Anda di halaman 1dari 16

Prolog

Dulu, ada dua bintang di hidupku. Namun, kini satu


bintang itu telah pergi meninggalkan beribu luka yang
mendalam. Sekarang aku hanya bisa memeluk satu bintang yang
selalu menerangi dalam gelapku dan membawa sejuta
kebahagiaan untukku.
Namaku Aina Salsabilla, aku biasa dipanggil Ina. Aku
anak sulung dari dua bersaudara, adik perempuanku bernama
Sandra. Aku dan adikku hidup dilingkungan keluarga yang
sangat sederhana. Tapi aku tak pernah mengeluh dengan
kesederhanaan ini. Bagiku harta yang paling berharga di
dunia ini adalah ibu dan ayah. Mereka adalah sosok bintang
yang selalu melindungi dan menyayangi aku dan adikku.
Aku dan adikku memiliki sifat yang jauh berbeda. Aku
anak yang mudah rapuh dan gampang sekali menangis,
sedangkan adikku adalah anak yang keras kepala dan cerewet.
Tapi, semenjak kepergian ibu 2 tahun lalu, sikap adikku
berubah dia menjadi pemurung dan pendiam.

1
Cahaya Bintang Kehidupan

01. Kepergian Sosok Penyemangatku

Belakangan ini satu bintangku meredupkan cahayanya.


Ia tak henti – henti merintihkan rasa sakit yang ia rasakan
di sekujur tubuhnya. Rasa sakit yang membuat senyuman
indahnya berubah menjadi cucuran air mata. Tapi, ibu selalu
berusaha menutupi semua rasa sakit yang ibu rasakan dari
anak – anaknya. Ibu tak ingin anaknya terbebani oleh
penyakit yang dideritanya.
“Ibu, apakah ibu baik – baik saja?” tanyaku.
“Ibu baik – baik saja nak.” Jawab ibu dengan wajah pucat.
“Tapi, mengapa wajah ibu pucat? Apa sebenarnya penyakit
yang diderita ibu?” tanyaku dengan penuh kekawatiran.
“Tidak nak, ibu tidak apa – apa.” Jawab ibu sambil beranjak
meninggalkanku.
Aku tahu sebenarnya ibu sedang menyembunyikan sesuatu
dariku. Tapi apa? sampai – sampai ibu tidak memberi tahu
aku. Aku ingin melihat bintangku tersenyum lagi dan
memancarkan cahayanya.
“Tuhan...kembalikan senyum ibuku yang dulu, aku rindu.”
Bisikku dalam hati.
Tiba – tiba ayah datang menghampiriku dan menyadarkan
lamunanku.
“Nak, ada apa? Kamu sedang memikirkan apa?” tanya ayah.
“Aku sedang memikirkan ibu ayah. Sebenarnya apa yang
terjadi dengan ibu?” jawabku sambil meneteskan air mata.
“Tidak ada apa – apa dengan ibumu nak, ibu baik – baik
saja.” Jawab ayah dengan wajah yang gugup.

2
Cahaya Bintang Kehidupan

Aku rasa ayah mengetahui masalah ibu. Tapi, ayah


bersikap seperti tidak terjadi apa – apa. Beberapa hari
kemudian, kondisi ibu semakin memburuk. Akhirnya ayah
membawa ibu ke rumah sakit. Saat dirumah sakit aku
mendengar percakapan ayah dan dokter.
“Pak, penyakit istri anda sudah semakin parah. Sel kanker
yang diderita oleh istri ada telah menyebar ke seluruh
tubuh.” Kata dokter.
“Apa dok? “jawab ayah dengan terkejut.
Aku tak menyangka ternyata penyakit ibu sangat parah. Aku
takut jika aku dan adikku akan kehilangan satu bintang yang
amat kami sayangi. Aku pun menemui ayah.
“Ayah aku sudah tahu semua tentang apa yang terjadi oleh
ibu. Mengapa ayah tidak cerita kepadaku atau kepada
Sandra.” Kataku dengan sedikit kecewa.
“Iya ayah, mengapa ayah tidak menceritakan ini semua kepada
kami.” Saut adikku.
“Nak, bukan maksud ayah dan ibu ingin menyembunyikan ini
semua dari kalian. Tapi ayah dan ibu tidak ingin membebani
pikiran kalian.” Jawab ayah sambil menjelaskan semuanya.
“Tapi ayah tidak seharusnya menutupi semua ini dari kami.”
Jawabku.
Suasana menjadi senyap. Aku, ayah dan Sandra hanya bisa
tertunduk. Kami kawatir dengan kondisi ibu. Ibu dirawat di
ruang ICU, kami tidak boleh mengganggu ibu. Aku hanya bisa
melihat ibu dari jendela rumah sakit. Aku selalu berdoa
meminta kesembuhan untuk ibu.
“Tuhan... Berikan kesembuhan pada bintangku, jangan
pisahkan aku darinya. Aku tak ingin jauh darinya. Tolong
sembuhkanlah tuhan.” Pintaku dalam hati.

3
Cahaya Bintang Kehidupan

Hari demi hari berlalu. Kondisi ibu semakin parah,


tubuhnya semakin lemah. Saat pagi, saat aku ingin melihat
ibu. Ternyata dokter mengatakan bahwa ibu sudah tidak ada.
Suasana dirumah sakit menjadi pecah. Aku tak henti –
hentinya menangis sambil melihat ibu yang sekarang sudah
terbujur kaku. Tak ada lagi senyum diwajahnya. Kini aku
telah kehilangan satu sosok bintangku, sekarang bintangku
telah meredupkan cahayanya. Ayah mencoba menenangkan aku
dan Sandra. Ayah mencoba menahan semua kesedihan yang ia
rasakan, demi aku dan Sandra.

Setelah pemakaman ibu, aku hanya bisa memandangi foto


ibu sambil ku peluk fotonya. Aku berharap ibu bisa bangun
lagi dan ada disisiku. Tapi, semua hanya mimpiku. Hatiku
sangat hancur, awan pun tak secerah hari kemarin. Ia tampak
gelap seolah – olah tahu isi hatiku saat itu. Awan ikut
menangis mengiringi kepergian bintangku. Air mata pun
mengalir dari mataku. Aku masih tak menyangka bahwa
bintangku telah pergi secepat ini. Aku hanyalah anak yang
masih berusia belasan tahun, yang masih haus akan kasih
sayang. Aku pun tak tahu apa yang harus aku lakukan selepas
kepergian bintangku. Berjuta keraguan selalu membayangi
benakku.

Namun seiring berjalanya waktu, keraguan itu sedikit


demi sedikit memudar. Aku tidak boleh berlarut – larut
dalam kesedihanku yang tak kunjung usai ini. Aku harus
bangkit, karena aku masih mempunyai satu bintang yang
menerangi hari – hatiku yaitu ayahku dan juga masih ada
adikku. Masih ada orang yang menyayangi dan memberi
semangat kepadaku. Ayah adalah satu – satunya bintang yang
aku miliki didunia ini.

4
Cahaya Bintang Kehidupan

Dia adalah sosok yang kuat, yang rela bekerja banting


tulang, panas – panaskan demi melihat anak – anaknya
menjadi orang yang sukses. Dia tak mengeluh dengan rasa
letih dan sakit yang ia rasakan.
“Ayah, terima kasih karena ayah mau merawat dan mendidik
kami. Maaf ayah jika kami masih sering membuat ayah kecewa
dan tanpa kita sadari ucapan kita melukai hati ayah.”
Kataku dengan penuh rasa sayang.
“Nak, kalian tidak pernah mengecewakan ayah. Ayah bangga
sekali memiliki anak yang pandai dan sopan seperti kalian.
Jangan pernah malas untuk mencari ilmu nak, kejarlah cita–
cita kalian.” Jawab ayah dengan mata yang berkaca-kaca.
“Iya ayah, kami akan belajar dengan sungguh – sungguh. Dan
kelak akan membuat ayah bahagia.” Saut Sandra.

5
Cahaya Bintang Kehidupan

02. Hidup Baruku

Kini aku telah berusia 16 tahun, sekarang aku


bersekolah di sekolah menengah atas ternama di kotaku. Aku
masuk dikelas unggulan. Aku sangat bersyukur karena aku
bisa masuk dikelas unggulan. Semu itu berkat doa – doa dari
ayahku.
“Kring...kring...kring...”
“Kring...kring...kring...”
Suara itu membuatku terbangun dari tidur. Itu adalah suara
alarm di handphoneku. Jam di handphoneku menunjukkan pukul
04.30, aku bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan
salat subuh. Setelah salat aku langsung pergi ke kamar
mandi. Aku pun sudah rapi, dan menyiapkan sarapan untuk
aku, ayah dan Sandra. Aku dan Sandra terbiasa sarapan pagi
sebelum berangkat ke sekolah. Agar saat menerima pelajaran
aku bisa menjadi fokus, karena saat lapar aku tidak bisa
berfikir.
Aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, karena
jarak sekolah dan rumahku tidak terlalu jauh. Sesampainya
disekolah aku langsung menuju ke ruang kelas.
“Ina, kemarin kamu kemana? Kenapa tidak menghadiri rapat?
Aku bingung mencarimu kesamaan kemari.” omel Satria
Satria adalah teman sekelasku sekaligus Ketua OSIS di
sekolah dan partnerku dalam bekerja karena aku Bendahara
OSIS di sekolah. Walaupun dalam bekerja kami adalah partner
yang sukses dalam suatu kegiatan tapi aku dan Satria sering
sekali bertengkar karena perbedaan pendapat.

6
Cahaya Bintang Kehidupan

“Maaf sat, aku kemarin tidak memberi tahu mu. Aku kemarin
pergi menemui pak Amran (Wakil kesiswaan sekaligus pembina
ekskul kesenian disekolah), aku menemui pak Amran untuk
menanyakan soal anggaran yang diambil pak Amran untuk
pelatihan kesenian bulan lalu, karena setelah aku lihat
dan diskusi dengan pak Bima (Pembina OSIS) ternyata
anggaran itu ada yang minus jadi aku pergi ke sana untuk
minta penjelasan, dan aku rasa kamu tahu kan kalau
anggarannya minus apa akibatnya.” Jawabku sambil
menjelaskan ke Satria.
“Apa hasilnya Ina?” saut Alfa. Alfa adalah pengawas OSIS
disekolah. Alfa anaknya terkadang tegas, baik dan pintar
dalam berorganisasi.
“Hasilnya aneh, pak Amran tidak mau mengakui kalau dia yang
mengambil anggaran untuk kesenian, padahal jelas – jelas
di kuitansi itu pak Amran yang tanda tangan, sepertinya
ada pembocoran anggaran.” Kataku.
“Apa? Kamu langsung mengusut perkara ini sendirian, Ina
kamu bisa nggak sih kasih tahu kami dulu kalau ada apa –
apa, ini masalah besar Ina.” Potong Satria dari pembicaraan
ku tadi.
“Benar, apa yang dibilang Satria, seharunya kemarin kamu
harus koordinasi ke kami dulu, dan kita sama – sama
menyelesaikan masalah itu.” Kata Alfa dengan nadanya yang
tenang.
“Aku sudah beberapa kali mencoba memberi tahu kalian
tentang masalah ini, Tapi apa? Kalian sibuk dengan jabatan
kalian masing – masing. Aku juga bingung mau ngomong sama
kalian tentang masalah ini.” Jawabku dengan sedikit emosi.
Mendengar kata-kataku mereka terdiam, tanpa berkata apa-
apa lagi aku pergi meninggalkan mereka dan seisi kelas,

7
Cahaya Bintang Kehidupan

aku bingung apa yang harus aku lakukan saat ini, aku pusing
dengan semua persoalan organisasi saat ini. Aku pergi ke
perpustakaan dan mengambil salah satu buku pelajaran dan
membacanya untuk menenangkan pikiranku.
Tet. . . .tet . . . .
Tet. . . .tet. . . . .
Bel berbunyi aku masuk kembali ke kelas dan belajar seperti
biasa. Saat ini aku mempunyai prinsip bahwa aku harus lebih
mementingkan belajar daripada yang lainnya.
Dan teman-teman sekelasku yang ikut dalam organisasi juga
mengerti akan hal itu, jadi dalam belajar mereka tidak
pernah mengatakan soal apapun yang berhubungan dengan
organisasi, karena saat belajar, artinya melupakan semua
masalah dan hanya terfokus dengan pelajaran yang sedang
dipelajari.
Sudah berkisar lima hari berlalu sejak kejadian panas
antara aku, Satria, dan Alfa. Tetapi kami masih tetap
terdiam dengan pendapat yang ada dipikiran masing-masing.
Saat istirahat pertama terdengar suara sepatu berjalan
dengan keras mendekati kelasku.
“Kamu, Ina, langsung ke ruangan saya sekarang!” Kata pak
Amran dengan nada marah dan menunjuk kearahku. Sesaat aku
terdiam dan dengan sekejap menuruti perintah pak Amran.
“Ina,,,Ina ka,,,” belum sempat Alfa menyelesaikan kata-
katanya aku sudah pergi meninggalkan kelas tanpa
mendengarkan kelanjutan perkataan Alfa.
Di perjalanan ke ruang pak Amran aku berjalan lambat
sambil memikirkan apa yang harus aku katakan di depan
beliau. Aku takut untuk menghadap pak Amran terlebih lagi
kalau harus mengingat masalah pembocoran anggaran dana
kemarin, aku bingung.
Tidak terasa aku sudah sampai didepan pintu ruangan pak
Amran. Sambil menarik nafas aku masuk dan duduk didepan
kursi yang telah disediakan oleh pak Amran.

8
Cahaya Bintang Kehidupan

Tidak terasa aku sudah sampai didepan pintu ruangan


pak Amran. Sambil menarik nafas aku masuk dan duduk didepan
kursi yang telah disediakan oleh pak Amran.
“Iya pak, ada apa ya, bapak memanggil saya?” tanyaku dengan
sopan.
“Kamu jangan pura – pura tidak tahu soal ini ya, kamu itu
sudah mencemarkan nama baik saya, kamu sudah menyebabkan
isu yang kurang mengenakkan dilingkungan sekolah ini,
dengan mengatakan kalau saya menggelapkan dana OSIS, saya
tahu kamu bendahara disini tapi ingat! Saya masih punya
kewenangan yang lebih disini daripada kamu. Dan saya jamin
kami tidak akan mendapatkan beasiswa, ingat itu!” kata pak
Amran dengan sedikit emosi.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud seperti itu, tapi sungguh
pak, sa...” kataku.
“Sudah–sudah saya tidak mau mendengar penjelasan kamu lagi,
sekarang kamu kembali ke kelas!” potong pak Amran.
Aku pergi keluar ruangan dengan wajah muram, tertunduk
dan sedih. Langkahku terhenti saat melihat tulisan lab.
Komputer, entah apa alasan yang tepat tapi tanpa pikir
panjang aku masuk ke ruangan itu dan langsung menyalakan
salah satu komputer.
Saat komputer itu menyala, aku mengetik dan pertama kali
yang ada di pikiranku aku akan mengetik Surat Pengunduran
Diri. Beberapa saat kemudian surat itu jadi.
“Sat, tolong tanda tangani surat ini” kataku sambil
menyerahkan surat dan pulpen diatasi meja.
“Ina maksud kamu apa menyerahkan surat ini?” jawab Satria.
“Aku sudah pusing dengan semua yang berhubungan dengan
OSIS, aku ingin mengundurkan diri dari organisasi OSIS dan
fokus kepada pelajaranku.”

9
Cahaya Bintang Kehidupan

Kataku sambil menahan perasaan sedih.


“Aku tahu belakangan ini OSIS memang sedang banyak masalah,
tapi kamu tidak boleh seperti itu. Aku nggak ada akan
setuju kamu keluar dari OSIS, kamu punya tanggung jawab di
OSIS.” Jawab Satria dengan tegas.
“Kamu jangan egois Sat, nilai pelajaranku menurun gara –
gara aku menyelidiki kasus pembocoran anggaran dana OSIS,
aku juga dimarah – marahi oleh pak Amran dan aku Tidaka
akan mendapat beasiswa.” Jawabku dengan tegas dan tak
terasa air mataku mengalir di pipi.
Sesaat aku tersadar air mata mengalir di pipiku, aku
langsung mengusap air mataku dan pergi meninggalkan Satria.
Aku duduk dan membuka buku pelajaran, tidak lama guru masuk
dan memulai pelajaran, aku berusaha keras memfokuskan
pikiranku ke pelajaran. Sudah dua jam pelajaran berlangsung
bel pulang berbunyi, aku bersiap – siap mengemas buku –
buku diatasi meja dan setelah selesai aku keluar kelas,
akupun bergegas untuk pulang.
Sesampainya di rumah, aku melangkah masuk kedalam
rumah dengan beban hati dan pikiran yang berat menuju ke
kamar.
“Kakak sudah pulang, kak tolong ajari Sandra,,,” kata adik
perempuan ku.
Belum sempat Sandra menyelesaikan kata – katanya aku sudah
pergi masuk ke kamar dan menutup pintu sekaligus
menguncinya. Rasanya aku hanya ingin sendiri dan
menenangkan pikiranku sejenak. Dengan kepala yang pusing,
lalu aku membaringkan tubuhku dan mencoba menutup mata
untuk mengistirahatkan hati dan pikiranku.
“Kring...kring...kring...”

10
Cahaya Bintang Kehidupan

“Kring...kring...kring...”
Mataku terbuka saat mendengar suara itu, aku melihat jam
di handphoneku sudah menunjukkan pukul 05.00. Aku bergegas
melakukan aktivitas pagiku seperti biasanya. Setelah
selesai aku pergi berangkat sekolah. Sekarang sekolah
bagiku adalah tempat yang sangat menyeramkan.
Sesampainya disekolah aku masuk kedalam kelas dan
meletakkan tas ku ditempat duduk, saat aku ingin duduk aku
melihat lembaran kertas diatasi meja dengan tanda tangan
dan cap diatasnya. Baru sekilas aku melihat kertas itu aku
sudah tahu itu surat apa. Saat itu aku sangat lega karena
surat permohonan untuk mengundurkan diri dari OSIS terwujud
dan mulai sekarang aku bukan lagi anggota OSIS.
“Ina, aku harap kamu pertimbangkan hal ini baik – baik.
Ini bukan jalan yang membuat tuntas masalah yang sedang
kamu hadapi. Ini hanya akan membuat kamu senang sesaat saya
Ina, kamu juga harus pertimbangkan Satria, kemarin dia
dimarahi habis – habisan oleh pak Harto. Kamu gak tahu itu
kan Ina.” Kata Alfa.
Mendengar kata – kata itu aku terdiam sekaligus terkejut.
“Itu urusan kalian, sekarang aku sudah bukan anggota OSIS
lagi jadi tidak ada hubungannya dengan ku.” Jawabku dengan
kata – kata egois.
Jujur, sebenarnya aku tidak mau mengatakan itu kepada Alfa,
tetapi aku bingung harus berkata apalagi. Mendengar
perkataan ku tadi Alfa pergi meninggalkanku dengan tatapan
tajam. Setelah kejadian itu aku, Satria, Alfa dan anak OSIS
lainnya tidak pernah berhubungan lagi. Teman – teman juga
tidak pernah mengatakan atau menanyakan tentang OSIS di
depanku lagi.

11
Cahaya Bintang Kehidupan

Sudah 3 Minggu berlalu setelah pemberhentian ku dari


bendahara OSIS. Entah mengapa belakangan ini aku menyesal
karena telah mengundurkan diri dari OSIS.
Turunkan...turunkan pak Amran...turunkan!!!
Turunkan...turunkan pak Amran...turunkan!!!
Saat aku ingin berjalan melantun bersama teman – temanku
aku mendengar suara itu. Aku dan teman – teman pun
menghampiri kerumunan siswa dan guru anggota berada di
lapangan basket. Salah satu temanku bertanya kepada siswa
yang sudah ada disana.
“Eh,,, ada apa ini mengapa terjadi keributan disini?” tanya
temanku kepada siswa lain.
“Mereka mengetahui kalau pak Amran mengorupsi dana anggaran
OSIS.” Kata siswa itu sambil melihat kearah demo.
Terjadi kericuhan di lapangan basket, banyak siswa
yang melemparkan benda keras saat pak Amran dibawa keluar
ruangan. Tanpa sengaja ada siswa yang melemparkan batu dan
hampir mengenai ku, tapi tiba – tiba Satria mendorongku
keras sekali dan aku terjatuh terhempas ketanah. Satria
memegangi kepalanya dengan tangannya, dan sepertinya dari
tangannya keluar tetesan darah yang mengalir ke bajunya.
Tanpa pikir panjang aku langsung membantu Satria.
“Satria kamu tidak apa – apa?” kataku.
Satria hanya diam saja.
“Sat ayo aku antar kerumah sakit.” Kata Alfa.
Satria berdiri dan mengikuti kata – kata Alfa, dan sebagian
guru ikut mengantar Satria kerumah sakit.
Setelah kejadian itu, pak Harto memanggilku. Sesampainya
ditempat pak Harto aku duduk dan mulai menceritakan
kejadian – kejadian sebelumnya yang pak Harto tidak
ketahui.

12
Cahaya Bintang Kehidupan

Saat aku selesai bercerita wajah pak Harto tampak terkejut.


“Jadi, itu alasan mu kenapa kamu keluar dari OSIS. Kenapa
kamu tidak menceritakan ini kepada bapak atau teman –
temanmu yang lain. Masalah ini sekarang sudah jelas. Apakah
kamu mau lagi menjabat sebagai bendahara OSIS disekolahkan
ini?” kata pak Harto.
“Emma... Iya Apak saya mau kembali lagi menjadi bendahara
OSIS.” Kataku dengan penuh keyakinan.
Sudah dua hari aku kembali berorganisasi tapi Satria belum
juga masuk sekolah.
“Eh,,, Alfa kamu nanti mau aku ajak menjenguk Satria
dirumahnya?” kataku.
“Iya Ina, nanti pulang sekolah kita pergi menjenguk
Satria.” Jawab Alfa.
Sudah satu semester berlalu, pelepasan dan penyerahan
jabatan OSIS kepada pengurus baru pun sudah dilaksanakan.
Sekarang aku juga sudah naik kelas XII dan hasil rapor ku
juga tidak buruk. Selama di kelas XII ini aku sudah belajar
keras untuk bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
belajarku ke kuliah jurusan keperawatan. Dengan usaha dan
doa akhirnya setelah kelulusan aku bisa masuk ketempat
kuliah yang sudah lama aku inginkan, dengan beasiswa jadi
sedikit meringankan beban ayahku.
“Ina, ayo cepat lihat ini sudah jam berapa nanti kita bisa
terlambat ke acara perpisahanmu.” Kata ayah.
“Iya ayah, sebentar lagi aku akan keluar.” Jawabku sambil
sedikit berteriak.
Aku dan ayah pergi ke sekolah dengan mengendarai motor
butut milik ayah.

13
Cahaya Bintang Kehidupan

03. Keberhasilanku

Sekarang aku sudah kuliah dan sekarang aku sudah


semester III, aku sangat senang sekali karena aku bisa
melanjutkan belajarku kejenjang yang lebih tinggi. Nilai –
nilaiku pun terus meningkat dari tahun ke tahun.
“Ayah...ayah... Aku mendapat IPK terbaik!” kataku dengan
bahagia dan sambil berteriak.
“Ayah bangga kepadamu nak, pertahankan nilai mu nak buat
almarhumah ibumu bahagia.” Jawab ayah dengan mata yang
berkaca-kaca.
“Iya ayah, aku berjanji akan mempertahankan nilaiku ini.”
Kataku.
Tak terasa aku sudah akan diwisuda. Aku merasakan
kebahagiaan yang tak ternilai diwajah ayah dan adikku
Sandra. Berkat mereka aku pun bisa menyelesaikan kuliahku.
Perjuangan yang sungguh luar biasa ini membuat aku akan
terus semangat memberikan hal yang terbaik untuk mereka.
Aku tak ingin mereka bersedih. Aku ingin sekali melihat
cahaya bintang dan bulanku tetap bersinar terang meski
tanpa satu bintang ku yang telah hilang.
“Ayah...andaikan sekarang ibu masih ada disini, pasti
suasananya akan berbeda.” Ujarku yang menyesali kepergian
ibu.
“Ini semua sudah takdir dari Tuhan. Pasti ibu melihat kamu
dari sana, ibu pasti sangat bahagia.” Jawab ayah.
“Iya ayah ibu pasti sangat bahagia disana. Dan aku sangat
senang sekali karena salah satu keinginan ibu melihat
anaknya memakai toga akan segera tercapai.”

14
4
Cahaya Bintang Kehidupan

Akupun memeluk ayah.


“Sudah nak jangan bersedih, ini kan hari bahagia untukmu.”
Ujar ayah sambil tersenyum.
Hatiku mulai berdetak cepat. Rasanya aku masih tak
mempercayai hal ini. Dulu saat ibu meninggalkanku, aku tak
yakin untuk melanjutkan kuliah. Tapi, berkat ayah dan
Sandra akhirnya apa yang aku ragukan dulu akan segera
terwujud.
Terima kasih ayah, karena pengorbanan dan doa – doa
dari ayah aku bisa menjadi anak yang berguna bagi nusa dan
bangsa. Maaf jika aku pernah berkata kasar kepada ayah,
pernah membentak ayah dan membuat hati ayah terluka. Aku
mungkin tak bisa membalas semua pengorbanan yang telah ayah
berikan kepadaku. Tapi, aku akan selalu berdoa kepada Tuhan
semoga ayah selalu dalam perlindungannya. Bila aku sudah
sukses nanti aku sangat ingin memberangkatkan ayah ke tanah
suci, itulah salah satu cita – citaku.

-TAMAT-

15

Anda mungkin juga menyukai