Mekanisme terjadinya aliran udara masuk dan keluar paru-paru termasuk proses inspirasi dan ekspirasi
yaitu
2. Proses pertukaran udara antara O2 dan CO2 dalam alveolus yaitu
7. Gangguan metabolisme zat gizi yang terjadi pada gangguan fungsi ginjal yaitu
a) Gangguan Metabolisme Protein
Ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan protein tubuh melalui fungsi
sintesis, degradasi, filtrasi, reabsorbsi dan ekresi asam amino di tubulus ginjal. Gangguan
fungsi ginjal dapat mengakibatkan gangguan berbagai peran ginjal dalam metabolisme
protein. Gangguan metabolisme protein yang sering menyertai pasien ginjal lebih dikenal
sebagai malnutrisi uremia. Malnutrisi uremia merupakan istilah untuk menggambarkan
malnutrisi dan gangguan metabolisme terkait dengan gangguan ginjal. Malnutrisi uremia
terjadi pada 20-50% pasien CKD dengan dialisis. Karakteristik malnutrisi uremia meliputi
hilangnya cadangan protein tubuh ditandai dengan penurunan massa lemak bebas serta
penurunan protein viseral seperti albumin, pre-albumin, dan transferrin. Malnutrisi
uremia meningkatkan risiko rawat inap dan kematian, khususnya pada pasien CKD stage
5 (Rahmawati, 2017)
Penyebab malnutrisi uremia antara lain kurangnya asupan zat gizi serta gangguan
metabolik dan hormonal (Gambar 3). Anoreksia yang terjadi pada pasien dengan CKD
mengakibatkan asupan zat gizi kurang dan berdampak pada menurunnya status gizi.
Meskipun mekanisme uremia menyebabkan anoreksia belum jelas, suatu studi oleh Berg-
strom et al. menjelaskan isolasi a low molecular weight substance (<5 kd), yang diisolasi
dari ultrafiltrat plasma uremic dan urin normal, yang diinjeksikan pada tikus yang sehat,
menyebabkan suatu dose-dependent suppression pada nafsu makan. Dengan kata lain,
penelitian ini menyimpulkan bahwa uremia menyebabkan nafsu makan berkurang. Disisi
lain, diet rendah protein yang dijalani oleh pasien CKD, khususnya gagal ginjal kronik,
menyebabkan ketoasidosis (Rahmawati, 2017)
Asidosis metabolik yang menyertai progresivitas CKD, juga menyebabkan
malnutrisi uremia melalui meningkatnya katabolisme protein. Studi oleh Mitch et al.,
menunjukkan proteolisis otot distimulasi melalui jalur adenosine triphosphate-
dependent yang melibatkan ubiquitin (a single-chain polipeptide) dan proteosomes
selama asidosis metabolik. Berbagai mekanisme yang mempengaruhi turnover protein
otot pada pasien CKD (Rahmawati, 2017)
b) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sangat sering terjadi pada pasien CKD.
Gangguan toleransi glukosa terjadi bersamaan dengan menurunnya fungsi ginjal.
Resistensi insulin dapat terdeteksi terutama ketika GFR dibawah 50 mL/min. Insulin
berperan dalam aktivasi sintesis protein di otot melalui cross-signaling pathway dengan
IGF-1. IGF-1 merupakan peptida kunci yang terlibat dalam pertumbuhan sel dan turnover
protein, yang berperan sebagai mediator primer pada berbagai respon yang diatur oleh
hormon pertumbuhan (GH) di jaringan. IGF-1 mempengaruhi aktivitas glucose-disposal,
anti-apoptic dan anti-proteolitic di otot, dan memberikan beberapa cell signaling
pathways dengan insulin. GH dan IGF-1 juga memiliki efek utama pada pertumbuhan
ginjal, dimana struktur, fungsi dan aktivitasnya turun pada penyakit ginjal. Hal ini yang
mungkin juga menyebabkan malnutrisi uremia pada CKD, akibat penurunan aktivitas GH-
IGF dalam waktu lama yang mempengaruhi jaringan seperti otot. Faktor lain yang
diperkirakan menyebabkan resistensi insulin pada CKD adalah inflamasi kronik, stress
oksidatif, defisiensi 1.25 dihydroxy-vitamin D, hiperparatiroid sekunder, anemia dan
malnutrisi. Faktor-faktor ini berkorelasi dengan meningkatnya inflammatory cytokines,
adipokines, ER stress, and SOCS, menyebabkan kerusakan pada insulin receptor-signaling
pathway. Gambar 5 menjelaskan resistensi insulin pada CKD (Rahmawati, 2017)
Di sel-sel otot, TNF-α mengaktivasi rangkaian kinase seperti IKK-β, c-Jun NH2-
terminal kinase (JNK), extracellular signal-regulated kinase (ERK), protein kinase C (PKC),
Akt (PKB), mamalian target of rapamycin (mTOR) dan glycogen synthase kinase 3 (GSK3)
yang bertanggung jawab untuk phosphorilasi reseptor insulin (InsR) dan IRS-1 pada residu
serin/treonin. Penghambatan fungsi IRS-1 akan memblok Akt, mendorong penyitaan
cytosol glucose transporter 4 (GLUT4). Fetuin-A juga menghambat IRS dan menstimulasi
inflamasi tingkat ringan. IL-6 bertanggungjawab untuk induksi suppressors of cytokine
signaling (SOCS) protein yang berbeda melalui Janus kinase/signal transducer dan
activator of transcription (Jak/STAT)-signaling pathway. SOCS akan menghambat IRS-1/2
dan protein kinase A. Stress pada retikulum endoplasma tampak sebagai faktor lain yang
menghubungkan inflamasi dan resistensi insulin pada tingkat molekuker. Garis merah
menggambarkan mekanisme faktor-faktor yang terkait CKD pada resistensi insulin
(Rahmawati, 2017)
Kandungan dekstrosa dalam dialisat perlu diperhatikan karena dapat
mempengaruhi metabolisme karbohidrat. Pasien CKD sering mengalami hipoglikemia
saat proses dialisa, sehingga kadar dekstrosa diberikan lebih tinggi. Disisi lain, kadar
dekstrosa yang tinggi pada dialisat dalat menyebabkan hiperglikemia, sehingga
memperburuk resistensi insulin yang terjadi pada pasien CKD. Hipoglikemia pada pasien
CKD diperkirakan akibat menurunnya glukoneogenesis dan pelepasan katekolamin,
gangguan degradasi dan clearance insulin di ginjal. Untuk itu diperlukan pemantauan
kadar glukosa darah berkala, khususnya saat proses dialysis (Rahmawati, 2017)
c) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme lemak pada pasien CKD bervariasi tergantung derajat kerusakan
ginjal, etiologi penyakit dan terapi pengganti ginjal yang dipilih. Pasien CKD dengan dialisis
adalah dislipidemia dengan ciri khas hipertrigliseridemia dan kadar high density
lipoprotein (HDL) rendah. Peningkatan trigliserid (TG) dapat disebabkan oleh penurunan
aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan adanya inhibitor lipase pada CKD. Peningkatan
produksi TG-rich lipoprotein seperti very low density lipoprotein (VLDL) di hati dan
disfungsi degradasi TG akibat insufisien beta-oksidasi asam lemak di mitokondria
menyebabkan serum TG meningkat. Hiperparatiroid sekunder, resistensi insulin, dan
pemberian heparin berulang pada CKD juga diperkirakan menjadi penyebab lain
peningkatan TG. Resistensi insulin pada CKD dapat memicu peningkatan VLDL yang
memicu peningkatan TG. Pemberian heparin dapat menyebabkan LPL terlepas dari
permukaan endotel, dimana dalam jangka panjang pasien CKD dapat mengalami deplesi
LPL dan mengalami gangguan pemecahan TG (Rahmawati, 2017)
9. Perbedaan efek kerja saraf simpatis dan parasimpatis pada organ tubuh (Sjamsuhidajat, 2012) yaitu
Parasimpatik Simpatik
Mengecilkan pupil Memperbesar pupil
Menstimulasi aliran ludah Menghambat aliran ludah
Memperlambat denyut jantung Mempercepat denyut jantung
Membembesarkan bronkus Mengecilkan bronkus
Menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan dan Menghambat serkresi kelenjar pencernaan dan
gerak peristaltik gerak peristaltik
Mengerutkan kantung kemih Menghambat kontraksi kandung kemih
Menstimulasi kantung empedu Menstimulasi pelepasan glikogen
a) Mata
Ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan pemusatan
lensa.Perangsangan simpatis membuat serat-serat meridional iris berkontraksi sehingga pupil menjadi
dilatasi, sedangkan perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot-otot sirkular iris sehingga terjadi
konstriksi pupil.Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris berkontraksi, sehingga melepaskan
tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi lebih konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan
objeknya dekat tangan (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
b) Kelenjar-kelenjar tubuh
Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar gastrointestinalis terangsang dengan kuat
oleh sistem saraf parasimpatis sehingga mengeluarkan banyak sekali sekresi cairan.Kelenjarkelenjar
saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian
atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan lambung.Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur
oleh faktor-faktor lokal yang terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit
oleh saraf otonom.Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar dalam
pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.Rangsangan simpatis ini juga
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali
mengurangi kecepatan sekresinya.Bila saraf simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan
banyak sekali keringat, tetapi perangsangan pada saraf parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh
apapun (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
c) Sistem gastrointestinal
Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri yang dikenal sebagai pleksus intramural
atau sistem saraf enterik usus. Namun, baik perangsangan simpatis maupun parasimpatis dapat
mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau penurunan kerja spesifik dalam
pleksus intramural. Pada umumnya, perangsangan parasimpatis meningkatkan seluruh tingkat aktivitas
saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi
akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui saluran pencernaan dengan cepat. Pengaruh dorongan
ini berkaitan dengan penambahan kecepatan sekresi yang terjadi secara bersamaan pada sebagian besar
kelenjar gastrointestinal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Fungsi normal dari saluran
gastrointestinal tidak terlalu tergantung pada perangsangan simpatis (Cahyono, Sasongko and Primatika,
2013)
d) Jantung
Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas jantung. Keadaan ini
tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan parasimpatis terutama
menimbulkan efek yang berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat diungkapkan dengan cara lain, yakni
perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan jantung sebagai pompa yang diperlukan selama
kerja berat, sedangkan perangsangan parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi
menimbulkan beberapa tingkatan istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat
10. HVFHVBHV
Daftar Pustaka
Antari, A. L. (2017) ‘Imunologi Dasar’. Yogyakarta: DEEPUBLISH CV BUDI UTAMA.
April, S., Manurung, Y. and Nasution, S. S. (2013) ‘Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang Adaptasi
Fisiologis Selama Kehamilan’, Jurnal Keperawatan Klinis, 4(1).
Cahyono, I. D., Sasongko, H. and Primatika, A. D. (2013) ‘Neurotransmitter Dalam Fisiologi Saraf
Otonom’, JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 1(1), p. 42. doi: 10.14710/jai.v1i1.6297.
Hikmah, N. and Dewanti, I. D. A. R. (2010) ‘Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi)’, Somatognatic (J.K.G
Unej ), 7(2), pp. 108–119.
Rahmawati, S. (2017) ‘Metabolisme Zat Gizi , Interaksi Obat dan Makanan pada Penyakit Ginjal Kronik’,
Pelatihan Dietetik Manajemen Gizi, (May).
Sjamsuhidajat, R. (2012) ‘Sistem Saraf Hidrosefalus’, Buku Ajar Ilmu Bedah, pp. 935–936.
Tamza, R. B., Suhartono and Dharminto (2013) ‘Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013’, MANFAAT SENAM
HAMIL UNTUK MENINGKATKAN DURASI TIDUR IBU HAMIL, 2(April), pp. 608–614. doi:
10.13243/j.cnki.slxb.2013.05.013.