Anda di halaman 1dari 36

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim,

Assalamualaikum Wr.Wb.

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karuniaNya kepada kami,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah dengan judul “Perawatan pada Kelompok Rentan” pada mata
kuliah Manajemen bencana di STIKES YARSI SUMBAR BUKITTINGGI tepat pada
waktu yang telah ditentukan.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Untuk itu,dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada rekan-
rekan yang telah membantu.

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan


kemampuan penulis.Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sehingga kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Suliki,03 Juni 2019

Kelompok l

1
Page

DAFTAR ISI
Kata Pengantar
…………………………………………………………………………………………
………………
Daftar Isi
…………………………………………………………………………………………
…………………………
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
…………………………………………………………………………………………
………….
1.2.Rumusan Masalah
…………………………………………………………………………………………
…….
1.3.Tujuan
…………………………………………………………………………………………
………………………
1.4.Manfaat
…………………………………………………………………………………………
……………………
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Kelompok Rentan
……………………………………………………………………………..
2.2.Identifikasi Kelompok Beresiko
…………………………………………………………………………..
2.2.1. Anak-anak
…………………………………………………………………………………………
………….
2.2.2.Ibu Hamil,menyusui dan
Bayi………………………………………………………………………….
2.2.3.Lansia
…………………………………………………………………………………………
……………………
2

2.2.4.Individu Disabilitas dan Penyakit Kronis


Page

………………………………………………….....
2.3.Tindakan Yang Sesuai Untuk kelompok Rentan
………………………………………………….
2.3.1.Kelompok Beresiko pada Anak-anak
…………………………………………………2.3.2.Kelompok Beresiko pada
Ibu hamil,Menyusui dan Bayi……………………………
2.3.3.Kelompok Beresiko pada Lansia
……………………………………………………………………..
2.3.4.Kelompok Beresiko pada Individu Disabilitas dan Penyakit Kronis
………………….
2.4.Sumber Daya yang Tersedia dilingkungan Untuk Kebutuhan Kelompok
Beresiko..
2.5.Lingkungan yang sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko
………………………..
BAB 3 PENUTUP
3.1.Kesimpulan
…………………………………………………………………………………………
…………….
3.2.Saran
…………………………………………………………………………………………
………………………
DAFTAR PUSTAKA
…………………………………………………………………………………………
…………

BAB 1
PENDAHULUAN
3

1.1.Latar Belakang
Page
Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang
besar.Banyak korban yang selamat menderita sakit dan cacat.Rumah,tempat kerja ,
ternak dan peralatan menjadi rusak atau hancur.Korban juga mengalami dampak
psikologis akibat bencana, misalnya ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa
secara emosional dan kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang dampak ini
memudar dengan berjalannya waktu.Tapi untuk kebanyakan orang lain,bencana
memberikan dampak psikologis jangka panjang , baik yang terlihat jelas misalnya
depresi , psikosomatis ( keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis ) ataupun
yang tidak langsung : konflik,hingga perceraian.

Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respon langsung terhadap


kejadian traumatik dari bencana.Namun gejala-gejala yang lain juga akan
menyusul,ini adalah dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat
mengancam berbagai golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak ,
remaja , wanita dan lansia.

Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik,
banyak korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan,
gangguan stress pasca trauma, dan gangguan emosi lainnya.Bahkan lebih dari dampak
fisik dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang,
mereka akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social merusak nilai-nilai luhur
yang mereka miliki.

Menurut Departemen Hukum dan Hak Asasi manusia, kelompok rentan adalah
semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat
yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang
harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi social yang sedang
mereka hadapi.Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat
dapat mempengaruhi atau
4
Page
membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak mendapatkan perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang
rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan dan penyandang cacat. Dalam
konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai perawatan kelompok rentan
pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam makalah kami yang berjudul “
Perawatan Pada Kelompok Rentan”

1.2.Rumusan Masalah

1.2.1.Apakah yang dimaksud dengan bencana ?

1.2.2.Bagaimana fase- fase bencana ?

1.2.3.Apakah yang dimaksud dengan kelompok rentan ?

1.2.4.Bagaimana mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan ?

1.2.5.Apa sajakah tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan

1.3.Tujuan

1.3.1.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan bencana

1.3.2.Untuk mengetahui fase- fase bencana

1.3.3.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan

1.3.4.Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan

1.3.5.Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan

1.4.Manfaat
5
Page
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu masyarakat
maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada kelompok rentan
karena hal tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mitigasi
bencana.

BAB 2
PEMBAHASAN
6
Page
2.1. Pengertian Bencana
Definisi dan Jenis Bencana
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam
dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis. Definisi tersebut menyebutkan bahwa bencana disebabkan oleh
faktor alam, non alam, dan manusia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2007 tersebut juga mendefinisikan mengenai bencana alam, bencana nonalam,
dan bencana sosial.
Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami,
gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non
alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi. dan
wabah penyakit. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atauserangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial
antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

2.2.Tahapan Bencana
Disaster atau bencana dibagi beberapa tahap yaitu : tahap pra-disaster, tahap serangan
atau saat terjadi bencana (impact), tahap emergensi dan tahap rekonstruksi. Dari ke-
empat tahap ini, tahap pra disaster memegang peran yang sangat strategis.
a.Tahap Pra-Disaster
Tahap ini dikenal juga sebagai tahap pra bencana, durasi waktunya mulai saat
sebelum terjadi bencana sampai tahap serangan atau impact. Tahap ini dipandang oleh
para ahli sebagai tahap yang sangat strategis karena pada tahap pra bencana ini
masyarakat perlu dilatih tanggap terhadap bencana yang akan dijumpainya kelak.
Latihan yang diberikan kepada petugas dan masyarakat akan sangat berdampak
kepada jumlah besarnya korban saat bencana menyerang (impact), peringatan dini
7

dikenalkan kepada masyarakat pada tahap pra bencana.


Page
b.Tahap Serangan atau Terjadinya Bencana (Impact phase)

Pada tahap serangan atau terjadinya bencana (Impact phase) merupakan fase
terjadinya klimaks bencana. Inilah saat-saat dimana, manusia sekuat tenaga mencoba
ntuk bertahan hidup. Waktunya bisa terjadi beberapa detik sampai beberapa minggu
atau bahkan bulan. Tahap serangan dimulai saat bencana menyerang sampai serang
berhenti.

c.Tahap Emergensi ( post impact phase )

Tahap emergensi dimulai sejak berakhirnya serangan bencana yang pertama.Tahap


emergensi bisa terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan. Pada tahap
emergensi, hari-hari minggu pertama yang menolong korban bencana adalah
masyarakat awam atau awam khusus yaitu masyarakat dari lokasi dan sekitar tempat
bencana. Karakteristik korban pada tahap emergensi minggu pertama adalah : korban
dengan masalah Airway dan Breathing (jalan nafas dan pernafasan), yang sudah
ditolong dan berlanjut ke masalah lain, korban dengan luka sayat, tusuk, terhantam
benda tumpul, patah tulang ekstremitas dan tulang belakang, trauma kepala, luka
bakar bila ledakan bom atau gunung api atau ledakan pabrik kimia atau nuklir atau
gas. Pada minggu ke dua dan selanjutnya, karakteristik korban mulai berbeda karena
terkait dengan kekurangan makan, sanitasi lingkungan dan air bersih, atau personal
higiene. Masalah kesehatan dapat berupa sakit lambung (maag), diare, kulit, malaria
atau penyakit akibat gigitan serangga.

d.Tahap Rekonstruksi
Pada tahap ini mulai dibangun tempat tinggal, sarana umum seperti sekolah, sarana
ibadah, jalan, pasar atau tempat pertemuan warga. Pada tahap rekonstruksi ini yang
dibangun tidak saja kebutuhan fisik tetapi yang lebih utama yang perlu kita bangun
kembali adalah budaya. Kita perlu melakukan rekonstruksi budaya, melakukan re-
orientasi nilai-nilai dan norma-norma hidup yang lebih baik yang lebih beradab.
Dengan melakukan rekonstruksi budaya kepada masyarakat korban bencana, kita
berharap kehidupan mereka lebih baik bila dibanding sebelum terjadi bencana.
Situasi ini seharusnya bisa dijadikan momentum oleh pemerintah untuk membangun
kembali Indonesia yang lebih baik, lebih beradab, lebih santun, lebih cerdas hidupnya
lebih memiliki daya saing di dunia internasional.
8
Page

2.2. Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU NO.24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi
bencanaadalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan
adanya kekurangan dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi
menjadi beresiko lebih besar, meliputi: bayi, balita, anak-anak, ibu hamil dan
menyusui, penyandang cacat/ disabilitas, dan orang lanjut usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan secara
rinci. Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa
setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok
masyarakat yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita
hamil, dan penyandang cacat. Sedangkan menurut Human Right Reference yang
dikutip oleh Iskandar Husein disebutkan bahwa yang tergolong dalam Kelompok
Rentan adalah :
1.Refuges ( pengungsi )
2.Internally Displaced Persons ( IDPs ) adalah orang-orang yang terlantar / pengungsi
3.National Minorities (Kelompok minoritas )
4.Migran Workers ( pekerja migrant )
5.Indegenous Peoples ( orang pribumi / penduduk asli dari tempat pemukimannya )
6.Childrens ( anak-anak )
7.Women ( perempuan )
Menurut Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan
adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati
standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu
masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai
kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari pemerintahan karena kondisi
social yang sedang mereka hadapi.
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai :
1.mudah terkena penyakit
2.peka, mudah perasa.
Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup menolong diri sendiri, sehingga
memerlukan bantuan orang lain. Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai
kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis
9

dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah sehingga mudah
Page

dipengaruhi.
2.2. Identifikasi Kelompok Beresiko
Undang-undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
mengartikan bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan
mengancam kehidupan dan penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun
manusia, ataupun keduanya. Untuk menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat
bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak termasuk keterlibatan perawat yang
merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya terbanyak didunia dan salah satu
petugas kesehatan yang berada di lini terdepan saat bencana terjadi. Peran perawat
dapat dimulai sejak tahap mitigasi ( pencegahan ), tanggap darurat bencana dalam
fase pre hospital dan hospital hingga tahap recovery.
Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang
lebih rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian
dan penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana.
Kelompok- kelompok ini diantaranya : anak-anak, perempuan terutama ibu hamil dan
menyusui, lansia, individu – individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan.
Identifikasi dan pemetaan kelompok beresiko melalui pengumpulan informasi dan
data demografi akan mempermudahperencanaan tindakan kesiap siagaan dalam
menghadapi kejadian bencana di masyarakat (Morrow , 1999 , Powers & Daily , 2010
; World Health Organization ( WHO ) & international Council of Nursing ( ICN ) ,
2009 ) .

2.2.1.Anak – anak
Anak – anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuanmereka melarikan diri dari bahaya. Ketika Pakistan diguncang
gempa Oktober 2005 , sekitar 16.000 anak meninggal dunia karena gedung sekolah
mereka runtuh. Tanah longsor yang terjadi di Leyte , Filipina , beberapa tahun yang
lalu mengubur lebih dari 200 anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas (
Indriyani 2014 ). Diperkirakan sekitar 70% dari semua kematian akibat bencana alam
maupun bencana yang disebabkan oleh manusia ( Powers & Daily , 2010 ).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia
10

kehilangan satu atau dua orang tua saat kejadian Tsunami 2004. Terdapat juga laporan
Page
adanya perdagangan anak ( Child Trafficking ) yang dialami oleh anak-anak yang
kehilangan orang tua / wali ( Powers & Daily , 2010 ).
Pasca bencana, anak-anak beresiko mengalami masalah – masalah kesehatan
jangka pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi,
penyakit – penyakit infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi,
ketidakmampuan melindungi diri sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas, dan
kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat mengancam jiwa jika tidak diidentifikasi
dan ditangani oleh petugas kesehatan ( Powers & daily, 2010; Veenema , 2007 ).
Anak yang mengalami bencana merasakan kesakitan yang mendalam pada
rohani dan jasmani. Rasa takut, rasa sakit dan kesedihan mereka itu bukanlah hal yang
mudah dibayangkan.Tidak hanya "masa sekarang" bagi anak, bencana juga
mempengaruhi kehidupan "masa depan" bagi anak-anak dari berbagai sisi. Perawatan
psikologis pada anak-anak yang menerima pukulan hebat karena ketakutan dan
mengalami rasa kehilangan saat bencana adalah tantangan utama yang harus ditangani
dengan serius. Sebab perkembangan gangguan stres akut (disingkat ASD: Acute
Stress Disorder) dangangguan stres pasca trauma (disingkat PTSD:Post Traumatic
Stress Disorder) yang mengarah pada gangguan yang lebih serius dapat ditanggulangi
dengan mengenali reaksi stres dan menguranginya secara tepat. Stres pada anak yang
disebabkan oleh bencana tidak hanya dipengaruhi oleh skala bencana serta tingkat
kerusakan atau kehilangan, tetapi juga dipengaruhi oleh usia anak itu sendiri, orang-
orang yang berada di samping mereka ketika bencana, tingkah laku dan respon dari
orang tua serta anggota keluarganya. Stres anak berhubungan dengan stres pengasuh
mereka, maka anak merasa terancam dan ketakutan baik secara langsung maupun
tidak langsung dengan melihat dan merespon pada reaksi stres orang tua/ pengasuh.
Reaksi stres pada anak muncul dalam 3 aspek, yaitu fisiologis, emosi, dan tingkah
laku. Meskipun tidak ada masalah penyakit dalam, mereka menunjukkan gejala fisik
seperti mualmual; sakit perut; diare; sakit kepala; konsumsi susu yang buruk; panik
karena ketakutan pada pemandangan atau bunyi sepele yang mengingatkan peristiwa
yang menakutkan; menangis pada malam hari; susah tidur; bermimpi buruk berkali-
kali; tidak bisa konsentrasi untuk belajar; melamun tanpa ekspresi wajah; melakukan
tindakan yang tidak realistis; memperlihatkan tingkah laku yang menakutkan seolah-
olah mereka berada dalam situasi bencana; tidak tenang dan gelisah; perilaku seperti
11
Page
bayi, sebagai contoh minta digendong, mengisap ibu jari, tidak mau pisah dari orang
tua, seperti terlihat pada Tabel dibawah ini :

Tabel Reaksi Stres Anak


Gejala Somatik(badan) Gejala Mental (pikiran) Reaksi Stres (tindakan)
Sakit kepala Reaksinya lambat Mengamuk
Sakit perut Kembalinya rasa takut Perselisihan
Kelelahan Gangguan tidur Gelisah Menangis
Muntah Perasaan kesepian Merasa Tindakan yang berlebihan
Diare tersisihkan Depresi Marah Menarik diri
Batuk Perasaan bersalah Isolasi sosial
Rambut rontok Kelumpuhan daya pikir Anorexia
Rambut putih/Uban Kebingungan Makan berlebihan
Atopi Tidak ada semangat Kembali menjadi anak-
Menggigil Kehilangan daya ingat anak
Kepanasan sesaat Tidak dapat Tic (gerakan otot-otot
Gemetar Pusing/Puyeng memutuskan wajah
Kesemutan yang tidak terkendali)
Gagap

Sebagai tambahan, fenomena karakteristik anak-anak dapat dilihat dalam


permainannya setelah bencana,seperti: ”bercerita kembali (retelling)”dengan
menceritakan tentang pengalaman bencana mereka secara berulang; bermain “gempa
bumi” dan “menguburnya hidup-hidup” dalam tema bencana dan
menggambarkannya. Hal ini bukan untuk kesenangan mereka dalam bermain, tetapi
dianggap sebagai reaksi stres setelah bencana. Dapat diterangkan bahwa reaksi seperti
itu adalah tanda bahwa mereka perlu dukungan seseorang. Saat ini, keberadaan anak
yang dapat bertahan dari stres yang sangat kuat dan tumbuh secara adaptif telah
menarik perhatian.Penelitian terhadap “Resilience”, yaitu kekuatan pemulihan, daya
elastisitas, dan tenaga pemulihan secara cepat dari berbagai kerusakan dan penyakit
telah dikembangkan. Dengan penelitian ini, pandangan umum bahwa anak-anak
seharusnya dilindungi secara menyeluruh dari dampak yang lebih serius akibat
12

pengalaman bencana telah ditekankan untuk direvisi. Anak-anak mempunyai


Page
kekuatan untuk bertahan dari kejadian sekalipun mereka berada di lingkungan yang
memprihatinkan seperti bencana. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa anak-anak
dapat terus tumbuh dan berkembang asal mereka dilengkapi dengan bantuan dan
dukungan yang tepat.

2.2.2. Ibu hamil,menyusui dan bayi baru lahir


Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu
vital yang memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu , intervensi
– intervensi kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar
international perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakandalam semua stase
penanganan bencana ( Klyman, kouppari, & Mukhier , 2007 ).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa
pola kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak
terlalu konsisten. Pola ini menempatakan perempuan, terlebih lagi yang hamil,
menyusui, dan lansia lebih beresiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam
situasi darurat
( Enarson, 2000, Indriyani, 2014, Klynman et al, 2007 ).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul “ Women, Disaster Rduction,
and Sustainable Development “ menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak
bencana yang lebih berat. Dari 120.000 orang yang meninggal dunia karena badai
Siklon di Bangladesh tahun 1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah
terbesar. Hal ini disebabkan karena norma kultural membatasi akses mereka terhadap
peringatan bahaya dan akses ke tempat perlindungan ( Fatimah, 2009 dikutip dalam
Indriyani, 2014 ).
Kejadian bencana akan berdampak terhadap stabilitas
tatananmasyarakat.Kelompokmasyarakat rentan (vulnerability) harus mendapatkan
prioritas. Salah satu kelompok rentan
dalam masyarakat yang harus mendapatkan prioritas pada saat bencana adalah ibu
hamil,
ibu melahirkan dan bayi.Penelitian di beberapa negara yang pernah
mengalamibencana,
menunjukan adanya perubahan pada kelompok ini selama kejadian bencana. Bencana
13

bom
Page
World Trade Center (September, 2000) berdampak terhadap kejadian BBLR (berat
bayi lahir
rendah) pada ibu-ibu melahirkan di New York.
Di bawah ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan dampak
bencana
pada ibu hamil, melahirkan dan bayi. Dampak bencana yang sering terjadi adalah
abortus
dan lahirprematur disebabkan oleh ibu mudah mengalami stres, baik karena
perubahan
hormon maupun karena tekanan lingkungan/stres di sekitarnya. Efek dari stres ini
diteliti
dengan melakukan riset terhadap ibu hamildi antara korban gempa bumi. Penelitian
mengambil tempat di Cili selama tahun 2005, di saat gempa bumi Tarapaca sedang
mengguncang daerah tersebut. Penelitian sebelumnya telah mengamati efek stres pada
wanita hamil, namun yang berikut ini memfokuskan pada dampak stres pada waktu
kelahiran bayi serta dampaknya pada kelahiran bayi perempuan atau laki-laki.
Hasilnya, ibu
hamil yang tinggal di area pusat gempa, dan mengalami gempa bumi terburuk pada
masa
kehamilan dua dan tiga bulan, memiliki risiko melahirkan prematur yang lebih besar
dari
kelompok lainnya. Pada ibu hamil yang terekspos bencana alam di bulan ketiga
kehamilan,
peluang ini meningkat hingga 3,4%. Tidak hanya itu, stres juga menjadi salah satu
faktor
yang menyebabkan keguguran.
Selain itu, saat bencana ibu hamil bisa saja mengalami benturan dan luka yang
mengakibatkan perdarahan atau pelepasan dini pada plasenta dan rupture uteri.
Keadaan
ini dapat mengakibatkan gawat janin dan mengancam kehidupan ibu dan janin. Itulah
sebabnya ibu hamil dan melahirkan perlu diprioritaskan dalam penanggulangan
bencana alasannya Karena disitu ada dua kehidupan.
14
Page

2.2.3.Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan
ekonomik saat dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan
mobilitas fisik dan / atau karena mengalami masalah kesehatan kronis ( Klynman et
al, 2007 ). Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban kematian akibat dari badai
Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang hidup mandiri
sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di panti jompo setelah bencana alam itu
terjadi ( Powers & Daily, 2010 ).
Pada bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca
bencana. Hak – hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang – kadang terlupakan yang
dapat memperparah masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (
Klynman et al, 2007).
Kelompok lansia terbentuk dari setiap individu yang dipengaruh oleh gaya hidup, ciri
khas keluarga, sumber daya sosial dan ekonomi, budaya dan adaptasi, lingkungan,
struktur gen, dan sebagainya. Peningkatan usia akan menurunkan homeostasis,
penurunan fungsi berbagai organ tubuh, daya kesiapan dan daya adaptasi menurun,
melemah dan sering sakit karena banyak stresor akan bermunculan pada saat
bencana.Efek dari bencana akan berbeda tergantung pada level penurunan fungsi
tubuh, homeosatits, adaptasi dan sebagainya. Lansia selama hidupnya telah memiliki
beberapa pengalaman kehilangan. Bencana pun akan menambah pengalaman
kehilangan.Respon dari lansia ada beberapa hal yang sama dengan anak, yakni
menjadi emosional, mengasingkan diri, bertindak seakan-akan kembali ke masa
kanak-kanak. Respon pada saat kejadian pun beraneka ragam seperti kegelisahan dan
ketakutan baik yang disadari maupun tidak disadari. Lansia juga mengalami
kesendirian dalam menjalani kehidupan sehari-hari karena sudah kehilangan pasangan
atau berpisah dari anak/cucu yang sudah menikah dan memiliki kehidupan rumah
tangga sendiri. Dilihat dari kartu keluarga yang ada di Jepang, jumlah lansia yang
menjadi kepala keluarga sekitar 20% dari seluruh kepala keluarga.Struktur seperti ini
mempersulit perolehan keamanan dan bantuan (support) dari orang-orang yang dekat.
Jika melihat sisi ekonomi, penyokong nafkah lansia adalah lansia itu sendiri, dan
banyak yang hidup dari uang pensiunan. Kehilangan rumah dan harta akan
mengakibatkan kehilangan harapan untuk membangkitkan kehidupan dan harapan
15

untuk masa depan.


Page
2.2.4.Individu dengan Keterbatasan Fisik (Kecacatan ) dan Penyakit Kronis
Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan
diseluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10 % dari populasi global. 80% diantaranya
tinggal di Negara berkembang. Angka ini terus meningkatseiring dengan peningkatan
jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di bidang kesehatan (
Klynmanet al, 2007 ).
Di Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand forks, North Dakota pada
tahun 1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban
bencana yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di
California tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran tidak memahami
level bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang mereka pahami (
Powers & Daily, 2010 ).
Orang cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami beresiko sangat
rentan saat terjadi bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di
masyarakat dan tidak dilibatkan pada semua level kesiap siagaan, mitigasi, dan
intervensi penanganan bencana
( Klynman et al,2007 ).

2.3.Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Bencana


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok – kelompok rentan
diatas, petugas – petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu (Morrow, 1999 & Daily, 2010 ) :
1. Mempersiapkan peralatan – peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-kelompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak,alat
bantu untuk individu cacat, alat – alat bantuan persalinan, dll.
2. Melakukan pemetaan kelompok – kelompok rentan.
3. Merencanakan intervensi – intervensi untuk mengatasi hambatan informasi
dan komunikasi.
4. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat di akses .
5. Menyediakan pusat bencana yang dapat di akses.
16
Page
Adapun tindakan – tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan pada
pembahasan berikut ( Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency /
FEMA, 2010; Klynman et al, 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007 ) :

2.3.1. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Anak-anak


Pra Bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiap siagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi.
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak saat
bencana.
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok beresiko.
d. Solusi Terhadap Reaksi Stres
Reaksi stres pada anak adalah perwujudan usaha mereka untuk mencoba
berasimilasidan berintegrasi dengan luka mental yang disebabkan oleh
bencana sedikit demi sedikit,dan ini merupakan reaksi normal. Oleh
karena itu, penting bagi orang dewasa yang ada di sekitarnya untuk
mendukung anak dengan pengetahuan yang benar sehingga mereka
dapatmemahami ketakutan dan kegelisahan yang dialami oleh anak.
Berikut beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai solusi terhadap reaksi
stress pada anak akibat bencana, antara lain:
1. Mengenali reaksi stres pada anak
Agar dapat mengenali reaksi stres anak, hal yang efektif adalah dengan
mendengarkanorang tua mereka, orang dewasa dan anak/teman yang
mengetahui keadaan normal anak yang bersangkutan. Ini juga efektif
untuk mengamati bagaimana cara mareka menghabiskan waktu,
bermain, bertindak sesuai dengan usia mereka, dan berhubungan
dengan lingkungan orang-orang disekitarnya.
2. Mendukung keluarga/pengasuh dan orang dewasa di sekitarnya untuk
menyokonganakPerawat harus mendukung dengan menyampaikan hal-
hal penting berikut ini kepadakeluarga/pengasuh dan orang dewasa di
sekitarnya yang memberikan dukungan pada anak:
17
Page
a) Menghabiskan lebih banyak waktu bersama anakdan tidak
membiarkan merekasendirian
b) Mendengarkan ungkapan ketakutan mereka
c) Berusaha untuk menerima rasa sedih dari anak, bukan memaksakan
mereka untuk tidak bersedih
d) Memperlakukan anakdengan penuh kasih sayang dan kesabaran
karena reaksi stress adalah sebuah tanda dari anak yang membutuhkan
perlindungan
e) Memperhatikan sehingga anak dapat diikutsertakan dalam proses
untuk memutuskan pada masalah dan solusi yang berkaitan dengan
anak serta menghargai pendapat anak.
3. Menjelaskan fakta bencana kepada anak
Jika anak tidak mengetahui bagaimana bencana dapat terjadi dan
seperti apa bencana itu, maka akan memperkuat rasa ketakutan
anak.Oleh karena itu, perawat perlu menjelaskan tentang bencana yang
sebenarnya sesuai dengan usia anak sehingga mereka dapat memahami
apa yang terjadi. Bukan cerita/dongeng rekaan yang dibutuhkan oleh
anak, tetapi penjelasan sesuai dengan fakta bencana. Penting juga
untuk menjawab apa yang ingin diketahui oleh anak, menjelaskan
seperti apa tipe bencana itu, bagaimana dan kapan bisa terjadi,
bagaimana kita bereaksi terhadap bencana, apa yang akan terjadi
setelah
bencana, termasuk risiko bencana yang kedua.Penanganan dan
penjelasan seperti ini dapat
mengurangi rasa ketakutan anak.
4. Berbagi perasaan dan pengalaman serta membantu agar mudah
mengungkapkanperasaan
Mendiskusikan perasaan dan pengalaman anak dan memberi
kesempatan untukberbagi rasa akan bermanfaat untuk mengurangi
kegelisahannya. Walaupun demikian,perawat tidak seharusnya
memaksakan anak untuk bercerita tentang perasaan dan pengalaman
mereka karena terkadang ada saat-saat mereka tidak ingin bercerita.
18

Beberapa anak yang memiliki kesulitan untuk mengungkapkan


Page

perasaan dan pengalaman mereka


dengan kata-kata, namun dapat menyatakan dengan jelas melalui
gambar-gambar. Bila ada orang dewasa yang dapat dipercaya selalu
berada di samping anak yang sedang menggambar atau dapat berbagi
perasaan dan pengalaman dengannya, maka ketakutan dan perasaan
tidak berdaya akan dapat diatasi sedikit demi sedikit. Lebih dari itu,
ungkapan perasaan melalui aktivitas bercerita kembali atau
menggambar dapat memberikan rasa
aman bahwa mereka tidak sendiri.
5. Mendukung anak sehingga mereka dapat melanjutkan kegiatan rutin
Langkah pertama untuk membuat anak nyaman adalah melakukan
kembali
rutinitasnya, seperti mencuci muka ketika bangun pagi, menggosok
gigi setelah makan,pergi ke sekolah dan belajar, serta bermain dengan
teman. Sekolah, TK, dan play group menjadi tempat dimana
memberikan kenyamanan kepada anak, maka sarana tersebut

Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbangan pediatric dalam system triase standar
yang digunakan saat bencana.
b. Lakukan pertolongan kegawat daruratan kepada bayi dan anak sesuai
dengan tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan
aspek tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan
khusus untuk anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa.
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari oang tuanya,
keluarga atau wali mereka.
Pasca Bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
19

d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan


Page

emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada dilokasi
evakuasi sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi, mengurangi
resiko kejadian depresi pada anak pasca bencana
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkungan yang aman untuk mereka.

2.3.2. Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada Ibu Hamil,Menyusui
dan Bayi
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam
merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan,
ibu hamil dan janinnya.
Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan sirkulasi darah,
peningkatan kebutuhan oksigen dan lain-lain sehingga lebih rentan saat bencana dan
setelah bencana
( Farida, Ida. 2013 ).
Menurut Ida Farida ( 2013 ) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan
ibu hamil :
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu
menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan
mengurangi volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas
dan terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah
keamanannya. Hal yang perlu dipersiapkan adalah air bersih dan steril dan
obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat
perawatan selanjutnya yang lebih memadai.
Pra Bencana
a. Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
20

bencana
Page

b. Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan


c. Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
d. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
e. Membekali ibu hamil pengetahuan mengenai umur kehamilan, gambaran
proses kelahiran, ASI eksklusif dan MPASI
f. Menyiapkan stok obat khusus untuk ibu hamil dalam logistik bencana
seperti tablet Fe dan obat hormonal untuk menstimulasi produksi ASI.

Saat Bencana
Ibu hamil dan melahirkan perlu diprioritaskan dalam penanggulangan bencana
alasannya karena ada dua kehidupan dan adanya perubahan fisiologis. Perawat harus
ingat bahwa dalam merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong
janinnya. Sehingga, meningkatkan kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat
melindungi dua kehidupan.
1. Pengkajian
Pengkajian kesehatan yang harus dilakukan pada ibu hamil dan bayi atau janin
saat terjadi bencana, meliputi:
a. Ibu Hamil
Ibu hamil harus dikajiberat badan, pembengkakan kaki, dan darah. Berat
badan diukur dengan timbangan badan. Hasil pengukuran saat ini
dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya untuk mengkaji peningkatan
berat badan yang dihubungkan dengan ada atau tidak adanya oedema. Kalau
tidak ada timbangan, mengamati oedema harus selalu dicek dengan menekan
daerah tibia. Ibu hamil yang mengalami oedema juga sulit menggenggam
tangannya, atau menapakkan kakinya ke dalam sepatu karena adanya oedema
di tangan, lutut dan telapak kaki harus diperiksa.
Selain itu, sindrom hipertensi karena kehamilan juga harus dikaji dengan
persepsi perabaan oleh petugas penyelamatan dengan melihat gejala-gejala
yang dirasakan oleh ibu hamil yaitu seperti sakit kepala dan nadi meningkat,
apabila tensimeter tidak tersedia. Anemia dapat dikaji dengan melihat warna
pembuluh darah kapiler ibu hamil. Pada kasus warna konjungtiva atau kuku
pucat, dapat diperkirakan merupakan tanda anemia.
21

Pengkajian pada ibu hamil harus juga mengkaji janin dalam kandungannya.
Page

Kondisi kesehatan janin dikaji dengan mengukur gerakan dan denyut


jantungnya. Denyut jantung janin dideteksi dengan menggunakan Laennec,
Apabila Laennec tidak tersedia maka dapat digunakan kertas silinder sebagai
pengganti Laennec. Setelah mengetahui posisi punggung janin maka denyut
jantung janindapat didengar dengan cara mendekatkan telinga menggunakan
Laennec pada perut ibu.Pertumbuhan janin juga perlu dikaji.Masa kehamilan
dapat diperkirakan melalui hari terakhir menstruasi. Jika hari terakhir
menstruasi tidak diketahui maka usia kehamilan dapat ditentukan melalui
ukuran uterus,Tinggi fundus uterus dapat diukur denganmenggunakan jari.
Mengenali ukuran jari membantu dalam mengukur tinggi uterus.Pertumbuhan
uterus mengikuti masa kehamilan dalam hitungan minggu seperti pada tabel
di bawah ini.

Tabel 6.1. Pertumbuhan tinggi uterus pada masa kehamilan


Minggu ke-11 (bulan ke-3) tidak terukur
Minggu ke-27( bulan ke-7) 21~24cm
Minggu ke-15 (bulan ke-4) 12cm
Minggu ke-31( bulan ke-8) 24~28cm
Minggu ke-19 (bulan ke-5) 15cm
Minggu ke-35( bulan ke-9) 27~31cm
Minggu ke-23 (bulan ke-6) 18~21cm
Minggu ke-39(bulan ke-10) 32~35cm

(pada pusar)(di bawah tulang rusuk)

b. Bayi
Suhu tubuh pada bayi baru lahir belum stabil. Suhu tubuh bayi perlu dikaji
karena
permukaan tubuh bayi lebih besar dari pada tubuh orang dewasa sehingga
suhu tubuhnya mudah turun.Pakaian bayi juga harus tertutup dan hangat agar
mengurangi perpindahan suhu yang ekstrim. Kebutuhan cairan juga perlu
dikaji dengan seksama karena bisa saja bayi terpisah dari ibunya sehingga
menyusui ASI terputus. Bayi yang kehilangan atau terpisah dari ibunya
22

karena ibu sakit atau meninggal bisa dicarikan donor ASI dengan syarat
Page

keluarga menyetujui pemberian ASI donor, identitas donor ASI maupun bayi
penerima tercatat, ibu susu dinyatakan sehat oleh tenaga kesehatan serta ASI
donor tidak diperjualbelikan.
Masalah kesehatan yang bisa terjadi pada ibu hamil, janin dan bayi,
serta
penanganannya.
a. Tekanan darah rendah
Wanita hamil dapat mengalami tekanan darah rendah karena tidur dengan
posisi
supinasi dalam waktu lama. Keadaan ini disebut Sindrom Hipotensi
Supinasi,karena vena cava inferior tertekan oleh uterus dan volume darah
yang kembali ke jantung menjadi menurun sehingga denyut jantung janin
menjadi menurun. Dalam hal ini, tekanan darah rendah dapat diperbaiki
dengan mengubah posisi tubuh ibu menghadap ke sebelah kiri sehingga vena
cava superior dapat bebas dari tekanan uterus. Ketika wanita hamil
dipindahkan ke tempat lain, maka posisi tubuhnya juga menghadap ke sebelah
kiri.
b.Janin kurang Oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu
menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa janin dengan mengurangi
volume perdarahan pada uterus. Untuk pemberian Oksigen secukupnya
kepada janin harus memperhatikan bahwa pemberian Oksigen ini tidak hanya
cukup untuk tubuh ibu tetapi juga cukup untuk janin.
c.Hipotermi
Suhu tubuh pada bayi baru lahir belum stabil,karena permukaan tubuh bayi
lebih besar dari pada tubuh orang dewasa sehingga suhu tubuhnya mudah
turun.Cairan amniondan darahharus segera dilap supaya bayi tetap hangat.
Perhatikan suhu lingkungan dan pemakaian baju dan selimut bayi. Harus
sering mengganti pakaian bayi karena bayi cepat berkeringat. Persediaan air
yang cukup karena bayi mudah mengalami dehidrasi, perlu diberikan ASI
sedini mungkin dan selama bayi mau
d.Menyusui tidak efektif
23

Ibu yang menyusui anaknya harus diberikan dukungan dan bantuan praktis
Page

untuk meneruskan menyusui, mereka tidak boleh sembarangan diberikan


bantuan susu formula dan susu bubuk. Ibu yang tidak bisa menyusui,
misalnya ibu yang mengalami gangguan kesehatan karena bencana, seperti
mengalami luka atau perdarahanharus didukung untuk mencari ASI pengganti
untuk bayinya. Jika ada bayi yang berumur lebih dari 6 bulan tidak bisa
disusui, bayi tersebut harus diberikan susu formula dan perlengkapan untuk
menyiapkan susu tersebut dibawah pengawasan yang ketat dan kondisi
kesehatan bayi harus tetap dimonitor. Botol bayi sebaiknya tidak digunakan
karena risiko terkontaminasi, kesulitan untuk membersihkan botol, gunakan
sendok atau cangkir untuk memberikan susu kepada bayi.
Pasca Bencana
a. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
b. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dirumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan
kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.
c. Melibatkan petugas-petugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi resiko kejadian depresi pasca bencana.

2.3.3. Tindakan yang sesuai untuk Kelompok Beresiko pada Lansia


Pra Bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan
dirumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan
bencana
Menurut Ida Farida ( 2013 ) Keperawatan Bencana pada lansia sebelum
bencana yakni:
1. Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara
penduduk dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah
itupun berjalan secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa
orang lansia dan penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada
bencana tidak pernah terabaikan, sehingga mereka bias hidup di
24

pengungsian dengan tenang.


Page

2. Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian


Diperlukan upaya untuk penyusunan perencanaan pelaksanaan pelatihan
praktek dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan
bermanfaat akan tercapai.

Saat Bencana

a. Melakukan usaha / bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan resiko


kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan / trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma
sekunder.
b. Identifikasi lansia dengan bantuan / kebutuhan khusus contohnya kursi
roda, tongkat, dll.

Menurut Ida Farida ( 2013 ) keperawatan lansia pada saat bencana adalah :
1. Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi bencana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit mendapatkan informasi krena
penurunan daya pendengaran penurunan komunikasi dengan luar.
2. Rasa Setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan
rumah sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan
terlambat dibandingkan dengan generasi yang lain.
3. Penyelamatan darurat
( Triage, Treatment, and Transportation )dengan cepat. Fungsi indera
orang lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua,
maka skala rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami
peningkatan sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa.

Pasca Bencana

a. Program inter-generasional untuk mendukungsosialisasi komunitas dengan


lansia dan mencegah isolasi social lansia, diantaranya :
25
Page
1. Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan
social bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang
muda dan lansia ( community awareness )
2. Libatkan lansia sebagai storyteller dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agensi perlindungan anak di
posko perlindungan korban bencana.

b. Menyediakan dukungan social melalui pengembangan jaringan social yang


sehat dilokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill
lansia
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
e. Berikan konseling untuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian
lansia.

Menurut Ida Farida ( 2013 ) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana
adalah :

1. Lingkungan dan Adaptasi

Dalam kehidupan ditempat pengungsian, terjadi berbagai ketidak


cocokan dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi
fisik yang dibawa oleh setiap individu sebelum bencana dan
perubahan lingkungan hidup ditempat pengungsian. Kedua hal ini
saling mempengaruhi, sehingga mengakibatkan penurunan fungsi fisik
orang lansia yang lebih parah lgi.

2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder

Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidak


cocokan dalam kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga
keadaan erius pada anggota tubuh. Seperti penumpukan kelelahan
karena kurang tidur dan kegelisahan.
26

3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan dirumah sendiri


Page
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan
perabotannya diluar dan di dalam rumahnya. Dibandingkan dengan
generasi muda, sering kali lansia tidak bisa memperoleh informasi
mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga tersebut
dengan optimal.

4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara

Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa


mengadaptasikan / menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (
lingkungan hubungan manusia dan lingkungan fisik )dalam waktu
yang singkat

5. Mental Care

Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya


adaptasi, sehingga mudah terkena dampak secara fisik dan stressor.
Namun demikian, lansia itu berkecenderungan sabar dengan diam
walaupun sudah terkena dampak dan tidak mengekspresikan perasaan
dan keluhan.

2.3.4.Tindakan yang sesuai untuk kelompok beresiko pada orang dengan


Kecacatan dan Penyakit Kronis

Menurut Ida Farida ( 2013 ) dampak bencana pada penyakit kronis akan memberi
pengaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan panyakit
kronis. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian dalam
waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan pra-
bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum bencana.
Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan kemungkinan menjadi lebih parah lagi ketika hidup
ditempat pengungsian atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
27

Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit kronis


Page

disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang yang memiliki resiko
penyakit kronis perubahan kehidupan yang disebabkanoleh bencana akan menjadi
pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti penyakit diabetes mellitus dan panyakit
pernapasan.

Pra Bencana

a.Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan penyakit
kronis.

b.Sediakaninformasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan keterbatasan


fisik seperti : tuna rungu, tuna netra, dll.

c.Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawat daruratan bencana bagi


petugas kesehatan khusus untuk menangani korban dengan kebutuhan khusus ( cacat
dan penyakit kronis ).

Menurut Ida Farida ( 2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban cacat dan penyakit kronis :

a. Mempersiapkan catatan self – care mereka sendiri, terutama nama pasien,


alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan diri untuk mencatatmengenai isi dari obat
yang di minum, pengobatan diet, dan data olah raga.
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal.

Saat Bencana

a.Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang-orang cacat
dan penyakit kronis ( HIV / AIDS dan penyakit infeksi lainnya ), alat bantu berjalan
untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll.

b.Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal ( Universal Precaution )


untuk petugas dalam melakukan kegawat daruratan.
28

Menurut Ida Farida ( 2013 ) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni :
Page

a. Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong
evakuasi.
b. Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan berbagai macam-mcam alat
disesuaikan dengan ciri-ciri penyandang cacat, misalnya internet ( email, sms,
dll ) dan siaran televisi untuk tuna rungu, handphone yang dapat membaca
pesan masuk untuk tuna daksa dan sebagainya.

Pertolongan pada Penyandang Cacat

1. Tuna daksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau
pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada
ditempat yang jalannya tidak rata dan memiliki tangga. Ada yang menganggap
kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus
mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarganya.
2. Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh disekitarnya,maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan utuk pindah yang tidak
familiar. Pada waktu menolong mereka untuk pindah,peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lambut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah didepannya.
3. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung kerumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahas tulis, bahas
isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum tentu
semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat.
4. Gangguan intelektual
29

Perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umumnya karena kurang


mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan sering
Page
kali mudah menjadi panic. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata yang sederhana yang
mudah dimengerti.
Menurut Ida Farida ( 2013 ) keperawatan penyakit kronis saat bencana adalah ;
1. Pada fase akut bencana ini, bisa dikatakan bahwa suatu hal yang paling
penting adalah berkeliling antara orang-orang untuk menemukan masalah
kesehatan mereka dengan cepat dan mencegah penyakit mereka memburuk.
Perawat harus mengetahui latar belakang dan riwayat pengobatan dari orang-
orang yang berada ditempat dengan mendengarkan secara seksama dan
memahami penyakit mereka yang sedang dalam proses pengobatan, sebagai
contoh penyakit diabetes dan gangguan pernafasan.

Pada fase akut sejak sesaat terjadinya bencana,diperkirakan munculnya gejala


khas, seperti gejala gangguan ginjal, jantung, dan psikologis yang memburuk
Karena kurang control kandungan gula di darah bagi pasien diabetes, pasien
penyakit gangguan pernafasan yang tidak bisa membawa keluar peralatan
tabung oksigen dari rumah.

2. Penting juga perawat memberikan dukungan kepada pasien untuk memastikan


apakah mereka diperiksa dokter dan meminum obat dengan teratur. Karena
banyak obat-obatan komersial akan didistribusikan ke tempat pengungsian,
maka muncullah resiko bagi pasien penyakit kronis yang mengkonsumsi
beberapa obat tersebut tanpa memperhatikan kecocokan kombinasi antara obat
tersebut dengan obat yang diberikan dari rumah sakit.

Pasca bencana

a.Sedapat mungkin, sediakan fasilitas yang dapatmengembalikan kemandirian


individu dengan keterbatasan fisik di lokasi evakuasi sementara. Contohnya kursi
30

roda, tongkat, dll.


Page
b.Libatkan agensi-agensi yang berfokus pada perlindungan individu-individu dengan
keterbatasan fisik dan penyakit kronis.
c.Rawat korban dengan penyakit kronis sesuai dengan kebutuhanny.
Menurut Ida Farida ( 2013 ) keperawatan bencana pada penyandang cacat adalah :
1. Kebutuhan rumah tangga
Air minum, susu bayi, sanitasi, air bersih, dan sabun untuk MCK ( mandi, cuci,
kakus ), alat-alat untuk memasak, pakaian, selimut, dan tempat tidur,
pemukiman sementara dan kebutuhan budaya dan alat.
2. Kebutuhan kesehatan
Kebutuhan kesehatan umum seperti perlengkapan medis (obat-obatan, perban,
dll ), tenaga medis, pos kesehatan dan perawatan kejiwaan.
3. Tempat ibadah sementara
4. Keamanan wilayah
5. Kebutuhan air
6. Kebutuhan sarana dan prasarana

Kebutuhan sarana dan prasarana yang mendesak seperti air bersih, MCK untuk
umum, jalan ke lokasi bencana, alat komunikasi dalam masyarakat dan pihak
luar, penerangan / listrik, sekolah sementara, alat angkut / transport, gudang
penyimpanan persediaan, tempat pemukiman sementara, pos kesehatan alat dan
bahan-bahan.

Keperawatan bagi pasien Diabetes

1. Mengkonfirmasi apakah pasien yang bersangkutan harus minum obat untuk


menurunkan kandungan gula darah ( contoh: insulin, dll ) atau tidak, dan
identifikasi obat apa yang dimiliki pasien tersebut.
2. Mengkonfirmasi apakah pasien memiliki penyakit luka fisi atau infeksi, dan
jika ada, perlu pengamatan dan perawatan pada gejala infeksi ( untuk
mencegah komplikasi kedua dari penyakit diabetes ).
3. Memahami situasi manajemen diri (self- management )melaluikartu penyakit
diabetes ( catatan pribadi )
4. Memberikan instruksi tertentu mengenai konsumsi obat, makanan yang tepat,
31

dan memberikan pedoman mengenai manajemen makanan.


Page
5. Mengatur olah raga dan relaksasi yang tepat.

Keperawatan bagi pasien Gangguan Pernafasan Kronis

1. Konfirmasikan volume oksigen yang tepat dan mendukung untuk pemakaian


tabung oksigen untuk berjalan yang dimilikinya dengan aman.
2. Menghindari narcosis CO2 dengan menaikkan konsentrasi oksige karena takut
peningkatan dysphemia
3. Mengatur pemasokan tabung oksigen ( ventilator ) dan transportasi jika pasien
tersebut tidak bisa membawa sendiri.
4. Membantu untuk manajemen obat dan olah raga yang tepat.
5. Mencocokkan lingkungan yang tepat ( contoh : suhu udara panas / dingin, dan
debu )

2.4.Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok


Beresiko

Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana tehadap kelompok-
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka panjang maupun jangka
pendek, maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan bencana perlu
mengidentifikasikan sumber daya apa saja yang tersedia dalam lingkungan yang dapat
digunakan saat bencana terjadi, diantaranya ( Enarson, 2000; Federal Emergency
Management Agency / FEMA, 2010; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :

a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus


mensosialisasikan kesiap siagaan terhadapbencana terutama untuk area yang
rentan terhadap kejadian bencana.
b. Kesiapan rumah sakit atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok beresiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan sepert :
beberapa jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien
anak, ventilator anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan
penyakit kronis, dsb.
c. Adanya symbol-simbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-
32

individu dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi


Page

pengungsian, dll.
d. Adanya system support berupa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini
kondii depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi
yang sesuai dapat diberikan untuk merawat mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah ( NGO
) yang membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok beresiko
seperti : agensi perlindungan anak dan perempuan, agensi pelacakan keluarga
bencana ( tracking centre), dll.

Adanya website atau homepage bencana dan publikasi penelitian yang berisi
informasi-informasi tentang bagaimana perencanaan kegawat daruratan dan
bencana pada kelompok-kelompok dengan kebutuhan khusus dan beresiko.

2.5.Lingkungan yang sesuai dengan Kebutuhan kelompok Beresiko

Setelah kejadian bencana, adalah penting sesegera mungkin untuk menciptakan


lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok beresiko untuk
berfungsi secara mandiri sebagaimana sebelum terjadi bencana, diantaranya (
Enarson, 2000; Federal Emergency Management agency / FEMA, 2010;
Indriyani, 2014; klynman et al, 2007; Powers & daily, 2010; Veenema, 2007) :

a. Menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk


terus memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan
moril, menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar / sekolah
dan bermain.
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas generasi,
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko isolasi social
dan depresi
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik,misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan panyakit
33

kronis dan infeksi.


Page
BAB 3
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefenisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
34

pemerintah karena kondisi social yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat
Page

rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Untuk
mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan diatas,
petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu
mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan kelompok-
kelompok rentan tersebut, contohnya ventilasator untuk anak, alat bantu untuk
individu yang cacat, alay=t-alat bantuan untuk persalinan,dll, melakukan pemetaan
kelompok-kelompok rentan, merencanakn intervensi-intervensi untuk mengatasi
hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah
penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

3.2.Saran
Dalam penulisan makalah ini,penulis menyarankan kepada para pembaca agar
memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini,karena
dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan taraf
hidup kelompok rentan.

Daftar Pustaka

Enarson,E. ( 2000 ). Infokus Programme on Crisis Response and Reconstuction


Working paper 1 : Gender and Natural Disaster. Geneva : Recovery and
Reconstruction Department.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar l :
Keperawatan Bencana pda Ibu dan Bayi. Jakarta : Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar ll :
35
Page
Keperawatan Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga
Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar lV :
Keperawatan Bencana pada Penyakit Kronik. Jakarta : Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan bencana Kegiatan Belajar V :
Keperawatan Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta : Badan
Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan
dan Pelatihan Tenaga kesehatan.
Indriyani, S. 2014. Bias Gender dalam Penanggulangan Bencana. Diakses di http :
Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap kelompok Rentan ( Wanita, Anak,
Minoritas, Suku Terasing, dll ) Dalam Perspektif Hak Asasi manusia.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2001, halaman 948.
Klynman. Y , Kouppari. N, & Mukhier. M, ( Eds ). 2007.
World disaster Report 2007: Focus On Discrimination. Geneva , Switzerland :
International Feeration Of Red Cross and Red Crescent Societies.
Morrow, B. H. (1999 ). Identifying and mapping community vulnerability Disaster,
23, 1-18.
Pusat Data, Informasi dan Humas. 2012. Definisi dan Jenis Bencana.
http://www.bnpb.go.id/page/read/5/definisi-dan-jenis-bencana. diakses tanggal 12
Januari 2014. 5.
Pasal 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2007. Jakarta: DPR RI dan Presiden RI 6.

36
Page

Anda mungkin juga menyukai