2014
Energi memiliki peranan penting terhadap pembangunan sektor industri
di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah dimasukannya sektor industri
sebagai sektor yang diperhatikan dalam kebijakan energi nasional. Kebutuhan
energi untuk sektor industri diprediksi akan meningkat seiring dengan target
percepatan industrialisasi di Indonesia. Dimana sektor industri diharapkan
mampu memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap perekonomian
nasional.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka
Pembangunan Industri ini disusun sebagai bahan masukan bagi pemerintah
dalam membuat kebijakan yang terkait dengan pembangunan sektor energi
yang dapat mendukung akselerasi di sektor industri, serta sebagai pertimbangan
bagi sektor industri khususnya perusahaan dalam membuat strategi optimalisasi
yang lebih efektif dan efisien terkait penggunaan energi.
Kami ucapkan terima kasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang
telah membantu penyusunan kajian ini, khususnya: Dr. Enny Sri Hartati, Ahmad
Heri Firdaus, M.Si., Eko Listiyanto, M.S.E., Abdul Manap Pulungan, M.E., Dr. Eka
Puspitawati, Rusli Abdulah, M.Si., dan Imaduddin Abdullah, M.Sc.
Akhirnya kami berharap kajian ini dapat berkontribusi bagi perencanaan
dukungan pemenuhan kebutuhan energi dalam rangka pembangunan industri.
Biro Perencanaan
Kementerian Perindustrian
Bab 1. Pendahuluan 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 4
1.3. Tujuan Penelitian 5
1.4. Manfaat Penelitian 5
1.5. Ruang Lingkup 5
1.6. Peranan Sektor Industri terhadap Perekonomian Nasional 6
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri iii
Bab 3. Gambaran Umum dan Kebijakan Energi di Indonesia 25
3.1. Kondisi Umum Sektor Energi di Indonesia 25
3.1.1. Pasokan Energi di Indonesia 25
3.1.2. Konsumsi Energi di Indonesia 26
3.2. Kondisi Khusus Sektor Energi di Indonesia 28
3.2.1. Ketenagalistrikan Nasional 28
3.2.1.1. Permintaan Tenaga Listrik 31
3.2.1.2. Pengembangan Tenaga Listrik di Indonesia dan
Proyeksi ke Depan 33
3.2.2. Gas Bumi 38
3.2.2.1. Permintaan dan Neraca Gas 39
3.2.2.2. Infrastruktur Gas Nasional 42
3.2.2.3. Rencana Pengembangan Infrastruktur Gas
PT PGN 44
3.2.3. Minyak Bumi 48
3.2.3.1. Kebutuhan Terhadap Bahan Bakar Minyak 49
3.2.3.2. Pasokan Energi Minyak 49
3.2.3.3. Rencana Pengembangan Minyak Bumi 52
3.3. Kebijakan Sektor Energi di Indonesia 54
3.3.1. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional di Bidang Energi 54
3.3.2. Kebijakan Umum Sektor Energi 56
3.3.3. Kebijakan Khusus Masing-masing Jenis Energi 59
3.3.3.1. Kebijakan Khusus MIGAS 59
3.3.3.2. Kebijakan Khusus Batubara 61
3.3.3.3. Kebijakan Khusus Ketenagalistrikan 62
3.3.4. Kebijakan Bauran Energi 64
Lampiran 159
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri vii
Tabel 6.4. Distribusi Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi
Pada 9 (sembilan) Subsektor Industri Tahun 2012 (Persen) 110
Tabel 6.5. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri
(Ribu SBM) 112
Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri (Unit
Energi) 114
Tabel 6.7. Proyeksi Kebutuhan Energi Pada 9 Subsektor Industri (Ribu
SBM) 116
Tabel 6.8. Proyeksi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9
Subsektor Industri Pada Tahun 2035 117
Tabel 6.9. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Industri Pada Setiap
Provinsi (Ribu SBM) 119
Tabel 7.1. Kebutuhan Investasi Penyediaan Listik Tahun 2013-2022
(dalam juta dollar) 126
Tabel 7.2. Komposisi Penggunaan Gas Alam di Indonesia Tahun 2012 128
viii Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Gambar 1.1. Konsumsi Energi Sektoral Indonesia Tahun 2006-2012 2
Gambar 1.2. Intensitas Penggunaan Energi Primer di Beberapa Negara 4
Gambar 3.1. Pasokan Energi di Indonesia Menurut Jenis (2000-2011) 26
Gambar 3.2. Pangsa Konsumsi Energi di Indonesia Menurut Jenis
(persen) 28
Gambar 3.3. Proyeksi Jumlah Penduduk, Jumlah Pelanggan, dan Rasio
Elektrifikasi 2013-2022 34
Gambar 3.4. Proyeksi Kebutuhan Listrik 2013-2022 (TWh) 35
Gambar 3.5. Proyeksi Pertumbuhan Pelanggan Industri Menurut
Wilayah 37
Gambar 3.6. Komposisi Produksi Energi Listrik Berdasarkan Jenis Energi
(GWh) 38
Gambar 3.7. Pasokan Energi Pada Sektor Industri Menurut Jenis Energi
(persen) 48
Gambar 3.8. Proyeksi Kebutuhan Energi Minyak Pada Sektor Industri
dan Marine (Juta Kilo Liter) 49
Gambar 3.9. Perkembangan Produksi, Ekspor, dan Impor Minyak
Indonesia (Ribu Barel) 50
Gambar 3.10. Cadangan Minyak di Indonesia (Miliar Barel) 51
Gambar 3.11. Sasaran Bauran Energi Primer Nasional 2025 66
Gambar 4.1. Total Konsumsi Energi Tiongkok 70
Gambar 4.2. Konsumsi Energi Tiongkok menurut Jenis 71
Gambar 4.3. Total Pasokan Energi Tiongkok 72
Gambar 4.4. Pasokan Energi Tiongkok 2011 73
Gambar 4.5. Bauran Energi Tiongkok 73
Gambar 4.6. Neraca Energi Tiongkok 74
Gambar 4.7. Total Konsumsi Energi India 75
Gambar 4.8. Konsumsi Energi di India Menurut Jenis 76
Gambar 4.9. Total Pasokan Energi India 77
Gambar 4.10. Bauran Pasokan Energi 77
Gambar 4.11. Neraca Energi India 78
xii Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
untuk kebutuhan industri dan kebutuhan domestik lainnya. Produksi biomassa
dalam negeri tersebut tidak diperuntukkan untuk keperluan ekspor. Oleh sebab
itu, sektor industri maupun sektor lainnya tidak perlu menggunakan biomassa
yang berasal dari impor. Hal inilah yang menyebabkan tidak terjadinya defisit
pada neraca energi biomassa. Defisit energi tidak hanya disebabkan karena
kurangnya (keterbatasan) produksi, melainkan juga karena hasil produksi energi
tersebut diperuntukkan untuk kepentingan ekspor, sehingga untuk memenuhi
kepentingan nasional harus dipenuhi dari impor.
Tujuan kedua yaitu memproyeksi tingkat kebutuhan energi pada sektor
industri. Proyeksi kebutuhan energi untuk sektor industri pada kajian ini
menggunakan metode vector autoregressive (VAR) yang lazim digunakan untuk
memproyeksikan sistem variabel-variabel runtut waktu dan untuk menganalisis
dampak dinamis dari faktor gangguan yang terdapat dalam sistem variabel
tersebut. Jenis energi yang dianalisis dalam kajian ini meliputi listrik, gas,
batubara dan BBM. Berdasarkan hasil proyeksi menggunakan metodologi VAR,
kebutuhan energi untuk sektor industri pada tahun 2035 akan mencapai 1,09
miliar BOE. Berdasarkan proyeksi yang dibuat, maka akan terjadi peralihan
permintaan energi dari energi batubara menjadi energi gas. Pada 2014
diproyeksikan bahwa energi batubara masih merupakan jenis energi dengan
permintaan terbesar di sektor perindustrian. Namun pada tahun 2035, gas
merupakan sumber energi yang paling banyak dibutuhkan oleh sektor industri
dimana permintaan sektor industri terhadap energi gas akan mencapai 426,56
juta BOE. Sektor Industri yang akan semakin lahap energi di masa yang akan
datang antara lain: industri logam dasar besi dan baja; industri pupuk, kimia dan
barang karet; industri semen dan barang galian non logam.
Dalam tingkat provinsi, saat ini masih terjadi ketimpangan penggunaan
energi yang sangat mencolok antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Beberapa
daerah yang membutuhkan energi justru mengalami kelangkaan, sedangkan
daerah yang telah cukup energinya justru mengalami surplus. Di masa depan,
dengan asumsi telah terjadi percepatan pembangunan industri di luar Jawa,
maka diproyeksikan akan terjadi percepatan permintaan energi di luar Jawa.
Meskipun provinsi-provinsi di Jawa tetap menjadi konsumen terbesar energi
pada 2035, namun porsi konsumsi energi di Jawa secara umum akan semakin
menurun. Sementara porsi konsumsi energi industri di luar Pulau Jawa akan
semakin meningkat, khususnya pada daerah-daerah yang akan menjadi pusat
pertumbuhan industri di masa yang akan datang.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri xiii
Tujuan ketiga yaitu menganalisis kendala terkait dengan penyediaan
energi bagi sektor industri. Terdapat sejumlah masalah utama yang dihadapi
sektor industri terkait dengan akses mereka terhadap energi, antara lain: 1)
Sektor Industri sangat bergantung pada sumberdaya energi, namun sumberdaya
energi belum termanfaatkan secara optimal; 2). Infrastruktur energi untuk
melancarkan distribusi energi ke pusat-pusat kegiatan industri terbilang masih
minim; 3). Sekitar 47,8 persen dari total produksi gas nasional dialokasikan
pemerintah untuk kebutuhan ekspor dan sebagian besar (79 persen) produksi
batubara diekspor ke luar negeri, sehingga pemanfaatan batubara untuk
kebutuhan domestik masih rendah; 4) Salah satu penyebab mengapa hasil
produksi energi primer banyak diekspor adalah karena keterbatasan
infrastruktur dalam hal distribusi di dalam negeri; 5). Pasokan energi dengan
biaya murah, efisien, dan ramah lingkungan masih sangat sulit diperoleh; 6).
Dalam hal diversifikasi energi terutama dalam menghasilkan Energi Baru
Terbarukan (EBT) masih sulit dilakukan karena selain biaya (investasi) yang
dikeluarkan jauh lebih mahal, infrastruktur yang dibutuhkan juga masih belum
memadai.; 7). Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dengan lokasi
industri, misalnya sumber gas bumi yang melimpah tersebar di Papua,
Kalimantan, Sumatera, dan namun lokasi industri terpusat di pulau Jawa.
Demikian pula energi batubara yang melimpah di Sumatera dan Kalimantan,
sementara konsumennya sebagian besar terpusat di pulau Jawa; 8).
Pemanfaatan energi terbarukan masih relatif rendah yang disebabkan tingginya
biaya investasi, regulasi, insentif dari pemerintah serta harga jual yang tinggi.
Kajian ini selanjutnya menyusun strategi optimalisasi pemenuhan
kebutuhan energi untuk sektor industri dalam rangka pembangunan sektor
industri antara lain (tujuan keempat):
a. Mempercepat pembangunan infrastruktur energi utamanya untuk
melancarkan arus distribusi energi ke pusat kegiatan industri
b. Mempercepat peningkatan rasio elektrifikasi di luar Pulau Jawa untuk
menstimulus penyebaran industri
c. Mempercepat penyebaran pembangunan pusat kegiatan industri khususnya
di luar Pulau Jawa yang dekat dengan sumber energi
d. Mempercepat upaya diversifikasi energi khususnya energi terbarukan untuk
menjawab tantangan kebutuhan energi yang semakin besar di masa yang
akan datang
e. Mengurangi ekspor berbagai jenis energi dan memprioritaskan hasil
produksi energi domestik untuk kebutuhan industri dalam negeri
xiv Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
f. Upaya penyediaan listrik oleh PT PLN dengan sumber energi pembangkit
selain BBM perlu ditingkatkan. Misalnya dengan gas,batubara atau
biomassa.
g. Dari sisi industri, perlunya meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Misalnya dengan melakukan program restrukturisasi permesinan pada
berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar
penggunaan energi lebih efisien.
h. Perlu membuat industri pengelola limbah yang terintegrasi dengan berbagai
industri. Limbah hasil pengolahan industri bisa dihubungkan dengan industri
pengolahan limbah, dalam satu kawasan industri bisa dibuat satu industri
pengumpul limbah yang berfungsi sebagai distributor limbah yang akan
memanfaatkan limbah sebagai bahan bakar. Pemanfaatan limbah sebagai
bahan bakar ini akan sejalan dengan tujuan mewujudkan green industry.
i. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka penghematan
(efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk mendorong penggunaan
energi alternatif terbarukan.
Terakhir, kajian ini memberikan rekomendasi strategi kebijakan yang
tepat terkait dengan dukungan pemenuhan kebutuhan energi yang mendukung
pembangunan sektor industri. Hal ini dilakukan untuk menjawab tujuan yang ke
lima. Beberapa rekomendasi dalam kajian ini antara lain:
1. Mempercepat prakarsa pembangunan infrastruktur industri oleh
pemerintah untuk menstimulasi pembangunan dan penyebaran industri di
Indonesia, dengan demikian permintaan energi di sektor industri akan
meningkat sehingga dengan sendirinya akan mengurangi ekspor energi ke
luar negeri karena semakin tingginya permintaan domestik.
2. Mempercepat implementasi kebijakan bauran energi agar tidak lagi
tergantung pada satu jenis energi saja. Penggunaan batubara, gas bumi dan
biomassa sebagai sumber energi alternatif perlu lebih ditingkatkan.
3. Dalam hal penggunaan batubara, upaya penyediaan suplai listrik oleh PT
PLN dengan sumber energi pembangkit dari batubara perlu ditingkatkan.
Penggunaan batubara terintegrasi dan terlokalisasi di pembangkit listrik PT
PLN bertujuan untuk meminimalisasi pencemaran.
4. Perlunya harmonisasi dan sinkronisasi antara rencana pembangunan
industri dan rencana pembangunan pembangkit energi di setiap wilayah di
Indonesia
xvi Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 1
Pertanian, Peternakan,
1 15,29 15,31 14,71 14,50 14,43
Kehutanan, dan Perikanan
2 Pertambangan dan Penggalian 10,56 11,16 11,82 11,80 11,24
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 0,83 0,76 0,75 0,76 0,77
4 Listrik, Gas, dan Air Bersih 14,29 5,33 4,82 6,25 5,58
N
Subsektor Industri 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
o
Makanan, Minuman
1 5,05 2,34 11,22 2,78 9,14 7,57 3,34
dan Tembakau
7 Logam Dasar Besi & Baja 2,57 2,11 1,94 2,00 1,93 1,90
Alat Angkutan, Mesin &
8 28,97 27,33 28,14 27,47 27,12 28,10
Peralatannya
9 Barang Lainnya 0,80 0,77 0,76 0,73 0,67 0,63
Yt A0 AYt 1 vt
Persamaan tersebut disebut Vector Autoregresive berordo 1 yang lazim
ditulis VAR(1). Jika peubah sebanyak M, dengan observasi sebanyak T dan ordo
p, maka model VAR (p) dapat ditulis sebagai berikut:
Dimana εt = white noise dan Δ Yt = Yt-1 – Yt-2. Pada ADF yang akan diuji
adalah apakah δ = 0 dengan hipotesis alternatif δ < 0, jika nilai absolut dari nilai t
hitung untuk δ lebih besar dari absolut ADF, maka hipotesis nol yang
menunjukkan bahwa data tidak stasioner ditolak terhadap hipotesis
alternatifnya.
k k
Yt = Σ αjYt-j + Σ βj Xt-j + ut
j=1 j=1
k k
Xt = Σ δjXt-j + Σ δj Yt-j + ut
j=1 j=1
2.54 2.82 2.34 2.03 2.13 2.32 2.06 2.31 2.30 2.21 3.07 2.06 2.10
17.21 16.87
18.05 16.39 16.39 16.72 14.92 18.70 19.39 18.85
16.54 16.53 17.65 0.93 1.08 1.08
0.97 0.94 0.95 1.06 1.16 1.15
0.96 0.96 0.96 0.92
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Coal Biofuel Crude Oil & Product Geothermal Natural Gas & Product Biomass Hydro Power
52.2
55.4 52.4 49.3 47.6 50
59.1 62.6 59.9 52.1
63.6 64.7 64.1
2000 2001 2 0 0 2 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2 0 1 0 2011 2012
Tabel 3.4. Jumlah Pelanggan Tenaga Listrik PT PLN 2008-2013 (Ribu Unit)
Indonesia Bagian
Tahun Indonesia Jawa-Bali Sumatera
Timur
2013 64.863 58.613 4.798 1.451
2014 70.777 63.589 5.052 2.136
2015 76.187 67.871 5.455 2.860
2016 81.589 72.212 5.860 3.517
2017 85.679 75.778 6.251 3.650
2018 90.313 79.833 6.684 3.795
2019 95.004 83.881 7.168 3.955
2020 100.134 88.294 7.710 4.130
2021 105.476 92.830 8.322 4.323
2022 111.549 97.994 9.019 4.536
Pada tahun 2022, defisit gas di Jawa Bagian Barat akan diantisipasi
dengan meningkatkan pasokan LNG dari domestik (Bontang, Tangguh, Masela)
maupun impor dan membangun land based LNG receiving terminal,
mempercepat penyaluran gas Natuna Timur ke Jawa Bagian Barat melalui
penyiapan infrastruktur hulu dan hilirnya. Surplus pasokan di Jawa Bagian
Tengah terjadi karena asumsi adanya pasokan LNG dari Floating Storage and
Regasification Unit (FSRU) Jawa Tengah. Tanpa FSRU Jawa Tengah, pemenuhan
permintaan di Jawa Bagian Tengah dilakukan dari penyaluran surplus pasokan di
Jawa Bagian Timur secara bertahap. Tahap awal dengan CNG, jangka panjang
dengan pipa Gresik-Semarang. FRSU adalah adalah komponen penting yang
diperlukan saat transit dan mentransfer LNG.
PT PGN mulai mengembangkan pasar di Jawa Bagian Timur (pioneering)
untuk menyerap surplus gas tahun 2013-2018 (asumsi pengembangan industri
di bawah rencana permintaan). Penurunan pasokan dari lapangan Jawa Bagian
Timur secara signifikan mulai 2019, pemenuhan permintaan dilakukan dari LNG
sehingga diperlukan LNG receiving terminal. PT PGN akan melakukan integrasi
supply dan demand di Pulau Jawa. Di Jawa Barat akan dibangun land based LNG
Panjang Jaringan
Area Eksisting Diameter
(km)
DKI Jakarta 20 mm - 16" 641
Banten 20 mm - 24" 405
Bekasi 20 mm - 32" 306
Karawang 1" - 16" 138
Bogor 20 mm - 16" 588
Cirebon 20 mm - 12" 391
Palembang 20 mm - 6" 134
Surabaya 20 mm - 12" 424
Sidoarjo 20 mm - 16" 206
Pasuruan 2" - 16" 152
Medan 20 mm - 12" 627
Batam 2" - 28" 66
Pekanbaru 6" 3
Total 4.100
Sumber: PT PGN, 2014
Gambar 3.8. Proyeksi Kebutuhan Energi Minyak Pada Sektor Industri dan
Marine (Juta Kilo Liter)
Jika dilihat dari bauran energi, batubara menjadi sumber energi andalan
industri Tiongkok. Sampai tahun 2011, batubara masih menjadi sumber energi
andalan. Pada tahun 1997 seiring dengan diresmikannya pipa gas alam pertama
Tiongkok, gas alam menjadi sumber energi yang disarankan oleh pemerintah.
Selain itu penggunaan minyak sebagai sumber energi di Tiongkok cenderung
stagnan. Hal ini sejalan dengan program energi bersih pemerintah.
Pada awal tahun 1970an, pasokan energi India lebih didominasi oleh
biofuels dan limbah. Seiring dengan perkembangan global pasokan energi India
didominasi oleh batubara. Hal ini terkait dengan harga batubara yang lebih
rendah dan cadangan batubara masih besar di dunia. Industri baru di India lebih
memilih menggunakan batubara karena harga yang murah dan mudah untuk
mendapatkannya. Selain itu pasokan energi dari minyak dinilai memberatkan
neraca perdagangan India karena sebagian besar minyak bumi berasal dari
impor.
Gambar 4.13. Total Pasokan Energi Malaysia 2000-2011 (dalam Ktoe atau
setara ribuan ton minyak)
Gambar 4.14. Total Pasokan Energi Malaysia (dalam Ktoe atau setara ribuan
ton minyak)
Jika dilihat dari bauran pasokan energi, pada periode 1970-an masih
pasolak energi di Malaysia masih didominasi oleh minyak bumi. Namun hal
tersebut mulai berubah seiring kebijakan Pemerintah untuk menggunakan gas
alam sebagai substitusi minyak pada periode1980-an (Gambar 4.15). Selain
penggunaan energi konvensional, Malaysia mulai memanfaatkan energi
alternatif seperti biofuel, limbah, dan geotermal. Hal ini tercermin dari
perubahan trend pasokan energi alternatif hingga tahun 2011.
Gambar 4.18. Total Konsumsi Energi (KTOE atau setara ribuan ton minyak)
Primary Energy
1 322,934 236,439 281,400 334,143 345,079
Supply
a. Produksi 961,800 1,075,960 1,155,690 1,483,738 1,620,776
b. Impor 449 289 232 178 327
- - -
c. Ekspor -833,137 -873,600
672,000 1,145,220 1,277,015
% Ekspor 69.87 77.43 75.59 77.18 78.79
d. Perubahan
32,685 -6,673 -922 -4,554 912
stok
Energy -
2 -153,852 -144,860 -189,576 -221,976
Transformation 153,796
% hasil
15.99 14.30 12.53 12.78 13.70
transformasi
Final Energy
3 169,138 82,587 136,540 144,567 123,024
Supply
Final Energy
4 169,138 82,587 136,540 144,567 123,024
Consumption
a. Industri 169,138 82,587 136,540 144,567 123,024
% konsumsi
17.59 7.68 11.81 9.74 7.59
industri
b. Transportasi 0 0 0 0 0
c. Rumah Tangga 0 0 0 0 0
d. Komersial 0 0 0 0 0
e. Sektor Lain 0 0 0 0 0
100 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Sebagai konsekuensi dari semakin meningkatnya kebutuhan BBM dalam
negeri serta menurunnya produksi dalam negeri, maka untuk saat ini Indonesia
untuk tidak punya pilihan lain kecuali mengandalkan BBM impor. Impor BBM
yang terjadi terus meningkat. Pada 2008, impor BBM mencapai 154,67 juta
barel, kemudian pada 2012 telah mencapai 192,02 juta barel.
Dari keempat jenis energi yang dibahas dalam bab ini, jenis energi BBM
merupakan jenis energi yang mengalami defisit paling besar. Defisit energi tidak
hanya disebabkan karena kurangnya (keterbatasan) produksi, melainkan juga
karena hasil produksi energi tersebut diperuntukkan untuk kepentingan ekspor,
sehingga untuk memenuhi kepentingan nasional harus dipenuhi dari impor.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 101
102 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 6
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 103
dan listrik sejauh ini belum dapat diperoleh. Selain itu, jenis energi yang
dimaksud pada bagian ini hanya jenis energi yang digunakan untuk bahan bakar
dan bukan bahan baku, kecuali untuk industri pupuk yang menggunakan gas
bumi sebagai bahan baku utama.
Sumber pasokan energi yang diperoleh industri berasal dari pasar yang
dibentuk oleh beberapa produsen pemasok energi. Pasar energi batubara
dibentuk oleh beberapa produsen besar dan banyak pemasok yang lebih kecil,
energi gas juga bervariasi karena ada yang disuplai oleh perusahaan niaga gas,
namun ada pula industri yang langsung membeli dari produsen di hulu migas.
Energi listrik berasal dari perusahaan listrik negara sebagai perusahaan negara
yang melakukan monopoli penyaluran energi listrik. Terakhir adalah BBM, yang
sebelum tahun 2001 dipasok hanya oleh BUMN PT Pertamina. Tapi sejak tahun
2006 sudah mulai bertambah banyak pemasok energi BBM perusahaan swasta
dikarenakan kebijakan pemerintah yang memberlakukan harga internasional
bagi BBM industri sejak tahun 2006 yang lalu.
Masing-masing jenis energi memiliki satuan energi yang berbeda-beda,
yang tidak bisa dijumlahkan begitu saja, seperti kWh untuk listrik, ton untuk
batubara, MMSCFD atau mmbtu untuk gas bumi, liter atau barel untuk BBM.
Untuk dapat membandingkan antara satu jenis energi dengan jenis energi yang
lain dan untuk dapat menjumlahkan kebutuhan energi industri, perlu dilakukan
penyamaan satuan. Untuk itu satuan energi dari berbagai jenis energi dikonversi
ke dalam satuan energi listrik yaitu Barrel Oil Eqiuvalent (BOE) atau Setara Barel
Minyak (SBM).
Proyeksi kebutuhan energi dilakukan dengan cara memproyeksikan
kebutuhan energi dalam satuan SBM. Setelah diproyeksi hingga tahun 2035,
maka total energi dalam satuan SBM tersebut dapat didistribusikan menjadi
menjadi beberapa jenis energi yang masuk dalam lingkup perhitungan proyeksi.
Pada hasil proyeksi tersebut telah terjadi perubahan proporsi penggunaan
energi (change in the energy mix) karena model yang digunakan dalam analisis
proyeksi telah memperhitungkan berbagai asumsi. Asumsi tersebut yaitu nilai
proyeksi penggunaan energi di masa yang akan datang dipengaruhi oleh
berbagai faktor seperti pengaruh terhadap variabel energi lainnya, pengaruh
terhadap variabel eksogen yang dalam hal ini adalah asumsi pertumbuhan
industri, serta pengaruh dari penggunaan energi di masa lalu.
104 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Masing-masing jenis energi memiliki kandungan setara barel minyak
(SBM) yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, SBM dari setiap jenis energi
disumsikan seperti pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Nilai SBM dari Masing-masing Jenis Energi
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 105
Tabel 6.2. Konsumsi Energi di Sektor Industri
(Setara Barel Minyak/SBM)
106 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
jenis energi gas paling banyak digunakan oleh industri pupuk, kimia dan barang
dari karet (40.044,88 ribu SBM). Sementara itu, tenaga listrik paling banyak
digunakan oleh industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki (7.348,63 ribu
SBM).
Berdasarkan data 2012, industri yang paling banyak mengkonsumsi energi
adalah industri semen dan barang galian bukan logam. Industri ini
mengkonsumsi energi sebesar 64,58 juta SBM atau 19,3 persen dari total energi
yang digunakan oleh sektor industri. Selain itu, diperingkat kedua terdapat
industri pupuk, kimia dan barang dari karet yang mengkonsumsi energi sebesar
59,79 juta SBM atau 17,9 persen dari total energi yang digunakan oleh sektor
industri. Penggunaan energi terbanyak selanjutnya terdapat pada industri logam
dasar besi dan baja. Penggunaan energi pada industri ini mencapai 49,17 juta
SBM atau 14,7 persen dari total energi yang digunakan oleh sektor industri.
Selanjutnya, industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau
dikarenakan banyaknya populasi pada kelompok industri ini, menyebabkan
energi yang dikonsuminya pun tergolong besar, yakni mencapai 49,71 juta SBM
atau 14,9 persen dari total energi yang digunakan oleh sektor industri. Hal
serupa juga dialami oleh industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. Selain
padatnya konsumsi energi pada kelompok industri ini, banyaknya jumlah
populasi industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki juga turut menyebabkan
besarnya konsumsi energi yang mencapai 41,22 juta SBM atau sekitar 12,3
persen dari total energi yang digunakan oleh sektor industri.
Beberapa kelompok industri yang telah disebutkan tersebut merupakan
golongan industri yang lahap mengkonsumsi energi. Total energi yang
dikonsumsi kelima kelompok industri tersebut mencapai 79 persen dari total
energi yang dikonsumsi oleh sektor industri. Hal ini telah dikonfirmasi oleh
kajian terdahulu yang dilakukan oleh Biro Perencanaan Kementerian
Perindustrian dan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
pada 2012 yang berjudul “Perencanaan Kebutuhan Energi Sektor Industri dalam
Rangka Akselerasi Industrialisasi”.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 107
Tabel 6.3. Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9 (sembilan)
Subsektor Industri Tahun 2012 (Ribu Setara Barel Minyak/SBM)
108 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Lebih lanjut, persentase komposisi kebutuhan dari masing-masing jenis
energi khususunya pada tahun 2012 ditunjukkan pada Tabel 6.4. Industri
makanan, minuman dan tembakau lebih banyak menggunakan energi yang
berasal dari gas yakni sebesar 35,56 persen. Kemudian yang berasal dari
batubara dan listrik masing-masing sebesar 30,43 persen dan 13,94 persen.
Jenis gas yang paling banyak digunakan oleh industri ini adalah gas LPG.
Industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki, lebih banyak
menggunakan energi gas yaitu sebesar 35,51 persen. Penggunaan batubara
pada industri ini mencapai 34,79 persen. Selain itu, industri ini juga banyak
menggunakan energi listrik sebesar 16,22. persen, kemudian diikuti oleh
penggunaan energi yang bersumber dari bahan bakar minyak (BBM) sebesar
13,49 persen.
Industri barang kayu, hasil hutan (kecuali furniture) didominasi oleh
penggunaan pada energi gas dan BBM. Porsi penggunaan gas dan BBM masing-
masing 34,66 persen dan 24,54 persen. Sementara penggunaan batubara dan
listrik masing-masing sebesar 28,61 persen dan 12,19 persen. Di lain hal, industri
kertas dan barang cetakan selain banyak menggunakan energi gas, juga banyak
menggunakan batubara dan listrik yang masing-masing sebesar 31,18 persen
dan 18,74 persen.
Penggunaan gas terbanyak terdapat pada industri pupuk, kimia dan
barang dari karet. Pemakaian energi gas pada kelompok industri ini mencapai
66,98 persen. Selain digunakan sebagai bahan bakar, gas juga banyak digunakan
sebagai bahan baku pada industri pupuk. Proses produksi pupuk sangat
bergantung pada gas, dimana porsi penggunaan gas pada bahan baku industri
pupuk mencapai lebih dari 90 persen (INDEF, 2012).
Di lain hal, penggunaan batubara paling banyak digunakan pada industri
semen dan barang galian bukan logam. Batubara sangat dibutuhkan oleh proses
pembakaran pada produksi semen. Porsi penggunaan batubara pada kelompok
industri mencapai 56,79 persen. Selain batubara, gas yang digunakan pada
kelompok industri ini juga tergolong banyak, yakni mencapai 29,81 persen.
Kemudian diikuti oleh penggunaan energi listrik dan BBM yang masing-masing
mencapai 7,44 persen dan 5,97 persen.
Identik dengan kelompok industri semen dan barang galian bukan
logam, industri logam dasar besi dan baja juga paling banyak memanfaatkan
batubara sebagai sumber energi utama dengan porsi sebesar 50,45 persen.
Kemudian diikuti oleh penggunaan gas, BBM, dan listrik. Gas yang digunakan
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 109
pada kelompok industri ini mencapai 19,91 persen. Sedangkan porsi
penggunaan BBM dan listrik mencapai 17,26 persen dan 12,38 persen.
Tabel 6.4. Distribusi Komposisi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9
(sembilan) Subsektor Industri Tahun 2012 (Persen)
Sama halnya industri logam dasar besi dan baja, untuk industri alat
angkutan, mesin beserta peralatannya juga paling banyak mengandalkan
batubara dan gas sebagai sumber energi utama. Porsi penggunaan batubara dan
gas pada industri masing-masing sebesar 32,60 persen dan 29,97 persen.
Sementara itu, BBM juga diandalkan sebagai sumber energi dengan porsi
sebesar 24,53 persen. Selanjutnya energi listrik yang digunakan mencapai 12,90
persen. Penggunaan batubara dan gas pada kelompok industri ini lebih
digunakan sebagai bahan pembangkit energi listrik.
110 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Industri barang lainnya (yang tidak diklasifikasikan ke kelompok industri
sebelumnya) juga memanfaatkan batubara dan gas sebagai bahan baku
pembangkit listrik. Porsi penggunaan batubara dan gas yang digunakan
mencapai 32,15 persen dan 26,31 persen. Penggunaan BBM juga relatif besar
pada kelompok industri lainnya, terlihat dari porsi penggunaan BBM yang
mencapai 25,93 persen.
6.2. Proyeksi Kebutuhan Energi Masing-Masing Subsektor Industri di
Indonesia
Proyeksi kebutuhan energi untuk masing-masing industri
mengasumsikan bahwa kebutuhan energi untuk masing-masing industri
mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang dipengaruhi oeh
berbagai hal. Asumsi pertumbuhan konsumsi energi pada sektor industri
dipengaruhi oleh pertumbuhan konsumsi energi itu sendiri dan jenis energi
lainnya. Selain itu juga dipengaruhi oleh pertumbuhan industri manufaktur yang
tertuang dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) dan tren
masing-masing jenis energi. Masing-masing industri mengalami pertumbuhan
yang berbeda-beda namun dengan kecenderungan meningkat. Masing-masing
pertumbuhan industri secara lengkap di tampilkan pada Tabel 6.5.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa total kebutuhan energi untuk sektor
industri pada 2035 sebesar 1,093 miliar SBM. Namun meskipun jumlah energi
tersebut dinyatakan dalam satuan intensitas setara barel minyak, tidak semua
energi tersebut berupa energi minyak. Masing-masing industri tersebut
menggunakan sumber energi primer seperti batubara, gas dan listrik. Pada
beberapa industri bahkan ada yang menggunakan energi non fosil sebagai
bahan bakar utamanya, seperti industri kertas dan barang kertas yang banyak
menggunakan energi biomassa.
Konsumsi energi dari tahun 2015 hingga 2035 akan meningkat sebesar
166,8 persen. Pada 2015, total konsumsi energi di sektor industri mencapai
409,85 juta SBM, sedangkan pada 2035 penggunaan energi di sektor industri
telah mencapai 1,093 miliar SBM. Pada kajian ini, jenis energi yang menjadi
cakupan analisis terdiri dari batubara, gas, listrik dan BBM. Dari 4 jenis energi
yang diproyeksi hingga 2035, konsumsi jenis energi gas mengalami
pertumbuhan paling besar selain batubara. Sementara penggunaan BBM akan
semakin menurun hingga 2035. Total penggunaan batubara pada 2035
mencapai 385,59 juta SBM, sementara total penggunaan gas dan listrik mang-
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 111
masing mencapai 426,56 juta SBM dan 258,23 juta SBM. Di lain hal penggunaan
BBM terus menurun hingga mencapai 23,01 juta barel di tahun 2035.
Tabel 6.5. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri (Ribu SBM)
Bauran energi untuk sektor industri pada tahun 2035 diprediksi akan
mendekati bentuk seperti Gambar 6.1. Penggunaan BBM di sektor Industri
secara keseluruhan hanya tinggal 2 persen. Di sisi lain penggunaan gas (gas alam
dan LPG) akan mencapai 39 persen. Sementara penggunaan batubara dan listrik
masing-masing akan mencapai 35 persen dan 24 persen. Bentuk bauran energi
ini hanya mengasumsikan terhadap 4 jenis sumber energi. Penggunaan lainnya
seperti jenis-jenis Energi Baru Terbarukan (EBT) tidak masuk dalam analisis
peramalan dalam kajian ini. Hal ini dikarenakan keterbatasan data untuk
menganalisis jenis-jenis EBT.
112 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Sumber: Sumber: Kementerian ESDM dan BPS, 2014 (diolah)
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 113
Tabel 6.6. Proyeksi Kebutuhan Jenis Energi Pada Sektor Industri
(Unit Energi)
Batubara Gas Listrik BBM
Tahun
(Ribu Ton) (MMBTU) (GWH) (Barel)
2012 29,291.4 678,617.9 64,108.9 49,382.0
114 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
industri ini diperkirakan akan mencapai 164,90 juta SBM di tahun 2035, atau
meningkat sebesar 155,35 persen selama periode 2012-2035.
Industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau juga menjadi
kelompok industri yang membutuhkan banyak energi, mengingat industri ini
merupakan kelompok industri yang paling banyak memiliki populasi dan ragam
jenis. Pada 2015 industri makanan, minuman, dan pengolahan tembakau
diperkirakan akan mengkonsumsi energi sebesar 58,69 juta SBM. Kemudian
pada 2035 akan meningkat sebesar 176,1 persen menjadi 162,04 juta SBM
(Tabel 6.7).
Industri tekstil, barang dari kulit, dan alas kaki juga merupakan industri
yang tergolong lahap energi. Hal ini ditunjukkan dari besarnya konsumsi energi
pada kelompok industri tersebut. Pada 2015, konsumsi energi industri ini
mencapai 62,07 juta SBM, kemudian meningkat 177,1 persen di tahun 2035
menjadi 164,86 juta SBM.
Di sisi lain, kelompok industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya,
industri kertas dan barang cetakan, industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya serta industri lainnya relatif lebih kecil dalam mengkonsumsi
energi jika dibandingkan dengan kelima kelompok industri yang disebutkan
sebelumnya. Industri barang dari kayu dan hasil hutan lainnya pada tahun 2035
diperkirakan akan mengkonsumsi energi sebesar 45,82 juta SBM. Industri kertas
dan barang cetakan pada 2035 diperkirakan akan membutuhkan energi sebesar
63,53 juta SBM. Sementara untuk kelompok industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya pada 2035 diprediksi akan membutuhkan energi sebesar 107,65
juta SBM. Serta industri barang lainnya sebesar 25,59 juta SBM.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 115
Tabel 6.7. Proyeksi Kebutuhan Energi Pada 9 Subsektor Industri (Ribu SBM)
N Kelompok
2015 2020 2025 2030 2035
o Industri
Industri
Makanan,
1 Minuman, 58,689.29 68,734.40 85,353.09 112,679.09 162,036.47
dan
Tembakau
Industri
Tekstil,
2 Barang dari 52,999.48 62,070.74 77,078.29 101,755.09 146,857.39
Kulit, dan
Alas Kaki
Industri
Barang Kayu
3 & Hasil 16,766.56 19,636.28 24,383.97 32,190.55 45,822.71
Hutan
Lainnya
Industri
Kertas dan
4 23,404.69 27,410.58 34,037.95 44,935.27 63,531.71
Barang
Cetakan
Industri
Pupuk,
5 Kimia, & 64,119.44 75,093.97 93,250.29 123,104.59 172,149.25
Barang dari
Karet
Industri
Semen &
6 Barang 68,371.81 80,074.16 99,434.60 131,268.82 164,905.69
Galian bukan
Logam
Industri
7 Logam Dasar 70,640.22 82,730.82 102,733.59 135,624.00 204,852.86
Besi & Baja
Industri Alat
Angkutan,
8 44,452.12 52,060.43 64,647.67 85,344.77 107,653.91
Mesin &
Peralatannya
Industri
9 Barang 10,414.22 12,196.70 15,145.63 19,994.54 25,595.93
lainnya
116 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Lebih lanjut, apabila proyeksi dilakukan terhadap masing-masing
kelompok industri dan masing-masing jenis energi, maka akan terlihat dalam
Tabel 6.8. masing-masing penggunaan energi pada setiap kelompok industri di
tahun 2035. Total penggunaan batubara pada 2035 akan mencapai 91,81 juta
ton. Dimana penggunaan terbesar terdapat pada kelompok industri semen dan
barang galian bukan logam serta industri logam dasar besi dan baja.
Di lain hal, total penggunaan gas untuk industri di 2035 akan mencapai
2.350.379,1 MMBTU. Dimana penggunaan gas terbesar terdapat dalam
kelompok industri pupuk, kimia dan barang dari karet yang mencapai 52,7
persen dari total penggunaan gas untuk industri. Selain untuk kelompok
tersebut, industri semen dan barang galian bukan logam serta industri makanan,
minuman, dan pengolahan tembakau juga banyak menggunakan gas, dimana
porsi penggunaannya di tahun 2035 mencapai masing-masing 9,0 persen dan
8,4 persen.
Tabel 6.8. Proyeksi Kebutuhan Masing-masing Jenis Energi Pada 9 Subsektor
Industri Pada Tahun 2035
Batubara Gas Listrik BBM
No Industri
(Ribu Ton) (MMBTU) (GWH) (Barel)
Industri Makanan,
1 Minuman, dan 6,579.0 198,254.3 39,325.4 4,555.9
Tembakau
Industri Tekstil, Barang
2 8,531.3 168,962.5 73,338.1 2,590.4
dari Kulit, dan Alas Kaki
Industri Barang Kayu &
3 4,935.2 80,705.1 66,663.6 1,395.0
Hasil Hutan Lainnya
Industri Kertas dan
4 8,966.7 97,975.1 31,869.2 1,225.1
Barang Cetakan
Industri Pupuk, Kimia,
5 7,557.2 1,239,993.8 43,819.3 2,619.4
& Barang dari Karet
Industri Semen &
6 Barang Galian bukan 33,969.5 211,535.6 52,698.3 1,795.4
Logam
Industri Logam Dasar
7 13,771.6 186,871.5 79,542.0 3,955.1
Besi & Baja
Industri Alat Angkutan,
8 5,775.7 130,017.0 26,527.4 4,006.7
Mesin & Peralatannya
9 Industri Barang lainnya 1,723.3 36,064.4 12,414.4 867.6
Total 91,809.4 2,350,379.1 426,122.6 23,010.6
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 117
Sementara itu, penggunaan listrik untuk industri pada 2035 akan
mencapai 426.122,6 GWH. Dimana penggunaan terbesar terdapat pada industri
logam dasar besi dan baja yang porsinya mencapai 18,6 persen (79.542 GWH).
Selain itu, industri tekstil, barang dari kulit dan alas kaki juga menjadi konsumen
listrik terbesar dengan porsi penggunaan mencapai 17,2 persen atau sebesar
73.338,1 GWH. Selanjutnya diikuti dengan kelompok industri barang kayu dan
hasil hutan lainnya yang menggunakan listrik sebesar 66.663,6 GWH atau
sebesar 15,6 persen dari total penggunaan listrik untuk industri.
Penggunaan BBM industri pada tahun 2035 yang akan datang,
diperkirakan akan menyusut hingga sekitar 60 persen. Total BBM yang masih
digunakan oleh industri pada tahun 2035 diperkirakan sebesar 23.010,6 barel.
Penggunaan BBM terbesar terdapat pada kelompok industri makanan,
minuman, dan pengolahan tembakau, industri alat angkutan, mesin dan
peralatannya serta industri logam dasar besi dan baja.
118 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 6.9. Proyeksi Kebutuhan Energi Sektor Industri Pada Setiap Provinsi
(Ribu SBM)
No Provinsi 2015 2020 2025 2030 2035
1 Aceh 819.7 1,008.0 1,251.7 1,721.7 2,514.8
2 Sumatera Utara 23,730.8 30,624.5 45,658.6 63,357.8 93,486.2
3 Sumatera Barat 3,729.7 4,464.1 5,662.6 7,510.1 10,496.7
4 Riau 24,755.4 31,200.5 43,632.0 60,059.1 87,800.5
5 Kep. Riau 13,238.4 16,800.3 23,008.1 33,455.7 51,936.8
6 Jambi 2,254.2 2,688.0 3,338.0 4,545.1 6,560.4
7 Sumatera Selatan 8,402.1 10,464.2 14,007.5 19,323.0 28,319.2
8 Bangka Belitung 2,049.3 2,400.0 3,039.9 4,082.4 5,795.1
9 Bengkulu 327.9 384.0 476.9 629.5 874.7
10 Lampung 7,172.5 8,880.1 12,517.4 17,321.2 25,476.4
11 DKI Jakarta 49,797.7 53,040.9 59,904.5 73,751.1 93,048.8
12 Jawa Barat 94,103.4 109,345.8 128,809.7 161,357.9 208,840.5
13 Banten 29,181.9 31,872.5 35,823.5 44,765.0 57,731.8
14 Jawa Tengah 39,182.4 47,760.8 59,010.4 78,595.2 110,434.0
15 DI Yogyakarta 2,418.2 2,928.0 3,695.6 4,982.6 7,107.1
16 Jawa Timur 81,520.7 91,537.5 106,755.3 135,566.6 178,881.2
17 Bali 2,254.2 2,664.0 3,338.0 4,564.0 6,560.4
18 Kalimantan Barat 3,811.7 5,232.1 7,689.2 11,224.3 17,494.5
19 Kalimantan Tengah 1,065.6 1,296.0 1,788.2 2,706.9 4,373.6
20 Kalimantan Selatan 2,008.3 2,592.0 3,755.2 6,065.4 10,387.4
21 Kalimantan Timur* 6,598.7 8,112.1 11,206.0 16,836.4 27,007.1
22 Sulawesi Utara 1,045.1 1,440.0 2,086.2 3,412.0 5,904.4
23 Gorontalo 163.9 192.0 238.4 314.8 437.4
24 Sulawesi Tengah 1,045.1 1,392.0 2,086.2 4,104.5 8,091.2
25 Sulawesi Selatan 6,188.9 8,016.1 11,802.1 17,900.3 28,975.3
26 Sulawesi Barat 307.4 384.0 536.5 742.8 1,093.4
27 Sulawesi Tenggara 676.3 864.0 1,192.1 2,023.9 3,608.2
Nusa Tenggara
28 570.3 720.0 894.1 1,215.0 1,749.4
Barat
Nusa Tenggara
29 160.4 168.0 178.8 236.1 328.0
Timur
30 Maluku 159.8 182.4 238.4 332.1 492.0
31 Maluku Utara 250.0 297.6 417.2 637.4 1,038.7
32 Papua 409.9 504.0 834.5 1,378.6 2,405.5
33 Papua Barat 450.8 552.0 1,192.1 2,197.0 4,154.9
Total 409,850.8 480,008.1 596,065.1 786,915.6 1,093,405.9
120 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 7
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 121
yang dikeluarkan jauh lebih mahal, infrastruktur yang dibutuhkan juga
masih belum memadai.;
vii. Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi dengan lokasi
industri, misalnya sumber gas bumi yang melimpah tersebar di Papua,
Kalimantan, Sumatera, dan namun lokasi industri terpusat di pulau
Jawa. Demikian pula energi batubara yang melimpah di Sumatera dan
Kalimantan, sementara konsumennya sebagian besar terpusat di pulau
Jawa;
viii. Pemanfaatan energi terbarukan masih relatif rendah yang disebabkan
tingginya biaya investasi, regulasi, insentif dari pemerintah serta harga
jual yang tinggi.
Lebih lanjut, kajian ini juga melakukan kegiatan survey dan FGD di
beberapa daerah untuk memperoleh data primer. Berdasarkan hasil survey dan
FGD ke Jawa Timur dan Jawa Barat, yang merupakan salah satu pusat kegiatan
industri di Indonesia, kajian ini dapat mengidentifikasi beberapa persoalan yang
terkait dengan penyediaan energi di daerah tersebut, diantaranya:
I. Penyediaan jaringan kelistrikan:
a. Terjadi ketidaksesuaian (miss match) antara perencanaan pembangunan
kawasan industri dengan perencanaan pembangunan jaringan listrik.
Hal ini membuat terhambatnya proyek-proyek pembangunan kawasan
industri, karena belum siapnya dukungan dari jaringan kelistrikan.
b. Dalam hal pembangunan gardu induk: sulitnya pembebasan lahan,
proses perijinan IMB, Ketidaksediaan warga sekitar untuk membangun
GI,warga meminta kompensasi yang terlampau tinggi.
c. Dalam hal membangun transmisi: Terjadi overlapping dengan
pengembangan Tata Ruang/Wilayah pemda; terbentur dengan wilayah
Perhutani dan PTPN.
d. Distribusi jaringan kelistrikan yang tidak merata.
122 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Sumber: PT PLN Jawa Timur, 2014
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 123
Sumber: PT PGN Jawa Timur, 2014
124 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Akan tetapi, rencana pembangunan industri terhambat oleh ketersediaan
energi listrik. Bahkan, Menteri ESDM menyebutkan bahwa Indonesia sedang
mengalami krisis listrik dimana kapasitas cadangan untuk wilayah Jawa yang
merupakan pusat ekonomi Indonesia hanya berkisar 25% hingga 30% dari beban
puncak yang mencapai 23.400 megawatt (MW). Krisis listrik yang terjadi tidak
dapat dilepaskan dari keterlambatan pembangunan berbagai pembangkit listrik
yang sebenarnya sudah direncanakan oleh pemerintah baik sebelum maupun
sesudah rencana MP3EI dikeluarkan.
Krisis listrik memang sudah diprediksikan terjadi karena rendahnya
kapasitas pembangkit di Indonesia yang hanya sebesar 35,33 GW (gigawat)
padahal memiliki penduduk lebih dari 230 juta jiwa. Hal tersebut sangat
berbeda dengan negara tetangga yang kapasitas pembangkitnya tidak jauh
berbeda dengan Indonesia namun memiliki jumlah penduduk yang jauh lebih
sedikit. Sebagai contoh, Singapura yang hanya berpopulasi 5,3 juta penduduk
mampu memproduksi listrik hingga 10,49 GW. Hal yang sama juga terjadi di
Malaysia dimana pembangkit listrik di Malaysia memiliki kapasitas hingga 28,4
GW untuk total kebutuhan 29 juta penduduk.
Krisis listrik sendiri akan semakin parah jika pertumbuhan kapasitas
produksi energi listrik tidak secepat kebutuhan energi listrik di Indonesia.
Pertumbuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia sangat mungkin untuk
meningkat mengingat pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang masih terjaga.
Masih rendahnya rasio elektrifikasi di beberapa daerah membuat pertumbuhan
permintaan energi listrik masih memiliki ruang yang terbuka sangat lebar.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo sendiri sudah merencanakan proyek
pembangunan pembangkit listrik dengan total kapasitas 35.000 Mega Watt
(MW). Pemerintah menargetkan bahwa proyek ini dapat dimulai pada tahun
2015 sehingga krisis listrik dapat segera terselesaikan. Proyek ini ditujukan
untuk menyelesaikan masalah krisis listrik maupun dalam rangka membantu
mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Walaupun pemerintah sudah merencanakan pembangunan pembangkit
listri, namun pada faktanya terdapat berbagai permasalahan dalam
menjalankan proyek tersebut. Salah satu contoh masalah dalam pembangunan
pembangkit listrik adalah terbatasnya pendanaan yang tersedia padahal
pembangunan pembangkit listrik memerlukan investasi yang sangat besar.
Dalam RUPTL tahun 2012, PT PLN mengestimasikan bahwa dibutuhkan investasi
sebesar USD 71,1 miliar atau setara Rp 857,4 triliun untuk membangun
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 125
infrastruktur energi listrik yang mencakup pembangkit listrik, penyaluran, hingga
distribusi listrik. Tabel 7.1 di bawah menjelaskan kebutuhan investasi setiap
tahunnya dalam membangun infrastruktur listrik di Indonesia. Untuk tahun
2014 saja, dibutuhkan investasi sebesar Rp 8,6 trilliun. Sedangkan rata-rata
kebutuhan investasi infrastruktur listrik selama periode 2013 hingga 2022
mencapai Rp 7,1 trilun.
Tabel 7.1. Kebutuhan Investasi Penyediaan Listrik Tahun 2013-2022
(dalam juta dollar)
Item 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Total
Pembangkit 3.001 2.862 4.012 4.334 4.003 4.319 3.522 3.622 3.617 3.893 37.196
Penyaluran 2.734 3.001 2.940 3.180 3.517 2.054 912 521 398 147 19.412
Distribusi 1.437 1.238 1.266 1.381 1.465 1.433 1.526 1.561 1.555 1.625 14.489
Total 7.182 7.111 8.217 8.895 8.985 7.806 5.959 5.704 5.571 5.665 71.097
126 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
proses pembebasan sisa lahan seluas 29 hektar di daerah operasi PLTU Batang
membuat proses pembangunan PLTU tersebut ditunda. Loetan (2014) menilai
bahwa penundaan pembangunan PLTU Batang membuat negara mengalami
kerugian. Kerugian tersebut berasal dari kontribusi batubara yang ditargetkan
sebanyak 70 persen pada tahun 2017, berkurang menjadi 67 persen, eskalasi
harga pada bahan konstruksi dan harga tanah yang mencapai 10 persen, serta
dampak multiplier effects akibat tidak terserapnya tenaga kerja sebanyak 3.000
orang sejak tahap konstruksi hingga proyek selesai.
Sebenarnya, proses pembebasan lahan dalam rangka pembangunan PLTU
Batang sudah dijamin oleh Undang-Undang No 2 tahun 2012 tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Dalam undang-undang tersebut,
tanah untuk kepentingan umum, termasuk pembangunan infrastruktur
pembangkit listrik dapat dibebaskan oleh pemerintah. Akan tetapi, walaupun
UU tersebut sudah resmi berlaku, namun pada kenyataannya proses
pembebasan lahan masih sulit untuk dilakukan.
Selain masalah investasi dan pembabasan lahan, masalah lainnya yang
dapat menghambat pemenuhan listrik nasional adalah ketidakpastian pasokan
energi lain untuk membangkitkan berbagai pembangkit listrik. Seperti yang
diketahui, energi listrik bukan merupakan energi primer sehingga PT PLN
membutuhkan energi primer untuk dapat memproduksi listik. Berdasarkan data
yang dikeluarkan oleh PT PLN, tiga energi utama yang membangkitkan listrik
adalah batu bara (51,6%), gas (23,6%), dan BBM (12,5%). Ketiga jenis energi ini
adalah jenis energi fosil yang sifatnya non-renewable sehingga cadangannya
terus berkurang. Padahal di saat yang bersamaan terjadi peningkatan
permintaan terhadap ketiga jenis energi tersebut untuk membangkitkan listrik
di berbagai pembangkit listrik. Lebih dari itu, permintaan tiga energi fosil
tersebut tidak hanya berasal dari permintaan untuk pembangkit listrik tetapi
juga permintaan dari sektor industri, sektor rumah tangga, maupun permintaan
ekspor yang terus mengalami peningkatan. Hal tersebut membuat jaminan
pasokan (security of supply) menjadi isu krusial dalam peningkatan kapasitas
produksi energi listrik.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 127
dua produk yakni gas alam dan LNG. Ekspor dalam bentuk gas alam sebesar
64.355 ribu BOE dan ekspor dalam bentuk olahan liquid natural gas (LNG)
sebesar 170.520 ribu BOE. Sisanya sebesar 50,3 persen digunakan untuk
konsumsi dalam negeri yang ditujukkan untuk berbagai penggunaan.
Penggunaan gas alam di dalam negeri sebagian besar diperuntukkan
untuk pembangkit listrik PT PLN dan keperluan di sektor industri. Penggunaan
gas alam di pembangkit PT PLN sebesar 65.721 ribu BOE (13,42 persen) total
produksi gas alam Indonesia di 2012. Pada tahun yang sama, penggunaan gas
alam oleh sektor industri sebesar 63.373 ribu BOE (12,94 persen) dari total
produksi gas alam.
Salah satu penyebab utama mengapa produksi gas nasional sebagian
besar digunakan untuk kepentingan ekspor adalah keterbatasan infrastruktur
distribusi gas dalam negeri, meskipun permintaan dalam negeri terhadap gas
tinggi. Keterbatasan infrastruktur distribusi gas bumi juga menjadikan
penggunaan energi gas di sektor industri kecil.
Tabel 7.2. Komposisi Penggunaan Gas Alam di Indonesia
Tahun 2012
Ribu BOE (Barrel Oil
No Keterangan Persentase
Equivalen)
1 Konversi ke LPG 188.169 38,41*
2 Refinery 3.175 0,65
3 IPP 8.700 1,78
4 PT PLN 65.721 13,42
5 Industri 63.373 12,94
6 Transprotasi 367 0,07
7 Rumah Tangga 134 0,03
8 Komersial 1.625 0,33
9 Bahan Baku 28.382 5,79
10 Perbedaan statistik 28.618 5,84
11 Penggunaan sendiri 37.189 7,59
12 Ekspor 64.355 13,14
Total Produksi 489.808 100,00
Sumber : Executive Reference Data, Dewan Energi Nasional, 2013
128 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
sesungguhnya. Data dari Forum Industri Pengguna Gas Bumi menyebutkan pada
tahun 2011 kebutuhan gas di sektor industri mencapai 2.767,32 MMSCFD yang
terbagi untuk industri manufaktur 1.520,74 MMSCFD dan industri pupuk dan
petrokimia 1.246,58 MMSCFD. Besaran kebutuhan tersebut masih menyisakan
99,32 MMSCFD gas di sektor industri yang belum dapat dipenuhi dari gas
domestik. Kondisi ini tentunya dapat berakibat kepada penurunan daya saing
industri manufaktur dalam negeri dan mengakibatkan pertumbuhan sektor
industri nasional terancam stagnan dan menurun.
Selain infrastruktur, permasalahan peraturan juga menjadi penyebab
kenapa penggunaan gas di sektor industri relatif kecil. Sektor industri menjadi
sektor terakhir yang diprioritaskan untuk mendapatkan pasokan gas. Peraturan
Menteri ESDM No. 30/2010 tentang Alokasi dan Pemanfaatan Gas Bumi untuk
Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri. Peraturan Menteri tersebut merupakan
dasar bagi pemerintah memprioritaskan pemanfaatan gas bumi untuk
peningkatan produksi minyak dan gas bumi, industri pupuk, tenaga listrik, dan
terakhir adalah untuk kebutuhan industri.
Ketidaksesuaian antara persebaran sumber energi gas bumi dengan
sebaran lokasi industri juga menjadi salah satu penyebab konsumsi gas sektor
industri rendah. Contohnya adalah sumber gas bumi yang melimpah tersebar di
Papua, Kalimantan, Sumatera, dan namun lokasi industri sebagian besar
terpusat di pulau Jawa.
Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan,
sebagian besar sumur-sumur gas tersebar jauh dari pusat-pusat kawasan
industri. Sebaran dan cadangan gas bumi di Indonesia yang sebagian besar
terdapat di luar Jawa seperti Sumatera, Kalimantan dan Papua. Total cadangan
gas bumi di Pulau Jawa sebesar 8,34 TSCF, sisanya tersebar di luar Pulau Jawa.
Cadangan terbesar terdapat di Kepulauan Natuna dengan besaran cadangan
sebesar 90,27 TSCF. Sedangkan cadangan terkecil ada di Sumatera Utara
sebesar 1,23 TSCF.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 129
Sumber : Statistik Gas Bumi, Kementerian ESDM 2013
130 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035 adalah pertumbuhan sektor industri
mencapai lebih dari 10 persen dan sumbangan sektor industri terhadap PDB
nasional mencapai 30 persen. Target tersebut harus dibarengi dengan
penyediaan energi yang mencukupi dan tidak hanya bergantung pada satu jenis
energi saja.
Permasalahan dalam penyediaan energi minyak di Indonesia salah
satunya terkait dengan masalah-masalah di sisi hulu. Berikut beberapa
permasalahan yang terkait dengan penyediaan energi minyak dalam negeri:
1. Umur Kilang Minyak
Penurunan produksi minyak mentah dan BBM tidak terlepas
dari sudah terlalu tuanya peralatan maupun kilang minyak milik PT
Pertamina. Pengilangan minyak di Indonesia sudah berumur lebih dari
20 tahun. Pengilangan minyak paling baru ada di Balongan, itupun
dibangun pada tahun 1994. Pengilangan yang tua membuat kapasitas
pengilangan minyak menjadi berkurang. Selain itu, sering terjadinya
gangguan di pengilangan minyak karena faktor usia kilang minyak.
Walaupun kapasitas kilang minyak Indonesia menembus 1 juta barel per
hari namun karena usia kilang yang sudah tua membuat kapasitas
tersebut tidak maksimal. Saat ini kapasitas kilang PT Pertamina tidak
lebih dari 750 ribu barel hari. Padahal kebutuhan minyak dalam negeri
mencapai lebih dari 1 juta barel per hari. Angka tersebut kalah dengan
Singapura yang memiliki angka kapasitas kilang minyak 1,3 juta barel
per hari. Di Indonesia 750 ribu barel untuk memenuhi kebutuhan 240
juta penduduknya tentu tidak akan cukup.
Rencana pengembangan kilang minyak ataupun pembuatan
kilang minyak baru hanya selalu sekedar wacana. Terdapat beberapa
masalah dalam pengembangan ataupun pembangunan kilang baru
seperti kurangnya dana pengembangan maupun pembangunan.
Pembangunan kilang membutuhkan dana yang besar namun
keuntungannya marginal sehingga dibutuhkan insentif untuk menarik
investasi.
Kapasitas kilang bukan menjadi satu-satunya masalah dalam
kilang minyak Indonesia. Yang patut diperhatikan juga adalah tingkat
kompleksitas sebuah kilang. Kompleksitas sebuah kilang menunjukkan
kualitas dari kilang. Seperti yang diketahui, sebuah kilang biasanya
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 131
hanya dapat mengolah beberapa jenis minyak. Namun dengan teknologi
yang canggih, sebuah kilang dapat mengolah beberapa jenis minyak.
Sebuah kompleksitas minyak biasanya diukur dengan NCI
(Nelson Complexity Index). Semakin tinggi NCI akan menggambarkan
semakin tingginya kompleksitas kilang. Dengan semakin tingginya
kompleksitas kilang maka kualitas dari kilangnya akan semakin
meningkat juga.
NCI Indonesia bisa dibilang rendah mengingat NCI Indonesia
hanya berada di angka 5,30 (adiimrf.wordpress.com, diakses tanggal 08
Desember 2014). NCI tertinggi di kilang minyak Balongan (11,9) dan
paling rendah di Kasim (2,4). Hal tersebut membuktikan kilang minyak di
Indonesia belum bisa menghasilkan produk minyak mentah yang
memiliki nilai tambah yang besar.
132 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Adanya PP No 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasional yang Dapat
Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan Sektor Hulu Migas turut
andil dalam rendahnya minat investor. Walaupun sudah direvisi oleh
pemerintah, namun investor tetap melihat eksplorasi di Indonesia tetap
mahal.
Demikian juga untuk biaya perubahan status dari potensi ke
proven juga memerlukan biaya yang tinggi. Selain itu pencemaran
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi juga menyebabkan pencemaran
lingkungan yang tinggi pula. Hal ini disebabkan oleh penggunaan energi
untuk eksplorasi dan ekstraksi yang semakin tinggi. Hal ini juga
menyebabkan biaya sosial eksplorasi semakin tinggi.
Demikian juga dengan masalah biaya pungutan daerah.
Otonomi daerah menyebabkan para investor harus berhadapan dengan
penguasa daerah. Investor melihat hal tersebut sebagai ganjalan untuk
melakukan eksplorasi.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 133
4. Tingginya Intensitas Pemakaian Energi Minyak (Inefisiensi)
Selain di sektor hulu, sektor hilir ternyata terdapat persoalan.
Salah satunya adalah industri-industri di Indonesia belum dapat efisien
dalam menggunakan energi minyak. Hal ini dibandingkan dengan
intensitas pemakaian energi untuk sektor industri di negara lain.
Industri yang tergolong tidak efisien dalam mengkonsumsi
energi disebabkan oleh penggunaan teknologi yang sudah usang. Mesin-
mesin yang digunakan untuk produksi sudah tergolong tua. Hal ini yang
menyebabkan efisiensi menjadi tidak optimal. Muara dari inefisiensi
penggunaan energi tersebut adalah menurunnya daya saing industri
tersebut.
Penurunan daya saing industri tersebut akan merugikan
ekonomi nasional secara keseluruhan, selain itu juga akan semakin
tertinggal dengan negara lain. Negara-negara lain, seperti Malaysia,
Thailand, Jepang dan Korea sudah lebih efisien dalam menggunakan
energi, sementara Indonesia masih belum efisien dan cenderung
bergantung pada satu jenis energi, yaitu BBM.
Pada beberapa jenis industri, sebenarnya sudah dilakukan
restrukturisasi kapital dengan mengganti mesin-mesin yang telah usang
dengan mesin-mesin yang lebih efisien. Tujuannya adalah untuk
meningkatkan efisiensi produksi demi mendorong daya saing. Namun
sayangnya, program restrukturisasi industri tidak berjalan maksimal.
Salah satu penyebabnya adalah kualitas SDM yang mengoperasikan
mesin tersebut. Selain itu, anggaran untuk restrukturisasi industri tidak
dapat terserap secara optimal.
134 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
kokas dalam industri besi dan baja diperkirakan akan mengalami kenaikan
sebesar 0,9 persen per tahun.
Terdapat beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi batubara
diantaranya dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan
pertambangan dan kebijakan energi batubara yang masih mengutamakan
ekspor.
1. Dampak Kerusakan Lingkungan
Pengembangan pertambangan batubara secara ekonomis telah
memberikan dampak yang besar, baik sebagai pemenuhan kebutuhan
dalam negeri maupun sebagai sumber devisa. Namun demikian kegiatan
pertambangan batubara telah merusak lingkungan karena menimbulkan
dampak yang mengancam kelestarian fungsi lingkungan hidup. Untuk
memberikan perlindungan terhadap kelestarian fungsi lingkungan
hidup, maka banyak pemerintah daerah menciptakan banyak peraturan.
Kewenangan pemerintah daerah yang luas sayangnya tidak dibarengi
dengan pengetahuan terhadap fungsi peraturan sebagai bentuk
penanggulangan pencemaran lingkungan, sehingga muncul
permasalahan di tingkat koordinasi dan implementasi seperti
ketidaksinkronan berbagai peraturan perundang-undangan yang
disebabkan tumpang tindih kepentingan antar sektor mewarnai
berbagai kebijakan di bidang pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya,
peraturan yang dibuat justru menghambat pemanfaatan sumber energi.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 135
2009 perlu diapresiasi namun di waktu yang bersamaan kebijakan ini
tidak bisa dipungkiri telah menimbulkan permasalahan lain. Hal ini
disebabkan kapasitas pengolahan yang masih kurang. Selain itu,
produsen lokal kecil yang memiliki margin keuntungan rendah semakin
terbebani dengan peraturan ini. Pembangunan smelter (pabrik
pengolahan) memerlukan belanja modal yang besar. Tentu sulit bagi
produsen kecil untuk merealisasikan hal ini ketimbang perusahaan
besar.
136 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
3) Belum adanya peraturan pelaksanaan berbagai produk undang-undang
berakibat pada belum adanya kesamaan pandangan antara pemerintah
pusat dan daerah mengenai pengelolaan EBT sehingga menimbulkan
kekhawatiran terjadinya monopoli
4) Penguasaan teknologi produksi dan pengembangan EBT secara nasional
masih relatif rendah sehingga ketergantungan pada asing masing sangat
tinggi. Oleh sebab itu, muncul kekhawatiran terkait tidak adanya
jaminan bahwa pengembangan EBT dapat berjalan secara berkelanjutan
5) Belum teratasinya hambatan dan kendala ketersediaan infrastruktur
dalam menunjang EBT yang diakibatkan oleh aspek pendanaan dan
sinergi dalam pengembangan EBT
6) Belum adanya langkah-langkah strategis dalam tataran pelaksanaan
pemanfaatan EBT yang dinilai sangat lambat dan berkaitan dengan
kontrak-kontrak jangka panjang dari perjanjian jual beli EBT
7) Road map yang tidak begitu jelas untuk mengarah pada pengembangan
EBT sebagai sumber energi utama dalam rangkan meningkatkan
ketahanan energi nasional
8) Upaya yang masih rendah dalam mendorong peningkatan fungsi
koordinasi antarkementerian dan lembaga terkait, antara pemerintah
pusat dan daerah, serta seluruh pemangku kepentingan agar
dilakukannya percepatan implementasi EBT
9) EBT bersifat site spesific sehingga pemanfaatannya bersifat setempat,
tidak dapat diperjualbelikan sebagai komoditas sebelum dikonversikan
menjadi energi listrik dan pengusahaan EBT untuk pembangkit tenaga
listrik harus memperhatikan resiko tinggi dari eksplorasi dan eksploitasi
10) Keterbatasan SDM khususnya di daerah, pola pengusahaan EBT yang
belum bankable serta kurangnya minat investasi dikarenakan tingkat
pengembalian modal yang rendah dan tidak pasti.
Lebih lanjut, penggunaan EBT yang belum begitu besar, karena belum
kompetitif dibandingkan dengan energi konvensional. Harga listrik yang
dibangkitkan dari PLTS, PLTB, PLTMH, dan PLT EBT lainnya masih lebih tinggi jika
dibandingkan dengan BBM. Jika dilihat dari jenis EBT itu sendiri, potensi panas
bumi dan tenaga air sangat besar dan tidak dapat diekspor serta merupakan
energi bersih, sedangkan penggunaannya relatif masih sedikit. Kendala
pembangunan kedua jenis energi tersebut adalah lokasi yang jauh dari lokasi
konsumen yang sudah berkembang. Di samping itu, pembangunan PLTA skala
besar membutuhkan pembebasan lahan yang sangat luas dan menimbulkan
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 137
dampak lingkungan yang besar. Hal tersebut tentu saja mempunyai
konsekuensi biaya yang cukup besar pula. Berkaitan dengan nuklir, tingkat
penerimaan masyarakat terhadap pemanfaatan energi nuklir untuk pembangkit
listrik masih rendah. Hal itu dikarenakan sosialisasi pemanfaatan energi nuklir
masih terbatas. Padahal energi nuklir adalah energi yang aman, ramah
lingkungan dan aman. Selain itu, potensi sumber EBT lainnya seperti energi
surya, energi angin, dan biomassa tetapi pemanfaatannya masih terbatas juga
dikarenakan harga yang belum kompetitif terhadap energi konvensional
(Triatmojo, 2013)
138 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
menunjukkan posisi yang rinci dalam pengembangan panas bumi ini, misalnya
dalam bentuk insentif yang akan diberikan untuk pengembangan panas bumi,
bahkan dalam merumuskan secara tegas posisi panas bumi dalam kebijakan
energi-ekonomi-lingkungan nasional (Bappenas, 2008).
Selain itu, gagasan mengenai pengembangan panas bumi di Indonesia
selama ini masih terpisah-pisah, dibuat sendiri-sendiri, tanpa/kurang
memperhatikan aspek kordinasi dengan pihak terkait yang lain, bahkan dalam
mempertimbangkan “life cycle” industri panas bumi itu sendiri. Sebagai contoh,
PT Pertamina melakukan sendiri rencana eksplorasi hingga eksploitasi lapangan-
lapangan panas bumi. Sementara, pemerintah dalam RUKN (Rencana Umum
Kelistrikan Nasional) maupun PT PLN dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan
Tenaga Listrik) melakukan proyeksi atau rencana pemenuhan kebutuhan tenaga
listrik, namun belum dengan penjelasan yang rinci terhadap rencana yang akan
dikerjakan, termasuk bagaimana uap akan dipasok kepada pembangkit PT PLN.
Selain road map yang masih bersifat sangat umum yang telah dikembangkan
oleh pemerintah (ESDM dalam Blue Print Pengembangan Energi Nasional 2005-
2025), belum terdapat rencana aksi yang jelas tentang bagaimana potensi panas
bumi akan dikembangkan untuk pembangkitan tenaga listrik di Indonesia.
Secara khusus, faktor-faktor kendala pengembangan energi panas bumi
menjadi sumber energi listrik yang menentukan biaya dan nilai keekonomian
energi panas bumi meningkat adalah sebagai berikut (Bappenas, 2008):
1) Biaya investasi yang tinggi (karena harus ada kegiatan eksplorasi)
2) Harga listrik/kWh dan faktor pengembalian modal
3) Sebagian besar lokasi sumber panas bumi berada di wilayah yang
terpencil, ketersediaan infrastruktur yang terbatas menuju lokasi
sumber panas bumi menjadi rintangan utama bagi pengembangan
pembangkit listrik tenaga panas bumi.
4) PT PLN adalah satu-satunya pembeli listrik dari jaringan utama, sehingga
pengembalian investasi panas bumi bergantung pada harga beli oleh PT
PLN. Sebagai BUMN, insentif PT PLN adalah penyediaan listrik yang
aman dan handal pada biaya yang seminim mungkin
5) Pengembang panas bumi memerlukan harga yang merefleksikan nilai
keekonomian dan biaya penyediaan
6) Kenyataan menunjukkan bahwa negosiasi antara pengembang panas
bumi dengan PT PLN seringkali berlangsung sangat lama, dikarenakan
sulitnya mencapai kesepakatan harga, sehingga negosiasi memang
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 139
rawan mengalami proses yang berkepanjangan dan akhirnya
menimbulkan opportunity cost tersendiri
7) Alternatif pembangkit dengan jenis energi selain panas bumi saat ini
terlihat lebih menarik berdasarkan pertimbangan minimalisir biaya
jangka pendek (menekan kerugian) bagi PT PLN. Atas dasar itu PT PLN
dapat mengalami kesulitan untuk menyepakati tingkat harga yang lebih
tinggi dari opsi pembangkitan yang berbiaya terendah
8) Adanya gap antara opsi pembangkit least cost jangka pendek dengan
nilai keekonomian dari listrik panas bumi
9) Waktu yang panjang sebelum menghasilkan listrik
10) Risiko hulu yang signifikan karena disamping mekanisme yang panjang
juga belum ada kepastian ijin usaha ketenagalistrikan
11) Biaya investasi pada umumnya berbeda dari lapangan yang satu dengan
yang lain
Selaras dengan beberapa kendala yang telah disebutkan, Setiawan
(2012) mengelompokkan kendala pengembangan energi panas bumi di
Indonesia ke dalam lima kelompok yaitu: kendala eksplorasi, kendala konstruksi,
kendala koordinasi dan regulasi, resiko finansial, dan resiko pasar.
a) Kendala eksplorasi
Kegiatan eksplorasi memerlukan biaya yang besar dan juga dihadapkan
pada risiko tidak ditemukannya sumber energi panas bumi di daerah
eksplorasi yang bernilai komersial. Meskipun hasil pengeboran
membuktikan temuan sumber energi panas bumi, masih ada
ketidakpastian terkait besar cadangan, potensi listrik dan kemampuan
produksi dari sumur-sumur yang akan dibor kemudian. Hal berbeda
akan ditemui investor bila pemerintah dapat menyediakan data
publik yang memadai terkait hasil penelitian kandungan energi
panas bumi pada saat Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) ditawarkan.
Untuk daerah yang di sekitarnya belum memiliki lapangan panas bumi
yang telah dikembangkan sebelumnya, pengembang harus
membuktikan bahwa sumur bor mampu menghasilkan fluida produksi
sebesar 10%-30% dari produksi keseluruhan yang dibutuhkan PLTP. Di
samping itu, perlu dibuktikan pula keamanan secara teknis operasional
maupun lingkungan mengingat bahwa pada saat energi panas bumi
telah digunakan untuk membangkitkan listrik, fluida harus dapat
dikembalikan ke reservoir secara aman. Berbeda bila di sekitarnya
telah ada lapangan panas bumi yang dikembangkan, maka kepastian
140 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
adanya cadangan yang memadai cukup dengan menunjukkan satu
atau dua sumur yang dapat memproduksi fluida panas bumi.
Lembaga keuangan belum akan bersedia mengucurkan dana
pinjaman untuk pengembangan lapangan sebelum hasil pengeboran
dan pengujian sumur membuktikan bahwa di daerah tersebut
terdapat sumber energi panas bumi dengan potensi komersial yang
signifikan.
b) Kendala konstruksi
Pengembangan energi panas bumi di Indonesia dihadapkan pada biaya
investasi pembangunan pembangkit yang amat besar. Biaya pengeboran
merupakan komponen terbesar dan dapat mencapai lebih dari 50
persen biaya total. Sebagai contoh, sepasang sumur panas bumi di
Nevada, AS yang dapat membangkitkan listrik sebesar 4,5 MW
membutuhkan biaya pengeboran US$ 10 juta dengan tingkat
keberhasilan 80%. Secara rata-rata, total biaya pengeboran dan
konstruksi pembangkit listrik tenaga panas bumi berada dalam
rentang 2-4,5 juta Euro per MW-nya, tergantung pada kualitas dari
sumber daya energi, dengan biaya energi 0.04-0.10 Euro per kWh. Jika
angka-angka tersebut digunakan untuk mengkalkulasi biaya keseluruhan
pembangunan PLTP dengan keluaran energi terkecil di Indonesia yaitu
PLTP Sibayak
(PT Pertamina) 12 MW di Sumatera Utara, dengan asumsi kurs € 1 = Rp.
11.754,675, maka akan dibutuhkan rentang biaya investasi minimal dan
maksimal sebesar Rp.282 Miliar dan Rp.635 Miliar. Sedangkan untuk
PLTP dengan keluaran energi terbesar di Indonesia yaitu PLTP Salak
(Chevron) 375 MW di Jawa Barat diperlukan biaya investasi Rp.8,8 -
19,8 Triliun.
c) Kendala koordinasi dan regulasi
Sebagian besar wilayah panas bumi berada di kawasan hutan
lindung dan konservasi yang berada di bawah kewenangan
Kementerian Kehutanan, dan bukan di bawah Kementerian ESDM,
sehingga menyebabkan dualisme perizinan. Kondisi tumpang tindihnya
prosedur perizinan di antara kedua kementerian tersebut membuat
pengembang dihadapkan pada ketidakpastian perizinan. Masalah
tersebut juga ditambah dengan belum adanya target waktu
penyelesaian proses perizinan. Hal tersebut menyebabkan lambatnya
penyelesaian proses perijinan. Masalah lain adalah kurangnya
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 141
koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam
kasus tertentu, pemerintah pusat telah memberikan dukungan dan
izin namun Pemda sebagai penguasa wilayah menurut UU Otonomi
Daerah tidak memberikan izin.
d) Risiko finansial
Pengembang dihadapkan pada risiko gagal bayar pembeli. PT PLN
sebagai satu-satunya pembeli dapat dihadapkan pada masalah
keuangan mengingat PT PLN menjalankan operasinya bukan semata-
mata berorientasi bisnis, namun juga menjalankan misi pelayanan
publik. Selama ini pemerintah merupakan pihak yang menanggung
subsidi untuk menutupi beban PSO (Public Service Obligation) dari PT
PLN. Adanya tambahan kewajiban bagi PT PLN untuk pembelian listrik
baru akan menambah beban keuangan PT PLN. Dalam kasus ini,
pemerintah selaku pihak yang berperan dan berwewenang memberi
penugasan pembelian listrik kepada PT PLN merupakan pihak yang
diharapkan mengatasi beban keuangan PT PLN tersebut.
e) Risiko pasar
Dalam struktur industrinya, pasar tenaga listrik merupakan pasar
monopoli yang memiliki hanya satu pihak pembeli, yaitu PT PLN. Bila
diserahkan ke mekanisme pasar dan PT PLN dalam hal ini merupakan
satu-satunya pembeli, maka pihak pengembang tidak akan dapat
memperoleh harga pembelian yang wajar secara komersial. Tender
pembelian listrik sendiri dilakukan oleh pemerintah daerah dan
pemerintah pusat tanpa melibatkan PT PLN. Dalam hal itu PT PLN
baru membeli listrik panas bumi bila ditugaskan oleh pemerintah.
142 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 8
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 143
vii. Dari sisi industri, perlunya meningkatkan efisiensi penggunaan energi.
Misalnya dengan melakukan program restrukturisasi permesinan pada
berbagai sektor industri yang disertai dengan sejumlah insentif agar
penggunaan energi lebih efisien.
viii. Perlu membuat industri pengelola limbah yang terintegrasi dengan
berbagai industri. Limbah hasil pengolahan industri bisa dihubungkan
dengan industri pengolahan limbah, dalam satu kawasan industri bisa
dibuat satu industri pengumpul limbah yang berfungsi sebagai
distributor limbah yang akan memanfaatkan limbah sebagai bahan
bakar. Pemanfaatan limbah sebagai bahan bakar ini akan sejalan dengan
tujuan mewujudkan green industry.
ix. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka
penghematan (efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk
mendorong penggunaan energi alternatif terbarukan.
Sementara, secara khusus strategi optimalisasi pemenuhan kebutuhan
masing-masing jenis energi untuk sektor industri akan dibahas sebagai berikut.
144 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
sudah membagi tugas dalam pembangunan pembangkit listrik dimana
PT PLN membangun 15.000 MW dari total 35.000 MW rencana
pemerintah, sedangkan sisa 20.000 MW dibangun oleh swasta. Akan
tetapi, mengingat catatan realisasi investasi swasta selama ini yang
hanya 40 persen dari target, maka pemerintah perlu memberikan
berbagai insentif agar swasta mau berinvestasi di sektor listrik.
Beberapa insentif meliput insentif fiskal seperti pembebasan bea masuk
impor barang modal yang diperlukan dalam rangka pembangunan
pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum dan pemberian
fasilitas perpajakan dan kepabeanan untuk kegiatan pemanfaatan
sumber energi terbarukan.
Selama ini partisipasi pihak swasta dalam investasi swasta masih
lebih banyak dalam bentuk Independent Power Producers (IPP) namun
kedepan model investasi dalam bentuk Private Power Utility (PPU) harus
didorong sehingga pembangunan pembangkit listrik tidak membebani
APBN dan APLN. Berbeda dengan IPP, investasi melalui skema PPU
memberikan fleksibilitas bagi investor swast dalam kemandian
pengembangan di bidang penyediaan energi listrik di berbagai daerah
dengan memperhatikan ketersediaan sumber energi primer (non-BBM).
Melalui skema ini, maka PT PLN tidak menjadi satu-satunya off-take.
Beberapa skema dalam PPU antara lain adalah power wheeling,
penetapan wilayah usaha tersendiri dan sebagainya.
ii. Menjalankan Bauran Energi
Strategi kedua dalam pemenuhan kebutuhan energi listrik adalah
dengan menjalan bauran energi primer yang digunakan untuk produksi
listrik. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, salah satu masalah utama
dalam pemenuhan energi listrik adalah permasalahan pasokan energi
primer yang digunakan untuk membangkitkan listrik. Selama ini tiga
energi utama yang membangkitkan listrik adalah batu bara (51,6%), gas
(23,6%), dan BBM (12,5%). PT PLN perlu melakukan bauran energi
dengan menambah penggunaan energi batu bara dan gas karena relatif
lebih murah dan mulai meninggalkan energi BBM yang cenderung lebih
mahal. Terlebih, Indonesia adalah negara importir minyak sehingga
menggunakan BBM sebagai energi pembangkit listrik bukan solusi
terbaik. Sayangnya, berbagai PLTD yang menggunakan solar sebagai
pembangkit listrik berada di wilayah timur. Hal tersebut membuat
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 145
pemerintah harus segera mengalihkan penggunaan energi BBM ke
energi lainnya jika memang pemerintah serius untuk melakukan
pengembangan industri ke wilayah Indonesia timur.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam mengurangi
ketergantungan energi BBM. Salah satu upaya jangka pendek dalam
mengurangi pemakaiaan BBM adalah dengan mengganti PLTD dengan
PLTU batu bara skala kecil maupun PTMPD yang merupakan pembangkit
thermal modular pengganti diesel. Selain itu, solusi lain dalam
mengurangi penggunaan energi BBM di wilayah Indonesia Timur adalah
dengan mengambungkan PLTD dengan pembangkit energi terbarukan
melalu proses hybrid. Selain itu, pengurangan penggunaan BBM dapat
dilakukan dengan mengganti solar dengan biofuel untuk
membangkitkan listrik di PLTD yang sudah ada.
Upaya lainnya dalam mengurangi BBM adalah dengan melakukan
gasifikasi ke Indonesia wilayah timur. Hal tersebut dilakukan dengan
membangun pembangkit beban puncak yang beroperasi dengan gas
seperti LNG, mini LNG, dan CNG). Akan tetapi, perlu ada kepastian
mengenai pasokan gas karena jika tidak ada pasokan gas maka PLTGU
tidak dapat beroperasi sehingga perencanaan PLTGU tidak dapat
dilakukan.
Mengurangi ketergantungan BBM juga dapat dilakukan dengan
melakukan pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru
terbaharukan (EBT). Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Presiden
No.4 Tahun 2010 yang menugaskan PT PLN untuk mempercepat
pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan energi
terbarukan seperti air dan panas bumi. Khusus untuk pembangkit
tenaga listrik dengan menggunakan air, arah pengembangan kedepan
tidak lagi harus mengikuti permintaan (demand-led expansion) dengan
catatan bahwa pembangkit tersebut memang dibutuhkan untuk
pengembangan suatu wilayah seperti kawasan industri maupun
kawasan pemukiman. Melalui pendekatan yang lebih didorong oleh
rencana pengembangan wilayah, maka pembangunan wilayah yang
memiliki potensi tetapi belum berkembang seperti di Indonesia Timur
dapat terfasilitasi oleh keberadaan pembangkit listrik tersebut. Selain
tenaga air, bauran energi juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan
146 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
panas bumi mengingat jenis energi ini memiliki potensi yang sangat
besar untuk dikembangkan di Indonesia.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 147
8.3. Strategi Pemenuhan Bahan Bakar Minyak
Dalam menyikapi permasalahan pemenuhan energi minyak pada bab
sebelumnya, diperlukan beberapa alternatif strategi untuk memenuhi
kebutuhan minyak di sektor industri:
i. Merestrukturisasi permesinan pada industri yang masih tergolong boros
energi dengan cara pemberian insentif bagi perusahaan. Namun untuk
menunjang agar program restrukturisasi industri berjalan optimal,
diperlukan peningkatan SDM untuk dapat mengoperasikan peralatan
beru tersebut. Caranya dapat dilakukan dengan mengirim karyawan
atau mendatangkan tenaga kerja profesional untuk memberikan arahan
mengenai penggunaan peralatan baru.
ii. Memberikan kelonggaran peraturan pemerintah baik pusat dan daerah
dalam mengeksplorasi potensi minyak bumi dengan catatan adanya
perlindungan terhadap lingkungan. Seperti diketahui biaya untuk
eksplorasi potensi minyak sangatlah tinggi terutama di sisi administrasi
negara seperti pajak, iuran untuk pemda, dan lain-lain. Hal ini akan
membuat ketertarikan investor akan rendah. Namun biaya yang rendah
juga diimbangi dengan biaya lingkungan agar lingkungan tetap terjaga.
iii. Mengefisienkan PT Pertamina sebagai perusahaan negara dengan cara
menekan biaya produksi dan menghilangkan mafia pemburu rente
ekonomi. Pemberantasan mafia migas hanya akan berdampak jangka
pendek, diperlukan perubahan sistem dalam pengadaan minyak mentah
impor. Diperlukan analisis mendalam mengenai sistem distribusi minyak
mentah impor mulai dari negara pengimpor sampai ke PT Pertamina.
Perbaikan sistem ini akan membuat harga impor semakin murah dan
tentunya akan menekan biaya produksi.
iv. Meremajakan peralatan di kilang minyak dan meningkatkan
komplektivitas kilang minyak. Upaya ini lebih hemat jika harus
membangun kilang minyak baru ataupun memperluas kilang minyak.
Potensi yang sudah ada cukup dimaksimalkan saja. Pembukaan kilang
yang sudah tutup juga berguna untuk meningkatkan kapasitas kilang
nasional. Selain itu, inovasi kilang minyak harus ditingkatkan untuk
memberikan nilai lebih kepada minyak mentah Indonesia.
148 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
8.4. Strategi Pemenuhan Energi Batubara
i. Mengurangi ekspor batubara ke luar negeri
Salah satu masalah dalam penyediaan batubara di sektor industri adalah
dikarenakan ekspor batubara yang terlampau banyak. Sekitar 80 persen
dari produksi batubara nasional dialokasikan untuk kepentingan ekspor.
Akibatnya, industri merasa kesulitan dalam memperoleh batubara
dengan tingkat kalori yang dibutuhkan. Untuk memperoleh batubara
dengan tingkat kalori tertentu dan memiliki tingkat resiko lingkungan
yang minim, tidak jarang industri yang mendatangkan batubara dari
impor.
ii. Harmonisasi Kebijakan
Untuk mengatasi pemanfaatan batubara yang rentan terhadap
perusakan kondisi lingkungan, maka diperlukan sinkronisasi serangkaian
kebijakan dan peraturan lintas tingkat pemerintah, selain itu diperlukan
juga pemberdayaan usaha lain untuk mengatasi kelemahan pengawasan
akan implementasi peraturan agar mampu memberikan perlindungan
terhadap pelestarian fungsi lingkungan hidup dan korban yang timbul
akibat degradasi fungsi lingkungan hidup.
Usaha yang telah direncanakan oleh pemerintah untuk lebih
memprioritaskan kebutuhan domestik dibandingkan ekspor perlu
diapresiasi, hal ini terlihat dari serangkaian skenario, misalnya
pemerintah memperkenankan produksi batubara nasional naik sebesar
1 persen per tahun dengan target peningkatan domestic market
obligation (DMO) sekaligus penurunan volume ekspor. Kemudian,
skenario kedua adalah: produksi batubara tidak diperbolehkan naik
dibanding dengan tahun sebelumnya, sedangkan kewajiban DMO terus
meningkat setiap tahun. Agar implementasi skenario tersebut berjalan
dengan baik, diperlukan koordinasi dan penegakan hukum mengenai
peraturan yang telah ditetapkan.
iii. Mengurangi tingkat pencemaran pada batubara
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 149
mengingat pemanfaatan EBT hingga data terakhir pada 2012 baru sebesar 7,8
persen. Untuk itu diperlukan komitmen dan strategi yang tepat sasaran dalam
rangka mengembangkan EBT demi terciptanya pasokan energi nasional yang
kuat, khususnya dalam menunjang kinerja sektor industri.
Terdapat beberapa agenda yang patut dijadikan fokus utama
pemerintah dalam pengembangan EBT. Jika ditinjau dari aksi operasional
langkah yang harus diperhatikan adalah: Pertama, percepatan pengembangan
infrastruktur EBT sesuai roadmap pencapaian bauran energi yang telah disusun.
Kedua, realisasi pemberian insentif bagi pelaku produksi EBT, baik yang berupa
insentif fiskal, teknologi, dan tarif yang sesuai dengan amanat Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi. Ketiga, perlunya penetapan target atau
kuota pasokan EBT per tahun yang dikaitkan dengan Neraca Energi Nasional
(termasuk di dalamnya kebijakan impor dan ekspor energi) yang disesuaikan
secara konsisten dengan Rencana Induk Konservasi Energi (RIKEN) maupun
Rencana Induk Diversifikasi Energi Nasional (RIDEN) (Lemhanas, 2013).
Keempat, perlunya rumusan dan penerapan pola subsidi energi yang lebih tepat
(untuk BBM dan non BBM), sehingga EBT memiliki nilai kompetitif dibandingkan
dengan energi fosil. Kelima, perlunya sosialisai secara terpadu dalam
pengembangan energi nuklir yang menghasilkan energi yang cukup besar,
bersih, sustainable, dan keamanannya terjamin asalkan sesuai dengan standar
dan ketentuan yang diharuskan.
Disamping itu, dari segi pembenahan kelembagaan, perlu diarahkan
untuk meningkatkan harmonisasi dan sinergisitas dari berbagai kebijakan energi
nasional sehingga lebih berorientasi pada aksi nyata. Pertama, perlunya
meningkatkan efektivitas sistem manajemen nasional dengan mendorong
pengelolaan sumber daya energi yang dilakukan sesuai dengan amanat
konstitusi. Kedua, membenahi regulasi yang terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang tidak efektif dan saling tumpang tindih (contoh UU
mengenai kehutanan, minerba, pertanahan dsb). Ketiga, komunikasi yang
harmonis antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan undang-
undang otonomi daerah dan perimbangan keuangan pusat dan daerah sehingga
daerah bergairah untuk membangun dan mengembangan EBT, khususnya dalam
mendukung sektor industri di daerah tersebut. Terakhir, meningkatkan kinerja
dan kapasitas kelembagaan yang berkaitan dengan pengembangan EBT,
utamanya dalam peningkatan koordinasi antar instansi dan menghilangkan
tumpang tindih kewenangan, serta perlunya sebuah BUMN yang khusus
menangani EBT.
150 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Lebih lanjut dalam kaitannya untuk mengembangankan potensi energi
panas bumi, beberapa hal yang dapat direkomendasikan adalah: Pertama,
Mengembangkan mekanisme harga keekonomian energi, sehingga energi panas
bumi dapat bersaing dengan energi fosil yang sampai saat ini masih mendapat
insentif dan subsidi yang cukup besar. Kedua, pasokan energi yang ramah
lingkungan perlu ditingkatkan sehingga mendorong pengembangan energi yang
ramah lingkungan, salah satunya panas bumi. Ketiga, pemberdayaan dan
kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan, termasuk didalamnya
pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat dalam pengelolaan energi untuk
meminimalisir penolakan terhadap suatu proyek pembangunan infrastruktur
energi yang sebelumnya telah melewati feasibility study terlebih dahulu.
Keempat, pemerintah pusat, yang diwakili oleh Kementerian ESDM, dan
para pengembang panas bumi perlu menyelenggarakan forum diskusi resmi
dengan pemerintah daerah untuk mendukung percepatan pengusahaan panas
bumi serta menghormati keputusan-keputusan yang telah dibuat. Terakhir,
dikarenakan sumber panas bumi mayoritas berada di kawasan hutan lindung,
perlu adanya suatu forum diskusi antara Kementerian ESDM, Kementerian
Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan para pengembang energi panas
bumi agar terdapat pemahaman yang sama dalam menterjemahkan
kewenangan-kewenangan yang tidak menghambat, terutama masalah limbah
energi panas bumi yang telah dibuktikan tidak memiliki karakteristik B3, yang
pada akhirnya dapat menciptakan efisiensi dalam operasi pengembangan energi
panas bumi.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 151
152 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Bab 9
9.1. Kesimpulan
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 153
Meskipun jumlah konsumsi energi semakin meningkat, namun porsi
konsumsi energi yang dialami ketiga provinsi tersebut secara umum
akan semakin menurun. Sementara porsi konsumsi energi industri di
luar Pulau Jawa akan semakin meningkat, khususnya pada daerah-
daerah yang akan menjadi pusat pertumbuhan industri di masa yang
akan datang.
6. Saat ini terjadi Ketimpangan penggunaan energi yang sangat mencolok
antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Beberapa daerah yang membutuhkan
energi justru mengalami kelangkaan, sedangkan daerah yang telah
cukup energinya justru mengalami surplus.
154 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
7. Pemerintah perlu mendorong penelitian-penelitian yang dapat
menghasilkan penemuan-penemuan inovatif dalam rangka
penghematan (efisiensi) energi di sektor industri dan upaya untuk
mendorong penggunaan energi alternatif terbarukan.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 155
156 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). 2014. Outlok Energi Indonesia 2014:
Pengembangan energi untuk mendukung program substitusi BBM. Pusat
Teknologi Pengembangan Sumberdaya Energi (PTPSE).
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 36/05/ Th. XVII, 5 Mei 2014.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Berita Resmi Statistik No. 83/11/Th.XVII, 5 November 2014.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.
Dahlan Ibrahim, “Prospek Sumber Daya Batu Bara di Bagian Kutai Timur Bagian Barat
Kalimantan Timur”. 2005.
Enders, W. 2004. Applied Econometric Time Series. Edisi ke-2, University of Alabama.
Granger, C.W.J. 1969. Investigating causal relations by econometric models and cross-
spectral methods, Econometrica 37,424-438.
Gujarati, Damodar. 2004. Basic Econometrics. Fourth Edition. New York: McGraw Hill.
Lie, Hai Tian. 2010. Policy Suggestion for the Initial Development of Vietnam Gas
Industry. The Brooking Institute.
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 157
Vietnam Briefing. 2014. Industrial Economic Zones. http://www.vietnam-
briefing.com/news/economic-zones-industrial-parks-attract-high-
investment.html/, diakses 10 Juli 2014.
Kementerian ESDM. 2014. Handbook Energy and Economic Statistics of Indonesia 2012.
KESDM. Jakarta.
Kementerian ESDM. 2013. Blueprint Pengelolaan Energi Nasional (PEN). KESDM. Jakarta.
Lemhanas RI. 2013. Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) guna Penghematan
Bahan Baku Fosil dalam Rangka Ketahanan Energi Nasional. Jurnal Kajian
Lemhanas RI, Edisi 15, Mei 2013.
Nachrowi, Nachrowi D. dan Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis
Ekonometrika Untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sims, C.A. 1972. Money, income and causality, American Economic Review 62, 540-552.
Setiawan, Sigit. 2012. Energi Panas Bumi Dalam Kerangka MP3EI: Analisis terhadap
Prospek, Kendala, dan Dukungan Kebijakan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Vol. XX(1) tahun 2012.
Stephanie J. Battles and Robert K. Adler. 1999. Production, Energy, and Carbon
Emissions: A Data Profile of the Iron and Steel Industry. American Council for an
Energy Efficient Economy Summer Study on Energy Efficiency in Industry, June
1999.
158 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 1. Data Penggunaan Energi dan Sektor Industri
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 159
No Tahun Batubara Gas Listrik BBM Output
25 2006Q1 19702.95 21020.89 6592.52 14872.45 112,749.4
26 2006Q2 21308.55 20811.23 6646.98 14467.87 114,815.2
27 2006Q3 23063.55 20606.42 6711.23 14098.46 119,383.4
28 2006Q4 24967.95 20406.45 6785.27 13764.23 119,301.1
29 2007Q1 29767.55 19244.26 6894.04 13433.64 119,315.0
30 2007Q2 30872.45 19440.80 6977.65 13182.36 121,246.9
31 2007Q3 31028.45 20029.02 7061.05 12978.86 124,859.4
32 2007Q4 30235.55 21008.91 7144.26 12823.14 124,840.3
33 2008Q1 25480.02 23597.08 7320.89 12718.76 124,782.3
34 2008Q2 23994.79 24873.67 7366.23 12657.18 126,862.8
35 2008Q3 22766.13 26055.30 7373.92 12641.96 131,039.9
36 2008Q4 21794.05 27141.95 7343.95 12673.10 127,416.7
37 2009Q1 19157.73 28649.77 7025.43 12693.41 127,091.6
38 2009Q2 19467.14 29340.04 7020.51 12840.15 129,162.9
39 2009Q3 20801.45 29728.88 7078.29 13056.12 133,060.8
40 2009Q4 23160.67 29816.30 7198.77 13341.32 133,852.3
41 2010Q1 30918.66 28498.67 7563.64 14545.48 132,574.1
42 2010Q2 33578.15 28424.70 7736.86 14629.27 135,780.1
43 2010Q3 35512.99 28490.77 7900.11 14442.39 139,568.4
44 2010Q4 36723.20 28696.86 8053.39 13984.86 142,013.0
45 2011Q1 36539.62 29472.20 8130.84 11990.89 140,390.8
46 2011Q2 36568.20 29786.67 8290.53 11498.36 145,008.2
47 2011Q3 36139.79 30069.48 8466.59 11241.48 149,565.1
48 2011Q4 35254.40 30320.64 8659.03 11220.27 152,060.0
49 2012Q1 33912.02 30540.14 9339.51 11434.70 148,638.5
50 2012Q2 32112.66 30727.98 9576.67 11884.80 153,454.5
51 2012Q3 29856.32 30884.17 9831.08 12570.55 159,868.5
52 2012Q4 27142.99 31008.70 10102.74 13491.95 162,778.5
160 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 2. Hasil Proyeksi Kebutuhan Energi
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 161
Tahun BatuBara Gas Listrik BBM Output
162 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri
Tabel 3. Kontribusi Sektor Industri Di Setiap Provinsi
Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri 163
No. Provinsi 2015 2020 2025 2030 2035
164 Perencanaan Dukungan Pemenuhan Kebutuhan Energi Dalam Rangka Pembangunan Industri