Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

Epilepsi Interiktal

Pembimbing : dr. Iman, Sp.S


Pendamping : dr. Novita Museliza

Disusun oleh :
dr. Lana Asfaradilla

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR M YUNUS
BENGKULU
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat-Nya Laporan Kasus yang berjudul Epilepsi dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan penyelesaian tugas sebagai
dokter internship. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan laporan kasus ini. Penulis
berharap semoga gagasan pada laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi dunia
kesehatan dan pendidikan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Bengkulu, September 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN ....................................................... Error! Bookmark not defined.


BAB 2 Laporan Kasus .............................................................................................................. 5
2.1 Identitas pasien, Anamnesis .......................................................................................... 5
2.2 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................................... 7
2.3 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................ 9
2.4 Diagnosis, Penatalaksanaan, Prognosis ...................................................................... 13
2.5 Follow Up ................................................................................................................... 14

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................. 16


3.1 Definisi dan epidemiologi ........................................................................................... 16
B. Etiologi Sindroma Nefrotik......................................................................................... 17
C. Patofisiologi ................................................................................................................ 19
D. Manifestasi Klinis ....................................................................................................... 23
E. Diagnosis..................................................................................................................... 25
F. Tatalaksana ................................................................................................................. 26
G. Komplikasi .................................................................................................................. 34
H. Prognosis ..................................................................................................................... 37
BAB 4 PENUTUP .................................................................................................................. 40
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 41

3
BAB I
PENDAHULUAN

4
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Nn. IT

No. RM : 801686

Tanggal Lahir / Umur : 22 Juni 1993 / 26 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Masuk RS : 21 Agustus 2019

Tanggal Pemeriksaan : 23 Agustus 2019

2.2 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu pasien

pada tanggal 23 Agustus 2019

Keluhan Utama

Kejang sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke RSUD M.Yunus Bengkulu dengan keluhan kejang sejak tiga

jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang di rumah sebanyak kurang lebih lima

kali dengan durasi sekitar 7 menit setia kejang. Saat tiba di rumah sakit, pasien

kembali kejang. Kejang dirasakan di seluruh tubuh dan pada saat kejang pasien

masih sadar dan mengeluh kesakitan.

5
Riwayat Penyakit Dahulu

 Pada bulan April 2019, pasien pergi umroh bersama keluarga dan

mendapat suntikan vaksin meningitis sebelum berangkat. Satu bulan

kemudian (Mei 2019) pasien kejang pertama kali dan dirawat di RS Tiara

Sella Bengkulu. Di RS Tiara Sella pasien telah mendapatkan penanganan

dan boleh dirawat jalan saja.

 Satu bulan kemudian (Juni 2019), pasien kejang dan demam, didiagnosis

dengan suspek peradangan otak dan dilakukan pemeriksaan CT scan di

RS Tiara Sella. Setelah hasil CT scan keluar, pasien disarankan untuk

melakukan pemeriksaan lebih lanjut (MRI) di Jakarta, tetapi pasien belum

menyanggupinya. Kemudian pasien dirawat jalan.

 Pasien kembali kejang 1 minggu kemudian dan dirawat di RS

Bhayangkara dan disarankan dr. Hasymi, Sp.S untuk kontrol setiap bulan

di poli saraf untuk mendapat obat rutin.

 Bulan Agustus 2019 pasien mulai mencoba obat herbal dan memutus obat

rutin selama 2 hari, kemudian pasien kembali kejang dan dibawa ke

RSUD M. Yunus Bengkulu.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga pasien yang menderita Epilepsi ataupun yang memiliki

keluhan yang sama dengan pasien

6
Riwayat persalinan

Pasien anak ke tiga dari tiga bersaudara, Anak lahir cukup bulan, pervaginam,

di rumah sakit, BBL 3100 gr, PBL 45 cm, langsung menangis.

Riwayat Imunisasi

Ibu pasien mengatakan pasien sudah diimunisasi lengkap termasuk imunisasi

DPT.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum : Sakit sedang IMT : 19,97

Kesadaran : Composmentis Kategori : Berat badan normal

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

RR : 26 x/menit

Suhu : 36,8 °C

Tinggi Badan : 155 cm

Berat Badan : 48 kg

Kulit : Teraba hangat

Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening

Kepala : normoephali

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),

Telinga : tidak ditemukan kelainan

Hidung : nafas cuping hidung tidak ada

7
Mulut : mukosa mulut dan bibir basah

Tenggorokan : Tonsil T1-T1 dan faring hiperemis (-)

Paru

 Inspeksi : gerakan dada simetris, retraksi (-)

 Palpasi : fremitus kanan dan kiri sama

 Perkusi : sonor

 Auskultasi : bunyi napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Jantung

 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

 Palpasi : iktus kordis teraba di jari medial LMCS RIC V

 Perkusi : batas jantung dalam batas normal

 Auskultasi : BJ reguler, bising (-)

Abdomen

 Inspeksi : tidak terdapat jejas, bekas operasi, ataupun cembung.

 Palpasi : hepar lien tidak teraba

 Perkusi : timpani

 Auskultasi: BU (+) normal

Ekstrimitas : Akral hangat, CRT <2 detik, edem tungkai (-/-)

Status Neurologis

 Kesadaran umum

o E:4 M: 6 V:5

o GCS: 15

8
 Tanda rangsang meningeal

o Kaku kuduk: (-)

o Kernig sign: (-)

o Lasegue sign: (-)

o Brudzinski I: (-)

o Brudzinski II: (-)

 Pemeriksaan Nervus Cranialis

o N. I (N. Olfaktorius)

 ND: Tidak diperiksa

 NS: Tidak diperiksa

o N. II (N. Optikus)

 OD

 Visus  Normal.

 Lapang pandang  Normal.

 Refleks cahaya langsung +/+

 Refleks cahaya tidak langsung +/+

 OS

 Visus  Normal.

 Lapang pandang  Normal.

 Refleks cahaya langsung +/+

 Refleks cahaya tidak langsung +/+

o N. III (N. Oculomotor), N. IV (N. Trochlear), N. VI (N. Abducens)

9
 OD/OS

Pupil isokor  : 3mm / 3mm

Refleks cahaya langsung: +/+

Refleks cahaya tidak langsung: +/+

Gerakan bola mata: normal ke segala arah

Ptosis: -/-

Strabismus: -

Nistagmus: -

o N. V (N. Trigeminal)

 Sensorik

 V.I: Normal

 V.II: Normal

 V.III: Normal

 Refleks kornea: +/+

 Motorik

 Menggigit: Baik, tidak ditemukan parese pada otot

pengunyah

 Membuka rahang: Baik, mulut luris tidak miring ke salah

satu sisi

o N. VII (N. Facialis)

 Sensorik (pengecap 2/3 anterior lidah): Tidak diperiksa

 Motorik

10
 Mengangkat alis: normal, simetris

 Menggembungkan pipi: normal, simetris

 Mencucu: normal, simetris

 Meringis: normal, simetris

o N. VIII (N. Vestibulocochlear)

 Gesekan jari

 AS: baik

 AD: baik

 Detik jam

 AS :baik

 AD: baik

 Tes berbisik

 AS: baik

 AD: baik

 Garpu tala

 Rinne: Tidak dilakukan

 Weber: Tidak dilakukan

 Schwabach: Tidak dilakukan

 Dix-Hallpike: Tidak dilakukan

 Post-pointing

 Tangan kanan: baik

 Tangan kiri: baik

 Romberg: Tidak dilakukan

11
 Tandem: Tidak dilakukan

 Stepping test: Tidak dilakukan

o N. IX (N. Glossopharyngeal)

 Sensorik (pengecap 1/3 bagian posterior lidah): Tidak dilakukan

 Motorik (refleks menelan): Baik

o N. X (N. Vagus)

 Refleks muntah: Tidak dilakukan

 Arcus faring: simetris

 Letak uvula : di tengah

o N. XI (N. Accesory)

 Mengangkat bahu normal

 Memalingkan kepala normal

 Kekuatan otot aksesorius normal

o N. XII (N. Hypoglossal)

 Tidak ada deviasi lidah

 Atrofi/fasikulasi/tremor lidah tidak ada

 Artikulasi: Tidak terganggu, dapat berbicara huruf R

 Pemeriksaan Motorik

o Gerakan abnormal/involunter : Tidak ada

o Kekuatan otot

Ekstremitas atas : 5555 / 5555

Ekstremitas bawah : 5555 / 5555

o Tonus

12
Ekstremitas atas : normotonus/normotonus

Ekstremitas bawah : normotonus/normotonus

o Klonus

Achilles : -/-

Patella : -/-

o Trofi

Ekstremitas atas: eutrofi/eutrofi

Ekstremitas bawah: eutrofi/eutrofi

o Refleks Fisiologis

 Ekstremitas atas

 Biceps ++/++

 Triceps++/++

 Ekstremitas bawah

 Patella ++/++

 Achilles ++/++

o Refleks Patologis

 Ekstremitas atas

 Hoffmaan -/-

 Trommner -/-

 Ekstremitas bawah

 Babinski -/-

 Chaddock -/-

 Oppenheim -/-

13
 Gordon -/-

 Klonus

 Patella : -/-

 Achilles: -/-

 Pemeriksaan Sensorik

Ekstremitas Atas

o Rangsangan raba : normoestesia/normoestesia

o Rangsangan nyeri : normoalgesia/normoalgesia

o Rangsangan suhu : tidak dilakukan

o Proprioseptif : tidak dilakukan

o Diskriminasi dua titik : tidak dilakukan

Ekstremitas Bawah

o Rangsangan raba : normoestesia/normoestesia

o Rangsangan nyeri : normoalgesia/normoalgesia

o Rangsangan suhu : tidak dilakukan

o Proprioseptif : tidak dilakukan

o Diskriminasi dua titik : tidak dilakukan

 Pemeriksaan sistem saraf Otonom

o BAB normal

o BAK normal

o Berkeringat normal

14
 Pemeriksaan Fungsi Luhur

o Memori baik

o Kognitif baik

o Visuospatial baik

 Pemeriksaan Koordinasi

o Disdiadokokinesia : tidak dilakukan

o Tes telunjuk hidung : tidak dilakukan

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium Rutin

21 Agustus 2019 (di RSUD M.Yunus Bengkulu)

Hb : 11,7 g/dl

Hematokrit : 36%

Leukosit : 8.400 mm3

Trombosit : 290.000 g/dl

Na : 137 mmol/L

K : 3,9 mmol/L

Cl : 106 mmol/L

Radiologi

15
CT Scan kepala

10 Juni 2019 (Di RS Tiara Sella)

Kesan:

- Sulci di regio frontal tampak sedikit melebar suspek atrofi ringan

- Tidak tampak lesi patologis intraparenkim

16
2.5 Diagnosis

 Epilepsi Interiktal

2.6 Tatalaksana

 O2 nasal kanul 3 lpm

 IVFD RL 20 tpm

 Drip Fenitoin 1 amp/jam iv

 Ranitidin 2x1 amp iv

17
2.7 FOLLOW UP

T Tanggal 22-08-19 T Tanggal 23-08-19


S/ Kejang satu kali pukul 05.00 pagi sekitar ± 15 menit, S/ Kejang satu kali pukul 14.00 pagi sekitar ± 15

lemas (+) menit, lemas (+)

O/ O/

TD: 110/80 mmHg TD: 110/70 mmHg

Nadi: 98 x/menit Nadi: 88 x/menit

RR: 24 x/m RR: 20 x/m

Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Jantung: Bunyi janung I-II reguler Jantung: Bunyi janung I-II reguler

Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-) Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-)

A/ Epilepsi A/ Epilepsi

P/ P/

 IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam  IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam

 Ranitidin 2x1 amp iv  Ranitidin 2x1 amp iv

 Dexametasone 3x1 amp iv  Dexametasone 3x1 amp iv

 Depakote 2x500 mg tab  Depakote 2x500 mg tab

 Clonazepam 2mg, 2x1/2 tab (kerena tidak ada  Clonazepam 2mg, 2x1 tab

persediaan di RS, clonazepam diganti clobazam

10 mg 2x1 tab)

18
T

Tanggal 24-08-19 Tanggal 25-08-19


S/ Kejang tidak ada, lemas (-) S/ Kejang tidak ada, lemas (-)

O/ O/

TD: 120/80 mmHg TD: 110/80 mmHg

Nadi: 74 x/menit Nadi: 82 x/menit

RR: 18 x/m RR: 18 x/m

Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Jantung: Bunyi janung I-II reguler Jantung: Bunyi janung I-II reguler

Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-) Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-)

A/ Epilepsi A/ Epilepsi

P/ P/

 IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam  IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam

 Ranitidin 2x1 amp iv  Ranitidin 2x1 amp iv

 Dexametasone 3x1 amp iv  Dexametasone 3x1 amp iv

 Depakote 2x500 mg tab  Depakote 2x500 mg tab

 Clonazepam 2mg, 2x1 tab  Clonazepam 2mg, 2x1 tab

19
T

Tanggal 26-08-19 (pasien boleh pulang)


S/ Kejang tidak ada, lemas (-)

O/

TD: 120/80 mmHg

Nadi: 84 x/menit

RR: 18 x/m

Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Jantung: Bunyi janung I-II reguler

Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-

Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-)

A/ Epilepsi

P/

 Ranitidin 2x150 mg tab po

 Depakote 2x500 mg tab

 Clonazepam 2mg, 2x1/2 tab

20
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi dan Epidemiologi

Epilepsi merupakan kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk

menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dan konsekuensi neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan sosial. Secara definisi operasional, epilepsi diartikan sebagai

penyakit otak yang ditandai gejala atau kondisi sebagai berikut : a) Setidaknya ada dua

kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang berselang lebih dari 24 jam b)

Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya kemungkinan

bangkitan berulang dengan risiko rekurensi dua bangkitan tanpa provokasi (setidaknya

60%) dan c) dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi. Bangkitan refleks adalah

bangkitan yang muncul akibat induksi faktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual,

auditorik, somatosensitif, dan somatomotorik.1

Berdasarkan data WHO tahun 2019 sekitar 50 juta penduduk di dunia

mengalami epilepsi. Proporsi perkiraan dari populasi yang menderita epilepsi aktif

(kejang berkelanjutan atau dengan membutuhkan pengobatan) diperkirakan terjadi 4-

10/1000 orang. Secara global, WHO mengestimasikan 5 juta orang didiagnosa epilepsi

per tahun. Insiden epilepsi di negara maju, 49/100.000 orang didiagnosa epilepsi per

tahun. Berbeda dengan di negara berpendapatan rendah dan negara berkembang,

diperkirakan lebih dari 139 per 100.000 orang.2 Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar

1,3-1,6 juta penderita epilepsi.3 Prevalensi epilepsi sekitar 0,5-4% atau 8,2% per 1000

orang, jumlah ini lebih tinggi dari thailand dari segi negara Asia Tenggara.4

21
3.2 Etiologi

Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam 3 kategori, sebagai berikut :5

a. Idiopatik : tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologis.

Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan

dengan usia.

b. Kriptogenik : dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui.

Termasuk disini sindrom West, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi

mioklonik. Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

c. Simtomatis: bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/ lesi struktural pada

otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak

ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, dan

kelainan neurodegeneratif.

Epilepsi merupakan penyakit yang tidak menular. Meskipun banyak mekanisme

penyakit yang mendasari dapat menyebabkan epilepsi, penyebab penyakit ini masih

idiopatik sekitar 50% kasus secara global. Penyebab epilepsi dibagi menjadi beberapa

kategori berikut: struktural, genetik, infeksius, metabolik, imun, dan idiopatik.

Contohnya termasuk kerusakan otak akibat prenatal atau perinatal (seperti hipoksia,

trauma saat persalinan, dan berat badan lahir rendah), kelainan bawaan, kondisi

genetik dengan malformasi otak, cedera kepala berat, stroke, infeksi otak seperti

meningitis, ensefalitis atau neurocysticercosis, sindrom genetik tertentu, dan tumor

otak.2

22
3.3 Klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Against Epilepsi (ILAE)

terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan

klasifikasi untuk sindrom epilepsi.6

I. Berdasarkan Bangkitan Epilepsi6

1. Kejang Parsial (fokal)

1.1 Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1.1.1 Dengan gejala motorik

1.1.2 Dengan gejala sensorik

1.1.3 Dengan gejala otonomik

1.1.4 Dengan gejala psikik

1.2 Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1.2.1 Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran

1.2.2 Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang

1.3 Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik,

tonik atau klonik)

1.3.1 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum

1.3.2 Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum

1.3.3 Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks,

dan berkembang menjadi kejang umum

2. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi)

 absens

23
 mioklonik

 tonik

 atonik

 klonik

 tonik-klonik

3. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan

II. Berdasarkan Sindrom Epilepsi6

1. Fokal/partial

1.1 Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)

1.1.1 Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal

(childhood epilepsi with centrotemporal spikes)

1.1.2 Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah

oksipital.

1.1.3 Epilepsi prmer saat membaca (primary reading epilepsi)

1.2 Simtomatis

1.2.1 Epilepsi parsial kontinua yang kronis progresif pada anak-anak

(Kojenikow’s Syndrome)

1.2.2 Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)

1.2.3 Epilepsi lobus temporal

1.2.4 Epilepsi lobus frontal

24
1.2.5 Epilepsi lobus parietal

1.2.6 Epilepsi oksipital

2. Epilepsi Umum

2.1 Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)

2.1.1 Kejang neonates familial benigna

2.1.2 Kejang neonates benigna

2.1.3 Kejang epilepsi mioklonik pada bayi

2.1.4 Epilepsi lena pada anak

2.1.5 Epilepsi lena pada remaja

2.1.6 Epilepsi mioklonik pada remaja

2.1.7 Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga

2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas

2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik

2.2 Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)

2.2.1 Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)

2.2.2 Sindrom Lennox-Gastaut

2.2.3 Epilepsi mioklonik astatik

2.2.4 Epilepsi mioklonik lena

2.3 Simtomatis

2.3.1 Etiologi nonspesifik

 Ensefalopati mioklonik dini

 Ensefalopati pada infantile dini dengan dengan burst suppression

25
 Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas

2.3.2 Sindrom spesifik

2.3.3 Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.

3.4 Patofisiologi

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan

transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi

yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi

(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan

hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di

antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamat, aspartat,

norepinefrin, dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah

gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas

muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,

membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan

polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh

sel akan melepas muatan listrik.7

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau

mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca

dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan

depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.

Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan

dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa

26
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah

pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi

pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus

berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu

serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang

penting untuk fungsi otak.7

3.5 Gejala Klinis

a. Kejang parsial simplek7

Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala

berupa:

- “deja vu”: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama

sebelumnya.

- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat

dijelaskan

- Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada

bagian tubih tertentu.

- Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu

- Halusinasi

b. Kejang parsial kompleks7

Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan

lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak

akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi:

27
 Gerakan seperti mencucu atau mengunyah.

 Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan

pakaiannya.

 Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling

dalam keadaan seperti sedang bingung.

 Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang.

 Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

c. Kejang umum sekunder7

Termasuk kejang parsial yang sering sebagai aura yang terjadi beberapa detik,

sebelum kejang umum. Biasanya dalam bentuk :

 Parsial sederhana  tonik-klonik umum.

 Parsial kompleks  tonik-klonik umum.

 Parsial sederhana  parsial kompleks  tonik-klonik umum.

d. Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal)7

Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap

tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien

dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa

didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan

dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada

tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan

jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi

bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang

28
dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,

pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin

tidur setelah serangan semacam ini.

e. Absence Seizure (Petit Mal / LENA)7

Pada epilepsi jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai oleh

terjadinya gangguan kesadaran dalam waktu singkat (6-10 detik), tiba-tiba

kehilangan kesadaran dan aktivitas motorik, sehingga penderita tidak sampai jatuh

(tonus otot normal). Penderita berhenti dari aktifitas yang dilakukan, seakan – akan

melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali. Gejala lain (pada serangan yang

lama) : berkedip, gerakan klonik ringan, automatisme yang singkat. Serangan

kadang – kadang dapat 10 – 20 kali dalam sehari dan karena singkat, biasanya tidak

diketahui orang sekitarnya. Serangan bersifat mengelompok, memburuk bila

terbangun, dapat dicetuskan oleh : kelelahan, rileks, stimulasi fotik atau

hiperventilasi. Serangan sangat banyak pada idiopathik generalized epileptic.

f. Mioklonik7

Kontraksi otot sesaat, oleh karena lepas muatan listrik kortikal. Dapat single

atau berulang, sangat ringan (twitch) sampai jerking, paling berat (The Flying

Saucer Syndrom). Dapat dicetuskan oleh : suara, kejutan, photic stimulation,

perkusi. Dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi banyak terdapat pada anak-

anak. Saat serangan terjadi gangguan kesadaran sebentar, disertai gerakan

29
involunter yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu

dan lengan) yang disebut myoclonic jerking.

g. Klonik7

Epilepsi klonik jarang terjadi. Bangkitan ini selalu simtomatik. Bangkitan

berupa gerakan jerking ritmik (klonik jercking) pd kedua tangan dan kaki, asimetris

(sering), irreguler. Epilepsi klonik sering pada neonatus, bayi.

h. Tonik7

Kontraksi otot tonik mendadak, terjadi penurunan kesadaran tanpa klonik ( 20-

30 detik), sering terjadi saat tidur, dapat terjadi pada semua umur. Terjadi kontraksi

otot-otot wajah; mata terbuka lebar; bola mata menarik keatas; extensi leher; spasme

otot-otot extremitas bagian proximal sampai ke distal lengan diangkat keatas seperti

menahan pukulan kepala; menangis sampai apneu (mungkin), kepala mengangguk-

angguk dan perubahan postur yang ringan.

i. Epilepsi Atonik8

Pada epilepsi atonik, secara mendadak penderita kehilangan tonus otot. Hal ini

dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya

tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba

penderita terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung

30
singkat, disebut sebagai drop attact. Serangan berlangsung hanya sebentar dan

segera membaik.

3.6 Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan

hasil pemeriksaan EEG dan radiologis.1

a. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Dalam

anamnesis tanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,

meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan

obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi:

 Pola / bentuk serangan

 Lama serangan

 Gejala sebelum, selama dan paska serangan

 Frekuensi serangan

 Faktor pencetus

 Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

 Usia saat serangan terjadinya pertama

 Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

 Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

 Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

31
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan

neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab

terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai

pegangan. Pada anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan

perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat

menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

c. Pemeriksaan penunjang

1. Elektroensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG

dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG

menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya

kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik

atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal bila:.

 Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di

kedua hemisfer otak.

 Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat

dibanding seharusnya misal gelombang delta.

32
 Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,

misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang

timbul secara paroksimal.

2. Rekaman video EEG

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang

mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber

serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis

dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis

yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang

penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus

epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini

sangat diperlukan pada persiapan operasi.

3. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk

melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT

Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI

bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk

membantu terapi pembedahan.

3.7 Tatalaksana

Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal

terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus

sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Prinsip pengobatan

epilepsi adalah:

33
 Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom

epilepsi.

 Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi.

 Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang

pertama gagal

 Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang.

Obat anti epilepsi (OAE) pilihan pertama dan kedua yaitu:

a. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)

OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

b. Serangan tonik klonik

OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat

OAE II : Benzodiazepin, asam valproat

c. Serangan absens

OAE I : Etosuksimid, asam valproat

OAE II : Benzodiazepin

d. Serangan mioklonik

OAE I : Benzodiazepin, asam valproat

OAE II : Etosuksimid

e. Serangan tonik, klonik, atonik

34
Semua OAE kecuali etosuksinid

Gambar 1. Daftar Obat Anti Epilepsi

Syarat penghentian obat anti epilepsi adalah :

1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah

minimal 2 tahun bebas bangkitan

2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap

bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan

3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE

yang bukan utama8

3.8 Prognosis

Penderita epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan paling

sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan

35
penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah

mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum

obat teratur.8

3.9 Hubungan Vaksin dengan Epilepsi

Kejang dapat disebabkan oleh banyak hal. Vaksin, sebagai contoh, dapat

memicu kejang, terutama pada masa anak-anak. Banyak literatur yang melaporkan

kasus kejang demam setelah mendapatkan berbagai macam vaksin, seperti vaksin

campak, gondong, dan rubela (MMR) atau vaksin tetanus dan difteri. Hanya sedikit

kasus epilepsi setelah vaksin yang terjadi sejauh ini pada dewasa.9

Vaksin dapat menyebabkan berbagai efek samping, seperti alergi atau reaksi

sistemik yang lebih berat yakni disabilitas, kematian, kejang demam atau tanpa demam,

ensefalitis atau ensefalopati, sindrom kematian mendadak pada bayi, dan gangguan

bicara. Insiden reaksi anafilaksis diestimasikan 0,63 per 1.000.000 orang yang

mendapatkan vaksin ensefalitis Japanese, 0,95 per 1.000.000 orang yang mendapatkan

vaksin difteri, pertusis, tetanus (DPT), dan 0,68 per 1.000.000 orang yang mendapatkan

vaksin influenza. Di Amerika, kejadian kejang setelah mendapatkan vaksin DPT dan

MMR dilaporkan sebanyak tiga hingga 35 kasus dari 100.000 tergantung jenis vaksin

yang digunakan. Dilaporkan bahwa epilepsi dapat terjadi pada orang dewasa yang

mendapatkan vaksin hepatitis B. Resiko kejang dapat terjadi pada hari yang sama saat

mendapatkan vaksin untuk vaksin DPT atau hingga 14 hari setelah vaksin untuk

MMR.9

36
Dilaporkan satu kasus mengenai pasien laki-laki yang berkebangsaan Jerman

usia 44 tahun bekerja sebagai tentara mengalami kejang pada satu hari setelah

mendapatkan vaksin ensefalitis Japanese dosis ketiga. Pasien tidak mempunyai

riwayat kejang demam semasa anak-anak dan masalah sistem saraf lainnya. Saat

periode pemberian vaksin ensefalitis Japanese, pasien juga mendapatkan vaksin rabies,

tipus, yellow fever, dan vaksin meningitis. Selain itu, pada satu tahun sebelumnya

pasien telah mendapatkan vaksin MMR, DPT, hepatitis a dan b, dan tubuhnya toleransi

terhadap vaksin tersebut.9

Vaksin yang sering menyebabkan reaksi efek samping berupa kejang demam

adalah DPT dan MMR. Banyak studi kasus yang melaporkan kejadian ini terjadi pada

anak-anak setelah mendapatkan vaksin tersebut. Di Inggris, kejadian kejang demam

terjadi tiga kali lebih sering pada tiga hari setelah imunisasi DPT. Terdapat perdebatan

mengenai vaksin DPT yang whole-cell (DPwT) berhubungan dengan tingginya

kejadian efek samping dibandingkan dengan vaksin DPT aseluler (DPaT). Pada studi

kasus terbaru, dilakukan pengumpulan informasi dari orang tua anak-anak yang

mendapatkan vaksin DPT whole cell dan aseluler, dengan hasil kejadian kejang demam

sangat jarang terjadi pada aseluler.10

Pemberian vaksin campak berkaitan dengan peningkatan resiko kejang demam

pada tujuh hingga 10 hari setelah imunisasi pada anak-anak usia 12 hingga 23 bulan.

Vaksin gabungan campak, gondong, dan rubela serta varisela (MMR-V) berkaitan

dengan peningkatan dua kali lipat kejadian kejang demam pada tujuh hingga 10 hari

setelah imunisasi.11

37
Anak-anak yang mendapatkan vaksin MMR-V beresiko mengalami kejang

demam pada lima hingga 12 hari setelah imunisasi dengan insidensi 0,7 per 1.000

dibandingkan dengan vaksin MMR dan varisela dengan insidensinya 0,32 per 1.000.

Hal ini membuktikan bahwa vaksin MMR meningkatkan resiko kejang demam. Hal

tersebut berkaitan dengan kecenderungan demam setelah vaksin yang cukup sering

terjadi pada dua minggu setelah imunisasi.10

Penelitian yang dilakukan Verbeek NE et al, fokus pada insiden dan penyebab

epilepsi yang berkaitan dengan vaksin pada anak-anak. Pada studi kasus ini didapatkan

23 dari 26 anak-anak dengan rata-rata usia 10,6 tahun mengalami onset epilepsi setelah

vaksin. Penyebab dasar teridentifikasi pada 15 anak yang berkaitan dengan SCN1A-

Dravet Syndrome atau epilepsi genetik. Kejadian epilepsi setelah vaksin menjadi

ketakutan bagi orang tua saat ini, padahal vaksin bukan menjadi penyebab primer

terjadinya onset kejang pertama pada anak-anak yang telah divaksin. Dilakukan

penelitian retrospektif pada 14 anak, dan didapatkan 11 anak mengalami Dravet

syndrome, yang mana termasuk dalam sindrom epilepsi yang jarang terjadi, yang dapat

dipicu oleh demam, penyakit infeksi, atau vaksin pada anak yang sehat. Anak yang

mengalami Dravet syndrome, ditemukan adanya mutasi gen SCN1A. Hal tersebutlah

nantinya yang menyebabkan anak mengalami masalah intelektual dan sebagainya.

Sehingga, vaksin belum bisa menjadi penyebab tunggal terjadinya kejang pada anak-

anak setelah vaksinasi. Perlu diketahui lebih lanjut penyebab dasar mengapa anak

mengalami sindrom epilepsi setelah vaksin.12

Imunisasi telah dianggap sebagai profilaksis paling efektif karena dapat

mengurangi morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi di dunia. Namun, vaksinasi

38
menjadi penyebab kedua kejang demam. Vaksin yang menyebabkan kejang demam

didefinisikan demikian apabila kejang terjadi dalam waktu 72 jam setelah vaksinasi.

Beberapa jenis vaksin yang berkaitan dengan peningkatan resiko kejang demam adalah

vaksin MMR, DPwT, dan vaksin inaktif influenza. Berbagai penelitian telah dilakukan

mengenai kaitan vaksin MMR dengan kejadian kejang demam. 33 dari 100.000 anak

yang divaksin MMR mengalami episode kejang demam pada dua minggu pertama

setelah vaksinasi. Walaupun vaksin MMR mungkin meningkatkan resiko kejang

demam, mekanisme dari fenomena ini masih belum jelas. Sehingga ada baiknya

menghindari vaksin MMR pada anak yang sebelumnya mengalami kejang demam.

Tipe vaksin DPT yang berkaitan dengan kejadian kejang demam pada anak adalah yang

tipe DPwT. Hal ini dibuktikan dari penelitian bahwa kejadian kejang demam terjadi

pada 1 per 19.496 vaksin tipe aseluler, sedangkan pada tipe whole cell DPT sebanyak

1 per 2.835. Selain itu, kejadian kejang demam yang berkaitan dengan vaksin DPT

terjadi pada hari mendapatkan vaksin hingga 3 hari setelah vaksinasi.13

Pemberian vaksin pada anak dengan riwayat epilepsi tidak perlu dikhawatirkan.

Dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa anak-anak yang mengalami epilepsi

tidak meningkatkan resiko kejang setelah imunisasi. Namun, dalam penelitian tersebut

ditemukan tipe kejang mioklonik berat berkaitan dengan peningkatan kejang setelah

vaksin MMR.14

Pemberian vaksin DPwT dan MMR paling berkaitan dengan kejadian efek

samping pada saraf termasuk kejang. Pada penelitian yang dilakukan Barlow et al,

didapatkan bahwa terjadi peningkatan resiko yang signifikan untuk terjadinya kejang

demam setelah vaksinansi DPwT di hari yang sama dengan pemberian vaksin

39
sedangkan vaksin MMR delapan hingga 14 hari setelahnya.15 Meskipun vaksin sudah

dilakukan pengujian terlebih dahulu sebelum digunakan khalayak banyak,namun

kemunculan efek samping yang baru tidak dapat dicegah diberbagai kasus.9

40
BAB 4
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

41
42
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Panduan Praktik

Klinis Neurologi. Chapter Epilesi. 2016 ; 122

2. World Health Organization. Epilepsy. 2019. Diakses tanggal 18 September

2019 dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy

3. Ardhini R. Fakta Epilepsi. RSUP dr Kariadi Semarang. 2019. Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia diakses pada tanggal 18 September 2019

http://www.yankes.kemkes.go.id/read-hari--kesehatan-dunia-memaknai-sehat-

seutuhnya-6921.html

4. Zahra FA, Islamiyah WR, Budiono B. Profile of Subjective Sleep Disturbance

in patient with Antiepileptic Drugs. Surabaya : Department of Neurology

Medical Faculty of Airlangga University. J Malang Neurology. 2019 ; 1-4

5. Fitrina R. Epilepsi. RS Stroke Nasional Bukittinggi. 2018. Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia diakses pada tanggal 18 September 2019

http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html

6. Commission on Classification and Terminology of International Leage Against

Epilepsi. Proposal for Revised Classsification of Epilepsies and Epileptic

Syndrome. Epilepsia July-August 1989; 30(4):389-99.

7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005

8. Harsono. Buku Ajar Neurologi klinik. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf,

Indonesia. Gajah Mada University Press. Yogyakarta, 2008, hal: 119-150.

43
9. Schulze C. A 44-year-old patient with a new-onset seizure disorder after

vaccination against Japanese encephalitis: a case report. Journal of Medical

Case Reports. 7:66. 2013

10. Pruna D , et al. Epilepsy andvaccinations: Italian guidelines. Epilepsia,

54(Suppl.7) : 13–22. 2013

11. Rowhani-Rahbar A , Fireman B, Lewis E, Nordin J, Naleway A, et al. Effect of

age on the risk of fever and seizures following immunization with measles-

containing vaccines in children. JAMA Pediatr.167(12):1111-1117. 2013

12. Verbeek NE, Jansen FE,Vermeer-de PEB, de-Kovel CG, Kempen MJAV, et al.

Etiologies for Seizures Around the Time of Vaccination Pediatrics. 134:658–

666. 2014

13. Li X, Lin Y, Yao G,Wang Y. The Influence of Vaccine on Febrile Seizure.

Current Neuropharmacology. 16:59-65.2018

14. Top KA, Brna P, Ye L, Smith B. Risk of seizures after immunization in children

with epilepsy: a risk interval analysis. BMC Pediatrics. 18:134. 2018

15. Barlow WE, Davis RL, Glasser JW, Rhdes PH, Thompson RS, et al. The risk

of seizures after receipt of whoel-cell pertussis or measles, mumps, and rubella

vaccine. New England Jurnal Med. 345:656-661. 2001

44

Anda mungkin juga menyukai