Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus ini yang berjudul
“Skizofrenia”. Laporan kasus ini disusun untuk melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa Universitas Mulawarman RSJD Atma Husada Mahakam
Samarinda.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. H. Jaya Mualimin, Sp.KJ yang telah
membimbing dan membantu dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun laporan
kasus ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan masukan dengan tangan terbuka.
Akhir kata kami berharap tutorial ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang
ingin mengetahui tentang Skizofrenia.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
psikologik dan sosial juga berpengaruh dalam perjalanan penyakit ini. Besar dukungan
dari keluarga maupun
2
lingkungan sosial lainnya akan sangat mempengaruhi penyembuhan dan bahkan
dapat mencegah kambuhnya skizofrenia (Gunawan, Setiabudy, & Nafrialdi, 2008).
3
BAB 2
LAPORAN KASUS
C. Riwayat Psikiatri
1) Keluhan Utama : Mengamuk
2) Autoanamnesis : Pasein mengaku bernama D.. M…, tinggal di Lempake
dan datang di antar oleh ibu dan bapaknya (Ketika diwawancarai lebih lanjut,
pasien lebih banyak blocking).
3) Heteroanamnesis : Pasien mengamuk dan memukul keluarga ± dalam 2
minggu terakhir. Setiap malam pasien gelisah dan susah tidur, suka keluyuran
malam ke belakang sekolah di dekat rumah, serta suka tiba-tiba seperti mengejar
seseorang. Pasien sering berbicara sendiri, dan tiba-tiba sering marah. Saat kambuh
4
pasien jarang bersosialisasi dengan tetangga, dan ia merasa bahwa ada yang selalu
memperhatikannya. Pasien pernah di rawat di RSJ Atma Husada, dan keluar pada
tahun 2018. Selama di rumah pasien masih minum obat, tetapi jika obatnya telah
habis, pasien tidak mau di ajak kontrol untuk mengambil obat, mulai dari situ
pasien putus obat. Pertama kali gejala tersebut muncul sekitar tahun 2014,
dikarenakan pasien putus cinta dan ada masalah pada pekerjaannya. Pendidikan
pasien hanya sampai SD dan tidak tuntas, dikarenakan pasien sering tidak naik
kelas saat SD, lalu pasien merasa malu dan meminta untuk berhenti sekolah.
Sebelum sakit pasien dapat bergaul dengan teman-teman dan keluarganya dengan
baik. Pasien sempat bekerja menjadi supir dan tukang bangunan. Untuk aktivitas
sehari-hari seperti makan dan mandi, jika sedang timbul gejala pasien harus
diarahkan agar makan dan mandi, tetapi jika sedang tidak kambuh pasien dapat
melakukannya secara mandiri
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Keluar rumah sakit pada Bulan Agustus 2018
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak Ada
6) Riwayat Alergi
Tidak Ada
7) Faktor Pencetus
Putus Obat
8) Genogram
9) Riwayat Pribadi
Masa Kanak-Kanak Awal (0-3 Tahun)
Sesuai dengan perkembangan normal
Masa Kanak-Kanak Pertengahan (3-11 Tahun)
5
Pasien putus sekolah saat duduk di bangku sekolah dasar
Maka Kanak-Kanak Akhir (5-13 Tahun)
Tidak dapat digali
Masa Remaja (13-21 Tahun)
Tidak dapat digali
Masa Dewasa
Mulai timbul gejala
6
Psikomotor : Dalam Batas Normal
2.4. Diagnosis Multiaksial
Axis I : F.20.0
Axis II :-
Axis III :-
Axis IV : Putus Obat
Axis V : GAF Scale 60-51
7
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketaui) dan
perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau “detoriating”) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada perimbangan pengaruh genetic, fisik dan social
budaya. Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik
dari pikiran dan persepsi serta oleh afek yang tidak wajar atau tumpul. Kesadaran yang
jernih dan kemampuan intelektual tetap terpelihara, walaupun kemunduran kognitif
tertentu dapat berkembang kemudian (Maslim R. , 2013).
3.2. Epidemiologi
Menurut data dari WHO (2016), terdapat sekitar 21 juta jiwa di dunia yang
mengalami skizofrenia. Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan
sosial dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus
bertambah. Berdasarkan data Riskesdas (2018), angka kejadian skizofrenia di Indonesia
sekitar 7 per 1000 penduduk. Angka kejadian skizofrenia di Kalimantan Timur sebesar 5
per 1000 penduduk (Kemenkes, 2018).
Prevalensi skizofrenia pada laki-laki dan perempuan sama. Tetapi terdapat
perbedaan onset dan perjalanan penyakit antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
memiliki onset skizofrenia yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk
laki-laki adalah 15-25 Tahun, sedangkan usia puncak pada wanita 25 sampai 35 tahun.
Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun sangatlah jarang. Kira-
kira 90% pasien dalam pengobatan skizofrenia adalah antara usia 15-55 tahun. Beberapa
penelitian menyatakan bahwa laki-laki lebih mungkin daripada wanita untuk terganggu
oleh gejala negatif dan wanita lebih mungkin memiliki fungsi sosial yang lebih baik
daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir untuk pasien skizofrenik wanita adalah
lebih baik daripada hasil akhir untuk pasien skizofrenik laki-laki (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2010).
8
3.3. Etiopatofisiologi
A. Faktor Biologis
Hipotesis Dopamin
Rumusan yang paling sederhana dari hipotesis dopamine untuk
skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia disebabkan dari terlalu banyak
aktivitas dopaminergic. Teori tersebut timbul dari dua pengamatan. Pertama,
kecuali untuk clozapine, khasiat dan potensi antipsikotik berhubungan dengan
kemampuannya untuk bertindak sebagai antagonis reseptor dopamainergik
tipe 2 (D2). Kedua, obat-obatan yang meningkatkan aktivitas dopaminergic
yang paling jelas adalah amfetamine yang merupakan salah satu
psikotomimetik. Teori dasar tidak memperinci apakah hiperaktivitas
dopaminergk adalah karena terlalu banyaknya pelepasan dopamine, terlalu
banyaknya reseptor dopamine, atau kombinasi kedua mekanisme tersebut.
Satu bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin
memainkan peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam
menggunakan agonis D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010)
Suatu peranan penting bagi dopamine dalam patofisiologi skizofrenia
adalah konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma
metabolit dopamine utama, yaitu homovanillic acid. Beberapa penelitian
sebelumnya telah menyatakan bahwa, dalam kondisi eksperimental yang
terkontrol cermat, konsentrasi homovanillic acid plasma dapat mencerminkan
konsentrasi homovanillic acid di sistem saraf pusat. Penelitian tersebut telah
melaporkan suatu hubungan positif antara konsentrasi homovanillic acid
praterapi yang tinggi dan dua faktor : keparahan gejala psikotik dan respon
terapi terhadap obat antipsikotik. Penelitian homovanillic acid plasma juga
telah melaporkan bahwa, setelah peningkatan sementara konsentrasi
homovanillic acid plasma, konsentrasi menurun secara menetap. Penurunan
tersebut dihubungkan dengan perbaikan gejala pada sekurangnya beberapa
pasien (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
9
Neurotransmitter Lain
a) Serotonin
Serotonin telah mendapatkan banyak perhatian dalam penelitian
skizofrenia sejak pengamatan bahwa antipsikotik atipikal mempunyai
aktivitas berhubungan dengan serotonin yang kuat (sebagai contoh :
clozapine, risperidone, ritanserin). Secara spesifik, antagonism pada
reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) telah disadari penting untuk
menurunkan gejala psikotik dan dalam menurunkan perkembangan
gangguan pergerakan berhubungan dengan antagonisme-D2. Seperti
yang juga telah dinyatakan dalam penelitian tentang gangguan mood,
aktivitas serotonin telah berperan dalam perilaku bunuh diri dan
impulsive yang juga dapat ditemukan pada pasien skizofrenik (Kaplan,
Sadock, & Grebb, 2010).
b) Norepinefrin
Beberapa penelitian telah meloprkan bahwa pemberian antipsikotik
jangka panjang menurunkan aktivitas neuron noreadrenergik di lokus
sereleus dan bahwa efek teraupetik dari beberapa antispikotik mungkin
melibatkan aktivitasnya pada reseptor adrenergik-1 dan adrenergik-2.
Walaupun hubungan antara aktivitas dopaminergic dan noreadrenergik
masih belum jelas, semakin banyak data yang menyatakan bahwa
sistem noreadrenergik memodulasi sistem dopaminergik dalam cara
tertentu sehingga kelaianan sistem noreadrenergik mempredisposisikan
pasien untuk sering relaps (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
c) Asam Amino
Pasien dengan skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABA-ergik
di dalam hipokampus. Hilangnya neuron inhibitor GABA-ergik secara
teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noreadrenergik (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
10
Neuropatologi
a) Sistem Limbik
Sistem limbik, karena peranannya dalam mengendalikan emosi, telah
dihipotesiskan terlibat dalam dasar patofisiologis untuk skizofrenia.
Pada kenyataannya, sistem limbik telah terbukti merupakan daerah
yang paling subur dalam penelitian neuropatologis untuk skizofrenia.
Ditemukan terdapat penurunan ukuran pada amigdala, hipokampus, dan
girus parahipokampus pada pasien sksizofrenia (Kaplan, Sadock, &
Grebb, 2010).
b) Ganglia Basalis
Ganglia basalis telah merupakan perhatian teoritis dalam skizofrenia
karena sekuranggnya dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenik
mempunyai pergerakan yang aneh, bahkan tanpa adanya gangguan
pergerakan akibat medikasi. Gerakan yang aneh dapaat termasuk gaya
berjalan yang kaku, menyeringaikan wajah dan stereotipik. Karena
ganglia basalis terlibat dalam mengendalaikan pergerakan, dengan
demikian patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam patofisiologi
skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologi yang dapat
memiliki psikosis sebagai suatu gejala penyerta, gangguan pergerakan
yang mengenai ganglia basalis (misalnya : Penyakit Hutington) adalah
salah satu yang paling sering berhubungan dengan psikosis pada pasien
yang terkena (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
B. Genetika
Berbagai macam penelitian telah dengan kuat menyatakan suatu komponen
genetika terhadap penurunan skizofrenia. Seseorang kemungkinan menderita
skizofrenia jika anggota keluarga lainnya juga menderita skizofrenia dan
kemungkinan seseorang menderita skizofrenia adalah berhubungan dengan
dekatnya persaudaraan tersebut (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
C. Faktor Keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga berperan penting dalam menimbulkan
kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien pulang ke rumah sering
11
mengalami relaps pada tahun berikutnya dibandingkan yang menetap di residensial.
Pasien yang berisiko yaitu pasien yang tinggal bersama keluarga hostilitas,
memperlihatkan kecemasan berlebihan, sangat protektif terhadap pasien, terlalu
ikut campur, sangat pengeritik. Pasien skizofrenia sering tidak dibebaskan oleh
keluarganya (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010).
3.5. Diagnosis
Pedoman Diagnostik Skizofrenia (Maslim R. , 2013) :
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a) “Thought echo“ = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras) , dan isi pikiran ulangan, walaupun isi sama, namun
kualitasnya berbeda; atau
“Thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu
dari luar dirinya (withdrawal); dan
12
“Thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya;
b) “Delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
“Delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan tertentu dari luar;
(tentang “dirinya“ = secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh atau anggota
gerak atau ke pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
“Delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar, yang
bermakna, sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat;
c) Halusinasi auditorik:
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara), atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasla dari salah satu bagian tubuh
d) Waham – waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau
politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari
dunia lain).
1. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide – ide berlebihan
(over loaded ideas) yang menetap, atau yang apabila terjadi setiap hari
selama berminggu – minggu atau berbulan – bulan terus menerus;
13
b) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme;
c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan
stupor;
d) Gejala – gejala “negatif”, seperti sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika;
2. Adanya gejala – gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodormal);
3. Harus ada suatu perbuatan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan
(overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu,
sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitude), dan penarikan diri secara
sosial.
14
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (deusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar – kejar beraneka ragam, adalah yang paling
khas;
Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.
15
5. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi atau waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless)dan tanpa maksud ( empty
of puspose) adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat –
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahamijalan pikiran pasien.
16
3. Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dan
gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala – gejala lain. Penting
untuk diperhatikan bahwa gejala –gejala katatonik bukan petunjuk untuk
diagnosis skizofrenia. Geja katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak,
gangguan metabolik, atau alkohol dan obat – obatan, serta dapat juga
terjadi pada gangguan afektif.
17
1. Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus
dipenuhi semua :
a) Gejala “negatif” dari skizofrenia yan menonjol, misalnya perlambatan
psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap
pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk sperti dalam ekspresi
muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, erawatan diri
dan kinerja sosial yang buruk;
b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotikyang jelas dimasa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;
c) Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari
skizofrenia;
d) Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan
disabilitas negatif tersebut.
18
3.6. Penatalaksanaan
A. Fase Akut (Kemenkes, 2015) :
1) Farmakoterapi
Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang
lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala
psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.
Langkah Pertama :
Berbicara kepada pasien dan memberinya ketenangan
Langkah Kedua :
Keputusan untuk memulai pemberian obat. Pengikatan atau isolasi hanya
dilakukan bila pasien berbahaya terhadap dirinya sendiri dan orang lain
serta usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan dilakukan hanya
boleh untuk sementara yaitu sekitar 2-4 jam dan digunakan untuk memulai
pengobatan. Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk
mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan
segera perlu dipertimbangkan.
Obat Injeksi :
a) Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2
jam, dosis maksimum 30mg/hari.
b) Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari),
intramuskulus.
c) Haloperidol, dosis 5mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap
setengah jam, dosis maksimum 20mg/hari.
d) Diazepam 10mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum
30mg/hari.
Obat Oral
19
Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman pasien
sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap
antipsikotika, profil efek samping, kenyamanan terhadap obat tertentu
terkait cara pemberiannya. Pada fase akut, obat segera diberikan segera
setelah diagnosis ditegakkan dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan
perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dosis
optimal yang dapat mengendalikan gejala.
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor
lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan
kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang baik,
memberikan dukungan atau harapan, menyediakan lingkunganyang nyaman,
toleran perlu dilakukan.
B. Fase Stabilisasi
1) Farmakoterapi
Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk
mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan
mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah diperoleh
dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu
sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti
psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu
(Kemenkes, 2015).
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia
dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali
gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan
kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk
diterapkan pada fase ini (Kemenkes, 2015).
C. Fase Rumatan
20
1) Farmakoterapi
Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang
masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi
diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali
kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup
(Kemenkes, 2015).
2) Psikoedukasi
Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan
masyarakat.Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif,
pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase
ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola
gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya
(Kemenkes, 2015).
21
dosis. Jika terjadi penurunan kesadaran, segera dirujuk untuk perawatan intensif
(ICU) (Kemenkes, 2015).
BAB 4
22
susah tidur, suka keluyuran malam 1. Atau paling sedikit dua gejala
ke belakang sekolah di dekat rumah, dibawah ini yang harus selalu ada
serta suka tiba-tiba seperti mengejar secara jelas :
seseorang. Pasien sering berbicara a) Halusinasi yang menetap
sendiri, dan tiba-tiba sering marah. dari panca indera apa saja,
Saat kambuh pasien jarang apabila disertai baik oleh
bersosialisasi dengan tetangga, dan ia waham yang mengambang
merasa bahwa ada yang selalu maupun yang setengah
memperhatikannya. Pasien pernah di berbentuk tanpa kandungan
rawat di RSJ Atma Husada, dan keluar afektif yang jelas, ataupun
pada tahun 2018. Selama di rumah disertai oleh ide – ide
pasien masih minum obat, tetapi jika berlebihan (over loaded ideas)
obatnya telah habis, pasien tidak mau yang menetap, atau yang
di ajak kontrol untuk mengambil obat, apabila terjadi setiap hari
mulai dari situ pasien putus obat. selama berminggu – minggu
Pertama kali gejala tersebut muncul atau berbulan – bulan terus
sekitar tahun 2014, dikarenakan pasien menerus;
putus cinta dan ada masalah pada b) Arus pikiran yang terputus
pekerjaannya. Pendidikan pasien hanya (break) atau yang mengalami
sampai SD dan tidak tuntas, sisipan (interpolation), yang
dikarenakan pasien sering tidak naik berakibat inkoherensi atau
kelas saat SD, lalu pasien merasa malu pembicaraan yang tidak
dan meminta untuk berhenti sekolah. relevan atau neologisme;
Sebelum sakit pasien dapat bergaul c) Perilaku katatonik, seperti
dengan teman-teman dan keluarganya keadaan gaduh gelisah
dengan baik. Pasien sempat bekerja (excitement), posisi tubuh
menjadi supir dan tukang bangunan. tertentu (posturing), atau
Untuk aktivitas sehari-hari seperti fleksibilitas cerea,
makan dan mandi, jika sedang timbul negativisme, mutisme dan
gejala pasien harus diarahkan agar stupor;
makan dan mandi, tetapi jika sedang d) Gejala – gejala “negatif”,
23
tidak kambuh pasien dapat seperti sangat apatis, bicara
melakukannya secara mandiri yang jarang, dan respons
Pemeriksaan Status Mental emosional yang menumpul
- Kesan Umum : Berpakaian kurang atau tidak wajar, biasanya
rapi, tampak bingung, kooperatif yang mengakibatkan penarikan
- Kontak : Verbal (+), Visual (-) diri dari pergaulan sosial dan
- Kesadaran : Composmentis, Atensi menurunnya kinerja sosial;
menurun tetapi harus jelas bahwa semua
- Emosi : Labil hal tersebut tidak disebabkan
- Proses Berpikir : Blocking oleh depresi atau medikasi
- Intelegensi : Kesan Kurang neuroleptika;
- Persepsi : Haalusinasi Visual (+) 2. Adanya gejala – gejala khas
- Kemauan : ADL Diarahkan tersebut diatas telah berlangsung
- Psikomotor : Dalam Batas Normal selama kurun waktu satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk
setiap fase nonpsikotik prodormal);
3. Harus ada suatu perbuatan yang
konsisten dan bermakna dalam
mutu keseluruhan (overall quality)
dari beberapa aspek perilaku
pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya
minat, hidup tak bertujuan,
tidak berbuat sesuatu, sikap
larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan
penarikan diri secara sosial.
24
2. Sebagai tambahan :
Halusinasi dan/atau waham
harus menonjol;
Suara – suara halusinasi yang
mengancam pasien atau
memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa
bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung
(humming), atau bunyi tawa
(laughing);
Halusinasi pembauan atau
pengecapan rasa, atau bersifat
seksual, atau lain – lain
perasaan tubuh; halusinasi
visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol;
Waham dapat berupa hampir
setiap jenis, tetapi waham
4.2. Ter
dikendalikan (delusion of
api
control), dipengaruhi (deusion
of influence), atau “passivity”
(delusion of passivity), dan
keyakinan dikejar – kejar
beraneka ragam, adalah yang
paling khas;
Gangguan afektif, dorongan
kehendak dan pembicaraan,
serta gejala katatonik secara
relatif tidak nyata/tidak
menonjol.
25
Fakta Teori
Risperidone 2 x 2 mg Standar emas baru untuk tatalaksana
Clozapine 2 x 50 mg skizofrenia yaitu APG-II.
APG-II :
Risperodone dengan dosis anjuran 2-
8 mg/hari. Sediaan
tablet ( 1 mg, 2 mg, 3 mg), tetes ( 1
mg/mL), injeksi Long Acting (25 mg,
37.5 mg, 50 mg)
DAFTAR PUSTAKA
Frankenburg, F. R. (2018, April 9). Schizophrenia. (G. L. Xiong, Ed.) United State of America:
Medscape.
Gunawan, S., Setiabudy, R., & Nafrialdi. (2008). Farmakologi dan Terapi (5th ed.). Jakarta,
Indonesia: Departemen Farmakologi dan Terapetik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Kaplan, H., Sadock, B., & Grebb, J. (2010). Sinopsis Psikiatri . Tangerang: Binarupa Aksara.
Kemenkes. (2015). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. Jakarta: Kementrian
Kesehatan.
Kemenkes. (2018). Riskesdas 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan.
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa . Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran
Jiwa FK-Unika Atmajaya .
26