Anda di halaman 1dari 32

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia

2.1.1 Definisi lanjut usia

Lanjut usia berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang

menganggap bahwa orang telah tua jika menunjukkan ciri fisik seperti

rambut beruban, kerutan kulit, dan hilangnya gigi (Stanley and Beare,

2007). Kemudian menurut UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan

bahwa lansia (lanjut usia) adalah seseorang yang karena usianya

mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan dan sosial. Pengertian

dan pengelolaan lansia menurut Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 13 Tahun 1998 tentang lansia sebagai berikut :

1. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas

2. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan

pekerjaan dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa

3. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari

nafkah sehingga hidupnya tergantung pada bantuan orang lain.

Lanjut usia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada

daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4)

UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dalam Maryam (2008)

dikatakan bahwa lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai

usia lebih dari 60 tahun.

8
9

2.1.2 Batasan-batasan lanjut usia

1. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang dikatakan lanjut usia

dibagi ke

dalam empat kategori, yaitu:

a. Usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45-59 tahun

b. Lanjut usia (elderly) antara 60-74 tahun

c. Lanjut usia tua (old) antara 75-90 tahun

d. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

2. Menurut Departemen Kesehatan RI batasan lansia terbagi dalam

empat kelompok, yaitu;

a. Kelompok menjelang lanjut usia (45-54 tahun), keadaan ini

dikatakan sebagai masa verilitas

b. Kelompok lanjut usia (55-64) sebagai masa presenium

c. Kelompok kelompok lanjut usia (>65 tahun) yang dikatakan

sebagai masa senium.

2.1.3 Tipe lanjut usia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter,

pengalaman hidup, lingkungan, kodisi fisik, mental, sosial, dan

ekonominya (Maryam dkk, 2008). Tipe tersebut dijabarkan sebagai

berikut :

1. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah


10

hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi

panutan.

2. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi

undangan.

3. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik

dan banyak menuntut.

4. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama,

dan melakukan pekerjaan apa saja.

5. Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, kurang percaya

diri, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, konstruktif,

independent (ketergantungan), defensife (bertahan), militan dan serius,

pemarah/frustasi (kecewa akibat kegagalan dalam melakukan

sesuatu), serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).

2.1.4 Proses penuaan

Penuaan adalah normal, dengan perubahan fisik dan tingkah

laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat
11

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Ini

merupakan suatu fenomena yang kompleks multidimensional yang

dapat diobservasi di dalam satu sel dan berkembang sampai pada

keseluruhan sistem (Stanley, 2007).

Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik

perkembangan yang maksimal. Setelah itu, tubuh mulai menyusut

dikarenakan berkurangnya jumlah sel-sel yang ada di dalam tubuh.

Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami penurunan fungsi

secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses penuaan (Maryam

dkk, 2008).

Aging process atau proses penuaan merupakan suatu proses

biologis yang tidak dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap

orang. Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-

lahan (gradual) kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau

mengganti serta mempertahankan struktur dan fungsi secara normal,

ketahanan terhadap cedera, termasuk adanya infeksi. Proses penuaan

sudah mulai berlangsung sejak seseorang mencapai dewasa, misalnya

dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, susunan saraf, dan

jaringan lain sehingga tubuh “mati” sedikit demi sedikit. Sebenarnya

tidak ada batasan yang tegas, pada usia berapa kondisi kesehatan

seseorang mulai menurun.

Setiap orang memiliki fungsi fisiologis alat tubuh yang sangat

berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak fungsi tersebut maupun


12

saat menurunnya. Umumnya fungsi fisiologis tubuh mencapai

puncaknya pada usia 20-30 tahun. Setelah mencapai puncak, fungsi

alat tubuh akan berada dalam kondisi tetap utuh beberapa saat,

kemudian menurun sedikit demi sedikit sesuai dengan bertambahnya

usia (Mubarak, 2009).

Pengaruh proses menua dapat menimbulkan berbagai masalah,

baik secara biologis, mental, maupun ekonomi. Semakin lanjut usia

seseorang, maka kemampuan fisiknya akan semakin menurun,

sehingga dapat mengakibatkan kemunduran pada peran-peran

sosialnya (Tamher, 2009).

2.1.5 Teori-teori proses penuaan

Menurut Maryam, dkk (2008) ada beberapa teori yang

berkaitan dengan proses penuaan, yaitu : teori biologi, psikologi,

sosial, dan spiritual.

1. Teori biologis Teori biologi mencakup teori genetik dan mutasi,

immunology

slow theory, teori stres, teori radikal bebas, dan teori rantai silang.

a. Teori genetik dan mutasi

Menurut teori genetik dan mutasi, semua terprogram secara

genetik untuk spesies-spesies tertentu. Menua terjadi sebagai

akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh

molekulmolekul DNA dan setiap sel pada saatnya akan

mengalami mutasi.
13

b. Immunology slow theory

Menurut immunology slow theory, sistem imun menjadi efektif

dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke dalam tubuh

yang dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh.

c. Teori stres

Teori stres mengungkapkan menua terjadi akibat hilangnya sel-

sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak dapat

mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan

usaha, dan stres yang menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.

d. Teori radikal bebas

Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya

radikal bebas (kelompok atom) mengakibatkan oksidasi oksigen

bahan-bahan organik seperti karbohidrat dan protein. Radikal ini

menyebabkan sel-sel tidak dapat melakukan regenerasi.

e. Teori rantai silang

Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia selsel

yang tua menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan

kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas

kekacauan, dan hilangnya fungsi sel.

2. Teori psikologi

Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula

dengan keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif.

Adanya penurunan dan intelektualitas yang meliputi persepsi,


14

kemampuan kognitif, memori, dan belajar pada lanjut usia

menyebabkan sulit untuk dipahami dan berinteraksi.

Persepsi merupakan kemampuan interpretasi pada

lingkungan. Kemudian dengan adanya penurunan fungsi sistem

sensorik, maka akan terjadi pula penurunan kemampuan untuk

menerima, memproses, dan merespons stimulus sehingga terkadang

akan muncul aksi/reaksi yang berbeda dari stimulus yang ada.

3. Teori sosial

Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses

penuaan, yaitu teori interaksi sosial (social exchange theory), teori

penarikan diri (disengagement theory), teori aktivitas (activity

theory), teori kesinambungan (continuity theory), teori

perkembangan (development theory), dan teori stratifikasi usia (age

stratification theory).

a. Teori interaksi sosial

Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lansia bertindak pada

suatu situasi tertentu, yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai

masyarakat. Pada lansia, kekuasaan dan prestasinya berkurang

sehingga menyebabkan interaksi sosial juga berkurang, yang

tersisa hanyalah harga diri dan kemampuan untuk mengikuti

perintah.
15

b. Teori penarikan diri

Teori ini menyatakan bahwa kemiskinan yang diderita lansia dan

menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan seorang lansia

secara perlahan-lahan menarik diri dari pergaulan disekitarnya.

c. Teori aktivitas

Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung

bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam

melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut

lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang

dilakukan.

d. Teori kesinambungan

Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus

kehidupan lansia. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat.

2.1.6 Perubahan-perubahan pada lanjut usia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia adalah

perubahan fisik dan bilogis, perubahan mental, perubahan psikososial,

perubahan spiritual dan perubahan ekonomi.

1. Perubahan biologis dan fisik

Kemunduran biologis terlihat dari gejala kemunduran fisik

yang disebabkan oleh perubahan fungsi sel-sel tubuh akibat proses

penuaan atau akibat kerusakan permanen dari sel-sel tubuh akibat

pernyakit tertentu semasa muda. Perubahan biologis meliputi

perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh,


16

diantaranya sistem pernafasan, sistem persarafan, sistem

pendengaran, sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan temperatur

tubuh, sistem respirasi, muskuloskeletal, gastrointestinal, sistem

reproduksi, sistem genitourinaria, sistem endokrin, dan sistem

integumen (Miller 2004, dalam Nugroho, 2011).

Perubahan fisik yang dapat terjadi pada lansia antara lain :

kulit mengendur, pada wajah timbul keriput, garis-garis ayang

menetap, rambut mulai beruban dan menjadi putih, gigi mulai

ompong, penglihatan dan pendengaran mulai berkurang,

kerampingan tubuh menghilang, terjadi penimbunan lemak

terutama di bagian perut dan pinggul mudah lelah, gerakan menjadi

lamban dan kurang lincah. Perubahan yang terjadi pada semua

organ tubuh pada lansia menyebabkan kemunduran fungsinya dan

tubuh menjadi urang efisien (Nugroho, 2011).

Perubahan biologis dan fisik berpengaruh pada status

kesehatan mental dan sosial lansia di masyarakat. Keadaan ini akan

menyebabkan lansia tergantung pada orang lain dan lansia merasa

tidak diperlukan lagi di masyarakat sekitarnya.

2. Perubahan mental

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadi perubahan

mental pada lansia adalah perubahan fisik, khususnya organ

perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan (pengetahuan),

keturunan (hereditas), dan lingkungan (Nugroho, 2011). Perubahan


17

fisik yang terjadi pada lansia dapat mengakibatkan perubahan

kepribadian, perubahan konsep diri perubahan terhadap gambaran

diri, perubahan/kemunduran kognitif dan memori (daya ingat).

3. Perubahan psikososial

Perubahan psikososial dapat dilihat dari 2 aspek, yaitu aspek

psikososial dan aspek sosial. Perubahan psikososial mempunyai

pengaruh timbal balik dan berpotensi menimbulkan stres

psikososial. Menurut Nugroho (2011), nilai seseorang sering diukur

melalui produktifitasnya dan identitasnya dikaitkan dengan peranan

dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun (purnatugas), seseorang

akan mengalami kehilangan antara lain:

a. Kehilangan finansial (pendapatan berkurang)

b. Kehilangan status (dulu mempunyai jabatan/posisi yang cukup

tinggi, lengkap dengan semua fasilitas)

c. Kehilangan hubungan dengan teman-teman/kenalan atau relasi

d. Kehilangan pekerjaan atau kegiatan dan merasakan atau sadar

akan kematian, perubahan cara hidup (memasuki rumah

perawatan, bergerak lebih sempit), kemampuan ekonomi

berkurang akibat pemberhentian dari jabatan, biaya hidup

meningkat, biaya pengobatan bertambah, adanya penyakit

kronis dan ketidakmampuan, timbul kesepian akibat

pengasingan dari lingkungan sosial, adanya gangguan saraf


18

panca indra, timbul kebutaan dan ketulian, gangguan nutrisi

akibat kehilangan jabatan.

Rangkaian kehilangan, seperti kehilangan hubungan

dengan teman dan keluarga, hilangnya kekuatan dan ketegapan

fisik (perubahan terhadap gambaran diri, dan perubahan konsep

diri).

4. Perubahan spiritual

Lansia semakin tertarik dengan kegiatan keagamaan karena

hari kematiannya yang sangat dekat. Agama/kepercayaan semakin

terintegrasi dalam kehidupannya (Maslow, 1970, dalam Nugroho,

2011). Sikap terhadap kegiatan keagamaan dan agama pada lansia

membuktikan adanya fakta-fakta yang menunjukan meningkatnya

minat terhadap agama seiring dengan penambahan usia. Lansia

juga semakin matur dalam kehidupan keagamannya, yang terlihat

dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari (Murray & Zentner,

1970, dalam Nugroho, 2011). Hal ini dapat terjadi karena kegiatan

keagaman memberi bantuan pada lansia untuk mempunyai koping

yang kuat sesuai dengan pertambahan usia.

5. Perubahan ekonomi

Masalah ekonomi yang dialami lansia adalah pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari seperti kebutuhan sandang, pangan,

perumahan, kesehatan, rekreasi, dan sosial. Dengan kondisi fisik

dan psikis yang menurun menyebabkan mereka kurang mampu


19

menghasilkan pekerjaan yang produktif. Status ekonomi lansia

pada umumnya berada dalam lingkungan kemiskinan. Keadaan

tersebut akan mengakibatkan lansia tidak mandiri, secara finansial

tergantung kepada keluarga atau masyarakat bahkan pemerintah.

2.2 Konsep Tidur

2.2.1 Pengertian Tidur

Tidur adalah suatu keadaan yang berulang-ulang, dimana

terjadi perubahan status kesadaran dalam jangka waktu tertentu.

Ketika seseorang mendapatkan tidur yang cukup, mereka merasa

tenaganya telah pulih. Tidur juga merupakan metode untuk perbaikan

dan pemulihan sistem tubuh. Kualitas dan kuantitas tidur yang tepat

dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan yang optimal (Potter

& Perry, 2011).

Pemaparan serupa juga disebutkan oleh Black (2008) yang

mengatakan bahwa tidur merupakan keadaan normal yang ditandai

dengan adanya perubahan kesadaran selama tubuh dalam periode

istirahat. Penurunan kemampuan untuk merespon terhadap rangsangan

yang ada di sekitarnya juga terjadi pada periode ini, namun individu

dapat dibangunkan dari tidurnya kembali dengan rangsangan dari luar.

Tidur merupakan suatu siklus yang ditandai adanya penurunan

kesadaran dan aktivitas fisik dan proses metabolisme disertai adanya

mimpi selama periode terntentu dan berulang.


20

Berdasarkan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa tidur

merupakan keadaan normal dan alamiah. Pada kondisi tidur, terjadi

penurunan kesadaran dan aktivitas fisik. Penurunan kemampuan

merespon rangsangan dari sekitar juga terjadi. Keadaan ini terjadi

pada periode tertentu dan berulang-ulang.

2.2.2 Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh

adanya hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian untuk

mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun.

Pusat pengaturan tersebut terdapat pada medula oblongata (Hidayat,

2008). Pengaturan siklus tidur merupakan suatu proses yang bertujuan

untuk mempertahankan keseimbangan. Mekanisme homeostasis

dalam siklus tidur berhubungan dengan aktivitas sel-sel neuron dalam

batang otak serta peran dari neurotransmitter yang diproduksi

hipotalamus (Juddith, 2010).

Pusat pengaturan aktivitas kewaspadaan dan tidur terletak

dalam mesensefalon dan bagian atas pons. Dalam keadaan sadar,

neuron dalam Reticular Activating System (RAS) akan melepaskan

katekolamin seperti norepineprin. Selain itu, RAS yang dapat

memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan

juga dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk

rangsangan emosi dan proses pikir (Hidayat, 2008). Beberapa

neurohormon dan neurotransmitter juga dihubungkan dengan tidur


21

dan terbangun. Produksi yang dihasilkan oleh dua mekanisme serebral

dalam batang otak ini menghasilkan serotonin. Serotonin merupakan

neurotransmitter yang bertanggung jawab terhadap transfer impuls-

impuls syaraf ke otak dan juga berperan spesifik dalam menginduksi

rasa kantuk.

Saat tidur terdapat pelepasan serum serotonin dari sel khusus

yang berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar

Synchronizing Regional (BSR). Sedangkan pada saat bangun

bergantung dari keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan

sistem limbik. Dengan demikian, sistem pada batang otak yang

mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah RAS dan BSR

(Hidayat, 2008). Waktu tidur dikontrol oleh Suprachiasmatic Nucleus

(SCN) yang mengatur irama sirkadian. Dalam tubuh serotonin diubah

menjadi melatonin. Melatonin merupakan hormon katekolamin yang

diproduksi secara alami dan dapat membantu irama sirkadian pada

siklus tidur bangun (Potter & Perry, 2011).

Keadaan terjaga dikendalikan oleh neurotransmitter

norepinephrine, sedangkan keadaan tidur dikendalikan oleh serotonin

yang diubah menjadi melatonin (Wold, 2008). Katekolamin yang

dilepaskan dari neuron-neuron Reticular Activating System akan

menghasilkan hormon norepinephrine yang umumnya hormon ini

akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktivitas.

Seseorang dalam keadaan stress atau cemas, kadar hormon ini akan
22

meningkat dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatetik

sehingga seseorang akan terus terjaga. Menurut Potter dan Perry

(2011) seseorang tetap terjaga atau tertidur tergantung pada

keseimbangan impuls yang diterima dari pusat yang lebih tinggi

seperti pikiran, reseptor sensori perifer seperti stimulus bunyi atau

cahaya, dan sistem limbik seperti emosi. Orang yang mencoba tertidur

maka aktivasi RAS menurun dan BSR mengambil alih kemudian

seseorang bisa tertidur. Penurunan aktivitas RAS akan menurunkan

aktivitas korteks serebral ditambah dengan peningkatan kadar

melatonin yang membuat mengantuk dan pada akhirnya tertidur.

Seseorang akan terbangun dari tidurnya jika ada rangsangan dari

lingkungan yang menstimulasi RAS untuk aktif.

2.2.3 Tahap-tahap Tidur Normal

Tidur yang normal dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu periode

terjaga atau bangun, tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan

tidur Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM dan REM

merupakan komponen utama dan penting dalam mempertahankan

fungsi tubuh seharihari. Selama NREM seorang yang tidur mengalami

kemajuan melalui empat tahapan selama 90 menit dari siklus tidurnya.

Kualitas tidur semakin meningkat dari tahap 1 sampai tahap 4. Tahap

1 dan 2 merupakan tidur yang dangkal dan seseorang mudah

terbangun, sedangkan tahap 3 dan 4 adalah tidur dalam dan sulit


23

terbangun. Fase akhir dari tidur yakni REM yang kira-kira lamanya 90

menit (Potter & Perry, 2011).

Pada saat periode NREM, hormon disekresi untuk

meningkatkan pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh. Sedangkan

tidur REM merupakan periode yang aktif dan disertai mimpi. Periode

REM yang cukup dapat berdampak pada proses mengolah informasi,

menyimpan memori jangka panjang dan kemampuan konsentrasi

(Caple & Grose, 2011).

2.2.4 Siklus Tidur

Siklus tidur normal dimulai dengan tahap pra tidur, yakni

perubahan dari keadaan sadar sampai mengantuk, lamanya sekitar 10-

30 menit. Selanjutnya, memasuki tahap tidur untuk menyelesaikan 4-6

tahap dalam siklus tidur (Potter & Perry, 2011). Adapun siklus tidur

sebagai berikut:

1. Periode terjaga

Periode ini ditandai dengan mata terbuka dan beresponnya

individu terhadap lingkungan sekitarnya. Seseorang juga dapat

merasakan rileks pada periode ini, dan pada akhirnya merasa

mengantuk.

2. Periode tidur NREM (75%)

Periode tidur NREM dimulai dari tidur dangkal sampai tidur

dalam. Tidur NREM berhubungan dengan fungsi aktivitas otot,

penurunan pernapasan, penurunan aktivitas otak. Selama periode


24

tidur metabolisme meningkat disertai dengan aliran darah terutama

pada daerah otak (Wilson, 2008).

Tidur NREM terdiri dari 4 tahap yang menunjukkan tingkat

kedalaman tidur setiap masing-masing tahapnya dengan

karakteristik yang berbeda-beda. Tahap-tahap periode tidur NREM

adalah sebagai berikut:

a. Tahap 1 (5% NREM)

Ditandai dengan mata mulai menutup, perasaan lebih

rileks, pikiran hilang timbul dan merasa seperti melayang, pada

tahap ini seseorang mudah dibangunkan. Tahap ini disebut juga

tidur ringan yang ditandai dengan penurunan aktivitas fisik,

tandatanda vital dan metabolisme (Potter & Perry, 2011; Wilson,

2008).

b. Tahap 2 (45% NREM)

Tahap 2 merupakan periode tidur bersuara, adanya

peningkatan relaksasi dan gerakan mata mulai berkurang serta

masih mudah untuk dibangunkan. Tahap ini terjadi selama 10-20

menit (Potter & Perry, 2011; Wilson, 2008).

c. Tahap 3 (12% NREM)

Tahap ini disebut sebagai awal tidur yang dalam dan

berlangsung sekitar 15-30 menit. Kondisi otot pada tahap ini

dalam keadaan santai penuh, tanda vital menurun tetapi tetap


25

teratur. Biasanya pada tahap ini orang akan sulit dibangunkan

dan jarang bergerak (Potter & Perry, 2011).

d. Tahap 4 (13% NREM)

Tahap ini merupakan tahap tidur yang terdalam, sangat

sulit dibangunkan disertai penurunan tanda-tanda vital,

berlangsung sekitar 15-30 menit. Tidur sambil berjalan dan

enuresis dapat terjadi pada tahap ini (Potter & Perry, 2011).

3. Periode tidur Rapid Eye Movement (REM)

Tidur REM umumnya terjadi sekitar 90 menit setelah tertidur

bersama siklus tidur NREM yang ditandai dengan gerakan mata

yang cepat, kelopak mata tertutup, pernapasan lebih cepat, tidak

teratur dan dangkal, denyut jantung dan tekanan darah meningkat.

Tahap ini juga ditandai dengan penurunan tonus otot dan

peningkatan sekresi lambung. Tidur REM merupakan 20-25% dari

siklus tidur (Potter & Perry, 2011).

2.2.5 Fungsi Tidur

Tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan energi untuk

periode terjaga berikutnya. Periode tidur juga bagian dari proses

mempertahanan fungsi fisiologis normal. Penggunaan energi sehari-

hari perlu diganti dengan periode istirahat pada waktu malam hari

(Potter & Perry, 2011).

Dalam siklus tidur dikenal tahap REM, tahap ini sangat

penting untuk jaringan otak dan memelihara fungsi kognitif. Tidur


26

REM menyebabkan perubahan aliran darah ke otak, peningkatan

aktivitas korteks, peningkatan konsumsi oksigen dan pengeluaran

ephineprine. Selain itu, tidur juga berfungsi untuk mempertahankan

fungsi mental, memori, aktivitas sistem imun dan regulasi hormon

(Potter & Perry, 2011).

2.2.6 Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk

mempertahankan keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur

REM dan NREM yang tepat. Tidur yang berkualitas merupakan suatu

keadaan tidur yang dijalani seorang individu dan menghasilkan

kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup

aspek kuantitas dari tidur seperti durasi tidur, latensi tidur dan aspek

subjektif dari tidur seperti kepuasan tidur dan gangguan tidur.

(Khasanah, 2012).

Pengkajian tentang kualitas tidur dapat dilakukan dengan

beberapa kuesioner. Ada tiga contoh instrument untuk pengkajian

kebutuhan istirahat tidur antara lain Stanford Sleepiness Scale (SSS),

The Epworth Sleepiness Scale (ESS), The Pittburgh Sleep Quality

Index (PSQI). Dimana SSS dan ESS digunakan untuk mengukur

perasaan mengantuk atau kelelahan pada waktu tertentu, tetapi ESS

lebih mengukur kecenderungan tertidur dan jatuh tidur pada waktu

tertentu. Selain itu ada juga Sleep Quality Scale (SQS) dimana

kuesioner tersebut mempunyai enam komponen, yaitu; gejala di siang


27

hari, kebugaran setelah tidur, masalah saat memulai tidur,

mempertahankan tidur, kesulitan bangun dari tidur, dan kepuasan

terhadap tidur. Sedangkan Pittsburgh Sleep Quality

Index (PSQI) yang terdiri dari tujuh komponen meliputi latensi tidur,

durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, kebiasaan penggunaan

obat tidur, gangguan saat siang hari dan kualitas tidur subjektif

(Buysse, 1989; Smyth, 2012).

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas tidur

adalah:

1. Usia

Penuaan menyebabkan perubahan yang dapat mempengaruhi

pola tidur. Pada usia lanjut proporsi waktu yang dihabiskan dalam

tidur tahap 3 dan tahap 4 menurun, sementara yang dihabiskan di

tidur ringan tahap 1 meningkat dan tidur menjadi kurang efisien.

Bertambahnya usia juga berhubungan dengan penurunan kualitas

tidur malam, misalnya sekitar 30% individu mengalami insomnia.

Hal ini disebabkan oleh adanya perubahan irama sirkadian yang

mengatur siklus tidur dan menyebabkan gangguan siklus tidur dan

terjaga (Juddith, Julie, & Elizabeth, 2010; Potter & Perry, 2011).

2. Penyakit fisik

Tidur dapat terganggu dengan adanya penyakit fisik yang

diderita, diantaranya adalah asma, jantung koroner, hipertensi,

diabetes mellitus, hipotiroid dan hipertiroid. Setiap penyakit yang


28

menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik atau masalah suasana

hati seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi masalah

tidur. Penyakit juga memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang

tidak biasa, seperti memperoleh posisi tertentu agar mencegah

komplikasi atau dalam rangka imobilisasi (Potter & Perry, 2011).

3. Obat-obatan dan zat tertentu

Beberapa obat dapat menimbulkan efek samping terhadap

penurunan tidur REM. Hipnotik dapat mengganggu tahap III dan

IV tidur NREM, betablocker dapat menyebabkan insomnia dan

mimpi buruk, sedangkan narkotik (misalnya: meperidin

hidroklorida dan morfin) diketahui dapat menekan tidur REM dan

menyebabkan seringnya terjaga di malam hari (Potter & Perry,

2011).

4. Gaya hidup

Kelelahan dapat mempengaruhi pola tidur, semakin tinggi

tingkat kelelahan maka akan tidur semakin nyenyak yang

menyebabkan periode tidur REM lebih pendek. Gaya hidup

seseorang yang mempunyai kebiasaan mengkonsumsi minuman

yang mengandung kafein, alkohol, dan penggunaan obat-obatan

juga dapat menyebabkan masalah tidur. Selain itu faktor lain yang

juga mempengaruhi pola tidur adalah akibat bekerja berat, aktivitas

sosial yang larut serta perubahan pola makan waktu malam hari

(Potter & Perry, 2011).


29

5. Stres emosional

Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang.

Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinfrin darah

melalui stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan

berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta

seringnya terjaga saat tidur. Stres emosional membuat seseorang

menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur.

Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk

tidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak

tidur. Stres yang berlanjut dapat menyababkan kebiasaan tidur yang

buruk. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan

kehilngan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang

membuat seseorang untuk cemas dan depresi (Hardy, 2008; Potter

& Perry, 2011).

6. Lingkungan

Lingkungan tempat seseorang tidur dapat berpengaruh pada

kemampuan untuk mulai tertidur dan mempertahankan waktu

tidurnya. Ventilasi yang baik memberikan kenyamanan untuk tidur

tenang. Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur juga

mempengaruhi kualitas tidur. Selain itu, cahaya, suhu dan suara

dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Klien ada yang

menyukai tidur dengan lampu yang dimatikan, remang-remang atau


30

tetap menyala. Suhu yang panas atau dingin menyebabkan klien

mengalami kegelisahan (Potter & Perry, 2011).

7. Asupan makanan dan kalori

Gangguan pola tidur dapat berhubungan dengan pola makan.

Makan dalam porsi besar, berat dan berbumbu pada makan malam

juga menyebabkan makanan sulit dicerna sehingga dapat

mengganggu tidur. Penggunaan bahan-bahan yang mengandung

kafein, nikotin, alkohol dan xanthine dapat merangsang sistem

saraf pusat sehingga berdampak pada perubahan pola tidur (Potter

& Perry, 2011).

2.2.7 Perubahan Tidur pada Lanjut Usia

Jumlah tidur total pada umumnya tidak berubah sesuai

pertambahan usia, akan tetapi kualitas tidur pada lansia kebanyakan

berubah (Potter & Perry, 2011). Periode REM cenderung memendek

dimana terdapat progresif pada tahap tidur NREM 3 dan NREM 4,

bahkan beberapa lansia hampir tidak memiliki tahap tidur 4 atau

disebut tidur dalam. Selama proses penuaan, pola tidur mengalami

perubahan yang khas, yang berbeda dengan orang pada

umumnya/dewasa normal. Hal tersebut mencakup latensi tidur,

gangguan tidur pada dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang

serta waktu untuk tidur lebih dalam menurun.

Pada penelitian di laboratorium tidur, lansia memiliki waktu

tidur dalam (delta sleep) yang pendek, justru lebih panjang pada
31

periode tidur stadium satu dan dua. Dari hasil test dengan alat

Polysomnographic ditemukan lansia mempunyai penurunan yang

signifikan dalam Rapid Eye Movement (REM) dan Slow Wave Sleep.

Pada lansia juga terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal, yang

mengakibatkan kurang sensitif terhadap pencahayaan terang dan gelap

(Darmojo, 2009).

Normalnya irama sirkadian menjalankan peranan dalam

pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus

24 jam. Pada usia lanjut ekskresi kortisol dan GH serta perubahan

temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Hormon

melatonin yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan

dengan tidur, menurun seiring bertambahnya usia (Darmojo, 2009).

2.2.8 Gangguan Tidur pada Lanjut Usia

Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, penyebab

gangguan tidur pada lanjut usia dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Darmojo (2009) menyatakan bahwa ada 3 gangguan tidur yang

digolongkan sebagai gangguan tidur primer, yakni terdiri atas:

1. Gangguan tidur karena gangguan pernapasan (Sleep Disordered

Breathing). Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok saat tidur dan

mengatuk hebat pada siang hari. Gangguan tidur ini dibagi menjadi 3,

yaitu: Upper Airway Resistance Syndrome (UARS), Obstructive Sleep

Apnea (OSA), Obesity Hypoventilation Syndrome (OHS). Jenis yang

paling banyak ditemukan adalah Obstructive Sleep Apnea (OSA) yang


32

terjadi karena oklusi sebagian atau total saluran napas atas. Hal ini

disertai dengan penurunan tonus otot pernapasan dan jaringan pada

cavum oral selama tidur.

2. Sindrom kaki kurang tenang atau Restless Legs Syndrome (RLS) dan

gangguan gerakan tungkai secara periodik atau Periodic Limb

Movement Disorder (PLMD). Restless Legs Syndrome (RLS) ditandai

dengan rasa tidak enak pada kaki yang berlebihan selama malam saat

penderita istirahat. Penderita juga merasa seperti dirayapi semut atau

hewan kecil sehingga menyebabkan penderita menggerakkan kakinya,

atau berjalan guna menghilangkan rasa tidak enak tersebut. Sedangkan

gangguan tungkai yang periodik atau juga disebut Periodic Limb

Movement Disorder (PLMD), mungkin menyertai sindrom kaki kurang

tenang atau berdiri sendiri. Biasanya ditandai gerakan yang tiba-tiba

dan berulang contohnya gerakan menendang, lamanya sekitar 20-40

detik. Dengan adanya kondisi seperti ini, penderita biasanya

mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan tidur

tidak nyenyak.

3. Gangguan perilaku Rapid Eye Movement (REM). Gangguan ini

sangat jarang terjadi, tetapi seing muncul pada usia lanjut. Proses

yang mendasari gangguan ini adalah disinhibisi transmisi aktivitas

motorik saat bermimpi. Pasien sering jatuh atau melompat dari

tempat tidur.
33

2.2.9 Penatalaksanaan Gangguan Tidur

Ada dua cara dalam hal penatalaksanaan gangguan tidur, yaitu

secara farmakologis dan non-farmakologis.

1. Farmakologis

Dalam penatalaksanaan farmakologis, hanya ada beberapa

yang efektif untuk menangani gangguan tidur pada lanjut usia.

a. Restless Legs Syndrome (RLS) dan Periodic Limb Movement

Disorder (PLMD) dapat diberikan obat anti parkinson

carbidopalevodopa (formula 25-100 mg) dengan dosis awal 1

kali setengah tablet saat mau tidur. Pergolide dapat juga

digunakan dengan dosis awal sangat rendah (0,05 mg) 2 jam

sebelum tidur. Obat lain yang dapat digunakan untuk kedua

gangguan tidur ini adalah benzodiazepine 1 kali saat mau tidur,

atau codeine atau oxycodone (Darmojo, 2009).

b. REM Behavior Disorder (RBD) dapat diberikan obat golongan

benzodiazepine kerja lama seperti klonasepam saat mau tidur

sekali sehari (Darmojo, 2009).

2. Non-Farmakologis

Penanganan secara non-farmakologi sangat beragam

macamnya, tergantung pada jenis gangguan tidur yang dialami.

Pada kasus Obstructive Sleep Apne (OSA) dapat dilakukan posisi

tidur miring, dan aktivitas/olahraga untuk penurunan berat badan.

Lain halnya dengan kasus Restless Legs Syndrome (RLS) dan


34

Periodic Limb Movement Disorder (PLMD), merendam kaki dan

tungkai atas dengan air hangat serta olah raga ringan (jalan kaki)

yang dikerjakan teratur dapat menghilangkan gejala kedua

gangguan tidur ini (Darmojo, 2009).

Terapi non-farmakologis yang lainnya adalah terapi

komplementer. Terapi komplementer ini bersifat terapi pengobatan

alamiah diantaranya adalah dengan terapi herbal, terapi nutrisi,

relaksasi progresif, meditasi, terapi tawa, akupuntur, akupresur,

aromaterapi, refleksiologi dan hidroterapi (Sudoyo, 2006). Salah

satu terapi komplementer yang dapat direkomendasikan untuk

mengatasi gangguan tidur adalah dengan Hydrotherapy. Teknik

yang digunakan adalah memanfaatkan air untuk menyembuhkan

dan meredakan berbagai macam penyakit ringan dan air juga bisa

digunakan dalam sejumlah cara yang berbeda (Sulaiman, 2009).

Manfaat hydrotherapy khususnya penggunaan air hangat adalah

membantu merangsang sirkulasi darah, serta menyegarkan tubuh.

Hal ini berakibat pada efek peningkatan relaksasi (Handoyo, 2014).

2.3 Konsep Hydrotherapy

2.3.1. Pengertian Hydrotherapy

Hydrotherapy adalah penggunaan air untuk menyembuhkan

dan meringankan berbagai keluhan. Untuk itu, air dapat digunakan

dalam berbagai cara dan kemampuannya sudah diakui sejak dahulu


35

(Sustrani, dkk, 2006). Hydrotherapi juga merupakan metode terapi

dengan pendekatan “lowtech” yang mengandalkan pada respon-respon

tubuh terhadap air.

The National Center on Physical Activity and Disability (2009)

menyatakan bahwa hydrotherapy adalah aplikasi eksternal yang

menggunakan air, baik untuk efek tekanan atau sebagai sarana

menerapkan energi fisik untuk jaringan. Hydrotherapy diindikasikan

untuk gangguan sensori, Range of Motion atau ROM yang terbatas,

kelelahan, nyeri, masalah respirasi, masalah sirkulasi, depresi,

penyakit jantung, dan obesity. Hal-hal tersebut dapat mengakibatkan

gangguan tidur. Hydrotherapy juga merupakan sejumlah latihan fisik

dengan berendam di dalam air hangat. Bentuk terapi fisik ini dapat

membantu seseorang untuk mengurangi berbagai keluhan, salah

satunya dengan merendam kaki. Kehangatan air membantu

mengendurkan otot dan mengurangi nyeri, hal inilah yang

menimbulkan rasa rileks pada tubuh (Arnot, 2009).

2.3.2 Jenis-Jenis Hydrotherapy

Hydrotherapy memiliki berbagai macam jenis, Ningrum

(2012) membaginya sebagai berikut:

1. Rendaman air

Jenis terapi ini adalah dengan melakukan perendaman bagian tubuh

tertentu di dalam bak atau kolam yang berisi air bersuhu tertentu

selama minimal 10 menit.


36

2. Pusaran air (Whirlpool)

Terapi ini menggunakan berbagai alat jet atau juga nozzle yang

dapat menambah tekanan pada pompa. Alat ini dirancang khusus

dengan tekanan dan suhu yang dapat diatur sesuai kebutuhan.

3. Pancuran air

Terapi ini menggunakan pancuran air dengan tekanan dan suhu

tertentu yang disesuaikan dengan kebutuhan.

4. Terapi air panas dan dingin (Contrast Bath)

Terapi ini menggunakan dua jenis air yang temperaturnya berbeda,

yakni panas dan dingin dan dilakukan secara bergantian.

Diantara jenis-jenis Hydrotherapi di atas, perendaman

menggunakan air hangat sangat efektif sebagai upaya untuk

peningkatan kualitas tidur (Ebben dan Spielman, 2006). Teknik

yang digunakan dapat berupa perendaman kaki dalam sebuah bak

yang berisi air hangat.

2.3.3 Merendam Kaki dengan Air Hangat

Merendam kaki dengan air hangat merupakan pemberian

aplikasi panas pada tubuh untuk mengurangi gejala nyeri akut maupun

kronis. Terapi ini efektif untuk mengurangi nyeri yang berhubungan

dengan ketegangan otot walaupun dapat juga dipergunakan untuk

mengatasi masalah hormonal dan kelancaran peredaran darah.

Pengobatan Tradisional Tiongkok menyebut kaki adalah jantung

kedua tubuh manusia, barometer yang mencerminkan kondisi


37

kesehatan badan. Ada banyak titik akupunktur di telapak kaki. Enam

meridian (hati, empedu, kandung kemih, ginjal, limpa dan perut) ada

di kaki (Arnot, 2009). Panas pada fisioterapi dipergunakan untuk

meningkatkan aliran darah kulit dengan jalan melebarkan pembuluh

darah yang dapat meningkatkan suplai oksigen dan nutrisi pada

jaringan. Panas juga meningkatkan elastisitas otot sehingga

mengurangi kekakuan otot (Intan A, 2010).

Beberapa negara maju menerapkan terapi stimulus control

dengan menggunakan air hangat sudah banyak dilakukan. Menurut

Vinencenz Priesnisz dan Pastor Sebastian Kneipp (2005), merendam

kaki dengan air hangat yang bertemperatur 37°C-39°C bermanfaat

dalam menurunkan kontraksi otot sehingga menimbulkan perasaan

rileks yang bisa mengobati gejala kurang tidur dan infeksi.

2.3.4 Respon Tubuh Saat Merendam Kaki dengan Air Hangat

Kerja air hangat pada dasarnya adalah meningkatkan aktivitas

molekuler (sel) dengan metode pengaliran energi melalaui konveksi

(pengaliran lewat medium cair) (Intan A, 2010). Metode perendaman

kaki dengan air hangat memberikan efek fisiologis terhadap beberapa

bagian tubuh organ manusia. Berikut ini adalah beberapa organ yang

mengalami perubahan fisiologis, yaitu:

1. Jantung

Tekanan hidrostatik air terhadap tubuh mendorong aliran darah dari

kaki menuju ke rongga dada dan darah akan berakumulasi di


38

pembuluh darah besar jantung. Air hangat akan mendorong

pembesaran pembuluh darah kulit dan meningkatkan denyut

jantung. Efek ini berlangsung cepat setelah terapi air hangat

diberikan (Ningrum, 2012).

2. Jaringan otot

Air hangat dapat mengendorkan otot sekaligus memiliki efek

analgesik. Tubuh yang lelah akan menjadi segar dan mengurangi

rasa letih yang berlebihan. Hal ini dapat mengurangi gejala

kesemutan atau Restless Legs Syndrom (RLS) pada lansia

(Darmojo, 2009; Ningrum, 2012).

3. Organ pernafasan

Aliran darah yang lancar akan membawa nutrisi dan oksigen yang

cukup untuk dibawa ke rongga dada serta paru-paru. Peningkatan

kapasitas paru juga dapat terjadi, hal ini dapat mengurangi gejala

Sleep Disordered Breathing (SDB) (Darmojo, 2009; Ningrum,

2012).

4. Sistem Endokrin

Berendam menggunakan air hangat dapat melepaskan dan

meningkatkan sekresi hormon pertumbuhan tubuh. Sirkulasi

hormon kortisol misalnya, air hangat dapat meningkatkan sekresi

hormon tersebut dan menimbulkan rasa “kegembiraan” bagi

seseorang. Pada terapi merendam kaki dengan air hangat dapat

menyebabkan efek sopartifik (efek ingin tidur), hal ini


39

kemungkinan dapat disebabkan oleh peningkatan sekresi hormone

melatonin sebagai dampak dari rendam air hangat pada kaki

sehingga seseorang yang merendam kakinya dengan air hangat

dapat meningkat kualitas tidurnya (Amirta, 2007; Ningrum 2012).

5. Persyarafan

Efek merendam kaki dengan air hangat dapat menghilangkan stress

(Ningrum, 2012). Tidak hanya itu, jika merendam kaki dilakukan

lebih dari 5 menit akan menimbulkan relaksasi (Ebben & Spielman,

2006).

Adapun manfaat dari terapi air hangat adalah sebagai berikut :

a. Produksi perasaan rileks.

b. Merangsang ujung saraf untuk membuat perasaan segar kembali.

c. Meningkatkan sirkulasi darah.

d. Peningkatan metabolisme jaringan.

e. Penurunan kekakuan tonus otot.

f. Peningkatan migrasi leukosit.

g. Analgesik dan efek sedatif.

Anda mungkin juga menyukai