FORMULASI SUPPOSITORIA
Disusun oleh :
Kelompok 3 B
JAKARTA
DESEMBER/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi,
perkembangan di dunia farmasi pun tak ketinggalan. Semakin hari semakin
banyak jenis dan ragam penyakit yangm u n c u l . P e r k e m b a n g a n
pengobatan pun terus di kembangkan. Berbagai macam
b e n t u k sediaan obat, baik itu liquid, solid dan semisolid telah
dikembangkan oleh ahli farmasi danindustri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses memformulasikan suppositoria?
2. Bagaimana menghitung rancangan formula pada pembuatan suppositoria?
3. Apa saja evaluasi yang dilakukan untuk menjamin kualitas suppositoria?
C. Tujuan
1. Mampu dan paham dalam memformulasikan suppositoria
2. Mampu menghitung rancangan formula pada pembuatan suppositoria
3. Memahami dan mengerti evaluasi suppositoria untuk menjamin kualitan
suppositoria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. (Anonim, 1979). Suppositoria adalah
sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torepedo dapat
melarut, melunak atau meleleh pada subu tubuh. (Anonim, 1995) USP
menetapkan berat suppositoria 3 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao
yang digunakan sebagai basis. Sedang suppositoria untuk bayi dan anak-anak,
ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-
kira seperti pensil. (Ansel, 1989).
E. Penggolongan Suppositoria
a. Suppositori rectal
Suppositoria untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu atau kedua
ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2 gram. (Ansel, 1989)
b. Suppositoria vaginal
c. Suppositoria Uretra
± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang
F. Basis Suppositoria
Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan
melebur, melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan
peranan penting. Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama,
yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun
melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang
efek terapi lokal maupun sistemik. Basisp suppositoria yang ideal juga harus
a. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini
dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataun tengik, terlalu
keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik)
b. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat)
c. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil)
d. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat
berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah
pendinginan mendaak dalam cetakan)
e. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih
(ini dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan,
khususnya pada suhu tinggi sehingga tetap stabil). (Ansel, 1989)
H. Penggolongan suppositoria berdasarkan basisnya
a. Suppositoria basis dasar lemak coklat (Oleum cacao)
a. Oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, cukup 2/3 nya saja yang
dilelehkan.
bereaksi asam, maka lebih baik obatnya kita larutkan dalam air yang
disisihkan. (Anonim,1979)
1. Cenderung menyerap uap air karena sifat gelatin yang menyerap uap air
yang higroskopis yang dapat menyebabkan dehidrasi atau iritasi jaringan.
2. Memerlukan tempat untuk melindungi diudara lembab agar bentuk dan
konsistensinya terjaga. (Ansel, 1989)
dengan berat molekul 300 – 6000. P.E.G dibawah 1000 adalah cair sedangkan
diatas 1000 adalah padat lunak seperti malam. Keuntungnnya dari bahan dasar
P.E.G adalah mudah larut dalam cairan dalam rektum, dan tidak ada modifikasi
titik lebur yang berarti tidak mudah meleleh pada penyimpanan suhu kamar.
(Syamsuni, 2007)
yang menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan Suppositoria
ke dalam air sebelum digunakan. Pada etiket Supositoria ini harus tertera
METODOLOGI PRAKTIKUM
a. Timbangan
b. Gelas beaker
c. Hot plate
d. Aluminium foil
e. Batang pengaduk
f. Cawan porselen
g. Cetakan suppositoria
h. Thermometer
i. Lumpang alu
Bahan :
a. Theofilin
b. Cera Alba
c. Oleum Cacao (Lemak coklat)
B. Prosedur Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang zat aktif theofilin 1 gram, ditambahkan 1/3 oleum cacao lalu
digerus ad homogen (campuran I)
3. Ditimbang cera alba lalu dilebur di atas penangas air
4. Dimasukkan oleum cacao pada leburan cera alba diatas penangas air,
diaduk ad homogen (campuran II)
5. Ditambahkan campuran I lalu diaduk ad homogen
6. Diolesi cetakan suppositoria dengan menggunakan gliserin agar
suppositoria tidak melekat pada cetakan saat pendinginaan
7. Diaduk massa suppositoria secara konstan dan dituang kedalam cetakan
melalui dinding cetakan secara kontinyu untuk menghindari masuknya
udara yang menyebabkan terbentuknya alur-alur pada suppositoria dingin.
Lalu diratakan dengan sudip
8. Dinginkan sekitar 15-20 menit, dikeluarkan dari cetakan lalu dikemas
dengan aluminium foil
9. Diberi etiket dan brosur
10. Disimpan pada suhu dingin
BAB IV
A. Hasil
Dik:
= 0.26149 gram
x = 0.753 gram
Basis lemak coklat (oleum cacao) melebur cepat pada suhu tubuh, dan
merupakan basis yang paling baik, disebabkan oleh aksi emolien, penyejuk,
dan penyebarannya. Oleum cacao secara kimia adalah trigliserida (campuran
gliserin dan satu atau lebih asam lemak yang berbeda). Karena oleum cacao
meleleh antara 30° C sampai 36° C, merupakan basis suppositoria yang ideal,
yang dapat melumer pada suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk
padat pada suhu kamar biasa. Akan tetapi oleh karena kandungan
trigliseridanya oleum cacao menunjukkan sifat polimorfisme, atau keberadaan
zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Oleh karena itu bila oleum cacao
tidak hati-hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu minimumnya, lalu
segera didinginkan, maka hasilnya berbentuk kristal metastabil (suatu bentuk
kristal) dengan titik lebur yang rendah dari titik lebur oleum cacao aslinya.
Oleum cacao harus melebur perlahan-lahan tapi pasti lebih baik bila di atas
penangas air berisi air hangat, untuk menghindari terjadinya bentuk kristal
yang tidak stabil. (Ansel, 2008:581)
Malam putih atau cera alba adalah bentuk malam lebah (beeswax) yang
diputihkan secara kimiawi. Malam putih digunakan untuk menyesuaikan titik
peleburan suppositoria. Malam putih juga digunakan dalam sistem pelepasan
terkontrol. (Arthur H. Kibble, 2000 :595). Penambahan cera alba pada basis
suppositoria oleum cacao dapat mempengaruhi kenaikan titik lebur oleum
cacao dan mengimbangi pengaruh pelunakan dari bahan yang ditambahkan.
Penambahan cera alba tidak boleh mengganggu efek terapi dan mengubah
khasiat dan produknya. (Ansel, 2008:583).
Dosis yang dibuat dalam satu suppositoria pada praktikum ini adalah 1
gram, yang mana melebihi dosis seharusnya untuk sediaan suppositoria untuk
teofilin yaitu 125 mg, 250 mg, dan 500 mg. Selain itu penggunaan cera alba
pada praktikum ini adalah 40%, yang mana melebihi konsentrasi maksimal
menurut HoPE edisi 6 yaitu 1-20%.
KESIMPULAN
tuang.
2. Zat aktif yang digunakan dalam satu suppositoria yaotu sebanyak 1 gram
dengan perbandingan basis lemak coklat (oleum cacao) dan cera alba 60:40.
basisnya.
Anief., M. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Anief., M. 2006. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Lachman L., H.A. Lieberman, J.L. Kanig. 2008. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Jakarta: UI Press.
Syamsuni, H.. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
http://blog.ub.ac.id/diithavidyan/2012/05/04/cera-flava-dan-cera-alba/