Anda di halaman 1dari 5

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses menua adalah proses alami yang disertai adanya penurunan

kondisi fisik dimana terlihat dari penurunan fungsi organ tubuh.

Bertambahnya umur manusia, akan terjadi proses penuaan dengan diikuti

berbagai permasalahan kesehatan terutama secara degeneratif yang

berdampak pada perubahan diri manusia baik secara fisik, kognitif, perasaan,

sosial dan kualitas tidur (Kadir, 2007 dalam Wibowo, 2009). Usia lanjut

adalah fase menurunnya kemampuan akal dan fisik, yang di mulai dengan

adanya beberapa perubahan dalam hidup. Sebagaimana diketahui, manusia

berkembang dari usia balita, remaja, dewasa dan lansia yang merupakan

tahap akhir kehidupan. Ketika kondisi hidup berubah, seseorang akan

kehilangan tugas dan fungsinya, selanjutnya memasuki usia lanjut, kemudian

mati. Bagi manusia yang normal, tentu telah siap menerima keadaan baru

dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi

lingkungannya (Darmojo, 2009).

Usia lanjut dapat dimulai dari batasan umur setelah dewasa akhir.

Kisaran dimulainya usia lanjut adalah sekitar 60 sampai dengan 65 tahun.

Dalam bukunya Hardywinoto (2005) mengatakan yang dimaksud dengan

kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke

atas. Sedangkan WHO menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia

1
2

kronologis atau biologis menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle

age) antara usia 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60

dan 74 tahun, lanjut usia tua (old) usia 75 –90 tahun, dan usia sangat tua (very

old). (Mubarok dkk, 2006).

Perkembangan lansia di Indonesia dari tahun ke tahun jumlahnya

cenderung meningkat, dengan semakin meningginya usia harapan hidup. Data

Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa penduduk lansia di Indonesia pada

tahun 2000 sebanyak 14.439.967 jiwa (7,18 persen dari jumlah keseluruhan

penduduk Indonesia), selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi

23.992.553 jiwa (9,77 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia).

Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lansia mencapai 28.822.879 jiwa

(11,34 persen dari jumlah keseluruhan penduduk Indonesia). (Badan Pusat

Statisik Indonesia, 2012). Jumlah tersebut menempatkan Indonesia pada

urutan ketiga dari negara-negara Asia dengan jumlah lansia terbesar setelah

Cina dan India (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Seiring dengan banyaknya jumlah lansia di Indonesia, maka perlu

perhatian khusus untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Pertambahan

umur menyebabkan terjadinya perubahan dalam tahapan tidur. Pada

kenyataannya, meskipun mereka mempunyai waktu yang cukup untuk tidur,

tetapi terjadi penurunan kualitas tidur.

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan

tidur dirasakan dalam kehidupan setelah seharian lelah beraktivitas dan secara

otomatis tubuh akan memberi sinyal untuk istirahat (Hardinge & Shryock,
3

2001). Tubuh manusia mempunyai batas dalam beraktivitas. Jika telah

mencapai batasnya, energi dalam tubuh menjadi berkurang dan manusia akan

merasa kelelahan. Saat mengalami kelelahan, seseorang harus tidur agar

tubuh bisa optimal untuk beraktivitas pada hari berikutnya. Seseorang akan

terbangun dari tidurnya secara perlahan dan alami saat tubuh sudah

mendapatkan tidur yang cukup (Johns, Sutton, & Webster, 1962). Kebutuhan

tidur yang cukup ditentukan oleh kualitas dan kuantitas tidur yang

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain penyakit, latihan dan kelelahan,

stress psikologis, obat, nutrisi, lingkungan, dan motivasi (Apriana, 2015).

Adapun gangguan masalah tidur yang sering dialami lansia berupa

susah tidur pulas, sering terbangun di malam hari dan sulit memulai tidur

kembali, berkurangnya waktu tidur malam, semakin panjangnya waktu yang

dibutuhkan untuk jatuh tidur (sleep latency), perasaan tidur yang kurang,

terbangun cepat dan tidur sekejap pada siang hari (naps) sering terjadi

berulang dan tidak disadari. Jumlah total waktu tidur normal pada kebutuhan

tidur sewajarnya yaitu 6 jam/hari (Potter & Perry, 2011). Perubahan pola

tidur pada lansia didasari oleh berubahnya ritme sirkadian. Hal ini

dikarenakan oleh aspek fisiologis dimana terjadi penurunan sistem endokrin.

Salah satu contoh penurunan sistem endokrin adalah terganggunya sekresi

norepinephrine dan serotonin. Keduanya berperan dalam hal terjaga dan rasa

kantuk. Hal inilah yang mengakibatkan gangguan tidur.

Fungsi dari sistem organ makhluk hidup diatur oleh ritme sirkadian

selama 24 jam. Ritme sirkadian mengatur siklus tidur, suhu tubuh, aktivitas
4

saraf otonom, aktivitas kardiovaskuler dan sekresi hormon. Pusat pengaturan

ritme sirkadian adalah suprachiasmatic nucleus (SCN) di hipotalamus. Faktor

yang mempengaruhi kerja dari SCN adalah cahaya, aktivitas sosial dan fisik

(Bliwise & Endeshaw, 2006). Pada saat cahaya masuk ke retina maka neuron

fotoreseptor SCN akan teraktivasi. SCN akan merangsang pineal gland untuk

mensekresikan melatonin yang dapat menimbulkan rasa kantuk (Galimi,

2010). Penurunan fungsi dari SCN berkaitan dengan pertambahan umur. Pada

usia lanjut yang mengalami penurunan fungsi SCN akan menyebabkan

terjadinya gangguan pada ritme sirkadian (Bliwise & Endeshaw, 2006).

Penanganan gangguan tidur dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu

secara farmakologi dan secara non farmakologi. Secara farmakologi yaitu

dengan memberikan obat sedative hipnotik seperti golongan benzodiazepine

(ativan, valium, dan diazepam) (Widya, 2010). Namun, pada lansia terjadi

perubahan farmakodinamik, farmakokinetik serta metabolisme obat dalam

tubuh lansia yang menyebabkan penatalaksanaan dengan farmakologis sangat

memberi risiko pada lansia. Dengan demikian penatalaksanaan secara non

farmakologi adalah pilihan alternative yang lebih aman, yakni dengan cara

terapi stimulus control, melakukan olahraga ringan, berjalan kaki pada pagi

hari, berlari-lari kecil, senam atau sekedar peragangan otot dan terapi

relaksasi (Putra, 2011).

Salah satu terapi relaksasi adalah dengan rendam kaki dengan air

hangat. Kondisi tersebut, tercipta proses konduksi dimana terjadi perpindahan

panas atau hangat dari air hangat ke dalam tubuh karena ada banyak titik
5

akupuntur di telapak kaki. Kerja air hangat pada dasarnya adalah

meningkatkan aktivitas (sel) dengan metode pengaliran energi melalui

konveksi (pengaliran lewat medium cair). Metode perendaman kaki dengan

air hangat memberikan efek fisiologis terhadap beberapa bagian tubuh organ

manusia seperti jantung. Tekanan hidrostatik air terhadap tubuh mendorong

aliran darah dari kaki menuju ke rongga dada dan darah akan berakumulasi di

pembuluh darah besar jantung. Air hangat akan mendorong pembesaran

pembuluh darah dan meningkatkan denyut jantung efek ini berlangsung cepat

setelah terapi rendam air hangat diberikan. Prinsip kerja terapi ini juga akan

menyebabkan pelebaran pembuluh darah dan penurunan ketegangan otot

sehingga dapat memperlancar peredaran pembuluh darah, ketika sirkulasi

darah lancar maka tubuh kita akan rileks dan kualitas tidurpun semakin

membaik (Perry & Potter, 2007).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penulis tertarik

melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh Hidroterapi Rendam Kaki

Menggunakan Air Hangat Terhadap Kualitas Tidur Lansia di Desa Billapora

Rebba Kecamatan Lenteng Kabupaten Sumenep”

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:

Apakah ada pengaruh hidroterapi rendam kaki menggunakan air

hangat terhadap kualitas tidur lansia di Desa Billapora Rebba Kecamatan

Lenteng Kabupaten Sumenep?

Anda mungkin juga menyukai