Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

ILMU PENYAKIT MATA

ASTIGMATISMA

Pembimbing :
dr. Teguh Anamani, Sp. M

Disusun Oleh:
M Edo Antariksa P G4A016137

SMF ILMU PENYAKIT MATA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS REFERAT

ASTIGMATISMA

Disusun oleh:
M Edo Antariksa P G4A016137

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu
Penyakit Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal Agustus 2018

Purwokerto, Agustus 2018


Pembimbing,

dr. Teguh Anamani, Sp. M


KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusunan panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-

Nya, sehingga referat berjudul “Astigmatisma” ini dapat diselsaikan. Referat ini

merupakan salah satu tugas di SMF Ilmu Penyakit Mata. Oleh karena ittu penyusun

mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan penulisan di masa yang akan datang.

Tidak lupa penyusun ucapkan banyak terimakasih kepada:

1. dr.Teguh Anamani, Sp. M selaku pembimbing

2. Dokter-dokter spesialis mata di SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto

3. Orangtua serta keluarga penulis atas doa dan dukungan yang tidak pernah

henti diberikan kepda penulis

4. Rekan-rekan ko-asisten bagian SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto atas semangat dan bantuannya

Penulis menyadari referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran

yang membangun dari semua pihak penulis harapkan demi referat yang lebih baik.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini bermanfaat bagi semua

pihak yang ada di dalam maupun di luar lingkungan RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto.
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………... 2

KATA PENGANTAR…………………………………………………………... 3

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. 4

PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 5

TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………. 6

KESIMPULAN…………………………………………………………………. 35

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………… 36
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Astigmatisme merupakan kelainan refraksi mata, di mana terdapat
variasi derajat refraksi pada bermacam-macam meridian, sehingga sinar
yang sejajar pada mata itu tidak difokuskan pada satu titik. Pembiasan
sinar pada mata astigmat tidak sama pada semua bidang atau meridian
(Triastuti, 2015).
Astigmatisma biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir,
dan biasanya berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan
tidak banyak terjadi perubahan selama hidup. Bayi yang baru lahir
biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang di dalam
perkembangannya terjadi keadaan yang disebut astigmatism with the rule
(astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang vertikal
bertambah atau lebih kuat atau-jari-jarinya lebih pendek dibanding jari-
jari kelengkungan kornea di bidang horizontal (Ilyas, 2013)
Letak kelainan pada astigmatisma terdapat di dua tempat yaitu
kelainan pada kornea dan kelainan pada lensa.Pada kelainan kornea
terdapat perubahan lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan atau
pemanjangan diameter anterior- posterior bola mata. Kelainan ini bisa
merupakan kelainan kongenital atau didapat akibat kecelakaan,
peradangan kornea atau operasi (Nadz, 2011).
Secara garis besar terdapat astigmatisme regular dan
irreguler.Astigmatisme regular terbagi menjadi astigmatisme miopikus
simpleks, astigmatisme miopikus kompositus, astigmatisme
hipermetropikus simpleks, astigmatisme hipermetropikus kompositus,
dan astigmatisme mikstus yang masing-masing dapat with the rule dan
against the rule, berdasarkan daya bias terkuatnya. Kelainan ini biasanya
akibat anomali pada kornea atau lensa (Triastuti, 2015).
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI MATA

Mata merupakan suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus

oleh tiga lapisan. Dari paling luar ke paling dalam, lapisan-lapisan itu

adalah sklera/kornea, koroid/badan siliaris/iris, lensa, dan retina.

Gambar 1. Anatomi mata

Lensa mata merupakan jaringan yang berasal dari ektoderm

permukaan yang berbentuk lensa di dalam mata dan bersifat bening.

Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris yang terdiri dari zat

tembus cahaya berbentuk seperti cakram yang dapat menebal dan


menipis pada saat terjadinya akomodasi. Secara fisiologik lensa

mempunyai sifat tertentu, yaitu (Ilyas, 2010):

1. Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam

akomodasi untuk menjadi cembung.

2. Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan.

3. Terletak di tempatnya.

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa (Ilyas, 2010) :

1. Tidak kenyal pada orang dewasa yang akan mengakibatkan

presbiopia,

2. Keruh atau apa yang disebut katarak,

3. Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi.

B. REFRAKSI MATA

Refraksi Mata adalah perubahan jalannya cahaya, akibat media

refrakta mata, dimana mata dalam keadaan istirahat. Mata dalam keadaan

istirahat berarti mata dalam keadaan tidak berakomodasi. Pada orang

normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola

mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui

media penglihatan dibiaskan tepat di daerah macula lutea (Riordan,

2013).

Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan

akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan


mata tidak berakomodasi atau istirahat melihat jauh. Dikenal beberapa

istilah di dalam bidang refraksi, seperti pungtum Proksimum merupakan

titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan

jelas.Pungtum remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih

dapat melihat dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang

berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pada

emetropia pungtum remotum terletak di depan mata sedang pada mata

hipermetropia titik semu di belakang mata (Ilyas, 2010).

C. AKOMODASI

Pada keadaan normal cahaya tidak terhingga akan terfokus pada

retina, demikian pula bila benda jauh didekatkan, maka dengan adanya

daya akomodasi benda dapat difokuskan pada retina atau macula lutea.

Dengan berakomodasi, maka benda pada jarak yang berbeda-beda akan

terfokus pada retina. Akomodasi adalah kemampuan lensa untuk

mencembung yang terjadi akibat kontraksi otot siliari.Akomodasi, daya

pembiasan lensa bertambah kuat. Kekuatan akomodasi akan meningkat

sesuai dengan kebutuhan, makin dekat benda makin kuat mata harus

berakomodasi (mencembung). Kekuatan akomodasi diatur oleh reflex

akomodasi. Refleks akomodasi akan bangkit bila mata melihat kabur dan

pada waktu konvergensi atau melihat dekat. Mekanisme Akomodasi ada

2 teori (Riodan, 2013):


1. Teori Helmholzt : Kalau mm. siliaris berkontraksi, maka iris

dan badan siliare, digerakkan kedepan bawah , sehingga zonulla zinii

jadi kendor, lensa menjadi lebih cembung, karena elastisitasnya sendiri.

Banyak yang mengikuti teori ini.

2. Teori Tschering : Bila mm, siliaris berkontraksi, maka iris dan

badan siliaris digerakkan kebelakang atas sehingga zonula zinii menjadi

tegang, juga bagian perifer lensa menjadi tegang sedang bagian

tengahnya didorong kesenteral dan menjadi cembung.

D. EMETROPIA

Emetropia berasal dari kata Yunani; Emetros : ukuran normal atau

dalam keseimbangan wajar, Opsis : Penglihatan. Mata dengan sifat

emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi pembiasan sinar

mata dan berfungsi normal (Ilyas, 2010).

Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar jauh

difokuskan sempurna di daerah macula lutea tanpa bantuan akomodasi

.Bila sinar sejajar tidak difokuskan pada macula lutea disebut Ametropia.

Mata emetropia akan mempunyai penglihatan normal atau 6/6 atau 100%.

Bila media penglihatan seperti kornea, lensa , dan bada kaca keruh maka

sinar tidak dapat diteruskan ke macula lutea. Pada keadaan media

penglihatan keruh maka penglihatan tidak akan 100% atau 6/6 (Ilyas,

2010).
Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh

dataran depan dan kelengkunagn kornea dan panjangnya bola mata.

Kornea mempunyai daya pembiasan sinar tekuat dibanding bagian mata

lainnya.Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat

melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat.Panjang bola

mata sesorang dapat berbeda-beda.Bila terdapat kelainan pembiasan

sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan

panjang (lebih panjang lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak

dapat terfokus pada macula.Keadaan ini disebut sebagai emetropia yang

dapat berupa miopia, hipermetropia atau astigmatisma (Ilyas, 2010).

Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan

perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat

berkuranganya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi.

Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat

keadaan yang disebut presbyopia (Ilyas, 2010).


Gambar 3. Mata Emetropia

E. AMETROPIA

Keseimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh

dataran depan dan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea

mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding bagian mata

lainnya.Lensa memegang peranan membiaskan sinar terutama pada saat

melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola

mata seseorang dapat berbeda-beda.Bila terdapat kelainan pembiasan sinar

oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang

(lebih panjang, lebih pendek) bola mata maka sinar normal tidak dapat

terfokus pada macula.Keadaan ini disebut sebagai ametropia yang dapat

berupa miopi, hipermetropia, atau astigmatisma (Ilyas, 2010).


Gambar 4. Ametropia

Ametropia dalam keadaan tanpa akomodasi atau dalam keadaan

istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak

tereletak pada retina.Pada keadaan ini bayangan pada selaput jala tidak

sempurna terbentuk. Dikenal berbagai bentuk ametropia, seperti (Riodan,

2013):

1. Ametropia aksial

Ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih

panjang, atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di

depan atau di belakang retina. Pada miopia aksial fokus akan terletak

di depan retina karena bola mata lebih panjang dan pada

hipermetropia aksial fokus bayangan dibelakang retina.

2. Ametropia Refraktif
Ametropia akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam

mata. Bila daya bias kuat maka bayangan benda terletak di depan

retina (miopi) atau bila daya bias kurang maka bayangan benda akan

terletak di belakang retina (hipermetropia refraktif).

Ametropia dapat ditemukan dalam beberapa bentuk kelainan,

sebagai berikut (Riodan, 2013):

a. Miopia

b. Hipermetropia

c. Astigmat

d. Presbiopia

Tabel. 1 Kausa Ametropia

Ametropia Lensa koreksi Kausa refraktif Aksial

Bola mata
Miopia Lensa (-) Bias kuat
panjang

Bola mata
Hipermetropia Lensa (+) Bias lemah
pendek
Kurvatura 2
Astigmat Kacamata
meredien
reguler silinder
tegak lurus

Kurvatura
Astigmat Lensa kontak
kornea ireguler
Ireguler
Tabel 2. Jenis-Jenis Ametropia
F. ASTIGMATISMA

1. Definisi Astigmatisma

Astigmatisma adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar

yang datang dari jarak tak terhingga oleh mata dalam keadaan istirahat

dibias tak tertentu, refraksi dalam tiap meridian tak sama.

Gambar 5. Astigmatisma

Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar sejajar

dengan garis pandang oleh mata tanpa akomodasi dibiaskan tidak pada

satu titik tetapi lebih dari satu titik (Ilyas, 2010).

2. Epidemiologi

Prevalensi global kelainan refraksi diperkirakan sekitar 800 juta

sampai 2,3 milyar. Di Indonesia prevalensi kelainan refraksi menempati

urutan pertama pada penyakit mata. Kasus kelainan refraksi dari

tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Ditemukan jumlah


penderita kelainan refraksi di Indonesia hampir 25% populasi penduduk

atau sekitar 55 juta jiwa (Wijaya, 2014).

Insidensi myopia dalam suatu populasi sangat bervariasi dalam

hal umur, negara, jenis kelamin, ras, etnis, pekerjaan, lingkungan,

dan factor lainnya. Prevalensi miopia bervariasi berdasar negara dan

kelompok etnis, hingga mencapai 70-90% di beberapa negara. Sedangkan

menurut Maths Abrahamsson dan Johan Sjostrand tahun 2003, angka

kejadian astigmat bervariasi antara 30%-70%.

3. Media Refraksi

Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media

penglihatan yang terdiri atas kornea, aqueous humor (cairan mata),

lensa, badan vitreous (badan kaca), dan panjangnya bola mata. Pada

orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjang

bola mata sedemikian seimbang sehingga bayangan benda setelah

melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata

yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan

bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak

melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Riordan, 2013).

4. Fisiologi Refraksi
Gambar 6. Fisiologi refraksi.

Berkas-berkas cahaya mencapai mata harus dibelokkan ke arah

dalam untuk difokuskan kembali ke sebuah titik peka-cahaya di retina

agar dihasilkan suatu bayangan yang akurat mengenai sumber cahaya.

Pembelokan suatu berkas cahaya (refraksi) terjadi ketika berkas

berpindah dari satu medium dengan kepadatan (densitas) tertentu ke

medium dengan kepadatan yang berbeda. Cahaya bergerak lebih cepat

melalui udara daripada melalui media transparan lainnya misalnya :

kaca, air. Ketika suatu berkas cahaya masuk ke medium dengan

densitas yang lebih tinggi, cahaya tersebut melambat (sebaliknya

juga berlaku). Berkas cahaya mengubah arah perjalanannya jika

mengenai medium baru pada tiap sudut selain tegak lurus (Ilyas, 2010).

Dua faktor penting dalam refraksi : densitas komparatif antara 2

media (semakin besar perbedaan densitas, semakin besar derajat

pembelokan) dan sudut jatuhnya berkas cahaya di medium kedua

(semakin besar sudut, semakin besar pembiasan). Dua struktur yang

paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah kornea dan lensa.

Permukaan kornea, struktur pertama yang dilalui cahaya sewaktu masuk

mata, yang melengkung berperan besar dalam reftraktif total karena

perbedaan densitas pertemuan udara/kornea jauh lebih besar dari pada


perbedaan densitas antara lensa dan cairan yang mengelilinginya.

Kemampuan refraksi kornea seseorang tetap konstan karena

kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya kemampuan

refraksi lensa dapat disesuaikan dengan mengubah kelengkungannya

sesuai keperluan untuk melihat dekat atau jauh (Ilyas, 2010).

Struktur-struktur refraksi pada mata harus membawa bayangan

cahaya terfokus diretina agara penglihatan jelas. Apabila bayangan sudah

terfokus sebelum bayangan mencapai retina atau belum terfokus

sebelum mencapai retina ,bayangan tersebut tampak kabur. Berkas-

berkas cahaya yang berasal dari benda dekat lebih divergen sewaktu

mencapai mata daripada berkas-berkas dari sumber jauh. Berkas dari

sumber cahaya yang terletak lebih dari 6 meter (20 kaki) dianggap sejajar

saat mencapai mata (Wijaya, 2014).

Untuk kekuatan refraktif mata tertentu, sumber cahaya

dekat memerlukan jarak yang lebih besar di belakang lensa agar dapat

memfokuskan daripada sumber cahaya jauh, karena berkas dari sumber

cahaya dekat masih berdivergensi sewaktu mencapai mata. Untuk mata

tertentu, jarak antara lensa dan retina selalu sama. Untuk membawa

sumber cahaya jauhdan dekat terfokus di retina (dalam jarak yang sama),

harus dipergunakan lensa yang lebih kuat untuks umber dekat.

Kekuatan lensa dapat disesuaikan melalui proses akomodasi (Ilyas,

2010).
5. Etiologi

a. Kelainan kornea

Adanya kelainan kornea dimana permukaan luar kornea tidak

teratur. Media refrakta yang memiliki kesalahan pembiasan yang

paling besar adalah kornea, yaitu mencapai 80% s/d 90% dari

astigmatismus, sedangkan media lainnya adalah lensa kristalin.

Kesalahan pembiasan pada kornea ini terjadi karena perubahan

lengkung kornea dengan tanpa pemendekan atau pemanjangan

diameter anterior posterior bolamata. Perubahan lengkung permukaan

kornea ini terjadi karena kelainan kongenital, kecelakaan, luka atau

parut di kornea, peradangan kornea serta akibat pembedahan kornea

atau operasi (Riordan, 2013).

b. Kelainan di lensa

Kekeruhan lensa, biasanya katarak insipienatau imatur.Axis

visual disini tidak dapat diatasi dengan lensa, harus menunggu sampai

saatnya tiba untuk operasi lensa. Adanya astigmatisma kornea dapat

diperiksa dengan tes Placido, dimana gambarannya di kornea terlihat

tidak teratur. Kelainan kornea merupakan penyebab utama, yaitu

meredien dengan daya bias maksimal, dan minimal, yang saling tegak

lurus letaknya. Jadi ada meredien yang vertical dan ada meredien

yang horizontal. Bila meredien vertical, mempunyai daya bias yang

lebih besar dari pada yang horizontal. Dinamakan astigmatisma with


the rule, bila sebaliknya disebut astigmatisma “ against the rule”

(Riordan, 2013).

c. Intoleransi lensa atau lensa kontak pada postkeratoplasty (Riordan,

2013)

d. Trauma pada kornea (Riordan, 2013)

e. Tumor (Riordan, 2013)

6. Klasifikasi

Dikenal 5 macam Astigmatisma (Riordan, 2013) :

1. Astigmatisma miopikus simpleks.

2. Astigmatisma miopikus kompositus.

3. Astigmatisma hipermetropikus simpleks.

4. Astigmatisma hipermetropikus kompositus.

5. Astigmatisma mikstus.

Berdasarkan posisi garis fokus dalam retina Astigmatisme

dibagi sebagai berikut (Riordan, 2013):

1) Astigmatisme Reguler

Astigmatisme dikategorikan regular jika meredian - meredian

utamanya (meredian di mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah

di sistem optis bolamata), mempunyai arah yang saling tegak lurus.

Misalnya, jika daya bias terkuat berada pada meredian 90°, maka daya

bias terlemahnya berada pada meredian 180°, jika daya bias terkuat
berada pada meredian 45°, maka daya bias terlemah berada pada

meredian 135°. Astigmatisme jenis ini, jika mendapat koreksi lensa

cylindris yang tepat, akan bisa menghasilkan tajam penglihatan

normal. Tentunya jika tidak disertai dengan adanya kelainan

penglihatan yang lain. Bila ditinjau dari letak daya bias terkuatnya,

bentuk astigmatisme regular ini dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:

i. Astigmatisme With the Rule

Bila pada bidang vertical mempunyai daya bias yang lebih kuat dari

pada bidang horizontal.

Gambar 7. Astigmatisme With the Rule

ii. Astigmatisme Against the Rule

Bila pada bidang horizontal mempunyai daya bias yang lebih kuat dari

pada bidang vertikal.


Gambar 8. Astigmatisme Against the Rule

2) Astigmatisme Irreguler

Dimana titik bias didapatkan tidak teratur.

Berdasarkan letak fokus pada retina, astigmatisme dibagi sebagai

berikut:

1. Astigmatisme Miopia Simpleks

Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina,

sedangkan titik B berada tepat pada retina (dimana titik A adalah titik

fokus dari daya bias terkuat sedangkan titik B adalah titik fokus dari

daya bias terlemah). Pola ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini

adalah Sph 0,00 Cyl -Y atau Sph -X Cyl +Y di mana X dan Y

memiliki angka yang sama.


Gambar 9. Astigmatisme Miopia Simpleks

2. Astigmatisme Hiperopia Simpleks

Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina,

sedangkan titik B berada di belakang retina. Pola ukuran lensa koreksi

astigmatisme jenis ini adalah Sph 0,00 Cyl +Y atau Sph +X Cyl -Y di

mana X dan Y memiliki angka yang sama.

Gambar 10. Astigmatisme Hiperopia Simpleks

3. Astigmatisme Miopia Kompositus

Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina,

sedangkan titik B berada di antara titik A dan retina. Pola


ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph -X Cyl

-Y.

Gambar 11. Astigmatisme Miopia Kompositus

4. Astigmatisme Hiperopia Kompositus

Astigmatisme jenis ini, titik B berada di belakang retina,

sedangkan titik A berada di antara titik B dan retina. Pola

ukuran lensa koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X

Cyl +Y.

Gambar 12. Astigmatisme Hiperopia Kompositus

5. Astigmatisme Mixtus
Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina,

sedangkan titik B berada di belakang retina. Pola ukuran lensa

koreksi astigmatisme jenis ini adalah Sph +X Cyl -Y, atau

Sph -X Cyl +Y, di mana ukuran tersebut tidak dapat

ditransposisi hingga nilai X menjadi nol, atau notasi X dan Y

menjadi sama - sama + atau -.

Gambar 13. Astigmatisme Mixtus

Berdasarkan tingkat kekuatan Dioptri :

1. Astigmatismus Rendah

Astigmatismus yang ukuran powernya < 0,50 Dioptri. Biasanya

astigmatis-mus rendah tidak perlu menggunakan koreksi kacamata.

Akan tetapi jika timbul keluhan pada penderita maka koreksi kacamata

sangat perlu diberikan.

2. Astigmatismus Sedang
Astigmatismus yang ukuran powernya berada pada 0,75 Dioptri

sampai dengan 2,75 Dioptri. Pada astigmatismus ini pasien sangat

mutlak diberikan kacamata koreksi.

3. Astigmatismus Tinggi

Astigmatismus yang ukuran powernya > 3,00 Dioptri.

Astigmatismus ini sangat mutlak diberikan kacamata koreksi.

7. Tanda Dan Gejala

Pada umunya, seseorang yang menderita astigmatismus tinggi

menyebabkan gejala-gejala sebagai berikut (Ilyas, 2010) :

1. Memiringkan kepala atau disebut dengan “titling his head”, pada

umunya keluhan ini sering terjadi pada penderita astigmatismus

oblique yang tinggi.

2. Memutarkan kepala agar dapat melihat benda dengan jelas.

3. Menyipitkan mata seperti halnya penderita myopia, hal ini dilakukan

untuk mendapatkan efek pinhole atau stenopaic slite. Penderita

astigmatismus juga menyipitkan mata pada saat bekerja dekat seperti

membaca.

4. Pada saat membaca, penderita astigmatismus ini memegang bacaan

mendekati mata, seperti pada penderita myopia. Hal ini dilakukan

untuk memperbesar bayangan, meskipun bayangan di retina tampak

buram.
5. Sedang pada penderita astigmatismus rendah, biasa ditandai

dengan gejala-gejala sebagai berikut :

6. Sakit kepala pada bagian frontal.

7. Ada pengaburan sementara / sesaat pada penglihatan dekat, biasanya

penderita akan mengurangi pengaburan itu dengan menutup atau

mengucek-ucek mata.

8. Diagnosis

1) Pemeriksaan visus dan pin hole

Pemeriksaan visus dilakukan pada satu per satu mata baik

visus jauh ataupun visus dekat. Visus jauh pertama-tama diperiksa

dengan Snellen chart kemudian jika tidak dapat terlihat menggunakan

hitung jari. Jika hitung jari tidak terlihat maka menggunakan

lambaian tangan, kemudian persepsi sinar jika tidak dapat melihat

bayangan lambaian tangan (Ilyas, 2010).

Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah

berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi

atau kelainan pada media penglihatan, atau kelainan retina lainnya.

Bila ketajaman penglihatan bertambah setelah dilakukan pin hole

berarti pada pasien tersebut terdapat kelainan refraksi yang belum

dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada

pasien terdapat kekeruhan media penglihatan atau pun retina yang

menggangu penglihatan (Ilyas, 2010).


2) Uji refraksi

i. Subjektif (Optotipe dari Snellen & Trial lens)

Metode yang digunakan adalah dengan Metoda „trial and

error‟ Jarak pemeriksaan 6 meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu

Snellen yang diletakkan setinggi mata penderita, Mata diperiksa satu

persatu dibiasakan mata kanan terlebih dahulu (Riordan, 2013).

Ditentukan visus / tajam penglihatan masing- masing mata.

Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila dengan

lensa sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 5/5, 6/6,

atau 20/20 maka pasien dikatakan menderita hipermetropia, apabila

dengan pemberian lensa sferis positif menambah kabur penglihatan

kemudian diganti dengan lensa sferis negatif memberikan tajam

penglihatan 5/5, 6/6, atau 20/20 maka pasien menderita miopia. Bila

setelah pemeriksaan tersebut diatas tetap tidak tercapai tajam

penglihatan maksimal mungkin pasien mempunyai kelainan refraksi

astigmat. Pada keadaan ini lakukan uji pengaburan (fogging

technique) (Riordan, 2013).

ii. Objektif

Pemerriksaan objektif menggunakan alat autorefraktometer dan

keratometri. Autofraktometer dapat menentukan myopia atau besarnya

kelainan refraksi dengan menggunakan komputer. Penderita duduk di

depan autorefractor, cahaya dihasilkan oleh alat dan respon mata


terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur berapa besar kelainan

refraksi yang harus dikoreksi dan pengukurannya hanya memerlukan

waktu beberapa detik. Keratometri adalah pemeriksaan mata yang

bertujuan untuk mengukur radius kelengkungan kornea. Keratometer

dipakai klinis secara luas dan sangat berharga namun mempunyai

keterbatasan (Riordan, 2013).

3) Uji pengaburan

Setelah pasien dikoreksi untuk myopia yang ada, maka

tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga

tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya

dengan menambah lensa spheris positif 3. Pasien diminta melihat

kisi-kisi juring astigmat, dan ditanyakan garis mana yang paling

jelas terlihat. Bila garis juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus

padanya ditentukan sumbu lensa silinder, atau lensa silinder

ditempatkan dengan sumbu 180°. Perlahan-lahan kekuatan lensa

silinder negatif ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmat

vertikal sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau

semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder

ditentukan yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat

kartu Snellen dan perlahan-lahan ditaruh lensa negatif sampai

pasien melihat jelas (Riordan, 2013).


Gambar 14. Kipas Astigmat

4) Keratoskop

Keratoskop atau Placido disk digunakan untuk pemeriksaan

astigmatisme. Pemeriksa memerhatikan imej “ring” pada kornea

pasien. Pada astigmatisme regular, “ring” tersebut berbentuk oval.

Pada astigmatisme irregular, imej tersebut tidak terbentuk sempurna

(Riordan, 2013).

5) Javal ophtalmometer

Boleh digunakan untuk mengukur kelengkungan sentral dari

kornea, dimana akan menentukan kekuatan refraktif dari kornea (Riordan,

2013).

9. Terapi

1) Koreksi lensa

Astigmatismus dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder.

Karena dengan koreksi lensa cylinder penderita astigmatismus akan dapat


membiaskan sinar sejajar tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah jelas

(Wijaya, 2014).

2) Orthokeratology

Orthokeratology adalah cara pencocokan dari beberapa seri lensa kontak,

lebih dari satu minggu atau bulan, untuk membuat kornea menjadi datar dan

menurunkan myopia. Kekakuan lensa kontak yang digunakan sesuai dengan

standar. Pada astigmatismus irregular dimana terjadi pemantulan dan pembiasan

sinar yang tidak teratur pada dataran permukaan depan kornea maka dapat

dikoreksi dengan memakai lensa kontak. Dengan memakai lensa kontak maka

permukaan depan kornea tertutup rata dan terisi oleh film air mata (Wijaya,

2014).

3) Bedah refraksi

Methode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari (Wijaya, 2014):

i. Radial keratotomy (RK)

Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral. Bagian

yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata. Jumlah hasil

perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan kedalaman dari insisi.

ii. Photorefractive keratectomy (PRK)

Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser pada

pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi setelah

photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan akan kembali jernih.


Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang menyatakan penglihatannya lebih

baik pada waktu sebelum operasi.

Pada astigmatisma berkas sinar tidak difokuskan pada satu titik dengan tajam

pada retina akan tetapi pada 2 garis titik api yang saling tegak lurus yang terjadi

akibat kelainan kelengkungan permukaan kornea. Pada mata dengan astigmat

lengkungan jari-jari meredien yang tegak lurus padanya.

Bayi yang baru lahir biasanya mempunyai kornea yang bulat atau sferis yang

di dalam perkembangannya terjadi keadaan apa yang disebut sebagai astigmatisma

with the rule (astigmat lazim) yang berarti kelengkungan kornea pada bidang

vertical bertambah atau lebih kuat atau jari-jarinya lebih pendek

dibanding jari-jari kelengkungan kornea dibidang horizontal.

Pada keadaan astigmat lazim ini diperlukan lensa silinder negative dengan

sumbu 180 derajat untuk memperbaiki kelainan refraksi yang terjadi. Pada usia

pertengahan kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmat menjadi

against the rule (astigmat tidak lazim). Astigmat tidak lazim (astigmatisme

against the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmat dimana

koreksi dengan silinder negative dilakukan dengan sumbu tegak lurus lurus (60-

120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-

150derajat).Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meredien

horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertical. Hal ini sering

ditemukan pada usia lanjut.


Pengobatan dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa

kontak lembek bila disebabkan infeksi,trauma dan distropi untuk memberikan

efek permukaan yang ireguler. Pada pasien plasidoskopi terdapat gambaran yang

ireguler.Koreksi dan pemeriksaan astigmat, pemeriksaan mata dengan sentris

pada permukaan kornea.Dengan alat ini dapat dilihat kelengkungan kornea yang

regular (konsentris), ireguler kornea dan adanya astigmatisme kornea (Wijaya,

2014).
III. KESIMPULAN

1. Astigmatisma adalah kelainan refraksi mata dimana didapatkan

bermacam- macam derajat refraksi pada berbagai macam meridian

sehingga sinar sejajar yang datang pada mata akan difokuskan pada

berbagai macam fokus pula. Terdapat berbagai macam astigmatisma,

antara lain simple astigmatisma, mixed astigmatisma dan compound

astigmatisma.

2. Terdapat 2 etiologi, yaitu kelainan pada lensa dan kelainan pada

kornea. Adapun gejala klinis dari astigmatisme adalah penglihatan kabur

atau terjadi distorsi. Pasien juga sering mengeluhkan penglihatan

mendua atau melihat objek berbayang-bayang. Sebahagian juga

mengeluhkan nyeri kepala dan nyeri pada mata.

3. Koreksi dengan lensa silinder akan memperbaiki visus pasien. Selain

lensa terdapat juga pilihan bedah yaitu dengan Radial keratotomy (RK)

dan Photorefractive keratectomy (PRK).


DAFTAR PUSTAKA

Ilyas S. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. Edisi ke tiga. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Ilyas, Sidharta. 2013. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Indonesia.

Nadz, Farah. Astigmatisma [online]. 2011. Tersedia


pada.https://www.scribd.com/doc/76664095

Riordan P. Whitcher P John Eva. 2013. Optik dan refraksi dalam : Vaugan
dan Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC.

Triastuti,Nur. 2015.Astigmatisme. [serial online].


https://www.scribd.com/doc/76664095.

Wijaya N. 2014. IlmuPenyakit Mata. Edisi ke-6. Jakarta : Abaditegal.

Anda mungkin juga menyukai