A. Definisi
Bagi para penderita gagal ginjal, kegiatan cuci darah adalah suatu keharusan.
Biasanya, para penderita ini melakukan hemodialysis (cuci darah melalui mesin) 2-3 kali
dalam seminggu di Rumah Sakit. Namun, dalam 4 tahun terakhir mulai disosialisasikan
sebuah alternative dimana penderita dapat melakukan cuci darah sendiri di rumah.
Metode tersebut dikenal dengan Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD).
CAPD merupakan sebuah kateter yang dipasang di dalam perut, ke dalam rongga
peritoneum. Pemasangan ini dilakukan melalui tindakan operasi. Setelah kateter tersebut
terpasang, lalu digunakan cairan dialisat, yang sering dipakai adalah Dianel Baxter dari
Kalber untuk membilas rongga peritoneum tempat bersarang kateter. Ini berfungsi
sebagai sarana cuci darah yang berlangsung sepanjang hari. CAPD (Continous
Ambulatory Peritoneal Dialysis) / Dialeritoneal Dialysis) / Dialsis Peritoneal Mandiri
Berkesinambungan. Bedanya tidak menggunakan mesin khusus seperti APD. Dialysis
peritoneal diawali dengan masukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialysis) ke
dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Yang dimaksud
dengan kateter adalah selang plastic kecil (silicon) yang dimasukkan ke dalam rongga
peritoneal melalui pembedahan sederhana, kateter ini berfungsi untuk mengalirkan cairan
dialysis peritoneal keluar dan masuk rongga peritoneum. Ketika dialisat berada di dalam
rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan tubuh
akan ditarik ke dalam cairan dialisat (Surya Husada, 2012).
B. Etiologi
Klasifikasi penyebab gagal ginjal kronik antara lain:
1. Infeksi Tubulointestinal : Pielonefritis kronik atau refluks nefropati.
2. Penyakit Peradangan : Glomerulonefritis.
3. Penyakit Vaskular Hipertensif : Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
Stenosis Arteria Renalis.
4. Gangguan Jaringan Ikat : Lupus Aritematosus Sistemik
Polioarteritis Nadosa
Sklerosis Sistemik Progresif.
5. Gangguan Kongenital & Herediter : Penyakit Ginjal Polikistik
Asidosis Tubulus Ginjal.
6. Penyakit Metabolik : Diabetes Melitus, Gout
Hiperparatiroidisme
Amiloidosis.
7. Nefropati Toksik : Penyalahgunaan analgesic
Nefropati Timah.
8. Nefropati obstruksi
Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, fibrosis, retroperitoneal
Traktus urinarius bagian bawah : hipertrofi prostat, striktus uretra, anomaly
congenital leher vesika urinaria dan uretra
C. Komplikasi
1. Hipertensi
2. Hyperkalemia
3. Pericarditis
4. Anemia
5. Penyakit tulang
D. Manifestasi Klinis
1. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi
Pitting
edema
Edema periorbital
Pembesaran vena leher
Friction sub pericardial
2. Sistem pulmoner
Krekel
Nafas dangkal
Kusmaull
Sputum kental dan liat
3. Sistem gastrointestinal
Anoreksia, mual dan muntah
Perdarahan saluran GI
Ulserasi dan perdarahan mulut
Nafas berbau amonia
4. Sistem muskuloskeletal
Kram otot
Kehilangan kekuatan otot
Fraktur tulang
5. Sistem integumen
Warna kulit abu-abu mengkilat
Pruritis
Kulit kering bersisik
Ekimosis
Kuku tipis dan rapuh
Rambut tipis dan kasar
6. Sistem reproduksi
Amenorhoe
Atrofi testis
Keuntungan
Dibandingkan dengan hemodialisa, CAPD memiliki beberapa kelebihan, di antaranya
adalah:
1. Pasien gagal ginjal tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit
Pasien yang menjalani hemodialisis biasanya perlu berkunjung minimal tiga kali ke
rumah sakit atau klinik setiap minggunya. Masing-masing kunjungan membutuhkan
waktu sekitar 4 jam untuk proses hemodialisis. CAPD dapat dilakukan sendiri di
rumah tanpa membutuhkan mesin hemodialisis, maka pasien tidak perlu rutin
berkunjung ke rumah sakit atau klinik untuk cuci darah.
Peralatan CAPD biasanya hanya berupa kantong cairan dialisat, klip, dan kateter untuk
mengalirkan cairan dialisat ke dalam rongga perut. Karena mudah dibawa, CAPD
memungkinkan penggunanya lebih leluasa bepergian. CAPD juga lebih mudah
digunakan oleh pasien yang tinggal jauh dari rumah sakit atau fasilitas kesehatan.
Dengan CAPD, pasien gagal ginjal dapat mengontrol jumlah cairan di dalam tubuh
dengan lebih baik. Hal ini akan mengurangi beban kerja jantung dan tekanan di dalam
pembuluh darah.
Kerugian
Setiap prosedur medis pasti memiliki kelemahan. Artinya, di balik keunggulan CAPD
sekali pun, metode ini tetap memiliki risiko pada orang yang menjalaninya. Beberapa di
antaranya adalah:
1. Infeksi
Area kulit di sekitar kateter dapat terinfeksi oleh bakteri jika kebersihannya kurang
terjaga. Risiko terjadinya infeksi pada CAPD cukup tinggi karena pengguna perlu
membuka-tutup kateter dan melakukan pergantian cairan dialisat secara rutin. Ketika
masuk, bakteri dapat menginfeksi peritoneum dan menyebabkan peritonitis. Gejalanya
berupa demam tinggi, sakit perut, mual, muntah, dan cairan dialisat berwarna keruh.
2. Hernia
Pengguna CAPD akan menahan cairan dialisat di dalam rongga perut untuk waktu yang
lama. Kondisi ini memberikan tekanan pada dinding perut. Tekanan yang terus-menerus
akan menyebabkan kelemahan pada dinding perut. Akibatnya, organ di dalam perut,
seperti usus, dapat menonjol keluar dan membentuk hernia.
Cairan dialisat mengandung gula yang disebut dekstrosa. Terserapnya cairan ini dalam
jumlah yang berlebihan dapat menyebabkan tubuh kelebihan kalori dan mengalami
peningkatan berat badan. Hal ini juga dapat memperburuk penyakit diabetes.
Seiring berjalannya waktu, efektivitas CAPD dalam membersihkan darah bisa berkurang,
sehingga pasien gagal ginjal mungkin perlu beralih ke hemodialisis.
Dengan mempertimbangkan segala manfaat dan risiko CAPD, pasien gagal
ginjal diharapkan dapat memilih metode penyaringan cairan dan darah yang paling sesuai
untuk dirinya. Jangan ragu untuk berkonsultasi dengan dokter agar diberikan penjelasan
dan penanganan yang sesuai.
F. Kontraindikasi CAPD
1. Riwayat pembedahan abdominal sebelumnya (kolostomi, ileus, nefrostomi)
2. Adhesi abdominal
3. Nyeri punggung kronis yang terjadi rekuren disertai riwayat kelainanpada
discus intervertebalis yang dapat diperburuk dengan adanya tekanan cairan dialis
dalam abdomenyang kontinyu
4. Pasien dengan imunosupresi
Intoleransi Aktivitas
G. Prosedur tindakan CAPD
pemasangan CAPD dilakukan dengan pembedahan untuk pemasangan peritoneum dan
kateter untuk memasukan cairan dialisat. Setelah itu proses dialisis pun dapat dilakukan
dengan cairan dextrose.
Ketiga proses diatas dilakukan beberapa kali tergantung kebutuhan dan bisa dilakukan
oleh pasien sendiri secara mandiri setelah dilatih dan tidak perlu ke rumah sakit.
Proses pertukaran CAPD dilakukan biasanya 4 kali sehari setiap minggu rata-rata
diulangi 4 jam sekali. Cairan dialisat dimasukkan sebanyak 2 liter setiap pergantian.
Sebelum pemasangan CAPD obat-obat yang biasanya diberikan seperti antibiotik, BP
medicine, obat hiperglikemia, serta vitamin dan mineral.
Untuk pergantian cairan harus memenuhi persyaratan kebersihan seperti clean water,
memakai sarung tangan, masker, mencuci tangan, dan dilakukan di tempat yang bersih.
J. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa 1 : Kelebihan volume cairan
Definisi Kelebihan Volume Cairan merupakanPeningkatan retensi cairan
isotonik
Batasan Karakteristik:
Ada bunyi jantung S3
Anasarka
Ansietas
Asupan melebihi haluran
Azotemia
Bunyi nafas tambahan
Dispnea
Dispnea nokturnal proksismal
Distensi vena jugularis
Edema
Efusi pleura
Gangguan pola nafas
Gangguan tekana darah
Gelisah
Hepatomegali
Ketidakkeseimbangan elektrolit
Kongesti pulmonal
Oliguria
Ortopnea
Penambahan berat badan dalam waktu sangat singkat
Peningkatan tekanan vena sentral
Penurunan hematokrit
Penurunan hemoglobin
Penurunan berat jenis urin
Perubahan status mental
Perubahan tekanan ateri pulmonal
Refleks hepatojugular positif
Faktor yang berhubungan :
Gangguan mekanisme regulasi
Kelebihan asupan cairan
Kelebihan asupan natrium
NOC: · Fluid balance · Hydration · Nutritional Status : Food and Fluid
Intake Kriteria Hasil :
Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine
normal, HT normal
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran
mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
NIC/ Intervensi Fluid management
Timbang popok/pembalut jika diperlukan
Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi adekuat,
tekanan darah ortostatik), jika diperlukan
Monitor hasil lAb yang sesuai dengan retensi cairan (BUN , Hmt ,
osmolalitas urin )
Monitor vital sign
Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori harian
Kolaborasi pemberian cairan IV
Monitor status nutrisi
Berikan cairan
Berikan diuretik sesuai interuksi
Berikan cairan IV pada suhu ruangan
Dorong masukan oral
Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )
Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk
Atur kemungkinan tranfusi
Persiapan untuk tranfusi
Tujuan dan Kriteria hasil (outcomes kriteria):
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... X 24 jam diharapkan
volume cairan tubuh px normal dengan
Kriteria Hasil :
1. Tekanan darah (skala 1-5)
2. Tekanan arteri rata-rata (skala 1-5)
3. Keseimbangan intake dan output dalam 24 jam (skala 1-5)
4. Berat badan stabil (skala 1-5)
Intervensi dan Rasional
No Intervensi Rasional
1 Manajemen Hipervolemia : Agar mengetahui
1. Monitor intake dan output perkembangan pemasukan
dan pengeluaran cairan
2 Timbang berat badan tiap hari dengan Agar mengetahui berapa
waktu yang tetap/sama (misalnya, setelah output cairan dan
buang air, sebelum serapan) dan monitor perkembangan cairan di
kecendrungannya dalam tubuh
3 Monitor integritas kulit pada pasien yang Agar dapat mencegah
mengalami imobilisasi dengan edema terjadinya perlukaan yang
dependen ditimbulkan dari edema
4 Manajemen cairan : Agar mengetahui luasnya
1. Kaji lokasi dan luasnya edema, jika ada edema agar tidak terjadi
perlukaan
5 Monitor tanda vital pasien Agar mengetahui
perkembangan kesehatan
pasien
6 Jaga intake/asupan yang akurat dan catat Agar mengetahui
output (pasien) perkembangan intake dan
output cairan normal
DAFTAR PUSTAKA
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. (2018). APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis dan NANDA NIC-NOc. Jogjakarta: Meadiacion
Colangelo, L.A., et. al. (2013). Association of Sex Hormones and SHBG with Depressive
Symptoms in Post-menopausal Women: the Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis.
NIH Public Access, Author Manuscript, 2013 August ; 19(8): 877–885.
doi:10.1097/gme.0b013e3182432de6. Diakses tanggal 27 Agustus 2017
Isro’in, Laily. (2016). Manajemen Cairan pada Pasien Hemodialisis Untuk Meningkatkan
Kualitas Hidup di RSUD Dr. Harjono Ponorogo. jurnal.umy.ac.id . Diakses tanggal 8
Agustus 2017
Rosdahl, Caroline Bunker & Mary T. Kowalski. (2012). Buku Keperawatan Dasar; alih bahasa
Setiawan dan Anastasia Onny.-Ed.10-. Jakarta: EGC