Anda di halaman 1dari 1

Salah satu asumsi yang berkembang di masyarakat terkait pembuatan perjanjian adalah perjanjian

harus dibuat dan/atau dibuatkan dalam bentuk akta notaris agar perjanjian tersebut sah secara
hukum. Asumsi tersebut tidaklah benar. Suatu perjanjian tetap sah berlaku meski tidak dibuat di
hadapan notaris. Hal ini merujuk pada ketentuan pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (“KUHPerdata”) yang menjelaskan syarat sahnya suatu perjanjian adalah sebagai berikut:
Ada kesepakatan dari para pihak; Para pihak yang terikat cakap secara hukum; Tentang suatu hal
tertentu; Menyangkut sebab yang tidak dilarang Dalam hal ini, perjanjian yang dibuat dan
ditandatangani para pihak tanpa melibatkan notaris atau pejabat umum lainnya disebut sebagai
Perjanjian Bawah Tangan. Sedangkan suatu perjanjian yang dibuat di hadapan Notaris, disebut
sebagai Perjanjian Notariil atau secara garis besar disebut sebagai Akta Otentik. Akta Otentik
adalah suatu akta yang dibuat berdasarkan ketentuan undang-undang oleh pejabat umum yang
berwenang, dalam hal ini notaris dan dibuat di tempat kedudukan pejabat umum tersebut. (Pasal
1868 KUHPerdata). Hal yang membedakan antara Perjanjian Bawah Tangan dengan Perjanjian
Notariil terletak pada kekuatan pembuktian perjanjian tersebut di hadapan pengadilan apabila pada
suatu waktu terjadi sengketa. Suatu akta/perjanjian yang dibuat dihadapan Notaris memiliki tingkat
pembuktian yang sempurna sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata: Suatu akta otentik
memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari
mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya“. Pembuktian yang
sempurna di sini bermakna: Tidak dapat disangkal keberadaannya. Hal ini dikarenakan perjanjian
tersebut dibuat oleh Notaris; Tidak dapat disangkal isinya, hal ini dikarenakan Notaris telah
memastikan bahwa isi para pihak dalam perjanjian memahami isi dari perjanjian dengan cara
membacakannya di hadapan para pihak dan memastikan bahwa tanda tangan tersebut sesuai
dengan aslinya. Dengan demikian, apabila suatu Perjanjian Notariil diajukan sebagai alat bukti di
pengadilan, maka perjanjian tersebut menjadi alat bukti yang tidak dapat disangkal oleh para
pihak. Hakim pun harus mempercayai alat bukti tersebut sah. Pengecualian dalam hal ini adalah,
apabila pihak lawan atau terdapat bukti lain yang menyatakan sebaliknya. Lalu, bagaimana status
pembuktian untuk Perjanjian Bawah Tangan? Perjanjian Bawah Tangan juga dapat dijadikan
sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1875 KUHPerdata yang berbunyi:
“Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai,
atau dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-
orang yang menandatanganinya …………….. bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik….”.
Hal tersebut bermakna, Perjanjian Bawah Tangan hanya dapat menjadi bukti yang sempurna hanya
apabila “diakui oleh para pihak” dalam perjanjian. Apabila salah satu pihak menyangkal keberadaan
Perjanjian Bawah Tangan tersebut, maka hakim diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan atas
kebenaran perjanjian tersebut di muka pengadilan (1877 KUHperdata) dan mengajukan bukti-bukti
pendukung lainnya. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian tidak harus
dibuat di hadapan notaris (kecuali apabila berdasarkan ketentuan undang-undang perjanjian
tersebut wajib dibuat di hadapan Notaris). Adapun pertimbangan untuk melibatkan notaris dalam
pembuatan perjanjian adalah untuk memperkecil risiko di kemudian hari apabila terdapat sengketa
terkait dan/atau melibatkan perjanjian tersebut. Author: Lita Paromita Siregar Anda membutuhkan
konsultasi untuk penyusunan perjanjian bagi perusahaan atau bisnis Anda? Kami dapat membantu
Anda. Hubungi kami di 0821-1234-1235 atau melalui email: slc@smartlegal.id.

Sumber: Apakah Setiap Perjanjian Harus Dibuat di Hadapan Notaris?

Anda mungkin juga menyukai