Anda di halaman 1dari 5

Republik Lan

Kongsie Langfong/Republik Lanfang (Hanzi tradisional: 蘭芳共和國, Hanyu Pinyin: Lánfāng


Gònghéguó) adalah sebuah negara Hakka di Kalimantan Barat, Indonesia yang didirikan oleh Low
Fang Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) pada tahun 1777 sampai akhirnya dibubarkan oleh Belanda pada
tahun 1884.

Sultan-sultan di Kalimantan Barat yang mendatangkan buruh yang berasal dari China pada abad ke-
18 untuk bekerja dalam pertambangan emas atau timah terdapat sejumlah komunitas
pertambangan (kongsi) yang menikmati beberapa otonomi politik dan Lanfang dikenal oleh sejarah
berdasarkan tulisan oleh Yap-Yoen Siong, menantu Kapitan terakhir kongsi Lanfang, yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda pada tahun 1885.

Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun. Dia merantau ke Kalimantan Barat saat
ramainya orang mencari emas (Gold Rush), dengan menyusuri Han Jiang menuju Shantao,
sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalbar (Wilayah Kesultanan Sambas) pada
usia sekitar 41 tahun yaitu pada sekitar tahun 1774 M.

Kedatangan orang-orang China dari daratan China ini adalah atas permintaan sultan-sultan Melayu
saat itu yang mendatangkan para pekerja tambang emas dari daratan China yaitu untuk melakukan
kerja-kerja tambang yang memang keahlian dan kesulitan pekerjaan tambang saat itu hanya dapat
dilakukan dengan ketekunan dari orang-orang China. Permintaan pekerja tambang dari China
daratan saat itu merupakan satu trend yang berkembang di kerajaan-kerajaan Melayu, yang dimulai
oleh kerajaan Melayu yang ada di Semenanjung Melayu kemudian kerajaan Melayu di pesisir utara
dan timur Sumatra lalu Kerajaan Melayu Brunei (yaitu pada masa Sultan Omar Ali Saifuddin I) baru
kemudian disusul oleh Kerajaan-Kerajaan Melayu yang berada di pesisir wilayah Pulau Kalimantan
bagian barat.

Kerajaan Melayu di pesisir barat Pulau Kalimantan yang pertama mendatangkan pekerja tambang
dari daratan China adalah Panembahan Mempawah yang waktu Rajanya adalah Opu Daeng
Manambung yaitu pada sekitar tahun 1740 M. Kebijakan Panembahan Mempawah ini kemungkinan
atas saran dari Adik Opu Daeng Manambung yaitu Opu Daeng Celak yang saat itu sedang
menjabat sebagai Raja Muda di Kesultanan Riau yang telah lebih dahulu mendatangkan pekerja
dari China daratan untuk tambang timah di Kesultanan Riau dan berhasil dengan baik. Namun
demikian saat itu Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang China untuk pekerja
tambang (emas) pertama kali adalah berjumlah 20 orang (kemungkinan para pakar mencari emas)
yang sebelumnya telah bekerja di Kesultanan Brunei.

Setelah itu didirikanlah pertambangan emas yang dikerjakan oleh orang-orang Cina yaitu di daerah
Mandor yang saat itu merupakan wilayah Panembahan Mempawah. Setelah beberapa tahun
mengerjakan tambang emas di Mandor ini, para pakar pencari emas dari Cina ini kemudian
mengindikasikan satu tempat tak begitu jauh dari Mandor yang disinyalir banyak mengandung
emas. Namun wilayah itu adalah wilayah kekuasaan dari Kesultanan Sambas yaitu daerah yang
bernama Montraduk. Maka kemudian utusan pekerja tambang emas Cina ini menghadap Sultan
Sambas mengenai potensi emas di Montraduk ini. Mendengar hal demikian Sultan Sambas
kemudian mengizinkan untuk membuka tambang emas di Montraduk oleh orang-orang Cina dengan
syarat bagi hasil yaitu sebagian hasil emas adalah untuk pekerja tambang dari Cina ini dan
sebagian hasil yang lain adalah untuk Sultan Sambas sebagai pemilik Negeri. Maka kemudian
dibukalah tambang emas di Montraduk pada sekitar tahun 1750 M yaitu tambang emas kedua
setelah di Mandor.

Sungguh di luar dugaan bahwa potensi emas di wilayah Kesultanan Sambas ini sangat melimpah
ruah. Setelah Montraduk berturut-turut dibuka lagi tambang emas di Seminis, Lara, Lumar yang
semuanya di wilayah Kesultanan Sambas dan memberikan hasil emas yang sangat memuaskan.
Sebagai dampaknya gelombang kedatangan orang-orang China semakin melimpah ke wilayah
Kalimantan Barat ini khususnya di wilayah Kesultanan Sambas. Mereka berdatangan berdasarkan
pertalian keluarga, sekampung halaman atau sesama kumpulan sehingga kemudian pada sekitar
tahun 1770 M telah ada sekitar lebih dari 20.000 orang-orang Cina pekerja tambang emas di
wilayah Kalimantan Barat ini yang sekitar 70 % dari jumlah pekerja tambang emas itu adalah berada
di wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk.

Pada sekitar tahun 1775 M datang pemuka masyarakat Hakka dari China yang bernama Lo Fong
Pak ke daerah Kongsi yang ada di Wilayah Kesultanan Sambas.

Pada Tahun 1776 M 14 buah Kongsi yang ada di wilayah Kalimantan Barat ini yaitu 12 Kongsi di
wilayah Kesultanan Sambas yang berpusat di Montraduk dan 2 buah Kongsi di wilayah
Panembahan Mempawah yang berpusat di Mandor menyatukan diri dalam wadah lembaga yang
bernama Hee Soon yaitu untuk memperkuat persatuan di antara mereka dari ancaman pertempuran
antara sesama Kongsi seperti yang telah terjadi antara Kongsi Thai Kong dan Lan Fong pada tahun
1774 M yang lalu. Salah satu dari 14 Kongsi itu adalah Kongsi Lanfong yang dihidupkan lagi oleh Lo
Fong Pak dengan Lo Fong Pak sendiri yang menjadi ketuanya.

Setahun kemudian yaitu pada tahun 1777 M Lo Fong Pak memindahkan lokasi Kongsi Lan Fong ke
lokasi lain di mana lokasi Kongsi Lan Fong yang baru ini tidak lagi diwilayah Kesultanan Sambas
tetapi adalah di wilayah Panembahan Mempawah yaitu Mandor (Tung Ban Lut).

Walaupun telah mempunyai Kelompok Induk yaitu Hee Soon, Kongsi-Kongsi ini tetap menyatakan
tunduk dibawah Sultan Sambas dan Panembahan Mempawah di mana 12 Kongsi tunduk dibawah
naungan Sultan Sambas dan 2 Kongsi tunduk dibawah naungan Panembahan Mempawah. Namun
Kongsi-Kongsi diberi kewenangan untuk mengangkat pemimpin Kongsi dan mengatur
pertambangan serta wilayah sekitarnya sesuai dengan lokasi tambangnya (semacam daerah
otonomi distrik).
Di Mandor, Lo Fong Pak, Ketua Kongsi Lan Fong kemudian menyatukan orang-orang Hakka yang
ada di wilayah Mandor dalam organisasi yang bernama San Shin Cing Fu (karena di wilayah
Mandor saat itu juga terdapat orang-orang Cina selain Suku Hakka / Khek yaitu orang Thio Ciu,
berbeda dengan Kongsi-kongsi Cina yang ada di wilayahKesultanan Sambas yang seluruhnya
adalah dari Suku Hakka / Khek).

Pada tahun 1778 M terjadi peninggkatan derajat kekuasaan di daerah Muara Sungai Landak di
mana Syarif Abdurrahman Al Qadri yang tadinya Ketua dari Kampung Pontianak (terbentuk pada
tahun 1771 M) yang terletak di Muara Sungai Landak kemudian pada tahun itu mengangkat dirinya
menjadi Sultan pertama dari Kesultanan Pontianak. BerdirinyaKesultanan Pontianak di Muara
Sungai Landak ini kemudian menimbulkan protes keras dari Raja Kerajaan Landak karena secara
historis wilayah muara Sungai Landak adalah merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Landak.
Namun VOC Belanda karena kepentingan ekonomi terhadap daerah muara Sungai Landak ini
kemudian berdiri di belakang Kesultanan Pontianak sehingga membuat Raja Landak mengendurkan
protes kerasnya.

Berkuasanya Sultan Syarif Abdurrahman di muara Sungai Landak sedikit banyak membuat Kongsi
Lan Fong bergantung pada aktivitas di muara sungai itu sehingga inilah salah satu yang kemudian
membuat Lo Fong Pak lebih dekat kepada Sultan Pontianak dibandingkan kepada Panembahan
Mempawah padahal Kongsi Lan Fong saat itu masih dibawah naungan dari Panembahan
Mempawah.

Pada tahun 1789 M, Sultan Pontianak dengan dukungan Belanda melakukan serangan terhadap
Panembahan Mempawah dengan tujuan merebut wilayah Panembahan Mempawah. Untuk
mendukung serangan ini Sultan Pontianak saat itu juga mengajak Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong
untuk ikut serta dalan serangan kepada Panembahan Mempawah ini dan Kongsi Lan Fong
kemudian juga mengirimkan pasukannya membantu pasukan Sultan Pontianak. Menghadapi
serangan ini, Panembahan Mempawah kalah yang kemudian Raja Panembahan Mempawah yaitu
mengundurkan dirinya ke daerah Karangan dan kemudian menetap disana.

Sejak saat itu hubungan Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) dengan Sultan Pontianak menjadi semakin
kuat dan dekat sehingga kemudian Lo Fong Pak (Kongsi Lan Fong) diberikan kewenangan yang
lebih luas lagi (semacam daerah otonomi khusus) namun tetap berada dibawah
naungan Kesultanan Pontianak. Peristiwa ini terjadi ketika usia Lo Fong Pak mencapai usia 57
tahun yaitu pada sekitar tahun 1793 M.

Cara Pemilihan Ketua Kongsi Lan Fan saat itu menurut pemahaman zaman sekarang ini adalah
sangat demokratis yaitu Ketua Kongsi dipilih melalui pemilihan umum oleh seluruh warga Kongsi.
Karena cara pemilihan ini sehingga oleh sebagian orang yang menterjemahkan tulisan Yap Siong
Yoen (anak tiri dari Kapitan Kongsi Lan Fang yang terakhir)dan tulisan J.J. Groot (sejarawan
Belanda) mengenai Kongsi Lan Fang yang di interpretasikan terlalu jauh sehingga Kongsi Lan Fang
diartikan adalah "Republik Lan Fang" padahal di dalam kedua-dua tulisan itu tidak ada kata
Republik. Disamping itu kata Republik adalah untuk sebutan bagi suatu negara / wilayah yang
merdeka sedangkan Kongsi Lan Fang saat walaupun mendapat status otonomi khusus namun tetap
berada dibawah naungan Kesultanan Pontianak sehingga bukan merupakan suatu negara merdeka.
Oleh karena itu apa yang disebut sebagai "Republik Lan Fang" itu tidak pernah ada, yang ada
adalah Kongsi Lan Fang yang mendapat status otonomi khusus dari Sultan Pontianak.

Lo Fang Pak kemudian terpilih kembali melalui sistem pemilihan umum untuk menjabat sebagai
Ketua Daerah Otonomi Kongsi Lan Fong, dan diberi gelar dalam bahasa Mandarin "Ta Tang Chung
Chang" atau Kepala Daerah Otonomi. Peraturan Kongsi Lan Fong menyebutkan bahwa posisi Ketua
dan Wakil Ketua Kongsi Lan Fong harus dijabat oleh orang yang berbahasa Hakka.

Pusatnya tetap di Mandor dan Ta Tang Chung Chang (Ketua Kongsi) dipilih melalui pemilihan
umum. Menurut aturannya, baik Ketua maupun Wakil Ketua Kongsi harus merupakan orang Hakka
yang berasal dari daerah Ka Yin Chiu atau Thai Pu. Benderanya berbentuk persegi empat berwarna
kuning, dengan tulisan dalam bahasa Mandarin "Lan Fang Ta Tong Chi". Bendera Lo Fong Pak
(Ketua Kongsi Lan Fong) berwarna kuning berbentuk segitiga dengan tulisan "Chuao" (Jenderal).
Para pejabat tingginya memakai pakaian tradisional bergaya Tionghoa, sementara pejabat yang
lebih rendah memakai pakaian gaya barat. Kongsi Lan Fong tersebut mencapai keberhasilan besar
dalam ekonomi dan stabilitas keamanan selama 19 tahun kepemimpinan Lo Fang Pak.

Dalam tarikh negara samudera dari Dinasti Qing tercatat adanya sebuah tempat di mana orang Ka
Yin (dari daerah Mei Hsien) bekerja sebagai penambang, membangun jalan, mendirikan negaranya
sendiri, setiap tahun kapalnya mendarat di daerah Zhou dan Chao Zhou (Teochiu) untuk berdagang.
Sementara dalam catatan sejarah Kongsi Lan Fong sendiri terungkap bahwa setiap tahun mereka
membayar upeti kepada Dinasti Qing seperti Annan (Vietnam).

Lo Fong Pak meninggal pada tahun 1795, tahun kedua dideklarasikannya Daerah Otonomi
Khusus tersebut (1793). Ia telah hidup di Kalimantan lebih dari 20 tahun. Pada usia ke 47 berdirinya
Kongsi Lan Fong tersebut, yaitu pada masa pemerintahan Ketua Kongsi kelima, Liu Tai Er (Hakka:
Liu Thoi Nyi), Belanda mulai aktif melakukan ekspansi di Indonesia dan menduduki wilayah
tenggara Kalimantan. Liu Tai Er terbujuk oleh Belanda di Batavia (kini Jakarta) untuk
menandatangani kesepakatan kerja sama dengan Belanda. Penandatanganan kesepakatan
tersebut kemudian membuat Kongsi Lan Fong dalam pengaruh Belanda. Munculnya
pemberontakan penduduk asli semakin melemahkan Kongsi Lan Fang. Kongsi Lan Fang kemudian
kehilangan otonomi dan beralih dari daerah dibawah naungan Sultan Pontianak menjadi sebuah
daerah protektorat Belanda. Belanda membuka perwakilan kolonialnya di Pontianak dan
mengendalikan sepenuhnya Kongsi Lan Fong dengan melantik Ketua Kongsie sebagai regent.

Pada tahun 1884 M Kongsi Thai Kong yang berpusat di Montraduk menolak diperintah oleh
Belanda, sehingga Kongsi Thai Kong diserang oleh Belanda. Belanda berhasil menduduki Thai
Kong Kongsi, namun kongsi tersebut mengadakan perlawanan selama 4 tahun. Perlawan Kongsi
Thai Kong terhadap Belanda ini juga kemudian melibatkan Kongsi Lan Fong sehingga Kongsi Lan
Fong kemudian juga diserang Belanda dan ditaklukkan Belanda, menyusul kematian Liu Asheng
(Hakka: Liu A Sin), Ketua Kongsi Lan Fong yang terakhir. Sebagian warga Kongsi Lan Fong
kemudian mengungsi ke Sumatera. Karena takut mendapat reaksi keras dari pemerintahan Qing,
Belanda tidak pernah mendeklarasikan Lan Fong sebagai koloninya dan memperbolehkan seorang
keturunan mereka menjadi pemimpin boneka.

Anda mungkin juga menyukai