Anda di halaman 1dari 11

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data


4.1.1 Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2
Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat 2 adalah pajak yang dibebankan kepada
wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi atas jenis penghasilan tertentu
yang mereka dapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final. Pajak Penghasilan
Pasal 4 ayat 2 yang bersifat final artinya pajak ini tidak dapat dikreditkan atau
dikurangkan dari total pajak penghasilan terutang pada akhir tahun.

4.1.2 Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2


Objek pajak PPh Pasal 4 ayat 2 yaitu :
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi
dan surat utang negara, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada masing-masing anggota.
b. Penghasilan berupa hadiah undian.
c. Penghasilan transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang
diperdagangkan dibursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan yang diterima oleh perusahaan modal
ventura.
d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan.
e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Contohnya seperti Peredaran bruto sebuah usaha dibawah Rp.4,8 Miliar
dalam 1 (satu) tahun pajak.

4.1.3 Jadwal Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 4 Ayat 2


Jadwal penyetoran dan pelaporan PPh pasal 4 ayat 2 sebagai berikut :
a. Peredaran bruto usaha dibawah Rp.4,8 Miliar
Batas waktu penyetoran tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir. Batas waktu pelaporannya paling lama 20 (dua puluh)
hari setelah masa pajak berakhir. Namun jika sudah validasi NTPN, Wajib
Pajak tidak perlu lapor lagi, cukup menyertakan laporan PPh Final pada
pelaporan SPT Tahunan Badan (SPT 1771).
b. Bunga deposito/tabungan, bunga/diskonto
Batas waktu penyetoran tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir. Batas waktu pelaporan 20 (dua puluh) hari setelah masa
pajak berakhir.
c. Hadiah undian
Batas waktu penyetoran tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan
saat terutangnya pajak. Batas waktu pelaporan 20 (dua puluh) hari setelah
masa pajak berakhir.
d. Transaksi penjualan saham
Batas waktu penyetoran tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah
bulan terjadinya transaksi penjualan saham. Batas waktu pelaporan tanggal
25 (dua lima) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya transaksi penjualan
saham.
e. Persewaan tanah dan/atau bangunan
Batas waktu penyetoran tanggal 10 (sepuluh) bagi pemotong pajak atau
tanggal 15 (lima belas) bagi wajib pajak pengusaha persewaan dari bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir. Batas waktu pelaporan 20 (dua
puluh) hari setelah masa pajak berakhir.
f. Jasa kontruksi
Batas waktu penyetoran tanggal 10 (sepuluh) bagi pemotong pajak atau
tanggal 15 (lima belas) bagi wajib pajak jasa kontruksi dari bulan berikutnya
setelah masa pajak berakhir. Batas waktu pelaporan 20 (dua puluh) hari
setelah masa pajak berakhir.

4.2 Dasar Teori


4.2.1 Pengertian Pajak
Menurut Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 pasal 1 ayat 1 Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan menyebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi
wajib pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang sifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,S.H, “Pajak adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan undang- undang (yang dapat di paksakan) dengan
tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat
ditunjukan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Dari defenisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :
1. Iuran dari rakyat kepada Negara. Yang berhak memungut pajak adalah
Negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan Undang- Undang dan aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung
dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

4.2.2 Pengelompokkan Pajak


Menurut Mardiasmo (2018:7) pajak dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu
menurut golongan, sifat, dan lembaga pemungutnya.
1. Menurut golongannya
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Tidak Langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat
dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak
Pertambahan Nilai.
2. Menurut sifatnya
a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada
subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Menurut lembaga pemungutnya
a. Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah dan Bea Meterai.
b. Pajak Daerah, yaitu pajak oleh Pemerintah Daerah dan digunakan
untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak Daerah terdiri atas:
1. Pajak Provinsi, contoh: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
2. Pajak Kabupaten/Kota, contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan
Pajak Hiburan.

4.2.3 Fungsi Pajak


Menurut Mardiasmo (2018:4) Ada dua fungsi pajak yaitu :
1. Fungsi Anggaran (Budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluarannya. Yaitu pajak dimanfaatkan sebagai instrument
pengumpulan dana guna membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Ditunjukkan masuknya pajak ke dalam Angggaran Pendapatan dan Belanja
Negara.
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengukur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Pajak dimanfaatkan melalui
kebijakan-kebijakan yang dapat dipengaruhi kehidupan sosial masyarakat.

4.2.4 Sistem Pemungutan Pajak


Menurut Mardiasmo (2018:9) sistem pemungutan pajak dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Official Assesment System
Sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus)
untuk menentukan pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2. Self Assesment System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak
untuk memberi kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang harus dibayar.
3. Withholding System
Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga
(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk memotong
atau memungut pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

4.2.5 Pengertian Pajak Penghasilan


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama 1 (satu) tahun pajak. Pajak
Penghasilan (PPh) itu sendiri memiliki beberapa jenis, yaitu PPh Pasal 21, PPh
Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, dan PPh Final.
Pajak Penghasilan Final merupakan pajak penghasilan yang pengenaannya
sudah final (berakhir) sehingga tidak dapat dikreditkan (dikurangkan) dari total
Pajak Penghasilan terutang pada akhir tahun pajak. Jenis penghasilan yang PPh-nya
final sebagaimana dipotong PPh berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh
yang selanjutnya dinamakan PPh Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh.
4.2.6 Dasar Hukum Pajak Penghasilan
Menurut Undang-undang perpajakan (2015:91) dasar hukum pajak
penghasilan adalah UU Nomor 7 Tahun 1984 yang telah disempurnakan dengan
UU Nomor 7 Tahun 1991, UU Nomor 10 Tahun 1994, UU Nomor 17 Tahun 2000,
UU Nomor 36 Tahun 2008.

4.2.7 Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 1 yang
dimaksud dengan Usaha Mikro Kecil dan Menengah, yaitu :
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik perorangan dan/atau badan usaha
perorangan.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai,
atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha
Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi
bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau
Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan.

4.2.8 Kriteria Usaha Mikro Kecil dan Menengah


Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Pasal 6 kriteria Usaha
Mikro Kecil dan Menengah, yaitu :
1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp.10.000.000.000,00
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat
usaha.
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp.2.500.000.000,00
(dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

4.2.9 Pengertian Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018


Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 adalah peraturan yang
mengatur tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau
diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai yang bersifat
final. Wajib pajak orang pribadi maupun badan yang memiliki peredaran usaha
tidak melebihi Rp.4,8 Miliar per tahun dikenakan pajak yang bersifat final dengan
tarif 0,5 persen dari peredaran bruto.

4.2.10 Dasar Hukum Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018


PMK Republik Indonesia Nomor 99/PMK.03/2018 “Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan
dari Usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu”

4.2.11 Subjek dan Objek Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018


Berdasarkan PMK Republik Indonesia Nomor 99/PMK.03/2018 Pasal 2
ayat 1 yang menjadi subjek pajak yaitu :
1. Wajib Pajak Orang Pribadi
2. Wajib Pajak Badan tertentu baik koperasi, CV atau firma, Perseroan
Terbatas
Berdasarkan PMK Republik Indonesia Nomor 99/PMK.03/2018 Pasal 2
ayat 2 yang dikecualikan dari subjek pajak yaitu :
1. Wajib Pajak yang memilih untuk dikenai PPh berdasarkan tarif umum Pasal
1 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E UU PPh
2. Wajib Pajak Badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang
dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian
khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas.
3. Wajib Pajak Badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan :
a. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan
Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun
Berjalan beserta perubahan atau penggantinya
4. Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap
Berdasarkan PMK Republik Indonesia Nomor 99/PMK.03/2018 Pasal 2
ayat 1 yang menjadi objek pajak yaitu :
Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran
bruto tertentu yang tidak melebihi Rp.4,8 Miliar dalam 1 tahun pajak.
Berdasarkan PMK Republik Indonesia Nomor 99/PMK.03/2018 Pasal 2
ayat 3 yang dikecualikan dari objek pajak yaitu :
1. Penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, misalnya:
dokter, advokat/pengacara, akuntan, notaris, PPAT, arsitek, pemain musik,
pembawa acara dan lain sebagainya.
2. Penghasilan dari usaha yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat 2), seperti
misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa kontruksi (perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas.
3. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.

4.2.12 Jangka Waktu Pengenaan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Pasal 5 Jangka
waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final yaitu paling lama :
1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi.
2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi atau
firma.
3. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

4.2.13 Tata Cara Penyetoran


Berdasarkan PMK Republik Indonesia Nomor 99/PMK.03/2018 Pasal 4
ayat 1, tata cara penyetoran PPh final yang menggunakan PP 23 yaitu :
1. Setor Sendiri; atau
2. Dipotong atau dipungut oleh Pemotong atau Pemungut Pajak, dengan
mengajukan Surat Keterangan ke KPP.
Pajak yang telah dipotong atau dipungut disetor paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atau dengan menggunakan e-Billing. Jika SSP sudah
validasi NTPN, wajib pajak tidak perlu melaporkan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2
karena dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 sesuai tanggal
validasi NTPN. Menurut Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Pajak
Penyetoran yang menggunakan SSP maupun e-Billing harus mencantumkan kode
pajak dan kode jenis setoran sebagai berikut :
Kode Pajak : 411128
Kode Jenis Setoran : 420

4.2.14 Tata Cara Pelaporan


Penghasilan yang dibayarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018 dilaporakan dalam SPT Tahunan Badan pada kelompok penghasilan
yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final. Pelaporan SPT nya paling lama 4
(empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Jika SPT tidak disampaikan sesuai jangka
waktunya, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 1.000.000 (satu juta
rupiah). SPT Tahunan Badan menggunakan formulir SPT 1771, penghasilan yang
dibayarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 masuk dalam
lampiran IV bagian A, dimana dalam bagian A tersebut merupakan kelompok
penghasilan yang dikenakan pajak final.

4.2.15 Pengertian e-Billing


E-Billing adalah cara pembayaran pajak secara elektronik dengan
menggunakan Kode Billing (15 digit angka) yang diterbitkan oleh Sistem Billing
pajak. E-Billing mulai berlaku 1 Juli 2016. Sebelum penggunaan e-Billing, Wajib
Pajak harus membuat Kode Billing melalui customer service atau teller bank, kring
pajak 1500200, sms ID Billing, layanan Billing di KPP atau KP2KP, internet
banking, maupun penyedia jasa aplikasi (ASP). Pembayaran e-Billing melalui
berbagai cara yaitu teller bank (Kantor Pos), ATM, mini ATM di KPP atau KP2KP,
dan internet banking. (Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, 2016).
Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014
Pasal 1 angka 1, sistem pembayaran pajak secara elektronik adalah bagian dari
sistem Penerimaan Negara secara elektronik yang diadministrasikan oleh Biller
Direktorat Jenderal Pajak dan menerapkan Billing System; Pasal 1 angka 2, Billing
System adalah pembayaran elektronik dengan menggunakan Kode Billing; dan
Pasal 1 angka 5, Kode Billing adalah kode indentifikasi yang diterbitkan melalui
Sistem Billing atas suatu jenis pembayaran atau setoran yang akan dilakukan Wajib
Pajak. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa e-Billing adalah metode
pembayaran pajak secara elektronik dengan menyertakan Kode Billing sebagai
kode transaksi.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2014 Pasal
4, Wajib Pajak dapat memperoleh Kode Billing sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2 angka 5 dengan cara :
1) Membuat sendiri pada Aplikasi Billing DJP yang dapat diakses melalui
laman Direktorat Jenderal Pajak dan laman Kementerian Keuangan;
2) Melalui Bank/Pos Persepsi atau pihak lain yang ditunjuk oleh Direktorat
Jenderal Pajak; atau
3) Diterbitkan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam hal terbit
tetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, SPPT PBB atau SKP PBB yang
mengakibatkan kurang bayar.

Anda mungkin juga menyukai