Epilepsi Interiktal
Disusun oleh :
dr. Lana Asfaradilla
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
rahmat-Nya Laporan Kasus yang berjudul Epilepsi dapat diselesaikan tepat pada
waktunya.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan penyelesaian tugas sebagai
dokter internship. Dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapat banyak
bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan laporan kasus ini. Penulis
berharap semoga gagasan pada laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi dunia
kesehatan dan pendidikan pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB 2
LAPORAN KASUS
Nama : Nn. IT
No. RM : 801686
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Pasien datang ke RSUD M.Yunus Bengkulu dengan keluhan kejang sejak tiga
jam sebelum masuk rumah sakit. Kejang di rumah sebanyak kurang lebih lima
kali dengan durasi sekitar 7 menit setia kejang. Saat tiba di rumah sakit, pasien
kembali kejang. Kejang dirasakan di seluruh tubuh dan pada saat kejang pasien
5
Riwayat Penyakit Dahulu
Pada bulan April 2019, pasien pergi umroh bersama keluarga dan
kemudian (Mei 2019) pasien kejang pertama kali dan dirawat di RS Tiara
Satu bulan kemudian (Juni 2019), pasien kejang dan demam, didiagnosis
Bhayangkara dan disarankan dr. Hasymi, Sp.S untuk kontrol setiap bulan
Bulan Agustus 2019 pasien mulai mencoba obat herbal dan memutus obat
Tidak ada keluarga pasien yang menderita Epilepsi ataupun yang memiliki
6
Riwayat persalinan
Pasien anak ke tiga dari tiga bersaudara, Anak lahir cukup bulan, pervaginam,
Riwayat Imunisasi
DPT.
Nadi : 88 x/menit
RR : 26 x/menit
Suhu : 36,8 °C
Berat Badan : 48 kg
Kepala : normoephali
7
Mulut : mukosa mulut dan bibir basah
Paru
Perkusi : sonor
Jantung
Abdomen
Perkusi : timpani
Status Neurologis
Kesadaran umum
o E:4 M: 6 V:5
o GCS: 15
8
Tanda rangsang meningeal
o Brudzinski I: (-)
o N. I (N. Olfaktorius)
o N. II (N. Optikus)
OD
Visus Normal.
OS
Visus Normal.
9
OD/OS
Ptosis: -/-
Strabismus: -
Nistagmus: -
o N. V (N. Trigeminal)
Sensorik
V.I: Normal
V.II: Normal
V.III: Normal
Motorik
pengunyah
satu sisi
Motorik
10
Mengangkat alis: normal, simetris
Gesekan jari
AS: baik
AD: baik
Detik jam
AS :baik
AD: baik
Tes berbisik
AS: baik
AD: baik
Garpu tala
Post-pointing
11
Tandem: Tidak dilakukan
o N. IX (N. Glossopharyngeal)
o N. X (N. Vagus)
o N. XI (N. Accesory)
Pemeriksaan Motorik
o Kekuatan otot
o Tonus
12
Ekstremitas atas : normotonus/normotonus
o Klonus
Achilles : -/-
Patella : -/-
o Trofi
o Refleks Fisiologis
Ekstremitas atas
Biceps ++/++
Triceps++/++
Ekstremitas bawah
Patella ++/++
Achilles ++/++
o Refleks Patologis
Ekstremitas atas
Hoffmaan -/-
Trommner -/-
Ekstremitas bawah
Babinski -/-
Chaddock -/-
Oppenheim -/-
13
Gordon -/-
Klonus
Patella : -/-
Achilles: -/-
Pemeriksaan Sensorik
Ekstremitas Atas
Ekstremitas Bawah
o BAB normal
o BAK normal
o Berkeringat normal
14
Pemeriksaan Fungsi Luhur
o Memori baik
o Kognitif baik
o Visuospatial baik
Pemeriksaan Koordinasi
Laboratorium Rutin
Hb : 11,7 g/dl
Hematokrit : 36%
Na : 137 mmol/L
K : 3,9 mmol/L
Cl : 106 mmol/L
Radiologi
15
CT Scan kepala
Kesan:
16
2.5 Diagnosis
Epilepsi Interiktal
2.6 Tatalaksana
IVFD RL 20 tpm
17
2.7 FOLLOW UP
O/ O/
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung: Bunyi janung I-II reguler Jantung: Bunyi janung I-II reguler
Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-) Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-)
A/ Epilepsi A/ Epilepsi
P/ P/
IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam
Clonazepam 2mg, 2x1/2 tab (kerena tidak ada Clonazepam 2mg, 2x1 tab
10 mg 2x1 tab)
18
T
O/ O/
Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-) Mata: konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Jantung: Bunyi janung I-II reguler Jantung: Bunyi janung I-II reguler
Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/- Pulmo: vesicular +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-
Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-) Ekstrimitas: akral hangat, CRT<2detik, edema (-/-)
A/ Epilepsi A/ Epilepsi
P/ P/
IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam IVFD RL 20 tpm + drip fenitoin 1 mg/ 8 jam
19
T
O/
Nadi: 84 x/menit
RR: 18 x/m
A/ Epilepsi
P/
20
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
kognitif, psikologis, dan sosial. Secara definisi operasional, epilepsi diartikan sebagai
penyakit otak yang ditandai gejala atau kondisi sebagai berikut : a) Setidaknya ada dua
kejang tanpa provokasi atau dua bangkitan refleks yang berselang lebih dari 24 jam b)
Satu bangkitan tanpa provokasi atau satu bangkitan reflek dengan adanya kemungkinan
bangkitan berulang dengan risiko rekurensi dua bangkitan tanpa provokasi (setidaknya
60%) dan c) dapat ditegakkannya diagnosis sindrom epilepsi. Bangkitan refleks adalah
bangkitan yang muncul akibat induksi faktor pencetus tertentu seperti stimulasi visual,
mengalami epilepsi. Proporsi perkiraan dari populasi yang menderita epilepsi aktif
10/1000 orang. Secara global, WHO mengestimasikan 5 juta orang didiagnosa epilepsi
per tahun. Insiden epilepsi di negara maju, 49/100.000 orang didiagnosa epilepsi per
diperkirakan lebih dari 139 per 100.000 orang.2 Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar
1,3-1,6 juta penderita epilepsi.3 Prevalensi epilepsi sekitar 0,5-4% atau 8,2% per 1000
orang, jumlah ini lebih tinggi dari thailand dari segi negara Asia Tenggara.4
21
3.2 Etiologi
dengan usia.
otak, misalnya cedera kepala, infeksi SSP, kelainan kongenital, lesi desak
ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, dan
kelainan neurodegeneratif.
penyakit yang mendasari dapat menyebabkan epilepsi, penyebab penyakit ini masih
idiopatik sekitar 50% kasus secara global. Penyebab epilepsi dibagi menjadi beberapa
Contohnya termasuk kerusakan otak akibat prenatal atau perinatal (seperti hipoksia,
trauma saat persalinan, dan berat badan lahir rendah), kelainan bawaan, kondisi
genetik dengan malformasi otak, cedera kepala berat, stroke, infeksi otak seperti
otak.2
22
3.3 Klasifikasi
terdiri atas dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi dan
kesadaran
1.3 Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonik-klonik,
absens
23
mioklonik
tonik
atonik
klonik
tonik-klonik
1. Fokal/partial
oksipital.
1.2 Simtomatis
(Kojenikow’s Syndrome)
24
1.2.5 Epilepsi lobus parietal
2. Epilepsi Umum
2.1.8 Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas
2.1.9 Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang spesifik
2.3 Simtomatis
25
Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
3.4 Patofisiologi
transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi
yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi
(inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan
hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di
gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas
muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat,
membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan
polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh
mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca
dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan
depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali.
Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan
dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa
26
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah
pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi
pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus
berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu
serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang
Serangan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala
berupa:
sebelumnya.
- Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat
dijelaskan
- Halusinasi
Serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan
lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak
27
Gerakan seperti mencucu atau mengunyah.
pakaiannya.
Termasuk kejang parsial yang sering sebagai aura yang terjadi beberapa detik,
Merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap
tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien
dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa
didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan
dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada
jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi
bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjadi kontraksi otot yang berulang
28
dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol,
pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin
Pada epilepsi jenis ini tidak terdapat kejang. Epilepsi ini ditandai oleh
kehilangan kesadaran dan aktivitas motorik, sehingga penderita tidak sampai jatuh
(tonus otot normal). Penderita berhenti dari aktifitas yang dilakukan, seakan – akan
melamun, kemudian melakukan aktivitas kembali. Gejala lain (pada serangan yang
kadang – kadang dapat 10 – 20 kali dalam sehari dan karena singkat, biasanya tidak
f. Mioklonik7
Kontraksi otot sesaat, oleh karena lepas muatan listrik kortikal. Dapat single
atau berulang, sangat ringan (twitch) sampai jerking, paling berat (The Flying
perkusi. Dapat terjadi pada semua umur, akan tetapi banyak terdapat pada anak-
29
involunter yang aneh dari sekelompok otot, terutama pada tubuh bagian atas (bahu
g. Klonik7
berupa gerakan jerking ritmik (klonik jercking) pd kedua tangan dan kaki, asimetris
h. Tonik7
Kontraksi otot tonik mendadak, terjadi penurunan kesadaran tanpa klonik ( 20-
30 detik), sering terjadi saat tidur, dapat terjadi pada semua umur. Terjadi kontraksi
otot-otot wajah; mata terbuka lebar; bola mata menarik keatas; extensi leher; spasme
otot-otot extremitas bagian proximal sampai ke distal lengan diangkat keatas seperti
i. Epilepsi Atonik8
Pada epilepsi atonik, secara mendadak penderita kehilangan tonus otot. Hal ini
dapat mengenai beberapa bagian tubuh ataupun pada otot seluruh badan, misalnya
tiba-tiba kepalanya terkulai karena kehilangan tonus otot leher, atau secara tiba-tiba
penderita terjatuh karena hilangnya tonus otot tubuh. Serangan ini berlangsung
30
singkat, disebut sebagai drop attact. Serangan berlangsung hanya sebentar dan
segera membaik.
3.6 Diagnosis
a. Anamnesis
Lama serangan
Frekuensi serangan
Faktor pencetus
31
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
c. Pemeriksaan penunjang
1. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG
dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG
32
Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal,
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang
penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus
epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini
3. Pemeriksaan Radiologis
melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT
Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
3.7 Tatalaksana
terendah. Yang terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus
sawar darah otak dan mencapai reseptor susunan saraf pusat. Prinsip pengobatan
epilepsi adalah:
33
Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom
epilepsi.
pertama gagal
c. Serangan absens
OAE II : Benzodiazepin
d. Serangan mioklonik
OAE II : Etosuksimid
34
Semua OAE kecuali etosuksinid
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE
3.8 Prognosis
Penderita epilepsi yang berobat teratur, sepertiga akan bebas serangan paling
sedikit 2 tahun. Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan
35
penderita tidak mengalami kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah
mengalami remisi. 30% penderita tidak akan mengalami remisi walau sudah minum
obat teratur.8
Kejang dapat disebabkan oleh banyak hal. Vaksin, sebagai contoh, dapat
memicu kejang, terutama pada masa anak-anak. Banyak literatur yang melaporkan
kasus kejang demam setelah mendapatkan berbagai macam vaksin, seperti vaksin
campak, gondong, dan rubela (MMR) atau vaksin tetanus dan difteri. Hanya sedikit
kasus epilepsi setelah vaksin yang terjadi sejauh ini pada dewasa.9
Vaksin dapat menyebabkan berbagai efek samping, seperti alergi atau reaksi
sistemik yang lebih berat yakni disabilitas, kematian, kejang demam atau tanpa demam,
ensefalitis atau ensefalopati, sindrom kematian mendadak pada bayi, dan gangguan
bicara. Insiden reaksi anafilaksis diestimasikan 0,63 per 1.000.000 orang yang
mendapatkan vaksin ensefalitis Japanese, 0,95 per 1.000.000 orang yang mendapatkan
vaksin difteri, pertusis, tetanus (DPT), dan 0,68 per 1.000.000 orang yang mendapatkan
vaksin influenza. Di Amerika, kejadian kejang setelah mendapatkan vaksin DPT dan
MMR dilaporkan sebanyak tiga hingga 35 kasus dari 100.000 tergantung jenis vaksin
yang digunakan. Dilaporkan bahwa epilepsi dapat terjadi pada orang dewasa yang
mendapatkan vaksin hepatitis B. Resiko kejang dapat terjadi pada hari yang sama saat
mendapatkan vaksin untuk vaksin DPT atau hingga 14 hari setelah vaksin untuk
MMR.9
36
Dilaporkan satu kasus mengenai pasien laki-laki yang berkebangsaan Jerman
usia 44 tahun bekerja sebagai tentara mengalami kejang pada satu hari setelah
riwayat kejang demam semasa anak-anak dan masalah sistem saraf lainnya. Saat
periode pemberian vaksin ensefalitis Japanese, pasien juga mendapatkan vaksin rabies,
tipus, yellow fever, dan vaksin meningitis. Selain itu, pada satu tahun sebelumnya
pasien telah mendapatkan vaksin MMR, DPT, hepatitis a dan b, dan tubuhnya toleransi
Vaksin yang sering menyebabkan reaksi efek samping berupa kejang demam
adalah DPT dan MMR. Banyak studi kasus yang melaporkan kejadian ini terjadi pada
terjadi tiga kali lebih sering pada tiga hari setelah imunisasi DPT. Terdapat perdebatan
kejadian efek samping dibandingkan dengan vaksin DPT aseluler (DPaT). Pada studi
kasus terbaru, dilakukan pengumpulan informasi dari orang tua anak-anak yang
mendapatkan vaksin DPT whole cell dan aseluler, dengan hasil kejadian kejang demam
pada tujuh hingga 10 hari setelah imunisasi pada anak-anak usia 12 hingga 23 bulan.
Vaksin gabungan campak, gondong, dan rubela serta varisela (MMR-V) berkaitan
dengan peningkatan dua kali lipat kejadian kejang demam pada tujuh hingga 10 hari
setelah imunisasi.11
37
Anak-anak yang mendapatkan vaksin MMR-V beresiko mengalami kejang
demam pada lima hingga 12 hari setelah imunisasi dengan insidensi 0,7 per 1.000
dibandingkan dengan vaksin MMR dan varisela dengan insidensinya 0,32 per 1.000.
Hal ini membuktikan bahwa vaksin MMR meningkatkan resiko kejang demam. Hal
tersebut berkaitan dengan kecenderungan demam setelah vaksin yang cukup sering
Penelitian yang dilakukan Verbeek NE et al, fokus pada insiden dan penyebab
epilepsi yang berkaitan dengan vaksin pada anak-anak. Pada studi kasus ini didapatkan
23 dari 26 anak-anak dengan rata-rata usia 10,6 tahun mengalami onset epilepsi setelah
vaksin. Penyebab dasar teridentifikasi pada 15 anak yang berkaitan dengan SCN1A-
Dravet Syndrome atau epilepsi genetik. Kejadian epilepsi setelah vaksin menjadi
ketakutan bagi orang tua saat ini, padahal vaksin bukan menjadi penyebab primer
terjadinya onset kejang pertama pada anak-anak yang telah divaksin. Dilakukan
syndrome, yang mana termasuk dalam sindrom epilepsi yang jarang terjadi, yang dapat
dipicu oleh demam, penyakit infeksi, atau vaksin pada anak yang sehat. Anak yang
mengalami Dravet syndrome, ditemukan adanya mutasi gen SCN1A. Hal tersebutlah
Sehingga, vaksin belum bisa menjadi penyebab tunggal terjadinya kejang pada anak-
anak setelah vaksinasi. Perlu diketahui lebih lanjut penyebab dasar mengapa anak
38
menjadi penyebab kedua kejang demam. Vaksin yang menyebabkan kejang demam
didefinisikan demikian apabila kejang terjadi dalam waktu 72 jam setelah vaksinasi.
Beberapa jenis vaksin yang berkaitan dengan peningkatan resiko kejang demam adalah
vaksin MMR, DPwT, dan vaksin inaktif influenza. Berbagai penelitian telah dilakukan
mengenai kaitan vaksin MMR dengan kejadian kejang demam. 33 dari 100.000 anak
yang divaksin MMR mengalami episode kejang demam pada dua minggu pertama
demam, mekanisme dari fenomena ini masih belum jelas. Sehingga ada baiknya
menghindari vaksin MMR pada anak yang sebelumnya mengalami kejang demam.
Tipe vaksin DPT yang berkaitan dengan kejadian kejang demam pada anak adalah yang
tipe DPwT. Hal ini dibuktikan dari penelitian bahwa kejadian kejang demam terjadi
pada 1 per 19.496 vaksin tipe aseluler, sedangkan pada tipe whole cell DPT sebanyak
1 per 2.835. Selain itu, kejadian kejang demam yang berkaitan dengan vaksin DPT
Pemberian vaksin pada anak dengan riwayat epilepsi tidak perlu dikhawatirkan.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa anak-anak yang mengalami epilepsi
tidak meningkatkan resiko kejang setelah imunisasi. Namun, dalam penelitian tersebut
ditemukan tipe kejang mioklonik berat berkaitan dengan peningkatan kejang setelah
vaksin MMR.14
Pemberian vaksin DPwT dan MMR paling berkaitan dengan kejadian efek
samping pada saraf termasuk kejang. Pada penelitian yang dilakukan Barlow et al,
didapatkan bahwa terjadi peningkatan resiko yang signifikan untuk terjadinya kejang
demam setelah vaksinansi DPwT di hari yang sama dengan pemberian vaksin
39
sedangkan vaksin MMR delapan hingga 14 hari setelahnya.15 Meskipun vaksin sudah
kemunculan efek samping yang baru tidak dapat dicegah diberbagai kasus.9
40
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
41
42
DAFTAR PUSTAKA
http://www.yankes.kemkes.go.id/read-hari--kesehatan-dunia-memaknai-sehat-
seutuhnya-6921.html
http://yankes.kemkes.go.id/read-epilepsi-4812.html
43
9. Schulze C. A 44-year-old patient with a new-onset seizure disorder after
age on the risk of fever and seizures following immunization with measles-
12. Verbeek NE, Jansen FE,Vermeer-de PEB, de-Kovel CG, Kempen MJAV, et al.
666. 2014
14. Top KA, Brna P, Ye L, Smith B. Risk of seizures after immunization in children
15. Barlow WE, Davis RL, Glasser JW, Rhdes PH, Thompson RS, et al. The risk
44