Mekanisme terjadinya aliran udara masuk dan keluar paru-paru termasuk proses inspirasi dan
ekspirasi yaitu
2. Proses pertukaran udara antara O2 dan CO2 dalam alveolus yaitu
h. Payudara
Payudara sebagai organ target untuk proses laktasi mengalami banyak perubahan
sebagai persiapan setelah janin lahir. Beberapa perubahan yang dapat diamati oleh ibu adalah
sebagai berikut:
1) Selama kehamilan payudara bertambah besar, tegang, dan berat.
2) Dapat teraba nodul-nodul, akibat hipertropi kelenjar alveoli.
3) Bayangan vena-vena lebih membiru.
4) Hiperpigmentasi pada areola dan puting susu.
5) Kalau diperas akan keluar air susu jolong (kolostrum) berwarna kuning (Mochtar, 1998).
i. Sistem Endokrin
Selama siklus menstruasi normal, hipofisis anterior memproduksi LH dan FSH. Follicle
stimulating hormone (FSH) merangsang folikel de graaf untuk menjadi matang dan berpindah ke
permukaan ovarium di mana ia dilepaskan. Folikel yang kosong dikenal sebagai korpus luteum
dirangsang oleh LH untuk memproduksi progesteron. Progesteron dan esterogen merangsang
poliferasi dari desidua (lapisan dalam uterus) dalam upaya mempersiapkan implantasi jika
kehamilan terjadi. Plasenta, yang terbentuk secra sempurna dan berfungsi 10 minggu setelah
pembuahan terjadi, akan mengambil alih tugas korpus luteum untuk memproduksi esterogen dan
progesterone.
j. Indeks Massa Tubuh (IMT) Dan Berat Badan
Peningkatan berat badan selama kehamilan juga mencakup produksi konsepsi (janin,
plasenta dan cairan amniotik), dan hipertropi beberapa jaringan maternal (uterus, payudara,
darah, cadangan lemak, cairan ekstraselular dan ekstravaskular). Sebagian besar protein
terdapat pada janin, tetapi terdapat juga pada uterus, darah, plasenta dan payudara. Sebaliknya,
sebagian besar deposit lemak terdapat pada jaringan adipose maternal, terutama regiogluteal
dan paha atas, dan juga janin yang merupakan satu-satunya hal penting utama lainnya.
k. Sistem Pernafasan
Ruang abdomen yang membesar oleh karena meningkatnya ruang rahim dan pembentukan
hormon progesteron menyebabkan paru-paru berfungsi sedikit berbeda dari biasanya. Wanita
hamil bernafas lebih cepat dan lebih dalam karena memerlukan lebih banyak oksigen untuk janin
dan untuk dirinya (Sulistyawati, 2011).
l. Sistem neurologi
Perubahan fisiologis spesifik akibat kehamilan dapat menyebabkan timbulnya gejala
neurologis dan neuromuskular berikut:
1) Kompresi saraf panggul atau stasis vaskular akibat pembesaran uterus dapat menyebabkan
perubahan sensori di tungkai bawah.
2) Lordosis dorsolumbar dapat menyebabkan nyeri tarikan pada saraf atau kompresi akar saraf.
3) Edema yang melibatkan saraf perifer dapat menyebabkan carpal tunnel syndrome selama
trimester akhir kehamilan. Edema menekan saraf median di bawah ligamentum karpalis
pergelangan tangan. Sindrom ini ditandai oleh parestesia (sensasi abnormal seperti rasa terbakar
atau gatal akibat gangguan pada sistem saraf sensori) dan nyeri pada tangan yang menjalar ke
siku. Tangan yang dominan biasanya paling banyak terkena.
4) Akroestesia (rasa baal dan gatal di tangan) yang timbul akibat posisi bahu yang membungkuk
dirasakan oleh beberapa wanita selama hamil. Keadaan ini berkaitan dengan tarikan pada
segmen pleksus brakialis.
5) Nyeri kepala akibat ketegangan umum timbul saat ibu merasa cemas dan tidak pasti tentang
kehamilannya. Nyeri kepala dapat juga dihubungkan dengan gangguan penglihatan, seperti
kesalahan refraksi, sinusitis, atau migren.
6) “nyeri kepala ringan”, rasa ingin pingsan, dan bahkan pingsan (sinkop) sering terjadi pada awal
kehamilan. Ketidakstabilan vasomotor, hipotensi postural, atau hipoglikemia mungkin merupakan
keadaan yang bertanggung jawab atas gejala ini.
7) Hipokalsemia dapat menyebabkan timbulnya masalah neuromuskular, seperti kram otot atau
tetani.
7. Gangguan metabolisme zat gizi yang terjadi pada gangguan fungsi ginjal yaitu
a) Gangguan Metabolisme Protein
Ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan protein tubuh melalui fungsi sintesis,
degradasi, filtrasi, reabsorbsi dan ekresi asam amino di tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal
dapat mengakibatkan gangguan berbagai peran ginjal dalam metabolisme protein. Gangguan
metabolisme protein yang sering menyertai pasien ginjal lebih dikenal sebagai malnutrisi uremia.
Malnutrisi uremia merupakan istilah untuk menggambarkan malnutrisi dan gangguan
metabolisme terkait dengan gangguan ginjal. Malnutrisi uremia terjadi pada 20-50% pasien CKD
dengan dialisis. Karakteristik malnutrisi uremia meliputi hilangnya cadangan protein tubuh
ditandai dengan penurunan massa lemak bebas serta penurunan protein viseral seperti albumin,
pre-albumin, dan transferrin. Malnutrisi uremia meningkatkan risiko rawat inap dan kematian,
khususnya pada pasien CKD stage 5 (Rahmawati, 2017)
Penyebab malnutrisi uremia antara lain kurangnya asupan zat gizi serta gangguan
metabolik dan hormonal (Gambar 3). Anoreksia yang terjadi pada pasien dengan CKD
mengakibatkan asupan zat gizi kurang dan berdampak pada menurunnya status gizi. Meskipun
mekanisme uremia menyebabkan anoreksia belum jelas, suatu studi oleh Berg-strom et al.
menjelaskan isolasi a low molecular weight substance (<5 kd), yang diisolasi dari ultrafiltrat
plasma uremic dan urin normal, yang diinjeksikan pada tikus yang sehat, menyebabkan suatu
dose-dependent suppression pada nafsu makan. Dengan kata lain, penelitian ini menyimpulkan
bahwa uremia menyebabkan nafsu makan berkurang. Disisi lain, diet rendah protein yang dijalani
oleh pasien CKD, khususnya gagal ginjal kronik, menyebabkan ketoasidosis (Rahmawati, 2017)
Asidosis metabolik yang menyertai progresivitas CKD, juga menyebabkan malnutrisi
uremia melalui meningkatnya katabolisme protein. Studi oleh Mitch et al., menunjukkan
proteolisis otot distimulasi melalui jalur adenosine triphosphate-dependent yang melibatkan
ubiquitin (a single-chain polipeptide) dan proteosomes selama asidosis metabolik. Berbagai
mekanisme yang mempengaruhi turnover protein otot pada pasien CKD (Rahmawati, 2017)
b) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sangat sering terjadi pada pasien CKD. Gangguan
toleransi glukosa terjadi bersamaan dengan menurunnya fungsi ginjal. Resistensi insulin dapat
terdeteksi terutama ketika GFR dibawah 50 mL/min. Insulin berperan dalam aktivasi sintesis
protein di otot melalui cross-signaling pathway dengan IGF-1. IGF-1 merupakan peptida kunci
yang terlibat dalam pertumbuhan sel dan turnover protein, yang berperan sebagai mediator
primer pada berbagai respon yang diatur oleh hormon pertumbuhan (GH) di jaringan. IGF-1
mempengaruhi aktivitas glucose-disposal, anti-apoptic dan anti-proteolitic di otot, dan
memberikan beberapa cell signaling pathways dengan insulin. GH dan IGF-1 juga memiliki efek
utama pada pertumbuhan ginjal, dimana struktur, fungsi dan aktivitasnya turun pada penyakit
ginjal. Hal ini yang mungkin juga menyebabkan malnutrisi uremia pada CKD, akibat penurunan
aktivitas GH-IGF dalam waktu lama yang mempengaruhi jaringan seperti otot. Faktor lain yang
diperkirakan menyebabkan resistensi insulin pada CKD adalah inflamasi kronik, stress oksidatif,
defisiensi 1.25 dihydroxy-vitamin D, hiperparatiroid sekunder, anemia dan malnutrisi. Faktor-
faktor ini berkorelasi dengan meningkatnya inflammatory cytokines, adipokines, ER stress, and
SOCS, menyebabkan kerusakan pada insulin receptor-signaling pathway. Gambar 5
menjelaskan resistensi insulin pada CKD (Rahmawati, 2017)
Di sel-sel otot, TNF-α mengaktivasi rangkaian kinase seperti IKK-β, c-Jun NH2-terminal
kinase (JNK), extracellular signal-regulated kinase (ERK), protein kinase C (PKC), Akt (PKB),
mamalian target of rapamycin (mTOR) dan glycogen synthase kinase 3 (GSK3) yang
bertanggung jawab untuk phosphorilasi reseptor insulin (InsR) dan IRS-1 pada residu
serin/treonin. Penghambatan fungsi IRS-1 akan memblok Akt, mendorong penyitaan cytosol
glucose transporter 4 (GLUT4). Fetuin-A juga menghambat IRS dan menstimulasi inflamasi
tingkat ringan. IL-6 bertanggungjawab untuk induksi suppressors of cytokine signaling (SOCS)
protein yang berbeda melalui Janus kinase/signal transducer dan activator of transcription
(Jak/STAT)-signaling pathway. SOCS akan menghambat IRS-1/2 dan protein kinase A. Stress
pada retikulum endoplasma tampak sebagai faktor lain yang menghubungkan inflamasi dan
resistensi insulin pada tingkat molekuker. Garis merah menggambarkan mekanisme faktor-faktor
yang terkait CKD pada resistensi insulin (Rahmawati, 2017)
Kandungan dekstrosa dalam dialisat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi
metabolisme karbohidrat. Pasien CKD sering mengalami hipoglikemia saat proses dialisa,
sehingga kadar dekstrosa diberikan lebih tinggi. Disisi lain, kadar dekstrosa yang tinggi pada
dialisat dalat menyebabkan hiperglikemia, sehingga memperburuk resistensi insulin yang terjadi
pada pasien CKD. Hipoglikemia pada pasien CKD diperkirakan akibat menurunnya
glukoneogenesis dan pelepasan katekolamin, gangguan degradasi dan clearance insulin di
ginjal. Untuk itu diperlukan pemantauan kadar glukosa darah berkala, khususnya saat proses
dialysis (Rahmawati, 2017)
c) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme lemak pada pasien CKD bervariasi tergantung derajat kerusakan
ginjal, etiologi penyakit dan terapi pengganti ginjal yang dipilih. Pasien CKD dengan dialisis
adalah dislipidemia dengan ciri khas hipertrigliseridemia dan kadar high density lipoprotein (HDL)
rendah. Peningkatan trigliserid (TG) dapat disebabkan oleh penurunan aktivitas lipoprotein lipase
(LPL) dan adanya inhibitor lipase pada CKD. Peningkatan produksi TG-rich lipoprotein seperti
very low density lipoprotein (VLDL) di hati dan disfungsi degradasi TG akibat insufisien beta-
oksidasi asam lemak di mitokondria menyebabkan serum TG meningkat. Hiperparatiroid
sekunder, resistensi insulin, dan pemberian heparin berulang pada CKD juga diperkirakan
menjadi penyebab lain peningkatan TG. Resistensi insulin pada CKD dapat memicu peningkatan
VLDL yang memicu peningkatan TG. Pemberian heparin dapat menyebabkan LPL terlepas dari
permukaan endotel, dimana dalam jangka panjang pasien CKD dapat mengalami deplesi LPL
dan mengalami gangguan pemecahan TG (Rahmawati, 2017)
9. Perbedaan efek kerja saraf simpatis dan parasimpatis pada organ tubuh (Sjamsuhidajat, 2012)
yaitu
Parasimpatik Simpatik
Mengecilkan pupil Memperbesar pupil
Menstimulasi aliran ludah Menghambat aliran ludah
Memperlambat denyut jantung Mempercepat denyut jantung
Membembesarkan bronkus Mengecilkan bronkus
Menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan Menghambat serkresi kelenjar pencernaan
dan gerak peristaltik dan gerak peristaltik
Mengerutkan kantung kemih Menghambat kontraksi kandung kemih
Menstimulasi kantung empedu Menstimulasi pelepasan glikogen
a) Mata
Ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan
pemusatan lensa.Perangsangan simpatis membuat serat-serat meridional iris berkontraksi
sehingga pupil menjadi dilatasi, sedangkan perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot-
otot sirkular iris sehingga terjadi konstriksi pupil.Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris
berkontraksi, sehingga melepaskan tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi lebih
konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan objeknya dekat tangan (Cahyono, Sasongko
and Primatika, 2013)
b) Kelenjar-kelenjar tubuh
Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar gastrointestinalis
terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis sehingga mengeluarkan banyak sekali
sekresi cairan.Kelenjarkelenjar saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh
parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan
lambung.Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur oleh faktor-faktor lokal yang
terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf
otonom.Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar dalam
pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.Rangsangan
simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplai kelejar-kelenjar
sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya.Bila saraf simpatis terangsang, maka
kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali keringat, tetapi perangsangan pada saraf
parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh apapun (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
c) Sistem gastrointestinal
Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri yang dikenal sebagai
pleksus intramural atau sistem saraf enterik usus. Namun, baik perangsangan simpatis maupun
parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau
penurunan kerja spesifik dalam pleksus intramural. Pada umumnya, perangsangan parasimpatis
meningkatkan seluruh tingkat aktivitas saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya
gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui
saluran pencernaan dengan cepat. Pengaruh dorongan ini berkaitan dengan penambahan
kecepatan sekresi yang terjadi secara bersamaan pada sebagian besar kelenjar gastrointestinal,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Fungsi normal dari saluran gastrointestinal tidak terlalu
tergantung pada perangsangan simpatis (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
d) Jantung
Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas jantung.
Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan
parasimpatis terutama menimbulkan efek yang berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat
diungkapkan dengan cara lain, yakni perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan
jantung sebagai pompa yang diperlukan selama kerja berat, sedangkan perangsangan
parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi menimbulkan beberapa tingkatan
istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat
10. HVFHVBHV
Daftar Pustaka
Antari, A. L. (2017) ‘Imunologi Dasar’. Yogyakarta: DEEPUBLISH CV BUDI UTAMA.
April, S., Manurung, Y. and Nasution, S. S. (2013) ‘Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang
Adaptasi Fisiologis Selama Kehamilan’, Jurnal Keperawatan Klinis, 4(1).
Cahyono, I. D., Sasongko, H. and Primatika, A. D. (2013) ‘Neurotransmitter Dalam Fisiologi
Saraf Otonom’, JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 1(1), p. 42. doi: 10.14710/jai.v1i1.6297.
Hikmah, N. and Dewanti, I. D. A. R. (2010) ‘Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi)’,
Somatognatic (J.K.G Unej ), 7(2), pp. 108–119.
Rahmawati, S. (2017) ‘Metabolisme Zat Gizi , Interaksi Obat dan Makanan pada Penyakit Ginjal
Kronik’, Pelatihan Dietetik Manajemen Gizi, (May).
Sjamsuhidajat, R. (2012) ‘Sistem Saraf Hidrosefalus’, Buku Ajar Ilmu Bedah, pp. 935–936.
Tamza, R. B., Suhartono and Dharminto (2013) ‘Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013’,
MANFAAT SENAM HAMIL UNTUK MENINGKATKAN DURASI TIDUR IBU HAMIL, 2(April), pp.
608–614. doi: 10.13243/j.cnki.slxb.2013.05.013.
Toreh, R. M. and Kalangi, S. J. R. (2012) ‘RESISTENSI PEMBULUH DARAH’, pp. 42–51.
Wijaya, S. H. (2015) ‘Mekanisme Ginjal dalam Mengatur Keseimbangan Cairan Tubuh’,
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, pp. 1–24.