuk tempat bersarang dan meletakkan
telur. Habitat kura-kura banyak mengalami perusakan dan penyempitan yang
disebabkan oleh aktivitas urbanisasi dan berdampak pada struktur populasi kura-
kura yang mendiami wilayah tersebut (Plummer et al. 2008; Chen & Lue 2009),
namun demikian kura-kura masih dapat ditemukan di daerah urban (Spinks et al.
2003; Conner et al. 2005).

2.4.2 Persebaran
Indonesia merupakan habitat bagi sekitar 10% spesies penyu dan kura-kura
air tawar dunia (Sheperd & Nijman 2007). Menurut Iskandar (2000) salah satu
spesies kura-kura air tawar yaitu suku labi-labi merupakan kelompok kura-kura
dengan penyebaran paling luas di dunia, karena suku labi-labi terdapat di semua
benua walaupun keberadaannya di Australia hanya dalam bentuk fosil.
Penyebaran secara luas meliputi Burma, Thailand, Indochina, Malaysia,
Singapura, Borneo, Sumatera dan Jawa. Penyebaran labi-labi di Indonesia
meliputi Kalimantan termasuk Kalimantan Barat, Sumatera, Jawa, Bali dan
Lombok (Auliya 2007). Koch et al. (2008) menyebutkan bahwa di Pulau Sulawesi
juga telah ditemukan labi-labi yang berasal dari sebuah danau di Sulawesi
Tengah.
Hasil penelitian dan survei memberikan informasi bahwa labi-labi dapat
ditemukan di tipe habitat perairan yang berbeda seperti di daerah hilir sungai di
Jambi (Elviana 2000), sungai dan anak sungai di Kalimantan Timur (Kusrini et al.
2009) dan Kalimantan Barat (Lilly 2010), sungai dan rawa di Sumatera Selatan
(Oktaviani 2008), rawa dan rawa gambut di dalam kawasan Taman Nasional
Berbak di Jambi serta sungai kecil dan rawa gambut dalam areal perkebunan sawit
di provinsi Riau (Mumpuni & Riyanto 2010). Survei yang dilakukan Mumpuni et
al. (2011) di Sumatera Barat bahkan menemukan labi-labi di lokasi persawahan
dekat ke pemukiman penduduk.

Anda mungkin juga menyukai