Anda di halaman 1dari 13

1.

Mekanisme terjadinya aliran udara masuk dan keluar paru-paru termasuk proses inspirasi dan
ekspirasi yaitu
2. Proses pertukaran udara antara O2 dan CO2 dalam alveolus yaitu

3. Perubahan fisiologis pada wanita selama kehamilan


Perubahan fisiologis yang terjadi selama kehamilan, mempunyai dampak yang bersifat
patologis bagi wanita hamil. Perubahan fisiologis ini dimulai pada saat terjadi proses nidasi yang
oleh beberapa tubuh wanita direspon sebagai benda asing. Wanita yang hamil muda akan
merasa mual, muntah, meriang dan lemas. Rasa mual dan muntah ini akan berkurang sampai
trimester pertama berakhir. Pada trimester kedua tubuh sudah mulai beradaptasi dan rasa mual
dan muntah sudah mulai berkurang. Akan tetapi pada trimester ketiga, keluhan yang diakibatkan
oleh pembesaran perut, perubahan anatomis dan perubahan hormonal akan menyebabkan
munculnya keluhan-keluhan pada ibu hamil (Venkata & Venkateshiah 2009) dalam (Tamza,
Suhartono and Dharminto, 2013)
Perubahan-perubahan fisiologis selama kehamilan
a. Sistem Reproduksi
1) Ukuran
Pada kehamilan cukup bulan, ukuran uterus adalah 30 x 25 x 20 cm dengan kapasitas lebih dari
4.000 cc. Hal ini memungkinkan bagi adekuatnya akomodasi pertumbuhan janin. Pada saati ini
rahim membesar akibat hipertropi dan hiperplasi otot polos rahim, serabut-serabut kolagennya
menjadi higroskopik, dan endometrium menjadi desidua.
2) Berat.
Berat uterus naik secara luar biasa, dari 30 gram menjadi 1.000 gram pada akhir bulan.
3) Posisi rahim dalam kehamilan
4) Vaskularisasi
Arteri uterine dan ovarika bertambah dalam diameter, panjang, dan anak-anak cabangnya,
pebuluh darah vena mengembang dan bertambah.
5) Serviks uteri.
Bertambah vaskularisasinya dan menjadi lunak, kondisi ini yang disebut dengan tanda Goodell
6) Ovarium
Ovulasi berhenti namun masih terdapat korpus luteum graviditas sampai terbentuknya plasenta
yang akan mengambil alih pengeluaran esterogen dan progesteron.
7) Vagina dan Vulva Oleh karena pengaruh esterogen, terjadi hipervaskularisasi pada vagina dan
vulva, sehingga pada bagian tersebut terlihat lebih merah ataiu kebiruan, kondisi ini yang disebut
dengan tanda Chadwick (Sulistyawati, 2011) dalam (April, Manurung and Nasution, 2013)
b. Sistem Urinaria
Selama kehamilan, ginjal bekerja lebih berat. Ginjal menyaring darah yang volumenya
meningkat (sampai 30-50% atau lebih), yang puncaknya terjadi pada usia kehamilan 16-24
minggu sampai sesaat sebelum persalinan (pada saat ini aliran darah ke ginjal berkurang akibat
penekanan rahim yang membesar).
c. Sistem Kardiovaskular
Selama kehamilan, jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya atau biasa
disebut sebagai curah jantung (cardiac output) meningkat sampai 30-50%. Peningkatan ini mulai
terjadi pada usia kehamilan 6 minggu dan mencapai puncaknya pada usia kehamilan 16-28
minggu. Oleh karena curah jantung yang meningkat, maka denyut jantung pada saat istirahat
juga meningkat (dalam keadaan normal 70 kali/menit menjadi 80-90 kali/menit). Pada ibu hamil
dengan penyakit jantung, ia dapat jatuh dalam keadaan decompensate cordis.
d. Sistem Gastrointestinal
Perubahan sistem pencernaan yang dirasakan ibu hamil adalah sebagai berikut:
1) Trimester 1
Pada bulan-bulan pertama kehamilan, terdapat perasaan enek (nausea). Hal ini mungkin
dikarenakan kadar hormon esterogen yang meningkat. Tonus otot-otot traktus digestivus
menurun sehingga motilitas seluruh traktus digestivus juga berkurang. Makanan lebih lama
berada di dalam lambung dan apa yang telah dicernakan lebih lama berada dalam usus. Hal ini
mungkin baik untuk reabsorbsi, tetapi menimbulkan konstipasi yang memang merupakan salah
satu keluhan utama wanita hamil. Tidak jarang dijumapai adanya gejala muntah (emesis) pada
bulan-bulan pertam kehamilan. Biasanya terjadi pada pagi hari, dikenal sebagai morning
sickness. Apabila emesis terjadi terlalu sering dan terlalu banyak dikeluarkan (hiperemesis
gravidarum), maka keadaan ini patologik. Hipersalivasi sering terjadi sebagai kompensasi dari
mual dan muntah yang terjadi. Pada beberapa wanita ditemukan adanya ngidam makanan yang
mungkin berkaitan dengan persepsi individu wanita tersebut mengenai apa yang bisa mengurangi
rasa mual dan muntah. Kondisi lainnya dalah Pica (mengidam) yang sering dikaitkan dengan
anemia akibat defisiensi zat besi ataupun adanya suatu tradisi (Hanifa Wiknjosastro, 2002: 97)
dalam (April, Manurung and Nasution, 2013)
2) Trimester 2 dan 3
Biasanya terjadi konstipasi karena pengaruh hormon progesteron yang meningkat. Selain itu,
perut kembung juga terjadi karena adanya tekanan uterus yang membesar dalam rongga perut
yang mendesak organ-organ dalam perut khususnya saluran pencernaan, usus besar, ke arah
atas dan lateral. Wasir (hemoroid) cukup sering terjadi pada kehamilan. Sebagian besar hal ini
terjadi akibat konstipasi dan naiknya tekanan venavena di bawah uterus termasuk vena
henoroidal. Panas perut terjadi karena terjadinya aliran balik asam gastrik ke dalam esofagus
bagian bawah (Sunarsih, 2011) dalam (April, Manurung and Nasution, 2013)
e. Metabolisme
Pada metabolisme mineral yang terjadi adalah sebagai berikut: 1. Kalsium. Dibutuhkan
rata-rata 1,5 gram sehari, sedangkan untuk pembentukan tulang terutama di trimester akhir
dibutuhkan 30-40 gram. 2. Fosfor. Dibutuhkan rata-rata 2 gr/hari. 3. Air. Wanita hamil cenderung
mengalami retensi air (sulistyawati, 2011) dalam (April, Manurung and Nasution, 2013)
f. Sistem Muskuloskeletal
Esterogen dan progesteron memberi efek maksimal pada relaksasi otot dan ligamen
pelvis pada akhir kehamilan. Relaksasi ini digunakan oleh pelvis untuk meningkatkan
kemampuannya menguatkan posisi janin pada akhir kehamilan dan pada saat kelahiran. Ligamen
pada simfisis pubis dan sakroiliaka akan menghilang karena berelaksasi sebagai efek dari
esterogen. Simfisis pubis melebar sampai 4 mm pada usia kehamilan 32 minggu dan
sakrooksigeus tidak teraba, diikuti terabanya koksigis sebagai pengganti bagian belakang (April,
Manurung and Nasution, 2013)
g. Sistem Integumen
Perubahan sistem intugumen yang dirasakan ibu hamil adalah sebagai berikut.
1) Trimester 1
a) Palmar eritema (kemerahan di telapak tangan) dan spider nevi.
b) Linea alba/nigra.
2) Trimester 2 dan 3
a) Chloasma dan perubahan warna areola
b) Striae gravidarum (bulan 6-7) (Sunarsih, 2011).

h. Payudara
Payudara sebagai organ target untuk proses laktasi mengalami banyak perubahan
sebagai persiapan setelah janin lahir. Beberapa perubahan yang dapat diamati oleh ibu adalah
sebagai berikut:
1) Selama kehamilan payudara bertambah besar, tegang, dan berat.
2) Dapat teraba nodul-nodul, akibat hipertropi kelenjar alveoli.
3) Bayangan vena-vena lebih membiru.
4) Hiperpigmentasi pada areola dan puting susu.
5) Kalau diperas akan keluar air susu jolong (kolostrum) berwarna kuning (Mochtar, 1998).
i. Sistem Endokrin
Selama siklus menstruasi normal, hipofisis anterior memproduksi LH dan FSH. Follicle
stimulating hormone (FSH) merangsang folikel de graaf untuk menjadi matang dan berpindah ke
permukaan ovarium di mana ia dilepaskan. Folikel yang kosong dikenal sebagai korpus luteum
dirangsang oleh LH untuk memproduksi progesteron. Progesteron dan esterogen merangsang
poliferasi dari desidua (lapisan dalam uterus) dalam upaya mempersiapkan implantasi jika
kehamilan terjadi. Plasenta, yang terbentuk secra sempurna dan berfungsi 10 minggu setelah
pembuahan terjadi, akan mengambil alih tugas korpus luteum untuk memproduksi esterogen dan
progesterone.
j. Indeks Massa Tubuh (IMT) Dan Berat Badan
Peningkatan berat badan selama kehamilan juga mencakup produksi konsepsi (janin,
plasenta dan cairan amniotik), dan hipertropi beberapa jaringan maternal (uterus, payudara,
darah, cadangan lemak, cairan ekstraselular dan ekstravaskular). Sebagian besar protein
terdapat pada janin, tetapi terdapat juga pada uterus, darah, plasenta dan payudara. Sebaliknya,
sebagian besar deposit lemak terdapat pada jaringan adipose maternal, terutama regiogluteal
dan paha atas, dan juga janin yang merupakan satu-satunya hal penting utama lainnya.
k. Sistem Pernafasan
Ruang abdomen yang membesar oleh karena meningkatnya ruang rahim dan pembentukan
hormon progesteron menyebabkan paru-paru berfungsi sedikit berbeda dari biasanya. Wanita
hamil bernafas lebih cepat dan lebih dalam karena memerlukan lebih banyak oksigen untuk janin
dan untuk dirinya (Sulistyawati, 2011).

l. Sistem neurologi
Perubahan fisiologis spesifik akibat kehamilan dapat menyebabkan timbulnya gejala
neurologis dan neuromuskular berikut:
1) Kompresi saraf panggul atau stasis vaskular akibat pembesaran uterus dapat menyebabkan
perubahan sensori di tungkai bawah.
2) Lordosis dorsolumbar dapat menyebabkan nyeri tarikan pada saraf atau kompresi akar saraf.
3) Edema yang melibatkan saraf perifer dapat menyebabkan carpal tunnel syndrome selama
trimester akhir kehamilan. Edema menekan saraf median di bawah ligamentum karpalis
pergelangan tangan. Sindrom ini ditandai oleh parestesia (sensasi abnormal seperti rasa terbakar
atau gatal akibat gangguan pada sistem saraf sensori) dan nyeri pada tangan yang menjalar ke
siku. Tangan yang dominan biasanya paling banyak terkena.
4) Akroestesia (rasa baal dan gatal di tangan) yang timbul akibat posisi bahu yang membungkuk
dirasakan oleh beberapa wanita selama hamil. Keadaan ini berkaitan dengan tarikan pada
segmen pleksus brakialis.
5) Nyeri kepala akibat ketegangan umum timbul saat ibu merasa cemas dan tidak pasti tentang
kehamilannya. Nyeri kepala dapat juga dihubungkan dengan gangguan penglihatan, seperti
kesalahan refraksi, sinusitis, atau migren.
6) “nyeri kepala ringan”, rasa ingin pingsan, dan bahkan pingsan (sinkop) sering terjadi pada awal
kehamilan. Ketidakstabilan vasomotor, hipotensi postural, atau hipoglikemia mungkin merupakan
keadaan yang bertanggung jawab atas gejala ini.
7) Hipokalsemia dapat menyebabkan timbulnya masalah neuromuskular, seperti kram otot atau
tetani.

4. Perbedaan sistem imun spesisfik dan non-spesifik adalah


Respon imun adalah suatu respon dari semua komponen sistem imun secara bersama
dan terkoordinasi untuk mengeliminasi antigen yang masuk ke dalam tubuh. Respon imun diawali
dengan adanya pengenalan molekul antigen oleh komponen sistem imun melalui reseptor yang
menstimulasi sistem saraf di dalam otak guna membangkitkan dan melakukan reaksi yang tepat
guna mengeliminasi antigen tersebut (Antari, 2017)
Respon imun tubuh tergantung dari kemampuan komponen sistem imun dalam
mengenali molekul antigen serta membangkitkan dan melakukan reaksi yang tepat dalam
mengeliminasi antigen. Respon imun sendiri dapat dibedakan menjadi respon imun non-spesifik
(innate immunity) dan respon imun spesifik (adaptive immunity) (Antari, 2017)
a) Respon Imun non-Spesifik
Respon Imun non-Spesifik merupakan respon terhadap antigen yang dapat timbul
walaupun tubuh sebelumnya tidak/belum pernah terpapar antigen. Respon ini telah ada
sejak dilahirkan, berfungsi memberikan respon dini terhadap antigen, dan menginduksi
terjadinya respon imun selanjutnya, yaitu respon imun spesifik ( adaptive immunity ) (Antari, 2017)
Mengingat fungsinya sebagai respon dini terhadap antigen, maka tentu saja komponen
yang berperan sebagai pertahanan utama dan pertamanya adalah pertahanan fisik dan
kimiawi, meliputi lisozim dalam airmata dan berbagai sekresinya, bakteri komensal, kulit, asam
lemak, flora normal vagina, mucus, silia, perubahan pH dalam pencernaan, dan trfaktus urinaria
(Antari, 2017)
Selain pertahanan pertama, respon imun non-spesifik juga membutuhkan peranan dari apa
yang dinamakan pertahanan kedua, diperankan oleh berbagai jenis protein dalam darah,
mediator inflamasi, sitokin, sel-sel polimorfonuklear (PMN), natural killer (NK) cells,
dendritic cells (DC), makrofag, dan juga neutrofil.

5. Penyebab munculnya alergi


Istilah reaksi alergi digunakan untuk menunjukkan adanya reaksi yang melibatkan
antibodi IgE (immunoglobulin E). Ig E terikat pada sel khusus, termasuk basofil yang berada di
dalam sirkulasi darah dan juga sel mast yang ditemukan di dalam jaringan. Jika antibodi IgE
yang terikat dengan sel-sel tersebut berhadapan dengan antigen (dalam hal ini disebut alergen),
maka sel-sel tersebut didorong untuk melepaskan zat-zat atau mediator kimia yang dapat
merusak atau melukai jaringan di sekitarnya. Alergen bisa berupa partikel debu, serbuk
tanaman, obat atau makanan, yang bertindak sebagai antigen yang merangsang terajdinya
respon kekebalan. Kadang istilah penyakit atopik digunakan untuk menggambarkan
sekumpulan penyakit keturunan yang berhubungan dengan IgE, seperti rinitis alergika dan asma
alergika. Penyakit atopik ditandai dengan kecenderungan untuk menghasilkan antibodi IgE
terhadap inhalan (benda-benda yang terhirup, seperti serbuk bunga, bulu binatang dan partikel-
partikel debu) yang tidak berbahaya bagi tubuh. Eksim (dermatitis atopik) juga merupakan suatu
penyakit atopik meskipun sampai saat ini peran IgE dalam penyakit ini masih belum diketahui
atau tidak begitu jelas. Meskipun demikian, seseorang yang menderita penyakit atopik tidak
memiliki resiko membentuk antibodi IgE terhadap alergen yang disuntikkan (misalnya obat atau
racun serangga) (Hikmah and Dewanti, 2010)

6. Mekanisme fungsi ginjal dalam mengatur keseimbangan cairan yaitu


Nefron merupakan unit fungsional ginjal. Setiap ginjal memiliki kira – kira satu juta nefron.
Ginjal memiliki dua jenis nefron sesuai dengan tempatnya, yaitu nefron juxtamedular dan nefron
kortikal. Nefron kortikal memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu sekitar 85% dari ginjal sedangkan
nefron juxtamedular hanya terdapat 15% dari ginjal. Nefron terdiri dari korpus malphigi, tubulus
kontortus proximal, ansa henle dan tubulus kontortus distal. Nefron memegang proses yang
terjadi dalam ginjal yaitu pembentukan urin sehingga bila nefron terganggu maka proses
pembentukan urin pun akan terganggu dan akan mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh
(Wijaya, 2015)
Sistem renin – angiotensin – aldosteron (SRAA) merupakan suatu regulator yang sangat
penting untuk mengatur keseimbangan natrium, volume cairan ekstrasel, resistensi pembuluh
darah ginjal, dan resistensi vaskular sistemik. SRAA diaktifkan oleh enzim renin; oleh karena itu,
riset mengenai tekanan darah tinggi dan pengembangan obat-obatannya telah difokuskan pada
pengontrolan berbagai titik dalam SRAA (Toreh and Kalangi, 2012)
Struktur yang berperan dalam pengaktifan SRAA ialah kompleks jukstaglomerulus.
Kompleks jukstaglomerulus merupakan suatu struktur istimewa dan unik yang terdapat di dalam
ginjal dan memiliki fungsi fisiologik yang sangat penting sehingga diperlukan pemahaman
mengenai perannya terhadap pengaturan resistensi pembuluh darah (Toreh and Kalangi, 2012)
Kompleks jukstaglomerulus merupakan sumber utama renin dalam tubuh organism, dan
akan memroduksi dan melepaskan renin ke dalam sirkulasi renin bila terjadi keadaan-keadaan
seperti penurunan perfusi ginjal, dehidrasi, kehilangan cairan/ darah atau keadaan-keadaan yang
menurunkan konsentrasi garam tubulus. Keadaankeadaan tersebut akan merangsang sel-sel
makula densa, jukstaglomerulus, dan mesangium ekstraglomerulus untuk melaksanakan
fungsinya masing-masing terhadap sintesis dan pelepasan renin dari kompleks jukstaglomerulus.
Sel-sel makula densa bertindak sebagai penghasil sinyal dan mengirimkannya ke sel-sel
jukstaglomerulus. Sel mesangium ekstraglomerulus membantu meneruskan sinyal yang dibentuk
oleh sel-sel makula densa ke sel-sel juksta-glomerulus. Sinyal tersebut diterima oleh sel-sel
jukstaglomerulus kemudian akan menyintesis dan melepaskan renin ke sirkulasi (Toreh and
Kalangi, 2012)
Komunikasi langsung dari sel ke sel melalui suatu taut kedap telah diketahui sebagai
mekanisme yang penting dalam regulasi fungsi ginjal, khususnya fungsi kompleks
jukstaglomerulus. Sel-sel makula densa dan sel-sel endotel tubulus bertindak sebagai sensor
yang mengamati perubahan konsentrasi ion Na dan tekanan darah, kemudian mengirimkan
sinyal tersebut ke sel-sel efektor yaitu sel-sel otot polos pembuluh darah dan sel-sel
jukstaglomerulus untuk mengatur regulasi tonus vaskular pre-glomerulus dan sekresi renin
(Toreh and Kalangi, 2012)
Selain itu, renin juga akan dilepaskan ke dalam sirkulasi bila terjadi perubahan konsentrasi
angiotensin II dalam sirkulasi. Penurunan konsentrasi angiotensin II dalam tubulus dideteksi oleh
sel-sel endotel dalam kompleks jukstaglomerulus, yang kemudian mengirim sinyal tersebut ke
sel-sel jukstaglomerulus. Angiotensin II mengatur sekresi renin melalui suatu mekanisme
homeostatis yang disebut “umpan balik pendek”. Peningkatan konsentrasi angiotensin II dalam
sirkulasi akan menghambat sintesis dan sekresi renin dari kompleks jukstaglomerulus,
sedangkan penurunan angiotensin II memiliki efek berlawanan yaitu merangsang sintesis dan
sekresi renin dari kompleks jukstaglomerulus. Dengan demikian keseimbangan resistensi
pembuluh darah akan terpelihara baik (Toreh and Kalangi, 2012)
Korpus malphigi berisi glomerulus dan kapsula bowman. Pada glomerulus terdapat
anyaman - anyaman pembuluh darah yaitu arteri afferent dan arteri efferent. Arteri afferent
menjadi jalan masuk darah untuk disaring sedangkan arteri efferent menjadi jalan keluar untuk
darah yang telah mengalami penyaringan. Korpus malphigi dibagi menjadi dua kutub yaitu kutub
vaskular dan kutub urinari. Pada bagian atas korpus malphigi terdapat apparatus juxtaglomerular
yang terdiri dari 3 sel, yaitu sel juxtaglomerulus yang menghasilkan renin, sel mesangial yang
terdapat diantara kapiler dan kutub vaskular badan malphigi serta berfungsi sebagai penyokong
dan makula densa yang berfungsi sebagai sensor terhadap osmolaritas cairan dalam sel tubuli
distal (Wijaya, 2015)
Volume dan komposisi eletrolit cairan ekstra sel (CES) dipertahankan dengan
menyesuaikan jumlah air dan berbagai kontituen plasma yang akan disimpan di dalam tubuh atau
di keluarkan melalui urin, ginjal mampu mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit di
dalam rentang yang sangat sempit yang cocok bagi kehidupan, walaupun pemasukan dan
pengeluaran konstituen – konstituen tersebut melalui jalan lain sangat bervariasi (Wijaya, 2015)
Jika terdapat kelebihan air atau elektrolit tertentu di CES, misalnya garam (NaCl), ginjal
dapat mengeliminasi kelebihan tersebut di dalam urin. Jika terjadi kekurangan, ginjal sebenarnya
tidak dapat memberi tambahan konstituen yang kurang tersebut, tetapi dapat membatasi
kehilangan zat tersebut melalui urin, sehingga dapat menyimpan sampai lebih banyak zat
tersebut didapat dari makanan. Dengan demikian, ginjal dapat lebih efisien melakukan
kompensasi untuk kelebihan daripada kekurangan, seperti tercermin lebih jauh pada kenyataan
bahwa pada beberapa keadaan ginjal tidak dapat secara total menghentikan pengeluaran suatu
bahan penting melalui urin, walaupun tubuh sedang kekurangan bahan tersebut. Contoh utama
adalah defisit H2O. Walaupun seseorang tidak mengkonsumsi H2O, ginjal harus menghasilkan
sekitar satu liter H2O dalam urin setiap hari untuk melaksanakan fungsi penting lain sebagai
“pembersih” tubuh (Wijaya, 2015)

7. Gangguan metabolisme zat gizi yang terjadi pada gangguan fungsi ginjal yaitu
a) Gangguan Metabolisme Protein
Ginjal berperan dalam menjaga keseimbangan protein tubuh melalui fungsi sintesis,
degradasi, filtrasi, reabsorbsi dan ekresi asam amino di tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal
dapat mengakibatkan gangguan berbagai peran ginjal dalam metabolisme protein. Gangguan
metabolisme protein yang sering menyertai pasien ginjal lebih dikenal sebagai malnutrisi uremia.
Malnutrisi uremia merupakan istilah untuk menggambarkan malnutrisi dan gangguan
metabolisme terkait dengan gangguan ginjal. Malnutrisi uremia terjadi pada 20-50% pasien CKD
dengan dialisis. Karakteristik malnutrisi uremia meliputi hilangnya cadangan protein tubuh
ditandai dengan penurunan massa lemak bebas serta penurunan protein viseral seperti albumin,
pre-albumin, dan transferrin. Malnutrisi uremia meningkatkan risiko rawat inap dan kematian,
khususnya pada pasien CKD stage 5 (Rahmawati, 2017)
Penyebab malnutrisi uremia antara lain kurangnya asupan zat gizi serta gangguan
metabolik dan hormonal (Gambar 3). Anoreksia yang terjadi pada pasien dengan CKD
mengakibatkan asupan zat gizi kurang dan berdampak pada menurunnya status gizi. Meskipun
mekanisme uremia menyebabkan anoreksia belum jelas, suatu studi oleh Berg-strom et al.
menjelaskan isolasi a low molecular weight substance (<5 kd), yang diisolasi dari ultrafiltrat
plasma uremic dan urin normal, yang diinjeksikan pada tikus yang sehat, menyebabkan suatu
dose-dependent suppression pada nafsu makan. Dengan kata lain, penelitian ini menyimpulkan
bahwa uremia menyebabkan nafsu makan berkurang. Disisi lain, diet rendah protein yang dijalani
oleh pasien CKD, khususnya gagal ginjal kronik, menyebabkan ketoasidosis (Rahmawati, 2017)
Asidosis metabolik yang menyertai progresivitas CKD, juga menyebabkan malnutrisi
uremia melalui meningkatnya katabolisme protein. Studi oleh Mitch et al., menunjukkan
proteolisis otot distimulasi melalui jalur adenosine triphosphate-dependent yang melibatkan
ubiquitin (a single-chain polipeptide) dan proteosomes selama asidosis metabolik. Berbagai
mekanisme yang mempengaruhi turnover protein otot pada pasien CKD (Rahmawati, 2017)
b) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme karbohidrat sangat sering terjadi pada pasien CKD. Gangguan
toleransi glukosa terjadi bersamaan dengan menurunnya fungsi ginjal. Resistensi insulin dapat
terdeteksi terutama ketika GFR dibawah 50 mL/min. Insulin berperan dalam aktivasi sintesis
protein di otot melalui cross-signaling pathway dengan IGF-1. IGF-1 merupakan peptida kunci
yang terlibat dalam pertumbuhan sel dan turnover protein, yang berperan sebagai mediator
primer pada berbagai respon yang diatur oleh hormon pertumbuhan (GH) di jaringan. IGF-1
mempengaruhi aktivitas glucose-disposal, anti-apoptic dan anti-proteolitic di otot, dan
memberikan beberapa cell signaling pathways dengan insulin. GH dan IGF-1 juga memiliki efek
utama pada pertumbuhan ginjal, dimana struktur, fungsi dan aktivitasnya turun pada penyakit
ginjal. Hal ini yang mungkin juga menyebabkan malnutrisi uremia pada CKD, akibat penurunan
aktivitas GH-IGF dalam waktu lama yang mempengaruhi jaringan seperti otot. Faktor lain yang
diperkirakan menyebabkan resistensi insulin pada CKD adalah inflamasi kronik, stress oksidatif,
defisiensi 1.25 dihydroxy-vitamin D, hiperparatiroid sekunder, anemia dan malnutrisi. Faktor-
faktor ini berkorelasi dengan meningkatnya inflammatory cytokines, adipokines, ER stress, and
SOCS, menyebabkan kerusakan pada insulin receptor-signaling pathway. Gambar 5
menjelaskan resistensi insulin pada CKD (Rahmawati, 2017)
Di sel-sel otot, TNF-α mengaktivasi rangkaian kinase seperti IKK-β, c-Jun NH2-terminal
kinase (JNK), extracellular signal-regulated kinase (ERK), protein kinase C (PKC), Akt (PKB),
mamalian target of rapamycin (mTOR) dan glycogen synthase kinase 3 (GSK3) yang
bertanggung jawab untuk phosphorilasi reseptor insulin (InsR) dan IRS-1 pada residu
serin/treonin. Penghambatan fungsi IRS-1 akan memblok Akt, mendorong penyitaan cytosol
glucose transporter 4 (GLUT4). Fetuin-A juga menghambat IRS dan menstimulasi inflamasi
tingkat ringan. IL-6 bertanggungjawab untuk induksi suppressors of cytokine signaling (SOCS)
protein yang berbeda melalui Janus kinase/signal transducer dan activator of transcription
(Jak/STAT)-signaling pathway. SOCS akan menghambat IRS-1/2 dan protein kinase A. Stress
pada retikulum endoplasma tampak sebagai faktor lain yang menghubungkan inflamasi dan
resistensi insulin pada tingkat molekuker. Garis merah menggambarkan mekanisme faktor-faktor
yang terkait CKD pada resistensi insulin (Rahmawati, 2017)
Kandungan dekstrosa dalam dialisat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi
metabolisme karbohidrat. Pasien CKD sering mengalami hipoglikemia saat proses dialisa,
sehingga kadar dekstrosa diberikan lebih tinggi. Disisi lain, kadar dekstrosa yang tinggi pada
dialisat dalat menyebabkan hiperglikemia, sehingga memperburuk resistensi insulin yang terjadi
pada pasien CKD. Hipoglikemia pada pasien CKD diperkirakan akibat menurunnya
glukoneogenesis dan pelepasan katekolamin, gangguan degradasi dan clearance insulin di
ginjal. Untuk itu diperlukan pemantauan kadar glukosa darah berkala, khususnya saat proses
dialysis (Rahmawati, 2017)
c) Gangguan Metabolisme Karbohidrat
Gangguan metabolisme lemak pada pasien CKD bervariasi tergantung derajat kerusakan
ginjal, etiologi penyakit dan terapi pengganti ginjal yang dipilih. Pasien CKD dengan dialisis
adalah dislipidemia dengan ciri khas hipertrigliseridemia dan kadar high density lipoprotein (HDL)
rendah. Peningkatan trigliserid (TG) dapat disebabkan oleh penurunan aktivitas lipoprotein lipase
(LPL) dan adanya inhibitor lipase pada CKD. Peningkatan produksi TG-rich lipoprotein seperti
very low density lipoprotein (VLDL) di hati dan disfungsi degradasi TG akibat insufisien beta-
oksidasi asam lemak di mitokondria menyebabkan serum TG meningkat. Hiperparatiroid
sekunder, resistensi insulin, dan pemberian heparin berulang pada CKD juga diperkirakan
menjadi penyebab lain peningkatan TG. Resistensi insulin pada CKD dapat memicu peningkatan
VLDL yang memicu peningkatan TG. Pemberian heparin dapat menyebabkan LPL terlepas dari
permukaan endotel, dimana dalam jangka panjang pasien CKD dapat mengalami deplesi LPL
dan mengalami gangguan pemecahan TG (Rahmawati, 2017)

8. Mekanisme perjalanan impuls dari adanya rangsangan hingga timbul reaksi


Gerak merupakan pola koordinasi yang sangat sederhana untuk menjelaskan
penghantaran impuls oleh saraf. Gerak pada umumnya terjadi secara sadar, namun, ada pula
gerak yang terjadi tanpa disadari yaitu gerak refleks. Impuls pada gerakan sadar melalui jalan
panjang, yaitu dari reseptor, ke saraf sensori, dibawa ke otak untuk selanjutnya diolah oleh otak,
kemudian hasil olahan oleh otak, berupa tanggapan, dibawa oleh saraf motor sebagai perintah
yang harus dilaksanakan oleh efektor (Sjamsuhidajat, 2012)
Gerak refleks berjalan sangat cepat dan tanggapan terjadi secara otomatis terhadap
rangsangan, tanpa memerlukan kontrol dari otak. Jadi dapat dikatakan gerakan terjadi tanpa
dipengaruhi kehendak atau tanpa disadari terlebih dahulu. Contoh gerak refleks misalnya
berkedip, bersin, atau batuk. Pada gerak refleks, impuls melalui jalan pendek atau jalan pintas,
yaitu dimulai dari reseptor penerima rangsang, kemudian diteruskan oleh saraf sensori ke pusat
saraf, diterima oleh set saraf penghubung (asosiasi) tanpa diolah di dalam otak langsung dikirim
tanggapan ke saraf motor untuk disampaikan ke efektor, yaitu otot atau kelenjar. Jalan pintas ini
disebut lengkung refleks. Gerak refleks dapat dibedakan atas refleks otak bila saraf penghubung
(asosiasi) berada di dalam otak, misalnya, gerak mengedip atau mempersempit pupil bila ada
sinar dan refleks sumsum tulang belakang bila set saraf penghubung berada di dalam sumsum
tulang belakang misalnya refleks pada lutut (Sjamsuhidajat, 2012)

9. Perbedaan efek kerja saraf simpatis dan parasimpatis pada organ tubuh (Sjamsuhidajat, 2012)
yaitu
Parasimpatik Simpatik
Mengecilkan pupil Memperbesar pupil
Menstimulasi aliran ludah Menghambat aliran ludah
Memperlambat denyut jantung Mempercepat denyut jantung
Membembesarkan bronkus Mengecilkan bronkus
Menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan Menghambat serkresi kelenjar pencernaan
dan gerak peristaltik dan gerak peristaltik
Mengerutkan kantung kemih Menghambat kontraksi kandung kemih
Menstimulasi kantung empedu Menstimulasi pelepasan glikogen

a) Mata
Ada dua fungsi mata yang diatur oleh sistem saraf otonom, yaitu dilatasi pupil dan
pemusatan lensa.Perangsangan simpatis membuat serat-serat meridional iris berkontraksi
sehingga pupil menjadi dilatasi, sedangkan perangsangan parasimpatis mengkontraksikan otot-
otot sirkular iris sehingga terjadi konstriksi pupil.Perangsangan parasimpatis membuat otot siliaris
berkontraksi, sehingga melepaskan tegangan tadi dan menyebabkan lensa menjadi lebih
konveks. Keadaan ini membuat mata memusatkan objeknya dekat tangan (Cahyono, Sasongko
and Primatika, 2013)
b) Kelenjar-kelenjar tubuh
Kelenjar nasalis, lakrimalis, saliva, dan sebagian besar kelenjar gastrointestinalis
terangsang dengan kuat oleh sistem saraf parasimpatis sehingga mengeluarkan banyak sekali
sekresi cairan.Kelenjarkelenjar saluran pencernaan yang paling kuat dirangsang oleh
parasimpatis adalah yang terletak di saluran bagian atas, terutama kelenjar di daerah mulut dan
lambung.Kelenjar usus halus dan usus besar terutama diatur oleh faktor-faktor lokal yang
terdapat di saluran usus sendiri dan oleh sitem saraf enterik usus serta sedikit oleh saraf
otonom.Perangsangan simpatis mempunyai pengaruh langsung pada sel-sel kelenjar dalam
pembentukan sekresi pekat yang mengandung enzim dan mukus tambahan.Rangsangan
simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang mensuplai kelejar-kelenjar
sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya.Bila saraf simpatis terangsang, maka
kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali keringat, tetapi perangsangan pada saraf
parasimpatis tidak mengakibatkan pengaruh apapun (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
c) Sistem gastrointestinal
Sistem gastrointestinal mempunyai susunan saraf intrinsik sendiri yang dikenal sebagai
pleksus intramural atau sistem saraf enterik usus. Namun, baik perangsangan simpatis maupun
parasimpatis dapat mempengaruhi aktivitas gastrointestinal, terutama oleh peningkatan atau
penurunan kerja spesifik dalam pleksus intramural. Pada umumnya, perangsangan parasimpatis
meningkatkan seluruh tingkat aktivitas saluran gastrointestinal, yakni dengan memicu terjadinya
gerakan peristaltik dan relaksasi sfingter, jadi akan mempermudah pengeluaran isi usus melalui
saluran pencernaan dengan cepat. Pengaruh dorongan ini berkaitan dengan penambahan
kecepatan sekresi yang terjadi secara bersamaan pada sebagian besar kelenjar gastrointestinal,
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Fungsi normal dari saluran gastrointestinal tidak terlalu
tergantung pada perangsangan simpatis (Cahyono, Sasongko and Primatika, 2013)
d) Jantung
Pada umumnya, perangsangan simpatis akan meningkatkan seluruh aktivitas jantung.
Keadaan ini tercapai dengan naiknya frekuensi dan kekuatan kontraksi jantung. Perangsangan
parasimpatis terutama menimbulkan efek yang berlawanan. Akibat atau pengaruh ini dapat
diungkapkan dengan cara lain, yakni perangsangan simpatis akan meningkatkan keefektifan
jantung sebagai pompa yang diperlukan selama kerja berat, sedangkan perangsangan
parasimpatis menurunkan kemampuan pemompaan tetapi menimbulkan beberapa tingkatan
istirahat pada jantung di antara aktivitas kerja yang berat

10. HVFHVBHV

Daftar Pustaka
Antari, A. L. (2017) ‘Imunologi Dasar’. Yogyakarta: DEEPUBLISH CV BUDI UTAMA.
April, S., Manurung, Y. and Nasution, S. S. (2013) ‘Pengetahuan Ibu Primigravida Tentang
Adaptasi Fisiologis Selama Kehamilan’, Jurnal Keperawatan Klinis, 4(1).
Cahyono, I. D., Sasongko, H. and Primatika, A. D. (2013) ‘Neurotransmitter Dalam Fisiologi
Saraf Otonom’, JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia), 1(1), p. 42. doi: 10.14710/jai.v1i1.6297.
Hikmah, N. and Dewanti, I. D. A. R. (2010) ‘Seputar Reaksi Hipersensitivitas (Alergi)’,
Somatognatic (J.K.G Unej ), 7(2), pp. 108–119.
Rahmawati, S. (2017) ‘Metabolisme Zat Gizi , Interaksi Obat dan Makanan pada Penyakit Ginjal
Kronik’, Pelatihan Dietetik Manajemen Gizi, (May).
Sjamsuhidajat, R. (2012) ‘Sistem Saraf Hidrosefalus’, Buku Ajar Ilmu Bedah, pp. 935–936.
Tamza, R. B., Suhartono and Dharminto (2013) ‘Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013’,
MANFAAT SENAM HAMIL UNTUK MENINGKATKAN DURASI TIDUR IBU HAMIL, 2(April), pp.
608–614. doi: 10.13243/j.cnki.slxb.2013.05.013.
Toreh, R. M. and Kalangi, S. J. R. (2012) ‘RESISTENSI PEMBULUH DARAH’, pp. 42–51.
Wijaya, S. H. (2015) ‘Mekanisme Ginjal dalam Mengatur Keseimbangan Cairan Tubuh’,
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, pp. 1–24.

Anda mungkin juga menyukai