Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN FARMASI II

FORMULASI SUPPOSITORIA

Disusun oleh :

Kelompok 3 B

Sherly Kurnia Syam 11161020000030

Rahmanita Novita Sari 11161020000034

Dea Nasyahta Della 11161020000042

Reza Adhitya Pratama 11161020000049

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

DESEMBER/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan semakin berkembangnya sains dan teknologi,
perkembangan di dunia farmasi pun tak ketinggalan. Semakin hari semakin
banyak jenis dan ragam penyakit yangm u n c u l . P e r k e m b a n g a n
pengobatan pun terus di kembangkan. Berbagai macam
b e n t u k sediaan obat, baik itu liquid, solid dan semisolid telah
dikembangkan oleh ahli farmasi danindustri.

Ahli farmasi mengembangkan obat untuk pemenuhan kebutuhan


masyarakat, yang bertujuan untuk memberikan efek terapi obat, dosis yang
sesuai untuk di konsumsi olehmasyarakat. Selain itu, sediaan semisolid
digunakan untuk pemakaian luar seperti krim, salep,gel, pasta dan
suppositoria yang digunakan melalui rektum. Kelebihan dari sediaan
semisolid ini yaitu,mudah dibawa, mudah pada pengabsorbsiannya. J u g a
u n t u k m e m b e r i k a n perlindungan pengobatan terhadap kulit tubuh.

Berbagai macam bentuk sediaan semisolid


m e m i l i k i k e k u r a n g a n , s a l a h s a t u di antaranya yaitu mudah di
tumbuhi mikroba. Untuk meminimalisir kekurangan tersebut, para ahli
farmasis harus bisa memformulasikan dan memproduksi sediaan secara tepat.
Dengan d e m i k i a n , f a r m a s i s h a r u s m e n g e t a h u i l a n g k a h -
l a n g k a h ya n g t e p a t u n t u k m e m i n i m a l i s i r kejadian yang tidak
diinginkan. Dengan cara melakukan, menentukan formulasi dengan benar dan
memperhatikan konsentrasi serta karakteristik bahan yang digunakan dan
dikombinasikandengan baik dan benar.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses memformulasikan suppositoria?
2. Bagaimana menghitung rancangan formula pada pembuatan suppositoria?
3. Apa saja evaluasi yang dilakukan untuk menjamin kualitas suppositoria?

C. Tujuan
1. Mampu dan paham dalam memformulasikan suppositoria
2. Mampu menghitung rancangan formula pada pembuatan suppositoria
3. Memahami dan mengerti evaluasi suppositoria untuk menjamin kualitan
suppositoria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Suppositoria
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk, yang
diberikan melalui rectal, vagina atau uretra. (Anonim, 1979). Suppositoria adalah
sediaan padat yang digunakan melalui dubur, umumnya berbentuk torepedo dapat
melarut, melunak atau meleleh pada subu tubuh. (Anonim, 1995) USP
menetapkan berat suppositoria 3 gram untuk orang dewasa apabila oleum cacao
yang digunakan sebagai basis. Sedang suppositoria untuk bayi dan anak-anak,
ukuran dan beratnya ½ dari ukuran dan berat untuk orang dewasa, bentuknya kira-
kira seperti pensil. (Ansel, 1989).

B. Keuntungan Sediaan Suppositoria


Beberapa keuntungan sediaan suppositoria dibandingkan sediaan lain adalah :

1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.


2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan.
3. Langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi efek lebih
cepat daripada penggunaan obat per oral.
4. Dapat mempermudah bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
5. Bentuknya seperti torpedo menguntungkan kerena suppositoria akan
tertarik masuk dengan sendirinya bila bagian yang besar masuk melalui
obat penutup dubur. (Anief, 2006)
C. Kerugian Sediaan Suppositoria
Selain ada keuntungan, Suppositoria juga memiliki kerugian diantaranya :

1. Tidak menyenangkan penggunaan.


2. Absorbsi obat sering tidak teratur dan sedikit diramalkan.
3. Tidak dapat disimpan pada suhu ruangan. (Anief, 2006)

D. Tujuan Penggunaan Suppositoria


Pengguanaan suppositoria bertujuan untuk :

1. Supositoria dipakai untuk pengobatan lokal, baik di dalam rectum,


vagina, atau uretra, seperti pada penyakit haemorroid / wasir / ambeien,
dan infeksi lainnya.
2. Cara rectal juga digunakan untuk distribusi sistemik, karena dapat
diserap oleh membran mukosa dalam rectum.
3. Jika penggunaan obat secara oral tidak memungkinkan, misalnya pada
pasien yang mudah muntah atau pasien yang tidak sadarkan diri.
4. Aksi kerja awal akan cepat diperoleh, karena obat diabsorpsi melalui
mukosa rectum dan langsung masuk dalam sirkulasi darah.
5. Agar terhindar dari perusakan obat oleh enzim di dalam saluran
gastrointestinal dan perubahan obat secara biokimia di dalam hati.

E. Penggolongan Suppositoria

1. Penggolongan suppositoria berdasarkan tempat pemberiannya :

a. Suppositori rectal
Suppositoria untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu atau kedua
ujungnya dan biasanya berbobot lebih kurang 2 gram. (Ansel, 1989)

b. Suppositoria vaginal

Suppositoria vaginal umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan


berbobot lebih kurang 5,0 g dibuat dari zat pembawa yang larut
dalam air atau yang dapat bercampur dalam air seperti polietilen
glikol atau gelatin tergliserinasi. (Ansel, 1989)

c. Suppositoria Uretra

Suppositoria uretra adalah suppositoria untuk saluran urine yang

juga disebut “bougie”. Bentuknya ramping seperti pensil, gunanya

untuk dimasukkan ke dalam saluran urine pria atau wanita.


Suppositoria saluran urin pria berdiameter 3- 6 mm dengan panjang

± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan yang

lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4 gram.

Suppositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari

ukuran untuk pria bila oleum cacao basisnya. (Ansel, 1989)

d. Suppositoria untuk hidung dan untuk telinga Suppositoria untuk

hidung dan telinga disebut juga “kerucut telinga”, keduanya

berbentuk sama dengan suppositoria uretra hanya ukuran panjangnya

lebih kecil, biasanya 32 mm. Suppositoria telinga umumnya diolah

dengan basis gelatin yang mengandung gliserin. (Ansel, 1989)

F. Basis Suppositoria
Sediaan supositoria ketika dimasukkan dalam lubang tubuh akan

melebur, melarut dan terdispersi. Dalam hal ini, basis supositoria memainkan

peranan penting. Maka dari itu basis supositoria harus memenuhi syarat utama,

yaitu basis harus selalu padat dalam suhu ruangan dan akan melebur maupun

melunak dengan mudah pada suhu tubuh sehingga zat aktif atau obat yang

dikandungnya dapat melarut dan didispersikan merata kemudian menghasilkan

efek terapi lokal maupun sistemik. Basisp suppositoria yang ideal juga harus

mempunyai beberapa sifat seperti berikut :

a. Tidak beracun dan tidak menimbulkan iritasi.


b. Dapat bercampur dengan bermacam-macam obat.
c. Stabil dalam penyimpanan, tidak menunjukkan perubahan warna dan bau
serta pemisahan obat.
d. Kadar air mencukupi.
e. Untuk basis lemak, maka bilangan asam, bilangan iodium dan bilangan
penyabunan harus diketahui jelas. (Syamsuni, 2007)
G. Persyaratan Basis Suppositoria
Beberapa persyaratan basis suppositoria adalah :

a. Secara fisiologi netral (tidak menimbulkan rangsangan pada usus, hal ini
dapat disebabkan oleh massa yang tidak fisiologis ataun tengik, terlalu
keras, juga oleh kasarnya bahan obat yang diracik)
b. Secara kimia netral (tidak tersatukan dengan bahan obat)
c. Tanpa alotropisme (modifikasi yang tidak stabil)
d. Interval yang rendah antara titik lebur dan titik beku (pembekuan dapat
berlangsung cepat dalam cetakan, kontraksibilitas baik, mencegah
pendinginan mendaak dalam cetakan)
e. Interval yang rendah antara titik lebur mengalir denagn titik lebur jernih
(ini dikarenakan untuk kemantapan bentuk dan daya penyimpanan,
khususnya pada suhu tinggi sehingga tetap stabil). (Ansel, 1989)
H. Penggolongan suppositoria berdasarkan basisnya
a. Suppositoria basis dasar lemak coklat (Oleum cacao)

Lemak coklat merupakan trigliserida, berwarna kekuningan , bau yang


0
khas. Jika dipanasi sekitar 30 mulai mencair, dan pada suhu dibawah 300
merupakan masa semi padat. Jika tentang suppositoria yang harus dibuat
tidak dikatakan apa-apa yang penting maka suppositoria dibuat dengan
Oleum cacao boleh diganti dengan malam kuning atau unguentum simplex.
Selanjutnya Farmakope menyatakan, bahwa menurut sifatnya obat harus
dilarutkan atau dibagikan dalam air sebelum dicampurkan dengan oleum
cacao. (Ansel, 1989) Karena mudah berbau tengik, harus disimpan dalam
wadah atau tempat sejuk, kering, dan terlindung dari cahaya. Oleum cacao
dapat menunjukkan polimorfisme dari bentuk kristalnya pada pemanasan
tinggi. Di atas titik leburnya, oleum cacao akan meleleh sempurna seperti
minyak dan akan kehilangan inti kristal stabil yang berguna untuk
membentuk kristalnya kembali :

a. Bentuk α (alfa) : terjadi jika lelehan oleum cacao


b. tadi didinginkan dan segera pada 00C dan bentuk ini memiliki titik lebur
240C.
c. Bentuk β (beta) : terjadi jika lelehan oleum cacao
d. tadi diaduk-aduk pada suhu 180-230C dan bentuk ini memiliki titik lebur
280-310C.
e. Bentuk β stabil (beta stabil) : terjadi akibat perubahan bentuk secara
perlahan-lahan disertai kontraksi volume dan bentuk ini mempunyai titik
lebur 340-350C.
f. Bentuk γ (gamma) : terjadi dari pendinginan lelehan oleum cacao yang
sudah dingin (200C) dan bentuk ini memiliki titik lebur 180C. (Syamsuni,
2005)

Untuk menghindari bentuk-bentuk kristal tidak stabil diatas dapat


dilakukan dengan cara :

a. Oleum cacao tidak dilelehkan seluruhnya, cukup 2/3 nya saja yang
dilelehkan.

b. Penambahan sejumlah kecil bentuk kristal stabil kedalam lelehan oleum


cacao untuk mempercepat perubahan bentuk karena tidak stabil menjadi
bentuk stabil.

c. Pembekuan lelehan selama beberapa jam atau beberapa hari. (Syamsuni,


2005)

Keuntungan basis oleum cacao adalah :


1. Lemak coklat meleleh pada suhu tubuh dan tidak tercampurkan dengan
cairan tubuh, oleh karena itu dapat menghambat difusi obat yang larut
dalam lemak pada tempat yang diobati.
2. Lemak coklat jarang dipakai untuk sediaan vagina karena meninggalkan
residu yang tidak dapat terserap, sedangkan gelatin tergliserinasi jarang
dipakai untuk sediaan rectal karena disolusinya lambat. (Ansel, 1989)
Kerugian basis oleum cacao adalah :
a. Meleleh pada udara yang panas.
b. Dapat menjadi tengik pada penyimpanan yang lama.
c. Titik leburnya dapat turun atau naik jika ditambahkan bahan tertentu.
d. Adanya sifat polimorfisme.
e. Sering bocor (keluar dari rectum karena mencair) selama pemakaian.
f. Tidak dapat bercampur dengan cairan sekresi (Syamsuni, 2007).

b. Suppositoria dengan basis gelatin


Gelatin tidak tahan terhadap penghangatan dengan senyawa-senyawa yang

bereaksi asam, maka lebih baik obatnya kita larutkan dalam air yang

disisihkan. (Anonim,1979)

Keuntungan basis gelatin adalah :

1. Dapat memberikan efek yang lama.


2. Lebih lambat melunak.
3. Lebih mudah bercampur dengan cairan tubuh dibandingkan dengan oleum
cacao. (Ansel,1989)
Kerugian dari basis gelatin adalah :

1. Cenderung menyerap uap air karena sifat gelatin yang menyerap uap air
yang higroskopis yang dapat menyebabkan dehidrasi atau iritasi jaringan.
2. Memerlukan tempat untuk melindungi diudara lembab agar bentuk dan
konsistensinya terjaga. (Ansel, 1989)

c. Suppositoria dengan basis PEG


P.E.G adalah Polyaethylenglycolum merupakan polimerisasi etilenglikol

dengan berat molekul 300 – 6000. P.E.G dibawah 1000 adalah cair sedangkan

diatas 1000 adalah padat lunak seperti malam. Keuntungnnya dari bahan dasar

P.E.G adalah mudah larut dalam cairan dalam rektum, dan tidak ada modifikasi

titik lebur yang berarti tidak mudah meleleh pada penyimpanan suhu kamar.

(Syamsuni, 2007)

Beberapa keuntungan PEG sebagai basis suppositoria adalah :

a. Tidak mengiritasi atau merangsang.


b. Dapat disimpan diluar lemari es.
c. Tidak ada kesulitan dengan titik leburnya, jika dibanding oleum cacao.
d. Tetap kontak dengan lapisan mokosa karena tidak meleleh pada suhu tubuh.
(Syamsuni, 2007)

Kerugian PEG sebagai basis suppositoria adalah :


a. Menarik cairan dari jaringan tubuh setelah dimasukkan, sehingga terjadi rasa

yang menyengat. Hal ini dapat diatasi dengan cara mencelupkan Suppositoria

ke dalam air sebelum digunakan. Pada etiket Supositoria ini harus tertera

petunjuk " Basahi dengan air sebelum digunakan " .

b. Dapat memperpanjang waktu disolusi sehingga menghambat pelepasan obat.


(Syamsuni, 2007)
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan


Alat :

a. Timbangan
b. Gelas beaker
c. Hot plate
d. Aluminium foil
e. Batang pengaduk
f. Cawan porselen
g. Cetakan suppositoria
h. Thermometer
i. Lumpang alu

Bahan :

a. Theofilin
b. Cera Alba
c. Oleum Cacao (Lemak coklat)

B. Prosedur Kerja
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Ditimbang zat aktif theofilin 1 gram, ditambahkan 1/3 oleum cacao lalu
digerus ad homogen (campuran I)
3. Ditimbang cera alba lalu dilebur di atas penangas air
4. Dimasukkan oleum cacao pada leburan cera alba diatas penangas air,
diaduk ad homogen (campuran II)
5. Ditambahkan campuran I lalu diaduk ad homogen
6. Diolesi cetakan suppositoria dengan menggunakan gliserin agar
suppositoria tidak melekat pada cetakan saat pendinginaan
7. Diaduk massa suppositoria secara konstan dan dituang kedalam cetakan
melalui dinding cetakan secara kontinyu untuk menghindari masuknya
udara yang menyebabkan terbentuknya alur-alur pada suppositoria dingin.
Lalu diratakan dengan sudip
8. Dinginkan sekitar 15-20 menit, dikeluarkan dari cetakan lalu dikemas
dengan aluminium foil
9. Diberi etiket dan brosur
10. Disimpan pada suhu dingin
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Dik:

1. Basis 100% = 2.7047 gram


2. Basis + zat aktif 10% = 2.6149 gram
Jawab:
10
 10% Zat Aktif = 100x2.6149 gram

= 0.26149 gram

 90% Basis = 2.6149 gram – 0.26149 gram


= 2.35751 gram

 Basis = 2.7047 gram – 2.35751


= 0.34719 gram

 Perbandingan = Zat Aktif : Basis


0.26149 gram : 0.34719 gram

 Basis yang tergantikan


0.34719 𝑔𝑟𝑎𝑚 0.26149 𝑔𝑟𝑎𝑚
=
1 𝑥

x = 0.753 gram

1 gram Theofilin0.753 gram Basis

 Basis yang diperlukan= 2.6149 gram – 0.753 gram


= 1.8619 gram
60
 Basis lemak coklat = 𝑥 1.8619 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 1.11714 𝑔𝑟𝑎𝑚
100
40
 Basis Cera Alba = 100 𝑥 1.8619 𝑔𝑟𝑎𝑚 = 0.74476 𝑔𝑟𝑎𝑚

Yang harus ditimbang :

 Lemak coklat = 4 x 1.11714 gram = 4.46856 gram


 Cera alba = 4 x 0.74476 gram = 2.97904 gram
B. Pembahasan

Praktikum ini dilakukan pembuatan sediaan suppositoria teofilin yang


dewasa. Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan
tahap preformulasi sediaan suppositoria teofilin, mengetahui formula standar
sediaan suppositoria teofilin, mengetahui tahapan-tahapan dalam pembuatan
sediaan suppositoria teofilin, dan dapat membuat sediaan suppositoria teofilin.
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang
umumnya diberikan melalui rektal, vaginal, atau uretra. Umumnya meleleh,
melunak, atau melarut pada suhu tubuh (Depkes RI, 1995).

Sediaan suppositoria yang dibuat pada praktikum ini menggunakan zat


aktif teofilin sebagai relaksan otot polos bronkodilator untuk menghilangkan
asma. Suppositoria memiliki beberapa keuntungan yaitu dapat menghindari
terjadinya iritasi pada lambung, dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim
pencernaan dan asam lambung, dan baik bagi pasien yang mudah muntah atau
tidak sadar (Syamsuni, 2007). Ketika pengobatan secara peroral diketahui
dapat menimbulkan efek samping yang tidak dapat dikehendaki dan efek
samping yang merugikan, maka pemberian obat secara parenteral mulai
dikembangkan (Anief, 1997).

Bentuk sediaan ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan


dengan penggunaan secara peroral, yaitu tidak menyebabkan rasa yang tidak
enak, dapat menghindari terjadinya iritasi lambung, mudah dipakai terutama
untuk penderita yang tidak dapat memakai obat secara oral, juga untuk anak-
anak yang sulit menelan. Selain itu obat yang diabsorpsikan melalui rektum
dapat melalui hati sebelum masuk kedalam sirkulasi sistemik sehingga
mengalami perombakan efek lintas pertama (Anief, 1997:158). Teofilin
memiliki sifat organoleptis yaitu memiliki rasa yang pahit sehingga akan sulit
untuk menutupi rasa yang tidak enak pada pemberian oral.

Pada formulasi suppositoria teofilin ini digunakan basis


berlemak/berminyak yang umum digunakan dalam formulasi supositoria yaitu
basis lemak coklat (oleum cacao) dan cera alba dengan perbandingan 60:40.
Zat aktif yang digunakan dalam satu suppositoria yaotu sebanyak 1 gram.
Untuk sediaan rektal, basis atau bahan dasar harus dapat melarut atau melebur
dengan mudah pada suhu tubuh sehingga obat yang dikandungnya dapat
sepenuhnya lepas dari basis setelah dimasukkan ke dalam rectum dan dapat
segera memberikan efek yang diinginkan. Efek ini dapat berupa efek local
maupun efek sistemik (Ansel, 1989:576).

Basis lemak coklat (oleum cacao) melebur cepat pada suhu tubuh, dan
merupakan basis yang paling baik, disebabkan oleh aksi emolien, penyejuk,
dan penyebarannya. Oleum cacao secara kimia adalah trigliserida (campuran
gliserin dan satu atau lebih asam lemak yang berbeda). Karena oleum cacao
meleleh antara 30° C sampai 36° C, merupakan basis suppositoria yang ideal,
yang dapat melumer pada suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk
padat pada suhu kamar biasa. Akan tetapi oleh karena kandungan
trigliseridanya oleum cacao menunjukkan sifat polimorfisme, atau keberadaan
zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Oleh karena itu bila oleum cacao
tidak hati-hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu minimumnya, lalu
segera didinginkan, maka hasilnya berbentuk kristal metastabil (suatu bentuk
kristal) dengan titik lebur yang rendah dari titik lebur oleum cacao aslinya.
Oleum cacao harus melebur perlahan-lahan tapi pasti lebih baik bila di atas
penangas air berisi air hangat, untuk menghindari terjadinya bentuk kristal
yang tidak stabil. (Ansel, 2008:581)

Malam putih atau cera alba adalah bentuk malam lebah (beeswax) yang
diputihkan secara kimiawi. Malam putih digunakan untuk menyesuaikan titik
peleburan suppositoria. Malam putih juga digunakan dalam sistem pelepasan
terkontrol. (Arthur H. Kibble, 2000 :595). Penambahan cera alba pada basis
suppositoria oleum cacao dapat mempengaruhi kenaikan titik lebur oleum
cacao dan mengimbangi pengaruh pelunakan dari bahan yang ditambahkan.
Penambahan cera alba tidak boleh mengganggu efek terapi dan mengubah
khasiat dan produknya. (Ansel, 2008:583).

Pada pembuatan suppositoria di praktikum kali ini, metode yang


digunakan untuk membuat suppositoria adalah metode cetak tuang. Metode ini
sering digunakan pada pembuatan suppositoria baik skala kecil maupun skala
industri. Cetakan yang digunakan biasanya dipisah dalam sekat-sekat,
umumnya dapat dibuka secara membujur. Pada waktu leburan dituangkan
cetakan ditutup dan dapat dibuka lagi saat akan mengeluarkan suppositoria
yang telah dingin (Ansel, 2008). Langkah-langkah dalam metode pencetakan
termasuk: melumasi cetakan, melebur basis, mencampurkan bahan obat
teofilin, menuang hasil leburan ke dalam cetakan, dan mengeluarkan
suppositoria dari cetakan setelah dingin. Cetakan suppositoria memerlukan
pelumasan sebelum leburan dituangkan ke dalamnya, supaya bersih dan
memudahkan terlepasnya suppositoria dari cetakan. Sebenarnya pelumasan
jarang diperlukan bagi suppositoria dengan basis oleum cacao karena bahan
ini cukup menciut begitu dingin dalam cetakan, sehingga akan terlepas dari
permukaan cetakan dan mudah dikeluarkannya (Ansel, 2008:585)

Setelah itu dilakukan kalibrasi cetakan yaitu membuat dan mencetak


suppositoria dari basis saja. Cetakan dikeluarkan dari cetakan rata-ratanya
(bagi pemakaian basis tertentu). Untuk menentukan volume cetakan
suppositoria tadi lalu dilebur dengan hati-hati dalam gelas ukur dan volume
leburan ini ditentukan untuk keseluruhan dan rata-ratanya. Selanjutnya untuk
menentukan jumlah basis dalam pembuatan suppositoria yang menggunakan
obat membutuhkan langkah-langkah yaitu ditimbang basis 100% (oleum
cacao 60% dan cera alba 40%) dan ditimbang bahan aktif 10% dan basis 90%
sesuai perhitungan untuk membuat perbandingan zat aktif : basis yang
masing-masing kemudian dileburkan dalam cawan di atas penangas air berisi
air hangat lalu dimasukkan ke cetakan (akan ada sisa) . Kemudian setelah
dingin dikeluarkan, keduanya ditimbang dan dihitung hingga didapatkan
bobot total basis yang dibutuhkan (ditimbang dari sisa basis yang ada).

Setelah basis suppositoria yang dibutuhkan ditimbang, lalu dilebur di atas


penangas air. Bahan obat teofilin ditambahkan dengan cara mencampurnya
bersama basis saat dileburkan. Karena teofilin tidak bisa larut dalam campuran
tersebut disebabkan oleh berat jenisnya yaitu 198,18 g/cm³ yang lebih besar
dari berat jenis basis lemak coklat yaitu 0,975 g/cm³ dan cera alba 0,96 g/cm³
sehingga cenderung untuk mengendap, dilakukan pengadukan terus-menerus,
ketika menuangkan pun harus diaduk, bila tidak maka lubang/celah cetakan
terakhir akan mendapatkan bagian yang tidak seimbang dari bahan yang sukar
larut tadi. Untuk menjamin celah-celah cetakan ini terisi penuh begitu isinya
membeku, maka leburan tadi harus dituangkam sedikit berlebihan melebihi
permukaan cetakan. Begitu mengeras, kelebihan bahan dibersihkan dari
permukaan cetakan dengan menggunakan spatel. Kemudian belahan cetakan
dilepaskan dari yang lainnya dan suppositoria dikeluarkan pelan-pelan.
Suppositoria yang telah dikeluarkan dibungkus dengan alumunium foil.
Pengemasan dengan alumunium foil diusahakan sesuai dengan bentuk
suppositoria karena bila selama penyimpanan suppositoria sedikit meleleh
maka bentuknya akan menyesuaikan dengan bentuk wadahnya (Lachman et
al, 2008) dan dikemas dalam kotak dorong (slide box). Karena suppositoria
tidak tahan pengaruh panas, maka perlu menjaga dalam tempat yang dingin.
Suppositoria basis oleum cacao harus disimpan di bawah 30° F, kering,
terlindung dari cahaya dan akan lebih baik bila disimpan dalam kemari es.
(Ansel, 2008:592)

Dosis yang dibuat dalam satu suppositoria pada praktikum ini adalah 1
gram, yang mana melebihi dosis seharusnya untuk sediaan suppositoria untuk
teofilin yaitu 125 mg, 250 mg, dan 500 mg. Selain itu penggunaan cera alba
pada praktikum ini adalah 40%, yang mana melebihi konsentrasi maksimal
menurut HoPE edisi 6 yaitu 1-20%.

Setelah itu dilakukan uji organoleptis pada sediaan suppositoria yang


telah dibuat. seperti bau, warna dan visualnya. Hasil yang didapat adalah
berbau coklat karena basis yang digunakan adalah oleum cacao 60% dan cera
alba 40%. Suppositoria yang dihasilkan memiliki warna kekuningan karena
warna dari basisnya. Selain itu secara visual bentuknya adalah torpedo untuk
mempermudah dalam pemakaiannya, dan permukaanya halus dan rata.
BAB V

KESIMPULAN

1. Metode yang digunakan untuk membuat suppositoria adalah metode cetak

tuang.

2. Zat aktif yang digunakan dalam satu suppositoria yaotu sebanyak 1 gram

dengan perbandingan basis lemak coklat (oleum cacao) dan cera alba 60:40.

3. Pengemasan dengan alumunium foil diusahakan sesuai dengan bentuk

suppositoria karena bila selama penyimpanan suppositoria sedikit meleleh

maka bentuknya akan menyesuaikan dengan bentuk wadahnya.

4. Suppositoria yang dihasilkan berbau coklat karena basis yang digunakan

adalah oleum cacao 60% dan cera alba 40%.

5. Suppositoria yang dihasilkan memiliki warna kekuningan karena warna dari

basisnya.

6. Secara visual bentuknya adalah torpedo untuk mempermudah dalam

pemakaiannya, dan permukaanya halus dan rata.


DAFTAR PUSTAKA

Anief., M. 1997. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Anief., M. 2006. Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Terjemahan) Farida


Ibrahim, Edisi IV. Jakarta: UI Press.

Arthur, H. Kibbe. 2000. Handbook of Pharmaceutical Excipients, edisi III.,


Wilkes Barre, Pennsylvania, American Pharmaceutical Association.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.

Lachman L., H.A. Lieberman, J.L. Kanig. 2008. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Jakarta: UI Press.

Syamsuni, H.. 2005. Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

Syamsuni. 2007. Ilmu Resep. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

http://blog.ub.ac.id/diithavidyan/2012/05/04/cera-flava-dan-cera-alba/

Anda mungkin juga menyukai