Anda di halaman 1dari 6

KONFLIK SAMPIT: TRAGEDI BERDARAH ETNIS DAYAK DAN ETNIS MADURA

Oleh: Khairunnisa Asfarini (180502045)

Abstrak

Perbedan dalam suatu masyarakat—baik etnis, budaya, agama, dan bahasa adalah suatu
realita yang tidak dapat ditolak seperti halnya masyarakat di Indonesia yang terdiri atas
keragaman sosial. Dengan adanya keragaman tersebut, ditambah dengan kesenjangan sosial
dan ekonomi, kemiskinan masih relatif tinggi, serta diskriminasi ras dan etnis yang timbul di
dalam masyarakat seringkali menyebabkan gesekan-gesekan yang dapat memicu terjadinya
kerusuhan sosial di tengah masyarakat. Konflik etnis berakibat buruk terhadap kemajuan dan
perkembangan bangsa dan negara. Anggota etnis yang berkonflik dalam suatu negara akan
mengganggu keamanan dan ketenangan bagi anggota etnis tersebut bahkan bagi anggota etnis
lain sehingga mereka tidak bisa bekerja secara nyaman dan tenang. Contoh konflik antar etnis
ini bisa ditemukan dalam kasus Etnis Dayak dan Etnis Madura yang terjadi di Sampit,
Kalimantan Tengah pada bulan Februari 2001 silam.

Kata Kunci: Konflik, Etnis Dayak, dan Etnis Madura

A. Pendahluan

Konflik tidak hanya dipahami sebagai bentuk pertentangan terhadap nilai,


diskriminasi, dan adanya sikap penindasan (eperession) terhadap kaum lemah
(Proliter). Dalam pengertian lain, konflik merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling
menantang dengan ancaman kekerasan. Pengertian ini menitikberatkan konflik
sebagai bentuk sikap anarkis, baik yang dilakukan secara verbal maupun non-verbal.1
Dilihat secara Geografis, Indonesia merupakan negara yang sangat luas
dengan jumlah penduduk yang sangatlah besar. Besarnya jumlah penduduk di
Indonesia ini pun terdiri dari beragam suku atau etnis, ras sehingga menyebabkan
Indonesia sangat rentan dengan konflik yang bernuansa ras dan etnis. Dengan adanya
perbedaan diantara suku bangsa tersebut ditambah dengan kesenjangan sosial dan
ekonomi, kemiskinan masih relatif tinggi, serta diskriminasi ras dan etnis yang timbul
di dalam masyarakat seringkali menyebabkan gesekan-gesekan yang dapat memicu
terjadinya kerusuhan sosial di tengah masyarakat, seperti konflik yang terjadi di
Sampit, Kalimantan Tengah.

1 Habib Alwi, Pengantar Studi Konflik Sosial: Sebuah Tinjauan Teoritis, (Mataram: Institut Agama Islam
Negeri Mataram, 2016), hlm. 9-10
Apabila dicermati secara mendalam, konflik etnis di Kalimantan Tengah
antara orang Madura dengan warga masyarakat Dayak bukanlah suatu peristiwa yang
terjadi secara tiba-tiba. Puncak peristiwanya terjadi dalam sesaat, namun
sesungguhnya benih-benihnya ternyata sudah berakumulasi selama bertahun-tahun. 2
Dua kelompok etnis yang telah lama bersitegang dan hidup dalam suasana yang
penuh syakwasangka, akhirnya kembali terlibat dalam aksi pembantaian etnis yang
kejam dan brutal.3
Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli pulau Kalimantan. Etnis Dayak
Kalimantan terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di
seluruh daerah pedalaman Kalimantan. Suku Dayak hidup terpencar-pencar di seluruh
wilayah pedalaman Kalimantan baik yang hidup wilayah Indonesia maupun yang
domisili di Sabah Sarak, Malaysia. Di Kalimantan Tengah (Kalteng), selain etnis
Dayak (dengan berbagai sub etnis dan/ atau percabangan suku bangsa di dalamnya)
yang merupakan penduduk asli, terdapat pula berbagai etnis lain dari luar Kalimantan
seperti etnis Jawa, Madura, Bugis, Melayu, Sumatera, Bali, dan sebagainya.
4
Sedangkan Etnis Madura, sebagaimana suku bangsa Indonesia lainnya, dapat
ditemukan di berbagai wilayah tanah air.5
Konflik-konflik terdahulu yang melibatkan orang Dayak dan Madura yang
tidak pernah diselesaikan secara tuntas menyisakan residu konflik yang siap meledak
sewaktu-waktu. Begitulah sebagian latar belakang tragedi Sampit yang kemudian
meluas menjadi tragedi Kalimantan Tengah. Kerusuhan sosial di Kalimantan Tengah
merombak konstruksi etnisitias masyarakatnya. Sebelumnya masyarakat Kalteng
terdiri atas berbagai etnis tanpa pembatasan. Karena tragedi itu beberapa kota
(Sampit, Palangka Raya, Kuala Kapuas) sampai Juni 2002 tidak mempunyai
penduduk dari etnis Madura. Tragedi tersebut disamping merekonstruksi tatanan
pluralitas masyarakatnya, sebenarnya ia juga merekonstruksi pandangan terhadap
2 Abdul Rachman Patji , “Tragedi Sampit 2001 Dan Imbasnya Ke Palangka Raya (Dari Konflik ke
Rekonstruksi)”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Vol. 5 No. 2 Oktober 2003), hlm. 14-15
3 J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2014), hlm. 201
4 Hamid Darmadi, “Dayak: Asal-Usul Dan Penyebarannya Di Bumi Borneo”, Jurnal Pendidikan Sosial,
(Vol. 3, No. 2, Desember 2016), hlm. 323
5 Totok Rochana, “Orang Madura: Suatu Tinjuan Antropologis”, Humanus, (Vol. 11 No.1 Januari 2012),
hlm. 46
posisi dan peranan masyarakat Dayak yang sebelumnya dikenal sebagai kelompok
etnis yang ramah, suka berkawan, menjunjung tinggi solidaritas dan banyak lagi
atribut lainnya yang mengarah kepada sifat yang menyukai keakraban, kedamaian dan
ketenteraman. Akibat tragedi tersebut pandangan sebagian orang berubah dengan
memposisikan orang Dayak sebagai warga suatu suku bangsa yang dapat pula
beringas, suka membunuh, dan atribut lainnya yang berfokus kepada tuduhan kurang
memiliki rasa prikemanusiaan.

B. Kasus
Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia. Berawal
pada Februari 2001 dan berlanjut sepanjang tahun itu. konflik itu dimulai di kota
Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota
Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura
dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika empat warga
Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak dengan motif balas dendam akibat suatu
peristiwa di Kereng Pangi. Konflik Sampit mengakibatkan lebih dari 500 kematian,
dengan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal. Banyak warga
Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.

C. Analisis dan Pemecahan Masalah


a. Analisis
Konflik etnis berakibat buruk terhadap kemajuan dan perkembangan bangsa
dan negara. Anggota etnis yang berkonflik dalam suatu negara akan mengganggu
keamanan dan ketenangan bagi anggota etnis tersebut bahkan bagi anggota etnis lain
sehingga mereka tidak bisa bekerja secara nyaman dan tenang. Berdasarkan teori
konflik—dimana dikatakan konflik merupakan unsur dasar kehidupan masyarakat
yang didalamnya terdapat pertentangan-pertentangan yang tidak bisa dihindarkan
dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui teori ini, kasus yang terjadi antara etnis
Dayak dengan etnis Madura sejatinya merupakan salah satu dari sekian banyak
pertentangan yang terjadi dalam masyarakat. Khusunya, hubungan antara etnik Dayak
dengan Madura ada kecenderungan memperlihatkan sesuatu yang lain yang berbeda
dibandingkan dengan hubungan antara etnik Dayak dengan etnik-etnik lainnya.
Konflik antara kedua etnis ini bermula pada 18 Februari 2001 dini hari sekitar
pukul 00.30 WIB. Berawal dari penyerangan dan pembunuhan terhadap 4 anggota
keluarga dari warga etnis Madura di Kecamatan Baamang, Sampit. Motif penyerangan
terhadap rumah warga Madura tersebut terkait balas dendam terhadap peristiwa yang
terjadi di Kereng Pangi. Berita mengenai peristiwa ini pun langsung menyebar dengan
cepat di kalangan warga etnis Dayak. Kondisi semakin memanas ketika sekelompok
warga etnis Dayak yang merasa tidak terima terhadap aksi pembakaran melakukan
aksi balasan kepada pihak Madura.

Konflik pun meruncing ketika Madura lagi-lagi menyulut api, dimana mereka
melakukan sweeping terhadap rumah-rumah orang Dayak. Aksi tersebut membuat
orang-orang Dayak berdatangan sembari membawa sejata tajam untuk melakukan
pembalasan dan perlawanan terhadap orang-orang Madura. Tragedi berdarah itu pun
tak dapat dihindarkan. Apalagi setelah insiden tersebut ditemukan banyak penggalan
kepala warga Madura di sana. Akibat dari konflik ini pun 100.000 warga Madura
kehilangan tempat tinggal mereka.

Melihat kasus diatas, konflik etnis memberikan isyarat yang jelas bahwa ada
sesuatu yang kurang beres dalam hubungan antar etnis di negeri ini. Kenyataannya,
konflik ini memang sudah pecah dari tahun sebelum-sebelumnya, bahkan kembali
terulang di tahun 2001. Kasus antar etnis ini tentu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut
tanpa ada penyelesaian yang jelas, konkrit, dan adil. Hal ini juga mengisyaratkan
betapa masalah konflik etnik sedang dan akan mengancam kerukunan sosial serta
integrasi bangsa jika tidak diselesaikan secepatnya.

b. Pemecahan Masalah

Dalam hal penyelesaian konflik ini, mencari akar permasalahan adalah hal
yang paling utama. Gejala konflik tersebut akan selesai jika akar penyebab konflik
tersebut ditemukan. Cara lainnya, penyelesaian konflik dapat melalui rekonsiliasi
dimana—rekonsiliasi ini merupakan bentuk akomodatif dari pihak-pihak yang terlibat
konflik destruktif itu sendiri agar nantinya dapat kembali saling menghargai satu
sama lain, menyingkirkan rasa sakit, dendam, benci, dan bahaya. Selain dengan
rekonsiliasi, penyelesaian konflik dengan mediasi juga dapat dilakukan. Dalam
mediasi ini, kedua belah pihak yang bersitegang bersama-sama sepakat untuk
memberikan nasihat-nasihat masing-masing tentang bagaimana mereka sebaiknya
menyelesaikan konflik mereka yang mengakar selama beberapa tahun ini agar tidak
ada permasalahan yang menimbulkan banyak korban di masa depan.
Selain ketiga cara tersebut, Pemerintah daerah maupun pusat harus
mempunyai inisiatif untuk bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dengan melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai
bentuk tentang betapa pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan
menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat. Dan yang tak kalah
penting, adalah menyuarakan upaya-upaya untuk menghapus pertentangan-
pertentangan antara etnis Dayak dan Madura yang masih mengakar selama ini.

D. Penutup

Konflik merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan


orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman
kekerasan. Besarnya jumlah penduduk di Indonesia ini pun terdiri dari beragam suku
atau etnis, ras sehingga menyebabkan Indonesia sangat rentan dengan konflik yang
bernuansa ras dan etnis, seperti konflik yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah.
Konflik-konflik terdahulu yang melibatkan orang Dayak dan Madura yang tidak
pernah diselesaikan secara tuntas menyisakan residu konflik yang siap meledak
sewaktu-waktu.

Dalam hal penyelesaian konflik ini, mencari akar permasalahan adalah hal
yang paling utama. Gejala konflik tersebut akan selesai jika akar penyebab konflik
tersebut ditemukan. Cara lainnya, penyelesaian konflik dapat melalui rekonsiliasi
Selain dengan rekonsiliasi, penyelesaian konflik dengan mediasi juga dapat
dilakukan. Selain ketiga cara tersebut, Pemerintah daerah maupun pusat harus
mempunyai inisiatif untuk bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dengan melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai
bentuk tentang betapa pentingnya hidup berdampingan secara damai. Dan yang tak
kalah penting, adalah menyuarakan upaya-upaya untuk menghapus pertentangan-
pertentangan antara etnis Dayak dan Madura yang masih mengakar selama ini.

DAFTAR PUSTAKA

Habib Alwi, Pengantar Studi Konflik Sosial: Sebuah Tinjauan Teoritis, (Mataram: Institut
Agama Islam Negeri Mataram, 2016)
Abdul Rachman Patji , “Tragedi Sampit 2001 Dan Imbasnya Ke Palangka Raya (Dari
Konflik ke Rekonstruksi)”, Jurnal Masyarakat dan Budaya, (Vol. 5, No. 2, Oktober 2003)

Hamid Darmadi, “Dayak: Asal-Usul Dan Penyebarannya Di Bumi Borneo”,


Jurnal Pendidikan Sosial, (Vol. 3, No. 2, Desember 2016), hlm. 323

Totok Rochana, “Orang Madura: Suatu Tinjuan Antropologis”, Humanus, (Vol. 11,
No.1, Januari 2012)

J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2014)

Anda mungkin juga menyukai