Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stroke adalah suatu penyakit cerebrovascular dimana terjadinya
gangguan fungsi otak yang berhubungan dengan penyakit pembuluh darah
yang mensuplai darah ke otak (Wardhani 2015). Stroke terjadi karena
terganggunya suplai darah ke otak yang dikarenakan pecahnya pembuluh
darah atau karena tersumbatnya pembuluh darah. Tersumbatnya pembuluh
darah menyebabkan terpotongnya suplai oksigen dan nutrisi yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada jaringan otak.
Gejala umum yang terjadi pada stroke yaitu wajah, tangan atau kaki yang
tiba-tiba kaku atau mati rasa dan lemah, biasanya terjadi pada satu sisi tubuh.
Gejala lainnya yaitu pusing, kesulitan untuk berbicara atau mengerti
perkataan, kesulitan untuk melihat baik dengan satu mata maupun kedua
mata, kesulitan jalan, kehilangan keseimbangan dan koordinasi, pingsan atau
kehilangan kesadaran, dan sakit kepala yang berat dengan penyebab yang
tidak diketahui (World Health Organization, 2016).
Data statistik stroke dunia menyatakan sekitar 15 juta orang di dunia
mengalami stroke tiap tahunnya dan 1 dari 6 orang diseluruh dunia akan
mengalami stroke dalam hidup mereka (Stroke Association, 2013). Kejadian
stroke di dunia pada tahun 2010 menurut (American Heart Association
(AHA) 2015) yaitu sebanyak 33 juta, dengan 16,9 juta orang yang terkena
serangan stroke pertama. Angka kejadian stroke di Indonesia berdasarkan
hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas, 2013) menunjukkan bahwa
prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 7,0 per mil dan yang berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau
gejala sebesar 12,1 per mil. Total sebanyak 57,9% kejadian stroke telah
terdiagnosis oleh tenaga kesehatan. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
menduduki urutan kedua kejadian stroke terbanyak yaitu dengan prevalensi

1
stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan 10,3% dan berdasarkan
terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi 16,9%.
Berdasar studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta
pada tahun 2016 didapatkan bahwa kejadian stroke dengan jumlah pasien
stroke yaitu sebanyak 4.536 pasien diagnosis rawat jalan dan 395 pasien
diagnosis rawat inap. Berdasar data yang diuraikan di atas maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan rehabilitasi pasien stroke di RSUD Kota
Yogyakarta.
Organisasi Stroke Dunia mencatat hampir 85% orang yang mempunyai
faktor resiko dapat terhindar dari stroke bila menyadari dan mengatasi faktor
resiko tersebut sejak dini. Badan kesehatan dunia memprediksi bahwa
kematian akibat stroke akan meningkat seiring dengan kematian akibat
penyakit jantung dan kanker kurang lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8
juta di tahun 2030 (Yastroki, 2012). Stroke secara luas diklasifikasikan ke
dalam stroke iskemik dan hemoragik. Faktor risiko stroke di antaranya adalah
merokok, hipertensi, hiperlipidemia, fibrilasi atrium, penyakit jantung
iskemik, penyakit katup jantung, dan diabetes (Goldszmith, 2013).
Salah satu bentuk rehabilitasi awal pada penderita stroke adalah dengan
memberikan mobilisasi. Mobilisasi adalah kemampuan seseorang untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi diperlukan untuk meningkatkan
kemandirian diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat proses penyakit
khususnya penyakit degeneratif dan untuk aktualisasi diri.
Mobilisasi merupakan suatu kebutuhan yang mendasar dan utama bagi
setiap individu dan hak bagi setiap individu untuk dapat terpenuhi dengan
optimal baik dalam keadaan sehat maupun dalam kondisi sakit, dalam kondisi
klien mengalami keterbatasan kemampuan bergerak. Dukungan dan bantuan
dari perawat professional sangat diperlukan, akan tetapi bantuan yang
diberikan seharusnya selalu mempertimbangkan tingkat ketergantungan dan

2
potensi yang dimiliki oleh klien sehingga asuhan keperawatan yang diberikan
dapat tercapai dengan memegang prinsip kemandirian klien (Marlina 2012).

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan penyusunan makalah ini ialah, untuk mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien dengan diagnosa medis Stroke atau
CerebroVaskular Accident (CVA)
2. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui laporan pendahuluan asuhan keperawatan pada
pasien dengan CVA
b) Untuk mengetahui pengkajian fokus pada pasien dengan CVA
c) Untuk mengetahui diagnosa keperawatan pada pasien dengan CVA
d) Untuk mengetahui intervensi keperawatan pada pasien dengan CVA

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Stroke atau Cerebrovascular Accident (CVA), adalah gangguan pasokan
darah pada suatu bagian otak yang terjadi akibat adanya sumbatan aatau
pecahnya pembuluh darah. Tanpa oksigen dan nutrisi penting yang dialirkan
bersama dengan darah, sel otak akan mati dalam beberapa menit. Sel-sel yang
ada di tubuh akan cepat mengalami regenerasi jika rusak, sedangkan sel otak
akan mati secara permanen. Namun, stroke adalah sebuah proses bukan sekali
jadi. Prosesnya mungkin sudah dimulai beberapa tahun, bahkan bisa jadi
sudah puluhan sebelum stroke menyerang. Hal ini tergantung dari seberapa
besar sumbatan pada pembuluh darah otak, kemudian apakah yang terserang
tergolong vital atau bukan. Artinya, tidak semua proses stroke memunculkan
gejalanya. Ada banyak faktor risiko yang menyebabkan terjadinya stroke,
dimana faktor-faktor risiko tersebut dapat dikelompokkan dalam dua jenis,
yaitu faktor risiko yang tidak dapat diintervensi atau dikendalikan, serta
faktor yang dapat dikendalikan (Muchtar, 2009).
Hipertensi, diabetes, kolesterol bermasalah, alkohol, dan nikotin adalah
faktor risiko yang sebenarnya dapat dikendalikan. Sedangkan ras, jenis
kelamin, serta usia merupakan faktor risiko yang tidak dapat diintervensi.
Salah satu faktor risiko terbesar untuk stroke adalah hipertensi. Tapi bagi
mereka yang memiliki tekanan darah normal, tidak tertutup kemungkinan
dapat menderita stroke. Faktor risiko lainnya, seperti merokok dan
kegemukan, merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko
ini dapat diubah sehingga menurunkan risiko stroke (Muchtar, 2009).

4
B. Klasifikasi
Menurut Arif Muttaqin (2009) Klasifikasi CVA dibagi menjadi dua
yaitu sebagai berikut :
1. Stroke Hemoragik (SH)
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan
subaracnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah pada area otak
tertentu. Biasanya kejadian saat melakukan aktivitas atau saat aktif,
namun bisa juga saat istrirahat.Kesadaran klien umumnya menurun
.Perdarahan otak dibagi menjadi 2 yaitu:
a) Perdarahan intraserebral
Pecahnya pembuluh darah (mikroaneurisma) terutama karena
hipertensi mengakibatkan darah masuk kedalam jaringan otak,
membentuk massa yang menekan jaringan otak dan menimbulkan
edema otak. Peningkatan TIK yang terjadi cepat, dapat
mengakibatkan kematian mendadak karena heniasi otak. Pendarahan
intraserebri yang disebabkan hipertensi sering dijumpai di daerah
putamen, talamus, pons, dan serebellum.
b) Perdarahan subaracnoid
Pendarahan ini berasal dari pecahnya aneurisma. Aneurisma yang
pecah ini berasal dari pembuluh darah sirkulasi willisi dan cabang-
cabangnya yang terdapat diluar parenkim otak. Pecahnya arteri dan
keluarnya ke ruang subarakhnoid menyebabkan TIK meningkat
mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri, dan vasospasme
pembuluh darah serebri yang berakibat disfungsi otak global (nyeri
kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan
hemisensorik, afasia, dan lainnya). Pecahnya arteri dan keluarnya
darah keruang subarakhnoid mengakibatkan terjadinya peningkatan
TIK yang mendadak, merenggangnya struktur peka nyeri, sehingga
timbul kepala nyeri hebat. Sering juga dijumpai kaku kuduk dan
tanda-tanda merangsang selaput otak lainnya. Peningkatan TIK yang
mendadak juga mengakibatkan pendarahan subhialoid pada retina

5
dan penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat
mengakibatkan vasospasme pembuluh darah serebri. Vasospasme ini
dapat mengakibatkan arteri di ruang subbarakhnoid. Vasospasme ini
dapat mengakibatkan disfungsi otak global (nyeri kepala, penurunan
kesadaran) maupun fokal (hemiparese, gangguan hemisensorik,
afasia dan lainnya).
2. Stroke Non Haemoragik (SNH)
Dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebri, biasanya
terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur, atau di pagi hari.
Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan
hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder. Kesadaran
umumnya baik.

C. Etiologi
1. Faktor Presipitasi
Menurut Smeltzer & Bare (2008), stroke biasanya diakibatkan dari
salah satu empat kejadian sebagai berikut :
a) Thrombosis
Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah
penyebab utama trombosis serebral yang paling utama dari stroke.
(Smeltzer, 2008). Trombosis ditemukan pada 40% dari semua kasus
stroke yang telah dibuktikan oleh ahli patologi. Biasanya ada
kaitannya dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat
arterosklerosis (Price, 2006).
b) Embolisme serebri
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dari berbagai penyebab
utama stroke. Penderita embolisme biasanya lebih muda
dibandingkan dengan penderita trombosis. Kebanyakan dari emboli
serebri berasal dari suatu trombus dalam jantung sehingga masalah
yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit
jantung (Price, 2006).

6
c) Iskemia
Iskemia (penurunan darah ke area otak). Iskemia serebral
(insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi
ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d) Hemorargi serebral
Hemoragi dapat terjadi di luar durameter (hemoragi ekstra dural atau
epidural), di bawah durameter (hemoragi subdural), di ruang
arachhnoid (hemoragi subarachnoid) atau dalam substansial otak
(hemoragi intra seberal).
2. Factor Predisposisi
Menurut Smeltzer (2008) faktor pendukung terjadinya CVA ialah
sebagai berikut :
a) Hipertensi
Dapat disebabkan oleh arterosklerosis atau sebaliknya. Proses ini
dapat menimbulkan pecahnya pembuluh darah atau timbulnya
thrombus sehingga dapat mengganggu aliran darah serebral.
b) Aneurisma pembuluh darah serebral
Adanya kelainan pembuluh darah yakni berupa penebalan pada satu
tempat yang diikuti oleh penipisan di tempat lain. Pada daerah
penipisan dengan maneuver tertentu dapat menimbulkan perdarahan.
c) DM (Diabetes Melitus)
d) Perokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin
sehingga terjadi aterosklerosis.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasiklinis stroke tergantung dari sisi atau bagian mana yang
terkena, rata-rata serangan, ukuran lesi dan adanya sirkulasi kolateral. Pada
stroke akut gejala klinis meliputi(Tarwoto, 2013) :
1. Kelumpuhan wajah atau anggota badan sebelah (hemiparesis) yang
timbul secara mendadak

7
2. Gangguan sensibilitas pada satu atau lebih anggota badan
3. Penurunan kesadaran (konfusi, delirium, letargi, stupor, atau koma)
4. Afasia (kesulitan dalam bicara)
5. Disatria (bicara cadel atau pelo)
6. Gangguan penglihatan, diplopia
7. Ataksia
8. Verigo, mual, muntah, dan nyeri kepala

E. Patofisiologi
Ada dua bentuk CVA ( cerebro vaskuler accident ) dalam bleeding, yaitu
sebagai berikut (Perdana, 2017) :
1. Perdarahan Intra Cerebral
Pecahnya pembuluh darah otak sterutama karena hipertensi
mengakibatkan darah masuk ke dalam jaringan otak, membentuk massa
atau hematom yang menekan jaringan otak dan menimbulkan oedema di
sekitar otak. Peningkatan trans iskemik attack (TIA) yang terjadi dengan
cepat dapat mengakibatkan kematian yang mendadak karena herniasi
otak. Perdarahan intra cerebral sering dijumpai di daerah pituitary glad,
talamus, sub kartikal, nukleus kaudatus, pon, dan cerebellum. Hipertesi
kronis mengakibatkan perubahan struktur dinding pembuluh darah
berupa lipohyalinosis atau nekrosis fibrinoid.
2. Perdarahan Sub Arachnoid
Pecahnya pembuluh darah karena aneurisma atau AVM.
Aneurismapaling sering didapat pada percabangan pembuluh darah besar
di sirkulasi willisi. AVM (arteriovenous malformatio) dapat dijumpai
pada jaringan otak dipermukaan pia meter dan ventrikel otak, ataupun
didalam ventrikel otak dan ruang subarakhnoid. Pecahnya arteri dan
keluarnya darah keruang subarakhnoid mengakibatkan tarjadinya
peningkatan TIK yang mendadak, meregangnya struktur peka nyeri,
sehinga timbul nyeri kepala hebat. Sering pula dijumpai kaku kuduk dan
tanda-tanda rangsangan selaput otak lainnya. Peningkatam TIK yang

8
mendadak juga mengakibatkan perdarahan subhialoid pada retina dan
penurunan kesadaran. Perdarahan subarakhnoid dapat mengakibatkan
vasospasme pembuluh darah serebral. Vasospasme ini seringkali terjadi
3-5 hari setelah timbulnya perdarahan, mencapai puncaknya hari ke 5-9,
dan dapat menghilang setelah minggu ke 2-5. Timbulnya vasospasme
diduga karena interaksi antara bahan-bahan yang berasal dari darah dan
dilepaskan kedalam cairan serebrospinalis dengan pembuluh arteri di
ruang subarakhnoid. Ini dapat mengakibatkan disfungsi otak global
(nyeri kepala, penurunan kesadaran) maupun fokal (hemiparese,
gangguan hemisensorik, afasia dan lain-lain). Otak dapat berfungsi jika
kebutuhan O2 dan glukosa otak dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan
didalam sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak
punya cadangan O2 jadi kerusakan, kekurangan aliran darah otak walau
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan glukosa sebagai bahan bakar
metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70 % akan terjadi gejala disfungsi serebral. Pada saat otak
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi O2 melalui proses metabolik
anaerob,yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak.

9
F. Pathway

Gambar. 1 Pathway CVA (Perdana, 2017)

10
G. PemeriksaanPenunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa CVA adalah sebagai berikut (Batticaca, 2008) :
1. Angiografi serebral membantu menurunkan penyebab stroke secara
spesifik misalnya pertahanan atau sumbatan arteri.
2. Scan Tomografi Komputer( Computer Tomographi Scan- CT
scan),mengetahui adanya tekanan normal dan adanya thrombosis,emboli
serebral,dan tekanan intracranial (TIK).Peningkatan TIK dan cairan
mengandung darah menunjukkan adanya perdarahan subarakhoroid dan
perdarahan intracranial.Kadar protein total meningkat.beberapa kasus
thrombosis disertai proses inflamasi.
3. MagneticResonance Imaging (MRI), menunjukan daerah
infark,perdarahan,malformasi arteriovena (MAV)
4. Ultrasonografi Doppler (USG Doppler),mengidentifikasi penyakit
arteriovena (masalah sistem arteri karotis dan arteriosclerosis)
5. Elektroensefalogram (EEG), mengidentifikasi masalah pada gelombang
otak dan memperlihatkan daerah lesiyang spesifik
6. Sinar tengkorak,menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal
daerah yang berlawanan dari massa yang meluas,klasifikasi karotis
interna terdapat pada thrombosis serebral, klasifikasi parsial dinding
aneurisma pada perdarahan subarachnoid

H. Komplikasi
Menurut (Smeltzer & Bare, 2012) komplikasi stroke meliputi hipoksia
serebral, penurunan aliran darah serebral, dan embolisme serebral.
1. Hipoksia serebral
Fungsi otak bergantung pada kesediaan oksigen yang dikirimkan ke
jaringan. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi
adekuat ke otak. Pemberian oksigen, mempertahankan hemoglobin serta
hematokrit akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

11
2. Penurunan aliran darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integrasi pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat cairan intravena,
memerbaiki aliran darah dan menurunkan viskositas darah. Hipertensi
atau
hipotensi perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada aliran darah
serebral dan potensi meluasnya area cedera.
3. Emolisme serebral
Terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya akan menurunkan
aliran
darah ke serbral. Disritmia dapat menimbulkan curah jantung tidak
konsisten, disritmia dapat menyebabkan embolus serebral dan harus
segera diperbaiki.

I. Penatalaksanaan
Menurut Setyopranoto (2010) ada beberapa hal yang harus dilakukan
dalam menangani pasien stroke diantaranya adalah :
1. Manajemen pasien stroke akut di tingkat pra-rumah sakit
Manajemen pra-rumah sakit di sini adalah tindakan-tindakan yang
dapat diberikan pada pasien stroke baik saat masih di rumah maupun
tindakan sebelum dirujuk ke rumah sakit. Harus ditekankan kepada
masyarakat bahwa pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya
rujukan ke rumah sakit harus segera dilakukan karena keberhasilan terapi
stroke sangat ditentukan oleh kecepatan tindakan pada fase akut, makin
lama upaya rujukan ke rumah sakit atau makin panjang selang waktu
antara saat serangan dengan saat pemberian terapi berarti makin buruk
prognosisnya. Hal-hal yang harus dilakukan dalam menangani pasien
strok antara lain:
a) Menelfon ambulan.

12
b) Jika korban memberikan respon, baringkan korban telentang dengan
kepala dan bahu agak ditinggikan.
c) Jika korban tidak memberikan respon, buka jalan napas, periksa
pernapasan, dan berikan perawatan yang sesuai. Jika korban yang
tidak memberikan respon masih bernapas, tempatkan korban dengan
posisi miring (posisi pemulihan), untuk menjaga jalan napas tetap
bersih (clear).
2. Assessment pasien stroke akut di rumah.
Assessment terhadap pasien stroke akut meliputi :
a) Evaluasi jalan nafas (Airway), pernafasan (Breathing) dan aliran
darah (Circulation).
b) Pemeriksaan gula darah harus segera dilakukan.
c) Kondisi kesehatan sebelum serangan harus ditanyakan kepada pasien
(jika sadar), atau keluarganya, juga dievaluasi apakah terdapat defisit
neurologis lain, kapan saat serangan berlangsungdan sudah berapa
lama, faktor risiko yang ada dan apakah terkontrol, dan obat-obat
apa saja yang biasa diminum.
d) Pasien dirujuk dengan ambulan ke rumah sakit terdekat.
3. Tindakan medis di ruang rawat darurat.
Perbaikan jalan nafas, proteksi terhadap risiko gagal nafas, oksigenasi,
serta perbaikan fungsi sirkulasi harus sudah diberikan pada penanganan
pra-rumah sakit baik oleh dokter maupun paramedis yang menanganinya
pertama kali. Antitrombotik atau antikoagulan tidak boleh diberikan
sebelum pemeriksaan CT Scan atau MRI kepala untuk memastikan
diagnosis patologis strokenya. Obat-obat anti hipertensi hanya diberikan
jika tekanan darah lebih dari 220/120 mmHg, khususnya pada pasien
yang menunjukkan tanda-tanda gagal jantung atau iskemia miokard.
4. Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan di ruang rawat darurat.
a) Triase, stabilisasi dan evaluasi. Manajemen kedaruratan pasien stroke
akut meliputi tiga proses secara paralel, yaitu :

13
1) Manajemen terhadap kondisi mengancam yang dapat
menyebabkan perburukan maupun komplikasi pada fase akut,
2) Evaluasi medik maupun neurologik dengan peralatan pencitraan
terkini, dan
3) Manajemen terhadap strokenya dengan pemberian terapi primer.
Pemeriksaan awal yang haris dilakukan di ruang gawat darurat
adalah:
a) Pemeriksaan fungsi pernafasan.
b) Tekanan darah.
c) Fungsi jantung.
d) Analisis gas darah.
e) Lakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan darah rutin,
kimia darah, pemeriksaan koagulasi darah serta fungsi
hematologi lain.
f) Pasang infus dengan cairan elektrolit standar hingga diganti
dengan cairan lainnya sesuai hasil pemeriksaan kimia darah.
g) Lakukan EKG.
h) Lakukan pemeriksaan CT Scan kepala atau MRI untuk
memastikan diagnosis patologisnya.
i) Pemberian antitrombotik dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa fungsi koagulasi, jika akan
diberi antikoagulan oral, harus didahului pemeriksaan
International Normalized Ratio (INR).
b) Team Stroke.
Tim stroke di rumah sakit terdiri dari dokter spesialis saraf
sebagai koordinatornya, spesialis neuroradiologi, spesialis bedah
saraf, spesialis kardiologi, spesialis penyakit dalam konsultan
endokrin dan perawat terlatih. Tim stroke bekerja secara
komprehensif dan terpadu dalam manajemen stroke terkini dan
melakukan evaluasi bersama, evaluasi hasil pemeriksaan
neuroimaging, menentukan diagnosis tambahan/adanya penyulit,

14
review penentuan pemberian trombolitik, dan kemudian membuat
keputusan akhir tentang tindakan yang harus dilakukan.
c) Protokol standard dan clinical pathways.
Semua tindakan dan pemberian terapi harus ditulis pada checklist
sesuai protokol, baik saat pra-rumah sakit sampai pada follow up
harian selama dirawat. Berdasarkan catatan tersebut perkembangan
pasien dapat dipantau dengan rinci dan merupakan informasi
berharga sebagai pembelajaran sehingga outcome pasien akan makin
baik, dan kemampuan serta ketrampilan tim juga akan makin
meningkat.
Alur manajemen mungkin tidak sama untuk setiap pasien;
tergantung dari saat kedatangan pasien ke rumah sakit, apakah dalam
beberapa jam setelah serangan langsung datang ke rumah sakit atau
sudah lebih dari sehari baru datang ke rumah sakit.Beberapa kondisi
dan komplikasi pada pasien stroke akut misalnya krisis hipertensi,
peningkatan kadar gula darah, aspirasi, peningkatan tekanan
intrakranial, bangkitan kejang, atau aritmia jantung harus selalu
dipantau dan dievaluasi dan masuk dalam clinical pathway
manajemen stroke.
Beberapa keadaan yang harus dipantau, yaitu :
a) Kemungkinan perburukan yang disebabkan oleh kondisi
kardiovaskuler maupun neurologis,
b) Beberapa keadaan medis dan neurologis untuk mencegah
komplikasi,
c) Perubahan kondisi medis dan neurologis berdasarkan etiologi
stroke, dan
d) Perubahan kondisi pasien yang harus segera diintervensi
tindakan medik maupun pembedahan.
5. Asuhan Medik Umum.
Manajemen umum pasien stroke akut:
a) Sistem respirasi dan kardial.

15
b) Pemberian cairan dan manajemen gangguan metabolik.
c) Pengendalian tekanan darah.
d) Pencegahan deep venous thrombosis dan emboli Pulmonum.
e) Pencegahan aspirasi pneumonia dan infeksi lainnya.
f) Pencegahan dekubitus.
Deteksi dini dan tindakan cepat terhadap komplikasi neurologik
merupakan salah satu faktor yang akan meningkatkan survival pasien
stroke. Tindakan tersebut membutuhkan sarana prasarana medis yang
lengkap, sumber daya manusia yang terlatih, serta monitoring kondisi
neurologik secara kontinyu baik di unit stroke, maupun di ruang
neurointensif.
Beberapa keadaan yang mungkin menyebabkan perburukan harus secara
cepat dievaluasi:
1) Penurunan tekanan darah secara cepat bisa membahayakan.
2) Hipotermia mungkin lebih baik daripada normotermia.
3) Pemberian makan dini baik melalui mulut maupun nasogastric tube
(NGT) pada pasien stroke akut dengan disfasia akan meningkatkan
kejadian aspirasi.
Tindakan yang harus dilakukan pada perburukan pasien stroke akut:
1) Anamnesis ulang dan konfirmasi dengan perawat.
2) Periksa tanda vital.
3) Periksa secara teliti permasalahan umum dan neurologis.
4) Periksa ulang neuroimaging dan vascular imaging.
5) Periksa elektrolit, darah rutin, CRP, Rontgen toraks, sedimen urin,
kultur darah, dan lain-lain.
6) Periksa gas darah, CT Scan paru untuk melihat adanya emboli
pulmonum, EEG, echocardiography, dan lain-lain.

16
J. Fokus Pengkajian
a. Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah
memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara
untuk memastikan atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang
pasien dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien
tebuka(Thygerson,2011). Pasien yang tidak sadar mungkin
memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher
harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi
cedera kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering
disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar
(Wilkinson & Skinner,2000).
b. Pengkajian Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai
kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien.
Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-
langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan
drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest
injury dan ventilasi buatan. Yang perlu diperhatikan dalam
pengkajian breathing pada pasien adalah: look, listen, dan feel dan
lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-
tanda sebagai berikut: cyanosis, penetrating injury, flail
chest,sucking chest wounds dan penggunaan obat bantu
pernafasan. Palpasi adanya: pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis
haemothorax dan pneumotoraks. Auskultasi untuk adanya : suara
abnormal pada dada(Wilkinson & Skinner,2000).
c. Pengkajian Circulation
Langkah- langkah dalam pengkajian terhadap sirkulasi
pasien, antara lain : cek nadi dan mulai lakukan CPR jika

17
diperlukan. CPR harus dilakukan sampai defibrilasi siap
digunakan. Kontrol perdarahan dapat mengancam kehidupan
dengan pemberian penekanan secara langsung. Palpasi nadi radial
jika diperlukan untuk menentukan ada tidaknya dan menentukan
kualitas secara umum dan mengidentifikasi rate(Wilkinson &
Skinner,2000).
d. Pengkajian Level of Consciouness dan Disabilites
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan
skala AVPU :
a) A- alert yaitu merespon suara dengan tepat
misalnya mematuhi perintah yang diberikan
b) V- vocalises yaitu mungkin tidak sesuai atau
mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
c) P- responds to pain only yaitu menilai semua
keempat tungkai jika ekstremitas awal yang
digunakan untuk mengkaji gagal untuk
merespon
d) U- unresponsive to pain yaitu pasien tidak
merespon baik stimulus nyeri maupun
stimulus verbal (Wilkinson &
Skinner,2000).

18
K. Diagnosa
Berdasarkan Nanda (2015) diagnosa yang mungkin muncul pada pasien
dengan CVA ialah sebagai berikut :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi aliran
darah: gangguan oklusif, hemoragi, vasospasme serebral, edema serebral
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keterlibatan
neuromuskuler: kelemahan, parestesia, paralisis spastis
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kerusakan sirkulasi
serebral, kerusakan neuromuskuler, kehilangan tonus otot/control otot
fasial/oral; kelemahan/kelelahan umum
4. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi
sensori, transmisi, intergari dan stress psikologis
5. Resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penurunan refleks batuk dan menelan.
6. Resiko gangguan nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot
mengunyah dan menelan
7. Kurang perawatan diri berhubungan dengan kerusakan neuromuscular,
penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan koordinasi otot
8. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan biofisik,
psikososial, perceptual kognitif
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan pengobatan berhubungan
dengan kurang pemajanan, keterbatasan kognitif, kesalahan interpretasi
informasi, kurang mengingat
10. Cemas berhubungan dengan status kesehatan

19
L. Intervensi Keperawatan(Bulechek, Gloria M. et al. 2013; Moorhead, Sue. et al. 2013)
No. Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional
1. Perubahan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan faktor-faktor 1. Mempengaruhi
jaringan serebral keperawatan selama 3 x 24 jam yang berhubungan penetapan intrevensi.
berhubungan dengan diharapkan masalah teratasi dengan dengan Kerusakan/kemunduran
interupsi aliran kriteria hasil : keadaan/penyebab tanda/gejala neurologis
darah: gangguan a. Mempertahankan tingkat khusus selama memerlukan tindakan
oklusif, hemoragi, kesadaran biasanya mebaik, koma/penurunan perfusi pembedahan dan atau
vasospasme serebral, fungsi kognitif, motorik dan serebral dan potensial pasien harus dipindahkan
edema serebral sensorik terjadinya peningkatan ke ICU untuk melakukan
b. Mendemonstrasikan tanda- TIK pemantauan terhadap
tanda vital stabil dan tak 2. Pantau/cata status peningkatan TIK.
adanya tanda-tanda neurologis sesering 2. Mengetahui
peningkatan TIK mungkin dan kecenderungan tingkat
c. Menunjukkan tidak adanya bandingkan dengan kesadaran dan potensial
kekambuhan defisit keadaan normalnya peningkatan TIK dan
3. Pantau dan catat tanda- mengetahui lokasi luas
tanda vital: dan kemajuan kerusakan
- Adanya SSP. Dapat

20
hipertensi/hipotensi menunjukkan TIA yang
- Frekuensi dan irama merupakan tanda terjadi
jantung, auskultasi thrombosis CVS baru.
adanya murmur 3. Guna memonitor :
- Catat pola dan irama - Variasi tekanan darah
dari pernafasan mungkin terjadi
4. Evaluasi pupil, catat karena
ukuran, bentuk, tekanan/trauma
kesamaan, dan serebral pada daerah
reaksinya terhadap vasomotor otak.
cahaya Hipotensi dapat
5. Catat perubahan dalam terjadi karena syok,
penglihatan peningkatan TIK
6. Kaji fungsi-fungsi yang dapat terjadi karena
lebih tinggi seperti edema, adanya
fungsi bicara jika pasien formasi bekuan
sadar darah, dan
7. Letakkan posisi kepala tersumbatnya arteri
agak ditinggikan dan subklavia dapat

21
dalam posisi anatomis dinyatakan dengan
8. Pertahankan keadaan adanya perbedaan
tirah baring ciptakan tekanan antara kedua
lingkungan yang tenang lengan
9. Cegah terjadinya - Perubahan terutama
mengejan saat defekasi, adanya bradikardi
dan pernafasan yang dapat terjadi sebagai
memaksa akibat adanya
10. Kaji rigiditas nukal, kerusakan otak.
kedutan, kegelisahan Disritmia/murmur
yang meningkat, peka mencerinkan adanya
rangsang dan serangan penyakit jantung
kejang yang mungkin
11. Beri oksigen sesuai menjadi pencetus
indikasi stroke.
12. Berikan obat sesuai - Ketidakteraturan
indikasi pernafasan dapat
13. Persiapkan untuk memberikan
pembedahan, gambaran lokasi

22
endarterektomi, bypass kerusakan
mikrovaskuler serebral/peningkatan
14. Pantau pemerikasaan TIK.
laboratorium sesuai 4. Reaksi pupil diatur oleh
indikasi saraf cranial
okulomotorius (III) dan
berguna dalam
menentukan apakah
batang otak tersebut
masih baik. Ukuran dan
kesamaan pupil
ditentukan oleh
keseimbangan antara
saraf simpatis dengan
parasimpatis. Respon
terhadap refleks cahaya
merupakan fungsi dari
saraf optikus dan
okulomotorius.

23
5. Ganguan penglihatan
yang spesifik
mencerminkan daerah
otak yang terkena.
6. Perubahan dalam
kognitif dan bicara
merupakan indicator dari
lokasi/derajat gangguan
serebral.
7. Menurunkan tekanan
arteri dengan
meningkatkan drainase
dan meningkatkan
sirkulasi/perfusi serebral.
8. Aktivitas yang kontinu
dapat meningkatkan
TIK.
9. Maneuver valsalva dapat
meningkatkan TIK dan

24
memperbesar resiko
perdarahan.
10. Merupakan indikasi
adanya iritasi meningeal.
11. Menurunkan hipoksia
yang dapat menyebabkan
vasodilatasi serebral dan
tekanan
meningkat/terbentuknya
edema.
12. Untuk proses
penyembuhan penyakiy
yang adekuat
13. Mungkin bermanfaat
untuk mengatasi situasi.
14. Memberikan informasi
tentang keefektifan
pengobatan/terapeutik.
2. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan secara 1. Mengidentifikasi

25
fisik berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam fungsional/luasnya kekuatan/kelemahan dan
dengan keterlibatan diharapkan masalah teratasi dengan kerusakan awal dan dapat memberikan
neuromuskuler: kriteria hasil : dengan cara yang informasi mengenai
kelemahan, a. Mempertahankan posisi optimal teratur pemulihan.
parestesia, paralisis dan fungsi yang dibuktikan oleh 2. Ubah posisi setiap 2 jam 2. Menurunkan resiko
spastis tidak adanya kontraktur (terlentang/miring), jika terjadinya trauma/iskemi
b. Mempertahankan/meningkatkan kemungkinan bisa lebih jaringan.
kekuatan dan fungsi bagian sering diposisikan pada 3. Meminimalkan atrofi otot,
tubuh yang terkena atau bagian yang terganggu menaikkan sirkulasi,
kompensasi 3. Lakukan latihan rentang membantu mencegah
c. Mendemonstrasikan gerak pasif dan aktif kontraktur.
teknik/perilaku yang pada semua ekstremitas 4. Mencegah kontraktur dan
memungkinkan melakukan 4. Sokong ekstremitas memfasilitasi
aktifitas dalam posisi kegunaannya jika
d. Mempertahankan integritas fungsionalnya, berfungsi kembali.
kulit pertahankan posisi 5. Mencegah abduksi bahu
kepala netral dan fleksi siku
5. Tempatkan bantal 6. Menaikkan aliran balik
dibawah aksial untuk vena dan membantu

26
melakukan abduksi mencegah terbentuknya
pada tangan edema
6. Tinggikan tangan dan 7. Membantu dalam melatih
kepala kembali jaras saraf,
7. Bantu untuk meningkatkan respon
mengembangkan proprioseptik dan
keseimbangan duduk motorik.
8. Observasi daerah yang 8. Jaringan yang edema
terkena termasuk warna, lebih mudah mengalami
edema, atau tanda-tanda trauma dan
lain penyembuhannya lambat.
9. Anjurkan pasien untuk 9. Dapat berespon dengan
membantu pergerakan baik jika daerah yang
dan latihan dengan sakit tidak menjadi lebih
menggunakan terganggu dan
ekstremitas yang tidak memerlukan dorongan
sakit untuk serta latihan aktif.
menyokong/menggerak 10. Program yang khusus
kan tubuh yang dapat dikembangkan

27
mengalami kelemahan untuk menemukan
10. Konsultasikan dengan kebutuhan yang berarti/
ahli fisioterapi secara menjaga kekurangan
aktif, latihan resistif, tersebut dalam
dan ambulasi pasien keseimbangan,
11. Bantulah dengan koordinasi, dan kekuatan.
stimulasi elektrik 11. Dapat membantu
12. Berikan obat relaksan memulihkan kekuatan
otot, antispasmodic otot dan meningkatkan
sesuai indikasi, seperti control otot volunteer.
baklofen, dantrolen 12. Menghilangkan spastisitas
pada ekstremitas yang
terganggu.
3. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tipe/derajat 1. Menentukan daerah dan
komunikasi verbal keperawatan selama 3 x 24 jam disfungsi derajat kerusakan serebral
berhubungan dengan diharapkan masalah teratasi dengan 2. Minta pasien untuk yang terjadi dan kesulitan
kerusakan sirkulasi kriteria hasil : menulis nama/kalimat pasien dalam beberapa
serebral, kerusakan a. Mengindikasikan pemahaman yang pendek atau seluruh tahap
neuromuskuler, tenang masalah komunikasi 3. Berikan metode komunikasi. Pasien

28
kehilangan tonus b. Membuat metode komunikasi komunikasi alternative mungkin mempunyai
otot/control otot dimana kebutuhan dapat 4. Bicaralah dengan nada kesulitan memahami kata
fasial/oral; diekspresikan normal dan hindari yang diucapkan (afasia
kelemahan/kelelahan c. Menggunakan sumber-sumber percakapan yang cepat sensorik/kerusakan pada
umum dengan tepat 5. Konsultasikan area wernick);
dengan/rujuk kepada ahli mengucapkan kata-kata
terapi wicara dengan benar (afasia
ekspresif/area broca) atau
mengalami kerusakan
pada kedua area
2. Menilai kemampuan
menulis (agrafia) dan
kekurangan dalam
membaca yang benar yang
juga merupakan bagian
dari afasia sensorik dan
motorik
3. Memberikan komunikasi
tentang kebutuhan

29
berdasarkan
keadaan/deficit yang
mendasarinya.
4. Pasien tidak perlu merusak
pendengaran, dan
meninggikan suara dapat
menimbulkan marah
pasien. Memfokuskan
respons dapat
mengakibatkan frustasi.
5. Pengkajian secara
individual kemampuan
bicara dan sensori,
motorik dan kognitif
berfungsi untuk
mengidentifikasi
kekurangn/kebutuhan
terapi.
4. Perubahan persepsi Setelah dilakukan tindakan 1. Evaluasi adanya 1. Munculnya gangguan

30
sensori berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan penglihatan. penglihatan akan
dengan perubahan diharapkan masalah teratasi dengan Catat adanya penurunan berdampak negative
resepsi sensori, kriteria hasil : lapang pandang, terhadap kemampuan
transmisi, intergari a. Memulai/mempertahankan perubahan ketajaman pasien untuk menerima
dan stress psikologis tingkat kesadaran dan fungsi persepsi, adanya diplopia lingkungan dan
perceptual 2. Kaji kesadaran sensorik, mempelajari kembali
b. Mengakui perubahan dalam seperti membedakan keterampilan motorik dan
kemampuan dan adanya panas/dingin, meningkatkan risiko
keterlibatan residual tajam/tumpul, posisi terjadinya cedera.
c. Mendemonstrasikan perilaku bagian tubuh/otot, rasa 2. Penurunan kesadaran
untuk mengkompensasi persendian sensorik dan kerusakan
terhadap/deficit hasil 3. Berikan stimulasi perasaan kinetic
terhadap sentuhan berpengaruh buruk
4. Lindungi pasien dari terhadap
suhu yang berlebihan, keseimbangan/posisi
kaji adanya lingkungan tubuh dan kesesuaian dari
yang membahayakan gerakan yang mengganggu
5. Hilangkan ambulasi.
kebisingan/simulasi 3. Membantu melatih

31
eksternal yang kembali jaras sensorik
berlebihan sesuai untuk mengintegrasikan
kebutuhan persepsi dan interpretasi
stimulasi.
4. Meningkatkan keamanan
pasien dan menurunkan
resiko trauma.
5. Menurunkan ansietas dan
respon emosi yang
berlebihan.
5. Resiko terjadinya Setelah dilakukan tindakan 1. Berikan penjelasan 1. Klien dan keluarga mau
ketidakefektifan keperawatan selama 3 x 24 jam kepada klien dan berpartisipasi dalam
bersihan jalan nafas diharapkan masalah teratasi dengan keluarga tentang sebab mencegah terjadinya
yang berhubungan kriteria hasil : dan akibat ketidakefektifan bersihan
dengan menurunnya a. Klien tidak sesak nafas ketidakefektifan jalan jalan nafas
refleks batuk dan b. Tidak terdapat ronchi, nafas 2. Perubahan posisi dapat
menelan, imobilisasi wheezing ataupun suara nafas 2. Ubah posisi setiap 2 jam melepaskan sekret dari
tambahan sekali saluran pernafasan
c. Tidak retraksi otot bantu 3. Berikan intake yang 3. Air yang cukup dapat

32
pernafasan adekuat (2000 cc per mengencerkan secret
d. Pernafasan teratur, RR 16-20 hari) 4. Untuk mengetahui ada
kali/menit 4. Observasi pola dan tidaknya ketidakefektifan
frekuensi nafas jalan nafas
5. Auskultasi suara nafas 5. Untuk mengetahui adanya
6. Lakukan fisioterapi kelainan suara nafas
nafas sesuai dengan 6. Agar dapat melepaskan
keadaan umum klien sekret dan
mengembangkan paru-
paru
6. Resiko gangguan Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan kemampuan 1. Untuk menetapkan jenis
nutrisi kurang dari keperawatan selama 3 x 24 jam klien dalam mengunyah, makanan yang akan
kebutuhan tubuh diharapkan masalah teratasi dengan menelan dan reflek batuk diberikan pada klien
berhubungan dengan kriteria hasil : 2. Letakkan posisi kepala 2. Untuk klien lebih mudah
kelemahan otot a. Berat badan dapat lebih tinggi pada waktu, untuk menelan karena
mengunyah dan dipertahankan / ditingkatkan selama dan sesudah gaya gravitasi
menelan b. Hb dan albumin dalam batas makan 3. Membantu dalam melatih
normal 3. Stimulasi bibir untuk kembali sensori dan
menutup dan membuka meningkatkan kontrol

33
mulut secara manual muskuler
dengan menekan ringan 4. Memberikan stimulasi
diatas bibir/dibawah sensori (termasuk rasa
dagu jika dibutuhkan kecap) yang dapat
4. Letakkan makanan pada mencetuskan usaha untuk
daerah mulut yang tidak menelan dan
terganggu meningkatkan masukan
5. Berikan makan dengan 5. Klien dapat berkonsentrasi
berlahan pada pada mekanisme makan
lingkungan yang tenang tanpa adanya
6. Mulailah untuk distraksi/gangguan dari
memberikan makan luar
peroral setengah cair, 6. Makan lunak/cairan kental
makan lunak ketika klien mudah untuk
dapat menelan air mengendalikannya
7. Anjurkan klien didalam mulut,
menggunakan sedotan menurunkan terjadinya
meminum cairan aspirasi
8. Anjurkan klien untuk 7. Menguatkan otot fasial

34
berpartisipasidalam dan dan otot menelan dan
program latihan/kegiatan menurunkan resiko
9. Kolaborasi dengan tim terjadinya tersedak
dokter untuk 8. Dapat meningkatkan
memberikan ciran pelepasan endorfin dalam
melalui iv atau makanan otak yang meningkatkan
melalui selang nafsu makan
9. Mungkin diperlukan untuk
memberikan cairan
pengganti dan juga
makanan jika klien tidak
mampu untuk
memasukkan segala
sesuatu melalui mulut
7. Kurang perawatan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kemampuan dan 1. Membantu dalam
diri berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam tingkat kekurangan mengantisipasi
dengan kerusakan diharapkan masalah teratasi dengan untuk melakukan pemenuhan kebutuhan
neuromuscular, kriteria hasil : kebutuhan sehari-hari secara individual.
penurunan kekuatan a. Mendemonstrasikan 2. Hindari melakukan 2. Pasien mungkin menjadi

35
dan ketahanan, teknik/perubahan gaya hidup sesuatu untuk pasien sangat ketakutan dan
kehilangan yang memenuhi kebutuhan yang dapat dilakukan sangat tergantung dan
koordinasi otot perawatan diri pasien sendiri, tetapi meskipun bantuan yang
b. Melakukan aktifitas perawatan berikan bantuan sesuai diberikan bermanfaat
diri dalam tingkat kemampuan kebutuhan dalam mencegah frustasi.
sendiri 3. Kaji kemampuan pasien 3. Mungkin mengalami
c. Mengidentifikasi sumber untuk berkomunikasi gangguan saraf kandung
pribadi/komunitas memberikan tentang kebutuhannya kemih, tidak dapat
bantuan sesuai kebutuhan untuk menghindari dan mengatakan kebutuhannya
atau kemampuan untuk pada fase pemulihan akut.
menggunakan urinal, 4. Mungkin dibutuhkan pada
bedpan. Bawa pasien ke awal untuk membantu
kamar mandi dengan menciptakan/merangsang
teratur untuk berkemih fungsi defekasi secara
4. Berikan obat langsung.
suppositoria dan pelunak 5. Memberikan bantuan yang
feses mantap untuk
5. Konsultasi dengan ahli mengembangkan rencana
fisioterapi/ahli terapi terapi dan

36
okupasi mengidentifikasi
kebutuhan alat penyokong
khusus.
8. Gangguan konsep Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji luasnya gangguan 1. Penentuan factor-faktor
diri berhubungan keperawatan selama 3 x 24 jam persepsi dan hubungkan secara individu membantu
dengan perubahan diharapkan masalah teratasi dengan dengan derajat dalam mengembangkan
biofisik, psikososial, kriteria hasil : ketidakmampuannya perencanaan
perceptual kognitif a. Bicara/berkomunikasi dengan 2. Anjurkan pasien untuk asuhan/pilihan intervensi.
orang terdekat tentang situasi mengekspresikan 2. Mendemonstrasikan
dan perubahan yang telah perasaannya penerimaan/membantu
terjadi 3. Bantu dan dorong pasien untuk mengenal
b. Mengungkapkan penerimaan kebiasaan berpakaian dan mulai memahami
pada diri sendiri dalam situasi dan berdandan dengan perasaan ini.
c. Mengenali dan baik 3. Membantu peningkatan
menggabungkan perubahan 4. Berikan dukungan rasa percaya diri dan
dalam konsep diri dalam cara terhadap perilaku atas control pasien.
yang akurat tanpa partisipasi pasien dalam 4. Mengisyaratkan
menimbulkan harga diri negatif mengikuti kegiatan kemungkinan adaptasi
rehabilitasi untuk mengubah dan

37
5. Pantau gangguan tidur memahami tentang peran
6. Rujuk pada evaluasi diri sendiri dalam
neuropsikologis dan atau kehidupan.
konseling sesuai 5. Indikasi serangan depresi
kebutuhan yang mungkin
memerlukan intervensi
dan evaluasi lanjut.
6. Dapat memudahkan
adaptasi terhadap
perubahan peran yang
perlu untuk perasaan
menjadi orang produktif.
9. Kurang pengetahuan Setelah dilakukan tindakan 1. Evaluasi tipe/derajat 1. Defisit mempengaruhi
mengenai kondisi keperawatan selama 3 x 24 jam gangguan persepsi metode pengajaran dan
dan pengobatan diharapkan masalah teratasi dengan sensori isi/kompleksitas instruksi.
berhubungan dengan kriteria hasil : 2. Tinjau ulang 2. Meningkatkan
kurang pemajanan, a. Berpartisipasi dalam proses keterbatasan saat ini dan pemahaman, memberikan
keterbatasan belajar diskusikan rencana harapan pada masa datang
kognitif, kesalahan b. Mengungkapkan pemahaman melakukan kembali dan menimbulkan harapan

38
interpretasi tentang kondisi/prognosis dan aktifitas dari keterbatasan hidup
informasi, kurang aturan terapeutik 3. Diskusikan rencana secara normal
mengingat c. Memulai perubahan gaya hidup untuk memenuhi 3. Berbagai tingkat bantuan
yang diperlukan kebutuhan perawatan mungkin diperlukan
diri berdasarkan kebutuhan
4. Sarankan pasien individual
menurunkan/membatasi 4. Stimulasi yang beragam
stimulasi lingkungan dapat memperbesar
terutama selama gangguan proses berpikir
kegiatan berpikir 5. Meningkatkan kesehatan
5. Identifikasi factor resiko secara umum dan mungkin
secara individual menurunkan risiko
6. Identifikasi tanda/gejala kambuh
yang memerlukan 6. Evaluasi dan intervensi
control secara medis dengan cepat menurunkan
risiko terjadinya
komplikasi.
10 Cemas berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Bina hubungan saling 1. Untuk mengurangi
dengan status keperawatan selama 3x24 jam percaya kecemasan

39
kesehatan masalah cemas dapat teratasi 2. Libatkan keluarga saat 2. Meningkatkan control
dengan kriteria hasil : koping kecemasan
a. Klien mampu mengungkapkan
cara mengatasi cemas
b. Klien mampu menggunakan
caping

40
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Cerebro Vaskular Accident (CVA) atau biasa dikenal oleh masyarakat
dengan istilah stroke adalah kelainan yang terjadi pada organ otak. Lebih
tepatnya adalah gangguan pembuluh darah otak berupa penurunan kualitas
pembuluh darah otak sehingga suplai darah ke otak menjadi kurang. Stroke
menyebabkan angka kematian dan kecacatan yang tinggi di dunia.
Penanganan stroke secara dini akan menentukakn prognosis dari penyakit
stroke yang di alami maka harus ditekankan kepada masyarakat bahwa
pengenalan tanda dan gejala dini stroke dan upaya rujukan ke rumah sakit
harus segera dilakukan karena keberhasilan terapi stroke sangat ditentukan
oleh kecepatan tindakan pada fase akut, makin lama penanganan atau upaya
rujukan ke rumah sakit atau makin panjang selang waktu antara saat serangan
dengan saat pemberian terapi berarti makin buruk prognosisnya.

B. Saran
1. Saran bagi perawat
Perawat hendaknya mampu malaksanakanteknik kegawatdaruratan pada
pasien dengan CVA atau stroke sehingga dapat meminimalkan tingkat
keparahan dari kondisi tersebut.
2. Saran bagi instalasi rumah sakit
Instalasi Rumah Sakit diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang
aman dan nyaman serta melakukan pelayanan yang komprehensif
khususnya dalam bidang kegawat daruratan bagi pasien sehingga mutu
pelayanan menjadi lebih berkualitas.
3. Saran bagi mahasiswa
Memotivasi dirinya untuk selalu menggali penemuan ilmu baru
berdasarkan penelitian mengenai asuhan keperawatan kegawat daruratan
pada pasien dengan CVA.

41
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (AHA) 2015, 'Heart disease and stroke statistics-at-a-
glance'.

Batticaca,Fransisca B.2008.”Asuhan Keperawatan pada Klien dengan gangguan


sistem Persyarafan”.Jakarta.Salemba medika

Bulechek, Gloria M. et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC) 6th


Edition. Missouri: Mosby Elsevier

Herdman, T. Heather., Kamitsuru, Shigemi. 2015. Diagnosis Keperawatan:


Definisi, Dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta; EGC.

Marlina 2012, 'MOBILISASI PADA PASIEN FRAKTUR MELALUI


PENDEKATAN', Idea Nursing Journal, vol I, no. 1.

Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Missouri:


Mosby Elsevier

Muchtar, A.F. 2009. Rahasia Hidup Sehat & Bahagia. Jakarta : PT Bhuana Ilmu
Populer.

Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika

Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses


Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S, & Bare. 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta : EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah .Edisi
8 vol 3. Jakarta: ECG

Setyopranoto, Ismail. 2010. Manajemen Umum Stroke di Ruang Rawat Darurat.


http://www.kalbemed.com/Portals/6/10_178Manajemenstroke.pdf (diunduh
pada 20 September 2018)

Tarwoto. 2013. Keperawatan Medikal Bedah.gangguan sistem pesryarafan.


Jakarta:CV. Sagung Seto.
Thygerson, Alton. (2011). First and 5th edition.Jakarta :PT. Gelora Aksara
Pratama

42
Wardhani, IOSM 2015, 'Hubungan Karakteristk Pasien Stroke dan Dukungan
Keluarga Dengan Kepatuhan Menjalani Rehabilitasi', Jurnal Berkala
Epidemologi Vol. 3 No.1 Januari 2015.
Wilkinson, Douglas.A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care
standard edition. Oxford: Primary Trauma Care Foundation. ISBN

43

Anda mungkin juga menyukai