Anda di halaman 1dari 18

Fathma Mardhotilla

1610312056
22 D

SKENARIO 2
BERAWAL DARI SUSU YANG KADALUARSA
Pak Hadi adalah ayah dari bayi berusia 9 bulan. Pada 6 Juli lalu, putrinya menderita diare
dan dibawa ke Puskesmas. Selama di Puskesmas Pak Hadi merasa tidak puas karena lamanya
waktu tunggu, pelayanan yang tidak ramah dan kondisi puskesamas yang tidak nyaman. Setelah
diperiksa oleh Dokter Puskesmas, bayinya sudah dalam kondisi dehidrasi sehingga dirujuk ke RS
Melati.
Pak Hadi merasa cemas karena ia pernah membaca, bahwa tahun 2014 angka kematian
bayi (AKB) masih cukup tinggi, yaitu 25 kematian per 1000 kelahiran hidup dan sekitar 40%
penyebab kematian bayi dikarenakan oleh penyakit infeksi, yaitu pneumonia dan diare. Kejadian
Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan Case Fatality Rate (CFR) yang masih
tinggi. Berbagai program pemerintah sudah dilaksanakan untuk pencegahan diare ini diantaranya
PHBS, penyehatan lingkungan, imunisasi, pemberian oralit dan lain-lain
Bayi Pak Hadi mendapatkan susu formula buatan X di Rumah Sakit Melati Tetapi kondisi
bayinya bertambah buruk. Belakangan diketahui bahwa masa kadaluarsa susu itu sudah lewat satu
bulan. Pak Hadi menduga, akibat mengonsumsi susu itu kondisi bayinya bertambah buruk. Dia
sudah menanyakan persoalan ini kepada petugas kesehatan di RS tersebut dan meminta catatan
medis anaknya, namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Dia juga meminta bertemu
dengan Direktur RS Melati, tetapi karyawan RS Melati mengatakan bahwa direkturnya sedang
menghadiri seminar di luar kota. Pak Hadi akhirnya memindahkan bayinya ke RS lain. Pekan lalu,
Pak Hadi meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di kotanya untuk menyelesaikan
masalah ini secara hukum.
Pak Hadi adalah masyarakat awam tetapi dia juga sangat mengerti dengan mutu pelayanan
publik terutama pelayanan kesehatan. Dalam kasus di atas ada beberapa dimensi mutu pelayan
yang dilanggar oleh rumah sakit dan kurangnya penerapan patient safety. Menurut Pak Hadi
seharusnya ada pedoman pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan dimensi mutu dan patient
safety di Puskesmas dan rumah sakit.
Bagaimana anda menjelaskan kondisi di atas?
1. TERMINOLOGI
1) Diare
Buang air besar dengan konsistensi cair (mencret) sebanyak 3 kali atau lebih dalam satu
hari (24 jam) (WHO). Sementara untuk bayi dan anak-anak, diare didefinisikan sebagai
pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal bayi
sebesar 5-10 g/kg/ 24 jam (Juffrie,
2010).
2) Dehidrasi
Dehidrasi adalah kondisi ketika tubuh kehilangan lebih banyak cairan daripada yang
didapatkan, sehingga keseimbangan zat gula dan garam menjadi terganggu, akibatnya
tubuh tidak dapat berfungsi secara normal.
3) AKB
Angka kematian bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi di bawah satu tahun untuk setiap
1.000 kelahiran hidup.
4) Pneumonia
Pneumonia atau dikenal juga dengan istilah paru-paru basah adalah infeksi yang
mengakibatkan peradangan pada kantong-kantong udara di salah satu atau kedua paru-
paru. Pada penderita pneumonia, sekumpulan kantong-kantong udara kecil di ujung saluran
pernapasan dalam paru-paru (alveoli) akan meradang dan dipenuhi cairan atau nanah.
Akibatnya, penderita mengalami sesak napas, batuk berdahak, demam, atau menggigil.
5) KLB
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk
mengklasifikasikan peristiwa pernyakit yang merebak dan dapat berkembang menjadi
wabah penyakit. Istilah "KLB" dengan "wabah" sering tertukar dipakai oleh masyarakat,
tetapi istilah "wabah" digunakan untuk kondisi yang lebih parah dan luas. Istilah KLB
dapat dikatakan sebagai peringatan sebelum terjadinya wabah.
6) CFR
Case Fatality Rate merupakan suatu angka yang dinyatakan ke dalam persentase yang
berisikan data orang mengalami kematian akibat suatu penyakit tertentu. Pada dasarnya
Case Fatality Rate digunakan pada pengkuran penyakit menular.
7) LBH
lembaga non profit yang memberikan bantuan hukum baik litigasi maupun non-litigasi
kepada masyarakat yang tidak mampu guna melindungi hak asasi masyarakat Indonesia
untuk mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana tujuan lembaga bantuan hukum
pada UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.
8) Mutu Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan kesehatan
yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata serata penyelenggaraannya sesuai dengan
standart dan kode etik profesi.
9) Dimensi Mutu
Kemampuan fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan layanan maupun produk
perawatan kesehatan sesuai dengan yang diinginkan. Ada Sembilan (9) dimensi mutu
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan, yaitu: efektif, sesuai, aman, efisien,
responsif, dapat diakses, kontinyu, mampu, dan berkelanjutan. Beda halnya dengan buku
quality of care oleh WHO tahun 2006 bahwa ada enam (6) dimensi mutu dalam pelayanan
kesehatan yaitu: efektif, efisien, dapat diakses, dapat diterima/berfokus pada pasien, adil,
dan aman
10) Patient Safety
Patient safety adalah bebas dari cidera aksidental atau menghindarkan cidera pada pasien
akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan. Accidental injury disebabkan karena
error akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (omission) (Supari, 2005)
11) Patient Safety Rumah Sakit
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit
membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk: assesment/analisa resiko,
identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan
analisis insiden, kemampuan belajar dari insident dan tindak lanjutnya serta implementasi
solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang
di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya dilakukan (DepKes RI, 2006).

2. RUMUSAN MASALAH
1) Apa saja penyebab diare pada bayi usia 9 bulan?
2) Bagaimana standar pelayanan dan kondisi standar puskesmas sebagai fasilitas kesehatan
tingkat pertama?
3) Mengapa kondisi dehidrasi pada bayi Pak Hadi harus dirujuk ke RS Melati?
4) Apa yang menyebabkan AKB masih cukup tinggi di Indonesia?
5) Apa kriteria KLB?
6) Apa saja program pemerintah yang dilakukan untuk pencegahan diare?
7) Mengapa RS rujukan seperti RS Melati memberikan sufor kadaluarsa kepada pasien?
8) Apakah pasien/ keluarga pasien berhak meminta rekam medis?
9) Apakah terdapat dasar hukum atas keluhan Pak Budi terhadap pelayanan kesehatan yang
didapatkannya?
10) Apa saja pedoman pelayanan kesehatan?
11) Apa saja indikator untuk mengukut mutu pelayanan kesehatan?
12) Apa saja dimensi mutu pelayanan kesehatan?
13) Apa saja yang menjadi hak dan tanggung jawab puskesmas dan rumah sakit dalam
pelayanan kesehatan?
3. ANALISIS MASALAH
1) Apa saja penyebab diare pada bayi usia 9 bulan?
Menurut World Gastroenterology Organization global guidelines 2005, etiologi diare akut dibagi
atas empat penyebab: 1. Bakteri : Shigella, Salmonella, E. Coli, Gol. Vibrio, Bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Stafilokokus aureus, Campylobacter aeromonas 2. Virus : Rotavirus,
Adenovirus, Norwalk virus, Coronavirus, Astrovirus 3. Parasit : Protozoa, Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia, Balantidium coli, Trichuris trichiura, Cryptosporidium parvum, Strongyloides
stercoralis 4. Non infeksi : malabsorpsi, keracunan makanan, alergi, gangguan motilitas,
imunodefisiensi, kesulitan makan, dll.
Klasifikasi
Terdapat beberapa pembagian diare:
1. Berdasarkan lamanya diare:
a. Diare akut, yaitu diare yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik, yaitu diare yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan kehilangan berat badan
atau berat badan tidak bertambah (failure to thrive) selama masa diare tersebut. (Suraatmaja,
2007).
2. Berdasarkan mekanisme patofisiologik:
a. Diare sekresi (secretory diarrhea)
b. Diare osmotic (osmotic diarrhea) (Suraatmaja, 2007)
2) Bagaimana standar pelayanan dan kondisi standar puskesmas sebagai fasilitas
kesehatan tingkat pertama? Bagaimana hak dan kewajiban Puskesmas?
Sebelum membahas hak dan kewajiban Puskesmas, diperlukan pemahaman yang mendalam
mengenai pengertian Puskesmas. Berikut ini beberapa pengertian Puskesmas:
1. Puskesmas adalah unit pelaksana tehnis Dinas Kesehatan Kab/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan disatu atau sebagian wilayah kecamatan
(Kepmenkes No.128 th 2004).
2. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/ kota yang bertanggung
jawab menyelenggarakan pengembangan kesehatan di suatu wilayah kerja (Departemen
Kesehatan RI, 2004).
3. Pusat Kesehatan Masyarakat ( Puskesmas ) adalah : suatu kesatuan organisasi Kesehatan yang
langsung memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terintegrasi di masyarakat
disuatu wilayah kerja tertentu dalam usaha-usaha kesehatan pokok (Departemen Kesehatan
RI 1981).
4. Puskesmas adalah sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat serta
menyelenggarakan pelayanan kesehatan terdepan dan terdekat dengan masyarakat dalam
bentuk kegiatan pokok yang menyeluruh dan terpadu di wilayah kerjanya. Puskesmas adalah
suatu unit organisasi fungsional yang secara profesional melakukan upaya pelayanan
kesehatan pokok yang menggunakan peran serta masyarakat secara aktif untuk dapat
memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di suatu wilayah
kerja tertentu (Departemen Kesehatan RI, 1987).
5. Puskesmas adalah suatu organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat
pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping
memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di
wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan perkataan lain puskesmas
mempunyai wewenang dan tanggungjawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam
wilayah kerjanya (Departemen Kesehatan RI, 1991).
6. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertangungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja tertentu
(Departemen Kesehatan RI, 2006).
HAK DAN KEWAJIBAN PUSKESMAS
Puskesmas dalam melaksanakan pelayanan kesehatan dasar (PKD) kepada seluruh target
sasaran masyarakat di wilayah kerjanya, memiliki hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
kesehatan. Namun, hingga saat ini belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur
tentang hak dan kewajiban puskesmas, sebagaimana undang-undang tentang Rumah Sakit.
Perlu bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang mengatur tentang Puskesmas secara khusus.
Pada KMK no. 128 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat hanya mengatur tentang
tujuan dan fungsi, upaya dan azas penyelenggaran, dan manajemen puskesmas.
2.1 Hak Puskesmas
Hak puskesmas belum di atur secara khusus dalam perundang-undangan. Namun ada beberapa hal
yang hampir merujuk kepada hak puskesmas, yaitu puskesmas berhak untuk diperkuat oleh
Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling, Posyandu, dan Poskesdes dalam melaksanakan tugas
di wilayah kerjanya.
2.2 Kewajiban Puskesmas
Seperti halnya hak, kewajiban puskesmas pun belum diatur secara jelas dalam undang-undang.
Namun, dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 128 tentang Kebijakan Dasar Puskesmas, diatur
tentang upaya kesehatan wajib, fungsi dan tugas, dan azas penyelenggaraan puskesmas yang
konteksnya hampir mirip dengan kewajiban puskesmas, yakni:
Menggerakan Pembangunan Kesehatan Berwawasan Kesehatan
1) Berupaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di wilayah kerjanya agar
menyelenggarakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,
2) Aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap program
pembangunan di wilayah kerjanya
3) Mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan masyarakat :
1) Memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan melayani diri sendiri dan masyarakat untuk
hidup sehat
2) Berperan aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaan
3) Ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan mencakup:
1) Pelayanan kesehatan perorangan
2) Pelayanan kesehatan masyarakat.
1. Melakukan koordinasi dengan sektor terkait dalam pemberian pelayanan kesehatan seperti Rumah
Sakit Umum, Posyandu, Polindes dan jaringan pelayanan kesehatan lain dan dalam fungsi
pembinaan (Dinkes Kabupaten dan Kantor Kecamatan);
2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya;
3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pemerataan kesehatan yang
diselenggarakan;
4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan masyarakat beserta
lingkungannya;
5. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat
tinggal di wilayah kerja puskesmas agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi- tingginya;
Program kesehatan yang telah dilaksanakan oleh puskesmas untuk masyarakat sekitar sudah
banyak dilaksanakan. Dampak positifnya pun sudah banyak terlihat, sehingga semakin dekat
langkah kita menuju masyarakat yang sehat. Akan tetapi, meskipun banyak hal yang telah dapat
dicapai, masih ada permasalahan yang ada dalam penyelenggaraan puskesmas. Masalah tersebut
diantaranya adalah belum adanya undang-undang yang khusus mengatur mengenai hak dan
kewajiban puskesmas.
Selama ini, penyelenggaraan puskesmas belum bisa dioptimalkan sebagaimana yang tercantum
dalam tugas pokok dan fungsi puskesmas itu sendiri. Tidak adanya undang- undang yang secara
resmi mengatur hak dan kewajiban puskesmas menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini perlu
dipertanyakan kepada pemerintah mengenai alasan ketiadaan undang- undang tersebut. Padahal,
puskesmas sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan juga memiliki andil yang sama dalam
memajukan kesehatan masyarakat, di samping rumah sakit.
Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan strata pertama seharusnya mendapatkan perhatian yang
lebih dari pemerintah. Mengingat puskesmas sebagai instansi kesehatan yang bersifat promotif dan
preventif, dimana keduanya merupakan upaya kesehatan wajib bagi masyarakat. Oleh karena itu,
sudah semestinya pemerintah membuat peraturan yang lebih terperinci termasuk mengenai hak
dan kewajiban puskesmas dalam bentuk undang- undang. Hal ini dimaksudkan untuk dapat
menguatkan memperjelas posisi puskesmas dalam kedudukannyan sebagai pusat layanan
kesehatan.Selama ini peraturan yang menjadi dasar penyelenggaraan puskesmas hanyalah
Permenkes, yakni Permenkes No.128 tentang kebijakan dasar puskesmas.
Perundang- undangan tersebut sebaiknya dibuat sebelum muncul isu di kalangan masyarakat yang
mengganggu stabilitas kesehatan nasional. Undang- undang tersebut dapat digunakan untuk
mencegah terjadinya masalah kesehatan di kemudian hari. Selain itu, undang- undang juga dapat
menjadi acuan mengenai hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam penyelenggaraan
puskesmas.
Dengan adanya undang- undang yang mengatur tentang puskesmas, maka diharapkan program
kesehatan yang dicanangkan pemerintah dapat tercapai, seperti Indonesia Sehat 2010. Salah satu
kendalanya adalah belum adanya peraturan tertinggi yang diakui pemerintah, yakni undang-
undang yang dapat mendukung permenkes mengenai hal ini.
3) Mengapa kondisi dehidrasi pada bayi Pak Hadi harus dirujuk ke RS Melati?
Menurut SKDI, dehidrasi adalah kasus 3B.
Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi:
a) Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda
di bawah ini atau lebih :
- Keadaan Umum : baik
- Mata : Normal
- Rasa haus : Normal, minum biasa
- Turgor kulit : kembali cepat
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi
sbb :
Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali
anak mencret
Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali
anak mencret
Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali
anak mencret
b) Diare dehidrasi Ringan/Sedang Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila terdapat 2
tanda di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Gelisah, rewel
Mata : Cekung
Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
Turgor kulit : Kembali lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya diteruskan dengan
pemberian oralit seperti diare tanpa dehidrasi.
c) Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak sadar
Mata : Cekung
Rasa haus : Tidak bisa minum atau malas minum
Turgor kulit : Kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas untuk di infus.
4) Apa yang menyebabkan AKB masih cukup tinggi di Indonesia?
Pengertian Angka Kematian Bayi (AKB) (Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 2015:2)
adalah jumlah kematian bayi dalam usia 28 hari pertama kehidupan per 1000 kelahiran hidup.
Dijelaskan pada jurnal ini penyebab kematian bayi, ada dua macam yaitu endogen dan eksogen.
Kematian bayi endogen atau kematian neonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa bayi
sejak dilahirkan, yang dapat diperoleh dari orang tuanya pada saat konsepsi. Sedangkan kematian
bayi eksogen atau kematian postneonatal disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan
pengaruh lingkungan luar. Menurut Prasetyawati (Jurnal Biomerika dan Kependudukan, 2012:13)
mengungkapkan pendapat lain tentang penyebab kematian pada bayi. Tingginya angka kematian
bayi disebabkan oleh penyakit infeksi saluran pencernaan (diare), infeksi saluran pernapasan atas
(ispa), penyakit infeksi lain seperti campak (morbili), kurang gizi dan lain-lain. Adanya penyakit
tersebut disebabkan karena lingkungan dan sanitasi yang buruk, pendidikan yang rendah serta
kemiskinan.
5) Apa kriteria KLB?
7 (tujuh) Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB) Menurut Permenkes 1501 Tahun 2010 adalah:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
pada suatu daerah
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus-menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari
atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan periode
sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari, atau minggu menurut jenis penyakitnya
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan kenaikan dua kali
atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata jumlah per bulan dalam tahun sebelumnya
5. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan
dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun
sebelumnya
6. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu) kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka
kematian kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama
7. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu periode
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode sebelumnya dalam kurun waktu
yang sama
6) Apa saja program pemerintah yang dilakukan untuk pencegahan diare?
pengendalian penyakit diare di Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian karena diare bersama lintas program dan lintas sektor terkait. Kebijakan yang
ditetapkan pemerintah dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian karena diare adalah
sebagai berikut:
 Melaksanakan tata laksana penderita diare yang sesuai standar, baik di sarana kesehatan maupun
di rumah tangga
 Melaksanakan surveilans epidemiologi & Penanggulan Kejadian Luar Biasa
 Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit Diare
 Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam pengelolaan program yang meliputi
aspek manejerial dan teknis medis.
 Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas program
 Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan pengendalian penyakit diare.
 Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan selanjutnya.
Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah adalah:
1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui lima
langkah tuntaskan diare ( LINTAS Diare).
2. Meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan benar.
3. Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB diare.
4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi.
7) Mengapa RS rujukan seperti RS Melati memberikan sufor kadaluarsa kepada
pasien?
Kurangnya manajemen, sistem pencatatan, dan patient safety pada RS Melati.
8) Apakah pasien/ keluarga pasien berhak meminta rekam medis?
Keberadaan rekam medis (medical record) di Indonesia telah ada sejak zaman penjajahan.
Peraturan mengenai rekam medis telah melalui perbaikan-perbaikan oleh Pemerintah Indonesia.
Dimulai dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 031/Birhub/1972 tentang
diwajibkannya semua rumah sakit untuk mengerjakan medical recording dan
reporting serta hospital statistic, hingga saat ini telah ada regulasi yang secara khusus mengatur
tentang rekam medis
Pengaturan tentang rekam medis saat ini dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (‘‘UU Praktik Kedokteran“), Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 36
Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran.
Adapun rekam medis sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis adalah “berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah
diberikan kepada pasien.“
Tenaga medis seperti dokter, dokter gigi, dokter spesialis dan dokter gigi spesialis diwajibkan
membuat rekam medis pasien secara lengkap dan jelas. Baik secara tertulis maupun pencatatan
secara elektronik yang mendokumentasikan hasil pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lainnya yang diberikan pada pasien. Kemudian rekam medis harus dibubuhi nama,
waktu dan tanda tangan tenaga medis yang memberikan pelayanan kesehatan tersebut kepada
pasien. Kewajiban tersebut dapat ditemui juga dalam UU Praktik Kedokteran pasal 46 ayat (3)
yang menjelaskan bahwa:
“Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan. Yang dimaksud dengan “petugas” adalah dokter atau
dokter gigi atau tenaga kesehatan lain yang memberikan pelayanan langsung kepada pasien.
Apabila dalam pencatatan rekam medis menggunakan teknologi informasi elektronik, kewajiban
membubuhi tanda tangan dapat diganti dengan menggunakan nomor identitas pribadi (personal
identification number).“
Rekam medis sebagai berkas yang memuat informasi-informasi medis Pasien wajib dijaga
kerahasiannya, sehingga tidak setiap orang dapat mengakses dan memanfaatkan rekam medis
tersebut secara bebas.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis dan Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran mengatur bahwa
informasi medis Pasien yang terdapat pada rekam medis dapat dimanfaatkan atas persetujuan
pasien atau keluarganya yang berhak, dengan cara mengajukan surat tertulis kepada Pimpinan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan harus tetap dijaga kerahasiaanya. Adapun kegunaan rekam
medis, antara lain:
1. Pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pasien
2. Alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan
penegakan etika kedokteran dan etika kedokteran gigi.
3. Keperluan pendidikan dan penelitian
4. Dasar pembayar biaya pelayanan kesehatan; dan
5. Data statistik kesehatan
Informasi medis pasien tidak lagi bersifat rahasia apabila pasien atau keluarga terdekat pasien
menuntut tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan serta menginformasikannya
melalui media massa karena dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum,
sehingga tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan berwenang juga untuk membuka
atau mengungkap rahasia kedokteran yang bersangkutan sebagai hak jawab.
Demikian juga, dalam hal pihak pasien menggugat tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan
kesehatan, maka tenaga kesehatan dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan yang digugat berhak
untuk membuka rahasia kedokteran dalam rangka pembelaan di dalam sidang pengadilan.
Kalau begitu, Siapakah sebenarnya pemilik dari rekam medis Pasien?
Merujuk kepada regulasi tentang Rekam Medis pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 269
Tahun 2008, diatur dengan tegas bahwa berkas rekam medis adalah milik Fasilitas Pelayanan
Kesehatan, sedangkan isi dari rekam medis merupakan milik pasien dalam bentuk ringkasan rekam
medik yang dapat diberikan, dicatat atau dicopy oleh pasien atau orang yang diberi kuasa atas
persetujuan tertulis pasien atau keluarga pasien yang berhak untuk itu, sehingga Pasien tidak
memiliki hak atas berkas rekam medis tersebut.
Berdasarkan Peraturan tersebut, dapat diketahui bahwa yang berhak mendapatkan ringkasan rekam
medis adalah pasien, keluarga pasien, orang yang diberi kuasa oleh pasien atau keluarga pasien
dan orang yang mendapatkan persetujuan dari pasien atau keluarga pasien.
9) Apakah terdapat dasar hukum atas keluhan Pak Budi terhadap pelayanan kesehatan
yang didapatkannya?
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1691/MENKES/PER/VIII/2011 TENTANG KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2017
TENTANG KESELAMATAN PASIEN.
Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009.
10) Patient Safety
Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan
keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang memberikan
pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko, identifikasi, dan
manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan untuk belajar dan
menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir
timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan insiden keselamatan pasien adalah keselamatan medis
(medical errors), kejadian yang tidak diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss).
Menurut Institute of Medicine (IOM), Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan
sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang meliputi
kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai tujuan.
Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam prakteknya
akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse event) atau hampir terjadi kejadian tidak
diinginkan (near miss). Near miss ini dapat disebabkan karena:
1. keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi
obat)
2. pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain mengetahui
dan membatalkannya sebelum obat diberikan)
3. peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu
diberikan antidotenya)
Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap penerapan keselamatan pasien
adalah:
1. Identify patients correctly
2. Improve effective communication
3. Improve the safety of high-alert medications
4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery
5. Reduce the risk of health care-associated infections
6. Reduce the risk of patient harm from falls
Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama diimplementasikan
diseluruh dunia, karena itu masih dimungkinkan pengembangan dalam implementasinya. Di
Indonesia, PERSI telah mensosialisasikan langkah-langkah yang dipakai untuk implementasi di
rumah sakit seluruh Indonesia.
Langkah-langkah implementasi keselamatan pasien tersebut adalah:
1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is open and fair).
2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus on Patient Safety
throughout your organization)
3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manajemen risiko (Develop systems and processes
to manage your risks and identify and assess things that could go wrong)
4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily report incidents locally
and nationally)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to communicate openly with
and listen to patients)
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien (Encourage staff to use root
cause analysis to learn how and why incidents happen)
7. Menerapkan solusi-solusi untuk mencegah cidera (Embed lessons through changes to
practice, processes or systems).
Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar pasien segera
sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi bila dalam perawatan
di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya resiko yang sebenarnya
dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat yang timbul
karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak pada terjadinya
tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum, menurunkan efisisiensi, serta kerugian
lainnya.
Element keselamatan pasien terdiri dari:
• Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME)
• Restraint use
• Nosocomial infections
• Surgical mishaps
• Pressure ulcers
• Blood product safety/administration
• Antimicrobial resistance
• Immunization program
• Falls
• Blood stream – vascular catheter care
11) Apa saja indikator untuk mengukur mutu pelayanan kesehatan?
Mutu pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai
jasa pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata dan penyelenggaraannya
sesuai dengan standar dan kode etik profesi. Menurut Kemenkes RI, mutu pelayanan kesehatan
meliputi kinerja yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan, tidak saja yang
dapat menimbulkan kepuasan bagi pasien sesuai dengan kepuasan rata-rata penduduk tetapi juga
sesuai dengan standar dan kode etik profesi yang telah ditetapkan. Adapun faktor-faktor yang
menentukan mutu pelayanan kesehatan adalah kelayakan, kesiapan, kesinambungan, efektivitas,
kemanjuran, efisiensi, penghormatan dan perhatian, keamanan dan ketepatan waktu.
Pandangan terhadap mutu layanan kesehatan memiliki perspektif yang berbeda bagi setiap
komponen, perbedan tersebut dapat terlihat sebagai berikut:
a. Perspektif Pasien, adalah layanan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan dan
diselenggarakan dengan sopan, tepat waktu dan tanggap.
b. Perspektif Pemberi Layanan Kesehatan (provider), adalah ketersediaan peralatan, prosedur
kerja, kebebasan profesi dalam setiap melakukan layanan kesehatan sesuai dengan teknologi
kesehatan mutakhir dan bagaimana keluaran (outcome) atau hasil layanan kesehatan itu.
c. Perspektif Penyandang Dana, adalah suatu layanan yang efisien dan efektif.
d. Perspektif Pemilik Sarana Layanan Kesehatan, adalah layanan yang menghasilkan
pendapatan yang mampu menutupi biaya operasional dan pemeliharaan dengan tarif pelayanan
masih terjangkau.
e. Perspektif Administrator Layanan Kesehatan, adalah layanan yang bermutu jika mampu
menyusun prioritas dan dapat menyediakan apa yang menjadi kebutuhan dan harapan
pasien/masyarakat.
Indikator Mutu Pelayanan Kesehatan
Indikator adalah suatu perangkat yang dapat digunakan dalam pemantauan suatu proses tertentu.
Indikator dalam layanan kesehatan adalah suatu ukuran penatalaksanaan pasien atau keluaran dari
layanan kesehatan Indikator dibuat untuk memantau bagian kritis dari layanan kesehatan.
Indikator mutu adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk mengukur terpenuhi atau tidaknya
suatu standar yang telah ditetapkan. Indikator mutu dibuat mengikuti dengan standar mutu yang
telah ditetapkan oleh suatu organisasi, termasuk organisasi pelayanan kesehatan.

B. Macam-macam Indikator Mutu


Indikator mutu pelayanan kesehatan terdiri dari beberapa macam. Indikator adalah suatu perangkat
yang dapat digunakan dalam pemantauan suatu proses tertentu. Indikator mutu pelayanan
kesehatan adalah suatu ukuran penatalaksanaan pasien atau keluaran dari layanan kesehatan.
Indikator dibuat untuk memantau bagian kritis dari layanan kesehatan.
Indikator mutu pelayanan kesehatan secara umum dapat dibedakan atas 2 jenis, yakni:
1. Indikator Persyaratan Minimal
Indikator persyaratan minimal, menunjukkan pada ukuran terpenuhi atau tidaknya standar
masukan, lingkungan atau proses.
Indikator ini dapat dibagi lagi menjadi 3, yaitu:
a. Indikator Masukan, ukuran terpenuhi atau tidaknya standar masukan seperti ukuran tenaga
pelaksana, sarana serta dana yang tersedia di dalam suatu organisasi kesehatan.
Apabila hasil penilaian terhadap ketiga unsur masukan ini tidak sesuai dengan indikator yang telah
ditetapkan, maka pelayanan kesehatan yang bermutu akan sulit diselenggarakan.
b. Indikator Lingkungan, ukuran terpenuhi atau tidaknya standar lingkungan seperti ukuran
kebijakan, organisasi serta manajemen yang dianut oleh organisasi kesehatan.
Apabila hasil penilaian terhadap ketiga unsur masukan ini tidak sesuai dengan indikator yang telah
ditetapkan, maka pelayanan kesehatan yang bermutu akan sulit diselenggarakan.
c. Indikator Proses, ukuran terpenuhi atau tidaknya standar proses yang merujuk pada
tindakan medis dan tindakan non medis yang dilakukan oleh suatu institusi kesehatan.
Apabila hasil penilaian terhadap kedua unsur masukan ini tidak sesuai dengan indikator yang telah
ditetapkan, maka pelayanan kesehatan yang bermutu akan sulit diselenggarakan.
Indikator Penampilan Minimal
Indikator Penampilan Minimal, menunjuk pada ukuran terpenuhi atau tidaknya standar
penampilan minimal pelayanan kesehatan yang diselenggarakan. Indikator penampilan minimal
ini disebut dengan indikator keluaran (output/outcome).
Masing-masing indikator memiliki fungsi pengukuran yang berbeda, jika yang ingin diukur adalah
faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan kesehatan (penyebab) maka yang dipergunakan
adalah indikator persyaratan minimal. Tetapi jika yang diukur adalah mutu pelayanan kesehatan
(akibat) maka yang dipergunakan adalah indikator keluaran (penampilan).
Indikator mutu pelayanan kesehatan lazimnya dibedakan atas 2 macam, yaitu:
1. Indikator yang Menunjuk pada Penerapan Aspek Medis Pelayanan Kesehatan
Yaitu baik yang berkaitan dengan kode etik profesi ataupun yang telah diatur dalam standar
pelayanan profesi.
Sebagai contoh yaitu, pelayanan di rumah sakit. Berikut ini jenis-jenis indikator mutu pelayanan
rumah sakit:
a. Indikator Pelayanan Non Bedah, terdiri dari:
1) Angka Pasien dengan Dekubitus;
2) Angka Kejadian Infeksi dengan jarum infus.
3) Angka Kejadian penyulit/infeksi karena Transfusi Darah.
4) Angka Ketidak Lengkapan Catatan Medis.
5) Angka Keterlambatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat.
b. Indikator Pelayanan, yang terdiri dari
1) Angka Infeksi Luka Operasi.
2) Angka Komplikasi Pasca Bedah.
3) Waktu tunggu sebelum operasi effektif.
4) Angka Appendik normal.
c. Indikator Ibu Bersalin dan Bayi, terdiri dari
1) Angka Kematian Ibu karena Eklampsia Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
2) Angka Kematian Ibu karena Perdarahan Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
3) Angka Kematian Ibu karena Sepsis Kasus Rujukan dan bukan Rujukan.
4) Angka Kematian Bayi dengan BB Lahir <= 2000 gram Kasus Rujukan dan Bukan Rujukan.
d. Indikator Mutu Pelayanan Medis
1) Angka infeksi nosokomial
2) Angka kematian kasar (Gross Death Rate)
3) Kematian pasca bedah
4) Kematian ibu melahirkan ( Maternal Death Rate-MDR)
5) Kematian bayi baru lahir (Infant Death Rate-IDR)
6) NDR (Net Death Rate di atas 48 jam)
7) ADR (Anasthesia Death Rate)
8) PODR (Post Operation Death Rate)
9) POIR (Post Operative Infection Rate)
e. Indikator mutu pelayanan untuk mengukur tingkat efisiensi RS
f. Unit cost untuk rawat jalan
1) Indikator mutu yang berkaitan dengan tingkat kepuasan pasien
2) Jumlah keluhan dari pasien/keluarganya
a) Indikator cakupan pelayanan sebuah RS terdiri dari
b) Jumlah dan pesentase kunjungan rawat jalan/inap menurut jarak PS dengan asal pasien
• Jumlah pelayanan dan tindakan medik
• Jumlah tindakan pembedahan
• Jumlah kunjungan SMF spesialis
• Pemfaatan oleh masyarakat
• Contact rate
• Hospitalization rate
• Out patient rate
• Emergency out patient rate
g. Indikator mutu yang mengacu pada keselamatan pasien
h. Indikator tambahan
i. Angka Kematian di IGD (IGD).
j. Angka Perawatan Ulang (Rekam Medis).
k. Angka Infeksi RS.
l. Reject Analisis (Radiologi).
m. Angka Ketidaksesuaian Penulisan Diet (Gizi).
n. Angka Keterlambatan waktu pemberian makan (Gizi).
o. Angka Kesalahan Pembacaan Hasil (laboratorium).
p. Angka Waktu Penyelesain Resep (Farmasi).
q. Angka Kesalahan Pemberian Obat (Farmasi).
r. Angka Banyaknya Resep yang Tidak Terlayani (Farmasi).
Mutu pelayanan medis dan kesehatan di RS sangat erat kaitannya dengan manajemen RS (quality
of services) dan keprofesionalan kinerja SMF dan staf lainnya di RS (quality of care). Keduanya
merupakan outcome dari manajemen manjaga mutu di RS (quality assurance) yang dilaksanakan
oleh gugus kendali mutu RS. Dalam hal ini, gugus kendali mutu dapat ditugaskan kepada komite
medik RS karena mereka adalah staf fungsional (non struktural) yang membantu direktur RS
dengan melibatkan semua staf SMF RS.
Penerapan jaminan mutu pelayanan kesehatan, maka kepuasan pasien akan
menjadi bagian yang terintegrasi dan menyeluruh dari kegiatan jaminan mutu layanan kesehatan.
Dengan kata lain bahwa pengukuran tingkat kepuasan pasien harus menjadi kegiatan yang tidak
dapat dipisahkan dari pengukuran mutu pelayanan kesehatan (Pohan, 2007). Kepuasan pasien
adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan
yang diperolehnya setelah pasien membandingkan dengan apa yang diharapkan. Lebih lanjut
Pohan juga menyatakan bahwa kepuasan pasien dapat diukur dengan indikator sebagai berikut :
1. Kepuasan terhadap akses pelayanan kesehatan, hal ini terkait dengan sikap dan
pengetahuan tentang sejauh mana layanan kesehatan tersedia pada waktu dan tempat saat
dibutuhkan, kemudahan memperoleh layanan kesehatan, baik dalam keadaan biasa atau dalam
keadaan gawat darurat serta sejauh mana pasien mengerti bagaimana sistem layanan kesehatan
bekerja dantersedianya layanan keseahatan.
2. Kepuasan terhadap mutu pelayanan kesehatan yang dinyatakan melalui sikap terhadap
kompetensi teknis tenaga kesehatan, serta perubahan kesehatan yang dirasakan pasien dari hasil
pelayanan kesehatan.
3. Kepuasan terhadap proses pelayanan kesehatan, termasuk hubungan antar manusia yang
ditentukan dengan melakukan pengukuran sejauh mana ketersediaan layananan di layanan
kesehatan menurut pasien, perhatian dan kepedulian tenaga kesehatan, tingkat kepercayaan dan
keyakinan kepada tenaga kesehatan, tingkat pengertian tenaga kesehatan tentang diagnosis pasien.
4. Kepuasan terhadap sistem layanan kesehatan ditentukan dengan fasilitas fisik dan
lingkungan layanan kesehatan, lingkup dan sifat keuntungan dari layanan kesehatan yang
ditawarkan, sistem perjanjian termasuk waktu tunggu, sikap mau menolong, maupun pemecahan
masalah.
Program/ kebijakan yang akan dievaluasi diantaranya : kebijakan paket manfaat, standar prosedur
klinis, standar tarif pelayanan kesehatan, sistem penanganan pengaduan peserta, kebijakan
kompensasi, kebijakan iur biaya, dan kebijakan lain yang terkait. Oleh karena itu, logika
programnya yaitu optimalisasi prosedur klinis dan standar tarif yang sesuai harga keekonomian
diharapkan dapat meningkatkan mutu layanan provider dan meningkatkan kepuasan peserta JKN-
KIS
12) Apa saja dimensi mutu pelayanan kesehatan?
Enam Dimensi/Area Mutu Pelayanan Kesehatan (World Health Organisation,2006)
Dimensi Mutu Penjelasan

Memaksimalkan penggunaan sumber daya dan menghindari


Efisien
pemborosan

Perawatan kesehatan berbasis bukti dan menghasilkan hasil kesehatan


Efektif
yang lebih baik sesuai kebutuhan

Perawatan kesehatan yang tepat waktu, masuk akal secara geografis,


Dapat diakses dan disediakan dalam setting dimana keterampilan dan sumber daya
sesuai dengan kebutuhan medis
Perawatan kesehatan yang mempertimbangkan preferensi dan aspirasi
Dapat diterima
pengguna layanan perorangan dan budaya komunitas mereka
Perawatan kesehatan yang tidak berbeda kualitasnya karena
Adil karakteristik pribadi seperti jenis kelamin, ras, etnisitas, lokasi
geografis, atau status sosial ekonomi
Layanan kesehatan yang meminimalkan risiko dan kerugian bagi
Aman
pengguna jasa

Anda mungkin juga menyukai