Anda di halaman 1dari 19

MATERI PENYULUHAN:

TUBERKULOSIS KUTIS VERUKOSA

Dosen Pembimbing:
dr. Lukman A., M.Sc, Sp.KK

Penyusun:
Kelompok DM 43H

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
RSAL Dr. RAMELAN
SURABAYA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

Materi penyuluhan:
Tuberkulosis Kutis Verukosa

Materi penyuluhan dengan judul “Tuberkulosis Kutis Verukosa”


telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu tugas baca dalam rangka
menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter Muda di Bagian Ilmu Kesehatan
kulit dan kelamin di RSAL Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 16 Desember 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Lukman A., M.Sc, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan materi penyuluhan dengan judul
“Tuberkulosis Kutis Verukosa”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Lukman A., M.Sc, Sp.KK selaku pembimbing yang telah membantu dalam
penyelesaian materi penyuluhan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam pengerjaan materi penyuluhan
ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Akhir kata,
semoga materi penyuluhan ini dapat berguna bagi banyak orang dan dapat
digunakan sebagaimana mestinya.

Surabaya, 16
Desember 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................................... 2
KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... 3
DAFTAR ISI ..................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN............................................................................................................................. 5
DEFINISI .......................................................................................................................................... 6
EPIDEMIOLOGI .............................................................................................................................. 6
ETIOPATOGENESIS ....................................................................................................................... 7
MANIFESTASI KLINIS .................................................................................................................. 8
PEMERIKSAAN PENUNJANG ...................................................................................................... 8
DIAGNOSIS BANDING ................................................................................................................ 13
PENATALAKSANAAN ................................................................................................................ 13
PROGNOSIS .................................................................................................................................. 16
KOMPLIKASI ................................................................................................................................ 16
KESIMPULAN ............................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 18

4
TUBERKULOSIS KUTIS VERUKOSA

PENDAHULUAN

Tuberkulosis kutis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis dan bisa juga akibat vaksin
Bacillus Calmette Guerin (BCG).1 Tuberkulosis kutis terjadi akibat penjalaran
langsung dari organ dibawahnya yang telah dikenai penyakit tuberkulosis,
hematogen, limfogen, dapat juga autoinokulasi atau melalui kulit yang telah
menurun resistensi lokalnya.2-4
Di Negara beriklim dingin seperti di Eropa bentuk yang paling sering
terdapat adalah Lupus Vulgaris, sedangkan di India bentuk yang tersering
dijumpai adalah skrofuloderma, disusul oleh lupus vulgaris dan tuberkulosis kutis
verukosa. Di Indonesia skrofuloderma merupakan bentuk tersering (84%) disusul
dengan tuberkulosis kutis verukosa (13%), sedangkan bentuk-bentuk yang lain
jarang ditemukan. 2-4
Tuberkulosis kutis verukosa merupakan tuberkulosis kutis sejati sekunder
yang terjadi akibat inokulasi eksogen atau autoinokulasi dari sputum penderita
tuberkulosis paru aktif pada kulit yang terkena trauma. Oleh karena itu sering pada
daerah terpajan biasanya pada tungkai bawah dan kaki. 5-7
Gambaran klinisnya khas sekali, biasanya berbentuk bulan sabit akibat
penjalaran secara serpiginosa yang berarti penyakit menjalar ke satu jurusan
diikuti penyembuhan di jurusan yang lain. Ruam terdiri dari papul-papul lentikuler
diatas kulit yang eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat sikatriks. Kecuali
menjalar secara serpiginosa juga dapat menjalar ke perifer sehingga terbentuk
sikatriks di tengah. 2,4
Pengobatan Tuberkulosis kutis pada prinsipnya sama dengan pengobatan
tuberkulosis paru yaitu menggunakan kombinasi obat anti tuberkulosis. Obat anti
tuberkulosis yang beredar di Indonesia adalah Rifampisin (R), INH (H),
Pyrazinamid (Z), Sterptomisin (S) yang bersifat bakterisidal sedangkan yang
bersifat bakteriostatik adalah etambutol(E). 2 Pengobatan tuberkulosis kutis sesuai
dengan yang dianjurkan oleh WHO 1997 dan International Union Agains

5
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) yaitu dengan pemberian 2 RHZ untuk
tahap intensif dan 4RH atau 4R3H3 atau 6 HE untuk tahap lanjutan. 8
Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai penyakit TB kutis
verukosa dalam hal etiopatogenesis, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis,
pemeriksaan penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan, prognosis dan
komplikasi sehingga dapat dikenali secara dini dan didiagnosis serta ditatalaksana
dengan cepat dan akurat.

DEFINISI

Tuberkulosis kutis verukosa merupakan tuberkulosis kutis sejati sekunder


yang terjadi akibat inokulasi eksogen atau autoinokulasi dari sputum penderita
tuberkulosis paru aktif pada kulit yang terkena trauma.6,7 Tuberkulosis kutis
verukosa merupakan kelainan pausibasiler yang disebabkan oleh infeksi
ulang/inokulasi eksogen pada individu dengan imunitas baik yang pernah
tersensitisasi sebelumnya.9

EPIDEMIOLOGI

Sebanyak 14% dari kasus tuberkulosis merupakan kasus tuberkulosis


ekstra paru, dimana 1-2% nya melibatkan kulit.6,7. Di daerah tropis,
skrofuloderma dan tuberkulosis kutis verukosa sering terjadi dibandingkan lupus
vulgaris. Di Indonesia, skrofuloderma merupakan bentuk tersering (84%) disusul
dengan tuberkulosis kutis verukosa (13%), sedangkan bentuk-bentuk yang lain
jarang ditemukan.2,3,4 Tuberkulosis kutis verukosa lebih sering terjadi pada pria.
Kelompok yang rentan terkena tuberkulosis kutis verukosa adalah anak-anak yang
sering bermain pada tanah yang terkontaminasi serta petugas kesehatan yang
menangani bahan-bahan infeksius seperti sputum.9

6
ETIOPATOGENESIS

Micobacterium tuberculosis merupakan penyebab tuberkulosis kutis yang


paling sering. Micobacterium Bovis dan Bacillus Calmette Guerin (BCG) juga
dapat menyebabkan lesi pada kulit.10 Mycobacterium tuberculosis merupakan
bakteri yang kecil, non motil, aerobik, berbentuk batang dengan filamen non
spora, panjang sekitar 1-10 μm dan lebar sekitar 0,2-0,6 μm.11 Bakteri ini
merupakan basil tahan asam, dan dindingnya dilapisi oleh lemak yang
membuatnya resisten terhadap degradasi setelah proses fagositosis.10
Tuberkulosis dapat menyebar melalui droplet dan ludah. Penularan dapat terjadi
melalui proses pernapasan, pencernaan, dan inokulasi. Kulit yang intak dapat
menjadi penghalang masuknya infeksi bakteri ke dalam tubuh, namun kerusakan
yang terjadi pada mukokutan dapat memfasilitasi masuknya bakteri. Ketika
bakteri menginvasi tubuh, terjadi interaksi antara limfosit T dan antigen
mikobakterium pada permukaan Antigen-Presenting Cells (APC) sehingga
menginduksi pelepasan limfokin, interleukin, dan interferon. Subtansi ini akan
memicu aktivasi dan ekspresi dari antigen Major Histocompatibility Complex
(MHC) kelas II seperti interleukin 2 (IL-2) pada limfosit T. Makrofag akan
berakumulasi dan membentuk granuloma. Selama fase sensitisasi, sel T memori
akan dihasilkan dan berada di organ limfoid dan sirkulasi selama beberapa
tahun.10
Saat host kontak pertama kali dengan bakteri dan agregatnya, timbul
proses imunoalergik yang berbeda-beda pada setiap orang.12 Pada pasien yang
tersensitisasi antigen mikobakterium, tingkat imunitas sel host, rute infeksi, dan
patogenitas mikobakterium dapat mempengaruhi hasil infeksi.10 Penyebaran
mikobakterium dapat terjadi melalui jalur eksogen, endogen, hematogen, dan
tuberkulid.13
Pada tuberkulosis kutis verukosa, penyebaran terjadi secara eksogen,
dimana penyebaran eksogen terjadi setelah inokulasi langsung M.tuberculosis ke
kulit yang diduga terdapat infeksi. Oleh karena itu, tuberkulosis kutis verukosa
sering ditemukan pada daerah terpajan biasanya pada tungkai bawah dan kaki.
Berdasarkan banyaknya bakteri tahan asam yang ditemukan melalui mikroskop

7
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen, tuberkulosis kutis verukosa digolongkan
sebagai tuberkulosis kutis pausibasiler karena jarang ditemukan basil tahan asam
dan mikroorganisme sangat sulit diisolasi.14

MANIFESTASI KLINIS

Lesi tuberkulosis ini biasanya terjadi pada tangan, atau pada anak, pada
ektremitas bawah dengan papul asimtomatik atau papulopustul dengan halo yang
berwarna keunguan. Berbentuk hiperkeratosis dan sering salah diagnosis dengan
veruka pada umumnya. Pertumbuhan lesi lambat dan melebar ke pinggir
membentuk plak verukosis dan batas ireguler. Adanya fisura yang mengeluarkan
pus sampai dasar infiltrat yang berwarna merah kecokelatan hingga merah
keunguan. Lesi biasanya soliter, tapi dapat juga multipel. Kelenjar limfe regional
jarang terlibat. Lesi berkembang lambat, jika tidak diobati akan bertahan sampai
tahunan.9

Gambar 1. TB kutis verukosa13,15

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Terdapat beberapa pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan


diagnosis tuberkulosis kutis, akan tetapi kriteria absolut diagnosis tuberkulosis
kutis ini ialah kultur positif M.tuberculosis dari lesi, atau identifikasi DNA
mikrobakterium dengan menggunakan PCR. Kriteria diagnosis lainnya
ialah; adanya lesi tuberkulosis yang aktif pada bagian tubuh mana saja,
terdapatnya basil tahan asam di lesi (akan tetapi hal ini juga dapat terjadi

8
pada infeksi mikobakterium lainnya), pemeriksaan histopatologi, reaksi
positif terhadap tes tuberkulin, terdapat riwayat klinis dan pemeriksaan
fisik.16

Tuberculin Skin Test (TST)


Tes tuberkulin atau Mantoux ialah inokulasi intradermal dari purified
protein derivative (PPD) M.tuberculosis yang menguji respon imum seluler
tubuh terhadap agen ini.1 Pertama kali dikembangkan oleh Florence Siebert
pada tahun 1993. PPD terdiri dari protein yang paling banyak, dan terdapat juga
o
polisakarida dan beberapa lemak. Agen ini harus disimpan pada suhu 4-8 C,
sehingga tuberculin dapat tetap aktif selama 6 bulan.1
TST dapat mengidentifikasi individu yang terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis. Tes ini positif dalam waktu 2-10 minggu setelah injeksi. Tes ini
dilakukan dengan cara melakukan injeksi intradermal material) di bagian
anterior lengan bawah kiri, dengan dosis 0,1 ml, mengandung 5 UT (units of
tuberculin). Pembacaan hasil dilakukan setelah 48-72 jam ketika ukuran
undurasi dapat dihitung. 13,17

Gambar 2. TST positif15

Indurasi yang berukuran 5 mm atau lebih dinilai positif pada pasien HIV,
pasien dengan resiko tinggi menderita TB (misalnya terdapat riwayat kontak
dengan penderita TB), atau pada pasien yang temuan radiologisnya

9
menunjukkan TB sembuh, dan pada anak-anak yang rentan menderita TB.13
Indurasi yang berukuran lebih dari 10 mm, dikatakan positif pada pengguna
obat-obatan injeksi, pasien HIV, pada mereka yang lahir di negara dengan
prevalensi TB yang tinggi, pegawai dan staff yang bekerja d lingkungan dengan
resiko tinggi TB, dan pada orang yang memiliki kondisi medis yang merupakan
predisposisi TB. Indurasi yang berukuran 1-4 mm dikatakan negatif.13
Reaksi negatif palsu dapat terjadi pada anak-anak dibawah 2 bulan, ibu
hamil, pasien dengan diabetes, gagal ginjal, atau imunitas sel yang terganggu.
Positif palsu dapat terjadi pada orang yang telah divaksin, sebagian anak diatas
umur 1 tahun, dan infeksi yang bersamaan dari mikrobakterium atipikal.18 Pada
TB kutis, sensitifitas dari TST ialah antara 33-96% dan spesifisitasnya sebesar
62,5% dengan batas indurasi 10 mm. pada populasi yang belum pernah
mendapatkan vaksin, sensitifitasnya lebih tinggi, yaitu sebesar 97%.18

Pewarnaan Bakteri Tahan Asam (BTA) dari kulit


Teknik pewarnaan ini memberikan hasil yang lebih cepat dibandingkan
dengan biakan bakteri. Pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan asam
Ziehl-Neelsen. Prinsip pewarnaan ini adalah memberikan warna merah pada
bakteri tahan asam. Bakteri tahan asam memiliki kandungan senyawa dari
peptidoglikan dan lipid kompleks yang disebut asam mycolat yang membangun
struktur dinding selnya, sehingga impermiabel terhadap bermacam prosedur
pewarnaan. Bakteri ini resisten terhadap dekolorisasi dengan alkohol. Jika
ditemukan hasil yang basah dan eksudat pada lapangan pandang menunjukkan
bahwa terdapat banyak bakteri, dapat terjadi pada TB kutis primer,
skrofuloderma, TB orifisialis, atau TB abses metastatis. Hasil positif bila
ditemukan 100 bakteri per millimeter. Hasil pemeriksaan bakteri tahan asam ini
mengklasifikasikan TB kutis menjadi tipe multibasiler dan pausibasiler.
Kasus dengan jumlah bakteri sedikit, sering ditemukan hasil negatif. Hasil
negatif pada pemeriksaan ini tidak menyingkirkan diagnosis TB kutis.18

10
Gambar 3. M. tuberculosis12

Biakan atau kultur M. tuberculosis


Biakan atau kultur merupakan gold standard dalam menentukan adanya
infeksi aktif dari TB, sekaligus menemukan subspesies mikobakterium dan
menentukan antibiotik yang cocok. Sensitifitas biakan lebih rendah dibandingkan
spesifisitasnya, dengan persentase masing-masing 80-85% dan 98,5% pada TB
paru. Jika biakan didapat dari kulit semata, maka sensitifitasnya semakin
menurun, sekitar 23%. Penggunaan media biakan radiometrik dapat
meningkatkan nilai positif sekitar 75% untuk kasus tuberkulosis kutis, namun
media biakan ini tidak dapat diakses semua orang. Media yang biasa digunakan
pada biakan tuberkulosis adalah media padat: Lowenstein-Jensen dan Ogawa-
Kudoh. Waktu yang diperlukan untuk melihat adanya bakteri adalah sekitar 14-
30 hari, dan bisa lebih lama sampai 8 minggu.18
Petumbuhan kuman Mycobacterium sangat lambat, waktu pembelahan
adalah 12-18 jam dengan suhu pertumbuhan optimum 370C. Kuman dapat
tumbuh pada media buatan yang sederhana, tapi pertumbuhan kuman yang
diisolasi dari bahan klinik membutuhkan media kompleks. Pada perbenihan,
pertumbuhan tampak setelah 2-3 minggu, membentuk koloni cembung, kering,
warna kuning gading.22

Pemeriksaan Histopatologi
Semua presentasi klinis tuberkulosis kulit menunjukkan gambaran
histologis yang mirip, terdiri dari limfosit, histiosit epiteloid, dan giant cell.

11
Perbedaan histologi tersebut diakibatkan oleh variasi dari kemampuan host
dalam membentuk proses granuloma. Secara umum, histologi tuberkulosis kutis
dibagi menjadi 3 kelompok: granuloma well-formed dengan tidak adanya
nekrosis kaseosa, granuloma intermediate-formed dengan nekrosis kaseosa, dan
granuloma dengan nekrosis kaseosa.8
Tuberkulosis kutis verukosa termasuk pada kelompok granuloma
intermediate-formed dengan nekrosis kaseosa, dengan gambaran histologis
berupa hiperplasia pseudoepiteliomatous dengan tanda hiperkeratosis, infiltrat
inflamasi padat, dan abses pada dermis superfisialis atau pseudoepitelimatous rete
pegs. Sel epitel dan giant cell dapat ditemukan pada dermis bagian atas dan bagian
tengah. Tuberkel yang tipikal jarang ditemukan dan infiltratnya tidak spesifik.9

Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan ini bisa mendeteksi fragmen Deoxyribonucleic Acid (DNA)
Mycobacterium tuberculosis sehingga sangat cocok dipakai pada tuberkulosis
kutis dengan jumlah bakteri tahan asam sedikit yang tidak terdeteksi dengan
pemeriksaan mikroskop menggunakan pewarnaan Ziehl-Neelsen dan
pemeriksaan kultur. Pemeriksaan PCR juga cocok digunakan pada pasien
immuno-compromised (infeksi HIV). Pemeriksaan sangat spesifik sehingga
dapat membedakan antigen M. tuberculosis dengan mikobakterium lain.
Penggunaan PCR diutamakan sebagai pelengkap dari penilaian kilinikopatologis.
Pada tes ini sampel DNA M. tuberculosis diambil dari jaringan segar atau
darah.18 PCR menunjukkan sensitivitas dan spesifitas 100% pada multibasiler.
Sedangkan pada paucibasiler, menunjukkan seensitivitas dan spesifitas 55%.12

Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi mendeteksi antibodi yang terbentuk akibat infeksi
TB. Pemeriksaan QFT-G menggunakan antigen protein M.tuberculosis yaitu
ESAT-6 dan CFP-10. Pemeriksaan ini diukur kadar IFN-γ yang terbentuk setelah

12
16-24 jam sebagai respons terhadap antigen tersebut. Pemeriksaan lain lebih
sensitif adalah T-SPOTR yang mengukur IFN-γ yang diproduksi sel limfosit T.9

DIAGNOSIS BANDING

Tuberkulosis kutis verukosa didiagnosis banding dengan veruka, lupus


vulgaris hiperkeratotik, blastomycosis, dan liken planus hiperkeratotik.9

PENATALAKSANAAN

Pada umumnya penatalaksanaan pada tuberkulosis kutis sama dengan


penatalaksanaan tuberkulosis pada organ lain atau ekstra paru (kecuali
tuberkulosis meningoensefalitis).18,19 Penatalaksanaan yang dilakukan berupa
penatalaksaan umum dan khusus.

Tatalaksana Umum
Penatalaksanaan umum dari kasus tuberkulosis kutis adalah edukasi dan
evaluasi mengenai penyakit yang dideritanya. Pengobatan yang diberikan kepada
penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan
tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan
tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan. Penderita dievaluasi setiap 2 pekan pada 1 bulan
pertama. Evaluasi yang dilakukan berupa respon pengobatan dan ada tidaknya
efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. Evaluasi klinik
meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik, dan efek samping obat. Bila
pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping
obat.20
Evaluasi keteraturan berobat ialah diminum atau tidaknya obat tersebut.
Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai

13
penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan
lingkungan. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya resistensi.20

Tatalaksana Khusus
Topikal
Pada tuberkulosis kutis verukosa dapat diberikan terapi topikal berupa
kompres kalium permanganas 1/5000 apabila terdapat ulkus. Namun jarang
sekali terdapat ulkus pada penyakit ini, dan lesi umumnya dapat sembuh
sendiri.13
Sistemik
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobata tuberkulosis. Prinsip pengobatan tuberkulosis yang adekuat harus
memenuhi kriteria sebagai berikut: pengobatan diberikan dalam bentuk paduan
OAT yang tepat mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat, diawasi secara teratur sampai selesai
pengobatan, pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.21
Pengobatan tahap awal diberikan setiap hari dimaksudkan untuk secara
efektif menurunkan jumlah bakteri yang ada dalam tubuh pasien. Tahap awal ini
pasien diberikan obat setiap hari selama 2 bulan. Pengobatan tahap lanjutan
merupakan tahap yang penting untuk membunuh sisa bakteri yang masih ada
dalam tubuh khususnya bakteri persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Pada tahap ini obat diberikan 3 kali seminggu
selama 4 bulan.21

14
Tabel 1. Dosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa21
OAT Dosis
Harian 3x / minggu
Dosis Maksimum Dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300 10 ( 8-12) 900
Rifampisin (R) 10 ( 8-12) 600 10 ( 8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol (E) 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin (S) 15 (12-18) - 15 (12-18) 1000-
*pemberian streptomisin untuk pasien yang berumur >60 tahun atau pasien dengan berat
badan <50 kg

Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai rekomendasi WHO


dan ISTC) oleh program nasional Pengendalian Tuberkulosis adalah sebagai
berikut:21
Kategori 1 : 2(HRZE) / 4 (HR)3
Kategori 2 : 2 (HRZE) S / (HRZE) / 5 (HR)3E3
Kategori anak : 2 (HRZ) / 4 (HR) atau 2 HRZE(S) / 4-10 HR

Tabel 2. Dosis OAT-KDT Kategori 121


Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan Tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Untuk tatalaksana pasien tuberkulosis kutis ataupun semua tuberkulosis


ekstra pulmonal, digunakan dosis panduan OAT kategori 1. OAT disediakan
dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT) seperti pada Tabel 2.
Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet.
Dosinya disesuaikan dengan berat badan pasien. Untuk pasien anak, OAT-KDT
terdiri dari kombinasi 3 jenis obat dalam satu tablet. Tujuan dari OAT-KDT ini
adalah untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
pengobatan sampai tuntas.21

15
Tuberkulosis kutis verukosa dianggap sembuh apabila tidak dijumpai lagi
lesi serpeginosa, dijumpai jaringan parut (sikatriks) tidak eritematosa, dan laju
endap darah (LED) menurun dan normal kembali.2,7

PROGNOSIS

Prognosis dari penyakit tuberkulosis kutis bergantung pada status imun


host, tipe lesi, usia pasien, dan luas lesi. Prognosis juga dipengaruhi oleh
diagnosis yang cepat, tepat dan akurat. tuberkulosis kulit umumnya memberikan
respon baik dengan terapi kombinasi, respon klinis terjadi pada pekan ke 4 sampai
6.15

KOMPLIKASI

Tuberkulosis kutis verukosa yang tidak diterapi bertahun-tahun dapat


menyebabkan infeksi bakteri sekunder dan elephantiasis apabila lesi luas
mengenai ekstremitas.18

KESIMPULAN

Tuberkulosis kutis verukosa merupakan jenis tuberkulosis kulit kedua


terbanyak di Indonesia. Tuberkulosis kutis verukosa merupakan infeksi yang
disebabkan oleh M. tuberculosis complex, M. bovis, dan BCG yang bergantung
pada imunitas individu, faktor lingkungan, dan jenis inokulasi. Tuberkulosis kutis
verukosa merupakan kelainan pausibasiler yang disebabkan oleh infeksi
ulang/inokulasi eksogen pada individu dengan imunitas baik yang pernah
tersensitisasi sebelumnya.
Diagnosis tuberkulosis kutis verukosa dapat ditegakkan melalui gambaran
klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk menegakkan diagnosis ialah tes tuberkulin, pemeriksaan BTA, kultur,
histopatologi, serologis, dan PCR. Terapi tuberkulosis kutis verukosa
prinsipnya sama seperti terapi pada TB ekstra paru lainnya, yaitu

16
nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi farmakologis merupakan kombinasi
dari 4 macam obat anti tuberkulosis pada 2 tahap; tahap intensif dan lanjutan.
Prognosis tuberkulosis kutis verukosa biasanya baik dengan terapi yang adekuat.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Tappeiner G, Wolff K. Tuberculosis and other Mycobacterial Infection. In:


Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K et all editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
general medicine, 6th ed, New York; Mc Graw-Hill, 2003: 1933-46.
2. Djuanda A. Tuberkulosis kutis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Boediarja SA,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cetakan 4 edisi III. Jakarta: FKUI,
2002:62-70.
3. Ganda H. Tuberkulosis pada kulit. Dalam: Isa M, Soefyani A, Juwono O,
Budiarti LY, editor. Tuberkulosis Tinjauan Multidisiplin; 1st ed, Banjarmasin:
Pusat Studi Tuberkulosis FK Universitas Lampung Mangkurat, 2001:175-185.
4. Meltzer MS. Cutaneus Tuberculosis . Available at:
http://www.emedicine.com/derm/topic434
.htm
5. Hurwitz S. Bacterial Infection. In: Hurwitz, editor. Clinical pediatric
dermatology. 2nd ed. Philadelphia: WB Saundera Company, 1993: 295-97.
6. Moschella SL, Cropley TG. Mycobacterial Infections. In: Moschella SL, Hurley
HJ, editor. Dermatology. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 1077-96.
7. Handayani I, Sugito TL, Aisah S. Tuberkulosis Kutis Verukosa. Media Dermato-
Venereologica Indonesiana. 1999, Vol 26; 4: 183-86.
8. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Cetakan ke 5. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta, 2000:33-49.
9. Sethi, A. Tuberculosis and Infection with Athypical Mycobacteria. In: Wolff,
K; Goldsmith, LA; Katz, SI.Glichrest, BA; Paller, AM; Leffel, DJ, editors.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Vol. 2. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012. p. 2225-36.
10. Silva MR, Castro MCR. Mycobacterial Infections. In: Bolognia JL, Jorizzo
JL,Rapini RP, editors. Dermatology vol. 2. 2nd Ed. USA: Mosby Elsevier,
2008; p. 1114-19.

18
11. Santos JB, Ferraz CE, Silva PG, Figueirida AR, Oliveira MH, et al.
Cutaneous Tuberculosis: epidemiologic, etiopathogenic, clinical aspects-Part
I. An Bras Dermatol. 2014; 89(2): 219-28.
12. Nascimento,LV. Mycobacteria. In: Tyring SK, Lupi, Hengge UR,editors.
Tropical Dermatology. Philadelphia: Elsevier Inc. 2006. p.251-54.
13. James WD, Berger TG, Elston DM. Mycobacterial Disease In: Andrew's
Disease of the Skin Clinical Dermatology Edition. 11thed. New York:
Elsevier; 2011. p. 322-39.
14. Andriani, Putu Indah. Pendekatan Klinis Infeksi Tuberkulosis pada Kulit.
CDK-219,2014; 41(8): 584-8
15. Wolff Klaus, Johnson RA. Bacterial Infections Involving the Skin In:
Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New
York: McGraw-Hill. 2009. p. 671-76.
16. Yates VM. Mycobacterial Infections. In: Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C,editors. Rook's Textbook of Dermatology. 9th ed. Victoria:
Blackwell; 2016. p.27.5-32.
17. Dias MF, Quaresma MV, Nery JO, Filho FB, Nascimento LH, et al. Update
on Cutaneous Tuberculosis. An Bras Dermatol. 2014; 89(6): 925-38.
18. Santos JB, Ferraz CE, Silva PG, Figueirida AR, Oliveira MH, et al.
Cutaneous Tuberculosis: diagnosis, histopatology, and treatment-Part II. An
Bras Dermatol. 2014; 89(4): 545-55.
19. Bukhari, IA. Therapy of Cutaneous Manifestations of Tuberculosis in Saudi
Arabia. Expert Rev Dermatol. 2012; 7(5), 401–402.
20. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. 2010.
21. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Direktorat jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jakarta. 2014.
22. Ariami P, Diarti MW, Jiwintaningrum Y. Sensitivitas Media Ogawa dan
Media Lowenstein Jensen terhadap Hasil Pertumbuhan Kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Mataram. 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai