Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

Konstipasi pada lansia

DISUSUN OLEH :
MUSTARHFIROH

PEMBIMBING :
dr. Achmadi Eko Sugiri, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK GERIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

RSUD ADE MUHAMMAD DJOEN SINTANG

2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Referat dengan judul :

“KONSTIPASI PADA USIA LANJUT”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Geriatri

Sintang, Desember 2019

Pembimbing Disusun Oleh

dr. Achmadi Eko Sugiri, Sp.PD Mustarhfiroh, S.Ked


BAB I

PENDAHULUAN

Pada usia lanjut akan terjadi banyak perubahan seiring dengan proses
penuaanya salah satu dari perubahan tersebut adalah perubahan pada system
gastrointestinal. Keluhan yang sering dijumpai ialah sembelit atau konstipasi, yang
disebabkan kurangnya kadar selulosa, insiden ini mencapai puncak pada usia 60-
70 tahun.1

Salah satu masalah yang banyak diderita para lansia adalah sembelit atau
konstipasi (susah BAB). Konstipasi atau sembelit sering dikeluhkan oleh usia
lanjut, yang dapat disebabkan karena usia lanjut kurang aktifitas, kurang masukan
air (kurang dari delapan gelas/1.600 cc per hari) serta diet kurang serat (kurang dari
20 gram serat per hari) cendrung mudah mengalami konstipasi.1

Pada umumnya, lansia menganggap konstipasi sebagai hal yang biasa.Sekitar


30–40% orang diatas usia 65 tahun di Inggris mengeluh konstipasi, 30% penduduk
diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat
pencahar. Sekitar 20% populasi diatas 65 tahun di Australia, mengeluh menderita
konstipasi.1 Namun jika tidak diatasi, konstipasi dapat menimbulkan situasi yang
lebih serius seperti impaksi (feses menjadi keras dan kering) dan obstruksi.
Konstipasi kronis dapat mengakibatkan 2 divertikulosis, kanker kolon dan
terjadinya hemoroid.1

Kejadian kanker kolon menempati urutan ke-4, dan menempati peringkat ke-2
penyebab kematian karena kanker di dunia. Di Indonesia, karsinoma kolon
termasuk dalam sepuluh jenis kanker terbanyak dan menempati urutan keenam dari
penyakit keganasan yang ada. Menurut penelitian Hastuti di RSUP dr. Kariadi
Semarang terdapat 101 kasus kanker kolon dan rektum. Menurut hasil penelitian
Zendrato proporsi penderita kanker colorectal terbanyak pada kelompok umur ≥ 40
tahun yaitu 73,2%.1

Laporan Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan sebagian besar penduduk


Indonesia masih kurang konsumsi serat dari sayur dan buah, kurang olah raga dan
bertambah makan makanan yang mengandung pengawet. Keadaan ini tentu saja
menimbulkan gangguan dalam pencernaan dengan keluhan yang sering timbul
antara lain kembung dan tidak dapat buang air besar secara lancar atau konstipasi.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30% pada
kelompok usia 60 tahun ke atas atau lansia. Insiden konstipasi meningkat seiring
bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas Pada suatu penelitian pada
orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi sekitar 34 persen
wanita dan pria 26 persen.1

Prevalensi konstipasi pada lansia di Indonesia adalah sebesar 3,8% untuk lansia
usia 60–69 tahun dan 6,3% pada lansia diatas usia 70 tahun (Kemenkes RI, 2013).
Konstipasi dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti kurangnya asupan serat,
kurang asupan air, pengaruh obat yang dikonsumsi, pengaruh dari penyakit yang
diderita, hingga akibat kurang aktivitas fisik.1

Kemampuan keluarga dalam memberikan asuhan kesehatan akan


mempengaruhi tingkat kesehatan keluarga dan individu. Tingkat pengetahuan
keluarga terkait konsep sehat sakit akan mempengaruhi perilaku keluarga dalam
menyelesaikan masalah kesehatan keluarga maka dari itu peran keluarga dapat
ditinggkatkan dengan cara meningkatkan pengetahuan pada keluarga tersebut.
Anjurkan keluarga dalam modifikasi diet tinggi serat serta cairan yang adekuat,
menetapkan peningkatan aktivitas fisik pada lansia, menetapkan keteraturan
defekasi.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai
suatu keluhan terdapat variasi yang berlebihan anatara individu. Penggunaan
istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal
menyebabkan lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan
penderita sendiri atau konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada
penelitian-penelitian. Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula
rektum pada colok dubur dan atau timbunan feses pada kolon, rektum atau
keduanya yang tampak pada foto polos perut.1
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai
suatu keluhan terdapat variasi yang berlebihan anatara individu. Penggunaan
istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal
menyebabkan lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan
penderita sendiri atau konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada
penelitian-penelitian. Sedangkan batasan dari konstipasi klinik yang
sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula
rektum pada colok dubur dan atau timbunan feses pada kolon, rektum atau
keduanya yang tampak pada foto polos perut.1
Setudi epidemiologi menunjukkan kenaikan yang pesat dari konstipasi
berkaitan dengan usia terutama berdasarkan keluhan penderita dan bukan
karena konstipasi klinik. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak
BAB tiap hari. Sering ada perbedaan pandang antara dokter dan enderita
tentang arti konstipasi. 1
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB, biasanya
kurang dari 3 x per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, kadang-
kadang disertai kesulitan hingga rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut sering
kali terpancang dengan BAB nya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari
pola hidup semasa anak-anak dan saat masih muda, dimana setiap usaha
dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari, kalau perlu dengan menggunakan
pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih.1
Ada anggapan umum yang slaah tentang konstiapasi, tentang kotoran yang
tertimbun dalam usus besar akan diserap kembali, berbahaya untuk kesehatan
dan dapat memperpendek umur atau ada yang mengkhawatirkan keracunan
dari fesesnya sendiri bila dalam janghka waktu tertentu tidak dikeluarkan.1
Frekuensi BAB bervariasi dalam 3 x per hari sampai 3 x perminggu.
Secara umum bila 3 hari belum BAB, masa feses akan mengeras dan ada
kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Suatu batasan konstipasi dilakukan oleh
Holson meliputi paling sedikit 2 dari keluhan dibawah ini terjadi dalam 3
bulan1:
a. Konsistensi feses yang keras
b. Mengejan dengan keras saat BAB
c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. Frekuensi BAB 2x seminggu atau kurang.
International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan
batasan konstipasi. Dimana konstipasi dibagi menjadi dua golongan:1
1 Konstipasi fungsional
2 Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid

Konstipasi fungsional disebabkan wakrtu perjalanan yang lambat dari feses,


sedangkan penundaan pada muara rekto-sigmoid menunjukkan adanya
disfungsi ano-rektal. Yang terakhir ini ditandai dengan adanya sumbatan pada
anus.1
Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai International Workshop on
Constipation1
Tipe Kriteria
Konstipasi fungsional Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit
dalam 12 bulan:
 Mengejan keras 25% dari BAB
 Feses yang keras 25 % dari BAB
 Rasa tidak tuntas 25% dari BAB
 BAB kurang dari 2x perminggu
Penundaan pada muara rektum  Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
 Waktu untuk BAB lebih lama
 Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan
feses

2.2 Patofisiologi konstipasi


Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologik yang
menyetarakan kerja otot-otot polos dan secara lintang, persyarafan sentral dan
perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan
fisik untuk mencapasi tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari
konstipasi adalah karena banyaknya mekanisme yang terlihat pada proses BAB
yang normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat
konstipasi.1
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan
feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari
rektum diikuti relaksasi dari spingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar
pelvis yang dilayani oleh syaraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan
untuk BAB dan spingter anus eksterna diperintahkan untuk rektum
mengeluarkan isinya dengan bantuan konstraksi otot dinding perut. Konstraksi
ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi spingter dan otot levator ani.
Baik persyarafan simpatis maupun parasimpatis terlihat dalam proses BAB.1
Patogenesis dari kostipasi bervariasi macam-macam, penyebabnya
multiple, mencakup beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun
konstipasi keluhan yang banyak pada ushia lanjut, motilitas kolon tidak
terpengaruh dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak
mengakibatan perlambatan dari perjalanan saluran cerna. Perubahan
patofisiologi yang menyebabkan konstiapsi bukanlah karena bertambahnya
usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan kostipasi.1
Penelitian dengan perubahan pertanda radio-opak yang ditelan pada orang
lanjut usia yang sehat didapatkan tidak ada perubahan dari total waktu gerak
usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Total waktu pergerakan usus
dengan mengikuti pertanda radio-opak yang ditelan, normal kurang dari 3 hari
sudah dikeluarkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4 sampai 9 hari. Pada
mereka yang dirawat atau terbaring ditempat tidurnya dapat lebih panjang lagi
sampai 14 hari. Pertanda radio aktif yang dipakai terutama lambat jalannya
pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon
sigmoid.1
Pemeriksaan elektrofisiologik untuk mengukur aktifitas motorik dari
kolon pada penderita dengan konstipasi menunjukkan pengurangan respons
motorik pada sigmoid karna kurangnya inervasi instrinsik karena degenerasi
pleksus myenterikus. Ditemukan juga penggurangan dari ransang syaraf pada
otot polos sirkuler yang dapatg memanjangnya waktu usus.1
Individu diatas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma beta-
endrofin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan reseptor opiat endogen
pada usus. Ini dibuktikan dengan efek konstipasif dari sediaan opiat karena
dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang dan
menghambat refleks gaster-kolon.1
Terdapat kecenderungan menurunnya tonus spingter dan kekuatan otot-
otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada wanita. Penderita konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkana feses yang kecil dan
keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat
berakibat penekanan pada syaraf pudendus dengan akibat kelemahan lebih
lanjut.1
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga
perubahan patologik pada rektum:1
1. Diskesia rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan
sensasi rektum dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar
regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari spingter eksterna
dan interna. Pada colok dubur penderita dengan diskesia rektum sering
didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB
sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat sebagai akibat kurang
tanggap atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti dijumpai pada
penderita demensia, imobilitas atau sakit daerah anus dan rektum.1
2. Dis-sinergi pelvis
Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-reklais dan spingter anus
eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.1
3. Peningkatan tonus rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pasta penyakit iritable bowel
syndrome , dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.1
2.3 Faktor resiko konstipasi pada usia lanjut
Mengenali faktor-faktor resiko yang berkaitandengan konstipasi pada
usia lanjut dibutuhkan untuk memahami masalah ini. Misalnya poli-farmasi
dapat menyebabkan konstipasi karena beberapa golongan obat mempunyai
potensi untuk hal ini. Beberapa kelainan neurologik dan endokrin-metabolik
juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat. 1
Tabel 2. Faktor-faktor resiko konstipasi pada lanjut usia
Obat-obatan  Kalsium antagonis
 Golongan antikolinergik  Preparat kalsium
 Golongan narkotik  Preparat besi
 Golongan analgetik  Antasida aluminium
 Golongan diuretik  Penyalahgunaan pencahar
 NSAID
Kondisi neurologik  Trauma medula spinalis
 Stroke  Neuropati diabetik
 Penyakit parkinson
Kausa psikologis  Kurang privasi untuk BAB
 Psikosis  Mengabaikan dorongan BAB
 Depresi  Konstipasi imajiner
 Demensia
Gangguan metabolik
 Hiperkalsemia
 Hipokalemi
 Hipotiroid
Penyakit –penyakit saluran cerna  IBS
 Kanker kolon  Rektokel
 Divertikel  Wasir
 Ileus  Fistula/fisura ani
 Hernia  Insersia kolon
 Volvulus
Lain-lain  Bepergian jauh
 Diet rendah serat  Pasca tindakan bedah perut
 Kurang cairan imobilitas/kurang
olahraga

2.4 Klinis dari konstipasi


Anamnesa yang terperinci merupakan hal yang terpenting untuk
mengungkap adalah konstipasi dan faktor resiko penyebabnya. Konstipasi
merupakan suatu keluhan klinik yang umum dengan berbagai tanda dan
keluhan lain yang berhubungan.1
Penderita yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan
patokan-patokan yang objektif misalnya bila dalam 24 jam belum BAB,
atau ada kesulitan harus mengejan dan perasaaan tidak tuntas dari BAB
sudah mengira dirinya menderita kostipasi. Beberapa keluhan yang
mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah:1
 Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
 Mengejan keras saat BAB
 Massa feses yang keras dan sulit keluar disertai perasaan tidak tuntas saat
BAB
 Sakit pada daerah rektum saat BAB
 Rasa sakit pada perut saat BAB
 Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
 Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
 Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan
kelainan yang jelas. Walaupun demikian pemeriksaan fisik yang teliti dan
mrenyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang
berpotensi mempengaruhi khusunya fungsi usus besar. Diawali dengan
pemeriksaan rongga mulut meiputi gigi-geligi, adanya lesi selaput lendir
mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.1
Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adalah pembesaran
abdomen, pereganganv atau tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan
perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat
meraba feses dikolon, adanya tumor atau aneurysma dari aorta. Pada perkusi
dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, ascites
atau pembesaran massa feses. Auskultasi antarra lain untuk mendengarkan
suara usus besar, normal atau berlebihan misalnkya pada sumbatan usus.
Pemeriksaan daera anus memberikan petunjuk penting, misalnyawasir
prolaps, fisura, fistula dan massa tumor didaera anus yang dapat mengganggu
proses BAB.1
Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui
ukuran dan kondisi rektum serta besar dan konsistensi feses. Colok dubur
dapat memberikan informasi tentang:1
 Tonus rektum
 Tonus dan kekuatan spingter
 Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis.
 Adakah timbunan massa feses
 Adakah darah
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-
faktor resiko penyebab konstipasi, misalnya gula darah, kadar hormon
tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari
rektum dsb. Prosedure ini misalna anoskopi dianjurkan dikerjakan secara
rutin pasda semua pasien yang konstipasi untuk menemukan, fisura, ulkus,
wasir dari keganasan.1
Foto polos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutamanya
yang akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan
adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan
perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon dapat dilanjutkan
dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
Pemeriksaan yang itensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan
pengobatana konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-
pusat pengelolaan konstipasi tertentu.1
Tes yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema,
proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di kolon,
cinedefecografi, manometri dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi
biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedure
penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan,
anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan
kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi.1
Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti
dengan melakukan pemeriksaan radiologik setelah menelan bahan tersebut.
Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan
kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila dikolon menunjukkan kelemahan
yang menyeluruh.1
Sinedefeografi adalah pemeriksaan radiologik daerah ano-rektal untuk
menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal
dan mengevaluasi kontraksi serta relaksaki otot rektum. Tes ini memakai
semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam
rektum. Kemudian penderita duduk pads toilet yang diletakkan dalam
pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta
tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlansung.1
Tes manometri dikerjekan untuk mengukur tekanan pada rektum dan
saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi
anorektal.1
Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan
spingter dan fungsi syaraf pudendus, adakah atrofi syaraf yang dibuktikan
dengann respon spingter yang terhambat. Pada kebanyakaen kasus tidak
didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional dan penyebab dari
konstipasi disebut sebagai non-spesifik.1
2.5 Komplikasi konstipasi pada lanjut usia
Walaupun untuk kebanyakan orang lanjut usia, konstipasi hanya
sekedar mengganggu, tetapi untuk sebagian kecil dapat berakibat
komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan
akibat dari tercapainya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum
yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, direktum (70%),
sigmoid (20%) dan kolon bagian proksimal (10%).1
Impaksi feses merupakan penyebab yang penting dari mordibitas pada
usia lanjut, meningkatan resiko perawatan dirumah sakit dan mempunyai
potensi untuk komplikasi yang fatal. Penampilannya sering hanya berupa
kemunduran klinis yang tidak spesifik. Kadang-kadang dari pemeriksaan
fisik didapatkan panas sampai 39,50C, delirium, perut yang tegang, suara
usus melemah, aritmia serta takipnea karena peregangan dari diafragma.
Pemeriksaan laboratorium didaptakn leukositosis, peristiwa ini bisa
diakibatkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras
menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. Dapat terjadi
perforasi dan penderita datang dengan skait perut berat yang mendadak.1
Impaksi feses yang berat pada daerah rekto sigmoid dapat menekan
leher kandung kemih menyebabkan retensio urine, hidronefrosis bilateral
dan kadang-kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi
dihilangkan. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses
di daerah kolo-rektal. Volvulus daerahh sigmoid juga sering terjadi sebagai
komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama
pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.1
2.6 Tatalaksana
Target penatalaksanaan konstipasi kronis adalah untuk mengurangi
gejala, mengembalikan kebiasaan defekasi yang normal, keluarnya feses
yang berbentuk dan lunak setidaknya 3 kali per minggu tanpa mengejan,
dan meningkatkan kualitas hidup dengan efek samping minimal.2,3
A. Non-farmakologis

1. Aktivitas Fisik
Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan dua kali
lipat risiko konstipasi. Tirah baring dan imobilisasi berkepanjangan
juga sering dihubungkan dengan konstipasi.2
2. Latihan
Sebagian kemampuan defekasi merupakan suatu refl eks yang
dikondisikan. Sebagian besar pasien dengan pola defekasi teratur
melaporkan bahwa pengosongan saluran cernanya pada saat yang hampir
sama setiap hari. Saat optimal untuk defekasi adalah segera setelah
bangun tidur dan setelah makan, saat transit kolon tersingkat. Pasien-
pasien harus mengenali dan merespons keinginan defekasi, jika gagal
dapat mengakibatkan menumpuknya feses yang berlanjut diabsorpsi
cairan yang membuat nya makin sulit dikeluarkan.2
3. Posisi Saat Defekasi
Suatu penelitian yang membandingkan posisi-posisi defekasi
menyimpulkan bahwa pasien harus dimotivasi untuk mengadopsi posisi
setengah berjongkok atau “semisquatting” untuk defekasi. Kebanyakan
orang tidak terbiasa dengan posisi berjongkok, tetapi dapat dibantu
dengan menggunakan pijakan kaki dan membungkuk badan ke depan
saat di toilet. Bantal juga dapat digunakan untuk membantu untuk
menguatkan otot-otot abdomen.2
4. Konsumsi Air
Konsumsi air adalah kunci penatalaksanaan, pasien harus dianjurkan
minum setidaknya 8 gelas air per hari (sekitar 2 liter per hari). Konsumsi
kopi, teh, dan alkohol dikurangi semaksimal mungkin atau konsumsi
segelas air putih ekstra untuk setiap kopi, teh, atau alkohol yang
diminum.2
5. Serat
Meningkatkan konsumsi serat umum direkomendasikan sebagai terapi
awal konstipasi. Rekomendasi makanan tinggi serat (buah dan sayur)
atau suplemensuplemen serat Psyllium (kulit ari ispaghula/ ispaghula
husk, metilselulosa, polycarbophil, atau kulit padi/bran) perlu
dilanjutkan selama 2-3 bulan sebelum ada perbaikan gejala yang
bermakna. Pendekatan ini hanya efektif pada sebagian pasien dan masih
sedikit bukti penelitian klinis yang mendukung cara ini.2
B. Farmakologis
Tabel 3 mencantumkan agen-agen yang tersedia untuk meredakan
konstipasi. Tabel 4 menunjukkan onset kerja, dosis, efek samping agen-
agen utama pereda konstipasi yang didukung bukti.2,3 Laksatif serat
meningkatkan berat feses karena mengabsorpsi air, sehingga
mempercepat propulsi. Peningkatan motilitas gastrointestinal
menghasilkan waktu transit kolon yang lebih cepat dan meningkatkan
frekuensi gerakan usus.
Laksatif osmotik merupakan agen hiperosmolar yang menyebabkan
sekresi air ke dalam lumen intestinal. Laksatif osmotik yang paling sering
digunakan adalah garam-garam magnesium. Laksatif hiperosmolar
alternatif adalah sorbitol, laktulosa, dan polyethylene glycol (PEG) 3350.
Tabel 3. agen-agen yang tersedia untuk meredakan konstipasi
Tabel 4. Derajat rekomendasi American College of Gastroenterology, onset
kerja, dosis, dan efek samping dari terapi farmakologis konstipasi

Pada penelitian multisenter atas 164 pasien, laktulosa terbukti lebih


efektif menghasilkan feses normal pada hari ke-7 dibandingkan laksatif
stimulan (laksatif mengandung senna, derivat antraquinone, atau bisacodyl).
Pada penelitian atas 99 pasien konstipasi kronis, PEG 3350 terbukti lebih efektif
dan efek samping kembung lebih sedikit dibanding laktulosa.2,4
Laksatif stimulan meningkatkan motilitas dan sekresi intestinal.
Agen ini bekerja dalam hitungan jam dan dapat menyebabkan efek samping
nyeri/kram abdomen. Agen ini direkomendasikan apabila laksatif osmotik
gagal. Cara kerjanya melalui perubahan transpor elektrolit oleh mukosa
intestinal, sehingga meningkatkan aktivitas motor intestinal.2
Enema dan suppositoria rektum menginduksi defekasi dengan
meregang rektum dan kolon. Pasien geriatri dengan masalah mobilisasi
mungkin membutuhkan enema sesekali untuk menghindari impaksi feses.2
Probiotik memperbaiki frekuensi defekasi pasien konstipasi, karena bakteri
menghasilkan asam laktat yang akan meningkatkan motilitas intestinal dan
mengurangi waktu transit. Meskipun demikian, hasil penelitian penelitian tidak
signifi kan.2 Pelunak feses (sodium dioctyl sulphosuccinate dan paraffi n cair)
dan tegaserod tidak lagi digunakan. Kolkisin dan misoprostol belum mendapat
rekomendasi FDA sebagai terapi konstipasi.2
Salah satu agen baru, yaitu lubiprostone, merupakan suatu aktivator
kanal klorida bekerja lokal meningkatkan sekresi cairan intestinal kaya klorida.
Agen ini bekerja dengan mengaktifkan kanal klorida tipe 2 di permukaan sel-
sel epitel intestinal untuk meningkatkan sekresi cairan intestinal dan integritas
epitel. Lubiprostone adalah satusatunya agen untuk konstipasi kronis yang
direkomendasikan oleh FDA untuk pasienpasien diatas usia 65 tahun.2
Biofeedback atau pelatihan ulang dasar pelvis merupakan terapi
pilihan untuk dissinergi defekasi. Pasien dilatih untuk merelaksasi otot-otot
dasar pelvis dan sfi ngter anal saat mengejan dan mengkorelasikan relaksasi
dengan mengejan agar mencapai defekasi. Tiga penelitian, dua di antaranya
merupakan RCT (randomized controlled trial), membuktikan efi kasi
biofeedback pada dissinergi dasar pelvis. Stimulasi saraf sakrum saat ini sudah
digunakan secara luas untuk menangani inkontinensia feses dan beberapa data
awal menyimpulkan kemungkinan perannya untuk konstipasi yang gagal
dengan terapi-terapi sebelumnya.2,4
BAB III

KESIMPULAN

1 Konstipasi atau sembelit sering dikeluhkan oleh usia lanjut, yang dapat
disebabkan karena usia lanjut kurang aktifitas, kurang masukan air (kurang
dari delapan gelas/1.600 cc per hari) serta diet kurang serat (kurang dari 20
gram serat per hari) cendrung mudah mengalami konstipasi.
2 Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB, biasanya
kurang dari 3 x per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, kadang-
kadang disertai kesulitan hingga rasa sakit saat BAB
3 Impaksi feses merupakan akibat dari tercapainya feses pada daya
penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan
DAFTAR PUSTAKA

1 Boedhi, Darmojo, R..Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia) edisi ke –


5.Jakarta :Balai Penerbit FKUI. 2015
2 Vasanwala FF. Management of chronic constipation in the elderly. SFP. 2009;
35(3): 84-92.
3 Bove A, Battaglia E, Bocchini R, Gambaccini D, Bove V, Pucciani F, et al.
Consensus statement AIGO/SICCR diagnosis and treatment of chronic
constipation and obstructed defecation (Part II: Treatment). World J
Gastroenterol. 2012; 18(36): 4994-5013.
4 Dettmar PW. A multi-centre, general practice comparison of ispaghula husk with
lactulose and other laxatives in the treatment of simple constipation. Curr Med
Res Opin. 1998; 14: 227-33.

Anda mungkin juga menyukai