Anda di halaman 1dari 182

KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN RI

2014
Energi memiliki peranan penting terhadap pembangunan sektor industri
di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah dimasukannya sektor industri
sebagai sektor yang diperhatikan dalam kebijakan energi nasional. Kebutuhan
energi untuk sektor industri diprediksi akan meningkat seiring dengan target
percepatan industrialisasi di Indonesia. Dimana sektor industri diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian
nasional.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka
Pembangunan Industri ini disusun sebagai bahan masukan bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan yang terkait dengan pembangunan sektor energi
yang dapat mendukung akselerasi di sektor industri, serta sebagai pertimbangan
bagi sektor industri khususnya perusahaan dalam membuat strategi optimalisasi
yang lebih efektif dan efisien terkait penggunaan energi.
Kami ucapkan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang
telah membantu penyusunan kajian ini, khususnya: Dr. Enny Sri Hartati, Ahmad
Heri Firdaus, M.Si., Eko Listiyanto, M.S.E., Abdul Manap Pulungan, M.E., Dr. Eka
Puspitawati, Rusli Abdulah, M.Si., dan Imaduddin Abdullah, M.Sc.
Akhirnya kami berharap kajian ini dapat berkontribusi bagi perencanaan
dukungan pemenuhan kebutuhan energi dalam rangka pembangunan industri.

Jakarta, Desember 2014

Biro Perencanaan
Kementerian Perindustrian

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri i


ii Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Kata Pengantar i
Daftar Isi iii
Daftar Tabel vii
Daftar Gambar ix
Ringkasan Eksekutif xi

Bab 1. Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 5
1.4. Manfaat Penelitian 5
1.5. Ruang Lingkup 5
1.6. Peranan Sektor Industri terhadap Perekonomian Nasional 6

Bab 2. Metode Penelitian 13


2.1. Jenis dan Sumber Data 13
2.1.1. Studi Kepustakaan (Data Sekunder) 14
2.1.2. Survey dan Observasi Lapang 14
2.1.3. Wawancara Mendalam 14
2.1.4. Focus Group Discussion (FGD) 15
2.2. Metode Analisis 15
2.2.1. Vector Autoregressive (VAR) 16
2.2.1.1. Uji Unit Root 20
2.2.1.2. Kriteria Informasi 21
2.2.1.3. Uji Kointegrasi 21
2.2.2. Vector Error Correction Model (VECM) 22
2.2.2.1. Uji Kausalitas Multivariat 23
2.2.2.2. Variance Decomposition (VD) dan Impulse Response
Function (IRF) 24

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri iii
Bab 3. Gambaran Umum dan Kebijakan Energi di Indonesia 25
3.1. Kondisi Umum Sektor Energi di Indonesia 25
3.1.1. Pasokan Energi di Indonesia 25
3.1.2. Konsumsi Energi di Indonesia 26
3.2. Kondisi Khusus Sektor Energi di Indonesia 28
3.2.1. Ketenagalistrikan Nasional 28
3.2.1.1. Permintaan Tenaga Listrik 31
3.2.1.2. Pengembangan Tenaga Listrik di Indonesia dan
Proyeksi ke Depan 33
3.2.2. Gas Bumi 38
3.2.2.1. Permintaan dan Neraca Gas 39
3.2.2.2. Infrastruktur Gas Nasional 42
3.2.2.3. Rencana Pengembangan Infrastruktur Gas
PT PGN 44
3.2.3. Minyak Bumi 48
3.2.3.1. Kebutuhan Terhadap Bahan Bakar Minyak 49
3.2.3.2. Pasokan Energi Minyak 49
3.2.3.3. Rencana Pengembangan Minyak Bumi 52
3.3. Kebijakan Sektor Energi di Indonesia 54
3.3.1. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional di Bidang Energi 54
3.3.2. Kebijakan Umum Sektor Energi 56
3.3.3. Kebijakan Khusus Masing-masing Jenis Energi 59
3.3.3.1. Kebijakan Khusus MIGAS 59
3.3.3.2. Kebijakan Khusus Batubara 61
3.3.3.3. Kebijakan Khusus Ketenagalistrikan 62
3.3.4. Kebijakan Bauran Energi 64

Bab 4. Gambaran Umum dan Kebijakan Sektor Energi di Negeri Lain 69


4.1. Gambaran Umum Sektor Energi Tiongkok 69
4.1.1. Konsumsi Energi Sektor Industri di Tiongkok 69
4.1.2. Pasokan Energi dan Rantai Pasok di Tiongkok 71
4.1.3. Neraca Energi di Tiongkok 74
4.1.4. Kebijakan Energi Tiongkok 74
4.2. Gambaran Umum Sektor Energi di India 75
4.2.1. Konsumsi Energi Sektor Industri di India 75
4.2.2. Pasokan Energi dan Rantai Pasok di India 76
4.2.3. Neraca Energi di India 78
4.2.4. Kebijakan Energi India 78

iv Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


4.3. Gambaran Umum Sektor Energi di Malaysia 79
4.3.1. Konsumsi Energi di Malaysia 79
4.3.2. Pasokan Energi dan Rantai Pasok di Malaysia 80
4.3.3. Kebijakan Akselerasi Energi di Malaysia 83
4.4. Gambaran Umum Sektor Energi di Vietnam 84
4.4.1. Konsumsi Energi Sektor Industri di Vietnam 84
4.4.2. Pasokan Energi dan Rantai Pasok di Vietnam 85
4.4.3. Neraca Energi Vietnam 87
4.4.4. Kebijakan Akselerasi Energi di Vietnam 88

Bab 5. Analisis Neraca Energi di Sektor Industri 91


5.1. Deskripsi Struktur Neraca Energi 92
5.2. Transaksi Energi 92
5.3. Neraca Energi Batubara 94
5.4. Neraca Gas Alam 96
5.5. Neraca Tenaga Kelistrikan 98
5.6. Neraca Energi Bahan Bakar Minyak 99

Bab 6. Proyeksi Kebutuhan Energi di Sektor Industri 103


6.1. Kebutuhan Energi Sektor Industri Nasional 103
6.2. Proyeksi Kebutuhan Energi Masing-Masing Subsektor
Industri di Indonesia 111
6.3. Proyeksi Penggunaan Energi Sektor Industri Di Tingkat
Provinsi 118

Bab 7. Kendala Pemenuhan Kebutuhan Energi Bagi Industri Di Indonesia 121


7.1. Kendala Umum Pemenuhan Kebutuhan Energi Pada Sektor
Industri 121
7.2. Kendala Spesifik Pemenuhan Kebutuhan Masing-masing Energi
Pada Sektor Industri 124
7.2.1. Permasalahan Pemenuhan Energi Listrik 124
7.2.2. Permasalahan Pemenuhan Gas Bumi 127
7.2.3. Permasalahan Pemenuhan Minyak Bumi 130
7.2.4. Permasalahan Pemenuhan Batubara 134
7.2.5. Permasalahan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) 136

Bab 8. Strategi Optimalisasi Pemenuhan Kebutuhan Energi


Untuk Sektor Industri 143

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri v


8.1. Strategi Pemenuhan Energi Listrik 144
8.2. Strategi Pemenuhan Gas Bumi 147
8.3. Strategi Pemenuhan Bahan Bakar Minyak 148
8.4. Strategi Pemenuhan Energi Batubara 149
8.5. Strategi Pemenuhan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam
Mendukung Sektor Industri 149

Bab 9. Penutup 153


9.1. Kesimpulan 153
9.2. Rekomendasi Kebijakan 154

Daftar Pustaka 157

Lampiran 159

vi Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 1.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha 7
Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha 9
Tabel 1.3. Laju Pertumbuhan Industri Nonmigas 10
Tabel 1.4. Kontribusi Masing-masing Subsektor terhadap PDB Industri
Nonmigas (persen) 11
Tabel 3.1. Realisasi Rasio Elektrifikasi Nasional, 2010-2013 29
Tabel 3.2. Rasio Elektrifikasi Masing-masing Provinsi di Indonesia Tahun
2013 30
Tabel 3.3. Total Komposisi Kapasitas Pembangkit 31
Tabel 3.4. Jumlah Pelanggan Tenaga Listrik PT PLN 2008-2013
(Ribu Unit) 32
Tabel 3.5. Penjualan Tenaga Listrik PT PLN (TWh) 33
Tabel 3.6. Proyeksi Pelanggan Industri menurut Wilayah 36
Tabel 3.7. Pasokan Gas Nasional 2011-2025 39
Tabel 3.8. Permintaan Gas Nasional 2011-2025 (MMSCFD) 40
Tabel 3.9. Neraca Gas Nasional 41
Tabel 3.10. Total Panjang Pipa Distribusi PT PGN 43
Tabel 3.11. Rencana Pengembangan Infrastruktur Gas PT PGN 46
Tabel 3.12. Kapasitas Kilang Minyak di Indonesia 52
Tabel 3.13. Rencana Revitalisasi Kilang Minyak Tua 53
Tabel 3.14. Rencana Pembangunan Kilang Baru 53
Tabel 5.1. Neraca Energi Batubara 95
Tabel 5.2. Neraca Energi Gas Alam 97
Tabel 5.3. Neraca Energi Listrik 99
Tabel 5.4. Neraca Energi Bahan Bakar Minyak 100
Tabel 6.1. Nilai SBM dari Masing-masing Jenis Energi 105
Tabel 6.2. Konsumsi Energi di Sektor Industri (Setara Barel Minyak/
SBM) 106
Tabel 6.3. Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9
(sembilan) Subsektor Industri Tahun 2012 (Ribu Setara Barel
Minyak/SBM) 108

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri vii
Tabel 6.4. Distribusi Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi
Pada 9 (sembilan) Subsektor Industri Tahun 2012 (Persen) 110
Tabel 6.5. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri
(Ribu SBM) 112
Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri (Unit
Energi) 114
Tabel 6.7. Proyeksi Kebutuhan Energi Pada 9 Subsektor Industri (Ribu
SBM) 116
Tabel 6.8. Proyeksi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9
Subsektor Industri Pada Tahun 2035 117
Tabel 6.9. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Industri Pada Setiap
Provinsi (Ribu SBM) 119
Tabel 7.1. Kebutuhan Investasi Penyediaan Listik Tahun 2013-2022
(dalam juta dollar) 126
Tabel 7.2. Komposisi Penggunaan Gas Alam di Indonesia Tahun 2012 128

viii Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Gambar 1.1. Konsumsi Energi Sektoral Indonesia Tahun 2006-2012 2
Gambar 1.2. Intensitas Penggunaan Energi Primer di Beberapa Negara 4
Gambar 3.1. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis (2000-2011) 26
Gambar 3.2. Pangsa Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis
(persen) 28
Gambar 3.3. Proyeksi Jumlah Penduduk, Jumlah Pelanggan, dan Rasio
Elektrifikasi 2013-2022 34
Gambar 3.4. Proyeksi Kebutuhan Listrik 2013-2022 (TWh) 35
Gambar 3.5. Proyeksi Pertumbuhan Pelanggan Industri Menurut
Wilayah 37
Gambar 3.6. Komposisi Produksi Energi Listrik Berdasarkan Jenis Energi
(GWh) 38
Gambar 3.7. Pasokan Energi Pada Sektor Industri Menurut Jenis Energi
(persen) 48
Gambar 3.8. Proyeksi Kebutuhan Energi Minyak Pada Sektor Industri
dan Marine (Juta Kilo Liter) 49
Gambar 3.9. Perkembangan Produksi, Ekspor, dan Impor Minyak
Indonesia (Ribu Barel) 50
Gambar 3.10. Cadangan Minyak di Indonesia (Miliar Barel) 51
Gambar 3.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025 66
Gambar 4.1. Total Konsumsi Energi Tiongkok 70
Gambar 4.2. Konsumsi Energi Tiongkok menurut Jenis 71
Gambar 4.3. Total Pasokan Energi Tiongkok 72
Gambar 4.4. Pasokan Energi Tiongkok 2011 73
Gambar 4.5. Bauran Energi Tiongkok 73
Gambar 4.6. Neraca Energi Tiongkok 74
Gambar 4.7. Total Konsumsi Energi India 75
Gambar 4.8. Konsumsi Energi di India Menurut Jenis 76
Gambar 4.9. Total Pasokan Energi India 77
Gambar 4.10. Bauran Pasokan Energi 77
Gambar 4.11. Neraca Energi India 78

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri ix


Gambar 4.12. Total Konsumsi Energi Malaysia 2000-2011 (dalam Ktoe
atau setara ribuan ton minyak) 80
Gambar 4.13. Total Pasokan Energi Malaysia 2000-2011 (dalam Ktoe atau
setara ribuan ton minyak) 81
Gambar 4.14. Total Pasokan Energi Malaysia (dalam Ktoe atau setara
ribuan ton minyak) 82
Gambar 4.15. Bauran Pasokan Energi Malaysia 82
Gambar 4.16. Neraca Energi Malaysia 2000-2011 (setara ribuan
ton minyak) 83
Gambar 4.17. Total Konsumsi Energi Vietnam 2000-2011 (dalam Ktoe
atau setara ribuan ton minyak) 84
Gambar 4.18. Total Konsumsi Energi (KTOE atau setara ribuan ton
minyak 85
Gambar 4.19. Total Pasokan Energi Vietnam (dalam Ktoe atau setara
ribuan ton minyak) 86
Gambar 4.20. Bauran Pasokan Energi Vietnam 87
Gambar 4.21. Neraca Energi Vietnam (KTOE atau setara ribuan ton
minyak) 88
Gambar 5.1. Alur Energi 92
Gambar 6.1. Industry Energy Mix 2035 113
Gambar 7.1. Permasalahan Penyediaan Jaringan Kelistrikan 123
Gambar 7.2. Permasalahan Pengembangan Gas Bumi 124
Gambar 7.3. Sebaran dan Cadangan Gas Bumi Indonesia 130

x Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi
Dalam Rangka Pembangunan Industri

Sektor industri hingga saat ini merupakan sektor yang mendominasi


konsumsi energi di Indonesia, di mana porsinya mencapai 42,91 persen dari
total konsumsi energi nasional (Kementerian ESDM, 2013). Porsi penggunaan
energi dalam setiap jenis industri tersebut sangat bervariasi. Ada yang disebut
sebagai industri padat energi, maupun industri yang secara umum relatif lebih
sedikit mengkonsumsi energi. Jenis energi yang paling banyak digunakan oleh
sektor industri pada saat ini adalah gas (26,92%), batubara (26,89%), BBM
(10,79%) dan listrik (8,06%). Sementara itu, kelompok industri yang paling
banyak mengkonsumsi energi antara lain industri semen, barang galian non
logam; industri logam dasar besi dan baja; industri tekstil dan produk tekstil;
serta industri pupuk, kimia dan barang dari karet.
Komposisi penggunaan energi pada sektor industri menempati urutan
kedua setelah bahan baku. Ini menunjukkan bahwa peranan energi cukup
penting dalam proses produksi di segala jenis industri. Dalam kajian ini,
kebutuhan energi pada sektor industri akan dilakukan analisis terhadap masing-
masing subsektor industri (9 sektor). Selain itu, perlu diketahui juga kebutuhan
energi di masa yang akan datang dengan memperhatikan perkiraan target
pertumbuhan industri dan jumlah pasokan energi. Oleh sebab itu, salah satu
dari hasil kajian ini berupa neraca energi untuk sektor industri.
Secara lebih spesifik, Kajian “Perencanaan Dukungan Pemenuhan
Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri” ini bertujuan untuk: 1).
Menganalisis tingkat ketersediaan pasokan dan permintaan energi (neraca
energi) untuk sektor industri; 2). Memproyeksi tingkat permintaan (demand)
dan pasokan (supply) energi sektor industri; 3). Menganalisis permasalahan dan
kendala terkait dengan penyediaan energi bagi sektor industri; 4). Merumuskan
strategi optimalisasi pemenuhan kebutuhan energi untuk sektor industri dalam
rangka pembangunan sektor industri; 5). Merekomendasikan strategi kebijakan

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri xi


yang tepat terkait dengan dukungan pemenuhan kebutuhan energi yang
mendukung pembangunan sektor industri.
Terkait tujuan pertama, hasil analisis tingkat ketersediaan (supply) dan
permintaan (demand) energi menunjukkan bahwa kebutuhan energi untuk
sektor industri secara umum telah terpenuhi namun dengan kendala dan
tantangan yang berbagai macam. Pemenuhan kebutuhan energi untuk sektor
industri selain diperoleh dari hasil produksi dalam negeri juga diperoleh dari
impor. Produksi berbagai jenis energi primer di Indonesia pada dasarnya dapat
mencukupi kebutuhan untuk sektor industri, namun dikarenakan berbagai
permasalahan yang terkait dengan infrastruktur, hal ini menyebabkan sebagian
besar hasil produksi energi primer terpaksa diekspor ke luar negeri. Selanjutnya,
untuk memenuhi kebutuhannya, sektor industri terpaksa harus melakukan
impor energi dalam bentuk yang siap pakai.
Neraca energi batubara, produksi nasional batubara mencapai 1,6 miliar
Barrel of Oil Equivalent (BOE), namun sebanyak 79 persen dari total produksi
tersebut diimpor ke luar negeri. Sedangkan 14 persen digunakan untuk
kebutuhan pembangkit listrik dan hanya 7 persen yang terserap untuk
kebutuhan industri. Minimnya alokasi batubara untuk sektor industri
menyebabkan kapasitas produksi industri tidak mencapai titik optimal.
Tingginya permintaan batubara baik untuk ekspor maupun domestik
menyebabkan kenaikan harga pada komoditas tersebut yang cukup signifikan
selama lima tahun terakhir.
Neraca energi minyak bumi, produksi minyak mentah nasional apabila
dapat diolah menjadi BBM untuk industri, maka sebenarnya dapat memenuhi
kebutuhan sektor industri. Namun, kenyataannya selama ini untuk memenuhi
kebutuhannya, sektor industri menggunakan BBM impor. Sektor industri
mengkonsumsi 25 persen dari total BBM impor (Kementerian ESDM, 2013). Hal
yang serupa juga terjadi pada neraca energi gas, baik gas alam, gas alam cair
(LNG) ataupun LPG. Produksi gas alam nasional pada dasarnya dapat mencukupi
kebutuhan sektor industri apabila dapat diolah atau distribusikan secara efisien
ke sektor industri. Namun pada kenyataannya, sebesar 47,8 persen produksi gas
alam nasional diekspor ke luar negeri (Kementerian ESDM, 2013). Sementara
untuk melengkapi kebutuhannya, sektor industri harus memperoleh gas yang
berasal dari impor, khususnya gas jenis LPG.
Contoh pengelolaan neraca energi yang baik adalah terjadi pada jenis
energi biomassa. Seluruh produksi biomassa dapat dimanfaatkan sepenuhnya

xii Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
untuk kebutuhan industri dan kebutuhan domestik lainnya. Produksi biomassa
dalam negeri tersebut tidak diperuntukkan untuk keperluan ekspor. Oleh sebab
itu, sektor industri maupun sektor lainnya tidak perlu menggunakan biomassa
yang berasal dari impor. Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya defisit
pada neraca energi biomassa. Defisit energi tidak hanya disebabkan karena
kurangnya (keterbatasan) produksi, melainkan juga karena hasil produksi energi
tersebut diperuntukkan untuk kepentingan ekspor, sehingga untuk memenuhi
kepentingan nasional harus dipenuhi dari impor.
Tujuan kedua yaitu memproyeksi tingkat kebutuhan energi pada sektor
industri. Proyeksi kebutuhan energi untuk sektor industri pada kajian ini
menggunakan metode vector autoregressive (VAR) yang lazim digunakan untuk
memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu dan untuk menganalisis
dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel
tersebut. Jenis energi yang dianalisis dalam kajian ini meliputi listrik, gas,
batubara dan BBM. Berdasarkan hasil proyeksi menggunakan metodologi VAR,
kebutuhan energi untuk sektor industri pada tahun 2035 akan mencapai 1,09
miliar BOE. Berdasarkan proyeksi yang dibuat, maka akan terjadi peralihan
permintaan energi dari energi batubara menjadi energi gas. Pada 2014
diproyeksikan bahwa energi batubara masih merupakan jenis energi dengan
permintaan terbesar di sektor perindustrian. Namun pada tahun 2035, gas
merupakan sumber energi yang paling banyak dibutuhkan oleh sektor industri
dimana permintaan sektor industri terhadap energi gas akan mencapai 426,56
juta BOE. Sektor Industri yang akan semakin lahap energi di masa yang akan
datang antara lain: industri logam dasar besi dan baja; industri pupuk, kimia dan
barang karet; industri semen dan barang galian non logam.
Dalam tingkat provinsi, saat ini masih terjadi ketimpangan penggunaan
energi yang sangat mencolok antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Beberapa
daerah yang membutuhkan energi justru mengalami kelangkaan, sedangkan
daerah yang telah cukup energinya justru mengalami surplus. Di masa depan,
dengan asumsi telah terjadi percepatan pembangunan industri di luar Jawa,
maka diproyeksikan akan terjadi percepatan permintaan energi di luar Jawa.
Meskipun provinsi-provinsi di Jawa tetap menjadi konsumen terbesar energi
pada 2035, namun porsi konsumsi energi di Jawa secara umum akan semakin
menurun. Sementara porsi konsumsi energi industri di luar Pulau Jawa akan
semakin meningkat, khususnya pada daerah-daerah yang akan menjadi pusat
pertumbuhan industri di masa yang akan datang.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri xiii
Tujuan ketiga yaitu menganalisis kendala terkait dengan penyediaan
energi bagi sektor industri. Terdapat sejumlah masalah utama yang dihadapi
sektor industri terkait dengan akses mereka terhadap energi, antara lain: 1)
Sektor Industri sangat bergantung pada sumberdaya energi, namun sumberdaya
energi belum termanfaatkan secara optimal; 2). Infrastruktur energi untuk
melancarkan distribusi energi ke pusat-pusat kegiatan industri terbilang masih
minim; 3). Sekitar 47,8 persen dari total produksi gas nasional dialokasikan
pemerintah untuk kebutuhan ekspor dan sebagian besar (79 persen) produksi
batubara diekspor ke luar negeri, sehingga pemanfaatan batubara untuk
kebutuhan domestik masih rendah; 4) Salah satu penyebab mengapa hasil
produksi energi primer banyak diekspor adalah karena keterbatasan
infrastruktur dalam hal distribusi di dalam negeri; 5). Pasokan energi dengan
biaya murah, efisien, dan ramah lingkungan masih sangat sulit diperoleh; 6).
Dalam hal diversifikasi energi terutama dalam menghasilkan Energi Baru
Terbarukan (EBT) masih sulit dilakukan karena selain biaya (investasi) yang
dikeluarkan jauh lebih mahal, infrastruktur yang dibutuhkan juga masih belum
memadai.; 7). Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dengan lokasi
industri, misalnya sumber gas bumi yang melimpah tersebar di Papua,
Kalimantan, Sumatera, dan namun lokasi industri terpusat di pulau Jawa.
Demikian pula energi batubara yang melimpah di Sumatera dan Kalimantan,
sementara konsumennya sebagian besar terpusat di pulau Jawa; 8).
Pemanfaatan energi terbarukan masih relatif rendah yang disebabkan tingginya
biaya investasi, regulasi, insentif dari pemerintah serta harga jual yang tinggi.
Kajian ini selanjutnya menyusun strategi optimalisasi pemenuhan
kebutuhan energi untuk sektor industri dalam rangka pembangunan sektor
industri antara lain (tujuan keempat):
a. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi utamanya untuk
melancarkan arus distribusi energi ke pusat kegiatan industri
b. Mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi di luar Pulau Jawa untuk
menstimulus penyebaran industri
c. Mempercepat penyebaran pembangunan pusat kegiatan industri khususnya
di luar Pulau Jawa yang dekat dengan sumber energi
d. Mempercepat upaya diversifikasi energi khususnya energi terbarukan untuk
menjawab tantangan kebutuhan energi yang semakin besar di masa yang
akan datang
e. Mengurangi ekspor berbagai jenis energi dan memprioritaskan hasil
produksi energi domestik untuk kebutuhan industri dalam negeri

xiv Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
f. Upaya penyediaan listrik oleh PT PLN dengan sumber energi pembangkit
selain BBM perlu ditingkatkan. Misalnya dengan gas,batubara atau
biomassa.
g. Dari sisi industri, perlunya meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Misalnya dengan melakukan program restrukturisasi permesinan pada
berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar
penggunaan energi lebih efisien.
h. Perlu membuat industri pengelola limbah yang terintegrasi dengan berbagai
industri. Limbah hasil pengolahan industri bisa dihubungkan dengan industri
pengolahan limbah, dalam satu kawasan industri bisa dibuat satu industri
pengumpul limbah yang berfungsi sebagai distributor limbah yang akan
memanfaatkan limbah sebagai bahan bakar. Pemanfaatan limbah sebagai
bahan bakar ini akan sejalan dengan tujuan mewujudkan green industry.
i. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka penghematan
(efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk mendorong penggunaan
energi alternatif terbarukan.
Terakhir, kajian ini memberikan rekomendasi strategi kebijakan yang
tepat terkait dengan dukungan pemenuhan kebutuhan energi yang mendukung
pembangunan sektor industri. Hal ini dilakukan untuk menjawab tujuan yang ke
lima. Beberapa rekomendasi dalam kajian ini antara lain:
1. Mempercepat prakarsa pembangunan infrastruktur industri oleh
pemerintah untuk menstimulasi pembangunan dan penyebaran industri di
Indonesia, dengan demikian permintaan energi di sektor industri akan
meningkat sehingga dengan sendirinya akan mengurangi ekspor energi ke
luar negeri karena semakin tingginya permintaan domestik.
2. Mempercepat implementasi kebijakan bauran energi agar tidak lagi
tergantung pada satu jenis energi saja. Penggunaan batubara, gas bumi dan
biomassa sebagai sumber energi alternatif perlu lebih ditingkatkan.
3. Dalam hal penggunaan batubara, upaya penyediaan suplai listrik oleh PT
PLN dengan sumber energi pembangkit dari batubara perlu ditingkatkan.
Penggunaan batubara terintegrasi dan terlokalisasi di pembangkit listrik PT
PLN bertujuan untuk meminimalisasi pencemaran.
4. Perlunya harmonisasi dan sinkronisasi antara rencana pembangunan
industri dan rencana pembangunan pembangkit energi di setiap wilayah di
Indonesia

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri xv


5. Pentingnya melakukan program restrukturisasi permesinan pada berbagai
sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar penggunaan
energi lebih efisien.
6. Perlu kajian yang lebih mendalam terkait kebutuhan energi pada industri
terpilih terutama terkait dengan penggunaan teknologi. Disamping itu ke
depan industri makanan dan minuman juga perlu dianalisis mengingat
kebutuhan energinya yang cukup besar dan cakupan skala industrinya yang
beragam.
7. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka penghematan
(efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk mendorong penggunaan
energi alternatif terbarukan.

xvi Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 1

1.1. Latar Belakang


Energi memiliki peranan penting terhadap pembangunan sektor industri
di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah dimasukannya sektor industri
sebagai sektor yang diperhatikan dalam kebijakan energi nasional. Selain itu,
sektor industri di Indonesia, baik migas maupun nonmigas menjadi sektor yang
mengkonsumsi energi terbesar di Indonesia, diikuti sektor transportasi, rumah
tangga, dan komersial. Pada tahun 2006, konsumsi energi sektor industri migas
dan nonmigas sebesar 43,3 persen. Angka ini meningkat di tahun 2009 menjadi
44,22 persen, namun kembali menurun hingga tahun 2012 menjadi 42,91
persen (Kementerian ESDM, 2014).
Di sisi lain, konsumsi energi di sektor transportasi terus mengalami
peningkatan. Pada 2006 sektor ini mengkonsumsi sebesar 31,57 persen dari
total energi nasional. Kemudian terus meningkat menjadi 37,68 persen di tahun
2012. Konsumsi energi pada sektor transportasi tumbuh lebih cepat jika
dibandingkan dengan sektor lainnya, hal inilah yang menyebabkan porsi
konsumsi energi pada sektor industri terlihat menurun.
Rata-rata pertumbuhan konsumsi energi sektor industri selama 2007-
2012 mencapai 4,97 persen. Sedangkan pertumbuhan konsumsi energi sektor
transportasi pada periode tersebut mencapai 10,6 persen. Pertumbuhan
konsumsi energi di sektor transportasi yang relatif tinggi tersebut merupakan
salah satu konsekuensi dari meningkatnya jumlahnya kendaraan bermotor yang
signifikan di Indonesia. Ke depan, kebutuhan energi untuk sektor industri
diprediksi akan meningkat seiring dengan target percepatan industrialisasi di
Indonesia. Dimana sektor industri diharapkan mampu memberikan kontribusi
yang lebih besar terhadap perekonomian nasional. Perbandingan konsumsi
energi sektor industri dan sektor lainnya secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 1.1.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 1


Sumber: Handbook of Energy Indonesia 2013, (Kementerian ESDM 2014)

Gambar 1.1. Konsumsi Energi Sektoral Indonesia Tahun 2006 – 2012

Porsi konsumsi energi sektor industri yang besar dan pertumbuhannya


yang cenderung meningkat setiap tahun tidak diimbangi dengan keterjangkauan
terhadap aksesibilitas energi. Tidak jarang, sektor industri di Indonesia
mengalami kekurangan pasokan energi. Seperti kasus pemadaman listrik di
sentra industri, serta kekurangan pasokan gas bagi industri pupuk. Kondisi
tersebut menjadikan sektor industri di Indonesia memiliki daya saing yang
rendah. Padahal, salah satu syarat mutlak adanya daya saing industri adalah
ketersediaan energi yang mencukupi baik di masa sekarang dan masa
mendatang.
Urgensi ini membuat upaya untuk mengakselerasi pembangunan sektor
industri tidak dapat lepas dari ketersediaan energi yang memadai, mengingat
sektor merupakan salah satu komponen pokok dalam proses produksi industri
hingga distribusi hasil produksi. Sebuah industri dapat menghasilkan output
yang optimal jika didukung oleh ketersediaan energi yang lengkap beserta
infrastrukturnya yang memadai dalam jangka panjang.
Indonesia memiliki ketersediaan cadangan energi yang melimpah. Gas
bumi, batubara, biomassa, panas bumi, tenaga surya, nuklir adalah komoditas
energi yang tersedia di Indonesia. Namun sayang, keberlimpahan cadangan

2 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


energi tersebut belum bisa menjadikan sektor industri Indonesia mejangkau
komoditas energi yang dibutuhkan. Penyebabnya adalah infrastruktur energi
yang masih terbatas, political will yang kurang, lokasi industri yang jauh dari
sumber energi, serta alokasi energi dalam negeri yang terbatas.
Sebagai gambaran, pasokan batubara Indonesia sebagian besar di
ekspor ke luar negeri. Data Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara,
Kementerian ESDM menyebutkan, dari produksi 385.899.100 ton batubara
nasional, sebanyak 78,8 persen diekspor ke luar negeri. Selain batubara,
produksi gas bumi juga sebagian besar diekspor. Hampir separuh produksi gas
bumi nasional yang diekspor ke luar negeri.
Selain pasokan yang terbatas, inefisiensi penggunaan energi di sektor
Industri juga menjadi kendala pemenuhan kebutuhan energi di sektor industri.
Energi yang seharusnya bisa dihemat, ternyata hanya dibuang percuma.
Penyebab inefisiensi penggunaan energi di sektor industri disebabkan teknologi
sektor industri yang tua.
Inefisiensi konsumsi energi, bisa terlihat dari intensitas penggunaan
energi. Intensitas penggunaan energi yang semakin besar pada tingkat output
yang sama mengindikasikan bahwa pemakaian energi semakin tidak efisien.
Data Kementerian ESDM menunjukkan bahwa intensitas penggunaan energi di
Indonesia relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan Amerika Serikat, Inggris,
dan Jepang (Gambar 1.2). Hal ini mengindikasikan bahwa pemakaian energi
primer di Indonesia relatif kurang efisien dibandingkan dengan di negara-negara
lain, artinya untuk menghasilkan satu satuan produk, industri di Indonesia
memerlukan energi lebih banyak dibandingkan dengan produk yang sama di
negara lain.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 3


Sumber : Handbook of Energy Indonesa 2013 (Kementerian ESDM 2014).

Gambar 1.2. Intensitas Penggunaan Energi Primer di Beberapa Negara


1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dapat diperoleh
beberapa rumusan masalah yang relevan untuk diangkat dalam kajian ini.
Adapun beberapa rumusan masalah tersebut diantaranya:
1. Bagaimana tingkat ketersediaan dan kebutuhan pasokan energi (neraca
energi) untuk sektor industri?
2. Bagaimana tingkat permintaan (demand) dan pasokan (supply) energi
sektor industri di masa yang akan datang?
3. Permasalahan dan kendala apa saja yang terkait dengan penyediaan energi
bagi sektor industri?
4. Strategi apa yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan energi untuk sektor
industri dalam rangka pembangunan sektor industri?
5. Strategi kebijakan apa yang tepat terkait dengan dukungan pemenuhan
kebutuhan energi yang mendukung pembangunan sektor industri?

4 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan maka tujuan
penelitian ini antara lain :
1. Menganalisis tingkat ketersediaan dan kebutuhan pasokan energi (neraca
energi) untuk sektor industri;
2. Memproyeksi tingkat permintaan (demand) dan pasokan (supply) energi
sektor industri;
3. Menganalisis permasalahan dan kendala terkait dengan penyediaan energi
bagi sektor industri;
4. Merumuskan strategi optimalisasi pemenuhan kebutuhan energi untuk
sektor industri dalam rangka pembangunan sektor industri;
5. Merekomendasikan strategi kebijakan yang tepat terkait dengan dukungan
pemenuhan kebutuhan energi yang mendukung pembangunan sektor
industri.

1.4. Manfaat Penelitian


Dari kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
pemerintah dalam membuat kebijakan yang terkait dengan pembangunan
sektor energi yang dapat mendukung akselerasi di sektor industri. Selain itu
penelitian ini juga dapat digunakan sebagai pertimbangan bagi sektor industri
khususnya perusahaan dalam membuat strategi optimalisasi yang lebih efektif
dan efisien terkait penggunaan energi.
1.5. Ruang Lingkup
Kajian Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam
Rangka Pembangunan Industri merupakan kajian yang bersifat nasional. Namun
demikian kegiatan ini menetapkan beberapa batasan kajian yang dijelaskan
dalam ruang lingkup sebagai berikut:
1. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2014 (tentang
Perindustrian), energi merupakan bagian dari infrastruktur bagi sektor
industri. Energi yang dimaksud meliputi seluruh sumber daya energi dan
jaringan infrastruktur energi yang diperlukan bagi sektor industri.
2. Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder. Data primer
berupa data yang diperoleh melalui survey dan Focus Group Discussion
(FGD). Hasil perolehan data primer tersebut dapat diolah dengan metode
deskriptif. Sementara data sekunder merupakan data statistik energi pada

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 5


sektor industri yang diambil dari Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral serta Badan Pusat Statistik. Data tersebut merupakan data tahunan
dari tahun 2000 hingga 2012 yang dipecah (breakdown) menjadi data
kuartalan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi syarat dalam proses analisis
model.
3. Data sekunder lainnya yaitu data yang terkait dengan kondisi infrastruktur
energi di Indonesia. Data tersebut bersumber dari PT PLN, PT PGN dan PT
Pertamina.
4. Jenis data energi yang akan dianalisis dalam kajian ini meliputi listrik, gas,
batubara dan Bahan Bakar Minyak (BBM). Dari data sekunder tersebut akan
dibangun model Vector Autoregressive. Sementara data primer berfungsi
sebagai input untuk informasi-informasi yang terkait dengan penelitian
namun tidak dapat dianalisis secara kuantitatif, melainkan dianalisis secara
kualitatif.

1.6. Peranan Sektor Industri terhadap Perekonomian Nasional


Industri pengolahan merupakan bagian penting dalam perekonomian
Indonesia karena diharapkan dapat memberikan sumbangan yang cukup
signifikan terhadap pembentukan output perekonomian nasional yang diukur
dari Produk Domestik Bruto (PDB). Selain itu, sektor industri manufaktur juga
merupakan sektor yang berpotensi menyerap banyak tenaga kerja dan memiliki
nilai tambah tinggi.
Sektor ini memberikan sumbangan kontribusi paling besar terhadap
pembentukan PDB, namun sayangnya kontribusi tersebut cenderung mengalami
penurunan secara perlahan. Seperti yang terlihat pada Tabel 1.1, pada 2009
sektor industri pengolahan memberikan kontribusi sebesar 26,36 persen
terhadap pembentukan PDB nasional, namun terus menurun hingga 2013
menjadi sebesar 23,70 persen.
Penurunan kinerja yang dilihat dari turunnya kontribusi sektor industri
ini merupakan salah satu indikasi awal adanya kendala yang menyebabkan
pertumbuhan sektor industri pengolahan cenderung mengalami perlambatan.
Salah satu hal yang mungkin menyebabkan penurunan performa (kinerja) ini
adalah dukungan dari sisi penyediaan infrastruktur yang kurang optimal. Hal ini
terlihat dari semakin tingginya biaya lain di luar biaya produksi yang diduga akan
terus meningkat seiring dengan semakin padatnya aktivitas industri.
Peningkatan biaya lahan industri, energi (Listrik, BBM, Gas dan Batubara) dan

6 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


transportasi yang memberatkan industri tentunya menjadi beban tersendiri bagi
sektor industri. Karena peningkatan pengeluaran untuk komponen-komponen
tersebut belum disertai dengan peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur
industri dalam arti luas.

Tabel 1.1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha (persen)

No Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013

Pertanian, Peternakan,
1 15,29 15,31 14,71 14,50 14,43
Kehutanan, dan Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 10,56 11,16 11,82 11,80 11,24

3 Industri Pengolahan 26,36 24,79 24,34 23,97 23,70

4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,83 0,76 0,75 0,76 0,77

5 Konstruksi 9,90 10,27 10,16 10,26 9,99


Perdagangan, Hotel, dan
6 13,28 13,71 13,80 13,96 14,33
Restoran
7 Pengangkutan dan Komunikasi 6,31 6,57 6,62 6,67 7,01
Keuangan, Real Estat, dan Jasa
8 7,23 7,25 7,21 7,27 7,52
Perusahaan
9 Jasa-Jasa 10,24 10,17 10,58 10,81 11,02

PDB 100 100 100 100 100

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Di saat sektor industri sedang mengalami penurunan kontribusi


terhadap PDB, sektor-sektor lain justru tumbuh relatif lebih cepat dan lebih
tinggi dibanding sektor industri pengolahan. Sektor-sektor yang tergolong non
tradable justru menunjukkan peningkatan kontribusi terhadap pembentukan
PDB. Selain itu, pertumbuhan ekspor industri dan konsumsi domestik yang
cenderung menunjukkan perlambatan juga memengaruhi penurunan kinerja
industri secara umum. Faktor daya saing produk impor manufaktur yang relatif
lebih baik dari produk domestik juga menjadi penyebab mengapa pertumbuhan
industri manufaktur menujukkan perlambatan dalam beberapa periode terakhir.
Adanya kendala dalam perkembangan sektor industri pengolahan
semakin terlihat jika memperhatikan tren pertumbuhannya. Seperti yang

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 7


ditunjukkan pada Tabel 1.2, sektor industri pengolahan ternyata secara umum
selalu tumbuh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional (PDB). Ini menunjukkan
bahwa kemampuan sektor industri untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional relatif kecil. Pada tahun 2009 ketika ekonomi nasional (PDB) tumbuh
sebesar 4,63 persen, sektor industri pengolahan hanya tumbuh sebesar 2,21
persen. Selanjutnya hingga pada 2013 sektor industri tumbuh 5,56 persen di
saat PDB nasional tumbuh 5,78 persen. Namun jika dilihat berdasarkan
klasifikasi sektor migas dan nonmigas, maka sebenarnya industri nonmigas
tumbuh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada 2013,
industri nonmigas tumbuh mencapai 6,1 persen, namun disaat yang bersamaan
industri migas justru mengalami perlambatan sebesar 1,81 persen. Perlambatan
sektor industri migas telah terjadi selama 3 tahun secara berturut-turut dan
sebaliknya disaat yang sama sektor industri nonmigas selalu tumbuh di atas 6
persen.
Di sisi lain sektor-sektor yang tergolong non tradable justru mampu
tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor pengangkutan dan
komunikasi serta sektor keuangan, real estate dan jasa perusahaan yang
tumbuh masing-masing sebesar 10,19 persen dan 7,56 persen pada 2013.
Sektor industri pengolahan merupakan kontributor terbesar PDB
Indonesia (namun dengan kecenderungan yang semakin turun), maka laju
pertumbuhan sektor industri pengolahan yang kurang mendorong pertumbuhan
ekonomi nasional tersebut harus segera dicermati lebih dalam dan diambil
langkah nyata agar industri dapat semakin mendorong pertumbuhan ekonomi
nasional dan berkontribusi lebih besar lagi. Oleh sebab itu diperlukan penguatan
struktur industri yang dapat meningkatkan nilai tambah industri sehingga
peranan sektor dapat semakin besar terhadap perekonomian nasional.

8 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 1.2. Laju pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (persen)

No Lapangan Usaha 2009 2010 2011 2012 2013

Pertanian, Peternakan, Kehutanan,


1 3,96 3,01 3,37 4,20 3,54
dan Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 4,47 3,86 1,39 1,56 1,34

Industri Pengolahan 2,21 4,74 6,14 5,74 5,56

3 Industri Migas -1,53 0,56 -0,94 -2,80 -1,81

Industri Nonmigas 2,56 5,12 6,74 6,42 6,10

4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 14,29 5,33 4,82 6,25 5,58

5 Konstruksi 7,07 6,95 6,65 7,39 6,57

6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 1,28 8,69 9,17 8,15 5,93


10,1
7 Pengangkutan dan Komunikasi 15,85 13,41 10,70 9,98
9
Keuangan, Real Estat, dan Jasa
8 5,21 5,67 6,84 7,15 7,56
Perusahaan
9 Jasa-Jasa 6,42 6,04 6,75 5,25 5,46

PDB 4,63 6,22 6,49 6,26 5,78

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Lebih lanjut, jika memperhatikan laju pertumbuhan industri nonmigas,


maka terdapat perbedaan yang beragam pada setiap subsektor. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.3, pada tahun 2013 ada subsektor yang mengalami
pertumbuhan relatif tinggi adalah Barang Kayu & Hasil Hutan Lainnya (6,18%),
Logam Dasar Besi & Baja (6,93%), dan Alat Angkutan, Mesin & Peralatannya
(10,54%). Ketiga subsektor tersebut tumbuh di atas pertumbuhan industri
pengolahan nonmigas yang tumbuh sebesar yakni 6,10 persen.
Di lain hal, pada enam subsektor industri lainnya pada tahun 2013
tumbuh di bawah laju pertumbuhan industri nonmigas. Keenam subsektor
tersebut antara lain Makanan, Minuman dan Tembakau (3,34%), Tekstil, Barang
Kulit & Alas Kaki (6,06%), Kertas dan Barang Cetakan (4,45%), Pupuk, Kimia &
Barang dari Karet (2,21%), Semen & Barang Galian Bukan Logam (3,00%), dan
Barang Lainnya (-0,70%).

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 9


Tabel 1.3. Laju pertumbuhan Industri Nonmigas (persen)

N
Subsektor Industri 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
o

Makanan, Minuman
1 5,05 2,34 11,22 2,78 9,14 7,57 3,34
dan Tembakau

Tekstil, Barang Kulit &


2 -3,68 -3,64 0,60 1,77 7,52 4,27 6,06
Alas Kaki

Barang Kayu & Hasil


3 -1,74 3,45 -1,38 -3,47 0,35 -3,14 6,18
Hutan Lainnya

Kertas dan Barang


4 5,79 -1,48 6,34 1,67 1,40 -4,75 4,45
Cetakan

Pupuk, Kimia & Barang


5 5,69 4,46 1,64 4,70 3,95 10,50 2,21
dari Karet

Semen & Barang Galian


6 3,40 -1,49 -0,51 2,18 7,19 7,80 3,00
Bukan Logam

Logam Dasar Besi &


7 1,69 -2,05 -4,26 2,38 13,06 5,86 6,93
Baja

Alat Angkutan, Mesin &


8 9,73 9,79 -2,87 10,38 6,81 7,03 10,54
Peralatannya

9 Barang Lainnya -2,82 -0,96 3,19 3,00 1,82 -1,13 -0,70

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014

Jika melihat kontribusi dari masing-masing subsektor terhadap


pembentukan PDB industri nonmigas maka terdapat beberapa subsektor yang
signifikan dalam memberikan sumbangan terhadap PDB industri nonmigas
tersebut. Seperti subsektor industri makanan, minuman dan tembakau; Pupuk,
Kimia, dan Barang dari Karet serta Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya.
Pada 2013, ketiga subsektor industri ini menyumbang PDB terhadap industri
nonmigas masing-masing sebesar 35,76 persen, 12,21 persen dan 28,10 persen.
Sementara itu, subsektor industri Logam Dasar Besi dan Baja hanya terlihat
memberikan kontribusi yang paling kecil yakni hanya 1,90 persen terhadap PDB
industri nonmigas.

10 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Pada umumnya, subsektor industri yang mengalami pertumbuhan tinggi
selama 2008-2013, juga memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap PDB
sektor industri. Industri makanan, minuman dan tembakau; industri pupuk,
kimia, dan Barang dari Karet serta industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya dalam hal ini memiliki rata-rata pertumbuhan yang terbesar. Maka
kontribusi dari ketiga subsektor industri tersebut mencapai 76,07 persen pada
2013.

Tabel 1.4. Kontribusi Masing-masing Subsektor terhadap PDB Industri


Nonmigas (persen)

No Subsektor 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Makanan, Minuman dan


1 30,40 33,16 33,60 35,20 36,28 35,76
Tembakau
Tekstil, Barang Kulit &
2 9,21 9,19 8,97 9,23 9,12 9,14
Alas Kaki
Barang Kayu & Hasil
3 6,43 6,33 5,82 5,44 4,98 5,02
Hutan Lainnya
Kertas dan Barang
4 4,56 4,82 4,75 4,46 3,91 3,86
Cetakan
Pupuk, Kimia & Barang
5 13,53 12,85 12,73 12,21 12,62 12,21
dari Karet
Semen & Barang Galian
6 3,53 3,43 3,29 3,27 3,38 3,39
Bukan Logam

7 Logam Dasar Besi & Baja 2,57 2,11 1,94 2,00 1,93 1,90
Alat Angkutan, Mesin &
8 28,97 27,33 28,14 27,47 27,12 28,10
Peralatannya
9 Barang Lainnya 0,80 0,77 0,76 0,73 0,67 0,63

Sumber: BPS, diolah Kemenperin (2014)

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 11


12 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 2

2.1. Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan
data primer. Data sekunder yang utama adalah statistik industri nasional skala
besar, sedang, kecil dan mikro. Statistik industri tersebut khususnya terkait
dengan statistik penggunaan energi di sektor industri. Data tersebut digunakan
untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat konsumsi energi di sektor
industri nasional. Data tersebut diperoleh dari Kementerian ESDM, Badan Pusat
Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian RI, Kementerian Pekerjaan Umum,
Asosiasi Industri yang terkait, Perusahaan Pengelola Kawasan Industri dan
instansi terkait lainnya. Dari sisi penyediaan energi khususnya untuk sektor
industri, diperoleh data supply masing-masing jenis energi dari berbagai sumber
seperti PT PLN, PT Pertamina, PT PGN, dan lain-lain.
Data sekunder akan dijadikan pemetaan awal dengan tujuan utama
untuk menggambarkan konfigurasi keadaan umum masing-masing jenis energi
yang digunakan oleh sektor industri. Utamanya dalam mengalisis tingkat
kebutuhan dan ketersediaan energi industri pada beberapa daerah. Data yang
mutakhir akan diperoleh dari statistik Industri pengolahan skala besar,
menengah dan kecil tahun 2012, sedangkan data statistik energi akan diperoleh
dari Kementerian ESDM, asosiasi industri dan beberapa perusahaan pengelola
kawasan Industri.
Lebih lanjut, untuk kebutuhan data primer pada kajian ini akan
diperoleh melalui kegiatan survey lapangan, wawancara mendalam (indepth
interview) dan Focus Group Discussion (FGD). Survey akan dilakukan terhadap
beberapa pusat kegiatan industri yang terpilih menjadi sample dengan metode
wawancara mendalam (indepth interview). Selanjutnya data primer ini akan
diolah menggunakan metode kualitatis deskriptif agar dapat membantu
menjawab tujuan penelitian ini. Hasil pengolahan dan analisis data primer

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 13


diharapkan dapat mengkonfirmasi atau mengklarifikasi hasil dari pengolahan
data sekunder.

2.1.1. Studi Kepustakaan


Salah satu jenis yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder tersebut akan diperoleh dari berbagai instansi dan
lembaga yang telah disebutkan sebelumnya. Teknik pengambilan data sekunder
ini menggunakan pendekatan kepustakaan (Desk Study). Desk study atau studi
kepustakaan berfungsi sebagai materi awal yang menjadi pengantar untuk
dapat menganalisis persoalan energi di sektor industri secara lebih tepat dan
terarah.
Teknik desk study dilakukan secara mendalam dimana berbagai
dokumen, data sekunder, serta fenomena-fenomena energi di sektor industri
akan dikaji dan disarikan dalam bentuk draft kajian. Hal itu adalah sebagai
langkah pendahuluan untuk mendapatkan gambaran terlebih dahulu terhadap
fenomena yang diamati. Selanjutnya untuk mendukung desk study dilakukan
survey ke beberapa daerah untuk menggali informasi terbaru dan informasi-
informasi yang sulit diperoleh melalui kajian literatur. Teknik desk study juga
digunakan untuk menganalisis teori-teori yang berkaitan dengan tujuan kajian
termasuk untuk penyusunan bahan wawancara dan FGD.

2.1.2. Survey dan Observasi Lapang


Survei dan observasi ke lapangan dilakukan untuk memperoleh data
primer guna mengklarifikasi hasil analisis data sekunder. Hal ini dilakukan untuk
mengkaji pernyataan secara lebih faktual. Tinjauan ini ditujukan untuk mengkaji
strategi yang optimal guna memenuhi kebutuhan infrastruktur dalam rangka
akselerasi industri, sehingga dalam melakukan proses analisis kompilasi data
menjadi lebih tepat, valid dan lebih akurat.

2.1.3. Wawancara Mendalam (Indepth Interview)


Wawancara secara mendalam (indepth interview) dilakukan secara
individual antara enumerator dan responden. Wawancara mendalam ini
menggunakan panduan kuesioner (questionare guideline). Wawancara
dilakukan secara terstruktur untuk memperoleh data serta informasi atau
permasalahan yang perlu dikaji secara lebih mendalam. Objek wawancara

14 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


adalah pengelola atau operator pada 5 (lima) pusat kegiatan industri yang
terpilih berdasarkan ruang lingkup kajian ini.

2.1.4. Focus Group Discussion (FGD)


FGD dilakukan untuk mendiskusikan hasil analisis data sekunder
ataupun primer. Hal ini dilakukan selain untuk mensosialisasikan hasil kajian,
juga untuk menjaring masukan dari para stakeholder yang terkait dengan kajian
ini. Dengan demikian hasil dari kajian ini diharapkan dapat lebih lengkap dan
komprehensif.
FGD dilakukan dalam rangka diskusi intensif untuk menggali dan mengkaji
strategi optimalisasi guna memenuhi kebutuhan infrastruktur dalam rangka
akselerasi industri. Diskusi kelompok dilakukan di suatu ruang yang mendukung,
terdapat beberapa koresponden terpilih terutama dari pihak tim teknis
Kementeriaan Perindustrian.
Hasil survey dan FGD akan dianalisis secara deskriptif serta diolah
menggunakan analisis tabulasi, grafis dan deskriptif lainnya. Hasil analisis ini
diharapkan dapat lebih memperkaya hasil dari analisis deskriptif statistika dan
kuantitatif.

2.2. Metode Analisis


Kajian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Metode
kuantitatif digunakan untuk menganalisis tingkat pemenuhan kebutuhan
infrastruktur industri di beberapa pusat kegiatan industri. Perhitungan ini akan
dilakukan berdasarkan data dasar (baseline) Industri Besar dan Sedang serta
Industri Mikro dan Kecil yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dalam 10
tahun terakhir serta data perkembangan infrastruktur yang terkait dengan
kebutuhan sektor industri.
Kajian ini akan memberikan profil yang menyeluruh tentang keadaan
umum (existing condition) infrastruktur energi untuk sektor industri. Di samping
itu juga akan memberikan informasi mengenai kebutuhan ideal energi dalam
rangka akselerasi industri.
Sementara itu, pendekatan kualitatif juga akan digunakan untuk
memperkaya analisa, yaitu dengan menganalsis hasil temuan dari kegiatan
Focus Group Discussion (FGD) dengan pengelola pusat kegiatan industri
(kawasan industri) dan stakeholders yang terkait. Melalui FGD juga akan
diperoleh masukan-masukan langsung dari pengelola kawasan industri terkait

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 15


dengan arah kebijakan serta strategi pemenuhan kebutuhan infrastruktur dalam
rangka akselerasi industri.
Salah satu tujuan pada kajian ini adalah menganalisis neraca energi
(tujuan pertama) dan memproyeksi kebutuhan energi untuk sektor industri
(tujuan kedua). Tujuan pertama akan dianalisis dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Sedangkan metode yang kedua akan dianalisis dengan
metode kuantitatif yakni Vector Autoregressive. Beberapa ruang lingkup yang
perlu menjadi catatan dalam analisis kuantitatif dalam kajian ini antara lain:
• Data Energi yang digunakan bersumber dari Hand book of Energy 2013
yang dipublikasikan oleh Kementerian ESDM dengan didukung statistik IBS
dan IMK dari BPS
• Jenis energi yang dianalisis dalam kajian ini meliputi listrik, gas, batubara,
dan BBM.
• Data yang digunakan merupakan data tahunan (2000-2012) yang dipecah
(breakdown) menjadi data kuartalan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi
syarat dalam proses analisis VAR
• Selain data energi, kajian ini juga menggunakan data PDB industri
nonmigas dalam bentuk kuartal dari tahun 2000-2012 (BPS)
• Variabel yang dijadikan basis proyeksi adalah proyeksi PDB industri
nonmigas dalam RIPIN
2.2.1. Vector Autoregressive (VAR)
Penggunaan pendekatan struktural atas pemodelan persamaan
simultan biasanya menerapkan teori ekonomi di dalam usahanya untuk
mendeskripsikan hubungan antarvariabel yang ingin diuji. Akan tetapi sering
ditemukan bahwa teori ekonomi saja ternyata tidak cukup kaya dalam
menyediakan spesifikasi yang ketat dan tepat atas hubungan dinamis
antarvariabel. Terkadang proses estimasi dan inferensi bahkan menjadi lebih
rumit karena keberadaan variabel endogen di kedua sisi persamaan
(endogenitas di sisi dependen dan independen). Model VAR ciptaan Sims (1980)
kemudian muncul sebagai jalan keluar atas permasalahan ini melalui
pendekatan nonstrukturalnya.
VAR merupakan suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap
peubah sebagi fungsi linier dari konstanta dan nilai beda kala (lag) dari peubah
itu sendiri sebagi nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem yang

16 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


mengasumsikan bahwa semua variabel yang terdapat dalam model bersifat
endogen (ditentukan di dalam model). Oleh karena itu, metode VAR disebut
sebagai model yang a-teoritis (tidak berlandaskan teori). Metode ini digunakan
karena sering kita jumpai keadaan dimana teori ekonomi saja ternyata tidak
mampu menangkap (tidak cukup kaya menyediakan spesifikasi) secara tepat
dan lengkap hubungan dinamis antarvariabel. Atau dengan kata lain, model VAR
tidak banyak bergantung pada teori, melainkan perlu menentukan variabel yang
saling berinteraksi, serta banyaknya variabel jeda yang perlu diikutsertakan
dalam model tersebut (Nachrowi dan Usman, 2006: 289).
Kelebihan metode VAR dibanding metode ekonometrik lainnya menurut
Gujarati (2004) dan Enders (2004) adalah:
1. Metode VAR bebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering
ada, seperti variabel endogen dan eksogen palsu;
2. VAR mengembangkan model secara bersamaan dalam sistem
multivarian yang kompleks, sehingga dapat menangkap semua
hubungan antarvariabel dalam persamaan;
3. Tes VAR multivarian dapat menghindari parameter yang bias karena
menyampingkan variabel yang relevan;
4. Tes VAR dapat mendeteksi semua hubungan antarvariabel dalam
sistem persamaan dengan memperlakukan semua variabel endogen;
5. Metode VAR adalah metode sederhana, dimana tidak perlu
menentukan mana variabel yang endogen dan mana yang eksogen.
Semua variabel pada model VAR dapat dianggap sebagai variabel
endogen
6. Estimasi VAR sederhana, karena metode umum OLS dapat digunakan
pada masing‐masing persamaan secara terpisah; dan
7. Prediksi estimasi yang diperoleh, lebih baik dalam berbagai kasus,
dibanding dengan model simulataneous‐equation yang lebih rumit.
Sekalipun banyak kelebihan, model VAR tetap memiliki sisi lemah yang
diringkas oleh Nachrowi dan Usman (2006: 291) diantaranya,
1. Model VAR lebih bersifat a-teoritik karena tidak memanfaatkan
informasi atau teori terdahulu, sehingga tidak struktural;

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 17


2. Mengingat tujuan utama model VAR untuk peramalan, maka model
VAR kurang cocok untuk analisis kebijakan yang bersifat jangka
panjang;
3. Pemilihan banyaknya lag yang digunakan sering menimbulkan
permasalahan;
4. Semua variabel dalam VAR harus stasioner, jika tidak maka harus
ditransformasi;
5. Interpretasi koefisien yang didapat berdasarkan model VAR tidak
mudah.
Secara garis besar terdapat empat hal yang ingin diperoleh dari
pembentukan sebuah sistem persamaan, antara lain: deskripsi data, peramalan,
inferensi struktural dan analisis kebijakan. VAR menyediakan alat analisa bagi
keempat hal tersebut melalui empat macam penggunaannya, yaitu: Forecasting,
ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan
memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel; Impulse Response Function
(IRF), melacak respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan
atau shock suatu variabel tertentu; Forecast Error Decomposition of Variance
(FEDVs), prediksi kontribusi persentase varians setiap variabel terhadap
perubahan suatu variabel tertentu; Granger Causality Test, mengetahui
hubungan sebab-akibat antarvariabel.
Dalam kajian ini, model VAR akan digunakan untuk menyusun sistem
peramalan dari data deret waktu yang saling terkait dan untuk menganalisis
efek (impact) dinamis dari keberadaan faktor acak yang mengganggu sistem
tersebut. Suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai
fungsi linear dari konstanta dan nilai beda kala (lag) peubah tersebut serta lag
peubah lain dalam sistem, atau dengan kata lain VAR meliputi nilai lag semua
peubah respon dalam model. Penggunaan VAR seringkali digunakan untuk
memodelkan pergerakan peubah-peubah ekonomi.
Bentuk Umum model VAR adalah sebagai berikut :

Yt  A0  AYt 1  vt
Persamaan tersebut disebut Vector Autoregresive berordo 1 yang lazim
ditulis VAR(1). Jika peubah sebanyak M, dengan observasi sebanyak T dan ordo
p, maka model VAR (p) dapat ditulis sebagai berikut:

18 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Yt  A0  A1Yt 1  A2Yt 2  ...  ApYt  p  vt

A0 adalah vektor berukuran M x 1 dan matriks A1 (i = 1, 2, ...p) masing-masing


berukuran M x M. Banyaknya parameter model yang harus diestimasi dari suatu
model VAR (p) adalah M + M2p = M (1 + Mp). Data dalam model VAR haruslah
data yang stasioner.
Bentuk-bentuk Model VAR:
1. Unrestricted VAR. Terdapat dua bentuk:
– VAR in level: jika data tidak stasioner pada level, harus distasionerkan
dulu sebelum menggunakan model VAR.
– VAR in difference: jika data tidak stasioner dalam level dan tidak
memiliki hubungan kointegrasi, estimasi VAR dilakukan pada data
difference.
2. Restricted VAR atau disebut Vector Error Correction Model (VECM): bentuk
VAR yang terestriksi. Restriksi diberikan karena data tidak stasioner namun
terkointegrasi.
3. Struktural VAR: Bentuk VAR direstriksi berdasarkan hubungan teoritis yang
kuat dan skema ordering hubungan terhadap peubah-peubah yang
digunakan. S-VAR dikenal sebagai VAR yang teoritis (theoritical VAR).
Dalam pemodelan VAR terdapat dua hal utama yang perlu dispesifikasikan
(Pyndick dan Rubinfield, 1998) yaitu:
1. Variabel endogen (dan eksogen) yang diyakini berinteraksi dalam suatu
sistem dimasukkan dalam pemodelan;
2. Jumlah lag optimum yang diperlukan untuk menangkap pengaruh-
pengaruh yang dimiliki masing-masing variabel terhadap variabel
lainnya.
Sebagai ilustrasi, model VAR energi industri dengan ordo 1 dinotasikan dalam
bentuk matrik berikut:

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 19


Dimana:
OUTPUT = Nilai output (PDB) industri berdasarkan harga konstan
BB = Konsumsi batubara untuk industri (ribu SBM)
GAS = Konsumsi gas untuk industri (ribu SBM)
LIST = Konsumsi listrik untuk industri (ribu SBM)
BBM = Konsumsi BBM untuk industri (ribu barel)
t = periode ke-t
εt = galat

2.2.1.1. Uji Unit Root


Uji unit root merupakan hal penting yang berkaitan dengan penelitian
yang menggunakan data deret waktu (time series). Data deret waktu dikatakan
stasioner jika data menunjukkan pola yang konstan dari waktu ke waktu atau
dengan kata lain tidak terdapat pertumbuhan atau penurunan pada data.
Penggunaan data yang tidak stasioner dapat menghasilkan regresi yang
semu (spurios regresion), yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua
variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal dalam
kenyataannya tidak sebesar regresi yang dihasilkan tersebut, sehingga dapat
menghasilkan misleading (Irawan dalam Margarettha 2005). Ada beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk mengukur keberadaan stasioneritas, salah satunya
adalah Augmented Dickey Fuller test (ADF). Jika nilai ADF statistiknya lebih kecil
dari MacKinnon Critical Value maka dapat disimpulkan bahwa data tersebut
stasioner. Namun jika ternyata nilai ADF statistiknya lebih besar dari MacKinnon
Critical Value maka data tersebut tidak stasioner. Kemudian langkah yang dapat
dilakukan jika data bedasarkan uji ADF ternyata time series nonstasioner adalah
melakukan difference non stasionary processes.

20 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Uji ADF pada dasarnya melakukan estimasi terhadap persamaan regresi
sebagai berikut :

Δ yt = β1 + β2t + δYt-1 + α1 Σ Δyt-1 εt


t-1

Dimana εt = white noise dan Δ Yt = Yt-1 – Yt-2. Pada ADF yang akan diuji
adalah apakah δ = 0 dengan hipotesis alternatif δ < 0, jika nilai absolut dari nilai t
hitung untuk δ lebih besar dari absolut ADF, maka hipotesis nol yang
menunjukkan bahwa data tidak stasioner ditolak terhadap hipotesis
alternatifnya.

2.2.1.2. Kriteria Informasi


Penentuan lag yang optimum dapat dilakukan dengan mengaplikasikan
kriteria informasi. Penentuan lag optimum bertujuan untuk memperoleh model
yang sederhana (parsimonius) dan fit dengan menggunakan adjusted R2,
Likelihood Ratio, Final Prediction Error, Akaike Information Criterion (AIC),
Schwarz Information Criterion (SC), dan Hannan-Quin Criterion (HQ). Dalam
penelitian ini untuk menetapkan lag yang optimum akan digunakan kriteria AIC,
yang dirumuskan sebagai berikut :

AIC = log [∑εi2/N] + 2 k/N

Dimana ∑εi2 adalah jumlah residual kuadrat, sedangkan N dan K masing-


masing adalah jumlah sampel dan jumlah variabel yang beroperasi dalam suatu
persamaan.
Untuk memperoleh lag yang paling optimal, model yang digunakan
harus diestimasi dengan berbeda-beda tingkat lag-nya, kemudian dibandingkan
nilai AIC-nya. Nilai AIC terkecil merupakan tingkat lag yang paling optimal.
2.2.1.3. Uji Kointegrasi
Kointegrasi merupakan suatu hubungan jangka panjang (long term
relationship equilibrium) antara variabel-variabel yang stasioner pada derajat
integrasi yang sama. Suatu deret waktu dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d
atau I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah pendiferensiasian sebanyak
“d” kali.
Bila data tidak stationer, maka perlu dilakukan uji kointegrasi, dimana
jika data yang tidak stationer terkointegrasi maka kombinasi linear

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 21


antarvariabel-variabel dalam sistem akan bersifat stationer sehingga dapat
diperoleh sistem persamaan jangka panjang yang stabil (Enders, 2004). Ada
beberapa cara untuk melakukan uji kointegrasi, antara lain Engle-Granger
Cointegration Test, Johansen Cointegration Test dan Cointegrating Regresion
Durbin-Watson Test.
Pada penelitian ini, uji kointegrasi dilihat dari Johansen Cointegration
Test. Untuk dapat melihat berapa jumlah persamaan yang terkointegrasi di
dalam sistem, dilakukan perbandingan estimasi Johansen Tarce Statistic
terhadap nilai kritisnya (critical value). Jika nilai critical value lebih kecil dari
Tarce Statistic maka persamaan tersebut terkointegrasi.
Estimasi model penelitian dengan menggunakan kointegrasi dapat
dilakukan dengan mengaplikasikan metodologi Johanson yang terdiri dari
beberapa tahap, yaitu:
1. Menguji ordo integrasi semua variabel. Data perlu diplotkan untuk
mengamati ada atau tidaknya trend linier. Disarankan tidak mencampur
variabel dengan ordo yang berbeda.
2. Mengestimasi model dan menetapkan kondisi model. Kondisi model
dapat dilakukan dalam tiga bentuk :
a. Semua elemen konstanta sama dengan nol (A0 = 0).
b. Nilai A0 ditetapkan.
c. Nilai A0 merupakan konstanta pada vekor kointegrasi.
3. Menganalisis untuk mendapatkan vektor kointegrasi yang dinormalkan
dan koefisian.
4. Menghitung faktor koreksi galat untuk membantu mengidentifikasi
model struktural.

2.2.2. Vector Error Correction Model (VECM)


Vector Error Correction Model (VECM) adalah suatu turunan VAR yang
berguna untuk melihat hubungan keseimbangan jangka panjang dari
persamaan-persamaan yang terkointegrasi. Caranya adalah dengan merestriksi
beberapa variabel dari suatu persamaan. Metode ini adalah cara untuk melihat
pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya dalam jangka panjang.
Model VECM disusun apabila rank kointegrasi (r) lebih besar dari nol.
Model VECM ordo p dan rank kointegrasi (r) dapat dirumuskan sebagai berikut:

22 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


P-1
ΔZt = A0 + π Zt-1 + Σ ØiΔZt-1 + εt
i=1
Dimana : π = αβ
α = Vektor kointegrasi berukuran r x 1
β = Vektor adjusment berukuran berukuran r x 1
P
Øi = - Σ Aj
j=i+1
Pendugaan parameter dilakukan dengan menggunakan metode
kemungkinan maksimum. Sedangkan interpretasi hasil estimasi VEC dapat
dilakukan dengan melihat koefisien kointegrasinya dan pembacaan tanda
adalah terbalik dari tanda koefisiennya.

2.2.2.1. Uji Kausalitas Multivariat


Penelitian ini menggunakan Pairwise Granger Causality Test untuk
melihat hubungan kausalitas antara variabel-variabel dalam model. Menurut
Granger (1969), hubungan kausalitas adalah hubungan jangka pendek antara
kelompok tertentu dengan menggunakan pendekatan ekonometrik yang
mencakup juga hubungan timbal balik dan fungsi-fungsi yang muncul dari
analisis spektrum, khususnya hubungan antar spektrum dan hubungan parsial
antar spektrum. Dari pandangan ekonometrik, ide utama kausalitas adalah
sebagai berikut : pertama

k k
Yt = Σ αjYt-j + Σ βj Xt-j + ut
j=1 j=1

k k
Xt = Σ δjXt-j + Σ δj Yt-j + ut
j=1 j=1

jika X mempengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu dalam


memprediksikan Y. Dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan
data Y masa lalu maka dapat meningkatkan explanatory power dari regresi.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 23


Kedua: data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksikan
X, karena jika X dapat membantu dalam mempresiksikan Y dan Y dapat
membantu memprediksikan X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain,
misalkan Z yang mempengaruhi X dan Y.
Pada tahun 1969, Granger memperkenalkan hubungan sebab akibat
antara dua variabel yang saling berkaitan. Hubungan kausalitas dapat dibagi atas
tiga kategori, yaitu hubungan kausalitas satu arah, hubungan kausalitas dua
arah, dan hubungan timbal balik.

2.2.2.2. Variance Decomposition (VD) dan Impulse Response Function (IRF)


Variance Decomposition (VD) dapat mencirikan struktur dalam model
dan digunakan untuk mengukur kekuatan dari masing-masing variabel dalam
mempengaruhi variabel lainnya selama kurun waktu yang panjang serta untuk
melihat perubahan dalam suatu variabel yang diakibatkan oleh pengaruh dari
variabel lainnya. Perubahan tersebut dapat ditunjukkan melalui perubahan
varians error.
Variance Decomposition (VD) merinci varians dari forecast error menjadi
komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen
dalam model. Hal ini dapat dilakukan dengan menghitung persentasi squared
prediction error k-tahap ke depan dari sebuah variabel akibat inovasi dalam
variabel-variabel lain, sehingga dapat dilihat seberapa error peramalan variabel
tersebut disebabkan oleh variabel itu sendiri dan variabel lainnya.
Menurut Sims (1972), cara yang paling baik untuk dapat mencirikan
struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisis respon dari model
terhadap kejutan (shock). Impulse Respon Function (IRF) dapat melakukan hal
tersebut dengan menunjukkan respon dari setiap variabel endogen sepanjang
waktu terhadap shock (goncangan) dalam variabel itu sendiri dan variabel
endogen lainnya. IRF digunakan untuk menelusuri dampak goncangan sebesar
satu standar kesalahan (standard error) sebagai inovasi pada suatu variabel
endogen terhadap variabel endogen yang lain.

24 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Bab 3

3.1. Kondisi Umum Sektor Energi di Indonesia


3.1.1. Pasokan Energi di Indonesia
Selama bertahun-tahun, Indonesia menggunakan berbagai jenis
pasokan energi mulai dari minyak, gas, batubara, hingga panas bumi. Akan
tetapi, ketergantungan Indonesia terhadap energi minyak sangat besar, yaitu 46
persen dari total pasokan energi Indonesia. Persentase tersebut sudah lebih
rendah dibandingkan beberapa tahun terakhir dimana minyak menguasai lebih
dari 50 persen total pasokan energi Indonesia. Dari Gambar 3.1, dapat dilihat
bahwa walaupun persentasenya semakin berkurang sejak tahun 2000, yaitu
41,88 persen menjadi 38,86 persen pada tahun 2012, namun minyak tetap
menjadi sumber energi utama di Indonesia. Ketergantungan terhadap minyak
bumi dikarenakan belum ada upaya untuk mempercepat penerapan diversifikasi
dan bauran energi di Indonesia.
Data pada Gambar 3.1 juga dapat dilihat bahwa terjadi bauran energi
yang semakin merata secara perlahan, dimana suplai gas dan batubara
cenderung meningkat. Pada tahun 2000, suplai batubara hanya sekitar 9.42
persen dari total suplai energi, yang pada tahun 2012, jumlahnya naik lebih dari
dua kali lipat sehingga mencapai 22,44 persen dari total suplai energi Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi pada gas, walaupun pertumbuhannya tidak terlalu
signifikan dibandingkan batubara, dimana pada tahun 2012 suplai gas mencapai
16,87 persen dari suplai energi Indonesia. Persentase tersebut naik
dibandingkan tahun 2000 ketika suplai gas masih mencapai 16.54 persen dari
suplai energi Indonesia. Namun, peningkatan suplai gas di Indonesia terlihat
relatif lambat. Sementara energi biomassa yang merupakan salah potensi, justru
mengalami penurunan kontribusi.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 25


Bila dilihat secara rata-rata kontribusi suplai energi pada periode tahun
2000 hingga 2012, maka energi minyak merupakan energi utama dimana
kontribusinya rata-rata mencapai lebih dari 40 persen dari total pasokan energi.
Konstribusi energi dari minyak tersebut jauh di atas rata-rata pasokan batubara
dan gas yang persentase masing-masing sekitar 16 persen dan 17 persen pada
periode yang sama. Salah satu sebab mengapa minyak masih mendominasi
suplai energi di Indonesia adalah kebijakan subsidi minyak yang berlangsung
dalam waktu yang sangat lama.

2.54 2.82 2.34 2.03 2.13 2.32 2.06 2.31 2.30 2.21 3.07 2.06 2.10

21.57 19.11 18.62 18.36


27.02 25.83 25.25 24.05 23.75 23.15 23.51 22.36 22.03

17.21 16.87
18.05 16.39 16.39 16.72 14.92 18.70 19.39 18.85
16.54 16.53 17.65 0.93 1.08 1.08
0.97 0.94 0.95 1.06 1.16 1.15
0.96 0.96 0.96 0.92

38.51 39.05 39.15


40.37 43.52 42.32 39.25 38.11 37.40 38.19
43.52 42.42 42.32
0.02 0.1 0.15 0.29
0.01 0.03 0.06
0 0 0
0 0
0 17.51 20.97 17.80 18.26 19.65 21.98 22.44
9.42 11.44 11.48 14.58 13.24 14.89

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Coal Biofuel Crude Oil & Product Geothermal Natural Gas & Product Biomass Hydro Power

Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2013

Gambar 3.1. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis (2000-2011)

3.1.2. Konsumsi Energi Di Indonesia


Dilihat dari konsumsi energi menurut jenisnya, maka energi dalam
bentuk fuel (BBM) merupakan jenis energi yang paling banyak dikonsumsi. Hal
ini terlihat dari Gambar 3.2. Dari data yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM
dalam Handbook of Energy and Economic Statistic of Indonesia 2013 diketahui
bahwa sejak tahun 2000, BBM merupakan energi yang paling banyak
dikonsumsi oleh di Indonesia baik sektor industri, komersial, transportasi,

26 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


maupun sektor rumah tangga. Walaupun konsumsi BBM mengalami penurunan
sejak tahun 2005, namun proporsi konsumsi BBM sangat besar dibandingkan
dengan konsumsi sumber energi lain seperti batu bara dan gas. Pada tahun
2005, 59,9 persen dari total konsumsi energi Indonesia adalah dalam bentuk
BBM. Jumlah persentase konsumsi BBM berkurang menjadi 50 persen pada
tahun 2012. Sedangkan untuk tingkat konsumsi gas (LPG), peningkatannya
terlihat tidak signifikan meskipun jumlah cadangan gas di Indonesia terbilang
cukup melimpah. Pada tahun 2000 konsumsi LPG nasional sebesar 1,7 persen
dari total konsumsi energi di Indonesia, namun pada tahun 2012 hanya
meningkat menjadi sebesar 5,4 persen dari total konsumsi energi nasional.
Lebih dari itu, persentase (pangsa) konsumsi gas alam secara nasional
mengalami penurunan dari yang sebelumnya sebeesar 17,6 persen pada 2000,
menjadi 15,7 persen di tahun 2012. Walaupun sempat mencapai 18,4 persen
dari total konsumsi energi pada tahun 2009, namun peningkatan tersebut
kembali menurun. Hal ini menunjukkan laju peningkatan penggunaan gas alam
di Indonesia tidak secepat laju peningkatan penggunaan jenis energi lainnya
yang ada di Indonesia. Selain itu, minimnya infrastruktur gas membuat gas bumi
yang dihasilkan di Indonesia “terpaksa” harus diekspor ke luar negeri.
Sementara itu, jenis energi batubara merupakan jenis energi yang
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2000, konsumsi
energi batubara hanya 7.3 persen dari total konsumsi energi di Indonesia,
namun pada tahun 2012, persentase penggunaan energi batubara meningkat
menjadi 15,5 persen. Tingginya ekspor batubara membuat penggunaan energi
ini di dalam negeri menjadi tidak optimal.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 27


17.6 16.2 16 16.6 15.1 15.3 14.8 13.3 16.7 18.4 15.6 15.9 15.7
1.8
1.7 1.6 1.7 1.6 1.6 1.5 1.7 2.6 3.8 4.3 4.8 5.4

52.2
55.4 52.4 49.3 47.6 50
59.1 62.6 59.9 52.1
63.6 64.7 64.1

12.4 12.3 12.8 13.4


12.3 12.9 12.8
10.1 10.9 11.6
9.8 10.2 10.6 20.3 15.4 18.5 18.9 15.5
7.3 7.3 7.6 12.6 9.8 11.7 15.8 12.9

2000 2001 2 0 0 2 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2 0 1 0 2011 2012

Coal Electricity Fuel LPG Natural Gas

Sumber: Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2013

Gambar 3.2. Pangsa Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis (Persen)

3.2. Kondisi Khusus Sektor Energi di Indonesia


3.2.1. Ketenagalistrikan Nasional
Penyedia dan pengelola tenaga listrik di Indonesia diselanggarakan oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN).
Tujuan didirikannya PT PLN adalah merencanakan dan melaksanakan proyek-
proyek kelistrikan untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka pendek, kapasitas PT PLN masih
terbatas karena terbentur dengan permasalahan proyek pembangunan
infrastruktur jaringan kelistrikan yang masih terhambat dengan berbagai macam
penyebab. PT PLN masih akan terus berupaya untuk menyediakan tenaga listrik
dengan menyewa pembangkit sebagai solusi sementara. Oleh karena itu, PT PLN
secara alamiah perlu mempunyai sebuah rencana pengembangan sistem
kelistrikan yang berjangka panjang. PT PLN harus merencanakan pengembangan
sistem kelistrikan minimal 10 tahun ke depan agar dapat mengakomodasi lead
time yang panjang dari proyek-proyek kelistrikan.

28 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Hingga 2013, PT PLN telah berhasil mengaliri listrik ke 80,40 persen
wilayah tanah air. Hal ini terlihat dari rasio elektrifikasi nasional yang
ditunjukkan pada Tabel 3.1. Terlihat sejak 2010 hingga tahun 2013, realisasi
rasio selalu mengalami peningkatan. Kondisi kelistrikan di Indonesia saat ini
sudah mencapai 80,4 persen pada tahun 2013. Namun hal ini masih jauh dari
target PT PLN yang harus merealisasikan kelistrikan mencapai 100 persen di
seluruh wilayah Indonesia. Untuk mencapai 100 persen, maka proses yang
dilalui harus secara bertahap, mengingat biaya, lahan dan pengadaan
infrastruktur pendukung lainnya yang cukup sulit direalisasikan dalam waktu
dekat. PT PLN menargetkan pada tahun 2015, rasio kelistrikan nasional
mencapai angka 85,9 persen dan diperkirakan akan mendekati 100 persen pada
tahun 2025 - 2030.
Tabel 3.1. Realisasi Rasio Elektrifikasi Nasional, 2010 – 2013

Tahun 2010 2011 2012 2013

Realisasi 67,60% 73,70% 76,20% 80,40%


Sumber : RUPTL, 2014

Jika dilihat berdasarkan kondisi elektrifikasi pada masing-masing


provinsi, terlihat bahwa terdapat ketimpangan yang cukup signifikan pada
beberapa daerah. Ketimpangan rasio elektrifikasi tersebut khususnya terjadi
antara kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Pada DKI Jakarta
misalnya, rasio elektrifikasi pada Ibukota Negara tersebut telah mencapai 99,9
persen, namun hal sebaliknya terjadi pada Provinsi Papua yang baru mencapai
36,40 persen (Tabel 3.2). Lebih dari itu, ketimpangan rasio elektrifikasi juga
terjadi antar wilayah yang berdekatan, seperti yang terjadi di Provinsi Papua dan
Provinsi Papua Barat. Di Provinsi Papua Barat rasio elektrifikasi telah mencapai
sebesar 75,5 persen, sementara di Provinsi Papua baru mencapai 36,40 persen.
Rencana pemerintah untuk melakukan penyebaran industri ke berbagai
wilayah khususnya di luar pulau Jawa harus diimbangi dengan penyediaan listrik
yang memadai. Inilah yang menjadi tantangan bersama antara pemerintah dan
PT PLN selaku penyedia energi listrik di Indonesia.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 29


Tabel 3.2. Rasio Elektrifikasi Masing-Masing Provinsi di Indonesia (2013)

No. Nama Provinsi Rasio No. Nama Provinsi Rasio


Nanggroe Aceh
1 89,30% 17 NTB 64,40%
Darusslam
2 Sumatera Utara 89,60% 18 NTT 54,80%
3 Riau dan Kepri 78,90% 19 Kalimantan Barat 77,40%
4 Sumatera Barat 80,20% 20 Kalimantan Selatan 81,60%
5 Jambi 67,80% 21 Kalimantan Tengah 66,20%
6 Bengkulu 78,50% 22 Kalimantan Timur 80,40%
7 Sumatera Selatan 71,50% 23 Sulawesi Barat 67,20%
8 Lampung 77,50% 24 Gorontalo 68%
9 Bangka Belitung 96,80% 25 Sulawesi Utara 81,80%
10 DKI Jakarta 99,90% 26 Sulawesi Tengah 71,20%
11 Banten 85,80% 27 Sulawesi Tenggara 64,30%
12 Jawa Barat 80% 28 Sulawesi Selatan 81,10%
13 Jawa Tengah 86,20% 29 Maluku Utara 87,50%
14 DI Yogyakarta 80,60% 30 Maluku 87,50%
15 Jawa Timur 79,60% 31 Papua Barat 75,50%
16 Bali 78,10% 32 Papua 36,40%

Sumber : Rencana Pengembangan Kelistrikan di Indonesia, 2014

Lebih lanjut, jika melihat penyebaran Pembangkit Tenaga Listrik (PLT) di


Indonesia maka terlihat bahwa PLT di Indonesia masih terpusat pada wilayah
Jawa-Bali. Komposisi kapasitas pembangkit yang berada di Jawa-Bali mencapai
32,916 MW. Sedangkan wilayah Papua dengan rasio elektrifikasi kelistrikan yang
hanya sebesar 36,4 persen memiliki total komposisi kapasitas pembangkit 271
MW. Total kapasitas yang relatif sedikit ini menyebabkan wilayah Papua kurang
mendapatkan pasokan listrik yang baik. Sementara di Sumatera, Kalimantan,
dan Sulawesi total komposisi mencapai 7,944 MW, 1,975 MW dan 2,244 MW.
Sedangkan wilayah timur lainnya seperti di NTB dengan total sekitar 3656 MW
dan NTT dengan total komposisi kapasitas pembangkit terkecil yaitu sebesar 243
MW.

30 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 3.3. Total Komposisi Kapasitas Pembangkit

No Kepulauan Total Kapasitas


1 Sumatera 7,944 MW
2 Kalimantan 1,975 MW
3 Jawa-Bali 32,916 MW
4 NTB 356 MW
5 NTT 243 MW
6 Sulawesi 2,244 MW
7 Maluku 296 MW
8 Papua 272 MW
Total 46,245 MW
Sumber : RUPTL, 2014

Selanjutnya, pembangkit tenaga listrik yang telah terbangun akan


disalurkan menjadi transmisi dan gardu induk. Saat ini, sebagian besar
pembangkitan berada di wilayah Jawa-Bali, karena permintaan listrik terbesar
masih terpusat di Jawa-Bali. Sedangkan di Sumatera baru mencapai sebesar 10
persen dan sisanya di berada di wilayah Indonesia timur. Total pembangkit saat
ini ada sekitar 45 ribu. Saat ini terdapat pembangkit PT PLN menghasilkan daya
dengan total sebesar 46,245 MW dan IPP sekitar 7700 MW.
Komposisi penjualan listrik untuk sektor industri mencpai lebih dari 30
persen. Wilayah Jawa-Bali masih mendominasi dengan komposisi listrik untuk
sektor industri sekitar 36 persen, Sumatera 14 persen dan untuk wilayah
Indonesia timur dengan komposisi yang lebih kecil. Dari sisi kelistrikan untuk
sektor industri secara efisiensi lebih baik diratakan. PT PLN sedang berusaha
agar kelistrikan dapat tersebar hingga ke seluruh wilayah di Indonesia.

3.2.1.1. Permintaan Tenaga Listrik


Permintaan listrik di Indonesia terjadi peningkatan pada setiap tahun.
Pertumbuhan ini salah satunya didorong oleh meningkatnya jumlah industri,
rumah tangga, dan sektor komersial. Ketiga sektor ini turut menyumbang
kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Perkembangan permintaan listrik menurut jenis pelanggan belum
terjadi perubahan yang signifikan. Rumah tangga masih menjadi sektor dengan

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 31


pelanggan terbanyak dengan 48.608 ribu pelanggan (92,97%) pada September
2013. Sedangkan industri hanya 0,1 persen atau 51 ribu pelanggan pada tahun
yang sama. Meskipun jumlah pelanggan industri secara kuantitatif hanya 0,1
persen, namun daya listrik yang dikonsumsi oleh sektor industri mencapai 35
persen dari total energi listrik yang tersedia pada tahun 2012.

Tabel 3.4. Jumlah Pelanggan Tenaga Listrik PT PLN 2008-2013 (Ribu Unit)

Jenis Pelanggan 2008 2009 2010 2011 2012 2013*


Rumah Tangga 35.835 36.897 39.109 42.348 45.991 48.608
Porsi (%) 92,79 92,52 92,71 92,81 92,88 92,97
Komersial 1.687 1.770 1.878 2.019 2.175 2.257
Porsi (%) 4,37 4,44 4,45 4,42 4,39 4,32
Publik 1.052 1.165 1.148 1.214 1.300 1.365
Porsi (%) 2,72 2,92 2,72 2,66 2,63 2,61
Industri 46 48 48 50 52 51
Porsi (%) 0,12 0,12 0,11 0,11 0,11 0,10
Total 38.720 39.980 42.283 45.731 49.618 52.381

Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2022


*) sampai September 2013

Berdasarkan wilayah penjualan tenaga listrik PT PLN, terlihat bahwa


penjualan tenaga listrik masih terpusat pada wilayah Jawa-Bali. Di wilayah ini
penjualan listrik mencapai sebesar 105,4 TWh atau 76,5 persen dari total
penjualan listrik PT PLN seluruh Indonesia (September 2013). Perbedaan yang
mencolok antara Wilayah Jawa-Bali dengan wilayah lainnya memperlihatkan
pusat kegiatan atau aktivitas ekonomi masyarakat bertumpu di Pulau Jawa

32 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 3.5. Penjualan Tenaga Listrik PT PLN (TWh)

Wilayah 2008 2009 2010 2011 2012 2013*


Indonesia 127,6 133,1 145,7 156,3 172,2 137,8
Jawa-Bali 100,8 104,1 113,4 120,8 132,1 105,4
Sumatera 16,4 17,6 19,7 21,5 24,2 19,2
Kalimantan 4,2 4,7 5,1 5,7 6,4 7,2
Sulawesi 4,2 4,6 5,1 5,6 6,4 5,4
Maluku, Papua, dan
2,0 2,2 2,4 2,7 3,1 2,6
Nusa Tenggara
Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2022
*) Sampai September 2013

3.2.1.2. Pengembangan Tenaga Listrik di Indonesia dan Proyeksi ke Depan


Pembangunan ekonomi yang terpusat di Pulau Jawa membuat
infrastruktur listrik di luar pulau Jawa khususnya Indonesia Bagian Timur
menjadi tidak merata. Tidak meratanya pasokan listrik di luar Pulau Jawa
membuat pemerintah mengambil langkah-langkah strategis dalam
pengembangan listrik Indonesia. Melalui PT PLN, sejumlah program-program
pengembangan listrik akan dan telah dijalankan.
Pemerintah melalui menteri Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM)
menerbitkan Keputusan menteri ESDM Republik Indonesia Nomor 4092
K/21/MEM/2013 yang isinya adalah pengesahan Rencana Usaha Penyediaan
Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Tahun 2013-2022. Keputusan Menteri ESDM
tersebut menggantikan Keputusan Menteri sebelumnya yaitu Nomor 2026
K/20/MEM/2010 yang isinya juga sama yaitu pengesahaan RUPTL PT PLN, tetapi
untuk tahun 2010-2019. Pergantian ini hanya menambah waktu pembangunan
listrik Indonesia tetapi tujuannya tetap sama yaitu pemenuhan kebutuhan
kapasitas dan energi listrik, peningkatan efisiensi, dan kinerja sistem kelistrikan
nasional.
Asumsi-asumsi yang dikemukakan dalam program-program RUPTL ini
adalah peningkatan jumlah penduduk sehingga akan ada peningkatan jumlah
pelanggan. Dengan adanya RUPTL ini, rasio elektrifikasi (RE) akan meningkat
seiring dengan adanya jumlah pelanggan. Data yang terkait dengan proyeksi

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 33


jumlah penduduk, jumlah pelanggan dan rasio elektrifikasi pada periode 2013-
2022 terlihat pada Gambar 3.3.

Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2022

Gambar 3.3. Proyeksi Jumlah Penduduk, Jumlah Pelanggan, dan Rasio


Elektrifikasi 2013-2022

Dari proyeksi tersebut, PT PLN menargetkan RE nasional pada tahun


2022 akan mencapai 97,7 persen. Tahun 2012, RE nasional mencapai 76,2
persen. PT PLN akan menghadapi tantangan yang cukup berat mengingat bukan
hanya peningkatan RE, akan tetapi tujuan RUPTL ini adalah pemerataan listrik di
Indonesia. Terjadi ketimpangan RE antara Jawa-Bali, Indonesia Bagian Barat dan
Indonesia Bagian Timur. Saat ini RE Indonesia Timur hanya 72 persen, jauh jika
dibandingkan dengan Indonesia Barat dan Jawa-Bali. Tujuan akhir dalam RUPTL
adalah RE semua bagian Indonesia mencapai lebih dari 90 persen per masing-
masing wilayah.
Dalam upaya peningkatan rasio elektrifikasinya, PT PLN membangun
pembangkit listrik dengan berbagai tenaga. Total ada penambahan kapsitas
sebesar 59.515 MW di Indonesia yang akan dibangun pada tahun 2013-2022.
Dari total tambahan kapasitas, 63 persennya adalah diperoleh dari Pembangkit
Listrik Tenaga Uap. Hal tersebut menjelaskan bahwa PT PLN belum

34 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


mengembangkan pembangkit listrik alternatif lainnya, misalnya energi nuklir
dan energi surya. Pengembangan ini penting dilakukan mengingat
pengembangan pembangkit listrik tenaga surya dan nuklir sangat bermanfaat di
Indonesia terlebih sumber daya alam Indonesia dapat menopang kebutuhan
energi tersebut.
Dalam penyediaan penambahan kebutuhan listrik nasional, PT PLN
berencana membangun 128 pembangkit listrik baru yang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia. Walaupun proyek penambahan pembangkit listrik di Jawa
paling sedikit, tetapi penambahan daya di Jawa sangat besar bahkan sampai 50
persen dari total penambahan daya di Indonesia. Faktor pertumbuhan
penduduk di Jawa yang cepat dan pembangunan ekonomi yang lebih baik
daripada daerah lainnya membuat penambahan pasokan listrik di Jawa sangat
tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari proyeksi kebutuhan listrik antar wilayah di
Indonesia yang terlihat pada Gambar 3.4.
Kebutuhan listrik nasional tampaknya akan semakin meningkat tajam.
Hal ini banyak dipengaruhi oleh peningkatan kebutuhan listrik di Jawa-Bali yang
meningkat tajam. Akan tetapi rata-rata proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik
terbesar adalah Indonesia bagian Timur dengan 11,78 persen per tahun.
Sedangkan Jawa-Bali hanya mencapai 8,65 persen per tahun.

Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2022

Gambar 3.4. Proyeksi Kebutuhan Listrik 2013-2022 (TWh)

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 35


Pelanggan PT PLN yang terbesar saat ini adalah pelanggan rumah tangga
yang mencapai 41 persen. Hal ini terjadi baik di Indonesia bagian Barat maupun
Timur, dimana konsumsi listrik banyak digunakan untuk
perumahan/pemukiman. Sedangkan pelanggan listrik dari industri secara
nasional hanya 29 persen. Daerah Jawa-Bali merupakan daerah dengan
pelanggan industri terbesar dengan pangsa sebesar 36 persen.
Arah pembangunan ekonomi dalam membangun daerah berdasarkan
MP3EI membuat kebijakan listrik sangat berkaitan erat dengan pemerataan
diberbagai wilayah. Peraturan tentang kawasan industri mengharuskan industri
berada dalam satu kawasan industri. Tentu kebijakan ini membutuhkan
kesiapan dalam membangun infrastruktur listrik. Tidak dapat dipungkiri karena
listrik sangat menentukan proses pada kegiatan suatu industri. Jadi
pembangunan infrastruktur jaringan listrik harus diselaraskan dengan
pembangunan kawasan industri.
Dalam RUPTL, PT PLN menargetkan setiap tahunnya akan ada
penambahan pelanggan untuk industri sebesar 6,22 persen. Untuk melihat
proyeksi penambahan pelanggan listrik di sektor industri dapat dilihat dari Tabel
3.6.
Tabel 3.6. Proyeksi Pelanggan Industri menurut Wilayah

Indonesia Bagian
Tahun Indonesia Jawa-Bali Sumatera
Timur
2013 64.863 58.613 4.798 1.451
2014 70.777 63.589 5.052 2.136
2015 76.187 67.871 5.455 2.860
2016 81.589 72.212 5.860 3.517
2017 85.679 75.778 6.251 3.650
2018 90.313 79.833 6.684 3.795
2019 95.004 83.881 7.168 3.955
2020 100.134 88.294 7.710 4.130
2021 105.476 92.830 8.322 4.323
2022 111.549 97.994 9.019 4.536

Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2022

36 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Pertumbuhan pelanggan industri di luar pulau Jawa diproyeksi akan
meningkat seiring dengan kebijakan pembangunan industri nasional dimana
diasumsikan akan terjadi percepatan industrialisasi di luar pulau Jawa. Dari
Gambar 3.5, terlihat proyeksi pertumbuhan pelanggan industri dalam masing-
masing wilayah di Indonesia.

Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2014


Gambar 3.5. Proyeksi Pertumbuhan Pelanggan Industri Menurut Wilayah

Selain pemerataan pasokan listrik, RUPTL PT PLN juga merencanakan


bauran jenis energi yang digunakan untuk menghasilkan listrik. Pada tahun
2013, penggunaan batubara masih tinggi dengan porsi 53 persen. Kemudian
penggunaan BBM untuk listrik pada tahun yang sama mencapai 13 persen.
Namun pada tahun 2022, diproyeksikan bahwa penggunaan gas dan batubara
semakin besar. Hal tersebut sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk
menekan penggunaan BBM dan mengoptimalkan penggunaan batubara dan gas
bumi. Proyeksi bauran energi untuk listrik hingga tahun 2022 dapat dilihat pada
Gambar 3.6. dari gambar tersebut dapat dilihat komposisi produksi energy listrik
berdasarkan jenis energi.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 37


Sumber : RUPTL PT PLN 2013-2022
Gambar 3.6. Komposisi Produksi Energi Listrik Berdasarkan Jenis Energi (GWh)

3.2.2. Gas Bumi


Gas bumi merupakan salah satu sumber energi yang strategis bagi
pengembangan sektor industri di Indonesia. Pada tahun 2012 produksi gas
nasional tercatat sebesar 3,174,639 MMSCF, namun pada tahun 2020
diproyeksikan akan terjadi penurunan. Turunnya pasokan gas ini diakibatkan
oleh belum beroperasinya kilang-kilang utama dan lapangan gas yang besar
seperti LNG tangguh yang 70 persen produksinya masih dialokasikan untuk
ekspor. Sebagian besar pasokan gas nasional, termasuk untuk pemenuhan
industri, berasal dari dua kilang utama yaitu REG III Sumatera bagian Tengah dan
Selatan sebesar 1.723 MMSCFD dan REG VII Kalimantan Timur sebesar 2.889
MMSCFD (Tabel 3.7).
Sebagian besar suplai gas nasional dialokasikan untuk kawasan industri
yang saat ini dipasok oleh PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN). PT PGN sejauh
ini telah mendistribusikan volume gas lebih dari 800 MMSCFD, serta volume
yang ditransmisikan mencapai 840 MMSCFD, melalui jaringan transmisi
sepanjang 6.150 km dan distribusi sebesar 91.590 unit yang terdiri dari rumah
tangga, transportasi, komersial, industri, dan pembangkit listrik.
Berdasarkan portofolio market share eksisting, PT PGN menyediakan 30
persen pasokan gas untuk PT PLN dengan jumlah 10 lokasi pembangkit di Jawa

38 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Barat, Sumatera Selatan, dan Kepulauan Batam, kemudian 15 persen market
share PT PGN digunakan untuk IPP (Independent Power Producer) atau
pembangkit milik perusahaan.
Tabel 3.7. Pasokan Gas Nasional 2011-2025

Wilayah 2011 2020 2025


REG I NAD 235 78 19
REGI II Sumut 52 27 4
REG III Sumatera bag. Tengah dan Selatan 1.723 1.451 106
REG IV Jawa Barat 635 86 28
REG V Jawa Tengah 1,8 148 50
REG VI Jawa Timur 467 342 145
REG VII Kalimantan Timur 2.889 1.351 273
REG VIII Sulawesi Selatan 48 62 23
REG IX Sulawesi Tengah 0 410 403
REG X Papua 880 1.033 1.024
REG XI Kepulauan Riau 550 150 0
REG XII Maluku Selatan 0 450 450
Total 7.480,8 5.588 2.525

Sumber: Neraca Gas Nasional PT PGN, 2014


*dalam MMSCFD

Secara umum PT PGN memiliki 2 kegiatan utama yaitu: kegiatan


pengangkutan gas pipa transmisi dan pendistribusian gas sampai end user. Pipa
transmisi gas bumi yang dioperasikan oleh PT PGN terdiri dari jaringan pipa
bertekanan tinggi yang mengangkut gas alam dari ladang gas produsen kepada
pembeli stasiun penerima.
3.2.2.1. Permintaan dan Neraca Gas
Pada tahun 2011 total permintaan gas nasional sebesar 5.416 MMSCFD
kemudian pada tahun 2020 proyeksi permintaan gas mengalami kenaikan
sebesar 21,3 persen atau 6.573 MMSCFD. Saat ini, permintaan gas di Indonesia
sudah mencapai 91.590 pelanggan (Rumah Tangga, Transportasi, Komersial,
Industri, Pembangkit listrik). Sebagian besar permintaan gas terpusat di kawasan
industri dan pembangkit tenaga listrik yaitu pada Regional Jawa bagian Barat

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 39


(2.118 MMSCFD), Sumatera bagian Tengah dan Selatan (1.015 MMSCFD), dan
Jawa bagian Timur (821 MMSCFD).
Tabel 3.8. Permintaan Gas Nasional 2011-2025 (MMSCFD)
Wilayah 2011 2020 2025
REG I NAD 131 206 206
REGI II Sumatera bag. Utara 250 203 201
REG III Sumatera bag. Tengah dan Selatan 1.015 915 673
REG IV Jawa bag. Barat 2.118 2.243 2.310
REG V Jawa bag. Tengah 167,5 229 229
REG VI Jawa bag. Timur 821 1.282 1.242
REG VII Kalimantan bag. Timur 535 784 561
REG VIII Sulawesi bag. Selatan 83 111 110
REG IX Sulawesi bag. Tengah 30 145 145
REG X Papua 18,5 221 216
REG XI Kepulauan Riau 247 234 234
REG XII Maluku bag. Selatan 0 0 0
Total 5.416 6.573 6.127
Sumber: Neraca Gas Nasional PT PGN, 2014

Neraca gas nasional pada tahun 2011 mengalami surplus 2.064,8


MMSCFD, namun jika tidak ditemukan jumlah cadangan gas yang cukup besar
serta pipa gas masih terbatas, maka pada tahun 2020 secara nasional Indonesia
akan mengalami defisit sebesar 985 MMSCFD. Proyeksi yang dilakukan PT PGN
beserta Kementerian ESDM di tahun 2025 mengatakan bahwa kemungkinan
angka defisit bisa membesar yaitu 3.602 MMSCFD. Oleh karena itu diperlukan
berbagai macam strategi akselerasi pasokan gas baik dari sisi hulu maupun hilir.

40 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 3.9. Neraca Gas Nasional

Wilayah 2011 2020 2025


REG I NAD 104 -128 -187
REGI II Sumut -198 -176 -197
REG III Sumatera bag. Tengah dan Selatan 708 536 -567
REG IV Jawa Barat -1483 -2157 -2282
REG V Jawa Tengah -165,7 -81 -179
REG VI Jawa Timur -354 -940 -1097
REG VII Kalimantan Timur 2354 567 -288
REG VIII Sulawesi Selatan -35 -49 -87
REG IX Sulawesi Tengah -30 265 258
REG X Papua 861,5 812 808
REG XI Kepulauan Riau 303 -84 -234
REG XII Maluku Selatan 0 450 450
Total 2064,8 -985 -3602

Sumber: PT PGN, 2014


*dalam MMSCFD

Pada tahun 2022, defisit gas di Jawa Bagian Barat akan diantisipasi
dengan meningkatkan pasokan LNG dari domestik (Bontang, Tangguh, Masela)
maupun impor dan membangun land based LNG receiving terminal,
mempercepat penyaluran gas Natuna Timur ke Jawa Bagian Barat melalui
penyiapan infrastruktur hulu dan hilirnya. Surplus pasokan di Jawa Bagian
Tengah terjadi karena asumsi adanya pasokan LNG dari Floating Storage and
Regasification Unit (FSRU) Jawa Tengah. Tanpa FSRU Jawa Tengah, pemenuhan
permintaan di Jawa Bagian Tengah dilakukan dari penyaluran surplus pasokan di
Jawa Bagian Timur secara bertahap. Tahap awal dengan CNG, jangka panjang
dengan pipa Gresik-Semarang. FRSU adalah adalah komponen penting yang
diperlukan saat transit dan mentransfer LNG.
PT PGN mulai mengembangkan pasar di Jawa Bagian Timur (pioneering)
untuk menyerap surplus gas tahun 2013-2018 (asumsi pengembangan industri
di bawah rencana permintaan). Penurunan pasokan dari lapangan Jawa Bagian
Timur secara signifikan mulai 2019, pemenuhan permintaan dilakukan dari LNG
sehingga diperlukan LNG receiving terminal. PT PGN akan melakukan integrasi
supply dan demand di Pulau Jawa. Di Jawa Barat akan dibangun land based LNG

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 41


terminal yang bisa menyalurkan gas lebih banyak dan dapat digunakan untuk
storage gas. Kemudian PT PGN juga berencana untuk menghubungkan supply
dan demand di Kalimantan dan Jawa. Jika pipa Kalija dibangun maka gas di
dalam negeri akan diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan domestik.
Dalam hal yang lebih spesifik, PT PGN akan membangun 13 SPBG dan 4
MRU di bebrapa area di Indonesia. Karena saat ini baru terdapat satu unit
Mobile Refilling Unit (MRU) yang telah beroperasi di DKI Jakarta, konsumen
akhir Bahan Bakar Gas (BBG) paling banyak berasal dari Bus Transjakarta dengan
kuantitas 125 Lsp/hari. Sementara itu, untuk transportasi industri belum dapat
menggunakan BBG mengingat sangat terbatasnya jumlah SPBG.
3.2.2.2. Infrastruktur Gas Nasional
Saat ini kilang LNG (Liquified Natural Gas) berada di tiga lokasi yaitu
Arun, Bontang, dan Tangguh. Pada tahun 2014 Pemerintah akan membangun
kilang LNG dengan kapasitas 335 MMSCFD. Pembangunan kilang LNG ini
melengkapi kebutuhan infrastruktur untuk memenuhi pasokan gas alam cair di
Jawa dan Sumatera dimana Pemerintah akan membangun tiga terminal
penampungan gas alam cair (floating storage receiving terminal, FSRT). FSRT ini
akan dibangun di Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Barat, diperkirakan
mulai beroperasi tahun 2011 namun karena terhambat pembebasan lahan dan
faktor lainnya akhirnya terlambat beroperasi. Terminal penampungan teratur
itu akan dimanfaatkan untuk menampung pasokan LNG dari Blok Tangguh dan
Blok Mahakam Kalimantan serta LNG dari lokasi lain seperti Qatar.
Data terakhir menunjukkan bahwa terdapat pipa tansmisi PT PGN
dengan panjang 2.050 km di wilayah Indonesia (Tabel 3.10). Namun, jumlah ini
tidak sebanding dengan panjang total pipa distribusi yang mencapai 4.100 km.
Saat ini PT PGN baru mengembangkan tiga jaringan pipa transmisi; 1) Sumatera
Selatan hingga Jawa Barat, 2) Gresik hingga Duri, dan 3) Gresik hingga
Singapura.

42 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 3.10. Total Panjang Pipa Distribusi PT PGN

Panjang Jaringan
Area Eksisting Diameter
(km)
DKI Jakarta 20 mm - 16" 641
Banten 20 mm - 24" 405
Bekasi 20 mm - 32" 306
Karawang 1" - 16" 138
Bogor 20 mm - 16" 588
Cirebon 20 mm - 12" 391
Palembang 20 mm - 6" 134
Surabaya 20 mm - 12" 424
Sidoarjo 20 mm - 16" 206
Pasuruan 2" - 16" 152
Medan 20 mm - 12" 627
Batam 2" - 28" 66
Pekanbaru 6" 3
Total 4.100
Sumber: PT PGN, 2014

Selain eksplorasi yang terus dilakukan, pembangunan infrastruktur


kilang LNG perlu dilakukan. Pembangunan terminal LNG, terminal regasifikasi
baik yang terapung (FSRU) dan di darat (land based-regasification),
pembangunan mini LNG plant, adalah sebagian dari alternatif yang harus
digiatkan agar ada yang mendekatkan antara daerah surplus pasokan gas dan
daerah yang minus permintaan gasnya.
Rencana Pemerintah untuk melakukan open access atau pembukaan
kesempatan bagi pihak swasta untuk berkompetisi dengan PT PGN merupakan
hal yang positif. Open access perlu dilakukan karena PT PGN sebagai pemain
tunggal dalam transmisi gas di sektor hilir terhambat akses permodalan. PT PGN
harus menghadapi resiko pembayaran take or pay 180 juta dolar. Selain dalam
rangka membantu pemerintah dalam hal dana pembangunan infrastruktur,
open access juga membuat harga gas menjadi kompetitif, dan mendorong
akselerasi pembangunan jaringan pipa gas ke seluruh kawasan industri.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 43


3.2.2.3. Rencana Pengembangan Infrastruktur Gas PT PGN
PT PGN memiliki tiga prinsip untuk membangun infrastruktur gas,
antara lain:
1. Perlu perencanaan kepastian pasokan
Memiliki perspektif komprehensif sampai dengan hilir (infrastruktur dan
pasar). Alokasi gas yang mendukung prioritas dalam negeri untuk
pengembangan infrastruktur dan pasar. Berorientasi pada optimalisasi
keuntungan fungsi gas sebagai bahan baku, bahan bakar dan komoditas
bagi negeri.
2. Kepastian Penyerapan Pasar
Terciptanya iklim investasi yang kondusif untuk pengembangan pasar.
Insentifikasi dan stimulus konversi ke bahan bakar gas. Optimalisasi
peningkatan nilai tambah dari utilisasi gas. Fokus pada prioritas negeri saat
ini untuk memperluas pasar dan meningkatkan pemanfaatan gas domestik.
3. Kewajiban Pengembangan Infrastruktur
Pengembangan infrastruktur yang didukung dengan jaminan kepastian
pasokan gas dan kesiapan pasar. Pelaksanaan pengembangan infrastruktur
dengan sinergi seluruh agen pengelolaan gas bumi nasional. Pelaksanaan
pengembangan infrastruktur dengan insentifikasi dan stimulus bagi Badan
Usaha. Pelaksanaan pengembangan infrastruktur dengan skema best
practice di negara lain dan kesesuaian dengan prinsip UUD 1945.
Saat ini, rencana pengembangan infrastruktur Gas PT PGN di Indonesia
di fokuskan pada empat lokasi, antara lain :

1. Jawa Barat Land Based LNG Terminal


Dalam mengembangkan infrastruktur di Jawa Barat, perlu memperhatikn
adanya fasilitas penerima LNG dari domestik (Mahakam, Tangguh, Masela)
maupun impor. Selain itu, juga diperlukan untuk menggantikan eksisting
dari Sumatera Selatan yang mengalami natural decline dan berakhir pada
tahun 2023. Di samping itu, kondisi saat ini menunjukkan Capex ± 615 juta
USD dengan kapasitas 3 MTPA atau ± 420 MMSCFD (expandable) dan masa
konstruksi minimal 3 tahun. Dan diintegrasikan dengan small scale LNG
serta dapat dikembangkan untuk LNG cold utilization business.

44 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


2. Pipa Transmisi Natuna-Java
Merupakan kegiatan penyaluran potensi pasokan dari Natuna Timur ke
pusat permintaan di daerah yang dilalui pipa. Dalam pelaksanaannya,
dierlukan untuk menggantikan pasokan eksisiting dari Sumatera Selatan
yang mengalami natural decline dan berakhir pada tahun 2023. Dibutuhkan
Capex ± 8 milyar USD dengan masa konstruksi minimal 4 tahun. Pipa
transimi ini akan diintegrasikan dengan pipa eksisiting (Gresik – Duri, Gresik
– Singapura, Sumatera Selatan – Jawa Barat) dan pipa Kalija.
3. Pipa Kalija
Rencana pengembangan yang akan dilakukan adalah Pipa Kalija Fase I
Kepondang – Tambak Lorok, Pipa Kalija Fase II Bontang – Semarang serta
penyaluran potensi pasokan dari Mahakam ke Semarang untuk memenuhi
permintaan di Jawa Tengah dan (melalui integrasi dengan pipa Gresik –
Semarang) permintaan di Jawa Timur
4. Inter Island Mini LNG
Fasilitas penerima LNG dari dalam negeri (Mahakam, Tangguh, Masela)
maupun impor. Diperlukan untuk memenuhi kebutuhan gas untuk smelter
di Pomalaa dan Halmahera. Dan dapat diintegrasikan dengan FSRU dengan
metode LNG break nulking.
Secara umum kondisi pasokan gas saat ini (data 2011) terbilang surplus.
Jumlah cadangan gas Indonesia terbilang cukup besar yaitu 60 cekungan
sedimen. Sebanyak 38 cekungan sudah dilakukan eksplorasi. Dalam kurun waktu
50 tahun kedepan apabila dilihat dari rasio cadangan terhadap produksi
(Reserve to Production) cadangan gas Indonesia masih cukup. Sebagian
cadangan gas Indonesia terletak di luar Pulau Jawa, yaitu Natuna (51,46 TCF),
Kalimantan Timur (18,33 TCF), Sumatera Selatan (17,90 TCF), dan Papua (24,32
TCF).
Hal yang menjadi permasalahan adalah infrastruktur penyaluran gas
dari kilang gas ke pengguna akhir, yakni kawasan industri dan rumah tangga,
masih terkendala berbagai masalah seperti pembebasan lahan, tumpang tindih
aturan di level pemerintah daerah, dan biaya yang cukup besar untuk
membangun konstruksi pipa. Penanganan terhadap masalah teknis tersebut
dirasa perlu untuk mengantisipasi permintaan gas bumi yang terus meningkat
dalam rangka memenuhi kebutuhan industri dan pembangkit listrik. Menurut
Kementerian ESDM (2011), pada tahun 2020 diperkirakan permintaan gas akan
mencapai 10,7 TCF (skenario rendah) atau 12 TCF (skenario tinggi).

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 45


Satu hal yang menjadi catatan penting, dalam konteks pengembangan
lapangan, perlu dilakukan pemetaan antara perlunya koneksi antara pipa
transmisi, pipa hulu, pipa hilir (Purba 2014). Termasuk di dalamnya
mempersiapkan terminal untuk menerima impor gas apabila lebih ekonomis.
Untuk itu secara geografis terminal regasifikasi lebih tepat dibangun di jalur lalu
lintas perdagangan seperti di Pantai Timur Sumatra atau Selat Malaka dari pada
di pantai barat ujung selatan. Hal ini juga dapat menurunkan harga transportasi
dari sumber gas ke kawasan industri.
Lebih lanjut, penggunaan gas untuk transportasi saat ini terkendala
kurangnya terminal penyaluran gas akhir. Untuk itu stasiun pengisian pompa gas
harus tersedia secara memadai. Sebagai contoh, untuk kawasan di DKI Jakarta,
SPBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) hanya tersedia di Pulogadung dan
Pondok Ungu di daerah Bekasi. SPBG merupakan syarat untuk mengurangi
ketergantungan transportasi niaga terhadap BBM.
Sasaran pemerintah dalam jangka menengah (2018) adalah
pembangunan Jaringan Transmisi dan Distribusi (termasuk jaringan gas kota)
sepanjang 7.558,3 km dan 2.733,15 km. Sedangkan untuk jangka panjang
(2025), diharapkan pembangunan jaringan transmisi dan distribusi sepanjang
15.166,6 km dan 5.466,3 km dapat terwujud. Rencana pengembangan
infrastruktur Gas PT PGN selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.11.
Tabel 3.11. Rencana Pengembangan Infrastruktur Gas PT PGN

No Infrastruktur Pasokan Beroperasi Panjang/ Kapasitas


1 FSRU Lampung Tangguh 2014 240 MMSCFD
2 Distribusi Lampung Tangguh 2014 88 km
Gundih,
3 Distribusi Semarang 2014 45 km
Kepodang
Pipa Kalija Fase I
4 Kepodang – Tambak Kepodang 2015
Lorok
Market Extension Gresik,
5 2015 110 km
Jawa Bagian Barat Tangguh
Pipa Distribusi Duri – Gresik,
6 2016 113 km
Dumai Tangguh
Inland Mini LNG Jawa
7 BD, WMO 2017
Timur (Malang

46 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


No Infrastruktur Pasokan Beroperasi Panjang/ Kapasitas
Inter Island Mini LNG
Tangguh,
8 (Pomalaa – 2018
Masela
Halmahera)
Pipa Transmisi Dumai Gresik,
9 2019 400 km
– Medan Tangguh
Market Extension BD, WMO,
10 2019 130 km
Jawa Bagian Timur Cepu
Market Expansion Gundih,
Jawa Bagian Tengah
11 dan Timur Kepodang, 2019
(Semarang, Cepu
Jogjakarta, Solo)
Pipa Kalija Fase II
12 Mahakam 2019 207 km
Bontang – Semarang
Land Based LNG
Mahakam,
Receiving Terminal
13 2022 420 MMSCFD
Tangguh,
Jawa Barat
Masela
Diintegrasikan
dengan pipa
eksisting (Grissik –
Pipa Transmisi Natuna Duri, Grissik –
14 2023
Natuna – Jawa Timur Singapura,
Sumatera Selatan –
Jawa Barat) dan
pipa Kalija.
Mahakam,
Mini LNG Hub Batam 2015 –
15 Tangguh,
– Jatim – NTT 2020
Masela
Sumber: PT PGN, 2014

Pulau-pulau yang tidak mungkin dialiri jaringan gas perlu menggunakan


moda transportasi gas yang tepat. Selain LNG dan LPG, gas lain yang belum
dimanfaatkan secara optimal adalah CBM (Coal Bed Methane) yaitu gas yang
berada di permukaan batubara. Hambatan di bidang hukum menjadi penyebab

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 47


utama tumpang tindihnya pengelolaan CBM antara pengusaha batubara dan
kontraktor dalam kontrak kerjasama (KKKS) migas.

3.2.3. Minyak Bumi


Jenis energi yang bersumber dari minyak bumi merupakan jenis energi
yang paling banyak digunakan di Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), minyak bumi
menyumbang 50 persen dari total konsumsi energi Indonesia di tahun 2012.
Walaupun secara persentase sudah mengalami penurunan yang signifikan
dibandingkan tahun 2000 (63,6 persen), namun pasokan energi di Indonesia
masih tergantung pada jenis energi minyak bumi.
Khusus untuk sektor industri, energi minyak (BBM) memberikan pasokan
sebesar 10,6 persen dari total konsumsi energi di tahun 2012. Berbeda dengan
struktur pasokan energi untuk keseluruhan sektor, energi minyak bukan
merupakan energi utama bagi sektor industri. Sejak tahun 2000, sudah terjadi
penurunan ketergantungan sektor industri terhadap BBM. Pada tahun 2000
sebesar 25,7 persen dari total konsumsi energi pada sektor industri berasal dari
BBM sedangkan gas saat itu memberikan kontribusi sebesar 29,7 persen dari
total konsumsi energi. Pada tahun 2012, gas merupakan jenis energi yang paling
banyak memberikan kontribusi terhadap konsumsi energi sektor industri
(Gambar 3.7).

Sumber: ESDM (2014)


Gambar 3.7. Pasokan Energi Pada Sektor Industri Menurut Jenis Energi
(persen)

48 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


3.2.3.1. Kebutuhan Terhadap Bahan Bakar Minyak
Dalam beberapa tahun ke depan, kebutuhan energi minyak bumi di
Indonesia diprediksi akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi yang sedang dialami oleh Indonesia (sekitar 5-8% per tahun). Pada
tahun 2013, PT Pertamina memprediksikan bahwa Industri dan Marine
membutuhkan sekitar 4,38 juta kilo liter BBM dan 17,27 juta kilo liter diesel.
Pada tahun 2025, jumlah tersebut diprediksikan akan meningkat menjadi 5,9
juta kilo liter BBM dan 25.83 juta kilo diesel.

Sumber: PT Pertamina (2014)

Gambar 3.8. Proyeksi Kebutuhan Energi Minyak Pada Sektor Industri dan
Marine (Juta Kilo Liter)

Proyeksi pertumbuhan demand terhadap BBM pada sektor industri juga


dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konversi energi dari BBM ke gas,
batubara, dan listrik yang sedang digalakkan oleh pemerintah.

3.2.3.2. Pasokan Energi Minyak


Di saat kebutuhan akan pasokan energi minyak di Indonesia semakin
tinggi, kemampuan pasokan energi minyak dari dalam negeri Indonesia justru
semakin berkurang. Secara garis besar, sumber pasokan minyak di Indonesia
dapat dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu pasokan yang berasal dari
dalam negeri Indonesia dan pasokan dari luar negeri (impor). Pada tahun 2011,
total impor minyak Indonesia adalah 96.862 ribu barrel. Jumlah tersebut tidak
justru meningkat jika dibandingkan tahun 2000 dimana 78.615 ribu barel di

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 49


impor dari pasar internasional. Walaupun secara persentase, penggunaan energi
minyak di Indonesia sudah mengalami penurunan sejak tahun 2000 (lihat
Gambar 3.9), akan tetapi impor minyak di Indonesia semakin tinggi akibat
berkurangnya kapasitas produksi minyak di dalam negeri. Sejak tahun 2000,
kapasitas produksi minyak dalam negeri semakin terpuruk dari 517 juta barel
pada tahun 2000 menjadi hanya 329 juta barel pada tahun 2011.

Sumber: ESDM (2013)


Gambar 3.9. Perkembangan Produksi, Ekspor, dan Impor Minyak
Indonesia (Ribu Barel)

Menurunnya kemampuan produksi minyak di dalam negeri Indonesia


juga tidak dapat dilepaskan dari semakin berkurangnya cadangan minyak di
dalam negeri. Pada tahun 2000, diperkirakan bahwa Indonesia memiliki
cadangan minyak sebesar 9,61 miliar barel dimana 5,12 miliar barel sudah
terbukti (proven) sedangkan 4,49 miliar barel sisanya masih berstatus potensi
(potential). Namun pada tahun 2011, cadangan minyak Indonesia sudah
menyusut menjadi 7,71 miliar barel. Dari total cadangan minyak Indonesia
tahun 2011, hanya 4,04 miliar barel yang sudah terbukti sedangkan cadangan
yang masih bersifat potensi sebesar 3,69 miliar barel. Sejak penemuan minyak
pada Blok Cepu pada tahun 2001, tidak ada lagi penemuan kilang minyak yang
dapat meningkatkan cadangan minyak Indonesia. Sehingga tidak mengherankan
jika cadangan minyak Indonesia semakin berkurang.

50 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sumber: ESDM (2013)

Gambar 3.10. Cadangan Minyak di Indonesia (Miliar Barel)

Di sisi lain, keberadaan kilang minyak menjadi faktor yang sangat


menentukan dalam kaitannya dengan kapasitas produksi. Pada tahun 2011,
terdapat 10 kilang minyak utama di Indonesia dengan total kapasitas sebesar
1.157,10 MBSD (Thousand Barrels per Stream Day). 10 kilang minyak utama
tersebut memasok 63 persen total kebutuhan BBM di Indonesia. Sedangkan 37
persen sisanya dipasok dari pasar internasional (Kementerian ESDM, 2010).
Tabel 3.12 menunjukkan kapasitas dari 10 kilang minyak di Indonesia. Dari tabel
tersebut terlihat bahwa kapasitas kilang minyak yang terbesar pada 2013
terletak pada kilang Tuban, kemudian diikuti dengan kilang Cilacap dan
Balikpapan. Sebanyak 86 persen kapasitas kilang minyak domestik tersebut
berasal dari kilang Tuban. Sementara kilang Cepu pada 2013 hanya memilki
kapasitas yang relatif kecil diantara kilang-kilang lainnya.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 51


Tabel 3.12. Kapasitas Kilang Minyak di Indonesia

Kilang Kapasitas (MBSD)


Tri Wahana Universal (TWU) 6
Dumai 127
Sungai Pakning 50
Musi 127,3
Cilacap 348
Balikpapan 260
Balongan 125
Cepu 3,8
Kasim 10
Tuban (TPPI) 1000
Total 1.157,1

Sumber: Kementerian ESDM (2011)

3.2.3.3. Rencana Pengembangan Minyak Bumi


Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kebutuhan akan
BBM diperkirakan akan semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi yang dialami oleh Indonesia dalam beberapa tahun ke depan. Namun
sayangnya, tingginya permintaan BBM tidak diiringi oleh penambahan kapasitas
kilang selama beberapa tahun terakhir. Bila tidak ada perubahaan situasi di
dalam negeri di Indonesia maka tingginya kebutuhan BBM tersebut akan
mendorong tingginya volume impor BBM. Hal ini tentu membuat Indonesia
kehilangan energy security karena jaminan pasokan minyak dalam negeri sangat
dipengaruhi oleh situasi internasional. Oleh sebab itu, perlu ada langkah-
langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM.
Terdapat dua rencana pengembangan energi minyak dalam rangka
pemenuhan kebutuhan energi minyak di dalam negeri. Rencana pertama adalah
pengembangan lapangan produksi dalam rangka meningkatkan kapasitas
produksi dalam negeri. Rencana ini dilakukan baik melalui peningkatan produksi
kilang tua dan melalui pembangunan kilang baru. Peningkatan produksi kilang
tua menjadi sangat penting untuk dijalankan karena lebih dari 90 persen
lapangan produksi yang saat ini beroperasi merupakan kilang minyak tua yang
sudah mengalami penurunan produksi rata-rata sebesar 12 persen per tahun.

52 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Beberapa cara yang sudah disiapkan oleh Kementerian ESDM dalam
peningkatan produksi kilang minyak tua adalah dengan menggunakan beragam
teknologi pengeboran seperti infill drilling, work over, dan Enhance Oil Recovery
(EOR). Lebih dari itu, pemerintah juga menyiapkan paket kebijakan untuk
mendorong kegiatan pengembangan lapangan tua seperti melalui mekanisme
penawaran bagi hasil baru maupun lewat model insentif seperti membebaskan
DMO (DMO Holiday) dan pemberian tambahan pengembalian biaya operasi
sebesar 20 persen jika rate of return yang diperoleh kontraktor lebih kecil dari
15 persen.
Selain itu, pemerintah juga sudah menyiapkan program revitalisasi pada
empat kilang minyak tua. Keempat kilang minyak yang akan direvitalisasi adalah
Kilang Minyak Cilacap, Kilang Plaju, Kilang Minyak Dumai, dan Kilang Minyak
Balikpapan.
Tabel 3.13. Rencana Revitalisasi Kilang Minyak Tua

Nama Proyek Kapasitas (MBSD) Tahun Operasi


Upgrading Kilang Minyak Cilacap 20 2013
Refurbisment Kilang Plaju
14,5 2013
(perbaikan unit FCC)
Revamping Kilang Minyak Dumai 200 2014
Upgrading Kilang Minyak
40 2014
Balikpapan
Sumber: Kementerian ESDM (2011)

Lebih dari itu pemerintah juga sudah menyiapkan rencana peningkatan


kapasitas produksi minyak di Indonesia melalui pembangunan kilang minyak
baru. Terdapat tiga rencana pembangunan tiga kilang baru yaitu Kilang Banten
tahap 1, Kilang Balongan II, dan Kilang Tubang Jatim.
Tabel 3.14. Rencana Pembangunan Kilang Baru
Nama Proyek Kapasitas (MBSD) Tahun Operasi

Kilang Banten tahap 1 150 2014

Kilang Balongan II 200 2016

Kilang Tubang Jatim 200 2016

Sumber: Kementerian ESDM (2011)

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 53


Lebih lanjut, PT Pertamina telah menyiapkan beberapa strategi dalam
upaya untuk memenuhi kebutuhan BBM pada sektor industri seperti
pengaturan konfigurasi Refinery untuk meminimalkan produksi BBM yang
nilainya rendah (seperti Minyak Bakar) dan meningkatkan produksi BBM yang
bernilai tinggi (seperti Minyak Solar). Refinery menyusun Program Refinery
Development Master Plan (RDMP) untuk meningkatkan kehandalan dan utilitas
Refinery Unit. Selain itu, PT Pertamina juga melakukan pengembangan storage
berupa TBBM dan / atau floating storage, serta jaringan pipa BBM antara lokasi
tertentu, pemantauan ketersediaan stock di TBBM secara online dan real time
dengan menggunakan aplikasi SIMSND, dan perencanaan suplai produk BBM
secara terintegrasi untuk memperoleh rencana suplai yang optimal (PT
Pertamina, 2014).

3.3. Kebijakan Sektor Energi di Indonesia


3.3.1. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional Di Bidang Energi
Pemerintah telah menyusun arah kebijakan dan strategi nasional di
bidang energi. Dalam mengimplementasikannya, harus disertai konsistensi dan
harmonisasi berbagai sektor di dalam negeri. Sebagaimana yang telah
dirumuskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 mengenai
Kebijakan Energi Nasional (KEN), Pemerintah perlu melakukan pengelolaan
energi secara tepat baik pada sisi penyediaan (supply side management)
maupun pada sisi pemanfaatan (demand side management) dalam rangka
mewujudkan kemandirian energi dan ketahanan energi nasional. Oleh karena
itu, perlu disusun kebijakan energi nasional yang meliputi ketersediaan energi
untuk kebutuhan nasional, prioritas pengembangan energi, pemanfaatan
sumber daya energi nasional dan cadangan penyangga energi nasional.
Kebijakan penyediaan Energi serta prioritas pengembangan energi dan
cadangan penyangga energi nasional diarahkan untuk menjamin keamanan
pasokan Energi nasional melalui pemanfaatan sumber daya energi secara
proporsional. Pembangunan dalam rangka peningkatan ketahanan dan
kemandirian energi dilakukan untuk mencapai beberapa hal, yakni:
a. Diversifikasi atau bauran energi yang dapat menjamin kelangsungan dan
jumlah pasokan energi di seluruh wilayah Indonesia dan untuk seluruh
penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan yang berbeda-beda;

54 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


b. Meningkatnya penggunaan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan
berpartisipasi aktif dan memanfaatkan berkembangnya perdagangan
carbon secara global;
c. Meningkatnya efisiensi konsumsi dan penghematan energi baik di
lingkungan rumah tangga maupun industri dan sektor transportasi; dan
d. Meningkatnya produksi dan pemanfatan energi yang bersih dan
ekonomis.
Sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam pembangunan ketahanan dan
kemandirian di sektor energi adalah:
a. Tercapainya elastisitas energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025
b. Terwujudnya bauran energi primer (mix energy) yang optimal pada
tahun 2025 dengan pangsa masing-masing jenis energi terhadap
konsumsi energi nasional:
i. Minyak bumi menjadi kurang dari 20% (dua puluh persen).
ii. Gas bumi menjadi lebih dari 30% (tiga puluh persen)
iii. Batubara menjadi lebih dari 33% (tiga puluh tiga persen).
iv. Bahan bakar nabati (biofuel) menjadi lebih dari 5% (lima persen).
v. Panas bumi menjadi lebih dari 5% (lima persen).
vi. Energi baru dan energi terbarukan lainnya, khususnya biomassa,
nuklir, tenaga air, tenaga surya, dan tenaga angin menjadi lebih
dari 5% (lima persen).
vii. Batubara yang dicairkan (melalui liquefied/gasified coal) menjadi
lebih dari 2% (dua persen).
Dalam rangka menjamin pasokan energi di dalam negeri dan
mendukung pembangunan berkelanjutan, pemerintah mengeluarkan berbagai
kebijakan energi. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan intensifikasi, konservasi,
dan diversifikasi energi. Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang dikeluarkan
pemerintah pada tahun 2014 melalui PP No. 79/2014 diharapkan dapat menjadi
rujukan dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Sasaran penyediaan dan pemanfaatan Energi Primer dan Energi Final
diperoleh dengan memproyeksikan kebutuhan Energi nasional sampai dengan
tahun 2050 didapat dengan memproyeksikan kebutuhan Energi dalam periode
waktu tertentu dengan memperhitungkan parameter yang berpengaruh serta
asumsi yang digunakan. Dalam membuat proyeksi kebutuhan Energi sampai
dengan tahun 2050, parameter utama yang digunakan adalah pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan penduduk

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 55


3.3.2. Kebijakan Umum Sektor Energi
Untuk mencapai sasaran dari segi ketahanan dan kemandirian energi,
kebijakan umum peningkatan ketahanan dan kemandirian energi diarahkan
pada tiga hal pokok:
a. Menjamin keamanan pasokan energi, yang dilaksanakan dengan
meningkatkan (intensifikasi) eksplorasi dan optimasi produksi migas,
dan eksplorasi untuk meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi,
termasuk gas metana batubara;
b. Mengurangi ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak bumi,
dilaksanakan dengan diversifikasi energi primer, termasuk
memanfaatkan EBT dan energi bersih;
c. Meningkatkan produktivitas pemanfaatan energi, yang dilaksanakan
melalui gerakan konservasi, efisiensi, dan pemerataan penyediaan
energi sesuai dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat.

Di samping itu, ketahanan dan kemandirian energi juga didukung oleh


adanya kebijakan harga energi serta insentif yang rasional, artinya kebijakan
harga energi yang secara bertahap menggambarkan nilai ekonomi energi.
Penghematan pemanfaatan energi terutama akan dilakukan untuk sektor-sektor
yang mengkonsumsi energi yang besar seperti industri, pembangkit listrik dan
transportasi. Dalam pelaksanaannya, kebijakan umum ini akan dilakukan secara
integratif antara penguasaan teknologi energi, baik teknologi pencarian sumber
daya energi (eksplorasi), pengambilan atau pemanfaatan energi (eksploitasi)
maupun teknologi konversi dan distribusi energi. Selain itu pembangunan
infrastruktur energi juga memegang peranan penting di dalam upaya
meningkatkan penyaluran energi, terutama dalam upaya untuk meningkatkan
penggunaan energi nonminyak bumi (diversifikasi).
Sebagai penjabaran lebih lanjut dari ketiga kebijakan umum tersebut,
maka fokus prioritas bagi kebijakan peningkatan ketahanan dan kemandirian
energi meliputi:
a. Peningkatan produksi dan cadangan MIGAS dengan prioritas identifikasi
strategi yang dilaksanakan melalui peningkatan daya tarik investasi
eksplorasi dan eksploitasi terutama ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan baik itu bahan bakar dan bahan baku industri dalam negeri
maupun sumber penerimaan devisa negara. Kebijakan dan strategi yang
dilakukan diarahkan dalam rangka:

56 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


i. Mendorong penyelidikan/pemetaan geologi untuk meningkatkan
penguasaan data cadangan serta melakukan inventarisasi dan
pemutakhiran data potensi pengembangan lapangan minyak bumi,
gas bumi, dan gas metana batubara;
ii. Menerapkan insentif yang lebih efektif untuk mendorong kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, gas bumi, dan gas metana
batubara, serta meningkatkan kualitas promosi dan penawaran
lapangan minyak dan gas bumi serta pengawasan produksi dan
pemanfaatan minyak dan gas bumi untuk kepentingan bahan baku,
terutama pupuk dan petrokimia, di dalam negeri;
iii. Mendorong pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan
teknologi, terutama teknologi tinggi EOR (enhanced oil recovery)
untuk memanfaatkan lapanganlapangan minyak bumi yang sudah
tua; dan
iv. Meningkatkan transparansi, tata kelola, dan menghilangkan korupsi
serta biaya yang tidak efisien di sektor hulu energi, yakni eksplorasi
dan eksploitasi.
b. Peningkatan produktivitas dan pemerataan pemanfaatan energi dan
penggunaan energi baru dan terbarukan dengan prioritas identifikasi
strategi peningkatan produktivitas dan pemerataan pemanfaatan energi
ini ditujukan untuk peningkatan efisiensi penyediaan dan pemanfaatan
energi, penghematan penggunaan energi, peningkatan akses
masyarakat akan energi, serta penggunaan sumber energi bukan fosil,
seperti tenaga panas bumi, matahari, angin, dan sebagainya. Efisiensi
energi ditujukan untuk meningkatkan produksi nasional yang
menggunakan energi yang lebih rendah dan untuk menurunkan emisi
karbon, memperbaiki daya saing dan mendorong perekonomian, serta
meningkatkan kesejahteraan. Penyediaan energi secara merata sesuai
dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat dilakukan melalui
penerapan diversifikasi energi final serta peningkatan tingkat pelayanan
jaringan distribusi serta akses energi.
Beberapa strategi yang akan dilakukan dalam rangka meningkatkan
produktifitas dan pemerataan pemanfaatan energi diarahkan untuk:
i. Menyesuaikan harga energi melalui penyempurnaan subsidi
BBM/LPG dan listrik untuk mendorong masyarakat pemakai energi
menggunakan secara lebih hemat dan memperbesar akses
pelayanan energi masyarakat yang belum terlayani;

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 57


ii. Menerapkan insentif-disinsentif secara tepat untuk mendorong
penggunaan teknologi yang efisien pada kegiatan produksi
(eksploitasi) energi primer, pengolahan (kilang minyak dan gas,
pusat pembangkit listrik), penghantaran (sistem jaringan transmisi
dan distribusi), serta pemakaian energi (transportasi, rumah
tangga, listrik dan industri);
iii. Mempromosikan budaya hemat energi ke berbagai kalangan
masyarakat, termasuk pendidikan hemat energi sejak dini;
iv. Menguatkan kelembagaan dan peraturan perundangan gerakan
efisiensi dan konservasi energi;
v. Meningkatkan kualitas pengawasan atas efisiensi fasilitas dan
kegiatan produksi, pengolahan, penghantaran, dan konsumsi
energi;
vi. Menambah pasokan energi melalui pembangunan kilang migas,
infrastruktur pembangkit listrik, transmisi dan distribusi energi
dengan mutu yang memadai;
vii. Meningkatkan kompetisi yang sehat dan transparan di sektor hilir
energi, agar tercapai pelayanan yang baik dan harga yang
rasional/terjangkau masyarakat luas;
viii. Meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi energi agar ada
tambahan energi yang dapat disediakan bagi masyarakat yang
belum memiliki pelayanan energi.
Untuk meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan, serta
energi bersih, beberapa kebijakan dan strategi yang akan dilakukan diarahkan
untuk:
i. Mendorong pemanfaatan panas bumi untuk pembangkit tenaga
listrik skala menengah dan besar;
ii. Mendorong pemanfaatan mikrohidro untuk pembangkit listrik
skala kecil dan menengah, terutama didaerah-daerah yang tidak
terjangkau oleh sistem jaringan kelistrikan nasional;
iii. Mendorong pemanfaatan bahan bakar nabati, dengan
penanamannya pada wilayah-wilayah yang memiliki lahan tidak
terpakai namun luas dan memiliki potensi produksi pertanian yang
tinggi; dan

58 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


iv. Mendorong pemanfaatan tenaga surya dan angin pada
daerah/kepulauan terpencil dan daerah-daerah dengan tingkat
ketersediaan energi yang masih rendah namun memiliki intensitas
sinar matahari/angin yang cukup tinggi seperti NTT, NTB, Papua,
Maluku, dan sebagainya.
c. Peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Mineral dan Pertambangan
Pembangunan dalam rangka meningkatkan pengelolaan sumber daya
mineral dan pertambangan dilakukan untuk mencapai beberapa hal,
yakni:
i. Meningkatnya produksi dan jenis produk tambang untuk digunakan
dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar dan bahan baku di dalam
negeri;
ii. Terwujudnya penambangan yang efisien dan produktif didukung
oleh kemampuan penguasaan teknologi, kualitas sumber daya
manusia dan manajemen usaha pertambangan;
iii. Meningkatnya peran serta masyarakat, terutama melalui wadah
koperasi, dalam pengusahaan pertambangan, terutama
pertambangan rakyat;
iv. Meluasnya kegiatan pengusahaan pertambangan yang mendukung
pengembangan wilayah, terutama kawasan timur Indonesia;
v. Tersedianya pelayanan informasi geologi/sumber daya mineral, baik
untuk keperluan eksplorasi, penataan ruang, reklamasi kawasan
bekas tambang, maupun mitigasi bencana alam.

3.3.3. Kebijakan Khusus Masing-masing Jenis Energi


3.3.3.1. Kebijakan Khusus Migas
Minyak bumi sampai saat ini merupakan sumber utama energi nasional.
Diharapkan pada tahun 2025 peranan minyak bumi dapat diturunkan sehingga
ketergantungan akan minyak bumi perlahan bisa dikurangi. Hal ini dapat
dipahami karena produksi minyak bumi terus mengalami penurunan akibat usia
sumur-sumur produksi yang sudah tua. Penurunan produksi mengakibatkan
suplai minyak bumi domestik tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Pada
akhirnya hal ini memaksa pemerintah melakukan impor, baik berupa minyak
mentah maupun dalam bentuk produk kilang. Namun impor produk kilang
minyak jauh lebih besar daripada impor minyak mentah. Ini adalah salah satu
penyebab defisitnya neraca perdagangan Indonesia hingga saat ini.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 59


Upaya untuk meningkatkan produksi minyak bumi memerlukan
perencanaan dan strategi yang tepat serta didukung dengan iklim ekonomi yang
kondusif. Telah diketahui bersama bahwa banyak kendala yang dihadapi dalam
meningkatkan produksi minyak bumi. Kendala internal mencakup kondisi
lapangan produksi yang mayoritas (>90%) sudah mature dengan penurunan
produksi (decline rate 7-15%); investasi eksplorasi dan produksi (E&P) baru
mulai bergairah sejak awal tahun 2004; diperlukan waktu yang lama dari tahap
eksplorasi (ada kemungkinan gagal) sampai dengan produksi (minimal 9 tahun),
gangguan teknis peralatan/fasilitas proses produksi, keterbatasan SDM,
keterbatasan sarana pemboran (rig); dan keterbatasan fasilitas produksi.
Kendala eksternal meliputi ketentuan kewajiban perpajakan dan PNBP pada
kegiatan Hulu, persaingan fiskal untuk menarik investasi migas dari negara lain,
tumpang tindih lahan dan masalah lingkungan, birokrasi perizinan pengadaan
dan pembebasan lahan, ketentuan otonomi daerah (OTDA), dan ketentuan
lingkungan.
Selain kendala tersebut, juga sisa cadangan terbukti gas bumi yang
belum terikat kontrak adalah sebesar 58% (56 TCF), hanya cadangan P1 yang
mempunyai tingkat kepastian yang relatif tinggi dan siap dikembangkan,
cadangan P2 & P3 perlu waktu untuk pembuktian melalui pemboran, umumnya
cadangan besar dan belum terikat kontrak terletak di remote area seperti East
Natuna, Masela (deep water), dan Tangguh, banyak lapangan gas marginal
(perlu identifikasi) belum dikembangkan karena kurang ekonomis, realisasi
produksi tidak sesuai dengan perkiraan awal cadangan (setelah dilakukan sumur
pengembangan) karena kompleksitas reservoir (distribusi sand, permeabilitas,
patahan), water coning, high temperature, CO2, H2S, condensate dan teknologi,
banyak lapangan gas yang ada di wilayah kerja PSC/ PT Pertamina masih belum
dikembangkan karena masalah pendanaan atau kalah prioritas (kurang menarik)
terhadap oil project atau other global project, dan yang penting harga gas
domestik kurang merangsang kegiatan ekplorasi yang dapat menambah
cadangan baru. Pada sisi downstream permasalahan yang terjadi diantaranya
adalah belum tersedia pipa transmisi/distribusi yang terintegrasi dari sumber
gas ke end user (PT PLN, industri, transportasi, dan rumah tangga), pada
umumnya pasar utama gas terletak di Jawa, belum jelasnya identifikasi
kebutuhan aktual, dan belum siapnya sarana stasiun BBG disetiap kota
Indonesia.
Dalam upaya untuk meningkatkan produksi migas, pemerintah selalu
berusaha menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui efisiensi birokrasi

60 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


dan efektivitas regulasi untuk peningkatan produksi minyak dan gas bumi,
menegakkan kepastian hukum dalam kegiatan hulu minyak dan gas bumi,
memberikan insentif dalam rangka meningkatkan kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi migas, meningkatkan kapasitas nasional dalam kegiatan
pengusahaan minyak dan gas bumi, mengembangkan kegiatan usaha hulu
minyak dan gas bumi sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik serta
berwawasan lingkungan, mendukung perekonomian nasional dan mewujudkan
pembangunan nasional yang berkelanjutan. Beberapa strategi yang ditempuh
untuk peningkatan produksi migas antara lain meningkatkan kegiatan studi G&G
dan survei umum di wilayah terbuka untuk mendukung pembukaan Wilayah
Kerja baru, meningkatkan penawaran Wilayah Kerja baru untuk mendapatkan
tambahan cadangan baru, mengoptimalkan komitmen eksplorasi dan eksploitasi
KKKS yang telah disepakati, mempercepat proses persetujuan POD, WP&B, AFE,
dan Pengadaan Barang Operasi, mengoptimalkan produksi dari lapangan-
lapangan eksisting, mengembangkan lapangan/sumur tua, meningkatkan
pengembangan lapangan minyak bumi marginal, mempercepat produksi
lapangan baru, meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi peraturan peraturan
dengan instansi terkait, meningkatkan kuantitas dan kualitas tenaga ahli
perminyakan nasional, mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri
dalam kegiatan pengusahaan minyak dan gas bumi, serta melaksanakan
kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sesuai standar dan prosedur yang
telah ditentukan dalam industri migas.
3.3.3.2. Kebijakan Khusus Batubara
Sebagai upaya melaksanakan strategi pencapaian sasaran KBN,
ditetapkan kebijakan yang mencakup 4 aspek, yakni pengelolaan, pengusahaan,
pemanfaatan, dan pengembangan. Kebijakan pengelolaan sumber daya
batubara memiliki tujuan untuk mereposisi batubara sebagai bahan galian
strategis. Dengan demikian, batubara menjadi perlu dikelola dengan
memperhatikan manfaatnya sebagai energi nasional, bukan hanya sebagai
komoditi ekspor melainkan dapat dimanfaatkan sebagai input untuk penggerak
ekonomi domestik. Kebijakan Pemanfaatan memiliki tujuan untuk
meningkatkan penggunaan batubara dan meningkatkan peran batubara dalam
memenuhi kebutuhan energi nasional. Kebijakan Pengembangan memiliki
tujuan untuk meningkatkan pengembangan batubara sehingga memenuhi
kebutuhan energi dan bahan baku industri nasional baik secara teknik, ekonomi
maupun ketentuan lingkungan.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 61


Hasil analisis memungkinkannya batubara menjadi primadona energi di
masa yang akan datang dan menggantikan dominasi dari minyak bumi. Hal ini
didukung oleh adanya kenyataan bahwa cadangan batubara yang melimpah.
Diperkirakan cadangan batubara yang ada pada saat ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan minimal selama 50 tahun kedepan. Meskipun demikian,
pengembangan batubara tetap menemui kendala diantaranya keterbatasan
infrastruktur transportasi batubara, kendala financial dan keekonomian low
rank coal, serta kendala SDM.
Strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi kendala tersebut antara
lain mendorong eksplorasi batubara untuk memperbesar cadangan,
mengevaluasi cadangan marginal, menerapkan teknologi bersih, menciptakan
insentif bagi batubara kelas rendah, mendorong penelitian dan pengembangan
batubara, serta menerapkan DMO dalam rangka menjamin pasokan untuk
kebutuhan domestik.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai target dan harapan dari
pengelolaan batubara nasional antara lain:
i. Menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi penanaman modal
baru
ii. Adanya kebijakan DMO dan ekspor yang adil dan tidak
menghambat investasi
iii. Menyiapkan sumber daya manusia yang handal
iv. Mendorong penggunaan teknologi underground mining
v. Mendorong penerapan clean coal technology
vi. Adanya pengawasan tambang batubara yang intensif agar
pengelolaan batubara tidak menimbulkan kerusakan pada
lingkungan.
vii. Adanya infrastruktur batubara yang disesuaikan tingkat kebutuhan
domestik
viii. Adanya pengaturan harga batubara agar tidak memberatkan
produsen

3.3.3.3. Kebijakan Khusus Ketenagalistrikan


Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi ketidakseimbangan antara
penambahan kapasitas pembangkit dengan kebutuhan listrik. Rasio cadangan
kapasitas terhadap beban puncak (reserve margin) belum mencapai tingkat
ideal yaitu sekitar 40 persen. Cadangan kapasitas mesin pembangkit harus

62 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


dialokasikan untuk mengantisipasi dampak variasi musim (musim kering
kemampuan PLTA turun), pekerjaan terencana (planned outage), pemeliharaan
terencana (maintance outage), gangguan pembangkit (forced outage), turunnya
daya mampu pembangkit sementara karena berbagai hal, dan kemampuan
menampung pertumbuhan beban. Jika cadangan kapasitas sangat terbatas dan
beberapa hal di atas sekaligus terjadi, kemungkinan terjadinya pemadaman
listrik sangat besar.
Penambahan kapasitas pembangkit listrik selain diupayakan oleh PT
PLN, juga dapat dilakukan oleh pihak swasta, BUMD, dan koperasi. Namun,
rencana pembangunan pembangkit listrik yang dilakukan oleh pihak swasta
banyak mengalami keterlambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor
diantaranya negosiasi perjanjian PPA dan kontrak IPP terlalu lama, sanksi
terhadap kontraktor masih terlalu kecil karena tidak menghitung hilangnya
opportunity of income dari PT PLN, terminasi perjanjian PPA dan kontrak IPP
akibat lewatnya financial closing dengan mencairkan performance bond tidak
pernah dilakukan (Aryawijaya R, 2008). Hal ini mengakibatkan pembangunan
pembangkit listrik terlambat yang menyebabkan peningkatan pemakaian BBM,
peningkatan subsidi listrik, kelangkaan pasokan listrik.
Selanjutnya, Pemerintah menetapkan kebijakan pemanfaatan sumber
daya energi baru dan terbarukan untuk pembangkitan listrik melalui pemberian
kesempatan kepada badan usaha untuk berpartisipasi dalam pengusahaan listrik
skala kecil dan menengah. Sumber daya energi terbarukan yang dimaksud
meliputi energi angin, surya, mikrohidro, panas bumi, dan energi baru dan
terbarukan lainnya. Kebijakan ini ditetapkan melalui Permen Kementerian ESDM
No. 2 tahun 2006 tentang Pengusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Energi
Terbarukan Skala Menengah.
Pemanfaatan energi panas bumi masih relatif kecil dibandingkan
potensinya. Selama ini kendala utama pengembangan usaha PLTP adalah pada
harga beli listrik oleh PT PLN. Untuk mendorong kegiatan pengusahaan listrik
dari sumber daya energi panas bumi, melalui Peraturan Menteri ESDM No. 14
tahun 2008 yang terbit pada tanggal 9 Mei 2008, pemerintah telah menetapkan
kebijakan pembelian listrik yang lebih kondusif bagi pengusahaan energi panas
bumi. Di samping itu, pemerintah menetapkan percepatan pembangunan
pembangkit listrik 10 GW tahap II yang 30 persen berupa PLTU batubara dan 70
persen pembangkit listrik EBT (PLTP, PLTA, EBT lainnya). Beberapa kendala
dalam pengembangan PLTP adalah kendala lahan, harga listrik, dan permodalan.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 63


Beberapa potensi panasbumi berada pada kawasan hutan konservasi yang tidak
dapat dikembangkan dan hutan lindung yang perlu regulasi tersendiri agar
dapat dimanfaatkan.
Dalam rangka meningkatkan kapasitas pembangkit listrik yang sejalan
dengan tingkat kebutuhan listrik masyarakat perlu dilakukan berbagai upaya
diantaranya:
i. Perlu mengurangi ketergantungan terhadap BBM melalui
peningkatan peran energi non BBM (batubara dan gas bumi) dan
EBT (panasbumi, tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, tenaga
biomas).
ii. Perlu meningkatkan partisipasi sektor swasta dalam pembangunan
sektor ketenagalistrikan guna mengurangi hambatan pendanaan.
iii. Perlu pengaturan usaha penyediaan tenaga listrik guna mendorong
pertumbuhan investasi dalam penyediaan tenaga listrik.
iv. Perlu mengurangi kendala dalam pelaksanaan kemudahan fiskal
yang diberikan oleh Kementerian Keuangan.
v. Perlu adanya standar kontrak antara PT PLN dan pengembang
sehingga ada kepastian dalam pengusahaan panas bumi. Perlu first
right of refusal gas bumi untuk pembangkit PT PLN.
vi. Perlu mendorong pemanfaatan energi secara efisien dan rasional
tanpa mengurangi penggunan energi yang benar-benar diperlukan.
vii. Perlu mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutan
untuk pembangunan sektor ketenagalistrikan terutama
pemanfaatan PLTU batubara di Jawa.
viii. Perlu penyiapan lahan pembangkit yang sistematis dan jangka
panjang.
ix. Perlu manajemen pengadaan batubara yang komprehensif.
x. Perlu memberikan insentif terhadap pembangkit listrik berbahan
bakar energi baru (tenaga angin, tenaga surya).
xi. Perlu situasi yang kondusif untuk menarik investasi seperti
kepastian hukum dan hasil survei pendahuluan/eksplorasi
panasbumi yang dipercaya dan bankable.
3.3.4. Kebijakan Bauran Energi
Dalam menghadapi ancaman krisis energi, pemerintah Indonesia sendiri
telah mengantisipasi dengan merumuskan kebijakan energi nasional yang
dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan

64 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Energi Nasional yang berisi strategi untuk menjamin keamanan energi di
Indonesia. Inti kebijakan tersebut ialah mendesain bauran energi di tahun 2025
dengan mengurangi konsumsi energi fosil dan menggantinya dengan energi
baru terbarukan.
Di samping itu, kebijakan lain yang telah disiapkan oleh pemerintah
yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang bertujuan
untuk mewujudkan kemandirian energi. UU ini juga menjadi landasan berdirinya
lembaga Dewan Energi Nasional (DEN) yang bertugas dalam merancang dan
merumuskan kebijakan energi nasional. Kemudian ada juga PP Nomor 70 Tahun
2009 tentang Konservasi Energi, UU No.30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan yang didalamnya juga telah mendorong pengembangan
sumber energi terbarukan sebagai penghasil listrik serta Blue Print Pengelolan
Energi Nasional 2006-2025.
Sasaran penyediaan dan pemanfaatan Energi Primer dan Energi Final
yang tertuang dalam PP Nomor 79 Tahun 2014 adalah sebagai berikut:
a. Terpenuhinya penyediaan Energi Primer pada tahun 2025 sekitar 400
MTOE (empat ratus million tonnes of oil equivalent) dan pada tahun 2050
sekitar 1.000 MTOE (seribu million tonnes of oil equivalent);
b. Tercapainya pemanfaatan energi primer per kapita pada tahun 2025
sekitar 1,4 TOE (satu koma empat tonnes of oil equivalent) dan pada
tahun 2050 sekitar 3,2 TOE (tiga koma dua tonnes of oil equivalent);
c. Terpenuhinya penyediaan kapasitas pembangkit listrik pada tahun 2025
sekitar 115 GW (seratus lima belas giga watt) dan pada tahun 2050 sekitar
430 GW (empat ratus tiga puluh giga watt); dan
d. Tercapainya pemanfaatan listrik per kapita pada tahun 2025 sekitar 2.500
KWh (dua ribu lima ratus kilo watt hours) dan pada tahun 2050 sekitar
7.000 KWh (tujuh ribu kilo watt hours)
Untuk pemenuhan Penyediaan Energi dan Pemanfaatan Energi,
diperlukan pencapaian sasaran kebijakan energi nasional sebagai berikut:
a. Terwujudnya paradigma baru bahwa Sumber Energi merupakan modal
pembangunan nasional;
b. Tercapainya Elastisitas Energi lebih kecil dari 1 (satu) pada tahun 2025
yang diselaraskan dengan target pertumbuhan ekonomi;
c. Tercapainya penurunan Intensitas Energi final sebesar 1% (satu) persen
per tahun sampai dengan tahun 2025;

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 65


d. Tercapainya Rasio Elektrifikasi sebesar 85% (delapan puluh lima persen)
pada tahun 2015 dan mendekati sebesar 100% (seratus persen) pada
tahun 2020;
e. Tercapainya rasio penggunaan gas rumah tangga pada tahun 2015 sebesar
85% (delapan puluh lima persen); dan
f. Tercapainya bauran Energi Primer yang optimal:
1. Pada tahun 2025 peran Energi Baru dan Energi Terbarukan paling
sedikit 23% (dua puluh tiga persen) dan pada tahun 2050 paling
sedikit 31% (tiga puluh satu persen) sepanjang keekonomiannya
terpenuhi;
2. Pada tahun 2025 peran minyak bumi kurang dari 25% (dua puluh
lima persen) dan pada tahun 2050 menjadi kurang dari 20% (dua
puluh persen);
3. Pada tahun 2025 peran batubara minimal 30% (tiga puluh persen),
dan pada tahun 2050 minimal 25% (dua puluh lima persen); dan
4. Pada tahun 2025 peran gas bumi minimal 22% (dua puluh dua
persen) dan pada tahun 2050 minimal 24% (dua puluh empat
persen).

Secara umum, kebijakan bauran energi yang akan dilaksanakan oleh


Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.11.

66 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sumber: PP No 79 Tahun 2014
Gambar 3.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025 dan 2050

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 67


68 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 4

4.1. Gambaran Umum Sektor Energi Tiongkok


Perekonomian Tiongkok pada triwulan I 2014 ini mengalami
perlambatan jika dibandingkan dengan tahun lalu di periode yang sama. Namun
pertumbuhan ini masih terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara
lainnya. Kondisi global yang masih tidak menentu membuat pertumbuhan
ekonomi global menjadi terkoreksi, bahkan diprediksi oleh lembaga-lembaga
dunia akan semakin melemah. Tiongkok dengan kekuatan ekonominya dapat
mempertahankan pertumbuhan ekonominya di angka 7,4 persen. Bahkan pada
triwulan II 2014, pertumbuhan ekonomi Tiongkok mencapai angka 7,5 persen.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut didorong salah satunya oleh
pertumbuhan di sektor industri. Pada triwulan I 2014, sektor industri di
Tiongkok tumbuh 8,8 persen. Sektor ini juga memberikan peranan yang paling
besar dalam pembentukan PDB Tiongkok. Satu hal yang menjadi konsekuensi
dari relatif tingginya pertumbuhan sektor industri tersebut adalah kebutuhan
energi untuk keperluan industri dalam negeri Tiongkok yang semakin
meningkat.

4.1.1. Konsumsi Energi Sektor Industri di Tiongkok


Total konsumsi energi Tiongkok mengalami peningkatan dari tahun
2000 sampai tahun 2011. Berdasarkan Gambar 4.1, pada tahun 2000 konsumsi
energi Tiongkok mencapai 701.264 ktoe (setara ton barel minyak). Kemudian
meningkat hampir 2 kali lipat pada 2011 yaitu menjadi sebesar 1.235.721 ktoe.
Pertumbuhan rata-rata per tahun pada kurun waktu 2001 sampai 2011 adalah
5,37 persen. pertumbuhan konsumsi energi Tiongkok sempat melambat pada
tahun 2008 dan 2009 akibat krisis global. Akan tetapi kembali menanjak pada

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 69


tahun 2010 dan 2011. Hal tersebut membuktikan industri Tiongkok sangat
kokoh dan dampak krisis global ke Tiongkok sangat kecil pengaruhnya.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.1. Total Konsumsi Energi Tiongkok

Dilihat dari jenis energinya, batubara merupakan sumber energi yang


masih menjadi andalan industri di Tiongkok. Batubara Tiongkok banyak diimpor
dari Indonesia. Akan tetapi, pemerintah Tiongkok mulai tahun 90an
menggalakkan pemakaian energi ramah lingkungan dalam mensupply
kebutuhan energi Tiongkok. Salah satu energi ramah lingkungan tersebut adalah
gas alam.

Pemakaian gas alam di Tiongkok dari tahun ke tahun terus meningkat,


pada tahun 2011, pemakaian gas alam Tiongkok sudah 5,78 persen dari total
konsumsi Tiongkok. Pengalihan energi ke gas alam ini sudah dilakukan
pemerintah Tiongkok sejak tahun 90an dengan memulai pembangunan
infrastruktur gas alam.

70 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.2. Konsumsi Energi Tiongkok menurut Jenis

4.1.2. Pasokan Energi dan Rantai Pasok di Tiongkok


Selaras dengan perkembangan konsumsi energi, total pasokan energi
Tiongkok pun meningkat dari tahun 2000 sampai 2011. Total pasokan energi
Tiongkok 2011 naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2000.
Hal ini membuktikkan kesiapan Tiongkok dalam mengakomodir permintaan
energi domestik. Dari total pasokan energi, sebagian besar dihasilkan dari dalam
negeri.
Pertumbuhan total pasokan energi Tiongkok sempat mengalami
perlambatan pada tahun 2008. Selaras dengan pertumbuhan konsumsi energi
yang melambat akibat adanya krisis global. Namun di tahun berikutnya sektor
energi Tiongkok mampu bangkit dan mengalami pertumbuhan pasokan energi.
Pasokan energi di Tiongkok tidak terlepas dari tingginya impor energi yang
murah dari berbagai negara termasuk Indonesia.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 71


Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.3. Total Pasokan Energi Tiongkok

Meskipun pemerintah Tiongkok mulai menggalakkan energi ramah


lingkungan, tetapi pasokan energi terbesar masih di batubara sebesar 68
persen. sementara itu, pasokan gas alam masih 4 persen. peningkatan industri
dan belum meratanya infrastruktur gas alam membuat perkembangan pasokan
gas alam belum maksimal. Akibatnya batubara menjadi pilihan industri karena
harganya yang relatif lebih murah daripada minyak.
Pembangunan pipa gas dari sumber gas alam ke kawasan industri
pertama kali selesai pada tahun 1997. Setelah itu, pembangunan pipa gas di
Tiongkok mulai digalakkan sehingga konsumsi gas alam Tiongkok meningkat. Hal
ini dilakukan karena gas alam merupakan sumber energi terbersih dan termurah
jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya.
Pembangunan pipa gas alam di Tiongkok pada tahun 2008 mencapai
31.000 km. Pada tahun berikutnya akan dibangun beberapa jalur pipa gas alam
lagi di Tiongkok. Selain itu Tiongkok juga akan membangun jaringan pipa gas
bawah laut untuk terus mensupply kebutuhan gas alam di Tiongkok. Hal ini
diharapkan dapat meningkatkan pasokan gas ke kawasan industri Tiongkok.
Pemerintah Tiongkok juga menjalin kerjasama dengan negara lain dalam
mensupply gas alam ke Tiongkok. Indonesia dan Turkeministan adalah
contohnya. Hal ini akan semakin memperkuat gas alam Tiongkok mengingat di
Tiongkok juga banyak potensi gas alam.

72 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.4. Pasokan Energi Tiongkok 2011

Jika dilihat dari bauran energi, batubara menjadi sumber energi andalan
industri Tiongkok. Sampai tahun 2011, batubara masih menjadi sumber energi
andalan. Pada tahun 1997 seiring dengan diresmikannya pipa gas alam pertama
Tiongkok, gas alam menjadi sumber energi yang disarankan oleh pemerintah.
Selain itu penggunaan minyak sebagai sumber energi di Tiongkok cenderung
stagnan. Hal ini sejalan dengan program energi bersih pemerintah.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014


Gambar 4.5. bauran Energi Tiongkok

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 73


4.1.3. Neraca Energi di Tiongkok
Dari total kebutuhan dan pasokan energi Tiongkok pada tahun 2011,
terjadi surplus energi sebesar 1.490.623 ktoe atau lebih dari 50 persen pasokan.
Jika dianalisa per tahun, surplus energi Tiongkok selalu meningkat. Surplus
terbesar dari batubara karena persediaan batubara Tiongkok yang besar masih
ditambah oleh impor batubara dari negara lain.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014


Gambar 4.6. Neraca Energi Tiongkok

4.1.4. Kebijakan Energi Tiongkok


Kebijakan penyediaan kebutuhan energi di Tiongkok cukup berhasil
salah satunya dikarenakan sejak sebelum reformasi Deng Xioping, kebijakan
energi sudah diselaraskan dengan kebijakan industri. Pada tahun 1970an, State
Planning Commission (SPC) menentukan berapa banyak energi yang dibutuhkan
untuk industri, sehingga ada gambaran di masa depan. Pada Januari 2010, Cina
membentuk National Energy Commission (NEC) yang ditujukan untuk
meningkatkan strategi pengembangan energi.
Pemerintah Tiongkok juga mengeluarkan kebijakan Security Energy yaitu
: 1) memberikan prioritas untuk konversi, 2) mengutamakan untuk pasokan
domestik, 3) melakukan pengembangan sains dan teknologi energi, 4)
melakukan pengembangan diversifikasi energi, 5) perlindungan untuk
konsumen, 6) melakukan kerjasama dengan negara lain yang saling
menguntungkan.

74 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


4.2. Gambaran Umum Sektor Energi di India
Perekonomian India mengalami perlambatan pada dua triwulan
terakhir. Pertumbuhan ekonomi India pada triwulan I 2014 sebesar 4,6 persen
(yoy). Pertumbuhan ekonomi yang melambat, didorong oleh penurunan
produksi industri di India. Perekonomian global tampaknya menjadi alasan
utama penurunan produksi industri. Maka pemerintah India mengambil
tindakan strategis dengan menambah infrastruktur energi guna
mengembalikkan kepercayaan investor.
4.2.1. Konsumsi Energi Sektor Industri di India
Konsumsi energi India pada pada periode 2000-2011 mengalami
kenaikkan yang cukup signifikan. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan
kebutuhan energi di sector industri dalam rangka memacu pertumbuhan
industri di India. Pada Gambar 4.7 terlihat bahwa konsumsi energi di India pada
tahun 2000 mencapai 286.962 ktoe. Angka tersebut meningkat menjadi 425.987
ktoe pada tahun 2011 atau meningkat hampir 48 persen. Sama seperti
Tiongkok, krisis global 2008 membuat pertumbuhan konsumsi energi India
melambat. Salah satu mesin pendorong pertumbuhan konsumsi energi adalah
industri otomotif India yang berkembang. Industri otomotif India juga sudah
masuk ke pasar otomotif Indonesia.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014


Gambar 4.7. Total Konsumsi Energi India

Energi biofuels dan limbah menjadi sumber energi andalan di India.


Selain itu minyak juga menjadi energi andalan lainnya. Penggunaan batubara
baru mencuat pada awal 2009. Penggunaan batubara yang meningkat diikuti

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 75


oleh meningkatnya konsumsi gas alam. Hal ini dilakukan sejalan dengan
kebijakan penekanan ketergantungan minyak India sehingga diharapkan minyak
yang selama ini diimpor oleh India dapat berkurang dan beralih ke batubara dan
gas alam.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014


Gambar 4.8. Konsumsi Energi di India Menurut Jenis

4.2.2. Pasokan Energi dan Rantai Pasok di India


Sejalan dengan peningkatan konsumsi energi, pasokan energi di India
pun mengalami peningkatan. Pemerintah India sudah siap dalam pemenuhan
kebutuhan energi nasional. Pasokan energi di India ditambah ketika 2009
setelah pada tahun 2008 terjadi perlambatan supply energi. Hal ini dilakukan
untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang pada 2008 sedikit teranggu akibat
adanya krisis global.

76 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.9. Total Pasokan Energi India

Pada awal tahun 1970an, pasokan energi India lebih didominasi oleh
biofuels dan limbah. Seiring dengan perkembangan global pasokan energi India
didominasi oleh batubara. Hal ini terkait dengan harga batubara yang lebih
rendah dan cadangan batubara masih besar di dunia. Industri baru di India lebih
memilih menggunakan batubara karena harga yang murah dan mudah untuk
mendapatkannya. Selain itu pasokan energi dari minyak dinilai memberatkan
neraca perdagangan India karena sebagian besar minyak bumi berasal dari
impor.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.10. Bauran Pasokan Energi di India

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 77


4.2.3. Neraca Energi di India
Kebijakan energi pemerintah India dinilai tepat dengan adanya surplus
energi selama 11 tahun terakhir. Kebutuhan yang meningkat dapat diantisipasi
oleh pemerintah India dengan menyediakan pasokan energi yang mencukupi
bagi industri maupun sektor lainnya di India. Surplus terbanyak dari sumber
energi batubara. Hal ini terjadi karena tidak semua industri maupun pembangkit
listrik menggunakan batubara disaat pemerintah menggalakkan program
penyediaan energi batubara.

Sumber : IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.11. Neraca Energi India

4.2.4. Kebijakan Energi India


Pemerintah India menggalakkan program energi baru terbarukan untuk
penyediaan energi industri dan pembangkit listrik. Hal ini sejalan dengan
pembangunan jaringan listrik India untuk membantu memulihkan kepercayaan
investor dan permintaan LNG dan pipa gas yang semakin meningkat. Selain itu
program tersebut untuk mengurangi polusi udara di kawasan-kawasan industri
dan kota-kota besar di India. Program pemerintah ini dinamakan Electricity Act.
Program ini bertujuan energi baru terbarukan akan menggantikan minyak bumi
dan batubara pada tahun 2035. Pembangunan pipa dan memulai riset energi
merupakan langkah nyata pemerintah India dalam mewujudkan program
tersebut.

78 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Electricity Act sendiri mempunyai 4 agenda utama, yaitu 1) program
pengembangan energi terpadu di perdesaan, 2) pengembangan kelistrikan di
perdesaan tertinggal, 3) biogas, 4) energi terbarukan untuk daerah perkotaan,
industri, dan perdesaan. Selain Electricity Act, pemerintah juga akan mengambil
alih aset-aset asing di sektor energi. Hal ini dilakukan untuk keamanan pasokan
energi India.

4.3. Gambaran Umum Sektor Energi di Malaysia


Pertumbuhan ekonomi Malaysia pada triwulan I 2014 tumbuh 6,2
persen (year on year). Pertumbuhan tersebut dikarenakan dorongan dari sektor
industri yang tumbuh sebesar 6,7 persen (year on year). Dimana pertumbuhan
sektor industri ini merupakan salah satu yang tertinggi di Malaysia. Tingginya
pertumbuhan sektor industri didukung oleh infrastruktur kawasan industri yang
berjumlah 222 kawasan dan berada dibawah otoritas MIDA (Malaysian
Investment Development Authority). Untuk menganalisis kebutuhan energi di
tiap kawasan industri, pemerintah Malaysia membagi kawasan ke dalam
klasifikasi industri lahap energi yaitu baja, semen, kayu, makanan, kaca, pulp
dan paper, keramik, dan industri karet.
4.3.1 Konsumsi Energi di Malaysia
Konsumsi energi di Malaysia cenderung selalu mengalami peningkatan
khususnya sejak tahun 2000. Berdasarkan Gambar 4.12, total konsumsi energi
secara keseluruhan di Malaysia pada tahun 2011 sebesar 44.936 ktoe (setara
ton barel minyak). Sedangkan konsumsi di sektor industri secara rinci terdiri dari
batu bara sebesar 1.759 ktoe, minyak olahan 1.996 ktoe, gas 3.869 ktoe dan
listrik 4.061 ktoe. Secara umum pertumbuhan konsumsi energi di Malaysia
sejalan dengan lonjakan permintaan pasokan energi di kawasan industri.
Penurunan di tahun 2008 merupakan akibat langsung krisis global di sektor
industri yang berdampak pada penurunan konsumsi energi nasional.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 79


Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.12. Total Konsumsi Energi Malaysia 2000-2011


(dalam Ktoe atau setara ribuan ton minyak)

Pangsa terbesar konsumsi di kawasan industri masih mengandalkan


listrik dari pembangkit pemerintah. Namun yang menarik adalah konsumsi gas
tidak berbeda jauh dari listrik. Hal ini dikarenakan kawasan industri sudah
memiliki jaringan gas yang tersebar merata sepanjang 19 kilometer per meter
persegi yang dimulai sejak tahun 1981. Sehingga ketika terjadi black-out atau
pemadaman listrik, jaringan pipa gas masih dapat diandalkan baik sebagai
sumber utama maupun back up pasokan listrik. Berbeda dengan Indonesia yang
baru memiliki jaringan pipa gas 6,4 kilometer per meter persegi.
Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Malaysia menjadikan gas
sebagai sumber energi utama. Hal ini dikarenakan: Pertama, sumber daya gas di
Malaysia cukup melimpah, hal ini juga didorong oleh produksi Petronas di
negara-negara lain yang menjamin jumlah gas yang tersedia melebihi
permintaan pasar domestik. Kedua, gas dipilih sebagai bahan bakar industri
yang lebih bersih dan murah dibandingkan batubara.

4.3.2 Pasokan Energi dan Rantai Pasok di Malaysia


Total pasokan energi secara keseluruhan di Malaysia sebesar 61.210
ktoe (setara ton minyak), dengan dominasi gas sebesar 28.484 ktoe, minyak
mentah 26.750 ktoe, biofuel 3.504 ktoe (Gambar 4.13), sisanya terbagi ke dalam
listrik tenaga air (hydropower). Sebagian besar pasokan minyak dan gas diambil

80 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


dari produksi dalam negeri. Dalam hal ini Petronas yang diberikan mandat untuk
mengelola pasokan minyak dan gas dari hulu ke hilir.

Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.13. Total Pasokan Energi Malaysia 2000-2011 (dalam Ktoe atau
setara ribuan ton minyak)

Walaupun Malaysia termasuk net-exportir gas, namun sebagai strategi


untuk pemenuhan konsumsi domestik jangka panjang, Pemerintah Malaysia
membangun tangki penyimpanan gas yang berada di jalur utama selat malaka.
Hal ini dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan energi terutama ke kawasan
industri.
Proyek The Peninsular Gas Utilization (PGU) di Johor, yang selesai pada
tahun 1998 telah membantu kelancaran aliran gas dari pusat produksi gas LNG
ke kawasan industri. Proyek PGU mampu mengalirkan 2 juta kubik gas per hari.
Dengan adanya proyek PGU, tingkat pasokan energi tumbuh secara konsisten
sejak tahun 2000 hingga 2008 dengan sedikit koreksi di tahun 2009. Selain PGU,
gas yang dialirkan ke kawasan industri juga dibantu oleh terminal Sarawak dan
Bintulu LNG.
Untuk rantai pasokan listrik, industri di Malaysia yang sebelumnya
mengandalkan pasokan dari Tenaga Nasional Berhad berakhir tahun 1995
dengan pendirian 5 IPP (Independent Power Producer) atau perusahaan
penyedia listrik swasta yang berkontribusi terhadap 30,99 persen total pasokan
listrik Malaysia.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 81


Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.14. Total Pasokan Energi Malaysia (dalam Ktoe atau setara ribuan
ton minyak)

Jika dilihat dari bauran pasokan energi, pada periode 1970-an masih
pasolak energi di Malaysia masih didominasi oleh minyak bumi. Namun hal
tersebut mulai berubah seiring kebijakan Pemerintah untuk menggunakan gas
alam sebagai substitusi minyak pada periode1980-an (Gambar 4.15). Selain
penggunaan energi konvensional, Malaysia mulai memanfaatkan energi
alternatif seperti biofuel, limbah, dan geotermal. Hal ini tercermin dari
perubahan trend pasokan energi alternatif hingga tahun 2011.

Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.15. Bauran Pasokan Energi Malaysia

82 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Dari total kebutuhan perhitungan pasokan dan konsumsi energi
Malaysia selama tahun 2011 terdapat surplus sebesar 30.971 ktoe atau 40,8
persen dari total pasokan yang tersedia (Gambar 4.16). Surplus energi ini
terutama berbentuk gas yang disimpan untuk cadangan pasokan energi atau
buffer stock di tangki-tangki penyimpanan gas yang disediakan oleh Pemerintah.
Jumlah cadangan energi yang besar disertai infrastruktur untuk menyimpan
energi merupakan salah satu keunggulan Malaysia dalam menghadapi tingginya
kebutuhan energi di masa yang akan datang.

Sumber: IEA Energy Statistics, 2014


Gambar 4.16. Neraca Energi Malaysia 2000-2011 (setara ribuan ton minyak)

4.3.3. Kebijakan Akselerasi Energi Di Malaysia


Dari segi pendanaan infrastruktur energi ke kawasan industri.
Pemerintah Malaysia menunjuk Bank Pembangunan Malaysia Berhad. Dengan
adanya bank pembangunan khusus yang ditunjuk oleh negara maka kepastian
ketersediaan dana untuk pembangunan infrastruktur energi ke industri
terutama pipa gas dapat terjamin.
Beberapa kebijakan Pemerintah Malaysia tentang gas dan batubara
yang dapat dijadikan sebagai benchmark bagi pengembangan kawasan industri
di Indonesia antara lain: a) melakukan open access dalam penyaluran gas ke
kawasan industri, sehingga swasta dapat membantu pembangunan pipa gas dari
terminal ke perusahaan di kawasan industri; b) meningkatkan DMO (Domestic
Market Obligation) sebesar 60 persen dari total produksi gas alam; c)
meningkatkan pasokan melalui terminal regasifikasi, terutama di Melaka dan
Johor; d) diversifikasi negara pemasok batubara untuk menjaga ketahanan

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 83


pasokan energi; e) menjajaki kemungkinan kepemilikan tambang di negara-
negara pemasok; dan f) peningkatan teknologi untuk mengurangi emisi.
4.4. Gambaran Umum Sektor Energi di Vietnam
Vietnam termasuk ke dalam negara dengan pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi di Asia Tenggara. Pertumbuhan ekonomi Vietnam pada tahun 2013
mencapai 5,4 persen (yoy). Hal ini didorong salah satunya oleh pertumbuhan
sektor industri yang hampir selalu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi
nasional Vietnam. Pertumbuhan industri Vietnam berada di level 6,1 persen
(yoy) per Juni 2014. Dengan pertumbuhan industri yang berada di atas
pertumbuhan ekonomi, Vietnam menjadi negara dengan penciptaan nilai
tambah yang cukup besar yaitu 18, 84 persen. Salah satu penyebab tingginya
pertumbuhan industri dan nilai tambah adalah kebijakan pemusatan industri
yang tersebar ke dalam 289 kawasan industri. Kawasan industri ini berhasil
menarik lebih dari 110 juta dollar FDI (Foreign Direct Investment) pada tahun
2013.
4.4.1 Konsumsi Energi di Vietnam
Konsumsi energi di sektor industri didominasi oleh batu bara (8.716
ktoe), listrik (4.140 ktoe), biofuel dan limbah (2.581 ktoe), minyak olahan (2.293
ktoe) dan gas sebesar 451 ktoe. Kecilnya penggunaan gas di sektor industri
disebabkan oleh masih terkendalanya infrastruktur pipa gas yang mengalir dari
terminal ke pabrik di kawasan industri. Pemerintah Vietnam masih fokus pada
penggunaan batu bara sebagai bahan utama pembangkit listrik di kawasan
industri.

Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.17. Total Konsumsi Energi Vietnam 2000-2011


(Ktoe atau setara ribuan ton minyak)

84 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Jika dilihat dari bauran konsumsi energi di Vietnam, pola konsumsi gas
sudah mendominasi dari tahun 1971. Hal ini merupakan akibat dari masih
kecilnya porsi eksplorasi minyak terhadap gas. Setelah tahun 1995 setelah
Vietnam menjadi net crude oil exporter dengan ditemukannya cadangan minyak
yang melimpah membuat konsumsi energi minyak mulai bergerak naik. Hingga
tahun 2011 porsi konsumsi minyak meningkat secara konsisten terhadap
konsumsi energi lain. Hal ini selaras dengan kebijakan bauran energi nasional
Vietnam yang mewajibkan kawasan industri untuk menggunakan gas lebih besar
daripada batu bara. Selain pipa gas yang sudah terhubung ke kawasan industri
sepanjang sungai Mekong, penggunaan batu bara pada industri juga mengalami
tekanan dari luar negeri karena faktor lingkungan.

Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.18. Total Konsumsi Energi (KTOE atau setara ribuan ton minyak)

4.4.2 Pasokan Energi dan Rantai Pasok di Vietnam


Vietnam memiliki total pasokan energi sebesar 61.210 ktoe (setara ton
minyak) yang didominasi oleh batu bara (24.916 ktoe), minyak mentah (16.956
ktoe), biofuel (14.706 ktoe), sisanya gas (7.446 ktoe) dan listrik tenaga air (2.565
ktoe). Sebagian besar pasokan energi ke kawasan industri masih bergantung
pada batu bara dan minyak mentah. Untuk memenuhi pasokan listrik, Vietnam
Eletricity (EVN) sebagai perusahaan listrik negara bertanggung jawab memasok

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 85


listrik ke kawasan industri. Dengan kapasitas 8.860 MW dan jaringan distribusi
sepanjang 19.396 km EVN menjadi pemain utama listrik di Vietnam. Pembangkit
EVN terdiri dari hydropower (50,8 persen), batu bara (13,6 persen), gas (29,4
persen) dan diesel (6,2 persen).
Sementara itu tren pertumbuhan pasokan energi Vietnam naik secara
signifkan selama kurun waktu 11 tahun terakhir sebesar 47 persen. Kenaikan ini
merupakan hasil dari kebijakan Pemerintah untuk terus meningkatkan pasokan
energi dari cadangan batubara domestik secara konsisten.

Sumber: IEA Energy Statistics, 2014

Gambar 4.19. Total Pasokan Energi Vietnam


(KTOE atau setara ribuan ton minyak)

Kendala kurangnya fasilitas pengolahan gas di dalam negeri menjadi


faktor penghambat optimalisasi penggunaan gas bagi sector industri di Vietnam.
Namun di sisi lain penggunaan biofuel dan limbah di kawasan industri Vietnam
terbilang lebih maju dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Posisi energi
alternatif berada di urutan ketiga dari total bauran konsumsi energi Vietnam.
Adanya insentif dari Pemerintah Vietnam melalui No. 50/2010/QH12 secara
langsung berdampak pada penggunaan energi alternatif sebagai konsumsi
energi utama selain batu bara.

86 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sumber: IEA Energy Statistics, 2014
Gambar 4.20. Bauran Pasokan Energi Vietnam

Berdasarkan hasil perhitungan antara pasokan dan konsumsi energi di


Vietnam, pada tahun 2011 terdapat surplus sebesar 9.897 ktoe. Jika
dibandingkan dengan Malaysia, surplus energi di Vietnam masih terbilang kecil.
Hal ini menandakan bahwa Vietnam masih tertinggal dibandingkan dengan
Malaysia dalam hal manajemen ketersediaan energi di periode berikutnya.
4.4.3. Neraca Energi di Vietnam
Jika melihat pada pasokan dan konsumsi energi di Vietnam, ternyata
masih terdapat surplus pada penggunaan energi di semua sektor. Total surplus
yang dialami sektor energi di Vietnam cenderung meningkat sejak tahun 2000.
Meskipun demikian, total pasokan energi yang tersedia merupakan gabungan
antara penyediaan energi lokal dan yang berasal dari impor.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 87


Sumber: IEA Energy Statistics, 2014
Gambar 4.21. Neraca Energi Vietnam (KTOE atau setara ribuan ton minyak)

4.4.4. Kebijakan Akselerasi Energi Vietnam


Vietnam memproduksi 49.079 ton batubara per tahunnya. Hampir
setengahnya atau 23.739 ton di serap oleh pasar domestik. Kebijakan DMO
(Domestic Market Obligation) batubara bagi perusahaan tambang sengaja
dikeluarkan oleh Pemerintah Vietnam untuk memenuhi energi di kawasan
industri. Strategi yang ditempuh adalah menaikkan pajak ekspor dari 10 persen
menjadi 13 persen. Pada akhirnya ekspor batu bara dapat dialihkan pada
industri domestik.
Pada tahun 2005, total kapasitas pembangkit yang berdaya 11.340 MW
didominasi oleh PLTA (39 persen), dan gas (38 persen). Di akhir 2015,
Pemerintah Vietnam menargetkan 40 persen dominasi PLTA sekaligus
memastikan bahwa 40 persen energi nasional berasal dari gas serta penurunan
proporsi batu bara menjadi 18 persen dari total bauran energi nasional.
Sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhan minyak bagi industri,
perusahaan nasional Vietnam, Petro Vietnam membangun tangki penyimpanan
minyak yang dapat menampung 3,68 juta barrel di tahun 2006. Di samping
penyimpanan cadangan minyak, Vietnam juga membangun kilang penyulingan
di tahun 2009 agar minyak yang diperoleh dapat diolah di dalam negeri,
sehingga angka impor energi dapat berkurang secara bertahap.

88 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Dari sisi kebijakan nasional, munculnya Undang-Undang tentang
Efisiensi Energi No. 50/2010/QH12 memberikan mandat kepada pelaku industri
untuk melakukan modernisasi jalur produksi agar menjadi lebih hemat energi,
menggunakan uap hasil produksi sebagai sumber energi cadangan, mengukur
secara tepat berapa kebutuhan energi per perusahaan, dan mengaplikasikan
teknologi terbaru untuk menghemat energi. Dengan adanya peraturan tersebut,
baik perusahaan maupun pemerintah memiliki komitmen bersama untuk
melakukan efisiensi penggunaan energi namun disaat yang sama dapat memacu
produktivitas industri.
Sebagai bentuk akselerasi pemenuhan gas ke sektor industri,
Pemerintah Vietnam melakukan skema open access. Secara singkat open access
membuka industri hilir gas bagi keterlibatan swasta, terutama dalam
penyediaan infrastruktur gas non-PSO (Public Service Obligation) atau gas
komersial yang dikonsumsi oleh industri. Dengan adanya skema open access,
pembangunan infrastruktur pipa gas dari terminal gas ke konsumen akhir
(perusahaan) membuat harga gas menjadi kompetitif. Pemerintah Vietnam
menyadari bahwa penggunaan anggaran negara untuk membangun pipa gas
yang terintegrasi merupakan hal yang sulit. Dalam konteks ini maka Pemerintah
Vietnam berusaha membuka selebar-lebarnya pasar hilir gas non-PSO kepada
pemain swasta.
Beberapa kebijakan Pemerintah Vietnam tentang strategi pemenuhan
energi ke kawasan industri yang dapat dijadikan contoh antara lain:
a) Menaikkan pajak ekspor batu bara dengan besaran tertentu hingga Undang-
undang tahun 2009 tentang Minerba efektif berlaku sepenuhnya. Hal ini
merupakan kebijakan fiskal yang efektif untuk memenuhi kebutuhan
domestik;
b) Melakukan open access dalam penyaluran gas ke kawasan industri;
c) Mengeluarkan Undang-undang Efisiensi Energi yang dengan jelas
memberikan mandat kepada pelaku industri untuk menggunakan energi
secara efisien;
d) Membangun tangki penyimpanan dan penyulingan minyak sebagai strategi
untuk mengurangi impor minyak olahan.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 89


90 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 5

Peningkatan aktivitas ekonomi baik langsung maupun tidak langsung


akan memacu pertumbuhan di semua sektor penggerak ekonomi yang berakibat
pada peningkatan kebutuhan energi di semua sektor, salah satunya adalah
sektor industri yang merupakan salah satu konsumen terbesar energi. Energi
merupakan suatu komponen penting dalam proses produksi suatu industri.
Pemenuhan kebutuhan energi khususnya pada sektor industri harus diimbangi
dengan ketersediaan energi secara tepat, terintegrasi, dan berkesinambungan
agar dapat memperlancar aktivitas pada seluruh sektor industri. Keseimbangan
antara penyediaan energi dan kebutuhan energi perlu dianalisis agar dapat
memberikan gambaran jenis sumber energi yang dominan tersedia dan
dibutuhkan.
Berdasarkan alasan tersebut, maka bagian ini akan mengalisis gambaran
keseimbangan antara pasokan berbagai sumber energi dan penggunaan energi
dalam periode tertentu. keseimbangan antara pasokan berbagai sumber energi
dan penggunaan energi dalam periode tertentu disebut dengan neraca energi
(Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi). Neraca energi
merupakan suatu tabel yang menunjukkan seluruh aliran energi mulai dari
produksi, ekspor, impor sampai dengan penggunaan sektoral. Dalam Neraca
Energi seluruh konsumsi energi harus dapat dipenuhi oleh penyediaan energi,
baik berasal dari produksi sendiri maupun dari impor. Neraca energi juga
merupakan cabang keilmuan yang mempelajari keseimbangan energi dalam
sebuah sistem. Neraca energi dibuat berdasarkan pada hukum pertama
termodinamika, yang menyatakan kekekalan energi, yaitu energi tidak dapat
dimusnahkan atau dibuat, hanya dapat diubah bentuknya.
Gambaran singkat mengenai alur penyediaan energi primer dan
kebutuhan (konsumsi) energi secara umum ditunjukkan pada Gambar 5.1. Alur
energi tersebut menjelaskan kesetimbangan energi dalam sebuah sistem,
Berbagai jenis energi primer (raw energy) harus melalui proses atau tahap
transformasi (diolah) hingga menjadi sebuah energi (energi final) yang dapat

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 91


digunakan oleh pengguna akhir yaitu sektor industri, jasa, transportasi dan
rumah tangga.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013


Gambar 5.1. Alur Energi

5.1. Deskripsi Struktur Neraca Energi


Neraca energi disajikan dalam bentuk matriks. Lajur baris menunjukkan
aliran dari asal energi sampai ke penggunaannya (transaksi energi), misal
produksi, ekspor, impor, stok kebutuhan energi, energi konversi. Lajur kolom
menunjukkan sumber energi (komoditi energi), misalnya batubara, minyak
mentah, BBM, gas alam, tenaga panas bumi dan listrik.

5.2. Transaksi Energi


i. Produksi Energi Primer :
Produksi energi primer didasarkan pada jumlah energi yang diekstraksi.
Energi primer seperti minyak mentah termasuk juga yang digunakan untuk
proses dan yang dipasok ke penghasil energi yang lain.
a. Produksi batubara mencakup batubara, lignite dan brown coal yang
dijual, dikonsumsi oleh penambang, diberikan ke penambang, dan yang
diolah menjadi briquete dan lainnya. Jumlah batubara yang diekstrasi
dikurangi dengan yang tidak dapat digunakan setelah penyaringan dan
pencucian.

92 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


b. Produksi minyak mentah mencakup produksi dari onshore dan offshore,
termasuk didalamnya oil shale dan kondensat.
c. Produksi gas alam adalah yang dihasilkan langsung dari lapangan gas,
tidak mencakup banyaknya gas yang diinjeksikan dan di bakar sama
halnya seperti penyusutan gas, karena dikonversi menjadi cairan gas
alam.
d. Energi biomassa mencakup produksi biomassa primer dan turunan,
seperti kayu bakar dan arang.
e. Produksi tenaga listrik bruto yang dihasilkan oleh pembangkit tenaga air
dan panas bumi dikelompokkan dalam jenis sumber energi lainnya.
ii. Impor dan Ekspor
Sejumlah energi primer dan sekunder yang dikirim atau diterima dari
negara lain. Impor dan ekspor minyak mentah termasuk didalamnya feedstocks
dan hasil pengilangan dari minyak mentah. Dalam format neraca energi impor
selalu ditandai positif dan ekspor dengan tanda negatif. Merupakan persediaan
energi didalam negeri yang digunakan untuk konsumsi akhir ataupun
dikonversikan menjadi bentuk energi lain.
iii. Jumlah Keperluan Energi
Merupakan persediaan energi didalam negeri yang digunakan untuk
konsumsi akhir ataupun dikonversikan menjadi bentuk energi lain.
iv. Konsumsi Sektor Energi
Meliputi konsumsi energi oleh produsen dan transformasi energi untuk
operasi instalasinya. Termasuk di dalamnya konsumsi untuk kompresor dan
stasiun pompa.
v. Hilang Dalam Konversi, Transportasi dan Distribusi
Meliputi hilangnya energi listrik, gas alam dan gas turunannya karena
dari peralatan atau pabrik atau mesin. Untuk kerugian konversi profil listrik,
transmisi dan distribusi tidak menampilkan secara eksplisit tetapi terdiri dari
perbedaan antara konsumsi di sektor transportasi, industri, konstruksi,
rumahtangga dan konsumen lainnya.
vi. Konsumsi Akhir
Konsumsi oleh sektor industri pengolahan, konstruksi, transport, rumah
tangga dan konsumen lain.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 93


a. Konsumsi oleh sektor industri, pertambangan dan konstruksi
b. Konsumsi oleh sektor transport
c. Konsumsi oleh sektor rumahtangga dan konsumen lainnya: termasuk
pertanian, perdagangan, penerangan umum dan sektor-sektor lain.
Pada bab ini akan dianalisis neraca pada beberapa jenis energi yang
paling banyak digunakan oleh sektor industri. Antara lain batubara, gas alam,
listrik dan BBM. Penggunaan keempat jenis energi tersebut mencapai 80 persen
dari total energi yang digunakan.

5.3. Neraca Energi Batubara


Batubara merupakan salah satu jenis energi yang banyak digunakan
oleh sektor industri. Selain sektor industri, batubara juga banyak digunakan
untuk pembangkit listrik. Namun, hanya sektor industri saja yang menjadi satu-
satunya pengguna akhir bagi energi batubara. Sedangkan untuk sektor-sektor
lainnya seperti transportasi, rumah tangga dan komersial tidak pernah
menggunakan batubara secara langsung untuk aktivitas ekonominya. Oleh
sebab itu, batubara sangat berpotensi menjadi jenis energi andalan bagi sektor
industri karena sifatnya yang dapat ditransformasi menjadi bentuk gas
(gasifikasi). Namun, tantangan penggunaan batubara adalah bagaimana
meminimalisir dampak pencemaran lingkungan yang timbul akibat pemakaian
batubara.
Terkait dengan kendala pemenuhan batubara pada sektor industri,
selama ini terkendala oleh alokasi produksi batubara lokal yang kurang
mendukung aktivitas industri domestik. Tingkat ekspor batubara terbilang
sangat tinggi dan hal ini berlangsung secara terus menerus. Ini membuat sektor
industri cukup kesulitan dalam memenuhi kebutuhan energinya. Dari Tabel 5.1,
terlihat bahwa pada 2008, ekspor batubara mencapai 69,87 persen dari total
produksi batubata di Indonesia. Namun persentase ini terus meningkat hingga
2012 menjadi 78,79 persen. Besarnya ekspor batubara tersebut, berimplikasi
pada minimnya pemenuhan batubara untuk kebutuhan dalam negeri,
khususnya pada sektor industri. Untuk keperluan pembangkit listrik misalnya,
hanya mendapatkan porsi 15,99 persen dari total produksi nasional (2009).
Persentase ini terus menurun hingga akhirnya pada 2012 hanya mendapatkan
porsi sebesar 13,70 persen. Indonesia juga kerap kali melakukan impor batubara
untuk menutupi kekurangan kebutuhan domestik.

94 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Sektor industri pun turut terkena dampak dari semakin banyaknya
ekspor batubara. Dari total produksi batubara Indonesia, pada tahun 2008
sektor industri hanya mendapatkan jatah sebesar 17,59 persen dari total
produksi nasional. Jatah ini terus menurun hingga pada 2012 hanya
mendapatkan porsi sebesar 7,59 persen. Meskipun produksi batubara di
Indonesia terus meningkat dari 961 juta BOE di 2008 menjadi 1,62 miliar BOE
pada 2012, namun peningkatan produksi tersebut hanya diorientasikan untuk
kepentingan ekspor.
Tabel 5.1. Neraca Energi Batubara (Ribu BOE)

No Uraian 2008 2009 2010 2011 2012

Primary Energy
1 322,934 236,439 281,400 334,143 345,079
Supply
a. Produksi 961,800 1,075,960 1,155,690 1,483,738 1,620,776
b. Impor 449 289 232 178 327
- - -
c. Ekspor -833,137 -873,600
672,000 1,145,220 1,277,015
% Ekspor 69.87 77.43 75.59 77.18 78.79
d. Perubahan
32,685 -6,673 -922 -4,554 912
stok
Energy -
2 -153,852 -144,860 -189,576 -221,976
Transformation 153,796
% hasil
15.99 14.30 12.53 12.78 13.70
transformasi
Final Energy
3 169,138 82,587 136,540 144,567 123,024
Supply
Final Energy
4 169,138 82,587 136,540 144,567 123,024
Consumption
a. Industri 169,138 82,587 136,540 144,567 123,024
% konsumsi
17.59 7.68 11.81 9.74 7.59
industri
b. Transportasi 0 0 0 0 0
c. Rumah Tangga 0 0 0 0 0
d. Komersial 0 0 0 0 0
e. Sektor Lain 0 0 0 0 0

Sumber: Kementerian ESDM, 2014 (diolah)

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 95


Minimnya alokasi batubara untuk sektor industri menyebabkan
kapasitas produksi industri tidak mencapai titik optimal. Tingginya permintaan
batubara baik untuk ekspor maupun domestik menyebabkan kenaikan harga
pada komoditas tersebut yang cukup signifikan selama lima tahun terakhir.

5.3. Neraca Gas Alam


Produksi gas alam nasional pada dasarnya dapat mencukupi kebutuhan
sektor industri apabila dapat diolah atau distribusikan secara efisien ke sektor
industri. Namun pada kenyataannya, tidak sedikit produksi gas alam nasional
diekspor ke luar negeri (2012). Sementara untuk melengkapi kebutuhannya,
sektor industri harus memperoleh gas yang berasal dari impor, khususnya gas
jenis LPG.
Persoalan pemenuhan gas untuk industri tidak luput dari permasalahan
yang terkait dengan infrastruktur, hal ini menyebabkan sebagian dari hasil
produksi gas alam diekspor ke luar negeri. Selanjutnya, untuk memenuhi
kebutuhannya, sektor industri terpaksa harus melakukan impor energi dalam
bentuk yang siap pakai (LPG).
Jika dilihat dari Tabel 5.2, terlihat bahwa ekspor gas alam (gas primer)
yaitu energi gas yang masih dalam bentuk mentah rata-rata mencapai 12,08
persen dari total produksi gas alam nasional (2008-2012). Namun proses ekspor
tidak hanya dalam bentuk gas alam. Gas alam yang dihasilkan di Indonesia
selanjutnya diolah (transformasi) menjadi gas alam dalam bentuk cair (LNG).
Justru ketika telah diolah menjadi LNG (gas alam cair), tingkat ekspor mencapai
angka yang lebih besar lagi. Hampir seluruh gas alam cair yang dihasilkan di
Indonesia ditunjukkan untuk keperluan ekspor. Selanjutnya, Indonesia kembali
mengimpor LPG untuk keperluan industri, rumah tangga dan komersial.
Lebih lanjut, dari total gas alam yang diproduksi di Indonesia, sebesar
60,80 persen (rata-rata selama 2008-2012) akan ditransformasi menjadi bentuk
LNG. Kemudian, seluruh LNG yang dihasilkan dialokasikan untuk keperluan
ekspor. Sementara sektor industri hanya mendapatkan porsi gas alam sebersar
15,08 persen pada tahun 2008 dan sedikit meningkat di 2012 menjadi 19,17
persen dari total produksi gas alam nasional.
Sektor industri bukan satu-satunya pengguna akhir dari komoditi gas
alam. Selain sektor industri, gas alam juga banyak digunakan pada sektor
komersial, transportasi dan rumah tangga. Terlebih lagi ketika gas telah

96 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


ditransformasi ke dalam bentuk LPG, maka mayoritas pengguna akhir adalah
sektor rumah tangga dan komersial.

Tabel 5.2. Neraca Energi Gas Alam (Ribu BOE)

No Uraian 2008 2009 2010 2011 2012


Primary Energy
1 385,069 406,622 487,410 458,952 429,976
Supply
a. Produksi 444,238 459444 547,395 519,210 494,331
b. Impor 0 0 0 0 0
c. Ekspor -59,169 -52,822 -59,985 -60,258 -64,355
% Ekspor 13.32 11.50 10.96 11.61 13.02
d. Perubahan
0 0 0 0 0
stok
Energy
2 -278,501 -288,526 -326,115 -297,779 -304,302
Transformation
% ditransformasi 62.69 62.80 59.58 57.35 61.56
Final Energy
3 99,868 118,096 121,352 122,581 125,674
Supply
Final Energy
4 91,457 118452 115,279 121,234 125,287
Consumption
a. Industri 66,981 89,101 85,729 91,214 94,779
% konsumsi
15.08 19.39 15.66 17.57 19.17
industry
b. Transportasi 124 56 70 181 367
c. Rumah Tangga 131 130 135 114 134
d. Komersial 357 730 963 1,290 1,625
e. Sektor Lain 0 0 0 0 0
Kebutuhan Gas
96,765 99.897 105,116 110,020 114,284
5 industri
(69.22) (89.19) (81.56) (82.91) (82.93)
% pemenuhan

Sumber: Kementerian ESDM, 2014 (diolah)

Banyaknya pengguna energi gas di dalam negeri membuat tidak


terpenuhinya pemenuhan kebutuhan gas pada sektor industri. Dari Tabel 5.2
terlihat, bahwa kebutuhan gas untuk industri selalu tidak terpenuhi. Pada 2012
misalnya, kebutuhan gas untuk industri hanya terpenuhi sebesar 82,93 persen.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 97


Relatif besarnya ekspor gas merupakan salah satu penyebab defisitnya
kebutuhan gas pada sektor industri.
5.5. Neraca Tenaga Kelistrikan
Energi listrik merupakan jenis energi turunan dari berbagai jenis energi
primer. Listrik sering disebut sebagai energi final, artinya jenis energi yang telah
siap dipakai oleh para pengguna. Listrik dihasilkan melalui proses transformasi
berbagai jenis energi (batubara, gas atau BBM) melalui pembangkit listrik.
Pada Tabel 5.3, menunjukkan bahwa energi listrik yang dihasilkan
melalui proses transformasi (pembangkit listrik) semakin besar. Pada 2008,
listrik yang dihasilkan pada pembangkitnya mencapai 91,6 juta BOE. Angka ini
kemudian meningkat hingga 2012 menjadi sebesar 120,9 juta BOE. Dari jumlah
listrik yang dihasilkan tersebut, tidak seluruhnya dipergunakan untuk konsumsi
pengguna akhir. Hal ini dikarenakan dalam prosesnya, terdapat energi listrik
yang digunakan untuk pembangkit itu sendiri dan ada pula energi yang tidak
dikonsumsi oleh siapapun atau energi yang terbuang (energy losses). Selain itu,
terdapat pula diskrepansi statistik yang menyebabkan angka pada konsumsi
energi final menjadi lebih kecil. Apabila semakin banyak energi listrik yang
terbuang, maka proses transformasi energi menjadi semakin tidak efisien. Hal
ini dapat dilihat dari perbandingan antara tingkat konsumsi energi final dengan
energi yang dihasilkan dari pembangkit (transformasi). Pada tahun 2018,
persentase untuk konsumsi energi di pengguna akhir mencapai 86,39 persen,
kemudian hanya meningkat sedikit pada 2012 menjadi sebesar 88,17 persen
(Tabel 5.3).
Namun di lain hal, persentase konsumsi energi listrik untuk industri
semakin menurun. Pada 2008, sektor industri mengkonsumsi 32,10 persen dari
total energi listrik yang dihasilkan oleh pembangkit. Namun pada 2012 sedikit
menurun hingga mencapai 30,50 persen. Hal ini disebabkan karena
pertumbuhan konsumsi listrik pada sektor rumah tangga dan komersial lebih
cepat dari pada pertumbuhan pada konsumsi listrik pada sektor industri.

98 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri


Tabel 5.3. Neraca Energi Listrik

No Uraian 2008 2009 2010 2011 2012


1 Primary Energy Supply 0 0 0 1,558 1,833
a. Produksi 0 0 0 0 0
b. Impor 0 0 0 1,558 1,833
c. Ekspor 0 0 0 0 0
d. Perubahan stok 0 0 0 0 0
Energy
2 91,605 96,117 104,079 111,243 120,962
Transformation
Energy loses and own
10,677 12,427 13,372 14,361 15,193
uses
3 Final Energy Supply 80,928 83,690 90,707 98,440 107,601
Final Energy
4 79,138 82,567 90,348 97,998 106,656
Consumption
% Final energy
86.39 85.90 86.81 88.09 88.17
consumption
a. Industri 29,405 28,323 31,254 33,547 36,888
% konsumsi industri 32.10 29.47 30.03 30.16 30.50
b. Transportasi 50 68 54 54 66
c. Rumah Tangga 30,763 33,682 36,673 39,914 44,217
d. Komersial 18,921 20,494 22,367 24,485 25,485
e. Sektor Lain 0 0 0 0 0

Sumber: Kementerian ESDM, 2014 (diolah)

5.6. Neraca Energi Bahan Bakar Minyak


Bahan Bakar Minyak juga bukan merupakan jenis energi primer. Bahan
bakar minyak (BBM) merupakan proses pengolahan (transformasi) dari minyak
bumi (minyak mentah). Produksi minyak mentah nasional apabila dapat diolah
menjadi BBM untuk industri, maka sebenarnya dapat memenuhi kebutuhan
sektor industri. Namun, kenyataannya selama ini untuk memenuhi
kebutuhannya, sektor industri menggunakan BBM impor. Hal ini dikarenakan
sekitar 36 persen produksi minyak mentah nasional dialokasikan untuk

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 99


keperluan ekspor (2012). Sehingga, hasil produksi dari pengilangan minyak
nasional tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan pengguna akhir. Penyebab
utama dari terbatasnya produksi BBM adalah karena Indonesia tidak memiliki
pengilangan minyak dengan kapasitas besar. Itulah mengapa produksi mintah
mentah lebih banyak diekspor agar dapat diolah di luar negeri.
Perkembangan produksi kilang minyak nasional menunjukkan
penurunan selama 2008-2012. Pada 2008, produksi kilang minyak mencapai
248,24 juta barel, namun terus menurun hingga 181,14 juta barel. Sementara
pada waktu yang bersamaan, kebutuhan BBM dalam negeri semakin meningkat.
Pada sektor industri, kebutuhan BBM pada 2008 mencapai 48,8 juta barel,
namun sedikit meningkat hingga mencapai 49,38 juta barel pada 2012.
Peningkatan konsumsi BBM yang signifikan terjadi pada sektor transportasi.
Tabel 5.4. Neraca Energi Bahan Bakar Minyak

No Uraian 2008 2009 2010 2011 2012


Primary Energy
1 141,141 151,618 163,249 200,795 212,841
Supply
a. Produksi 0 0 0 0 0
b. Impor 154,667 129,437 150,349 166,187 192,024
c. Ekspor 0 -2,045 -3,410 -2,750 -1,978
d. Perubahan stok -13,525 24,226 16,567 37,359 22,795
Energy
2 171,642 182,980 172,137 117,041 125,457
Transformation
Pengilangan Minyak 248,243 247,165 235,748 192,792 181,146
3 Final Energy Supply 312,190 333,962 335,014 317,244 338,298
Final Energy
4 312,190 333,962 335,014 317,244 338,298
Consumption
a. Industri 48,856 49,952 57,602 45,951 49,382
% konsumsi industri 15.65 14.96 17.19 14.48 14.60
b. Transportasi 191,083 226,454 227,203 230,588 250,055
c. Rumah Tangga 40,096 24,255 14,439 10,072 7,015
d. Komersial 7,312 6,990 7,027 5,817 5,772
e. Sektor Lain 24,843 26,311 28,743 24,816 26,073

Sumber: Kementerian ESDM, 2014 (diolah)

100 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Sebagai konsekuensi dari semakin meningkatnya kebutuhan BBM dalam
negeri serta menurunnya produksi dalam negeri, maka untuk saat ini Indonesia
untuk tidak punya pilihan lain kecuali mengandalkan BBM impor. Impor BBM
yang terjadi terus meningkat. Pada 2008, impor BBM mencapai 154,67 juta
barel, kemudian pada 2012 telah mencapai 192,02 juta barel.
Dari keempat jenis energi yang dibahas dalam bab ini, jenis energi BBM
merupakan jenis energi yang mengalami defisit paling besar. Defisit energi tidak
hanya disebabkan karena kurangnya (keterbatasan) produksi, melainkan juga
karena hasil produksi energi tersebut diperuntukkan untuk kepentingan ekspor,
sehingga untuk memenuhi kepentingan nasional harus dipenuhi dari impor.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 101
102 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 6

6.1. Kebutuhan Energi Sektor Industri Nasional

Sektor industri manufaktur (pengolahan) di Indonesia merupakan


pengguna energi terbesar yang mengkonsumsi sebesar 42,91 persen dari total
kebutuhan energi nasional. Sektor industri pengolahan memiliki populasi dalam
kategori sedang dan besar yang diperkirakan lebih dari 25.000 jenis industri.
Industri pengolahan sedang dan besar tersebut dikelompokkan ke dalam 23
klasifikasi International Standard Industry Classification 1990 (ISIC 1990).
Industri dengan populasi jumlah perusahaan terbanyak adalah berturut-turut
industri makanan dan minuman, industri tekstil, industri garmen, dan furnitur.
Populasi dari empat sektor industri ini secara bersama-sama bahkan sudah
mencapai 50 persen dari seluruh populasi industri.
Untuk mempermudah analisis, terkait dengan kajian ini, ke-23 klasifikasi
sektor industri tersebut diagregasi menjadi 9 kelompok besar, yaitu:
a. Industri Makanan, Minuman, dan Tembakau;
b. Industri Tekstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki;
c. Industri Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya;
d. Industri Kertas dan Barang Cetakan;
e. Industri Pupuk, Kimia, dan Barang dari Karet;
f. Industri Semen dan Barang Galian bukan Logam;
g. Industri Logam Dasar Besi dan Baja;
h. Industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya; dan
i. Industri Barang lainnya.
Analisis kebutuhan energi 9 (sembilan) jenis industri menggunakan
asumsi bahwa jenis energi yang disertakan dalam perhitungan adalah bahan
bakar minyak (bensin dan solar), batubara, gas, dan listrik. Pembatasan jenis
energi ini semata-mata didasarkan pada pertimbangan praktis mengenai
ketersediaan data yang ada. Data untuk jenis energi selain BBM, batubara, gas

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 103
dan listrik sejauh ini belum dapat diperoleh. Selain itu, jenis energi yang
dimaksud pada bagian ini hanya jenis energi yang digunakan untuk bahan bakar
dan bukan bahan baku, kecuali untuk industri pupuk yang menggunakan gas
bumi sebagai bahan baku utama.
Sumber pasokan energi yang diperoleh industri berasal dari pasar yang
dibentuk oleh beberapa produsen pemasok energi. Pasar energi batubara
dibentuk oleh beberapa produsen besar dan banyak pemasok yang lebih kecil,
energi gas juga bervariasi karena ada yang disuplai oleh perusahaan niaga gas,
namun ada pula industri yang langsung membeli dari produsen di hulu migas.
Energi listrik berasal dari perusahaan listrik negara sebagai perusahaan negara
yang melakukan monopoli penyaluran energi listrik. Terakhir adalah BBM, yang
sebelum tahun 2001 dipasok hanya oleh BUMN PT Pertamina. Tapi sejak tahun
2006 sudah mulai bertambah banyak pemasok energi BBM perusahaan swasta
dikarenakan kebijakan pemerintah yang memberlakukan harga internasional
bagi BBM industri sejak tahun 2006 yang lalu.
Masing-masing jenis energi memiliki satuan energi yang berbeda-beda,
yang tidak bisa dijumlahkan begitu saja, seperti kWh untuk listrik, ton untuk
batubara, MMSCFD atau mmbtu untuk gas bumi, liter atau barel untuk BBM.
Untuk dapat membandingkan antara satu jenis energi dengan jenis energi yang
lain dan untuk dapat menjumlahkan kebutuhan energi industri, perlu dilakukan
penyamaan satuan. Untuk itu satuan energi dari berbagai jenis energi dikonversi
ke dalam satuan energi listrik yaitu Barrel Oil Eqiuvalent (BOE) atau Setara Barel
Minyak (SBM).
Proyeksi kebutuhan energi dilakukan dengan cara memproyeksikan
kebutuhan energi dalam satuan SBM. Setelah diproyeksi hingga tahun 2035,
maka total energi dalam satuan SBM tersebut dapat didistribusikan menjadi
menjadi beberapa jenis energi yang masuk dalam lingkup perhitungan proyeksi.
Pada hasil proyeksi tersebut telah terjadi perubahan proporsi penggunaan
energi (change in the energy mix) karena model yang digunakan dalam analisis
proyeksi telah memperhitungkan berbagai asumsi. Asumsi tersebut yaitu nilai
proyeksi penggunaan energi di masa yang akan datang dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pengaruh terhadap variabel energi lainnya, pengaruh
terhadap variabel eksogen yang dalam hal ini adalah asumsi pertumbuhan
industri, serta pengaruh dari penggunaan energi di masa lalu.

104 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Masing-masing jenis energi memiliki kandungan setara barel minyak
(SBM) yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, SBM dari setiap jenis energi
disumsikan seperti pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Nilai SBM dari Masing-masing Jenis Energi

No Jenis Energi SBM


1 Batubara (Ton) 4,2
2 Gas (MMBTU) 0,18
3 Listrik (MwH) 0,61
4 BBM 1
Sumber: Kementerian ESDM, 2014

Setiap jenis industri memiliki komposisi jenis energi yang berbeda-beda.


Namun untuk pembahasan ini masing-masing jenis energi tersebut telah
dikonversi ke dalam bentuk SBM dan dijumlahkan menjadi total penggunaan
energi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.2. Secara umum, kebutuhan energi
dari 9 (sembilan) jenis industri memiliki kecenderungan yang meningkat.
Dalam kajian ini, jenis energi yang masuk dalam lingkup analisis antara
lain batubara, gas, listrik dan BBM. Hal ini dilakukan karena beberpa alasan
seperti keterbatasan informasi dan data yang diperoleh untuk jenis energi selain
batubara, gas, listrik dan BBM. Namun, keempat jenis energi tersebut dirasa
telah mewakili sebagian besar konsumsi energi pada sektor industri.
Sepanjang tahun 2000 hingga 2012, penggunaan energi terbesar dalam
sektor industri adalah pada batubara, gas dan listrik. Porsi penggunaan batubara
dan gas masing-masing hampir mencapai 25 persen. Sementara penggunaan
listrik rata-rata mencapai 15 persen. Di lain hal, porsi penggunaan BBM semakin
menurun seiring dengan meningkatnya penggunaan jenis energi lain selain
BBM.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 105
Tabel 6.2. Konsumsi Energi di Sektor Industri
(Setara Barel Minyak/SBM)

Tahun BatuBara Gas Listrik BBM


2000 36,060.0 86,826.0 20,850 74,979.0
2001 37,021.0 81,861.0 21,819 78,033.0
2002 38,698.0 80,508.0 22,578 75,690.0
2003 68,264.0 89,912.0 22,373 68,493.0
2004 55,344.0 85,076.0 24,719 74,718.0
2005 65,744.0 86,277.0 26,021 64,239.0
2006 89,043.0 82,845.0 26,736 57,203.0
2007 121,904.0 79,723.0 28,077 52,418.0
2008 94,035.0 101,668.0 29,405 50,691.0
2009 82,587.0 117,535.0 28,523 51,931.0
2010 136,733.0 114,111.0 31,354 57,602.0
2011 144,502.0 119,649.0 34,347 45,951.0
2012 123,024.0 123,161.0 39,050 49,382.0
Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

Selama 2000-2012 kebutuhan energi yang paling besar terdapat pada


industri semen dan barang galian bukan logam, industri pupuk, kimia, dan
barang dari karet, industri logam dasar besi dan baja serta industri makanan,
minuman, dan tembakau. Industri makanan, minuman dan tembakau
mengkonsumsi energi yang cukup besar karena industri ini memiliki populasi
terbesar dan variasi yang relatif banyak di antara 9 industri pengolahan di
Indonesia. Selain industri makanan, minuman dan tembakau, tekstil dan alas
kaki serta inudstri alat angkutan dan peralatannya juga cukup banyak
mengkonsumsi energi.
Di lain hal, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya (kecuali
furniture) merupakan industri yang memiliki tingkat konsumsi energi paling
sedikit diantara industri lainnya, yakni mencapai 12.125 ribu SBM pada 2012.
Hal ini dapat dipahami karena industri ini lebih banyak menggunakan energi
alternatif seperti biomassa, yang data konsumsinya tidak tercatat dengan baik.
Dari penjelasan mengenai total kebutuhan energi pada sektor industri,
jika didistribusikan ke dalam masing-masing jenis energi maka akan terlihat
seperti pada Tabel 6.3. Pada tahun 2012 batubara paling banyak digunakan
oleh industri semen dan barang galian bukan logam (36.671,87 ribu SBM). Untuk

106 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
jenis energi gas paling banyak digunakan oleh industri pupuk, kimia dan barang
dari karet (40.044,88 ribu SBM). Sementara itu, tenaga listrik paling banyak
digunakan oleh industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (7.348,63 ribu
SBM).
Berdasarkan data 2012, industri yang paling banyak mengkonsumsi energi
adalah industri semen dan barang galian bukan logam. Industri ini
mengkonsumsi energi sebesar 64,58 juta SBM atau 19,3 persen dari total energi
yang digunakan oleh sektor industri. Selain itu, diperingkat kedua terdapat
industri pupuk, kimia dan barang dari karet yang mengkonsumsi energi sebesar
59,79 juta SBM atau 17,9 persen dari total energi yang digunakan oleh sektor
industri. Penggunaan energi terbanyak selanjutnya terdapat pada industri logam
dasar besi dan baja. Penggunaan energi pada industri ini mencapai 49,17 juta
SBM atau 14,7 persen dari total energi yang digunakan oleh sektor industri.
Selanjutnya, industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau
dikarenakan banyaknya populasi pada kelompok industri ini, menyebabkan
energi yang dikonsuminya pun tergolong besar, yakni mencapai 49,71 juta SBM
atau 14,9 persen dari total energi yang digunakan oleh sektor industri. Hal
serupa juga dialami oleh industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Selain
padatnya konsumsi energi pada kelompok industri ini, banyaknya jumlah
populasi industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki juga turut menyebabkan
besarnya konsumsi energi yang mencapai 41,22 juta SBM atau sekitar 12,3
persen dari total energi yang digunakan oleh sektor industri.
Beberapa kelompok industri yang telah disebutkan tersebut merupakan
golongan industri yang lahap mengkonsumsi energi. Total energi yang
dikonsumsi kelima kelompok industri tersebut mencapai 79 persen dari total
energi yang dikonsumsi oleh sektor industri. Hal ini telah dikonfirmasi oleh
kajian terdahulu yang dilakukan oleh Biro Perencanaan Kementerian
Perindustrian dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
pada 2012 yang berjudul “Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri dalam
Rangka Akselerasi Industrialisasi”.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 107
Tabel 6.3. Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9 (sembilan)
Subsektor Industri Tahun 2012 (Ribu Setara Barel Minyak/SBM)

No Jenis Industri Batubara Gas Listrik BBM Total


Industri
Makanan,
1 15,012.12 17,673.48 7,243.28 9,777.14 49,706.03
Minuman, dan
Tembakau
Industri Tekstil,
Barang dari
2 14,343.99 14,640.55 6,686.30 5,559.08 41,229.92
Kulit, dan Alas
Kaki
Industri Barang
3 Kayu & Hasil 3,490.86 4,228.99 1,487.43 2,993.77 12,201.05
Hutan Lainnya
Industri Kertas
4 dan Barang 4,833.91 5,133.94 2,905.54 2,629.15 15,502.54
Cetakan
Industri Pupuk,
Kimia, &
5 10,126.61 40,044.88 3,995.04 5,621.48 59,788.01
Barang dari
Karet
Industri Semen
& Barang
6 36,671.87 19,249.43 4,804.55 3,852.99 64,578.84
Galian bukan
Logam
Industri Logam
7 Dasar Besi & 24,805.36 9,792.16 6,086.41 8,487.92 49,171.85
Baja
Industri Alat
Angkutan,
8 11,430.12 10,507.78 4,520.82 8,598.61 35,057.33
Mesin &
Peralatannya
Industri Barang
9 2,309.15 1,889.79 1,120.62 1,861.87 7,181.43
lainnya

10 Total 123,024.00 123,161.00 38,850.00 49,382.00 334,417.00

Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

108 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Lebih lanjut, persentase komposisi kebutuhan dari masing-masing jenis
energi khususunya pada tahun 2012 ditunjukkan pada Tabel 6.4. Industri
makanan, minuman dan tembakau lebih banyak menggunakan energi yang
berasal dari gas yakni sebesar 35,56 persen. Kemudian yang berasal dari
batubara dan listrik masing-masing sebesar 30,43 persen dan 13,94 persen.
Jenis gas yang paling banyak digunakan oleh industri ini adalah gas LPG.
Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, lebih banyak
menggunakan energi gas yaitu sebesar 35,51 persen. Penggunaan batubara
pada industri ini mencapai 34,79 persen. Selain itu, industri ini juga banyak
menggunakan energi listrik sebesar 16,22. persen, kemudian diikuti oleh
penggunaan energi yang bersumber dari bahan bakar minyak (BBM) sebesar
13,49 persen.
Industri barang kayu, hasil hutan (kecuali furniture) didominasi oleh
penggunaan pada energi gas dan BBM. Porsi penggunaan gas dan BBM masing-
masing 34,66 persen dan 24,54 persen. Sementara penggunaan batubara dan
listrik masing-masing sebesar 28,61 persen dan 12,19 persen. Di lain hal, industri
kertas dan barang cetakan selain banyak menggunakan energi gas, juga banyak
menggunakan batubara dan listrik yang masing-masing sebesar 31,18 persen
dan 18,74 persen.
Penggunaan gas terbanyak terdapat pada industri pupuk, kimia dan
barang dari karet. Pemakaian energi gas pada kelompok industri ini mencapai
66,98 persen. Selain digunakan sebagai bahan bakar, gas juga banyak digunakan
sebagai bahan baku pada industri pupuk. Proses produksi pupuk sangat
bergantung pada gas, dimana porsi penggunaan gas pada bahan baku industri
pupuk mencapai lebih dari 90 persen (INDEF, 2012).
Di lain hal, penggunaan batubara paling banyak digunakan pada industri
semen dan barang galian bukan logam. Batubara sangat dibutuhkan oleh proses
pembakaran pada produksi semen. Porsi penggunaan batubara pada kelompok
industri mencapai 56,79 persen. Selain batubara, gas yang digunakan pada
kelompok industri ini juga tergolong banyak, yakni mencapai 29,81 persen.
Kemudian diikuti oleh penggunaan energi listrik dan BBM yang masing-masing
mencapai 7,44 persen dan 5,97 persen.
Identik dengan kelompok industri semen dan barang galian bukan
logam, industri logam dasar besi dan baja juga paling banyak memanfaatkan
batubara sebagai sumber energi utama dengan porsi sebesar 50,45 persen.
Kemudian diikuti oleh penggunaan gas, BBM, dan listrik. Gas yang digunakan

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 109
pada kelompok industri ini mencapai 19,91 persen. Sedangkan porsi
penggunaan BBM dan listrik mencapai 17,26 persen dan 12,38 persen.
Tabel 6.4. Distribusi Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9
(sembilan) Subsektor Industri Tahun 2012 (Persen)

No Jenis Industri Batubara Gas Listrik BBM Total


Industri Makanan,
1 Minuman, & 30.20 35.56 14.57 19.67 100.00
Tembakau
Industri Tekstil, Barang
2 34.79 35.51 16.22 13.48 100.00
dari Kulit, dan Alas Kaki
Industri Barang Kayu &
3 28.61 34.66 12.19 24.54 100.00
Hasil Hutan Lainnya
Industri Kertas dan
4 31.18 33.12 18.74 16.96 100.00
Barang Cetakan
Industri Pupuk, Kimia,
5 16.94 66.98 6.68 9.40 100.00
& Barang dari Karet
Industri Semen &
6 Barang Galian bukan 56.79 29.81 7.44 5.97 100.00
Logam
Industri Logam Dasar
7 50.45 19.91 12.38 17.26 100.00
Besi & Baja
Industri Alat Angkutan,
8 32.60 29.97 12.90 24.53 100.00
Mesin & Peralatannya
9 Industri Barang lainnya 32.15 26.31 15.60 25.93 100.00

Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

Sama halnya industri logam dasar besi dan baja, untuk industri alat
angkutan, mesin beserta peralatannya juga paling banyak mengandalkan
batubara dan gas sebagai sumber energi utama. Porsi penggunaan batubara dan
gas pada industri masing-masing sebesar 32,60 persen dan 29,97 persen.
Sementara itu, BBM juga diandalkan sebagai sumber energi dengan porsi
sebesar 24,53 persen. Selanjutnya energi listrik yang digunakan mencapai 12,90
persen. Penggunaan batubara dan gas pada kelompok industri ini lebih
digunakan sebagai bahan pembangkit energi listrik.

110 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Industri barang lainnya (yang tidak diklasifikasikan ke kelompok industri
sebelumnya) juga memanfaatkan batubara dan gas sebagai bahan baku
pembangkit listrik. Porsi penggunaan batubara dan gas yang digunakan
mencapai 32,15 persen dan 26,31 persen. Penggunaan BBM juga relatif besar
pada kelompok industri lainnya, terlihat dari porsi penggunaan BBM yang
mencapai 25,93 persen.
6.2. Proyeksi Kebutuhan Energi Masing-Masing Subsektor Industri di
Indonesia
Proyeksi kebutuhan energi untuk masing-masing industri
mengasumsikan bahwa kebutuhan energi untuk masing-masing industri
mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang dipengaruhi oeh
berbagai hal. Asumsi pertumbuhan konsumsi energi pada sektor industri
dipengaruhi oleh pertumbuhan konsumsi energi itu sendiri dan jenis energi
lainnya. Selain itu juga dipengaruhi oleh pertumbuhan industri manufaktur yang
tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan tren
masing-masing jenis energi. Masing-masing industri mengalami pertumbuhan
yang berbeda-beda namun dengan kecenderungan meningkat. Masing-masing
pertumbuhan industri secara lengkap di tampilkan pada Tabel 6.5.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa total kebutuhan energi untuk sektor
industri pada 2035 sebesar 1,093 miliar SBM. Namun meskipun jumlah energi
tersebut dinyatakan dalam satuan intensitas setara barel minyak, tidak semua
energi tersebut berupa energi minyak. Masing-masing industri tersebut
menggunakan sumber energi primer seperti batubara, gas dan listrik. Pada
beberapa industri bahkan ada yang menggunakan energi non fosil sebagai
bahan bakar utamanya, seperti industri kertas dan barang kertas yang banyak
menggunakan energi biomassa.
Konsumsi energi dari tahun 2015 hingga 2035 akan meningkat sebesar
166,8 persen. Pada 2015, total konsumsi energi di sektor industri mencapai
409,85 juta SBM, sedangkan pada 2035 penggunaan energi di sektor industri
telah mencapai 1,093 miliar SBM. Pada kajian ini, jenis energi yang menjadi
cakupan analisis terdiri dari batubara, gas, listrik dan BBM. Dari 4 jenis energi
yang diproyeksi hingga 2035, konsumsi jenis energi gas mengalami
pertumbuhan paling besar selain batubara. Sementara penggunaan BBM akan
semakin menurun hingga 2035. Total penggunaan batubara pada 2035
mencapai 385,59 juta SBM, sementara total penggunaan gas dan listrik mang-

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 111
masing mencapai 426,56 juta SBM dan 258,23 juta SBM. Di lain hal penggunaan
BBM terus menurun hingga mencapai 23,01 juta barel di tahun 2035.
Tabel 6.5. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri (Ribu SBM)

Tahun Batubara Gas Listrik BBM Total

2012 123,024.0 123,161.0 38,850.0 49,382.0 334,417.0

2013 121,044.0 127,970.9 41,414.0 53,763.6 344,192.6

2014 147,417.4 130,248.3 42,104.4 55,235.8 375,005.8

2015 172,890.3 134,062.6 44,482.8 58,422.2 409,857.8

2020 199,402.5 171,746.2 65,713.5 43,146.0 480,008.1

2025 236,800.9 220,901.6 101,317.2 37,045.5 596,065.1

2030 297,698.8 299,202.3 159,967.6 30,028.0 786,896.7

2035 385,599.3 426,565.6 258,230.5 23,010.5 1,093,405.9

Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

Bauran energi untuk sektor industri pada tahun 2035 diprediksi akan
mendekati bentuk seperti Gambar 6.1. Penggunaan BBM di sektor Industri
secara keseluruhan hanya tinggal 2 persen. Di sisi lain penggunaan gas (gas alam
dan LPG) akan mencapai 39 persen. Sementara penggunaan batubara dan listrik
masing-masing akan mencapai 35 persen dan 24 persen. Bentuk bauran energi
ini hanya mengasumsikan terhadap 4 jenis sumber energi. Penggunaan lainnya
seperti jenis-jenis Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak masuk dalam analisis
peramalan dalam kajian ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan data untuk
menganalisis jenis-jenis EBT.

112 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Sumber: Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

Gambar 6.1. Industry Energy Mix 2035


Proyeksi total kebutuhan energi pada sektor industri selanjutnya
didistribusikan ke dalam satuan unit masing-masing jenis energi (satuan asli).
Distribusi ke dalam satuan asli masing-masing jenis energi ditunjukkan pada
Tabel 6.6. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa penggunaan batubara pada tahun
2035 mencapai 91,8 juta ton, atau meningkat sebesar 123 persen dari tahun
2015 yang masih mencapai 41,16 juta ton.
Di lain hal, penggunaan gas pada 2015 diprediksi mencapai 738.685,6
MMBTU. Penggunaan ini akan terus meningkat hingga pada 2035 yang
diprediksi dapat mencapai 2.350.379,1 MMBTU atau meningkat 218,2 persen
dari tahun 2015. Selanjutnya, penggunaan listrik pada 2015 diperkirakan akan
mencapai 73.040 GWH. Jumlah ini terus meningkat hingga 426.122,9 GWH pada
2035, atau tumbuh sebesar 480,5 persen dari tahun 2015. Diantara 4 jenis
energi yang dilakukan peramalan (proyeksi), energi listrik merupakan energi
yang mengalami pertumbuhan paling besar selama periode tahun 2015-2035.
Berbeda dengan ketiga jenis energi yang disebutkan sebelumnya,
penggunaan energi BBM terus mengalami penurunan hingga 2035. Pada 2015,
BBM yang dikonsumsi energi diperkirakan mencapai 58,42 juita barel. Namun
jumlah ini terus menurun hingga mencapai 23,01 juta barel di 2035, atau turun
sebesar 60,6 persen selama 2015-2035.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 113
Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri
(Unit Energi)
Batubara Gas Listrik BBM
Tahun
(Ribu Ton) (MMBTU) (GWH) (Barel)
2012 29,291.4 678,617.9 64,108.9 49,382.0

2013 28,820.0 705,120.6 68,339.9 53,763.6

2014 35,099.4 717,668.8 69,479.1 55,235.8

2015 41,164.3 738,685.6 73,404.0 58,422.2

2020 47,476.8 946,322.3 108,438.0 43,146.0

2025 56,381.2 1,217,169.1 167,190.0 37,045.5

2030 70,880.7 1,648,606.7 263,973.0 30,028.0

2035 91,809.4 2,350,379.1 426,122.9 23,010.5

Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, diolah (2014)

Lebih lanjut, proyeksi total kebutuhan energi pada masing-masing


kelompok industri ditunjukkan dalam Tabel 6.7. Dari hasil proyeksi kebutuhan
energi pada 9 (sembilan) kelompok Industri, menunjukkan bahwa akan terjadi
pergeseran struktur konsumsi energi pada sektor industri. Pada 2012 konsumen
terbesar energi adalah terdapat pada industri semen dan barang galian bukan
logam (Tabel 6.3). Sedangkan pada tahun 2035 kelompok industri logam dasar
besi dan baja akan menjadi konsumen terbesar diantara seluruh kelompok
industri. Jumlah energi yang dikonsumsi pada kelompok industri logam dasar
besi dan baja akan mencapai 204,85 juta SBM atau sekitar 18,7 persen dari total
konsumsi energi pada sektor industri.
Industri pupuk, kimia, dan barang dari karet akan menempati urutan
kedua dalam kosumen energi terbanyak diantara seluruh kelompok industri.
Total energi yang akan dikonsumsi oleh kelompok industri pupuk kimia dan
barang dari karet akan mencapai 172,15 juta SBM atau sebesar 15,7 persen dari
total energi yang digunakan pada sektor industri.
Kelompok industri semen dan barang galian bukan logam, pada 2035
diperkirakan akan turun ke peringkat ketiga dalam urutan konsumsi energi
terbanyak di sektor industri. Total energi yang dikonsumsi oleh kelompok

114 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
industri ini diperkirakan akan mencapai 164,90 juta SBM di tahun 2035, atau
meningkat sebesar 155,35 persen selama periode 2012-2035.
Industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau juga menjadi
kelompok industri yang membutuhkan banyak energi, mengingat industri ini
merupakan kelompok industri yang paling banyak memiliki populasi dan ragam
jenis. Pada 2015 industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau
diperkirakan akan mengkonsumsi energi sebesar 58,69 juta SBM. Kemudian
pada 2035 akan meningkat sebesar 176,1 persen menjadi 162,04 juta SBM
(Tabel 6.7).
Industri tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki juga merupakan industri
yang tergolong lahap energi. Hal ini ditunjukkan dari besarnya konsumsi energi
pada kelompok industri tersebut. Pada 2015, konsumsi energi industri ini
mencapai 62,07 juta SBM, kemudian meningkat 177,1 persen di tahun 2035
menjadi 164,86 juta SBM.
Di sisi lain, kelompok industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya,
industri kertas dan barang cetakan, industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya serta industri lainnya relatif lebih kecil dalam mengkonsumsi
energi jika dibandingkan dengan kelima kelompok industri yang disebutkan
sebelumnya. Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya pada tahun 2035
diperkirakan akan mengkonsumsi energi sebesar 45,82 juta SBM. Industri kertas
dan barang cetakan pada 2035 diperkirakan akan membutuhkan energi sebesar
63,53 juta SBM. Sementara untuk kelompok industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya pada 2035 diprediksi akan membutuhkan energi sebesar 107,65
juta SBM. Serta industri barang lainnya sebesar 25,59 juta SBM.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 115
Tabel 6.7. Proyeksi Kebutuhan Energi Pada 9 Subsektor Industri (Ribu SBM)
N Kelompok
2015 2020 2025 2030 2035
o Industri
Industri
Makanan,
1 Minuman, 58,689.29 68,734.40 85,353.09 112,679.09 162,036.47
dan
Tembakau
Industri
Tekstil,
2 Barang dari 52,999.48 62,070.74 77,078.29 101,755.09 146,857.39
Kulit, dan
Alas Kaki
Industri
Barang Kayu
3 & Hasil 16,766.56 19,636.28 24,383.97 32,190.55 45,822.71
Hutan
Lainnya
Industri
Kertas dan
4 23,404.69 27,410.58 34,037.95 44,935.27 63,531.71
Barang
Cetakan
Industri
Pupuk,
5 Kimia, & 64,119.44 75,093.97 93,250.29 123,104.59 172,149.25
Barang dari
Karet
Industri
Semen &
6 Barang 68,371.81 80,074.16 99,434.60 131,268.82 164,905.69
Galian bukan
Logam
Industri
7 Logam Dasar 70,640.22 82,730.82 102,733.59 135,624.00 204,852.86
Besi & Baja
Industri Alat
Angkutan,
8 44,452.12 52,060.43 64,647.67 85,344.77 107,653.91
Mesin &
Peralatannya
Industri
9 Barang 10,414.22 12,196.70 15,145.63 19,994.54 25,595.93
lainnya

TOTAL 409,857.84 480,008.06 596,065.08 786,896.73 1,093,405.92

Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

116 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Lebih lanjut, apabila proyeksi dilakukan terhadap masing-masing
kelompok industri dan masing-masing jenis energi, maka akan terlihat dalam
Tabel 6.8. masing-masing penggunaan energi pada setiap kelompok industri di
tahun 2035. Total penggunaan batubara pada 2035 akan mencapai 91,81 juta
ton. Dimana penggunaan terbesar terdapat pada kelompok industri semen dan
barang galian bukan logam serta industri logam dasar besi dan baja.
Di lain hal, total penggunaan gas untuk industri di 2035 akan mencapai
2.350.379,1 MMBTU. Dimana penggunaan gas terbesar terdapat dalam
kelompok industri pupuk, kimia dan barang dari karet yang mencapai 52,7
persen dari total penggunaan gas untuk industri. Selain untuk kelompok
tersebut, industri semen dan barang galian bukan logam serta industri makanan,
minuman, dan pengolahan tembakau juga banyak menggunakan gas, dimana
porsi penggunaannya di tahun 2035 mencapai masing-masing 9,0 persen dan
8,4 persen.
Tabel 6.8. Proyeksi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9 Subsektor
Industri Pada Tahun 2035
Batubara Gas Listrik BBM
No Industri
(Ribu Ton) (MMBTU) (GWH) (Barel)
Industri Makanan,
1 Minuman, dan 6,579.0 198,254.3 39,325.4 4,555.9
Tembakau
Industri Tekstil, Barang
2 8,531.3 168,962.5 73,338.1 2,590.4
dari Kulit, dan Alas Kaki
Industri Barang Kayu &
3 4,935.2 80,705.1 66,663.6 1,395.0
Hasil Hutan Lainnya
Industri Kertas dan
4 8,966.7 97,975.1 31,869.2 1,225.1
Barang Cetakan
Industri Pupuk, Kimia,
5 7,557.2 1,239,993.8 43,819.3 2,619.4
& Barang dari Karet
Industri Semen &
6 Barang Galian bukan 33,969.5 211,535.6 52,698.3 1,795.4
Logam
Industri Logam Dasar
7 13,771.6 186,871.5 79,542.0 3,955.1
Besi & Baja
Industri Alat Angkutan,
8 5,775.7 130,017.0 26,527.4 4,006.7
Mesin & Peralatannya
9 Industri Barang lainnya 1,723.3 36,064.4 12,414.4 867.6
Total 91,809.4 2,350,379.1 426,122.6 23,010.6

Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 117
Sementara itu, penggunaan listrik untuk industri pada 2035 akan
mencapai 426.122,6 GWH. Dimana penggunaan terbesar terdapat pada industri
logam dasar besi dan baja yang porsinya mencapai 18,6 persen (79.542 GWH).
Selain itu, industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki juga menjadi konsumen
listrik terbesar dengan porsi penggunaan mencapai 17,2 persen atau sebesar
73.338,1 GWH. Selanjutnya diikuti dengan kelompok industri barang kayu dan
hasil hutan lainnya yang menggunakan listrik sebesar 66.663,6 GWH atau
sebesar 15,6 persen dari total penggunaan listrik untuk industri.
Penggunaan BBM industri pada tahun 2035 yang akan datang,
diperkirakan akan menyusut hingga sekitar 60 persen. Total BBM yang masih
digunakan oleh industri pada tahun 2035 diperkirakan sebesar 23.010,6 barel.
Penggunaan BBM terbesar terdapat pada kelompok industri makanan,
minuman, dan pengolahan tembakau, industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya serta industri logam dasar besi dan baja.

6.3. Proyeksi Penggunaan Energi Sektor Industri Di Tingkat Provinsi


Kajian Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam
Rangka Pembangunan Industri juga mencoba meproyeksikan tingkat kebutuhan
energi sektor industri di setiap provinsi. Hasil proyeksi kebutuhan energi sektor
industri pada level provinsi ditunjukkan pada Tabel 6.9. analisis proyeksi
tersebut diasumsikan bahwa ditargetkan terjadi perubahan kontribusi output
sektor industri pada setiap provinsi. Provinsi-provinsi yang terdapat di luar Pulau
Jawa ditargetkan akan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap
pembentukan output industri nasional. Sementara kontribusi yang diberikan
oleh provinsi yang terdapat di Pulau Jawa akan semakin mengecil. Secara
umum, target kontribusi output industri antara Jawa dan luar Jawa pada 2035
masing-masing adalah sebesar 60 persen untuk Jawa dan 40 persen untuk luar
Jawa.
Dengan demikian, karena diasumsikan terjadi percepatan pertumbuhan
industri di luar Jawa, maka hal ini akan berimplikasi terhadap kebutuhan
energinya. Dari Tabel 6.9 terlihat bahwa kebutuhan energi sektor industri yang
berada di luar pulau Jawa meningkat lebih cepat daripada sektor industri yang
berada di pulau Jawa. Provinsi Sumatera Utara dan Riau merupakan wilayah luar
Jawa yang menjadi konsumen energi sektor industri yang terbesar. Keduanya
mencapai masing-masing 93,4 juta SBM dan 87,8 juta SBM.

118 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 6.9. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Industri Pada Setiap Provinsi
(Ribu SBM)
No Provinsi 2015 2020 2025 2030 2035
1 Aceh 819.7 1,008.0 1,251.7 1,721.7 2,514.8
2 Sumatera Utara 23,730.8 30,624.5 45,658.6 63,357.8 93,486.2
3 Sumatera Barat 3,729.7 4,464.1 5,662.6 7,510.1 10,496.7
4 Riau 24,755.4 31,200.5 43,632.0 60,059.1 87,800.5
5 Kep. Riau 13,238.4 16,800.3 23,008.1 33,455.7 51,936.8
6 Jambi 2,254.2 2,688.0 3,338.0 4,545.1 6,560.4
7 Sumatera Selatan 8,402.1 10,464.2 14,007.5 19,323.0 28,319.2
8 Bangka Belitung 2,049.3 2,400.0 3,039.9 4,082.4 5,795.1
9 Bengkulu 327.9 384.0 476.9 629.5 874.7
10 Lampung 7,172.5 8,880.1 12,517.4 17,321.2 25,476.4
11 DKI Jakarta 49,797.7 53,040.9 59,904.5 73,751.1 93,048.8
12 Jawa Barat 94,103.4 109,345.8 128,809.7 161,357.9 208,840.5
13 Banten 29,181.9 31,872.5 35,823.5 44,765.0 57,731.8
14 Jawa Tengah 39,182.4 47,760.8 59,010.4 78,595.2 110,434.0
15 DI Yogyakarta 2,418.2 2,928.0 3,695.6 4,982.6 7,107.1
16 Jawa Timur 81,520.7 91,537.5 106,755.3 135,566.6 178,881.2
17 Bali 2,254.2 2,664.0 3,338.0 4,564.0 6,560.4
18 Kalimantan Barat 3,811.7 5,232.1 7,689.2 11,224.3 17,494.5
19 Kalimantan Tengah 1,065.6 1,296.0 1,788.2 2,706.9 4,373.6
20 Kalimantan Selatan 2,008.3 2,592.0 3,755.2 6,065.4 10,387.4
21 Kalimantan Timur* 6,598.7 8,112.1 11,206.0 16,836.4 27,007.1
22 Sulawesi Utara 1,045.1 1,440.0 2,086.2 3,412.0 5,904.4
23 Gorontalo 163.9 192.0 238.4 314.8 437.4
24 Sulawesi Tengah 1,045.1 1,392.0 2,086.2 4,104.5 8,091.2
25 Sulawesi Selatan 6,188.9 8,016.1 11,802.1 17,900.3 28,975.3
26 Sulawesi Barat 307.4 384.0 536.5 742.8 1,093.4
27 Sulawesi Tenggara 676.3 864.0 1,192.1 2,023.9 3,608.2
Nusa Tenggara
28 570.3 720.0 894.1 1,215.0 1,749.4
Barat
Nusa Tenggara
29 160.4 168.0 178.8 236.1 328.0
Timur
30 Maluku 159.8 182.4 238.4 332.1 492.0
31 Maluku Utara 250.0 297.6 417.2 637.4 1,038.7
32 Papua 409.9 504.0 834.5 1,378.6 2,405.5
33 Papua Barat 450.8 552.0 1,192.1 2,197.0 4,154.9
Total 409,850.8 480,008.1 596,065.1 786,915.6 1,093,405.9

Sumber: Kementerian ESDM dan Kemenperin, 2014 (diolah)


*Termasuk Kalimantan Utara
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 119
Lebih lanjut, pada tahun 2035 kebutuhan energi terbesar tetap berada
di Jawa Barat dengan total sebesar 208,840 ribu SBM. Diurutan kedua ditempati
oleh provinsi Jawa Timur dengan total kebutuhan energi sebesar 178,881 ribu
SBM. Selanjutnya diiukuti oleh Jawa Tengah dengan total kebutuhan sebesar
110,434. Ribu SBM. Pada tahun 2035, total kebutuhan energi untuk ketiga
provinsi tersebut mencapai 45,56 persen dari total kebutuhan energi industri
nasional.

120 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 7

7.1. Kendala Umum Pemenuhan Kebutuhan Energi Pada Sektor Industri


Secara umum, sektor industri masih banyak yang merasa kesulitan
untuk mendapatkan energi yang murah, efisien atau ramah lingkungan. Hal ini
dikarenakan pasokan energi yang ada harus diperoleh dengan biaya yang relatif
tinggi, serta untuk mendapatkannya pun masih relatif sulit. Jika industri
menggunakan sumber energi yang murah misalnya batubara, maka
konsekuensinya adalah tantangan untuk menghadapi masalah keamanan dan
pelestarian lingkungan yang tertuang dalam peraturan-peraturan tentang
lingkungan hidup (Undang-Undang Lingkungan Hidup).
Secara umum kendala-kendala aktual yang dihadapi oleh sektor industri
dalam aksesibilitasnya terhadap kebutuhan energi antara lain sebagai berikut:
i. Sektor industri sangat bergantung pada sumber daya energi, namun
sumber daya energi belum termanfaatkan secara optimal;
ii. Infrastruktur energi untuk melancarkan distribusi energi ke pusat-pusat
kegiatan industri terbilang masih minim;
iii. Sekitar 47,8 persen dari total produksi gas nasional dialokasikan
pemerintah untuk kebutuhan ekspor dan sebagian besar (79 persen)
produksi batubara diekspor ke luar negeri (2012), sehingga
pemanfaatan batubara untuk kebutuhan domestik masih rendah;
iv. Salah satu penyebab mengapa hasil produksi energi primer banyak
diekspor adalah karena keterbatasan infrastruktur dalam hal distribusi
di dalam negeri;
v. Pasokan energi dengan biaya murah, efisien, dan ramah lingkungan
masih sangat sulit diperoleh;
vi. Dalam hal diversifikasi energi terutama dalam menghasilkan Energi Baru
Terbarukan (EBT) masih sulit dilakukan karena selain biaya (investasi)

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 121
yang dikeluarkan jauh lebih mahal, infrastruktur yang dibutuhkan juga
masih belum memadai.;
vii. Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dengan lokasi
industri, misalnya sumber gas bumi yang melimpah tersebar di Papua,
Kalimantan, Sumatera, dan namun lokasi industri terpusat di pulau
Jawa. Demikian pula energi batubara yang melimpah di Sumatera dan
Kalimantan, sementara konsumennya sebagian besar terpusat di pulau
Jawa;
viii. Pemanfaatan energi terbarukan masih relatif rendah yang disebabkan
tingginya biaya investasi, regulasi, insentif dari pemerintah serta harga
jual yang tinggi.
Lebih lanjut, kajian ini juga melakukan kegiatan survey dan FGD di
beberapa daerah untuk memperoleh data primer. Berdasarkan hasil survey dan
FGD ke Jawa Timur dan Jawa Barat, yang merupakan salah satu pusat kegiatan
industri di Indonesia, kajian ini dapat mengidentifikasi beberapa persoalan yang
terkait dengan penyediaan energi di daerah tersebut, diantaranya:
I. Penyediaan jaringan kelistrikan:
a. Terjadi ketidaksesuaian (miss match) antara perencanaan pembangunan
kawasan industri dengan perencanaan pembangunan jaringan listrik.
Hal ini membuat terhambatnya proyek-proyek pembangunan kawasan
industri, karena belum siapnya dukungan dari jaringan kelistrikan.
b. Dalam hal pembangunan gardu induk: sulitnya pembebasan lahan,
proses perijinan IMB, Ketidaksediaan warga sekitar untuk membangun
GI,warga meminta kompensasi yang terlampau tinggi.
c. Dalam hal membangun transmisi: Terjadi overlapping dengan
pengembangan Tata Ruang/Wilayah pemda; terbentur dengan wilayah
Perhutani dan PTPN.
d. Distribusi jaringan kelistrikan yang tidak merata.

122 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Sumber: PT PLN Jawa Timur, 2014

Gambar 7.1. Permasalahan Penyediaan Jaringan Kelistrikan


II. Penyediaan Pengembangan Gas Bumi
a. Pengembangan infrastruktur yang lambat karena terbentur dengan
komitmen pemilik alokasi pasokan gas untuk mengembangkan
infrastruktur di luar wilayah eksisting, penugasan badan usaha tertentu
untuk mengembangkan infrastruktur gas bumi di wilayah baru, serta
kendala sosial.
b. Kesiapan industri dalam mengkonversi peralatannya untuk beralih
menggunakan gas bumi.
c. Pertumbuhan industri baru yang membutuhkan waktu yang cukup lama.
d. Sinergi penyiapan kawasan industri antara Pemda, pengembang
kawasan dan pengembang infrastruktur.
e. Kepastian dan perencanaan alokasi gas untuk jangka panjang.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 123
Sumber: PT PGN Jawa Timur, 2014

Gambar 7.2 Permasalahan Pengembangan Gas Bumi


III. Kendala Pengembangan dan Distribusi BBM
a. Kondisi iklim dan cuaca buruk pada bulan-bulan tertentu mengganggu
ketepatan kedatangan kapal supply BBM dari kilang/import.
b. Maintenance/kerusakan sarfas (sarana dan fasilitasi) yang kadangkala
terjadi membuat terhambatnya suplai ke berbagai pengguna
c. Pengembangan Terminal BBM seringkali terkendala masalah
pembebasan lahan.
7.2. Kendala Spesifik Pemenuhan Kebutuhan Masing-masing Energi Pada
Sektor Industri
7.2.1. Permasalahan Pemenuhan Energi Listrik
Pengembangan sektor industri tidak dapat dilepaskan dari berbagai
faktor pendukung. Salah satu faktor pendukung utama adalah ketersediaan
energi yang berperan memastikan keberlangsungan aktivitas produksi di
industri pengolahan. Salah satu jenis energi yang memiliki peranan yang penting
dalam berjalannya roda aktivitas dari sektor industri adalah energi listrik. Oleh
sebab itu, ketersediaan energi listrik untuk sektor industri menjadi hal krusial
dalam merevitalisasi sektor industri dalam perekonomian Indonesia.

124 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Akan tetapi, rencana pembangunan industri terhambat oleh ketersediaan
energi listrik. Bahkan, Menteri ESDM menyebutkan bahwa Indonesia sedang
mengalami krisis listrik dimana kapasitas cadangan untuk wilayah Jawa yang
merupakan pusat ekonomi Indonesia hanya berkisar 25% hingga 30% dari beban
puncak yang mencapai 23.400 megawatt (MW). Krisis listrik yang terjadi tidak
dapat dilepaskan dari keterlambatan pembangunan berbagai pembangkit listrik
yang sebenarnya sudah direncanakan oleh pemerintah baik sebelum maupun
sesudah rencana MP3EI dikeluarkan.
Krisis listrik memang sudah diprediksikan terjadi karena rendahnya
kapasitas pembangkit di Indonesia yang hanya sebesar 35,33 GW (gigawat)
padahal memiliki penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Hal tersebut sangat
berbeda dengan negara tetangga yang kapasitas pembangkitnya tidak jauh
berbeda dengan Indonesia namun memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih
sedikit. Sebagai contoh, Singapura yang hanya berpopulasi 5,3 juta penduduk
mampu memproduksi listrik hingga 10,49 GW. Hal yang sama juga terjadi di
Malaysia dimana pembangkit listrik di Malaysia memiliki kapasitas hingga 28,4
GW untuk total kebutuhan 29 juta penduduk.
Krisis listrik sendiri akan semakin parah jika pertumbuhan kapasitas
produksi energi listrik tidak secepat kebutuhan energi listrik di Indonesia.
Pertumbuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia sangat mungkin untuk
meningkat mengingat pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang masih terjaga.
Masih rendahnya rasio elektrifikasi di beberapa daerah membuat pertumbuhan
permintaan energi listrik masih memiliki ruang yang terbuka sangat lebar.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sendiri sudah merencanakan proyek
pembangunan pembangkit listrik dengan total kapasitas 35.000 Mega Watt
(MW). Pemerintah menargetkan bahwa proyek ini dapat dimulai pada tahun
2015 sehingga krisis listrik dapat segera terselesaikan. Proyek ini ditujukan
untuk menyelesaikan masalah krisis listrik maupun dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Walaupun pemerintah sudah merencanakan pembangunan pembangkit
listri, namun pada faktanya terdapat berbagai permasalahan dalam
menjalankan proyek tersebut. Salah satu contoh masalah dalam pembangunan
pembangkit listrik adalah terbatasnya pendanaan yang tersedia padahal
pembangunan pembangkit listrik memerlukan investasi yang sangat besar.
Dalam RUPTL tahun 2012, PT PLN mengestimasikan bahwa dibutuhkan investasi
sebesar USD 71,1 miliar atau setara Rp 857,4 triliun untuk membangun

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 125
infrastruktur energi listrik yang mencakup pembangkit listrik, penyaluran, hingga
distribusi listrik. Tabel 7.1 di bawah menjelaskan kebutuhan investasi setiap
tahunnya dalam membangun infrastruktur listrik di Indonesia. Untuk tahun
2014 saja, dibutuhkan investasi sebesar Rp 8,6 trilliun. Sedangkan rata-rata
kebutuhan investasi infrastruktur listrik selama periode 2013 hingga 2022
mencapai Rp 7,1 trilun.
Tabel 7.1. Kebutuhan Investasi Penyediaan Listrik Tahun 2013-2022
(dalam juta dollar)
Item 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Total

Pembangkit 3.001 2.862 4.012 4.334 4.003 4.319 3.522 3.622 3.617 3.893 37.196

Penyaluran 2.734 3.001 2.940 3.180 3.517 2.054 912 521 398 147 19.412

Distribusi 1.437 1.238 1.266 1.381 1.465 1.433 1.526 1.561 1.555 1.625 14.489

Total 7.182 7.111 8.217 8.895 8.985 7.806 5.959 5.704 5.571 5.665 71.097

Sumber: RUPTL, PT PLN (2012)

Selama ini, PT PLN menggunakan pendanaan dengan obligasi lokal dan


internasional untuk membiayai proyek pembangunan infrastruktur listrik.
Namun dengan kebutuhan investasi sebesar USD 71,1 miliar dari tahun 2013
hingga 2022 atau USD 7,1 miliar per tahun maka kebutuhan mencari alternatif
pendanaan menjadi semakin penting. Terlebih, pendanaan internal PT PLN
maupun fiskal pemerintah tidak memiliki kapasitas untuk membiayai investasi
pembangunan infrastruktur listrik yang sangat besar tersebut. Jika memang PT
PLN meneruskan cara yang digunakan selama ini, yaitu pendanaan dengan
obligasi maka ada berbagai hal resiko yang patut untuk diperhatikan seperti
meningkatnya biaya pinjaman dan fluktuasi nilai rupiah terhadap mata uang
asing. Jika PT PLN tidak mendapatkan investasi dalam pembangunan
pembangkit listrik untuk 10 tahun yang akan datang, maka target pemerintah
untuk memastikan tersedianya energi listrik akan sulit untuk tercapai.
Masalah lain yang dapat menghambat proses pembangunan pembangkit
listrik adalah proses pembebasan lahan dan perizinan. Baik masalah
pembebasan lahan maupun masalah perizinan sudah menjadi masalah klasik
dalam setiap pembangunan pembangkit listrik. Salah satu contoh dari sulitnya
pembangunan pembangkit listrik akibat permasalahan pembebasan lahan
adalah PLTU Batang yang merupakan PLTU terbesar di ASEAN. PLTU yang
memiliki kapasitas 2x1000 Megawatt (MW) tersebut dijadwalkan mulai
dibangun pada Oktober 2014. Namun, tidak adanya perkembangan dalam

126 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
proses pembebasan sisa lahan seluas 29 hektar di daerah operasi PLTU Batang
membuat proses pembangunan PLTU tersebut ditunda. Loetan (2014) menilai
bahwa penundaan pembangunan PLTU Batang membuat negara mengalami
kerugian. Kerugian tersebut berasal dari kontribusi batubara yang ditargetkan
sebanyak 70 persen pada tahun 2017, berkurang menjadi 67 persen, eskalasi
harga pada bahan konstruksi dan harga tanah yang mencapai 10 persen, serta
dampak multiplier effects akibat tidak terserapnya tenaga kerja sebanyak 3.000
orang sejak tahap konstruksi hingga proyek selesai.
Sebenarnya, proses pembebasan lahan dalam rangka pembangunan PLTU
Batang sudah dijamin oleh Undang-Undang No 2 tahun 2012 tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam undang-undang tersebut,
tanah untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan infrastruktur
pembangkit listrik dapat dibebaskan oleh pemerintah. Akan tetapi, walaupun
UU tersebut sudah resmi berlaku, namun pada kenyataannya proses
pembebasan lahan masih sulit untuk dilakukan.
Selain masalah investasi dan pembabasan lahan, masalah lainnya yang
dapat menghambat pemenuhan listrik nasional adalah ketidakpastian pasokan
energi lain untuk membangkitkan berbagai pembangkit listrik. Seperti yang
diketahui, energi listrik bukan merupakan energi primer sehingga PT PLN
membutuhkan energi primer untuk dapat memproduksi listik. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh PT PLN, tiga energi utama yang membangkitkan listrik
adalah batu bara (51,6%), gas (23,6%), dan BBM (12,5%). Ketiga jenis energi ini
adalah jenis energi fosil yang sifatnya non-renewable sehingga cadangannya
terus berkurang. Padahal di saat yang bersamaan terjadi peningkatan
permintaan terhadap ketiga jenis energi tersebut untuk membangkitkan listrik
di berbagai pembangkit listrik. Lebih dari itu, permintaan tiga energi fosil
tersebut tidak hanya berasal dari permintaan untuk pembangkit listrik tetapi
juga permintaan dari sektor industri, sektor rumah tangga, maupun permintaan
ekspor yang terus mengalami peningkatan. Hal tersebut membuat jaminan
pasokan (security of supply) menjadi isu krusial dalam peningkatan kapasitas
produksi energi listrik.

7.2.2. Permasalahan Pemenuhan Gas Bumi


Pemanfaatan gas bumi di Indonesia lebih ditujukkan untuk pemenuhan
kebutuhan ekspor. Hingga tahun 2012, 49,7 persen produksi gas bumi Indonesia
(234.875 ribu barrel of oil equivalent) diekspor. Ekspor tersebut terbagi dalam

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 127
dua produk yakni gas alam dan LNG. Ekspor dalam bentuk gas alam sebesar
64.355 ribu BOE dan ekspor dalam bentuk olahan liquid natural gas (LNG)
sebesar 170.520 ribu BOE. Sisanya sebesar 50,3 persen digunakan untuk
konsumsi dalam negeri yang ditujukkan untuk berbagai penggunaan.
Penggunaan gas alam di dalam negeri sebagian besar diperuntukkan
untuk pembangkit listrik PT PLN dan keperluan di sektor industri. Penggunaan
gas alam di pembangkit PT PLN sebesar 65.721 ribu BOE (13,42 persen) total
produksi gas alam Indonesia di 2012. Pada tahun yang sama, penggunaan gas
alam oleh sektor industri sebesar 63.373 ribu BOE (12,94 persen) dari total
produksi gas alam.
Salah satu penyebab utama mengapa produksi gas nasional sebagian
besar digunakan untuk kepentingan ekspor adalah keterbatasan infrastruktur
distribusi gas dalam negeri, meskipun permintaan dalam negeri terhadap gas
tinggi. Keterbatasan infrastruktur distribusi gas bumi juga menjadikan
penggunaan energi gas di sektor industri kecil.
Tabel 7.2. Komposisi Penggunaan Gas Alam di Indonesia
Tahun 2012
Ribu BOE (Barrel Oil
No Keterangan Persentase
Equivalen)
1 Konversi ke LPG 188.169 38,41*
2 Refinery 3.175 0,65
3 IPP 8.700 1,78
4 PT PLN 65.721 13,42
5 Industri 63.373 12,94
6 Transprotasi 367 0,07
7 Rumah Tangga 134 0,03
8 Komersial 1.625 0,33
9 Bahan Baku 28.382 5,79
10 Perbedaan statistik 28.618 5,84
11 Penggunaan sendiri 37.189 7,59
12 Ekspor 64.355 13,14
Total Produksi 489.808 100,00
Sumber : Executive Reference Data, Dewan Energi Nasional, 2013

Ketidakoptimalan pemanfaatan gas oleh sektor industri terlihat dari


realisasi kebutuhan gas untuk industri lebih rendah dibandingkan kebutuhan gas

128 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
sesungguhnya. Data dari Forum Industri Pengguna Gas Bumi menyebutkan pada
tahun 2011 kebutuhan gas di sektor industri mencapai 2.767,32 MMSCFD yang
terbagi untuk industri manufaktur 1.520,74 MMSCFD dan industri pupuk dan
petrokimia 1.246,58 MMSCFD. Besaran kebutuhan tersebut masih menyisakan
99,32 MMSCFD gas di sektor industri yang belum dapat dipenuhi dari gas
domestik. Kondisi ini tentunya dapat berakibat kepada penurunan daya saing
industri manufaktur dalam negeri dan mengakibatkan pertumbuhan sektor
industri nasional terancam stagnan dan menurun.
Selain infrastruktur, permasalahan peraturan juga menjadi penyebab
kenapa penggunaan gas di sektor industri relatif kecil. Sektor industri menjadi
sektor terakhir yang diprioritaskan untuk mendapatkan pasokan gas. Peraturan
Menteri ESDM No. 30/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk
Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Peraturan Menteri tersebut merupakan
dasar bagi pemerintah memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk
peningkatan produksi minyak dan gas bumi, industri pupuk, tenaga listrik, dan
terakhir adalah untuk kebutuhan industri.
Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi gas bumi dengan
sebaran lokasi industri juga menjadi salah satu penyebab konsumsi gas sektor
industri rendah. Contohnya adalah sumber gas bumi yang melimpah tersebar di
Papua, Kalimantan, Sumatera, dan namun lokasi industri sebagian besar
terpusat di pulau Jawa.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan,
sebagian besar sumur-sumur gas tersebar jauh dari pusat-pusat kawasan
industri. Sebaran dan cadangan gas bumi di Indonesia yang sebagian besar
terdapat di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua. Total cadangan
gas bumi di Pulau Jawa sebesar 8,34 TSCF, sisanya tersebar di luar Pulau Jawa.
Cadangan terbesar terdapat di Kepulauan Natuna dengan besaran cadangan
sebesar 90,27 TSCF. Sedangkan cadangan terkecil ada di Sumatera Utara
sebesar 1,23 TSCF.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 129
Sumber : Statistik Gas Bumi, Kementerian ESDM 2013

Gambar 7.3. Sebaran dan Cadangan Gas Bumi Indonesia


Perbedaan sebaran sumber gas dan sebaran kawasan industri menjadi
kendala tersendiri bagi industri yang ingin menggunakan gas dalam proses
produksi mereka. Hal tersebut diperparah dengan kondisi infrastruktur dan
peraturan dari kementerian ESDM yang menjadikan sektor industri menjadi
sektor prioritas terakhir pemanfaatan gas dalam negeri.

7.2.3. Permasalahan Pemenuhan Minyak Bumi


Perminyakan Indonesia dalam sejarahnya pernah menjadi negara
eksportir minyak. Pada masa orde baru hingga awal 2000-an, produksi minyak
Indonesia lebih banyak daripada jumlah konsumsi minyak nasional. Namun,
mulai tahun 2003, Indonesia menjadi negara importir minyak (net importir). Hal
ini terlihat dari semakin berkurangnya produksi minyak mentah dalam negeri
dan semakin tingginya kebutuhan minyak dalam negeri. Akibatnya pemerintah
mengimpor minyak untuk menutupi kekurangan kebutuhan minyak dalam
negeri. Berkurangnya produksi minyak dalam negeri tidak diimbangi dengan
usaha pengalihan kebutuhan energi dari minyak ke energi terbarukan lainnya.
Masalah tersebut membuat minyak masih menjadi energi utama untuk
pemenuhan energi dalam negeri terutama.
Tingginya kebutuhan minyak diperkirakan akan terus meningkat seiring
dengan semakin gencarnya upaya pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan
sektor industri. Target pemerintah dalam Rencana Induk Pembangunan Industri

130 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 adalah pertumbuhan sektor industri
mencapai lebih dari 10 persen dan sumbangan sektor industri terhadap PDB
nasional mencapai 30 persen. Target tersebut harus dibarengi dengan
penyediaan energi yang mencukupi dan tidak hanya bergantung pada satu jenis
energi saja.
Permasalahan dalam penyediaan energi minyak di Indonesia salah
satunya terkait dengan masalah-masalah di sisi hulu. Berikut beberapa
permasalahan yang terkait dengan penyediaan energi minyak dalam negeri:
1. Umur Kilang Minyak
Penurunan produksi minyak mentah dan BBM tidak terlepas
dari sudah terlalu tuanya peralatan maupun kilang minyak milik PT
Pertamina. Pengilangan minyak di Indonesia sudah berumur lebih dari
20 tahun. Pengilangan minyak paling baru ada di Balongan, itupun
dibangun pada tahun 1994. Pengilangan yang tua membuat kapasitas
pengilangan minyak menjadi berkurang. Selain itu, sering terjadinya
gangguan di pengilangan minyak karena faktor usia kilang minyak.
Walaupun kapasitas kilang minyak Indonesia menembus 1 juta barel per
hari namun karena usia kilang yang sudah tua membuat kapasitas
tersebut tidak maksimal. Saat ini kapasitas kilang PT Pertamina tidak
lebih dari 750 ribu barel hari. Padahal kebutuhan minyak dalam negeri
mencapai lebih dari 1 juta barel per hari. Angka tersebut kalah dengan
Singapura yang memiliki angka kapasitas kilang minyak 1,3 juta barel
per hari. Di Indonesia 750 ribu barel untuk memenuhi kebutuhan 240
juta penduduknya tentu tidak akan cukup.
Rencana pengembangan kilang minyak ataupun pembuatan
kilang minyak baru hanya selalu sekedar wacana. Terdapat beberapa
masalah dalam pengembangan ataupun pembangunan kilang baru
seperti kurangnya dana pengembangan maupun pembangunan.
Pembangunan kilang membutuhkan dana yang besar namun
keuntungannya marginal sehingga dibutuhkan insentif untuk menarik
investasi.
Kapasitas kilang bukan menjadi satu-satunya masalah dalam
kilang minyak Indonesia. Yang patut diperhatikan juga adalah tingkat
kompleksitas sebuah kilang. Kompleksitas sebuah kilang menunjukkan
kualitas dari kilang. Seperti yang diketahui, sebuah kilang biasanya

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 131
hanya dapat mengolah beberapa jenis minyak. Namun dengan teknologi
yang canggih, sebuah kilang dapat mengolah beberapa jenis minyak.
Sebuah kompleksitas minyak biasanya diukur dengan NCI
(Nelson Complexity Index). Semakin tinggi NCI akan menggambarkan
semakin tingginya kompleksitas kilang. Dengan semakin tingginya
kompleksitas kilang maka kualitas dari kilangnya akan semakin
meningkat juga.
NCI Indonesia bisa dibilang rendah mengingat NCI Indonesia
hanya berada di angka 5,30 (adiimrf.wordpress.com, diakses tanggal 08
Desember 2014). NCI tertinggi di kilang minyak Balongan (11,9) dan
paling rendah di Kasim (2,4). Hal tersebut membuktikan kilang minyak di
Indonesia belum bisa menghasilkan produk minyak mentah yang
memiliki nilai tambah yang besar.

2. Cadangan Potensi Minyak Semakin Menurun


Cadangan terbukti minyak bumi dalam kondisi depleting.
Menurunnya produksi minyak nasional dipengaruhi oleh tidak ada lagi
penambahan cadangan minyak di Indonesia. Secara umum, cadangan
minyak terbagi dua, yaitu terbukti (proven) dan potensi (potential).
Cadangan minyak Indonesia diprediksi akan habis 23 tahun lagi
dengan asumsi tidak ada lagi penemuan potensi minyak bumi. Bahkan
jika dengan melihat trend konsumsi minyak bumi yang terus meningkat,
bukan tidak mungkin cadangan minyak Indonesia akan habis dalam
kurun waktu kurang dari 23 tahun.
Potensi sumber daya minyak dan gas bumi Indonesia
sebenarnya masih cukup besar untuk dikembangkan. Potensi untuk
menemukan kembali sumber-sumber minyak bumi adalah di daerah-
daerah terpencil, laut dalam, sumursumur tua dan kawasan Indonesia
Timur yang relatif belum dieksplorasi secara intensif. Namun saat ini, di
Indonesia hanya menyisakan sumber-sumber minyak yang susah
dieksploitasi. Tentu untuk dapat mengetahui potensi tersebut
diperlukan teknologi yang mahal, modal yang besar, faktor waktu yang
memadai dan memerlukan efisiensi yang maksimal serta expertise dari
sumber daya manusia terbaik.
Tingginya biaya untuk eksplorasi menyebabkan rendahnya
minat investor untuk melakukan eksplorasi minyak mentah di Indonesia.

132 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Adanya PP No 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasional yang Dapat
Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Sektor Hulu Migas turut
andil dalam rendahnya minat investor. Walaupun sudah direvisi oleh
pemerintah, namun investor tetap melihat eksplorasi di Indonesia tetap
mahal.
Demikian juga untuk biaya perubahan status dari potensi ke
proven juga memerlukan biaya yang tinggi. Selain itu pencemaran
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi juga menyebabkan pencemaran
lingkungan yang tinggi pula. Hal ini disebabkan oleh penggunaan energi
untuk eksplorasi dan ekstraksi yang semakin tinggi. Hal ini juga
menyebabkan biaya sosial eksplorasi semakin tinggi.
Demikian juga dengan masalah biaya pungutan daerah.
Otonomi daerah menyebabkan para investor harus berhadapan dengan
penguasa daerah. Investor melihat hal tersebut sebagai ganjalan untuk
melakukan eksplorasi.

3. Tidak Efisiensinya Produksi Minyak Nasional


Tidak efisiensinya produksi minyak nasional dapat disebabkan
oleh dua hal. Pertama, biaya produksi minyak lebih tinggi daripada
impor. Kedua, terindikasi adanya mafia migas yang memburu
keuntungan dari bisnis minyak secara ilegal. Kedua masalah sebenarnya
berhubungan namun akan dibahas dalam porsi yang berbeda.
Pertama, biaya produksi nasional lebih tinggi daripada impor.
Alasan ini yang mendasari PT Pertamina untuk impor minyak dari luar.
Biaya produksi minyak Indonesia rata-rata lebih daripada harga mean of
plat Singapore (MPOS) yang menjadi acuan PT Pertamina. PT Pertamina
menilai impor lebih menguntungkan walaupun merugikan negara.
Kedua, terindikasi adanya mafia migas. Mafia migas ini adalah
pemburu rente minyak yang teroganisir secara rapi. Pemburu rente ini
biasanya memainkan perannya dalam hal impor minyak. Pasar impor
minyak dibuat se-monopoli mungkin untuk menguntungkan mafia
tersebut. Tidak berfungsi normalnya badan-badan negara khususnya
SKK migas membuat praktik mafia ini masih ada. Selain itu, indikasinya
adalah terlalu panjangnya rantai pasok impor minyak. Lemahnya
pengawasan dan komitmen negara dalam industri migas menjadi alasan
masih beredarnya pratik mafia migas.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 133
4. Tingginya Intensitas Pemakaian Energi Minyak (Inefisiensi)
Selain di sektor hulu, sektor hilir ternyata terdapat persoalan.
Salah satunya adalah industri-industri di Indonesia belum dapat efisien
dalam menggunakan energi minyak. Hal ini dibandingkan dengan
intensitas pemakaian energi untuk sektor industri di negara lain.
Industri yang tergolong tidak efisien dalam mengkonsumsi
energi disebabkan oleh penggunaan teknologi yang sudah usang. Mesin-
mesin yang digunakan untuk produksi sudah tergolong tua. Hal ini yang
menyebabkan efisiensi menjadi tidak optimal. Muara dari inefisiensi
penggunaan energi tersebut adalah menurunnya daya saing industri
tersebut.
Penurunan daya saing industri tersebut akan merugikan
ekonomi nasional secara keseluruhan, selain itu juga akan semakin
tertinggal dengan negara lain. Negara-negara lain, seperti Malaysia,
Thailand, Jepang dan Korea sudah lebih efisien dalam menggunakan
energi, sementara Indonesia masih belum efisien dan cenderung
bergantung pada satu jenis energi, yaitu BBM.
Pada beberapa jenis industri, sebenarnya sudah dilakukan
restrukturisasi kapital dengan mengganti mesin-mesin yang telah usang
dengan mesin-mesin yang lebih efisien. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan efisiensi produksi demi mendorong daya saing. Namun
sayangnya, program restrukturisasi industri tidak berjalan maksimal.
Salah satu penyebabnya adalah kualitas SDM yang mengoperasikan
mesin tersebut. Selain itu, anggaran untuk restrukturisasi industri tidak
dapat terserap secara optimal.

7.2.4. Permasalahan Pemenuhan Batubara


Batubara memiliki peran penting untuk membangkitkan tenaga listrik
dan peran tersebut diperkirakan akan terus berlangsung, khususnya untuk
sektor industri dan pembangkit listrik. Sekitar 39 persen pembangkit listrik di
dunia menggunakan batubara dan proporsi ini diperkirakan meningkat selama
30 tahun ke depan. World Coal Institute pada tahun 2009 merilis pertumbuhan
konsumsi beberapa jenis batubara dari tahun 2002 hingga 2030. Secara umum,
batubara ketel uap diproyeksikan konsumsinya tumbuh sekitar 1,5 persen per
tahun, batubara muda yang juga dipakai untuk membangkitkan listrik
diperkirakan akan tumbuh sebesar 1 persen per tahun. Kemudian batubara

134 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
kokas dalam industri besi dan baja diperkirakan akan mengalami kenaikan
sebesar 0,9 persen per tahun.
Terdapat beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi batubara
diantaranya dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
pertambangan dan kebijakan energi batubara yang masih mengutamakan
ekspor.
1. Dampak Kerusakan Lingkungan
Pengembangan pertambangan batubara secara ekonomis telah
memberikan dampak yang besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun sebagai sumber devisa. Namun demikian kegiatan
pertambangan batubara telah merusak lingkungan karena menimbulkan
dampak yang mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk
memberikan perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan
hidup, maka banyak pemerintah daerah menciptakan banyak peraturan.
Kewenangan pemerintah daerah yang luas sayangnya tidak dibarengi
dengan pengetahuan terhadap fungsi peraturan sebagai bentuk
penanggulangan pencemaran lingkungan, sehingga muncul
permasalahan di tingkat koordinasi dan implementasi seperti
ketidaksinkronan berbagai peraturan perundang-undangan yang
disebabkan tumpang tindih kepentingan antar sektor mewarnai
berbagai kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya,
peraturan yang dibuat justru menghambat pemanfaatan sumber energi.

2. Tingginya Ekspor Batubara


Permasalahan lainnya adalah jumlah batubara yang lebih
banyak diekspor dibandingkan untuk pemanfaatan kebutuhan dalam
negeri. Padahal dalam perkembangannya konsumsi energi batubara
mengalami peningkatan selama periode 1990-2008 mengalami
peningkatan rata-rata per tahun berturut-turut sebesar 18.01 persen.
Artinya jika kebijakan ini tidak ada perubahan maka dalam jangka
panjang akan memberikan masalah yang besar terkait ketersediaan
energi.
Kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan ekspor
disebabkan belum ada komitmen yang kuat oleh pemerintah terkait
penerapan teknologi pengolahan batubara. Penerapan UU Minerba

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 135
2009 perlu diapresiasi namun di waktu yang bersamaan kebijakan ini
tidak bisa dipungkiri telah menimbulkan permasalahan lain. Hal ini
disebabkan kapasitas pengolahan yang masih kurang. Selain itu,
produsen lokal kecil yang memiliki margin keuntungan rendah semakin
terbebani dengan peraturan ini. Pembangunan smelter (pabrik
pengolahan) memerlukan belanja modal yang besar. Tentu sulit bagi
produsen kecil untuk merealisasikan hal ini ketimbang perusahaan
besar.

7.2.5. Permasalahan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT)


Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebagai energi alternatif
untuk menyokong kebutuhan sektor industri sangat diperlukan. Kondisi geologi
Indonesia yang menyimpan banyak potensi EBT menjadi keuntungan tersendiri
yang perlu dimanfaatkan secara optimal. Sayangya hingga saat ini,
pengembangan potensi EBT masih belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Seperti contoh energi air (hydro) baru termanfaatkan sebesar
6.848,46 MW atau 9,13 persen dari potensi sumber daya yang ada. Begitu juga
dengan energi panas bumi yang hanya termanfaatkan sebesar 1.341 MW atau
4,6 persen dari total sumber daya, serta energi biomassa sebesar 1.644,1 MW
yang hanya setara 3,3 persen dari total sumber daya (Ditjen EBTKE, 2013)
Kondisi demikian tidak terlepas dari berbagai macam kendala yang
menghambat pembangunan EBT. Secara umum kendala yang dihadapi dalam
pengembangan EBT antara lain ialah tingginya biaya investasi, birokrasi,
insentif atau subsidi, dan harga jual produk akhir energi terbarukan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil, kurangnya pengetahuan dalam
mengadaptasi fasilitas energi bersih, serta potensi sumber daya EBT pada
umumnya kecil dan tersebar (BPPT, 2014). Secara khusus, beberapa kendala
yang dapat diidentifikasi terkait pengembangan EBT, baik untuk konsumsi sektor
industri maupun secara umum adalah sebagai berikut (Lemhanas, 2013):
1) Biaya produksi dan pengembangan EBT relatif masih mahal sehingga
kurang menarik bagi investor nasional maupun asing. Tingginya biaya
tersebut utamanya dibutuhkan pada tahap awal investasi
pengembangan EBT yang mengandalkan teknologi tinggi
2) Kebijakan pemerintah terkait pengembangan EBT dirasakan kurang
berpihak bagi pelaku bisnis sehingga para investor kurang berminat
terhadap sektor EBT.

136 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
3) Belum adanya peraturan pelaksanaan berbagai produk undang-undang
berakibat pada belum adanya kesamaan pandangan antara pemerintah
pusat dan daerah mengenai pengelolaan EBT sehingga menimbulkan
kekhawatiran terjadinya monopoli
4) Penguasaan teknologi produksi dan pengembangan EBT secara nasional
masih relatif rendah sehingga ketergantungan pada asing masing sangat
tinggi. Oleh sebab itu, muncul kekhawatiran terkait tidak adanya
jaminan bahwa pengembangan EBT dapat berjalan secara berkelanjutan
5) Belum teratasinya hambatan dan kendala ketersediaan infrastruktur
dalam menunjang EBT yang diakibatkan oleh aspek pendanaan dan
sinergi dalam pengembangan EBT
6) Belum adanya langkah-langkah strategis dalam tataran pelaksanaan
pemanfaatan EBT yang dinilai sangat lambat dan berkaitan dengan
kontrak-kontrak jangka panjang dari perjanjian jual beli EBT
7) Road map yang tidak begitu jelas untuk mengarah pada pengembangan
EBT sebagai sumber energi utama dalam rangkan meningkatkan
ketahanan energi nasional
8) Upaya yang masih rendah dalam mendorong peningkatan fungsi
koordinasi antarkementerian dan lembaga terkait, antara pemerintah
pusat dan daerah, serta seluruh pemangku kepentingan agar
dilakukannya percepatan implementasi EBT
9) EBT bersifat site spesific sehingga pemanfaatannya bersifat setempat,
tidak dapat diperjualbelikan sebagai komoditas sebelum dikonversikan
menjadi energi listrik dan pengusahaan EBT untuk pembangkit tenaga
listrik harus memperhatikan resiko tinggi dari eksplorasi dan eksploitasi
10) Keterbatasan SDM khususnya di daerah, pola pengusahaan EBT yang
belum bankable serta kurangnya minat investasi dikarenakan tingkat
pengembalian modal yang rendah dan tidak pasti.

Lebih lanjut, penggunaan EBT yang belum begitu besar, karena belum
kompetitif dibandingkan dengan energi konvensional. Harga listrik yang
dibangkitkan dari PLTS, PLTB, PLTMH, dan PLT EBT lainnya masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan BBM. Jika dilihat dari jenis EBT itu sendiri, potensi panas
bumi dan tenaga air sangat besar dan tidak dapat diekspor serta merupakan
energi bersih, sedangkan penggunaannya relatif masih sedikit. Kendala
pembangunan kedua jenis energi tersebut adalah lokasi yang jauh dari lokasi
konsumen yang sudah berkembang. Di samping itu, pembangunan PLTA skala
besar membutuhkan pembebasan lahan yang sangat luas dan menimbulkan

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 137
dampak lingkungan yang besar. Hal tersebut tentu saja mempunyai
konsekuensi biaya yang cukup besar pula. Berkaitan dengan nuklir, tingkat
penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit
listrik masih rendah. Hal itu dikarenakan sosialisasi pemanfaatan energi nuklir
masih terbatas. Padahal energi nuklir adalah energi yang aman, ramah
lingkungan dan aman. Selain itu, potensi sumber EBT lainnya seperti energi
surya, energi angin, dan biomassa tetapi pemanfaatannya masih terbatas juga
dikarenakan harga yang belum kompetitif terhadap energi konvensional
(Triatmojo, 2013)

Studi Kasus: Kendala Pengembangan Panas Bumi (Geothermal)


Panas bumi (geothermal) di Indonesia merupakan salah satu sumber
daya energi yang memiliki cadangan dengan jumlah sangat besar. Namun hingga
saat ini,di tengah krisis energi yang melanda berbagai tempat di Indonesia
termasuk ancaman kekurangan pasokan energi untuk Pulau Jawa, pemanfaatan
panas bumi di masih sangat kecil. Data menunjukkan kapasitas terpasang energi
panas bumi sampai Mei 2013 adalah 1.341 MW dari potensi cadangan yang ada
sebesar 16.502 MW atau hanya 8 persen (BPPT,2014). Sebagai sumber daya
energi, panas bumi memiliki berbagai sifat unggul yaitu potensi cadangannya
yang besar, produksi emisi yang sangat kecil, dan energinya dihasilkan terus
menerus oleh alam di banyak di tempat di tanah air. Bagian terbesar dari
pemanfaatan panas bumi adalah untuk pembangkitan tenaga listrik, dimana
tenaga dari uap panas bumi (yang kering dan bersih) dimanfaatkan untuk
memutar turbin yang selanjutnya menghasilkan tenaga listrik. Meski dengan
potensi yang cukup ideal, pemanfaatan panas bumi Indonesia masih berjalan
lambat.
Pada umumnya, masalah yang sering menjadi perdebatan dalam
pengusahaan panas bumi di Indonesia adalah kesepakatan soal harga, dimana
pembeli utama (PT PLN) merasa bahwa harga uap yang ditawarkan oleh
pengembang adalah mahal, namun ini berdasarkan referensi bahwa harga jual
listrik PT PLN ditentukan oleh pemerintah. Harga tarif jual energi listrik yang
relatif rendah tidak seimbang dengan pengusahaan panas bumi yang
memerlukan permodalan yang besar (capital intensive), berisiko tinggi (high risk
industry), membutuhkan teknologi canggih dan membutuhkan keahlian
memadai (hi-tech and skill required), serta mempunyai jaringan pemasaran yang
terbatas (limited market) sehingga kurang diminati oleh para investor.
Pemerintah sebagai “penengah” dalam pembentukan kebijakan tarif juga belum

138 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
menunjukkan posisi yang rinci dalam pengembangan panas bumi ini, misalnya
dalam bentuk insentif yang akan diberikan untuk pengembangan panas bumi,
bahkan dalam merumuskan secara tegas posisi panas bumi dalam kebijakan
energi-ekonomi-lingkungan nasional (Bappenas, 2008).
Selain itu, gagasan mengenai pengembangan panas bumi di Indonesia
selama ini masih terpisah-pisah, dibuat sendiri-sendiri, tanpa/kurang
memperhatikan aspek kordinasi dengan pihak terkait yang lain, bahkan dalam
mempertimbangkan “life cycle” industri panas bumi itu sendiri. Sebagai contoh,
PT Pertamina melakukan sendiri rencana eksplorasi hingga eksploitasi lapangan-
lapangan panas bumi. Sementara, pemerintah dalam RUKN (Rencana Umum
Kelistrikan Nasional) maupun PT PLN dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan
Tenaga Listrik) melakukan proyeksi atau rencana pemenuhan kebutuhan tenaga
listrik, namun belum dengan penjelasan yang rinci terhadap rencana yang akan
dikerjakan, termasuk bagaimana uap akan dipasok kepada pembangkit PT PLN.
Selain road map yang masih bersifat sangat umum yang telah dikembangkan
oleh pemerintah (ESDM dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2005-
2025), belum terdapat rencana aksi yang jelas tentang bagaimana potensi panas
bumi akan dikembangkan untuk pembangkitan tenaga listrik di Indonesia.
Secara khusus, faktor-faktor kendala pengembangan energi panas bumi
menjadi sumber energi listrik yang menentukan biaya dan nilai keekonomian
energi panas bumi meningkat adalah sebagai berikut (Bappenas, 2008):
1) Biaya investasi yang tinggi (karena harus ada kegiatan eksplorasi)
2) Harga listrik/kWh dan faktor pengembalian modal
3) Sebagian besar lokasi sumber panas bumi berada di wilayah yang
terpencil, ketersediaan infrastruktur yang terbatas menuju lokasi
sumber panas bumi menjadi rintangan utama bagi pengembangan
pembangkit listrik tenaga panas bumi.
4) PT PLN adalah satu-satunya pembeli listrik dari jaringan utama, sehingga
pengembalian investasi panas bumi bergantung pada harga beli oleh PT
PLN. Sebagai BUMN, insentif PT PLN adalah penyediaan listrik yang
aman dan handal pada biaya yang seminim mungkin
5) Pengembang panas bumi memerlukan harga yang merefleksikan nilai
keekonomian dan biaya penyediaan
6) Kenyataan menunjukkan bahwa negosiasi antara pengembang panas
bumi dengan PT PLN seringkali berlangsung sangat lama, dikarenakan
sulitnya mencapai kesepakatan harga, sehingga negosiasi memang

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 139
rawan mengalami proses yang berkepanjangan dan akhirnya
menimbulkan opportunity cost tersendiri
7) Alternatif pembangkit dengan jenis energi selain panas bumi saat ini
terlihat lebih menarik berdasarkan pertimbangan minimalisir biaya
jangka pendek (menekan kerugian) bagi PT PLN. Atas dasar itu PT PLN
dapat mengalami kesulitan untuk menyepakati tingkat harga yang lebih
tinggi dari opsi pembangkitan yang berbiaya terendah
8) Adanya gap antara opsi pembangkit least cost jangka pendek dengan
nilai keekonomian dari listrik panas bumi
9) Waktu yang panjang sebelum menghasilkan listrik
10) Risiko hulu yang signifikan karena disamping mekanisme yang panjang
juga belum ada kepastian ijin usaha ketenagalistrikan
11) Biaya investasi pada umumnya berbeda dari lapangan yang satu dengan
yang lain
Selaras dengan beberapa kendala yang telah disebutkan, Setiawan
(2012) mengelompokkan kendala pengembangan energi panas bumi di
Indonesia ke dalam lima kelompok yaitu: kendala eksplorasi, kendala konstruksi,
kendala koordinasi dan regulasi, resiko finansial, dan resiko pasar.
a) Kendala eksplorasi
Kegiatan eksplorasi memerlukan biaya yang besar dan juga dihadapkan
pada risiko tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di daerah
eksplorasi yang bernilai komersial. Meskipun hasil pengeboran
membuktikan temuan sumber energi panas bumi, masih ada
ketidakpastian terkait besar cadangan, potensi listrik dan kemampuan
produksi dari sumur-sumur yang akan dibor kemudian. Hal berbeda
akan ditemui investor bila pemerintah dapat menyediakan data
publik yang memadai terkait hasil penelitian kandungan energi
panas bumi pada saat Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) ditawarkan.
Untuk daerah yang di sekitarnya belum memiliki lapangan panas bumi
yang telah dikembangkan sebelumnya, pengembang harus
membuktikan bahwa sumur bor mampu menghasilkan fluida produksi
sebesar 10%-30% dari produksi keseluruhan yang dibutuhkan PLTP. Di
samping itu, perlu dibuktikan pula keamanan secara teknis operasional
maupun lingkungan mengingat bahwa pada saat energi panas bumi
telah digunakan untuk membangkitkan listrik, fluida harus dapat
dikembalikan ke reservoir secara aman. Berbeda bila di sekitarnya
telah ada lapangan panas bumi yang dikembangkan, maka kepastian

140 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
adanya cadangan yang memadai cukup dengan menunjukkan satu
atau dua sumur yang dapat memproduksi fluida panas bumi.
Lembaga keuangan belum akan bersedia mengucurkan dana
pinjaman untuk pengembangan lapangan sebelum hasil pengeboran
dan pengujian sumur membuktikan bahwa di daerah tersebut
terdapat sumber energi panas bumi dengan potensi komersial yang
signifikan.

b) Kendala konstruksi
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia dihadapkan pada biaya
investasi pembangunan pembangkit yang amat besar. Biaya pengeboran
merupakan komponen terbesar dan dapat mencapai lebih dari 50
persen biaya total. Sebagai contoh, sepasang sumur panas bumi di
Nevada, AS yang dapat membangkitkan listrik sebesar 4,5 MW
membutuhkan biaya pengeboran US$ 10 juta dengan tingkat
keberhasilan 80%. Secara rata-rata, total biaya pengeboran dan
konstruksi pembangkit listrik tenaga panas bumi berada dalam
rentang 2-4,5 juta Euro per MW-nya, tergantung pada kualitas dari
sumber daya energi, dengan biaya energi 0.04-0.10 Euro per kWh. Jika
angka-angka tersebut digunakan untuk mengkalkulasi biaya keseluruhan
pembangunan PLTP dengan keluaran energi terkecil di Indonesia yaitu
PLTP Sibayak
(PT Pertamina) 12 MW di Sumatera Utara, dengan asumsi kurs € 1 = Rp.
11.754,675, maka akan dibutuhkan rentang biaya investasi minimal dan
maksimal sebesar Rp.282 Miliar dan Rp.635 Miliar. Sedangkan untuk
PLTP dengan keluaran energi terbesar di Indonesia yaitu PLTP Salak
(Chevron) 375 MW di Jawa Barat diperlukan biaya investasi Rp.8,8 -
19,8 Triliun.
c) Kendala koordinasi dan regulasi
Sebagian besar wilayah panas bumi berada di kawasan hutan
lindung dan konservasi yang berada di bawah kewenangan
Kementerian Kehutanan, dan bukan di bawah Kementerian ESDM,
sehingga menyebabkan dualisme perizinan. Kondisi tumpang tindihnya
prosedur perizinan di antara kedua kementerian tersebut membuat
pengembang dihadapkan pada ketidakpastian perizinan. Masalah
tersebut juga ditambah dengan belum adanya target waktu
penyelesaian proses perizinan. Hal tersebut menyebabkan lambatnya
penyelesaian proses perijinan. Masalah lain adalah kurangnya

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 141
koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam
kasus tertentu, pemerintah pusat telah memberikan dukungan dan
izin namun Pemda sebagai penguasa wilayah menurut UU Otonomi
Daerah tidak memberikan izin.
d) Risiko finansial
Pengembang dihadapkan pada risiko gagal bayar pembeli. PT PLN
sebagai satu-satunya pembeli dapat dihadapkan pada masalah
keuangan mengingat PT PLN menjalankan operasinya bukan semata-
mata berorientasi bisnis, namun juga menjalankan misi pelayanan
publik. Selama ini pemerintah merupakan pihak yang menanggung
subsidi untuk menutupi beban PSO (Public Service Obligation) dari PT
PLN. Adanya tambahan kewajiban bagi PT PLN untuk pembelian listrik
baru akan menambah beban keuangan PT PLN. Dalam kasus ini,
pemerintah selaku pihak yang berperan dan berwewenang memberi
penugasan pembelian listrik kepada PT PLN merupakan pihak yang
diharapkan mengatasi beban keuangan PT PLN tersebut.
e) Risiko pasar
Dalam struktur industrinya, pasar tenaga listrik merupakan pasar
monopoli yang memiliki hanya satu pihak pembeli, yaitu PT PLN. Bila
diserahkan ke mekanisme pasar dan PT PLN dalam hal ini merupakan
satu-satunya pembeli, maka pihak pengembang tidak akan dapat
memperoleh harga pembelian yang wajar secara komersial. Tender
pembelian listrik sendiri dilakukan oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat tanpa melibatkan PT PLN. Dalam hal itu PT PLN
baru membeli listrik panas bumi bila ditugaskan oleh pemerintah.

142 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 8

Berdasarkan rumusan permasalahan dan kendala yang terkait dengan


pemenuhan kebutuhan energi untuk sektor industri yang telah dibahas pada
bab sebelumnya, maka bab ini akan memaparkan analisis strategi sebagai jalan
keluar untuk mengoptimalisasi pemenuhan kebutuhan energi pada sektor
industri. Penyusunan strategi optimalisasi pemenuhan kebutuhan energi untuk
sektor industri merupakan jawaban dari tujuan kajian yang keempat.
Dengan mengacu pada permasalahan yang ada, maka secara umum
strategi optimalisasi pemenuhan kebutuhan energi untuk sektor industri harus
meliputi:
i. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi utamanya untuk
melancarkan arus distribusi energi ke pusat kegiatan industri
ii. Mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi di luar Pulau Jawa untuk
menstimulus penyebaran industri
iii. Mempercepat penyebaran pembangunan pusat kegiatan industri
khususnya di luar Pulau Jawa yang dekat dengan sumber energi
iv. Mempercepat upaya diversifikasi energi khususnya energi terbarukan
untuk menjawab tantangan kebutuhan energi yang semakin besar di
masa yang akan datang
v. Mengurangi ekspor berbagai jenis energi dan memprioritaskan hasil
produksi energi domestik untuk kebutuhan industri dalam negeri
vi. Upaya penyediaan listrik oleh PT PLN dengan sumber energi pembangkit
selain BBM perlu ditingkatkan. Misalnya dengan gas, batubara atau
biomassa.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 143
vii. Dari sisi industri, perlunya meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Misalnya dengan melakukan program restrukturisasi permesinan pada
berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar
penggunaan energi lebih efisien.
viii. Perlu membuat industri pengelola limbah yang terintegrasi dengan
berbagai industri. Limbah hasil pengolahan industri bisa dihubungkan
dengan industri pengolahan limbah, dalam satu kawasan industri bisa
dibuat satu industri pengumpul limbah yang berfungsi sebagai
distributor limbah yang akan memanfaatkan limbah sebagai bahan
bakar. Pemanfaatan limbah sebagai bahan bakar ini akan sejalan dengan
tujuan mewujudkan green industry.
ix. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka
penghematan (efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk
mendorong penggunaan energi alternatif terbarukan.
Sementara, secara khusus strategi optimalisasi pemenuhan kebutuhan
masing-masing jenis energi untuk sektor industri akan dibahas sebagai berikut.

8.1. Strategi Pemenuhan Energi Listrik


Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Indonesia mengalami krisis
listrik yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Krisis listrik tersebut
masih mungkin terjadi beberapa tahun ke depan jika tidak dilakukan langkah-
langkah strategis yang terangkum dalam strategi pemenuhan energi listrik
berikut ini.
i. Pembangunan dan Pengembangan Pembangkit Listrik
Pemerintah sudah merencanakan untuk membangun pembangkit
listrik dengan total kapasitas 35.000 Mega Watt (MW). Namun, seperti
yang sudah dijelaskan sebelumnya, masalah pendanaan dan masalah
pembebasan lahan menjadi masalah krusial dalam proses pembangunan
pembangkit listrik. Oleh sebab itu, pemerintah harus menginisiasi
pendanaan dari luar PT PLN dan pemerintah yang memiliki keterbatasan
dana dalam melakukan investasi pembangunan pembangkit listrik. Salah
satu opsi pendanaan yang memungkinkan dalam pembangunan
pembangkit listrik tersebut adalah dengan mendorong investor swasta
untuk berinvestasi dalam pembangunan pembangkit listrik. Pemerintah

144 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
sudah membagi tugas dalam pembangunan pembangkit listrik dimana
PT PLN membangun 15.000 MW dari total 35.000 MW rencana
pemerintah, sedangkan sisa 20.000 MW dibangun oleh swasta. Akan
tetapi, mengingat catatan realisasi investasi swasta selama ini yang
hanya 40 persen dari target, maka pemerintah perlu memberikan
berbagai insentif agar swasta mau berinvestasi di sektor listrik.
Beberapa insentif meliput insentif fiskal seperti pembebasan bea masuk
impor barang modal yang diperlukan dalam rangka pembangunan
pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum dan pemberian
fasilitas perpajakan dan kepabeanan untuk kegiatan pemanfaatan
sumber energi terbarukan.
Selama ini partisipasi pihak swasta dalam investasi swasta masih
lebih banyak dalam bentuk Independent Power Producers (IPP) namun
kedepan model investasi dalam bentuk Private Power Utility (PPU) harus
didorong sehingga pembangunan pembangkit listrik tidak membebani
APBN dan APLN. Berbeda dengan IPP, investasi melalui skema PPU
memberikan fleksibilitas bagi investor swast dalam kemandian
pengembangan di bidang penyediaan energi listrik di berbagai daerah
dengan memperhatikan ketersediaan sumber energi primer (non-BBM).
Melalui skema ini, maka PT PLN tidak menjadi satu-satunya off-take.
Beberapa skema dalam PPU antara lain adalah power wheeling,
penetapan wilayah usaha tersendiri dan sebagainya.
ii. Menjalankan Bauran Energi
Strategi kedua dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik adalah
dengan menjalan bauran energi primer yang digunakan untuk produksi
listrik. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, salah satu masalah utama
dalam pemenuhan energi listrik adalah permasalahan pasokan energi
primer yang digunakan untuk membangkitkan listrik. Selama ini tiga
energi utama yang membangkitkan listrik adalah batu bara (51,6%), gas
(23,6%), dan BBM (12,5%). PT PLN perlu melakukan bauran energi
dengan menambah penggunaan energi batu bara dan gas karena relatif
lebih murah dan mulai meninggalkan energi BBM yang cenderung lebih
mahal. Terlebih, Indonesia adalah negara importir minyak sehingga
menggunakan BBM sebagai energi pembangkit listrik bukan solusi
terbaik. Sayangnya, berbagai PLTD yang menggunakan solar sebagai
pembangkit listrik berada di wilayah timur. Hal tersebut membuat

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 145
pemerintah harus segera mengalihkan penggunaan energi BBM ke
energi lainnya jika memang pemerintah serius untuk melakukan
pengembangan industri ke wilayah Indonesia timur.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengurangi
ketergantungan energi BBM. Salah satu upaya jangka pendek dalam
mengurangi pemakaiaan BBM adalah dengan mengganti PLTD dengan
PLTU batu bara skala kecil maupun PTMPD yang merupakan pembangkit
thermal modular pengganti diesel. Selain itu, solusi lain dalam
mengurangi penggunaan energi BBM di wilayah Indonesia Timur adalah
dengan mengambungkan PLTD dengan pembangkit energi terbarukan
melalu proses hybrid. Selain itu, pengurangan penggunaan BBM dapat
dilakukan dengan mengganti solar dengan biofuel untuk
membangkitkan listrik di PLTD yang sudah ada.
Upaya lainnya dalam mengurangi BBM adalah dengan melakukan
gasifikasi ke Indonesia wilayah timur. Hal tersebut dilakukan dengan
membangun pembangkit beban puncak yang beroperasi dengan gas
seperti LNG, mini LNG, dan CNG). Akan tetapi, perlu ada kepastian
mengenai pasokan gas karena jika tidak ada pasokan gas maka PLTGU
tidak dapat beroperasi sehingga perencanaan PLTGU tidak dapat
dilakukan.
Mengurangi ketergantungan BBM juga dapat dilakukan dengan
melakukan pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru
terbaharukan (EBT). Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden
No.4 Tahun 2010 yang menugaskan PT PLN untuk mempercepat
pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan energi
terbarukan seperti air dan panas bumi. Khusus untuk pembangkit
tenaga listrik dengan menggunakan air, arah pengembangan kedepan
tidak lagi harus mengikuti permintaan (demand-led expansion) dengan
catatan bahwa pembangkit tersebut memang dibutuhkan untuk
pengembangan suatu wilayah seperti kawasan industri maupun
kawasan pemukiman. Melalui pendekatan yang lebih didorong oleh
rencana pengembangan wilayah, maka pembangunan wilayah yang
memiliki potensi tetapi belum berkembang seperti di Indonesia Timur
dapat terfasilitasi oleh keberadaan pembangkit listrik tersebut. Selain
tenaga air, bauran energi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan

146 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
panas bumi mengingat jenis energi ini memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan di Indonesia.

8.2. Strategi Pemenuhan Gas Bumi


Gas bumi sebagai sumber energi yang relatif murah, ramah lingkungan
dan melimpah di Indonesia. Beberapa kebijakan yang harus diagendakan dalam
rangka memperbanyak penyediaan gas bagi sektor industri adalah:
i. Mempercepat pembangunan infrastruktur gas untuk melancarkan arus
distribusi gas ke pusat kegiatan industri. Infrastruktur gas yang perlu
dipercepat pembangunannnya meliputi transportasi dan fasilitas
penampungan. Khusus untuk fasilitas penampungan bisa dengan
menggunakan fasilitas floating storage regasification unit (FSRU). Hal ini
masuk akal mengingat struktur geografis Indonesia yang sebagian besar
wilayahnya adalah lautan.
ii. Mempercepat penyebaran pembangunan pusat kegiatan industri
khususnya di luar Pulau Jawa yang dekat dengan sumber energi.
Program Kementerian Perindustrian berupa pemerataan komposisi
persebaran kawasan industri Jawa: Luar Jawa dengan komposisi 60:40
menjadi salah satu program yang harus segera diimplementasikan.
Percepatan implementasi kebijakan tersebut antara lain adalah dengan
menghilangkan hambatan-hambatan pembangunan kawasan industri
baru di luar Jawa terutama terkait dengan pengadaan lahan.
iii. Setelah infrastruktur terbangun, persebaran industri tidak
terkonsentrasi di Pulau Jawa, maka langkah selanjutnya adalah dengan
menjadikan produksi gas nasional untuk prioritas konsumsi dalam
negeri, terutama sektor industri. Hal ini harus dibarengi dengan revisi
peraturan menteri ESDM No 30/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan
Gas Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri yang
menempatkan sektor industri sebagai prioritas terakhir, dirubah
menjadi peraturan yang menjadikan sektor industri bukan prioritas
terakhir konsumen alokasi gas nasional.
iv. Pemberian insentif bagi sektor industri yang menggunakan gas sebagai
input energi mereka. Insentif ini terkait dengan benefit penggunaan
energi gas yang lebih efisien, murah dan ramah lingkungan.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 147
8.3. Strategi Pemenuhan Bahan Bakar Minyak
Dalam menyikapi permasalahan pemenuhan energi minyak pada bab
sebelumnya, diperlukan beberapa alternatif strategi untuk memenuhi
kebutuhan minyak di sektor industri:
i. Merestrukturisasi permesinan pada industri yang masih tergolong boros
energi dengan cara pemberian insentif bagi perusahaan. Namun untuk
menunjang agar program restrukturisasi industri berjalan optimal,
diperlukan peningkatan SDM untuk dapat mengoperasikan peralatan
beru tersebut. Caranya dapat dilakukan dengan mengirim karyawan
atau mendatangkan tenaga kerja profesional untuk memberikan arahan
mengenai penggunaan peralatan baru.
ii. Memberikan kelonggaran peraturan pemerintah baik pusat dan daerah
dalam mengeksplorasi potensi minyak bumi dengan catatan adanya
perlindungan terhadap lingkungan. Seperti diketahui biaya untuk
eksplorasi potensi minyak sangatlah tinggi terutama di sisi administrasi
negara seperti pajak, iuran untuk pemda, dan lain-lain. Hal ini akan
membuat ketertarikan investor akan rendah. Namun biaya yang rendah
juga diimbangi dengan biaya lingkungan agar lingkungan tetap terjaga.
iii. Mengefisienkan PT Pertamina sebagai perusahaan negara dengan cara
menekan biaya produksi dan menghilangkan mafia pemburu rente
ekonomi. Pemberantasan mafia migas hanya akan berdampak jangka
pendek, diperlukan perubahan sistem dalam pengadaan minyak mentah
impor. Diperlukan analisis mendalam mengenai sistem distribusi minyak
mentah impor mulai dari negara pengimpor sampai ke PT Pertamina.
Perbaikan sistem ini akan membuat harga impor semakin murah dan
tentunya akan menekan biaya produksi.
iv. Meremajakan peralatan di kilang minyak dan meningkatkan
komplektivitas kilang minyak. Upaya ini lebih hemat jika harus
membangun kilang minyak baru ataupun memperluas kilang minyak.
Potensi yang sudah ada cukup dimaksimalkan saja. Pembukaan kilang
yang sudah tutup juga berguna untuk meningkatkan kapasitas kilang
nasional. Selain itu, inovasi kilang minyak harus ditingkatkan untuk
memberikan nilai lebih kepada minyak mentah Indonesia.

148 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
8.4. Strategi Pemenuhan Energi Batubara
i. Mengurangi ekspor batubara ke luar negeri
Salah satu masalah dalam penyediaan batubara di sektor industri adalah
dikarenakan ekspor batubara yang terlampau banyak. Sekitar 80 persen
dari produksi batubara nasional dialokasikan untuk kepentingan ekspor.
Akibatnya, industri merasa kesulitan dalam memperoleh batubara
dengan tingkat kalori yang dibutuhkan. Untuk memperoleh batubara
dengan tingkat kalori tertentu dan memiliki tingkat resiko lingkungan
yang minim, tidak jarang industri yang mendatangkan batubara dari
impor.
ii. Harmonisasi Kebijakan
Untuk mengatasi pemanfaatan batubara yang rentan terhadap
perusakan kondisi lingkungan, maka diperlukan sinkronisasi serangkaian
kebijakan dan peraturan lintas tingkat pemerintah, selain itu diperlukan
juga pemberdayaan usaha lain untuk mengatasi kelemahan pengawasan
akan implementasi peraturan agar mampu memberikan perlindungan
terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup dan korban yang timbul
akibat degradasi fungsi lingkungan hidup.
Usaha yang telah direncanakan oleh pemerintah untuk lebih
memprioritaskan kebutuhan domestik dibandingkan ekspor perlu
diapresiasi, hal ini terlihat dari serangkaian skenario, misalnya
pemerintah memperkenankan produksi batubara nasional naik sebesar
1 persen per tahun dengan target peningkatan domestic market
obligation (DMO) sekaligus penurunan volume ekspor. Kemudian,
skenario kedua adalah: produksi batubara tidak diperbolehkan naik
dibanding dengan tahun sebelumnya, sedangkan kewajiban DMO terus
meningkat setiap tahun. Agar implementasi skenario tersebut berjalan
dengan baik, diperlukan koordinasi dan penegakan hukum mengenai
peraturan yang telah ditetapkan.
iii. Mengurangi tingkat pencemaran pada batubara

8.5. Strategi Pemenuhan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam Mendukung


Sektor Industri
Dalam skenario bauran energi yang dikeluarkan oleh DEN (Dewan Energi
Nasional), proyeksi kontribusi total energi baru terbarukan (EBT) terhadap
energi total pada 2025 sebesar 23 persen dan berlanjut pada 2050 sebesar 31
persen. Tentu bukan hal yang mudah dalam mewujudkan hal tersebut

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 149
mengingat pemanfaatan EBT hingga data terakhir pada 2012 baru sebesar 7,8
persen. Untuk itu diperlukan komitmen dan strategi yang tepat sasaran dalam
rangka mengembangkan EBT demi terciptanya pasokan energi nasional yang
kuat, khususnya dalam menunjang kinerja sektor industri.
Terdapat beberapa agenda yang patut dijadikan fokus utama
pemerintah dalam pengembangan EBT. Jika ditinjau dari aksi operasional
langkah yang harus diperhatikan adalah: Pertama, percepatan pengembangan
infrastruktur EBT sesuai roadmap pencapaian bauran energi yang telah disusun.
Kedua, realisasi pemberian insentif bagi pelaku produksi EBT, baik yang berupa
insentif fiskal, teknologi, dan tarif yang sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi. Ketiga, perlunya penetapan target atau
kuota pasokan EBT per tahun yang dikaitkan dengan Neraca Energi Nasional
(termasuk di dalamnya kebijakan impor dan ekspor energi) yang disesuaikan
secara konsisten dengan Rencana Induk Konservasi Energi (RIKEN) maupun
Rencana Induk Diversifikasi Energi Nasional (RIDEN) (Lemhanas, 2013).
Keempat, perlunya rumusan dan penerapan pola subsidi energi yang lebih tepat
(untuk BBM dan non BBM), sehingga EBT memiliki nilai kompetitif dibandingkan
dengan energi fosil. Kelima, perlunya sosialisai secara terpadu dalam
pengembangan energi nuklir yang menghasilkan energi yang cukup besar,
bersih, sustainable, dan keamanannya terjamin asalkan sesuai dengan standar
dan ketentuan yang diharuskan.
Disamping itu, dari segi pembenahan kelembagaan, perlu diarahkan
untuk meningkatkan harmonisasi dan sinergisitas dari berbagai kebijakan energi
nasional sehingga lebih berorientasi pada aksi nyata. Pertama, perlunya
meningkatkan efektivitas sistem manajemen nasional dengan mendorong
pengelolaan sumber daya energi yang dilakukan sesuai dengan amanat
konstitusi. Kedua, membenahi regulasi yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang tidak efektif dan saling tumpang tindih (contoh UU
mengenai kehutanan, minerba, pertanahan dsb). Ketiga, komunikasi yang
harmonis antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan undang-
undang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah sehingga
daerah bergairah untuk membangun dan mengembangan EBT, khususnya dalam
mendukung sektor industri di daerah tersebut. Terakhir, meningkatkan kinerja
dan kapasitas kelembagaan yang berkaitan dengan pengembangan EBT,
utamanya dalam peningkatan koordinasi antar instansi dan menghilangkan
tumpang tindih kewenangan, serta perlunya sebuah BUMN yang khusus
menangani EBT.

150 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Lebih lanjut dalam kaitannya untuk mengembangankan potensi energi
panas bumi, beberapa hal yang dapat direkomendasikan adalah: Pertama,
Mengembangkan mekanisme harga keekonomian energi, sehingga energi panas
bumi dapat bersaing dengan energi fosil yang sampai saat ini masih mendapat
insentif dan subsidi yang cukup besar. Kedua, pasokan energi yang ramah
lingkungan perlu ditingkatkan sehingga mendorong pengembangan energi yang
ramah lingkungan, salah satunya panas bumi. Ketiga, pemberdayaan dan
kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan, termasuk didalamnya
pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat dalam pengelolaan energi untuk
meminimalisir penolakan terhadap suatu proyek pembangunan infrastruktur
energi yang sebelumnya telah melewati feasibility study terlebih dahulu.
Keempat, pemerintah pusat, yang diwakili oleh Kementerian ESDM, dan
para pengembang panas bumi perlu menyelenggarakan forum diskusi resmi
dengan pemerintah daerah untuk mendukung percepatan pengusahaan panas
bumi serta menghormati keputusan-keputusan yang telah dibuat. Terakhir,
dikarenakan sumber panas bumi mayoritas berada di kawasan hutan lindung,
perlu adanya suatu forum diskusi antara Kementerian ESDM, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan para pengembang energi panas
bumi agar terdapat pemahaman yang sama dalam menterjemahkan
kewenangan-kewenangan yang tidak menghambat, terutama masalah limbah
energi panas bumi yang telah dibuktikan tidak memiliki karakteristik B3, yang
pada akhirnya dapat menciptakan efisiensi dalam operasi pengembangan energi
panas bumi.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 151
152 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 9

9.1. Kesimpulan

Dari berbagai hasil analisis yang telah dilakukan, maka diperoleh


kesimpulan sebagai berikut:
1. Neraca energi sektor industri menunjukkan bahwa selama ini telah
terjadi defisit energi, karena sebagian produksi energi dalam negeri
diperuntukkan untuk kepentingan ekspor, sehingga untuk memenuhi
kepentingan nasional harus dipenuhi dari impor.
2. Proyeksi kebutuhan energi selama tahun 2015 hingga 2035
menunjukkan bahwa tingkat konsumsi energi pada sektor industri
diprediksi akan mengalami peningkatan sebesar 166,78 persen atau
dengan rata-rata pertumbuhan pertahun sebesar 8,3 persen. Hasil
proyeksi ini akan tercapai apabila memenuhi asumsi target
pertumbuhan industri yang telah ditetapkan dalam Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional (RIPIN).
3. Proyeksi suplai energi menunjukkan bahwa di masa yang akan datang
produksi berbagai jenis energi akan dapat memenuhi seluruh
permintaan konsumsi, namun dengan asumsi bahwa segala kebutuhan
infrastruktur energi telah terbangun dan produksi energi tidak ditujukan
untuk kepentingan ekskpor.
4. Sektor industri yang akan semakin lahap energi di masa yang akan
datang antara lain: industri semen dan barang galian nonlogam; industri
logam dasar besi dan baja; industri makanan, minuman, dan tembakau;
industri pupuk, kimia dan barang karet.
5. Pada tingkat wilayah, provinsi-provinsi yang akan menjadi konsumen
terbesar energi bagi sektor industri pada 2035 tetap berada di pulau
Jawa seperti provinsi Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa tengah.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 153
Meskipun jumlah konsumsi energi semakin meningkat, namun porsi
konsumsi energi yang dialami ketiga provinsi tersebut secara umum
akan semakin menurun. Sementara porsi konsumsi energi industri di
luar Pulau Jawa akan semakin meningkat, khususnya pada daerah-
daerah yang akan menjadi pusat pertumbuhan industri di masa yang
akan datang.
6. Saat ini terjadi Ketimpangan penggunaan energi yang sangat mencolok
antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Beberapa daerah yang membutuhkan
energi justru mengalami kelangkaan, sedangkan daerah yang telah
cukup energinya justru mengalami surplus.

9.2. Rekomendasi Kebijakan


1. Mempercepat prakarsa pembangunan infrastruktur industri oleh
pemerintah untuk menstimulasi pembangunan dan penyebaran industri
di Indonesia, dengan demikian permintaan energi di sektor industri akan
meningkat sehingga dengan sendirinya akan mengurangi ekspor energi
ke luar negeri karena semakin tingginya permintaan domestik. Strategi
ini harus disertai dengan peraturan atau regulasi yang mengikat.
2. Mempercepat implementasi kebijakan bauran energi agar tidak lagi
tergantung pada satu jenis energi saja. Penggunaan batubara, gas bumi
dan biomassa sebagai sumber energi alternatif perlu lebih ditingkatkan.
3. Dalam hal penggunaan batubara, upaya penyediaan suplai listrik oleh PT
PLN dengan sumber energi pembangkit dari batubara perlu
ditingkatkan. Penggunaan batubara terintegrasi dan terlokalisasi di
pembangkit listrik PT PLN bertujuan untuk meminimalisasi pencemaran.
4. Perlunya harmonisasi dan sinkronisasi antara rencana pembangunan
industri dan rencana pembangunan pembangkit energi di setiap wilayah
di Indonesia
5. Pentingnya melakukan program restrukturisasi permesinan pada
berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar
penggunaan energi lebih efisien.
6. Perlu kajian yang lebih mendalam terkait kebutuhan energi pada
industri terpilih terutama terkait dengan penggunaan teknologi.
Disamping itu ke depan industri makanan dan minuman juga perlu
dianalisis mengingat kebutuhan energinya yang cukup besar dan
cakupan skala industrinya yang beragam.

154 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
7. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka
penghematan (efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk
mendorong penggunaan energi alternatif terbarukan.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 155
156 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2014. Outlok Energi Indonesia 2014:
Pengembangan energi untuk mendukung program substitusi BBM. Pusat
Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE).

Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 36/05/ Th. XVII, 5 Mei 2014.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 83/11/Th.XVII, 5 November 2014.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Energy Information Administration. 2013. Energy Balance Data 2011.


http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=vm, diakses 10 Juli 2014.

Dahlan Ibrahim, “Prospek Sumber Daya Batu Bara di Bagian Kutai Timur Bagian Barat
Kalimantan Timur”. 2005.

Departement of Statistics Malaysia. 2014. Energy Consumption. www.statistics.gov.my/


diakses 10 Juli 2014.

Direktorat Energi, Telekomunikasi dan Informatika BAPPENAS. 2008. Pengembangan


Panas Bumi Untuk Menambah Pasokan Tenaga Listrik dan Menyehatkan
Konsumsi Energi Nasional. Laporan Akhir Kajian (Swakelola).

Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Edisi ke-2, University of Alabama.

Energy Information Administration. 2013. Energy Balance Data 2011.


http://www.eia.gov/countries/country-data.cfm?fips=vm, diakses 10 Juli 2014.

Granger, C.W.J. 1969. Investigating causal relations by econometric models and cross-
spectral methods, Econometrica 37,424-438.

Gujarati, Damodar. 2004. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGraw Hill.

Lie, Hai Tian. 2010. Policy Suggestion for the Initial Development of Vietnam Gas
Industry. The Brooking Institute.

Malaysian Investment Development Authority. 2014. Malaysia Key Economic Indicators.


http://www.mida.gov.my/env3/index.php?page=key-economic-indicators,
diakses 10 Juli 2014.

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 157
Vietnam Briefing. 2014. Industrial Economic Zones. http://www.vietnam-
briefing.com/news/economic-zones-industrial-parks-attract-high-
investment.html/, diakses 10 Juli 2014.

PT JABABEKA. 2013. Fact Sheet 2011/2012 PT Jababeka.

Kementerian ESDM. 2014. Handbook Energy and Economic Statistics of Indonesia 2012.
KESDM. Jakarta.

Kementerian ESDM. 2013. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN). KESDM. Jakarta.

Kementerian Perindustrian. 2014. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.

Kementerian Perindustrian. 2012. Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri Dalam


Rangka Akselerasi Industrialisasi.

Lemhanas RI. 2013. Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) guna Penghematan
Bahan Baku Fosil dalam Rangka Ketahanan Energi Nasional. Jurnal Kajian
Lemhanas RI, Edisi 15, Mei 2013.

Nachrowi, Nachrowi D. dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sims, C.A. 1972. Money, income and causality, American Economic Review 62, 540-552.

Sims, C.A. 1980. Macroeconomics and reality, Econometrica 48, l-48.

Setiawan, Sigit. 2012. Energi Panas Bumi Dalam Kerangka MP3EI: Analisis terhadap
Prospek, Kendala, dan Dukungan Kebijakan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. XX(1) tahun 2012.

Stephanie J. Battles and Robert K. Adler. 1999. Production, Energy, and Carbon
Emissions: A Data Profile of the Iron and Steel Industry. American Council for an
Energy Efficient Economy Summer Study on Energy Efficiency in Industry, June
1999.

Triatmojo, Ferry. 2013. Dinamika Kebijakan Diversifikasi Energi Di Indonesia: Analisis


Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Administrasi Publik dan Pembangunan, Vol.4 No.2, Juli-Desember 2013.

World Coal Institute. Tinjauan Lengkap Mengenai Batubara. 2009.

158 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 1. Data Penggunaan Energi dan Sektor Industri

No Tahun Batubara Gas Listrik BBM Output


1 2000Q1 8964.06 22369.50 5110.17 18163.29 78,625.5
2 2000Q2 8990.56 21889.88 5180.58 18607.15 81,978.2
3 2000Q3 9028.25 21466.69 5247.70 18966.68 84,564.8
4 2000Q4 9077.13 21099.94 5311.55 19241.88 86,149.6
5 2001Q1 9137.19 20789.62 5372.11 19432.76 82,750.7
6 2001Q2 9208.44 20535.75 5429.39 19539.30 86,671.2
7 2001Q3 9290.88 20338.31 5483.39 19561.52 88,191.8
8 2001Q4 9384.50 20197.31 5534.11 19499.41 89,815.3
9 2002Q1 8427.87 19833.65 5611.00 19331.77 89,349.9
10 2002Q2 8968.45 19917.16 5643.37 19109.48 91,870.5
11 2002Q3 9944.79 20168.76 5660.69 18811.36 94,150.3
12 2002Q4 11356.90 20588.43 5662.94 18437.39 91,837.6
13 2003Q1 15953.80 22152.63 5512.82 17273.67 94,177.6
14 2003Q2 17137.83 22517.88 5539.87 17033.58 95,733.4
15 2003Q3 17658.02 22660.63 5606.77 17003.20 99,639.0
16 2003Q4 17514.36 22580.88 5713.54 17182.55 99,595.6
17 2004Q1 14136.31 21486.55 6000.59 18748.41 100,807.8
18 2004Q2 13693.19 21278.63 6130.91 18876.47 103,622.5
19 2004Q3 13614.44 21165.04 6244.91 18743.53 105,646.5
20 2004Q4 13900.06 21145.77 6342.59 18349.59 108,291.7
21 2005Q1 14957.13 21637.63 6406.12 16907.66 108,400.8
22 2005Q2 15808.68 21640.30 6478.32 16306.52 110,055.8
23 2005Q3 16861.77 21570.59 6541.35 15759.18 111,687.4
24 2005Q4 18116.41 21428.48 6595.21 15265.63 112,758.6

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 159
No Tahun Batubara Gas Listrik BBM Output
25 2006Q1 19702.95 21020.89 6592.52 14872.45 112,749.4
26 2006Q2 21308.55 20811.23 6646.98 14467.87 114,815.2
27 2006Q3 23063.55 20606.42 6711.23 14098.46 119,383.4
28 2006Q4 24967.95 20406.45 6785.27 13764.23 119,301.1
29 2007Q1 29767.55 19244.26 6894.04 13433.64 119,315.0
30 2007Q2 30872.45 19440.80 6977.65 13182.36 121,246.9
31 2007Q3 31028.45 20029.02 7061.05 12978.86 124,859.4
32 2007Q4 30235.55 21008.91 7144.26 12823.14 124,840.3
33 2008Q1 25480.02 23597.08 7320.89 12718.76 124,782.3
34 2008Q2 23994.79 24873.67 7366.23 12657.18 126,862.8
35 2008Q3 22766.13 26055.30 7373.92 12641.96 131,039.9
36 2008Q4 21794.05 27141.95 7343.95 12673.10 127,416.7
37 2009Q1 19157.73 28649.77 7025.43 12693.41 127,091.6
38 2009Q2 19467.14 29340.04 7020.51 12840.15 129,162.9
39 2009Q3 20801.45 29728.88 7078.29 13056.12 133,060.8
40 2009Q4 23160.67 29816.30 7198.77 13341.32 133,852.3
41 2010Q1 30918.66 28498.67 7563.64 14545.48 132,574.1
42 2010Q2 33578.15 28424.70 7736.86 14629.27 135,780.1
43 2010Q3 35512.99 28490.77 7900.11 14442.39 139,568.4
44 2010Q4 36723.20 28696.86 8053.39 13984.86 142,013.0
45 2011Q1 36539.62 29472.20 8130.84 11990.89 140,390.8
46 2011Q2 36568.20 29786.67 8290.53 11498.36 145,008.2
47 2011Q3 36139.79 30069.48 8466.59 11241.48 149,565.1
48 2011Q4 35254.40 30320.64 8659.03 11220.27 152,060.0
49 2012Q1 33912.02 30540.14 9339.51 11434.70 148,638.5
50 2012Q2 32112.66 30727.98 9576.67 11884.80 153,454.5
51 2012Q3 29856.32 30884.17 9831.08 12570.55 159,868.5
52 2012Q4 27142.99 31008.70 10102.74 13491.95 162,778.5

160 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 2. Hasil Proyeksi Kebutuhan Energi

Tahun BatuBara Gas Listrik BBM Output

2000 36,060.0 86,826.0 20,850.0 74,979.0 331,318.1


2001 37,021.0 81,861.0 21,819.0 78,033.0 347,429.0
2002 38,698.0 80,508.0 22,578.0 75,690.0 367,208.3
2003 68,264.0 89,912.0 22,373.0 68,493.0 389,145.6
2004 55,344.0 85,076.0 24,719.0 74,718.0 418,368.5
2005 65,744.0 86,277.0 26,021.0 64,239.0 442,902.6
2006 89,043.0 82,845.0 26,736.0 57,203.0 466,249.1
2007 121,904.0 79,723.0 28,077.0 52,418.0 490,261.6
2008 94,035.0 101,668.0 29,405.0 50,691.0 510,101.7
2009 82,587.0 117,535.0 28,323.0 51,931.0 523,167.6
2010 136,733.0 114,111.0 31,254.0 57,602.0 549,935.6
2011 144,502.0 119,649.0 33,547.0 45,951.0 587,024.1
2012 123,024.0 123,161.0 38,850.0 49,382.0 624,740.0
2013 121,044.0 127,970.93 41,413.98 53,763.6 662,830.4
2014 147,417.4 130,248.28 42,104.35 55,235.8 703,782.5
2015 172,890.3 134,062.57 44,482.80 58,422.2 751,862.8
2016 169,646.3 142,074.15 48,452.69 60,183.7 807,119.4
2017 167,893.0 150,514.93 52,205.43 56,520.3 870,660.7
2018 182,151.7 157,362.98 55,646.71 50,062.2 941,956.5
2019 196,313.3 163,948.36 60,084.64 45,604.1 1,020,911.0
2020 199,402.5 171,746.15 65,713.45 43,146.0 1,107,829.5
2021 201,575.0 180,284.68 71,644.05 41,687.9 1,203,599.9
2022 211,790.8 188,908.01 77,672.78 40,229.8 1,308,840.9
2023 224,002.5 198,209.97 84,506.11 38,771.7 1,425,116.1
2024 231,117.3 208,939.64 92,504.39 37,313.6 1,553,274.1

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 161
Tahun BatuBara Gas Listrik BBM Output

2025 236,800.9 220,901.58 101,317.15 37,045.5 1,694,763.7


2026 247,139.6 233,664.86 110,731.64 35,642.0 1,851,348.5
2027 260,687.5 247,495.36 121,094.70 34,238.5 2,024,172.9
2028 272,906.7 262,981.94 132,766.38 32,835.0 2,215,994.6
2029 284,154.6 280,270.13 145,738.28 31,431.5 2,428,958.1
2030 297,698.8 299,202.33 159,967.63 30,028.0 2,665,273.1
2031 313,851.9 319,898.26 175,679.97 28,624.5 2,927,696.7
2032 330,496.0 342,754.44 193,190.95 27,221.0 3,218,711.7
2033 347,216.2 368,057.64 212,665.86 25,817.5 3,541,966.0
2034 365,543.0 395,925.77 234,230.49 24,414.0 3,905,039.6
2035 385,599.3 426,565.60 258,230.50 23,010.5 4,313,691.8

162 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 3. Kontribusi Sektor Industri Di Setiap Provinsi

No. Provinsi 2015 2020 2025 2030 2035

1 Aceh 0.20 0.21 0.21 0.22 0.23


2 Sumatera Utara 5.79 6.38 7.66 8.05 8.55
3 Sumatera Barat 0.91 0.93 0.95 0.95 0.96
4 Riau 6.04 6.50 7.32 7.63 8.03
5 Kep. Riau 3.23 3.50 3.86 4.25 4.75
6 Jambi 0.55 0.56 0.56 0.58 0.60
7 Sumatera Selatan 2.05 2.18 2.35 2.46 2.59
8 Bangka Belitung 0.50 0.50 0.51 0.52 0.53
9 Bengkulu 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08
10 Lampung 1.75 1.85 2.10 2.20 2.33
11 DKI Jakarta 12.15 11.05 10.05 9.37 8.51
12 Jawa Barat 22.96 22.78 21.61 20.51 19.10
13 Banten 7.12 6.64 6.01 5.69 5.28
14 Jawa Tengah 9.56 9.95 9.90 9.99 10.10
15 DI Yogyakarta 0.59 0.61 0.62 0.63 0.65
16 Jawa Timur 19.89 19.07 17.91 17.23 16.36
17 Bali 0.55 0.56 0.56 0.58 0.6
18 Kalimantan Barat 0.93 1.09 1.29 1.43 1.60
19 Kalimantan Tengah 0.26 0.27 0.30 0.34 0.40
20 Kalimantan Selatan 0.49 0.54 0.63 0.77 0.95
21 Kalimantan Timur* 1.61 1.69 1.88 2.14 2.47
22 Sulawesi Utara 0.26 0.30 0.35 0.43 0.54
23 Gorontalo 0.04 0.04 0.04 0.04 0.04
24 Sulawesi Tengah 0.26 0.29 0.35 0.52 0.74
25 Sulawesi Selatan 1.51 1.67 1.98 2.27 2.65
26 Sulawesi Barat 0.08 0.08 0.09 0.09 0.10

Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 163
No. Provinsi 2015 2020 2025 2030 2035

27 Sulawesi Tenggara 0.17 0.18 0.20 0.26 0.33


Nusa Tenggara
28 0.14 0.15 0.15 0.15 0.16
Barat
Nusa Tenggara
29 0.04 0.04 0.03 0.03 0.03
Timur
30 Maluku 0.04 0.04 0.04 0.04 0.05
31 Maluku Utara 0.06 0.06 0.07 0.08 0.10
32 Papua 0.10 0.11 0.14 0.18 0.22
33 Papua Barat 0.11 0.12 0.20 0.28 0.38
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

164 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri

Anda mungkin juga menyukai