Anda di halaman 1dari 30

TINJAUAN PUSTAKA

Tatalaksana HIV/AIDS

Oleh :
Fathiyyah Mulyawati Hara, S.Ked.
H1AP14018

Pembimbing :
Dr. H. Zaini Dahlan, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR. M. YUNUS BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS
BENGKULU

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Fathiyyah Mulyawati Hara, S.Ked


NPM : H1AP14018
Fakultas : Kedokteran
Judul : HIV
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam
Pembimbing : dr. H. Zaini Dahlan, Sp.PD, FINASIM

Bengkulu, April 2019


Pembimbing

dr. H. Zaini Dahlan, Sp.PD, FINASIM

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tinjauan pustaka ini.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu komponen penilaian
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. M. Yunus, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. H. Zaini Dahlan, Sp.PD, FINASIM sebagai pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan,
petunjuk serta bantuan dalam penyusunan tugas ini.

2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual


kepada penulis dalam menyusun laporan kasus ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis
sangat berharap agar laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Bengkulu, April 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. 2

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4

BAB I TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 5

1.1. Pendahuluan……………………………………………………………….5

1.1. Definisi …..................................................................................................... 6

1.2. Epidemiologi ............................................................................................ 6

1.3. Etiologi ..................................................................................................... 8

1.4. Patogenesis ............................................................................................... 9

1.5. Gejala Klinis ........................................................................................... 11

1.6. Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 12

1.7. Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 12

1.8. Diagnosis ................................................................................................ 13

1.9. Tatalaksana ............................................................................................. 15

1.10. Prognosis ................................................................................................ 18

1.11. Pencegahan ............................................................................................. 19

BAB II KESIMPULAN ....................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 21

4
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. PENDAHULUAN
HIV (Human Immunodeficiency virus) merupakan retrovirus dari keluarga
lentivirus. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh dengan waktu inkubasi
yang cukup lama. HIV menyebabkan kerusakan berat pada sistem imun dengan
menggunakan DNA CD4+ untuk bereplikasi dan merusak sel CD4+ dalam
prosesnya (Calles et al., 2014).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus.2 Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang
sudah berlangsung lama. PENDAHULUAN
HIV (Human Immunodeficiency virus) merupakan retrovirus dari keluarga
lentivirus. Seperti retrovirus lain, HIV menginfeksi tubuh dengan waktu inkubasi
yang cukup lama. HIV menyebabkan kerusakan berat pada sistem imun dengan
menggunakan DNA CD4+ untuk bereplikasi dan merusak sel CD4+ dalam
prosesnya (Calles et al., 2014).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh
akibat infeksi oleh virus.2 Kasus AIDS mencerminkan infeksi HIV yang sudah
berlangsung lama. Saat ini, AIDS dijumpai pada hampir semua Negara dan
merupakan suatu pandemik di seluruh Negara (Kemenkes RI, 2014).
Menurut UNAIDS di tahun 2017 jumlah odha mencapai 36,9 juta, dengan
kasus baru sebanyak 1,8 juta, namun hanya 21,7 juta orang dengan HIV yang
mendapat terapi antiretroviral, dan lebih dari 940.000 orang telah meninggal karena
penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Pada tahun 2016, di Indonesia terdapat
620.000 orang hidup dengan terinfeksi HIV dengan 48.000 kasus baru dan 38.000
kematian terkait AIDS. Sejak 2010, kasus baru infeksi HIV menurun 22%, dan
kematian terkait AIDS meningkat hingga 62% (WHO, 2018).
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual,

5
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya ( Lan, 2014).
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total. Namun,
sejak 2004, terdapat bukti kuat bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat
anti HIV (obat anti retroviral, disingkat ARV) bermanfaat dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV (Lan, 2014). Saat ini, AIDS
dijumpai pada hampir semua negara dan merupakan suatu pandemik di seluruh
Negara (Kemenkes RI, 2014).
Menurut UNAIDS di tahun 2017 jumlah odha mencapai 36,9 juta, dengan
kasus baru sebanyak 1,8 juta, namun hanya 21,7 juta orang dengan HIV yang
mendapat terapi antiretroviral, dan lebih dari 940.000 orang telah meninggal karena
penyakit yang berhubungan dengan AIDS. Pada tahun 2016, di Indonesia terdapat
620.000 orang hidup dengan terinfeksi HIV dengan 48.000 kasus baru dan 38.000
kematian terkait AIDS. Sejak 2010, kasus baru infeksi HIV menurun 22%, dan
kematian terkait AIDS meningkat hingga 62% (WHO, 2018).
Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus
HIV yaitu melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual,
jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dari ibu yang
terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya ( Lan, 2014).
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total. Namun,
sejak 2004, terdapat bukti kuat bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa obat
anti HIV (obat anti retroviral, disingkat ARV) bermanfaat dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV (Lan, 2014).

1.2 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai
kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnnya kekebalan
tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang
termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV(Lan,
2012).

6
1.3. Epidemiologi
Menurut UNAIDS di tahun 2017 jumlah odha mencapai 36,9 juta, dengan
kasus baru sebanyak 1,8 juta, namun hanya 21,7 juta orang dengan HIV yang
mendapat terapi antiretroviral, dan lebih dari 940.000 orang telah meninggal karena
penyakit yang berhubungan dengan AIDS (WHO, 2018).
Pada tahun 2017, di Indonesia terdapat 630.000 orang hidup dengan
terinfeksi HIV dengan 48.000 kasus baru dan 38.000 kematian terkait AIDS. Saat
ini hanya 91.000 atau 14% penderita HIV di Indonesia yang mendapat terapi ARV.
Sejak 2010, kasus baru infeksi HIV menurun 22%, dan kematian terkait AIDS
meningkat hingga 62% (WHO, 2018).
Berdasarkan laporan provinsi, jumlah (kumulatif) kasus infeksi HIV yang
dilaporkan sejak 1987 sampai September 2014 yang terbanyak adalah Provinsi DKI
Jakarta (32.782 kasus). 10 besar kasus HIV terbanyak ada di provinsi DKI Jakarta,
Jawa Timur, Papua, Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan
Barat, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Selatan (Infodatin, 2014).

1.4. Etiologi
Human immunodeficiency virus merupakan retrovirus yang berasal dari
keluarga lentivirus. HIV memiliki inti berbentuk silinder yang dilapisi dengan
amplop lipid bilayer berbentuk bola. Terdapat dua glikoprotein mayor virus dalam
lapisan lipid bilayer, yaitu gp120 dan gp41. Fungsi utama protein tersebut adalah
untuk memediasi pengenalan sel-sel CD4+ dan reseptor kemokin, sehingga dapat
memudahkan virus untuk melekat dan menginvasi sel CD4+ (Calles, 2014).

Inti virus berisi dua salinan materi genetic rantai tunggal (RNA), juga
protein dan enzim yang dibutuhkan untuk pematangan dan replikasi virus HIV.
Tidak seperti retrovirus lain, HIV menggunakan Sembilan gen untuk mengkode
protein- protein dan enzim- enzim yang diperlukan. Tiga gen terpenting antara lain
gag, pol dan env. Gen gag mengkode protein inti, gen pol mengkode enzim reverse
transcriptase, protease dan integrase, dan gen env mengkode komponen struktural
HIV yang dikenal sebagai glikoprotein. Sisa gen lain yaitu rev, nef, vif, vpu, vpr,
dan tat berfungsi untuk membantu replikasi virus da meningkatkan infektivitas

7
HIV. Retrovirus dapat menggunakan RNA virus dan DNA host untuk membentuk
DNA virus (Calles, 2014).

Siklus hidup HIV terdiri atas enam fase: berikatan dan masuk, reverse
transcription, integrasi, replikasi, budding (berkembang), dan pematangan (Calles,
2014).

1.5. Patogenesis
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper
yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama
yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi
imunologik. Menurun atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena
virus HIV menginfeksi sel yang berperan membentuk antibodi pada system
kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada
molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian
dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic Acid) sel
target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung bahan genetik
virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversible dan berlangsung seumur
hidup (Lan, 2012).

8
Gambar 1. Siklus Hidup HIV (Maartens et al., 2014)
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel
yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun
akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan
masa inkubasi. Masa inkubasi adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang
terpapar virus HIV sampai menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus
HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan
sejak tertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”. Setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis pada
penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut (Lan, 2012).

Pada sebagian penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV
akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa gejala
ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada sekelompok kecil penderita
yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2 tahun dan ada juga

9
yang sangat lambat (non-progressor). Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang
terinfeksi oleh virus HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak.
Kekebalan tubuh yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang
bahkan hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik (Lan, 2012).
Perjalanan infeksi HIV dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu infeksi akut,
infeksi kronik dan AIDS. Enam puluh sampai tujuh puluh persen infeksi HIV akan
mencapai stadium AIDS dalam waktu rata-rata 10-11 tahun (typical progressor),
10-20% sangat progressif dan berkembang menjadi AIDS dalam waktu kurang dari
5 tahun (rapid progressor). Sebagian kecil lainnya antara 5-15% infeksi HIV
berjalan sangat lambat, masih belum mencapai AIDS dalam waktu lebih dari tahun
(slow progressor) dan sekitar 1% infeksi HIV dikenal sebagai bagian dari slow
progressor yang disebut Long-term non progressor (LTNP). Perbedaan
progresivitas penyakit ditentukan oleh titer virus dalam plasma, jumlah limfosit T
CD4 dan respons imun spesifik baik selular maupun humoral. Tingginya titer RNA
HIV setelah menurun dari puncaknya saat serokonversi yang disebut virologic set
point, menentukan prognosis kecepatan progresivitas penyakit. Perbedaan
perjalanan alamiah ini membuktikan adanya variasi beberapa factor yang
mendorong terjadinya proses patologik, antara lain variasi genetik, imunologik dan
faktor virologik (La, 2012).

1.6. Gejala Klinis


Berdasarkan pengalaman klinis sebagian besar kasus terdiagnosis melalui
infeksi oportunistik atau infeksi lain diluar dari kondisi full blown dari infeksi HIV
itu sendiri (Nelwan dan Wisaksana., 2014).

Pembesaran kelenjar getah Persistent generalized lymphadenopathy


bening
Penurunan berat badan yang Wasting syndrome
tidak bisa dijelaskan
Infeksi saluran nafas berulang Tonsillitis, sinusitis, otitis media, faringitis
Kelainan kulit Herpes zoster, papul prutiric eruption,
dermatitis seboroik

10
Keluhan di rongga mulut dan Angular cheilitis, sariawan atau ulserasi
saluran makan atas dalamrongga mulut, adanya jamur mulut
yang menetap, oral hairy leucoplakia,
candidiasis
Keluhan di gigi geligi Ulserative stomatitis, gingivitis,
periodontitis
Infeksi jamur di kuku
Diare kronik lebih dari 1 bulan
Demam berkepanjangan Fever of unknown origin
Nafsu makan menurun
Gejala infeksi tuberkulosis paru
dan ekstra paru
Infeksi berat Pneumonia, empyema, meningitis, pelvic
inflammatory disease
Kelainan darah Anemia yang tidak jelas penyebabnya,
trombositopenia kronis
Jamur paru Pneumonia jirovecii
Infeksi menular seksual Herpes simpleks, sifilis
Sarcoma kaposi
Infeksi jamur sistemik Histoplasmosis
Gangguan penglihatan Infeksi sitomegalovirus

Infeksi intrakranial Limfoma, meningitis, toxoplasmosis,


ensefalopati HIV
Kebas atau kessemutan pada
tangan dan kaki
Kelemahan otot
Tabel 1. Gejala Klinis Infeksi HIV (Nelwan dan Wisaksana, 2014).

Berdasarkan tabel diatas, maka seorang dengan infeksi HIV dapat dating ke
dokter dengan berbagai macam keluhan baik akibat infeksi virus HIVnya ataupun
karena infeksi oportunistik. Pengenalan gejala dan pemeriksaan yang teliti perlu
dilakukan agar upaya untuk melakukan konseling dari hasil penemuan pemeriksaan

11
klinis ini dapat dilakukan secara tepat dan segera. Pengenalan gejala HIV tersebut
juga berkaitan dengan program untuk memulai pemberian obat antiretrovirus
(ARV), selain pemeriksaan kadar CD4 dalam darah (Nelwan dan Wisaksana,
2014).

1.7. Pemeriksaan Fisik


Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 2

12
Tabel 2. Daftar tilik pemeriksaann fisik

1.8. Pemeriksaan Penunjang


Terdapat beberapa jenis pemeriksaan laboratorium untuk memastikan
diagnosis infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi pemeriksaan
serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk
mendeteksi keberadaan virus HIV. Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat
dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi
genetic dalam darah (Djoerban, 2014).
Pemeriksaan yang lebih mudah dilaksanakan adalah pemeriksaan terhadap
antibodi HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay), aglutinasi atau dot-blot immunobinding assay.
Metode yang biasanya digunakan di Indonesia adalah ELISA (Djoerban, 2014).

Tes
Temuan Keterangan
laboratorium
Skrining HIV Positif Antigen 24/ Kultur HIV/ HIV-
RNA (viral load),
Pemeriksaan Antibodi
Jumlah CD4+ <350 sel/mm3

Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis HIV (Djoerban, 2014)

Hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV
yaitu adanya massa jendela (window period). Massa jendela adalah waktu sejak
tubuh terinfeksi HIV sampai mulai timbulnya antibody yang dapat dideteksi melalui
pemeriksaan. Antibody mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah infeksi. Jadi jika
pada masa ini tes infeksi HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi HIV
dapat memberikan hasil negatif. Untuk itu jika kecurigaan adanya risiko terinfeksi
cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian (Djoerban,
2014).
World Health Organization (WHO), menganjurkan pemakaian salah satu
dari 3 strategi pemeriksaan antibody terhadap HIV dibawah ini, tergantung pada
tujuan penyaringan keadaan populasi dan keadaan pasien (Djoerban, 2014).

1.9. Diagnosis
Untuk mengetahui status HIV seseorang, maka pasien harus melalui tahapan
konseling dan tes HIV. Tujuan konseling dan tes HIV adalah harus mampu

13
mengidentifikasi ODHA sedini mungkin dan segera memberi akses pada layanan
perawatan, pengobatan dan pencegahan (Permenkes RI, 2014).
Konseling dan tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara
global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent; confidentiality;
counseling; correct test results; connections to care; treatment and prevention
services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan
konseling dan tes HIV (Permenkes RI, 2014).
Tes diagnostik HIV merupakan bagian dari proses klinis untuk menentukan
diagnosis. Diagnosis HIV ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium. Jenis
pemeriksaan laboratorium HIV dapat berupa (Permenkes RI, 2014):
1. Tes serologi
Tes serologi terdiri atas:
a. Tes cepat / rapid test
Tes cepat atau rapid test dengan reagen yang sudah dievaluasi oleh institusi
yang ditunjuk Kementrian Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi
terhadap HIV-1 maupun HIV-2. Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah
sampel yang lebih sedikit dan waktu tunggu untuk mengethui hasil kurang
dari 20 menit bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis
terlatih (Permenkes RI, 2014).
b. Tes Enzyme Immunoassay (EIA)
Tes ini mendeteksi antibodi untuk HIV-1 dan HIV-2. Reaksi antigen-
antibodi dapat dideteksi dengan perubahan warna (Permenkes RI, 2014).
c. Tes western blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang sulit
(Permenkes RI, 2014).
2. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur kurang dari
18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA kualitatif dari darah lengkap
atau Dried Blood Spot (DBS), dan HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan
plasma darah (Permenkes RI, 2014).
Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi

14
maupun pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh. Diagnosis AIDS
untuk kepentingan surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik atau
limfosit CD4+ kurang dari 350 sel/mm3 (Djoerban, 2014).
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Seperti halnya dengan infeksi lainnya, diagnosis
laboratorium HIV dapat dengan cara deteksi langsung virus HIV, atau bagian-
bagian dari virus HIV misal dengan pemeriksaan antigen p-24, PCR HIV-RNS, atau
kultur virus; atau dengan cara tidak langsung yaitu dengan deteksi respon imun
terhadap infeksi HIV atau konsekuensi klinis dari infeksi HIV. Pemeriksaan tidak
langsung lebih sering digunakan karena lebih mudah dan murah dibanding
pemeriksaan langsung, tetapi punya kerugian terutama karena respon imun
memerlukan jangka waktu tertentu sejak mulai infeksi HIV hingga timbul reaksi
tubuh. Pada waktu yang sering disebut dengan masa jendela atau “window period”
ini tubuh telah terinfeksi tetapi pemeriksaan antibodi memberikan hasil negatif.
Masa jendela dapat berlangsung hingga 6 bulan, tetapi sebagian besar berlangsung
hingga 3 bulan (Nelwan dan Wisaksana, 2014).

Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi III
(pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas
dan spesivisitasnya) seperti pada gambar 3 (Permenkes RI, 2014).

15
Gambar 2. Alur pemeriksaan diagnosis HIV (Permenkes RI, 2014).

Keputusan klinis dari hasil pemeriksaaan anti HIV dapat berupa positif,
negative dan indeterminate. Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang
perlu di lakukan pada tabel (Permenkes RI, 2014).

Hasil tes kriteria Tindak lanjut

Positif  Bila hasil A1 reaktif,  Rujuk ke pengobatan HIV.


A2 reaktif dan A3
reaktif.
Negatif  Bila hasil A1 non  Bila tidak memiliki perilaku berisiko,
reaktif. dianjurkan perilaku hidup sehat.

16
 Bila hasil A1 reaktif  Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan
tetapi pada ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12
pengulangan A1 dan bulan dari pemeriksaan pertama dampai
A2 non reaktif. satu tahun.
 Bila salah satu reaktif
tapi tidak berisiko.
Indetermi  Bila dua hasil tes  Tes perlu diulang dengan specimen
nate reaktif. baru minimal setelah dua minggu dari
 Bila hanya 1 tes pemeriksaan pertama.
reaktif tapi  Bila hasil tetap indeterminate,
mempunyai risiko dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR.
atau pasangan  Bila sarana pemeriksaan PCR tidak
berisiko. memungkinkan, rapid test siulang 3
ulan, 6 bulan, 12 bulan dari
pemeriksaan yang pertama. Bila sampai
satu tahun hasil tetap indeterminate dan
faktor risiko rendah, hasil dapat
dinyatakan sebagai negatif.

Tabel 4. Interpretasi hasil dan tindak lanjut pemeriksaan HIV (Permenkes RI, 2014).

Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4

Imunodefisiensi Jumlah CD4 menurut umur

<11 bulan 12-35 bulan 36-59 bulan >5 tahun –


(%) (%) (%) dewasa
(sel/mm3)

Tidak ada  35 >30 >25 >500

Ringan 30 - 35 25 - 30 20 - 25 350 - 499

17
Sedang 25 - 30 20 - 25 15 - 20 200 - 349

Berat <25 <20 <15 <200 atau


<15%

Tabel 5. Klasifikasi WHO mengenai imunodefisiensi menggunakan CD4


(Permenkes RI, 2014).

1.10. Tatalaksana
HIV/AIDS sampai saat ini belum dapat disembuhkan secara total. Namun
dara selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyajinkan bahwa
pengobatan dengan kombinasi beberapa obat anti HIV (obat antiretrovirat atau
ART) bermanfaat menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV
(Djoerban, 2014).
Secara umum penatalaksanaan odha (orang dengan HIV/AIDS) terdiri dari
beberapa jenis, yaitu: a) pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan
obat antiretroviral (ARV), b)pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi
dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberculosis,
hepatitis, toksoplasma, sarcoma kaposi, limfoma, kanker serviks., c) pengobatan
suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan pengobatan
pendukung lain seperti sukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur
yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap
tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian
infeksi oportunistik amat berkurang (Djoerban, 2014).

1.10.1. Terapi Antiretroviral


Manfaat pemberian ARV yaitu (Djoerban, 2014):

1. Menurunkan angka kematian.


2. Menurunkan resiko perawatan di rumah sakit
3. Menekan viral load.
4. Memulihkan kekebalan dengan meningkatkan CD4
5. Menurunkan resiko penularan.

Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse


transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside

18
reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease. Namun, tidak semua ARV
yang ada tersedia di Indonesia.(Tabel 3) (Djoerban, 2013).

Nama Nama Golongan Sediaan Dosis per hari


dagang generik
Duviral Tablet, kandungan: 2x1 tablet
zidovudin 300 mg,
lamivudin 150 mg
Stavir Stavudin NsRTI kapsul: 30 mg, 40 mg >60 kg: 2x40 mg
(d4T)
Zerit <60 kg: 2x30 mg
Hiviral Lamivudin NsRTI Tablet 200 mg 1 x 200 mg selama 14
(3TC) hari, dilanjutkan 2x
3TC 200 mg
Retrovir Zidovudin NsRTI Kapsul 100 mg 2x 300 mg atau 2x 250
(ZDV, AZT) mg (dosis alternatif)
Adovi
Avirzid
Videx Didanosin NsRTI Tablet kunyah: 100 mg >60kg: 2x200 mg atau
(dd) 1x400 mg
<60kg: 2x125 mg atau
1x250 mg
Stocrin Efavirenz NsRTI Kapsul 200 mg 1x600 mg, malam
(EFV, EFZ)
Nalvex Nelfinavir PI Tablet 250 mg 2x1250 mg
(NFV)
viracept
NsRTI: nucleoside reverse trascriptase inhibitor, NNRTI = non-nucleoside reverse transcriptase
inhibitor, PI = protease inhibitor

Tabel 6. Obat ARV yang beredar di Indonesia (Djoerban, 2013).

Obat ARV direkomendasikan pada semua pasien yang memiliki HIV +, telah
menunjukkan gejaa yang termasuk kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan
gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+. Obat ini juga
direkomendasikan pada pasien dengan CD4+ kurang dari 350 sel/mm3. Pasien
asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200-350 sel/mm3 dapat ditawarkan untuk
memulai terapi. Pada pasien asimptomatik dengan jumlah CD4+ lebih dari 350
sel/mm3 dan viral load lebih dari 100.000 kopi/ml terapi ARV dapat dimulai, namun
dapat pula ditunda. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan

19
limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000 (Djoerban,
2013).

ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV perlu
dimonitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali, atau
lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. Evaluasi klinis meliputi parameter
seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda
dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV. Parameter klinis dan CD4 ini
digunakan untuk mencatat perkembangan stadium klinis WHO pada setiap
kunjungan dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk
pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dan/atau ART (Permenkes, 2014).
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari
3 obat ARV. Terdapat beberapa regimen yang sudah digunakan (table 4), dengan
keunggulan dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini
pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin
(ZDV)/ lamivudine (3TC), nevirapin (NVP), stavudin (d4T), dan efavirenz (EFV)
(Djoerban, 2014).

Kolom A Kolom B
Lamivudine + zidovudin Evafirenz*
Lamivudine + didanosin
Lamivudin + stavudin
Lamivudine + zidovudin Nevirapin
Lamivudine + stavudin
Lamivudine + didanosin
Lamivudine + zidovudin Nellfinavir
Lamivudine + stavudin
Lamivudine + didanosin
*tidak dianjurkan pada wanita hamil trimester pertama atau wanita yang berpotensi tinggi untuk
hamil. Catatan: kombinasi yang sama sekali tidak boleh: zidovudin + stavudin
Tabel 7. Kombinasi obat ARV untuk terapi inisial (Djoerban, 2014).

20
1.10.2. Evaluasi Pengobatan
Pemantauan setelah pemberian ARV bertujuan untuk mengevaluasi
respons pengobatan. Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun
juga psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya selama menjalani
pengobatan (Permenkes, 2014).
Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal
sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter
selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih serig sesuai dengan
kondisi dan kepatuhan pengobatan (Permenkes, 2014).
Pemantauan jumlah CD4 dalam darah merupakan indikator yang dapat
dipercaya untuk memantau beratnya kerusakan kekebalan tubuh akibat HIV, dan
memudahkan dokter untuk mengambil keputusan memberikan pengobatan ARV.
Jika tida terdapat sarana pemeriksaan CD4 dapat diperkirakan dari jumlah limfosit
total yang sudah dapat dikerjakan di banyak laboratorium pada umumnya
(Djoerban, 2014).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa dengan pemeriksaan viral load,
dapat diperkirakan resiko kecepatan perjalanan penyakit dan kematian akibat HIV.
Pemeriksaan viral load memudahkan untuk memantau efektivitas obat ARV
(Djoerban, 2014).
Sejak awal pengobatan ARV, masalah kegagalan terapi ARV lini pertama
menjadi hal yang banyak di teliti. ODHA harus menggunakan ARV minimal 6
bulan sebelum dinyatakan gagal terapi dalan keadaan kepatuhan yang baik. Kalau
ODH kepatuhan tidak baik atau berhenti minumobat, penilaian kegagalan dilakukan
setelah minum obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan. Kegagalan terapi
dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis dan klinis
seperti pada tabel. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak dapat
dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Definisi kegagalan
terapi dapat dilihat pada tabel (Permenkes, 2014).
Istilah Definisi
Kegagaan virologis Gagal untuk mencapai:
 VL (viral load) <400 c/mL dalam 24 minggu
atau

21
 VL < 500 c/mL dalam 48 minggu atau
 Konsisten (pada 2 pengukuran berurutan) VL
>50 c/mLsetelah VL < 50 c/mL
Catatan: kebanyakan pasien akan mengalami
penurunan pada VL > 1 log10 c/mL pada 1-4 minggu.
Kegagalan imunologis Hitung CD4 gagal meningkat menjadi 25-50 sel/mm3
dalam satu tahun.
Catatan: kebanyakan pasien mengalami peningkatan
hitung CD4 150 sel/mm3 dalam satu tahun pertama
dengan HAART.
Kegagalan klinis Pada pasien yang belum pernah diobati, terjadinya
atau kekambuhan gejala terkait HIV lebih dari 3 bulan
setelah terapi HAART dimulai.
Catatan: diagnosis sindrom rekonstitusional
imunologis harus disingkirkan.
Tabel 8. Definisi kegagalan terapeutik pada Terapi ARV Dewasa (Permenkes,
2014)
Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang
mengalami kegagalan terapi. Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi
meskipun dalam terapi ARV. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 NRTI
+ PI menjadi rekomendasi sebagai pilihan terapi lini kedua untuk dewasa, remaja
dan juga anak dengan panduan berbasis NNRTI yang digunakan pada lini pertama
(Permenkes, 2014).
Obat-obat golongan protease inhibitor (PIs) seperti lopinavir/ ritonavir,
atazanavir, saquinavir, fosamprenavir, dan darunavir memiliki barrier genetik yang
tinggi terhadap resistensi. Obat golongan yang lain memiliki barrier rendah.
Walaupun demikian kebanyakan pasien yang mendapatkan PIs- terkait HAART
(highly active anti retroviral therapy) yang mengalami kegagalan virologis
biasanya memiliki strain virus HIV yang masih sensitif, kecuali bila digunakan
jangka panjang. Obat golongan lain biasanya menjadi resisten dalam waktu yang
lebih singkat ketika terdapat kegagalan virologis (Djoerban, 2014).

22
Indikasi untuk merubah terapi pada kasus gagal terapi adalah progresi
penyakit secara klinis dimulai setelah >6 bulan pemakaian ARV. Pada WHO
stadium 3: penurunan BB > 10%, diare atau demam > 1 bulan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, oral hairy leukoplakia terdapat infeksi bakterial yang berat
atau “bedridden” lebih dari 50% dari satu bulan terakhir (Djoerban, 2014).
Tes resistensi seharusnya dilakukan selama terapi atau dalam 4 minggu
penghentian regimen obat yang gagal (Djoerban, 2014).
Indikasi Kegagalan virologis dengan VL (viralload) >1.000
c/mL.
Infeksi HIV akut
Baseline, untuk mendapatkan terapi inisial
Tidak diindikasikan Setelah penghentian terapi antiretroviral,> 1 bulan
terapi
VL < 1.000 c/mL
Tabel 9. Indikasi tes resistensi (Djoerban, 2014)

1.10.3. Terapi ARV Pada Keadaan Khusus


a. terapi ARV untuk koinfeksi HIV/Tuberkulosis

Terapi ARV direkomendasikan pada semua pasien koinfeksi HIV/TB berapapun


jumlah CD4 nya. Namun bagaimanapun terapi TB sendiri yaitu OAT (Obat Anti
tuberculosis) tetap menjadi priorotas utama. Sehingga untuk memulai terapinya,
OAT diberikan terlebih dahulu, kemudian diikuti dengan ARV dalam waktu
delapan minggu pertama. Berdasarkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
2011, rekomendasi terapi ARV untuk pasien koinfeksi HIV/TB dapat dilihat pada
tabel (Djoerban, 2014).

Regimen terapi ARV lini Regimen terapi ARV Pilihan


pertama atau lini kedua saat muncul TB
Terapi ARV lini pertama 2 NRTI + EFV Lanjutkan dengan 2 NNRTI +
EFV
2 NRTI + NVP Ganti NVP ke EFVa,b atau ganti ke
regimen 3 NRTI atau lanjutkan
dengan NRTI + NVPc
Terapi ARV lini kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau lanjutkan (bila sudah
mulai) regimen yang berisi LPV/r
dengan dosis ganda.a,d

23
a. Bisa dipertimbangkan untuk mengembalikan ke NVP setelah terapi TB yang berisi
rifampicin selesai. Bila mengembalikan ke NVP tidak perlu lead-in dose.
b. Penggunaan regimen yang berisi EFV tidak dianjurkan untuk perempuan hamil
(terutama trimester pertama) berpotensi untuk hamil dan tidak menggunakan
kontrasepsi.
c. Perlunya dilakukan monitoring klinis dan laboratoris (ALT) bila menggunakan NVP
atau boosted PI bersamaan dengan rifampicin.
d. Dosis LVP/R dinaikkan dua kali lipat sehingga LPV 800/ ritonavir 200 dua kali sehari.
Tabel 10. Rekomendasi terapi ARV pada pasien koinfeksi HIV/TB(Djoerban,
2014).

b. Terapi ARV untuk Hepatitis

Pemeriksaan Hepatitis B dan C pada infeksi HIV amatlah penting


mengingat ko-infeksi hepatitis C/HIV sebesar 70%, sedangkan ko-infeksi Hepatitis
B/HIV sebesar 16% dank o infeksi Hepatitis B dan C/HIV sebesar 9%. Sama seperti
pada keadaan khusus HIV/TB, pada keadaan dimana pasien HIV memiliki hepatitis
kronik aktif, haruslah dimulai terapi ARV berapapun jumlah CD4 nya. Pengobatan
ARV berhasil menurunkan angka kematian jangka pendek namun Hepatitis B dan
C kronik merupakan ancaan jangka panjang. Berdasarkan pedoman nasinal
pelayanan kedokteran tahun 2011, regimen terapi ARV yang direkomendasikan
yaitu TDF + 3 TC atau FTC untuk HBV. Untuk HCV menggunakan kombinasi
terapi interferon alpha dan ribavirin (RBV). Selain itu vaksinasi Hepatitis A dan B
juga diperlukan untuk mencegah hepatitis akut (Djoerban, 2014).

c. terapi ARV untuk pengguna Metadon

Terdapat mitos bahwa ARV tak perlu diberikan kepada pengguna NAPZA/
mantan pengguna NAPZA dan ARV tak boleh digunakan bersama metadon.
Namun faktanya adalah interaksi metadon dan ARV (Nevirapin dan Efavirenz)
menurunkan kadar metadon sekitar 20%. Jadi takada alas anuntuk tidak
menggunakan ARV bersama Metadon. Bahkan pengguna metadon sangat
dianjurkan untuk memulai terapi ARV. Berdasarkan pedoman nasional pelayanan
kedokteran tahun 2011, regimen yang direkomendasikan adalah AZT atau TDF
atau d4T + 3TC + EFV atau NVP (Djoerban, 2014).

1.10.3. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil ke Bayi


Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian ARV

24
yang dilanjutkan seumur hidup. Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil
pengobatan, bukan sebagai acuan untuk memulai terapi (Permenkes, 2014).

Obat ARV juga diberikan pada beberapa kondisi khusus seperti pengobatan
profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yangmengandung HIV
(post exposure profilaxis) dan pencegahan penularan dari ibu ke bayi. Menurut
pedoman nasional pelayanankedokteran 2012, regimen yang direkomendasikan
adalah AZT + 3TC + EFV, AZT + 3TC + NVO, TDF + 3TC atau FTC + EFV.
Evafirenz (EFV) sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan trimester 1. Pemberian
ARV pada bayi yang lahir dari ibu HIV adalah AZT 2x/hari sejak lahir hingga usia
4-6 minggu, dosis 4 mg/kgBB/kli (Djoerban, 2014).

Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian


obat ARV penting untuk mendapat perhatian lebih besar mengingat sudah ada
beberapa bayi di Indonesia yang tertular HIV dari ibunya. Efektivitas penularan
HIV dari ibu ke bayi adalah sebesar 10-30%. Artinya dari 100 ibu hamil yang
terinfeksi HIV, ada 10 sampai 30 bayi akan tertular. Sebagian besar penularan
terjadi sewaktu proses melahirkan, dan sebagian kecil melalui plasenta selama
kehamilan dan sebagian lagi melalui susu ibu (Djoerban, 2014).

Kendala yang dikhawatirkan adalah biaya untuk membeli obat ARV. Obat
ARV yang dianjurkan untuk PTMCT adalah zidovudin (AZT) atau nevirapin.
Pemberian nevirapin dosis tunggal untuk ibu dan anak dinilai sangat mudah untuk
diterapkan dan ekonomis. Sebetulnya pilihan yang terbaik adalah pemberian ARV
yang dikombinasikan dengan operasi caesar karena dapat menekan penularan
sampai 1%. Namun sayangnya di Negara berkembang seperti Indonesia tidak
mudah untuk melakukan operasi section caesaria yang murah dan aman. Kemudian
pemberian ASI oleh wanita dengan HIV tidak direkomendasikan karena memiliki
risiko transmisi sebesar 5-20%. Alternatif pemberian susu pada bayi adalah dengan
susu formula. Namun, kendala pemberian susu formula masih dialami oleh Negara
berkembang dikarenakan faktor kultur dan ekonomi (Djoerban, 2014).

25
1.11. Pencegahan
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua
kelompok besar yakni (Permenkes, 2014):

1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi


terjadi. Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 <
200/mm3 untuk mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan
ini dapat mengurangi risiko PCP (Permenkes, 2014) .
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat
pencegahan (dalam dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan
PCP yang telah sembuh (Permenkes, 2014).
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko
terkena infeksi oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi
oportunistik dapat dihentikan. Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi
oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut menampilkan secara ringkas
pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik. Beberapa upaya
profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi pneumokok,
hepatitis B dan hepatitis A.

Penyakit Mulai Obat yang digunakan


o
PCP 1 CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas
rendah
S. pneumoniae Vaksinasi pneumovax
CD4 > 200
Hepatitis B Vaksinasi Hepatitis B
Anti HBs (-)
HBs Ag(-)
Hepatitis A Vaksinasi Hepatitis A
Anti HAV (-)

26
Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)

Tabel 11. Pencegahan infeksi oportunistik (Permenkes, 2014).

27
BAB II

KESIMPULAN

1. Jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia masih akan meningkat


terutama bila cakupan tes HIV dapat ditingkatkan.
2. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila dengan pemeriksaan
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan
antibodi maupun pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam
tubuh.
3. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor, dan inhibitor protease.
4. Terapi ARV tidak dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit
CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang dari 100.000.
5. Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah
kombinasi dari 3 obat ARV
6. Infeksi HIV seringkali disertai infeksi oportunistik TBC, koinfeksi
hepatitis C dan B, dan berbagai infeksi oportunistik lain. Pengobatan
infeksi HIV perlu memperhatikan infeksi oportunistik dan koinfeksi
tersebut.
7. Resistensi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi
ARV.
8. ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan
gagal terapi dalan keadaan kepatuhan yang baik
9. Sama seperti pada keadaan khusus HIV/TB, pada keadaan dimana
pasien HIV memiliki hepatitis kronik aktif, haruslah dimulai terapi
ARV berapapun jumlah CD4 nya.
10. Regimen terapi ARV yang direkomendasikan yaitu TDF + 3 TC atau
FTC untuk HBV. Untuk HCV menggunakan kombinasi terapi
interferon alpha dan ribavirin (RBV).

28
11. Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa
memandang jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan
indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Calles, Nancy., Evans, Desiree dan Terlonge De. 2014. Pathophysiology of


The Human Immunodeficiency Virus.

2. Kemenkes RI, 2014, Infodatin 2014, Jakarta, Kemenkes RI

3. WHO, 2018, Fact Sheet- latest global and regional statistics on the status of
the AIDS epidemic, WHO

4. Lan, Virginia M, 2012, Patofisiologi – konsep klinis proses-proses penyakit,


Tennesee, EGC

5. Djoerbanm Z dan Djauzi S, 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam – Jilid I,
Jakarta, Interna Publishing

6. Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan
Terapi Antiretroviral. Indonesia. Direktorat Jenderal Pengendalan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan

7. Permenkes RI no. 87. 2014. Pedoman Pengobatan Antiretroviral. Indonesia

30

Anda mungkin juga menyukai