Anda di halaman 1dari 12

1.

Mekanisme terjadinya aliran udara masuk dan keluar paru-paru termasuk proses inspirasi dan ekspirasi
yaitu
2. Proses pertukaran udara antara O2 dan CO2 dalam alveolus yaitu

3. Perubahan fisiologis pada wanita selama kehamilan


Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan, mempunyai dampak yang bersifat patologis
bagi wanita hamil. Perubahan fisiologis ini dimulai pada saat terjadi proses nidasi yang oleh beberapa
tubuh wanita direspon sebagai benda asing. Wanita yang hamil muda akan merasa mual, muntah,
meriang dan lemas. Rasa mual dan muntah ini akan berkurang sampai trimester pertama berakhir. Pada
trimester kedua tubuh sudah mulai beradaptasi dan rasa mual dan muntah sudah mulai berkurang. Akan
tetapi pada trimester ketiga, keluhan yang diakibatkan oleh pembesaran perut, perubahan anatomis dan
perubahan hormonal akan menyebabkan munculnya keluhan-keluhan pada ibu hamil (Venkata &
Venkateshiah 2009) dalam (Tamza, Suhartono and Dharminto, 2013)
Perubahan-perubahan fisiologis selama kehamilan
a. Sistem Reproduksi
1) Ukuran
Pada kehamilan cukup bulan, ukuran uterus adalah 30 x 25 x 20 cm dengan kapasitas lebih
dari 4.000 cc. Hal ini memungkinkan bagi adekuatnya akomodasi pertumbuhan janin.
Pada saati ini rahim membesar akibat hipertropi dan hiperplasi otot polos rahim, serabut-
serabut kolagennya menjadi higroskopik, dan endometrium menjadi desidua.
2) Berat.
Berat uterus naik secara luar biasa, dari 30 gram menjadi 1.000 gram pada akhir bulan.
3) Posisi rahim dalam kehamilan
4) Vaskularisasi
Arteri uterine dan ovarika bertambah dalam diameter, panjang, dan anak-anak
cabangnya, pebuluh darah vena mengembang dan bertambah.
5) Serviks uteri.
Bertambah vaskularisasinya dan menjadi lunak, kondisi ini yang disebut dengan tanda
Goodell
6) Ovarium
Ovulasi berhenti namun masih terdapat korpus luteum graviditas sampai terbentuknya
plasenta yang akan mengambil alih pengeluaran esterogen dan progesteron.
7) Vagina dan Vulva Oleh karena pengaruh esterogen, terjadi hipervaskularisasi pada vagina
dan vulva, sehingga pada bagian tersebut terlihat lebih merah ataiu kebiruan, kondisi ini
yang disebut dengan tanda Chadwick (Sulistyawati, 2011) dalam (April, Manurung and
Nasution, 2013)
b. Sistem Urinaria
Selama kehamilan, ginjal bekerja lebih berat. Ginjal menyaring darah yang volumenya
meningkat (sampai 30-50% atau lebih), yang puncaknya terjadi pada usia kehamilan 16-24 minggu
sampai sesaat sebelum persalinan (pada saat ini aliran darah ke ginjal berkurang akibat
penekanan rahim yang membesar).
c. Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan, jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya atau biasa
disebut sebagai curah jantung (cardiac output) meningkat sampai 30-50%. Peningkatan ini mulai
terjadi pada usia kehamilan 6 minggu dan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 16-28
minggu. Oleh karena curah jantung yang meningkat, maka denyut jantung pada saat istirahat juga
meningkat (dalam keadaan normal 70 kali/menit menjadi 80-90 kali/menit). Pada ibu hamil
dengan penyakit jantung, ia dapat jatuh dalam keadaan decompensate cordis.
d. Sistem Gastrointestinal
Perubahan sistem pencernaan yang dirasakan ibu hamil adalah sebagai berikut:
1) Trimester 1
Pada bulan-bulan pertama kehamilan, terdapat perasaan enek (nausea). Hal ini mungkin
dikarenakan kadar hormon esterogen yang meningkat. Tonus otot-otot traktus digestivus
menurun sehingga motilitas seluruh traktus digestivus juga berkurang. Makanan lebih
lama berada di dalam lambung dan apa yang telah dicernakan lebih lama berada dalam
usus. Hal ini mungkin baik untuk reabsorbsi, tetapi menimbulkan konstipasi yang memang
merupakan salah satu keluhan utama wanita hamil. Tidak jarang dijumapai adanya gejala
muntah (emesis) pada bulan-bulan pertam kehamilan. Biasanya terjadi pada pagi hari,
dikenal sebagai morning sickness. Apabila emesis terjadi terlalu sering dan terlalu banyak
dikeluarkan (hiperemesis gravidarum), maka keadaan ini patologik. Hipersalivasi sering
terjadi sebagai kompensasi dari mual dan muntah yang terjadi. Pada beberapa wanita
ditemukan adanya ngidam makanan yang mungkin berkaitan dengan persepsi individu
wanita tersebut mengenai apa yang bisa mengurangi rasa mual dan muntah. Kondisi
lainnya dalah Pica (mengidam) yang sering dikaitkan dengan anemia akibat defisiensi zat
besi ataupun adanya suatu tradisi (Hanifa Wiknjosastro, 2002: 97) dalam (April,
Manurung and Nasution, 2013)
2) Trimester 2 dan 3
Biasanya terjadi konstipasi karena pengaruh hormon progesteron yang meningkat. Selain
itu, perut kembung juga terjadi karena adanya tekanan uterus yang membesar dalam
rongga perut yang mendesak organ-organ dalam perut khususnya saluran pencernaan,
usus besar, ke arah atas dan lateral. Wasir (hemoroid) cukup sering terjadi pada
kehamilan. Sebagian besar hal ini terjadi akibat konstipasi dan naiknya tekanan venavena
di bawah uterus termasuk vena henoroidal. Panas perut terjadi karena terjadinya aliran
balik asam gastrik ke dalam esofagus bagian bawah (Sunarsih, 2011) dalam (April,
Manurung and Nasution, 2013)
e. Metabolisme
Pada metabolisme mineral yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Kalsium. Dibutuhkan
rata-rata 1,5 gram sehari, sedangkan untuk pembentukan tulang terutama di trimester akhir
dibutuhkan 30-40 gram. 2. Fosfor. Dibutuhkan rata-rata 2 gr/hari. 3. Air. Wanita hamil cenderung
mengalami retensi air (sulistyawati, 2011) dalam (April, Manurung and Nasution, 2013)
f. Sistem Muskuloskeletal
Esterogen dan progesteron memberi efek maksimal pada relaksasi otot dan ligamen
pelvis pada akhir kehamilan. Relaksasi ini digunakan oleh pelvis untuk meningkatkan
kemampuannya menguatkan posisi janin pada akhir kehamilan dan pada saat kelahiran. Ligamen
pada simfisis pubis dan sakroiliaka akan menghilang karena berelaksasi sebagai efek dari
esterogen. Simfisis pubis melebar sampai 4 mm pada usia kehamilan 32 minggu dan sakrooksigeus
tidak teraba, diikuti terabanya koksigis sebagai pengganti bagian belakang (April, Manurung and
Nasution, 2013)
g. Sistem Integumen
Perubahan sistem intugumen yang dirasakan ibu hamil adalah sebagai berikut.
1) Trimester 1
a) Palmar eritema (kemerahan di telapak tangan) dan spider nevi.
b) Linea alba/nigra.
2) Trimester 2 dan 3
a) Chloasma dan perubahan warna areola
b) Striae gravidarum (bulan 6-7) (Sunarsih, 2011).
h. Payudara
Payudara sebagai organ target untuk proses laktasi mengalami banyak perubahan sebagai
persiapan setelah janin lahir. Beberapa perubahan yang dapat diamati oleh ibu adalah sebagai
berikut:
1) Selama kehamilan payudara bertambah besar, tegang, dan berat.
2) Dapat teraba nodul-nodul, akibat hipertropi kelenjar alveoli.
3) Bayangan vena-vena lebih membiru.
4) Hiperpigmentasi pada areola dan puting susu.
5) Kalau diperas akan keluar air susu jolong (kolostrum) berwarna kuning (Mochtar, 1998).
i. Sistem Endokrin
Selama siklus menstruasi normal, hipofisis anterior memproduksi LH dan FSH. Follicle
stimulating hormone (FSH) merangsang folikel de graaf untuk menjadi matang dan berpindah ke
permukaan ovarium di mana ia dilepaskan. Folikel yang kosong dikenal sebagai korpus luteum
dirangsang oleh LH untuk memproduksi progesteron. Progesteron dan esterogen merangsang
poliferasi dari desidua (lapisan dalam uterus) dalam upaya mempersiapkan implantasi jika
kehamilan terjadi. Plasenta, yang terbentuk secra sempurna dan berfungsi 10 minggu setelah
pembuahan terjadi, akan mengambil alih tugas korpus luteum untuk memproduksi esterogen dan
progesterone.
j. Indeks Massa Tubuh (IMT) Dan Berat Badan
Peningkatan berat badan selama kehamilan juga mencakup produksi konsepsi (janin,
plasenta dan cairan amniotik), dan hipertropi beberapa jaringan maternal (uterus, payudara,
darah, cadangan lemak, cairan ekstraselular dan ekstravaskular). Sebagian besar protein terdapat
pada janin, tetapi terdapat juga pada uterus, darah, plasenta dan payudara. Sebaliknya, sebagian
besar deposit lemak terdapat pada jaringan adipose maternal, terutama regiogluteal dan paha
atas, dan juga janin yang merupakan satu-satunya hal penting utama lainnya.
k. Sistem Pernafasan
Ruang abdomen yang membesar oleh karena meningkatnya ruang rahim dan pembentukan
hormon progesteron menyebabkan paru-paru berfungsi sedikit berbeda dari biasanya. Wanita
hamil bernafas lebih cepat dan lebih dalam karena memerlukan lebih banyak oksigen untuk janin
dan untuk dirinya (Sulistyawati, 2011).
l. Sistem neurologi
Perubahan fisiologis spesifik akibat kehamilan dapat menyebabkan timbulnya gejala
neurologis dan neuromuskular berikut:
1) Kompresi saraf panggul atau stasis vaskular akibat pembesaran uterus dapat
menyebabkan perubahan sensori di tungkai bawah.
2) Lordosis dorsolumbar dapat menyebabkan nyeri tarikan pada saraf atau kompresi akar
saraf.
3) Edema yang melibatkan saraf perifer dapat menyebabkan carpal tunnel syndrome selama
trimester akhir kehamilan. Edema menekan saraf median di bawah ligamentum karpalis
pergelangan tangan. Sindrom ini ditandai oleh parestesia (sensasi abnormal seperti rasa
terbakar atau gatal akibat gangguan pada sistem saraf sensori) dan nyeri pada tangan
yang menjalar ke siku. Tangan yang dominan biasanya paling banyak terkena.
4) Akroestesia (rasa baal dan gatal di tangan) yang timbul akibat posisi bahu yang
membungkuk dirasakan oleh beberapa wanita selama hamil. Keadaan ini berkaitan
dengan tarikan pada segmen pleksus brakialis.
5) Nyeri kepala akibat ketegangan umum timbul saat ibu merasa cemas dan tidak pasti
tentang kehamilannya. Nyeri kepala dapat juga dihubungkan dengan gangguan
penglihatan, seperti kesalahan refraksi, sinusitis, atau migren.
6) “nyeri kepala ringan”, rasa ingin pingsan, dan bahkan pingsan (sinkop) sering terjadi pada
awal kehamilan. Ketidakstabilan vasomotor, hipotensi postural, atau hipoglikemia
mungkin merupakan keadaan yang bertanggung jawab atas gejala ini.
7) Hipokalsemia dapat menyebabkan timbulnya masalah neuromuskular, seperti kram otot
atau tetani.

4. Perbedaan sistem imun spesisfik dan non-spesifik adalah


Respon imun adalah suatu respon dari semua komponen sistem imun secara bersama dan
terkoordinasi untuk mengeliminasi antigen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun diawali dengan
adanya pengenalan molekul antigen oleh komponen sistem imun melalui reseptor yang menstimulasi
sistem saraf di dalam otak guna membangkitkan dan melakukan reaksi yang tepat guna mengeliminasi
antigen tersebut (Antari, 2017)
Respon imun tubuh tergantung dari kemampuan komponen sistem imun dalam mengenali
molekul antigen serta membangkitkan dan melakukan reaksi yang tepat dalam mengeliminasi antigen.
Respon imun sendiri dapat dibedakan menjadi respon imun non-spesifik (innate immunity) dan respon
imun spesifik (adaptive immunity) (Antari, 2017)
a) Respon Imun non-Spesifik
Respon Imun non-Spesifik merupakan respon terhadap antigen yang dapat timbul
walaupun tubuh sebelumnya tidak/belum pernah terpapar antigen. Respon ini telah
ada sejak dilahirkan, berfungsi memberikan respon dini terhadap antigen, dan
menginduksi terjadinya respon imun selanjutnya, yaitu respon imun spesifik ( adaptive
immunity ) (Antari, 2017)
Mengingat fungsinya sebagai respon dini terhadap antigen, maka tentu saja
komponen yang berperan sebagai pertahanan utama dan pertamanya adalah
pertahanan fisik dan kimiawi, meliputi lisozim dalam airmata dan berbagai sekresinya,
bakteri komensal, kulit, asam lemak, flora normal vagina, mucus, silia, perubahan pH
dalam pencernaan, dan trfaktus urinaria (Antari, 2017)
Selain pertahanan pertama, respon imun non-spesifik juga membutuhkan peranan
dari apa yang dinamakan pertahanan kedua, diperankan oleh berbagai jenis protein
dalam darah, mediator inflamasi, sitokin, sel-sel polimorfonuklear (PMN), natural killer
(NK) cells, dendritic cells (DC), makrofag, dan juga neutrofil.

5. Penyebab munculnya alergi


Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan antibodi IgE
(immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang berada di dalam sirkulasi darah
dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE yang terikat dengan sel-sel tersebut
berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen), maka sel-sel tersebut didorong untuk
melepaskan zat-zat atau mediator kimia yang dapat merusak atau melukai jaringan di sekitarnya. Alergen
bisa berupa partikel debu, serbuk tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang
merangsang terajdinya respon kekebalan. Kadang istilah penyakit atopik digunakan untuk
menggambarkan sekumpulan penyakit keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika
dan asma alergika. Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE
terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan partikel-partikel
debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh. Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan suatu penyakit atopik
meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih belum diketahui atau tidak begitu jelas.
Meskipun demikian, seseorang yang menderita penyakit atopik tidak memiliki resiko membentuk antibodi
IgE terhadap alergen yang disuntikkan (misalnya obat atau racun serangga) (Hikmah and Dewanti, 2010)

6. Mekanisme fungsi ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan yaitu

7. Gangguan metabolisme zat gizi yang terjadi pada gangguan fungsi ginjal yaitu
a) Gangguan Metabolisme Protein
Ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan protein tubuh melalui fungsi
sintesis, degradasi, filtrasi, reabsorbsi dan ekresi asam amino di tubulus ginjal. Gangguan
fungsi ginjal dapat mengakibatkan gangguan berbagai peran ginjal dalam metabolisme
protein. Gangguan metabolisme protein yang sering menyertai pasien ginjal lebih dikenal
sebagai malnutrisi uremia. Malnutrisi uremia merupakan istilah untuk menggambarkan
malnutrisi dan gangguan metabolisme terkait dengan gangguan ginjal. Malnutrisi uremia
terjadi pada 20-50% pasien CKD dengan dialisis. Karakteristik malnutrisi uremia meliputi
hilangnya cadangan protein tubuh ditandai dengan penurunan massa lemak bebas serta
penurunan protein viseral seperti albumin, pre-albumin, dan transferrin. Malnutrisi
uremia meningkatkan risiko rawat inap dan kematian, khususnya pada pasien CKD stage
5 (Rahmawati, 2017)
Penyebab malnutrisi uremia antara lain kurangnya asupan zat gizi serta gangguan
metabolik dan hormonal (Gambar 3). Anoreksia yang terjadi pada pasien dengan CKD
mengakibatkan asupan zat gizi kurang dan berdampak pada menurunnya status gizi.
Meskipun mekanisme uremia menyebabkan anoreksia belum jelas, suatu studi oleh Berg-
strom et al. menjelaskan isolasi a low molecular weight substance (<5 kd), yang diisolasi
dari ultrafiltrat plasma uremic dan urin normal, yang diinjeksikan pada tikus yang sehat,
menyebabkan suatu dose-dependent suppression pada nafsu makan. Dengan kata lain,
penelitian ini menyimpulkan bahwa uremia menyebabkan nafsu makan berkurang. Disisi
lain, diet rendah protein yang dijalani oleh pasien CKD, khususnya gagal ginjal kronik,
menyebabkan ketoasidosis (Rahmawati, 2017)
Asidosis metabolik yang menyertai progresivitas CKD, juga menyebabkan
malnutrisi uremia melalui meningkatnya katabolisme protein. Studi oleh Mitch et al.,
menunjukkan proteolisis otot distimulasi melalui jalur adenosine triphosphate-
dependent yang melibatkan ubiquitin (a single-chain polipeptide) dan proteosomes
selama asidosis metabolik. Berbagai mekanisme yang mempengaruhi turnover protein
otot pada pasien CKD (Rahmawati, 2017)
b) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sangat sering terjadi pada pasien CKD.
Gangguan toleransi glukosa terjadi bersamaan dengan menurunnya fungsi ginjal.
Resistensi insulin dapat terdeteksi terutama ketika GFR dibawah 50 mL/min. Insulin
berperan dalam aktivasi sintesis protein di otot melalui cross-signaling pathway dengan
IGF-1. IGF-1 merupakan peptida kunci yang terlibat dalam pertumbuhan sel dan turnover
protein, yang berperan sebagai mediator primer pada berbagai respon yang diatur oleh
hormon pertumbuhan (GH) di jaringan. IGF-1 mempengaruhi aktivitas glucose-disposal,
anti-apoptic dan anti-proteolitic di otot, dan memberikan beberapa cell signaling
pathways dengan insulin. GH dan IGF-1 juga memiliki efek utama pada pertumbuhan
ginjal, dimana struktur, fungsi dan aktivitasnya turun pada penyakit ginjal. Hal ini yang
mungkin juga menyebabkan malnutrisi uremia pada CKD, akibat penurunan aktivitas GH-
IGF dalam waktu lama yang mempengaruhi jaringan seperti otot. Faktor lain yang
diperkirakan menyebabkan resistensi insulin pada CKD adalah inflamasi kronik, stress
oksidatif, defisiensi 1.25 dihydroxy-vitamin D, hiperparatiroid sekunder, anemia dan
malnutrisi. Faktor-faktor ini berkorelasi dengan meningkatnya inflammatory cytokines,
adipokines, ER stress, and SOCS, menyebabkan kerusakan pada insulin receptor-signaling
pathway. Gambar 5 menjelaskan resistensi insulin pada CKD (Rahmawati, 2017)
Di sel-sel otot, TNF-α mengaktivasi rangkaian kinase seperti IKK-β, c-Jun NH2-
terminal kinase (JNK), extracellular signal-regulated kinase (ERK), protein kinase C (PKC),
Akt (PKB), mamalian target of rapamycin (mTOR) dan glycogen synthase kinase 3 (GSK3)
yang bertanggung jawab untuk phosphorilasi reseptor insulin (InsR) dan IRS-1 pada residu
serin/treonin. Penghambatan fungsi IRS-1 akan memblok Akt, mendorong penyitaan
cytosol glucose transporter 4 (GLUT4). Fetuin-A juga menghambat IRS dan menstimulasi
inflamasi tingkat ringan. IL-6 bertanggungjawab untuk induksi suppressors of cytokine
signaling (SOCS) protein yang berbeda melalui Janus kinase/signal transducer dan
activator of transcription (Jak/STAT)-signaling pathway. SOCS akan menghambat IRS-1/2
dan protein kinase A. Stress pada retikulum endoplasma tampak sebagai faktor lain yang
menghubungkan inflamasi dan resistensi insulin pada tingkat molekuker. Garis merah
menggambarkan mekanisme faktor-faktor yang terkait CKD pada resistensi insulin
(Rahmawati, 2017)
Kandungan dekstrosa dalam dialisat perlu diperhatikan karena dapat
mempengaruhi metabolisme karbohidrat. Pasien CKD sering mengalami hipoglikemia
saat proses dialisa, sehingga kadar dekstrosa diberikan lebih tinggi. Disisi lain, kadar
dekstrosa yang tinggi pada dialisat dalat menyebabkan hiperglikemia, sehingga
memperburuk resistensi insulin yang terjadi pada pasien CKD. Hipoglikemia pada pasien
CKD diperkirakan akibat menurunnya glukoneogenesis dan pelepasan katekolamin,
gangguan degradasi dan clearance insulin di ginjal. Untuk itu diperlukan pemantauan
kadar glukosa darah berkala, khususnya saat proses dialysis (Rahmawati, 2017)
c) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme lemak pada pasien CKD bervariasi tergantung derajat kerusakan
ginjal, etiologi penyakit dan terapi pengganti ginjal yang dipilih. Pasien CKD dengan dialisis
adalah dislipidemia dengan ciri khas hipertrigliseridemia dan kadar high density
lipoprotein (HDL) rendah. Peningkatan trigliserid (TG) dapat disebabkan oleh penurunan
aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan adanya inhibitor lipase pada CKD. Peningkatan
produksi TG-rich lipoprotein seperti very low density lipoprotein (VLDL) di hati dan
disfungsi degradasi TG akibat insufisien beta-oksidasi asam lemak di mitokondria
menyebabkan serum TG meningkat. Hiperparatiroid sekunder, resistensi insulin, dan
pemberian heparin berulang pada CKD juga diperkirakan menjadi penyebab lain
peningkatan TG. Resistensi insulin pada CKD dapat memicu peningkatan VLDL yang
memicu peningkatan TG. Pemberian heparin dapat menyebabkan LPL terlepas dari
permukaan endotel, dimana dalam jangka panjang pasien CKD dapat mengalami deplesi
LPL dan mengalami gangguan pemecahan TG (Rahmawati, 2017)

8. Mekanisme perjalanan impuls dari adanya rangsangan hingga timbul reaksi


Gerak merupakan pola koordinasi yang sangat sederhana untuk menjelaskan penghantaran
impuls oleh saraf. Gerak pada umumnya terjadi secara sadar, namun, ada pula gerak yang terjadi tanpa
disadari yaitu gerak refleks. Impuls pada gerakan sadar melalui jalan panjang, yaitu dari reseptor, ke saraf
sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak, kemudian hasil olahan oleh otak, berupa
tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai perintah yang harus dilaksanakan oleh efektor
(Sjamsuhidajat, 2012)
Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap rangsangan,
tanpa memerlukan kontrol dari otak. Jadi dapat dikatakan gerakan terjadi tanpa dipengaruhi kehendak
atau tanpa disadari terlebih dahulu. Contoh gerak refleks misalnya berkedip, bersin, atau batuk. Pada
gerak refleks, impuls melalui jalan pendek atau jalan pintas, yaitu dimulai dari reseptor penerima
rangsang, kemudian diteruskan oleh saraf sensori ke pusat saraf, diterima oleh set saraf penghubung
(asosiasi) tanpa diolah di dalam otak langsung dikirim tanggapan ke saraf motor untuk disampaikan ke
efektor, yaitu otot atau kelenjar. Jalan pintas ini disebut lengkung refleks. Gerak refleks dapat dibedakan
atas refleks otak bila saraf penghubung (asosiasi) berada di dalam otak, misalnya, gerak mengedip atau
mempersempit pupil bila ada sinar dan refleks sumsum tulang belakang bila set saraf penghubung berada
di dalam sumsum tulang belakang misalnya refleks pada lutut (Sjamsuhidajat, 2012)

9. Perbedaan efek kerja saraf simpatis dan parasimpatis pada organ tubuh (Sjamsuhidajat, 2012) yaitu
Parasimpatik Simpatik
Mengecilkan pupil Memperbesar pupil
Menstimulasi aliran ludah Menghambat aliran ludah
Memperlambat denyut jantung Mempercepat denyut jantung
Membembesarkan bronkus Mengecilkan bronkus
Menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan dan Menghambat serkresi kelenjar pencernaan dan
gerak peristaltik gerak peristaltik
Mengerutkan kantung kemih Menghambat kontraksi kandung kemih
Menstimulasi kantung empedu Menstimulasi pelepasan glikogen

a) Mata
Ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan pemusatan
lensa.Perangsangan simpatis membuat serat-serat meridional iris berkontraksi sehingga pupil menjadi
dilatasi, sedangkan perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot-otot sirkular iris sehingga terjadi
konstriksi pupil.Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris berkontraksi, sehingga melepaskan
tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan
objeknya dekat tangan (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
b) Kelenjar-kelenjar tubuh
Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar gastrointestinalis terangsang dengan kuat
oleh sistem saraf parasimpatis sehingga mengeluarkan banyak sekali sekresi cairan.Kelenjarkelenjar
saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian
atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan lambung.Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur
oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit
oleh saraf otonom.Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar dalam
pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.Rangsangan simpatis ini juga
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali
mengurangi kecepatan sekresinya.Bila saraf simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan
banyak sekali keringat, tetapi perangsangan pada saraf parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh
apapun (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
c) Sistem gastrointestinal
Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri yang dikenal sebagai pleksus intramural
atau sistem saraf enterik usus. Namun, baik perangsangan simpatis maupun parasimpatis dapat
mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau penurunan kerja spesifik dalam
pleksus intramural. Pada umumnya, perangsangan parasimpatis meningkatkan seluruh tingkat aktivitas
saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi
akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui saluran pencernaan dengan cepat. Pengaruh dorongan
ini berkaitan dengan penambahan kecepatan sekresi yang terjadi secara bersamaan pada sebagian besar
kelenjar gastrointestinal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Fungsi normal dari saluran
gastrointestinal tidak terlalu tergantung pada perangsangan simpatis (Cahyono, Sasongko and Primatika,
2013)
d) Jantung
Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas jantung. Keadaan ini
tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan parasimpatis terutama
menimbulkan efek yang berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat diungkapkan dengan cara lain, yakni
perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa yang diperlukan selama
kerja berat, sedangkan perangsangan parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi
menimbulkan beberapa tingkatan istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat

10. HVFHVBHV

Daftar Pustaka
Antari, A. L. (2017) ‘Imunologi Dasar’. Yogyakarta: DEEPUBLISH CV BUDI UTAMA.
April, S., Manurung, Y. and Nasution, S. S. (2013) ‘Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang Adaptasi
Fisiologis Selama Kehamilan’, Jurnal Keperawatan Klinis, 4(1).
Cahyono, I. D., Sasongko, H. and Primatika, A. D. (2013) ‘Neurotransmitter Dalam Fisiologi Saraf
Otonom’, JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 1(1), p. 42. doi: 10.14710/jai.v1i1.6297.
Hikmah, N. and Dewanti, I. D. A. R. (2010) ‘Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi)’, Somatognatic (J.K.G
Unej ), 7(2), pp. 108–119.
Rahmawati, S. (2017) ‘Metabolisme Zat Gizi , Interaksi Obat dan Makanan pada Penyakit Ginjal Kronik’,
Pelatihan Dietetik Manajemen Gizi, (May).
Sjamsuhidajat, R. (2012) ‘Sistem Saraf Hidrosefalus’, Buku Ajar Ilmu Bedah, pp. 935–936.
Tamza, R. B., Suhartono and Dharminto (2013) ‘Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013’, MANFAAT SENAM
HAMIL UNTUK MENINGKATKAN DURASI TIDUR IBU HAMIL, 2(April), pp. 608–614. doi:
10.13243/j.cnki.slxb.2013.05.013.

Anda mungkin juga menyukai