Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF TINJAUAN PUSTAKA

September 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIV. AL-KHAIRAAT PALU

TINAJAUN PUSTAKA
PARKINSON

Disusun Oleh:
Sri Nurnaningsih
15 19 777 14 363

Pembimbing:
dr. Magdalena Sp.S
dr. Intje Norma

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


PADA BAGIAN KEDOKTERAN SARAF
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Sri Nurnaningsih


NIM : 15 19 777 14 363
Fakultas : Kedokteran
Program Studi : Pendidikan Dokter
Universitas :Alkhairat
Judul : Parkinson Disease
Bagian : Ilmu penyakit Saraf

Bagian Ilmu penyakit Saraf

RSU Anutapura Palu

Program Studi Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Alkahairat

Palu,

Pembimbing Pembimbing

Dr Magdalena Sp.S dr Intje Norma

Dokter Muda

Sri Nurnaningsih
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar i
i
Daftar Isi i
i
i
Daftar gambar i
v
Bab I Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
Bab II Tinjauan Pustaka 3
2.1.Definisi 3
2.2. Epidemiologi 3
2.3. Klasifikasi 3
2.4. Patogenesis 4
2.5. Patofisiologi 6
2.6. Manifestasi Klinis 7
2.7. Diagnosis 9
2.8. Penatalaksanaan 1
1
2.9. Prognosis 1
2
Bab III Kesimpulan 1
3
Daftar Pustaka
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 2.1. Patogenesis penyakit parkinson 5
Gambar 2.2. Algoritma penatalaksanaan penyakit parkinson 11
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Penyakit parkinson pertama kali digambarkan oleh Dr. James Parkinson di dalam
sebuah buku kecil yang berjudul “An Essay on the Shaking Palsy” yang
dipublikasi pada tahun 1817.1 Penyakit parkinson adalah suatu kelainan
degeneratif sistem saraf pusat yang sering merusak sistem motor penderita seperti
keterampilan, ucapan dan fungsi lainnya.2 Penyakit Parkinson memiliki
sekelompok kondisi yang disebut gangguan gerak. Hal ini ditandai dengan
kekakuan otot, tremor, perlambatan gerakan fisik (bradikinesia) dan dalam kasus
yang ekstrim, hilangnya gerakan fisik (akinesia).2,3
Penyakit Parkinson menyerang jutaan penduduk di dunia atau sekitar 1%
dari total populasi dunia. Penyakit tersebut menyerang penduduk dari berbagai
etnis dan status sosial ekonomi.4 Kejadian penyakit parkinson telah diperkirakan
4,5-21 kasus per 100.000 penduduk per tahun, dan perkiraan prevalensi berkisar
18-328 kasus per 100.000 penduduk, dengan sebagian besar studi menghasilkan
prevalensi sekitar 120 kasus per 100.000 penduduk.5 Kejadian penyakit parkinson
berhubungan dengan usia, yang berarti bahwa jumlah kasus akan meningkat
sebesar 25-30% selama 25 tahun ke depan.6
Di Skotlandia, terdapat sekitar 120 dan 230 pasien penyakit parkinson per
100.000 orang.6 Di Indonesia, diperkirakan sebanyak 876.665 orang dari total
jumlah penduduk sebesar 238.452.952 menderita parkinson. Total kasus kematian
akibat penyakit Parkinson di Indonesia menempati peringkat ke-12 di dunia atau
peringkat ke-5 di Asia, dengan prevalensi mencapai 1100 kematian pada tahun
2002.4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif sistem ekstrapiramidal
yang merupakan bagian dari parkinsonism yang secara patologis ditandai oleh
adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars kompakta
(SNC) yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy bodies).3
Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor pada waktu
istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibat penurunan
dopamin dengan berbagai macam sebab.2,3

2.2. Epidemiologi
Penyakit parkinson diakui sebagai salah satu gangguan neurologis yang paling
umum, mempengaruhi sekitar 1% dari orang yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden
dan prevalensi penyakit Parkinson meningkat dengan usia, dan usia rata-rata onset
adalah sekitar 60 tahun. Onset pada orang yang lebih muda dari 40 tahun relatif
jarang.5
Kejadian penyakit parkinson telah diperkirakan 4,5-21 kasus per 100.000
penduduk per tahun, dan perkiraan prevalensi berkisar 18-328 kasus per 100.000
penduduk, dengan sebagian besar studi menghasilkan prevalensi sekitar 120 kasus
per 100.000 penduduk.5 Di Indonesia, diperkirakan sebanyak 876.665 orang dari
total jumlah penduduk sebesar 238.452.952 menderita penyakit parkinson. Total
kasus kematian akibat penyakit parkinson di Indonesia menempati peringkat ke-
12 di dunia atau peringkat ke-5 di Asia, dengan prevalensi mencapai 1100
kematian pada tahun 2002.4
Suatu kepustakaan menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit parkinson
terjadi pada ras Kaukasian di Amerika Utara dan ras Eropa 0,98% hingga 1,94%,
menengah terdapat pada ras Asia 0,018% dan prevalensi terendah terdapat pada
ras kulit hitam di Afrika 0,01%.9 Penyakit parkinson 1,5 kali lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan pada wanita.5
2.3. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, penyakit parkinson dibagi menjadi 4 jenis yaitu: 9
a. Idiopati (primer) merupakan penyakit parkinson secara genetik.
b. Simptomatik (sekunder) merupakan penyakit parkinson akibat infeksi, obat,
toksin, vaskular, trauma, hipotiroidea, tumor, hidrosefalus tekanan normal,
hidrosefalus obstruktif.
c. Parkinson plus (multiple system degenerasion) merupakan parkinsonism
primer dengan gejala-gejala tambahan. Termasuk demensia lewy bodies,
progresif supranuklear palsi, atrofi multi sistem, degenerasi striatonigral,
degenerasi olivopontoserebelar, sindrom Shy-Drager, degenerasi
kortikobasal, kompleks parkinson demensia ALS (Guam), neuroakantositosis.
d. Parkinsonism herediter, terdiri dari penyakit wilson, penyakit huntington,
penyakit Lewy bodies.

2.4. Patogenensis
Studi postmortem secara konsisten menyoroti adanya kerusakan oksidatif dalam
patogenesis penyakit parkinson, dan khususnya kerusakan oksidatif pada lipid,
protein, dan DNA dapat diamati pada substansia nigra pars kompakta (SNc) otak
pasien penyakit parkinson sporadik. Stress oksidatif akan membahayakan
integritas neuron sehingga mempercepat degenerasi neuron. Sumber peningkatan
stress oksidatif ini masih belum jelas namun mungkin saja melibatkan disfungsi
mitokondria, peningkatan metabolisme dopamin yang menghasilkan hidrogen
peroksida dan reactive oxygen species (ROS) lain dalam jumlah besar,
peningkatan besi reaktif, dan gangguan jalur pertahanan antioksidan.3
Banyak bukti mengarah pada peran utama disfungsi mitokondria sebagai
dasar patogenesis penyakit parkinson, dan khususnya defek mitokondria complex-
I (complex-I) dari rantai respirasi. Defek complex-I mungkin yang paling tepat
menyebabkan degenerasi neuron pada penyakit parkinson melalui penurunan
sintesis ATP.3
Gambar 2.1. Patogenesis penyakit parkinson8

Mutasi patogen dan faktor lingkungan diketahui menyebabkan penyakit


parkinson akibat disfungsi mitokondria, kerusakan oksidatif, agregasi protein
abnormal dan fosforilasi protein yang mengorbankan fungsi neuronal
dopaminergik. Faktor lingkungan seperti pestisida dan racun langsung
menginduksi kerusakan oksidatif dan disfungsi mitokondria. A-synuclein
mengalami agregasi karena mutasi patogen atau oksidasi katekol yang
menginduksi stres ER dan menyebabkan disfungsi mitokondria. Disfungsi
mitokondria dan kerusakan oksidatif menyebabkan defisit ATP yang dapat
mengganggu fungsi UPS untuk mempromosikan agregasi protein abnormal.8
B-synuclein mencegah agregasi a-synuclein melalui aktivasi Akt
signaling. Parkin meningkatkan biogenesis mitokondria dengan mengaktifkan
faktor transkripsi mitokondria A (TFAM). DJ-1 melindungi terhadap stres
oksidatif, fungsi sebagai pendamping untuk memblokir agregasi a-synuclein dan
melindungi terhadap disfungsi mitokondria. PINK1 melindungi terhadap disfungsi
mitokondria akibat mutasi patogen, meskipun fungsi yang tepat dari PINK1 di
mitokondria masih belum diketahui.8
LRRK2 berperan dalam fungsi vesikel sinaptik, perkembangan neurite,
dan lain-lain. Mutasi patogen di LRRK2 menyebabkan abnormal fosforilasi
protein yang menginduksi kematian sel mitokondria. Selain itu, peran saraf dari
PGC-1a mencegah kerusakan oksidatif dan disfungsi mitokondria. Familial gen
parkinson-linked yaitu parkin, DJ-1 dan PINK1 berperan mengaktifkan PI3
kinase-Akt signaling. Aktivasi jalur Nrf2/ARE mencegah kerusakan oksidatif dan
disfungsi mitokondria dan mempertahankan kelangsungan hidup sel. PI3 kinase-
Akt signaling dan sinyal Nrf2/ARE bisa dieksplorasi sebagai target potensial
untuk intervensi terapeutik pada kematian neuronal dopaminergik.8

2.5. Patofisiologi
Secara umum dikatakan bahwa penyakit parkinson terjadi karena penurunan kadar
dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40
hingga 50 persen yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy
bodies).3
Lesi primer pada penyakit parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra
pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.3
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf
nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2
(inhibitorik) yang berada didendrit output neuron striatum. Output striatum
disalurkan ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis
lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek yang berkaitan dengan
reseptor D2. Apabila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada
kelainan gerakan.3
Pada penderita penyakit parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia
nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada
rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit parkinson belum
terlihat sampai lebih dari 50 persen sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin
berkurang sebanyak 80 persen.3
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur langsung
dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang
inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus palidus
segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga fungsi
inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi
dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nukleu subtalamikus
melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat akibat inhibisi.3
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus
segmen interna/substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang
eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus
palidus/substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik
dari jalur langsung, sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan ke arah
talamus. Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah
GABAergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan
dari talamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output
korteks motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokine.3

2.6. Manifestasi Klinis


Keadaan penderita pada umumnya diawali oleh gejala yang non spesifik, yang
didapat dari anamnesis yaitu kelemahan umum, kekakuan pada otot, pegal-pegal
atau kram otot, distonia fokal, gangguan ketrampilan, kegelisahan, gejala sensorik
(parestesia) dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi). Gambaran klinis
penderita parkinson:9
a. Tremor
Biasanya merupakan gejala pertama pada penyakit parkinson dan bermula
pada satu tangan kemudian meluas pada tungkai sisi yang sama. Kemudian
sisi yang lain juga akan turut terkena. Kepala, bibir dan lidah sering tidak
terlihat, kecuali pada stadium lanjut. Frekuensi tremor berkisar antara 4-7
gerakan per detik dan terutama timbul pada keadaan istirahat dan berkurang
bila ekstremitas digerakan. Tremor akan bertambah pada keadaan emosi dan
hilang pada waktu tidur.
b. Rigiditas
Pada permulaan rigiditas terbatas pada satu ekstremitas atas dan hanya
terdeteksi pada gerakan pasif. Pada stadium lanjut, rigiditas menjadi
menyeluruh dan lebih berat dan memberikan tahanan jika persendian
digerakan secara pasif. Rigiditas timbul sebagai reaksi terhadap regangan
pada otot agonis dan antagonis. Salah satu gejala dini akibat rigiditas ialah
hilang gerak asosiatif lengan bila berjalan. Rigiditas disebabkan oleh
meningkatnya aktivitas motor neuron alfa.
c. Bradikinesia
Gerakan volunter menjadi lambat dan memulai suatu gerakan menjadi sulit.
Ekspresi muka atau gerakan mimik wajah berkurang (muka topeng).
Gerakan-gerakan otomatis yang terjadi tanpa disadari waktu duduk juga
menjadi sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan monoton dan volume
suara berkurang (hipofonia).
d. Hilangnya refleks postural
Meskipun sebagian peneliti memasukan sebagai gejala utama, namun pada
awal stadium penyakit parkinson gejala ini belum ada. Hanya 37% penderita
penyakit parkinson yang sudah berlangsung selama 5 tahun mengalami gejala
ini. Keadaan ini disebabkan kegagalan integrasi dari saraf propioseptif dan
labirin dan sebagian kecil impuls dari mata, pada level talamus dan ganglia
basalis yang akan mengganggu kewaspadaan posisi tubuh. Keadaan ini
mengakibatkan penderita mudah jatuh.
e. Wajah Parkinson
Seperti telah diutarakan, bradikinesia mengakibatkan kurangnya ekspresi
muka serta mimik. Muka menjadi seperti topeng, kedipan mata berkurang,
disamping itu kulit muka seperti berminyak dan ludah sering keluar dari
mulut.
f. Mikrografia
Bila tangan yang dominan terlibat, maka tulisan secara graduasi menjadi kecil
dan rapat. Pada beberapa kasus hal ini merupakan gejala dini.
g. Sikap Parkinson
Bradikinesia menyebabkan langkah menjadi kecil, yang khas pada penyakit
parkinson. Pada stadium yang lebih lanjut sikap penderita dalam posisi kepala
difleksikan ke dada, bahu membongkok ke depan, punggung melengkung
kedepan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan.
h. Bicara
Rigiditas dan bradikinesia otot pernafasan, pita suara, otot faring, lidah dan
bibir mengakibatkan berbicara atau pengucapan kata-kata yang monoton
dengan volume yang kecil dan khas pada penyakit parkinson. Pada beberapa
kasus suara berkurang sampai berbentuk suara bisikan yang lamban.
i. Disfungsi otonom
Disfungsi otonom pada pasien penyakit parkinson memperlihatkan beberapa
gejala seperti disfungsi kardiovaskular (hipotensi ortostatik, aritmia jantung),
gastrointestinal (gangguan dismotilitas lambung, gangguan pencernaan,
sembelit dan regurgitasi), saluran kemih (frekuensi, urgensi atau
inkontinensia), seksual (impotensi atau hypersexual drive), termoregulator
(berkeringat berlebihan atau intoleransi panas atau dingin). Prevalensi
disfungsi otonom ini berkisar 14-18%. Patofisiologi disfungsi otonom pada
penyakit parkinson diakui akibat degenerasi dan disfungsi nukleus yang
mengatur fungsi otonom, seperti nukleus vagus dorsal, nukleus ambigus dan
pusat medullary lainnya seperti medulla ventrolateral, rostral medulla,
medulla ventromedial dan nukleus rafe kaudal.
j. Gerakan bola mata
Mata kurang berkedip, melirik kearah atas terganggu, konvergensi menjadi
sulit, gerak bola mata menjadi terganggu.
k. Tanda Myerson
Dilakukan dengan jalan mengetok di daerah glabela berulang-ulang. Pasien
Parkinson tidak dapat mencegah mata berkedip pada tiap ketokan. Disebut
juga sebagai tanda “Myerson”.
l. Demensia
Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan intelektual progresif
yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional, sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas sehari-hari.
Kelainan ini berkembang sebagai konsekuensi patologi penyakit parkinson
disebut kompleks parkinsonism demensia. Demensia pada penyakit parkinson
mungkin baru akan terlihat pada stadium lanjut, namun pasien penyakit
parkinson telah memperlihatkan perlambatan fungsi kognitif dan gangguan
fungsi eksekutif pada stadium awal. Gangguan fungsi kognitif pada penyakit
parkinson yang meliputi gangguan bahasa, fungsi visuospasial, memori
jangka panjang dan fungsi eksekutif ditemukan lebih berat dibandingkan
dengan proses penuaan normal. Persentase gangguan kognitif diperkirakan
20%.
m. Depresi
Sekitar 40% penderita penyakit parkinson terdapat gejala depresi. Hal ini
dapat disebabkan kondisi fisik penderita yang mengakibatkan keadaan yang
menyedihkan seperti kehilangan pekerjaan, kehilangan harga diri dan merasa
dikucilkan. Hal ini disebabkan keadaan depresi yang sifatnya endogen. Secara
anatomi keadaan ini dapat dijelaskan bahwa pada penderita parkinson terjadi
degenerasi neuron dopaminergik dan juga terjadi degenerasi neuron
norepineprin yang letaknya tepat dibawah substansia nigra dan degenerasi
neuron asetilkolin yang letaknya diatas substansia nigra.

2.7. Diagnosa
Diagnosis penyakit parkinson didasarkan pada riwayat medis dan
pemeriksaan neurologis melalui wawancara dan mengamati pasien secara
langsung menggunakan Unified Parkinson's Disease Skala Rating. Sebuah
radiotracer untuk mesin pemindaian SPECT yang disebut DaTSCAN dibuat oleh
General Electric untuk mendiagnosis penyakit parkinson, tetapi hanya dipasarkan
di Eropa. Oleh karena itu, penyakit ini sulit untuk didiagnosis secara akurat,
terutama pada tahap awal.2
Diagnosis penyakit parkinson berdasarkan gejala klinis dilihat dari gejala
motorik utama yaitu tremor pada waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan
hilangnya refleks postural. Kriteria yang dipakai di Indonesia adalah kriteria
Hughes (1992) yaitu:3
 Possible: bila ditemukan 1 dari gejala-gejala utama
 Probable: bila ditemukan 2 dari gejala-gejala utama
 Definite: bila ditemukan 3 dari gejala-gejala utama
Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan stadium klinis
berdasarkan Hoehn and Yahr (1967) yaitu: 3
 Stadium 1: Gejala dan tanda pada satu sisi, terdapat gejala yang ringan,
terdapat gejala yang mengganggu tetapi belum menimbulkan kecacatan,
biasanya terdapat tremor pada satu anggota gerak, gejala yang timbul dapat
dikenali orang terdekat (teman).
 Stadium 2: Terdapat gejala bilateral, terdapat kecacatan minimal, sikap/cara
berjalan terganggu.
 Stadium 3: Gerak tubuh nyata melambat, keseimbangan mulai terganggu saat
berjalan/berdiri, disfungsi umum sedang.
 Stadium 4: Terdapat gejala yang berat, masih dapat berjalan hanya untuk jarak
tertentu, rigiditas dan bradikinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor dapat
berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.
 Stadium 5: Stadium kakhetik (cachactic stage), kecacatan total, tidak mampu
berdiri dan berjalan walaupun dibantu.
Penyakit parkinson adalah diagnosis klinis. Tidak terdapat biomarker
laboratorium dan temuan rutin pada Magnetic Resonance Imaging (MRI) ataupun
computed tomography (CT) scan. Tomografi emisi positron (PET) dan single-
photon emisi CT (SPECT) mungkin menunjukkan temuan yang konsisten dengan
penyakit parkinson, dan pengujian penciuman dapat memberikan bukti menunjuk
ke arah penyakit parkinson, namun studi ini tidak secara rutin diperlukan.5
2.8. Penatalaksanaan
Dalam penatalaksanaan penyakit parkinson, pengobatan dikelompokkan
menjadi 3 kelompok yaitu bekerja pada sistem dopaminergik, sistem kolinergik
dan sistem glutamatergik. Dari ketiga macam pengobatan mempunyai tujuan yang
sama yaitu mengurangi gejala motorik dari penyakit parkinson. 3

Gambar 2.2. Algoritma penatalaksanaan penyakit parkinson

Pengobatan gejala awal penyakit parkinson


Pasien dengan gejala awal penyakit parkinson dapat dipertimbangkan
untuk pengobatan dengan levodopa yang dikombinasi dengan inhibitor dopa
dekarboksilase. Kombinasi ini memberikan manfaat terbesar dengan efek
merugikan jangka pendek yang paling sedikit.5,6
a. Pasien dengan gejala awal penyakit parkinson dapat dipertimbangkan untuk
pengobatan dengan oral/transdermal agonis dopamin.6 Agonis dopamin juga
sebagai tambahan levodopa pada pasien yang memburuk dan pada mereka
yang mengalami fluktuasi dalam respon terhadap levodopa.5
b. Pasien dengan gejala awal penyakit parkinson dapat dipertimbangkan untuk
pengobatan dengan Inhibitor monoamine oxidase B.6 Inhibitor monoamine
oxidase B seperti rasagiline dan selegiline memberikan manfaat sebagai
tambahan untuk levodopa pada pasien yang mengalami fluktuasi motorik.5
c. Obat antikolinergik sebaiknya tidak digunakan sebagai pengobatan lini
pertama pada pasien penyakit parkinson.6 Obat antikolinergik digunakan
untuk pengobatan tremor saat istirahat. Namun, tidak terlalu efektif untuk
bradikinesia, kekakuan, gangguan cara berjalan atau fitur lain dari penyakit
parkinson. Oleh karena itu, antikolinergik biasanya disediakan untuk
pengobatan tremor yang tidak terkontrol dengan obat-obat dopaminergik.5

Pengobatan penyakit parkinson tahap lanjut


a. Agonis dopamin (oral/transdermal) dapat dipertimbangkan untuk pengelolaan
komplikasi motorik pada pasien penyakit Parkinson lanjut.6
b. Inhibitor monoamine oxidase B dapat dipertimbangkan untuk pengobatan
komplikasi motorik pada pasien penyakit Parkinson lanjut.6
c. Inhibitor Catekol-o-metil transferase (COMT) dapat dipertimbangkan pada
pasien dengan penyakit parkinson tingkat lanjut yang memiliki fluktuasi
motorik.6 Inhibitor catekol-o-metil transferase (COMT) seperti entacapone
dan tolcapone juga dapat digunakan untuk meningkatkan waktu paruh
levodopa, sehingga memberikan efek levodopa ke otak dalam waktu yang
lebih lama.5

2.9. Prognosis
Penyakit parkinson tidak dianggap sebagai penyakit yang fatal dengan sendirinya,
tapi berkembang dengan waktu. Harapan hidup rata-rata pasien penyakit
parkinson pada umumnya lebih rendah daripada orang yang tidak memiliki
penyakit. Pada tahap akhir, penyakit parkinson dapat menyebabkan komplikasi
seperti tersedak, pneumonia, dan jatuh yang dapat menyebabkan kematian.2
Perkembangan gejala pada penyakit parkinson dapat berlangsung 20 tahun
atau lebih. Pada beberapa orang, penyakit berlangsung lebih cepat. Dengan
perawatan yang tepat, kebanyakan orang dengan penyakit parkinson dapat hidup
produktif selama bertahun-tahun setelah didiagnosis.2
BAB 3
KESIMPULAN

Penyakit Parkinson merupakan penyakit neurodegeneratif sistem


ekstrapiramidal yang merupakan bagian dari parkinsonism yang secara patologis
ditandai oleh adanya degenerasi ganglia basalis terutama di substansia nigra pars
kompakta (SNC) yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik (lewy
bodies). Penyakit parkinson merupakan salah satu gangguan neurologis yang
paling umum, mempengaruhi sekitar 1% dari orang yang lebih tua dari 60 tahun
dan lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Banyak bukti
menyatakan bahwa disfungsi mitokondria sebagai dasar patogenesis penyakit
parkinson ini yang ditandai dengan gejala motorik utama seperti tremor pada
waktu istirahat, rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural. Standar
emas pengobatan penyakit parkinson adalah levodopa yang dikombinasi dengan
carbidopa, inhibitor dekarboksilase perifer (PDI). Levodopa memberikan manfaat
antiparkinson terbesar untuk tanda-tanda dan gejala motorik, dengan efek samping
paling sedikit.
DAFTAR PUSTAKA

1. Golbe, L.I. Parkinson’s disease handbook. The American Parkinson’s


Disease Association. 2010; 1-44.
2. Sunaryati, Titiek. Penyakit parkinson. Jurnal Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya. 2011; 1: 1-10.
3. Silitonga, R. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup
penderita penyakit parkinson di poliklinik saraf RS DR Kariadi. Tesis
Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro. 2007; 1-75.
4. Noviani, E, Untung G, Joko S. Hubungan antara merokok dengan penyakit
parkinson di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of
Health. 2010; 4: 1-6.
5. Hauser, RA, 2015. Parkinson disease. Medscape. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1831191-overview#a6. [Accesed:
27 september 2015].
6. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Diagnosis and
pharmacological management of Parkinson’s disease. 2010: 1-68.
7. A, Basjiruddin. Manajemen dari penyakit parkinson yang lanjut. Makalah
Universitas Andalas. 2012; 1-16.
8. Thomas, B and M. Flint Beal. Parkinson’s disease. Riview issue: Human
molecular genetics. 2007; 16: 1-12.
9. Hendrik, LN. Depresi berkorelasi dengan rendahnya kualitas hidup
penderita parkinson. Tesis Universitas Udayana. 2013; 1-118.

Anda mungkin juga menyukai