Anda di halaman 1dari 11

SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI

A. DEFINISI SUPRAVENTRIKULAR TAKIKARDI


Supraventrikular Takikardi (SVT) adalah satu jenis takidisritmia yang ditandai
dengan perubahan laju jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara
150 kali/menit sampai 250 kali/menit. Kelainan pada SVT mencakup komponen sistem
konduksi dan terjadi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan SVT mempunyai
kompleks QRS normal.

B. PENYEBAB
1. Peradangan jantung, misalnya demam reumatik, miokarditis karena infeksi. Adanya
peradangan pada jantung akan berakibat terlepasnya mediator-mediator radan dan hal
ini menyebabkan gangguan pada penghantaran impuls.
2. Gangguan sirkulasi koroner (aterosklerosis koroner, spasme arteri koroner, iskemi
miokard, infark miokard). Arteri koroner merupakan pembuluh darah yang menyuplai
oksigen untuk sel otot jantung. Jika terjadi gangguan sirkulasi koroner, akan berakibat
pada iskemi bahkan nekrosis sel otot jantung sehingga terjadi gangguan penghantaran
impuls.
3. Karena intoksikasi obat misalnya digitalis, obat-obat anti aritmia. Obat-obat anti
aritmia bekerja dengan mempengaruhi proses reenterallarisasi sel otot jantung. Dosis
yang berlebih akan mengubah reentrallarisasi sel otot jantung sehingga terjadi
gangguan irama jantung.
4. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiper atau hienteralkalemia). Ion kalium
menentukan enteraltensial istirahat dari sel otot jantung. Jika terjadi perubahan kadar
elektrolit, maka akan terjadi peningkatan atau perlambatan permeabilitas terhadap ion
kalium. Akibatnya enteraltensial istirahat otot jantung akan memendek atau
memanjang dan memicu terjadinya gangguan irama jantung.
5. Gangguan pengaturan sususan saraf autonom yang mempengaruhi kerja dan irama
jantung. Dalam hal ini aktivitas nervus vagus yang meningkat dapat memperlambat
atau menghentikan aktivitas sel pacu di nodus SA dengan cara meninggikan
konduktansi ion kalium.
6. Gangguan psikoneurotik dan susunan saraf pusat. Peningkatan aktivitas simpatis
dapat menyebabkan bertambahnya kecepatan deentrallarisasi senteraltan.
7. Gangguan endokrin (hipertiroidisme dan hipotiroidisme). Hormone tiroid
mempengaruhi proses metabolisme di dalam tubuh melalui perangsangan system
saraf autonomy yang juga berpengaruh pada jantung.
8. Akibat gagal jantung. Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung tidak
dapat memompa darah secara optimal ke seluruh tubuh. Pada gagal jantung, fokus-
fokus ektopik (pemicu jantung selain nodus SA) dapat muncul dan terangsang
sehingga menimbulkan impuls tersendiri.
9. Akibat kardiomiopati. Jantung yang mengalami kardiomiopati akan disertai dengan
dilatasi sel otot jantung sehingga dapat merangsang fokus-fokus ektopik dan
menimbulkan gangguan irama jantung.
10. Karena penyakit degenerasi misalnya fibrosis system konduksi jantung. Sel otot
jantung akan digantikan oleh jaringan parut sehingga konduksi jantung pun
terganggu.

C. MANIFESTASI KLINIK
SVT biasanya terjadi mendadak dan berhenti juga secara mendadak. Serangan bisa
terjadi mungkin hanya beberapa detik saja, bahkan dapat menetap sampai berjam-jam.
Tanda dan gejala supraventricular takikardi antara lain :
1. Frekuensi jantung 150 – 250 x/menit.
2. Perubahan TD, nadi tidak teratur, irama jantung tidak teratur, kulit pucat, sianosis,
berkeringat.
3. Pusing, disorientasi, letargi, perubahan reflek pupil.
4. Nyeri dada ringan sampai berat, gelisah.
5. Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan.
6. Terdapat nafas tambahan (krekels, ronkhi, mengi).
7. Demam, kulit kemerahan, inflamasi eritema, edema, kehilangan tonus otot.
D. PATOFISIOLOGI
Secara umum terdapat tiga macam mekanisme terjadi aritmia, termasuk aritmia
ventrikel, yaitu automacity, reentrant, dan triggered activity :
1. Automacity terjadi karena adanya percepatan aktivitas fase 4 dari enteraltensial
aksi jantung. Aritmia ventrikel karena gangguan automaticity biasanya tercetus
pada gangguan akut seperti infark miokard akut, gangguan elektrolit, gangguan
keseimbangan asam basa, dan tonus adrenergic yang tinggi. Oleh karena itu bila
berhadapan dengan aritmia ventrikel karena gangguan automaticity, perlu
dikoreksi faktor penyebabnya yang mendasari
2. Reentry adalah mekanisme aritmia ventrikel tersering dan biasanya disebabkan
oleh kelainan kronis seperti infark miokard lama atau kardiomiopati dilatasi.
Jaringan parut yang terbentuk akibat infark miokard yang berbatasan dengan
jaringan sehat menjadi keadaan yang ideal untuk terbentuknya sirkuit reentry. Bila
sirkuit ini terbentuk maka aritmia ventrikel reentrant dapat timbul setiap saat dan
menyebabkan kematian mendadak.
3. Triggered activity memiliki gambaran campuran dari kedua mekanisme diatas,
mekanismenya adalah adanya kebocoran ion enteralsif kedalam sel sehingga
terjadi lonjakan enteraltensial pada akhir fase 3 atau awal fase 4 dari aksi
enteraltensial baru. Keadaan ini baru disebut after deenterallarization.

E. PENATALAKSANAAN
1. Penetalaksaan Segera
a. Pemberian Adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik negative,
dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung sangat singkat
dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat
dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel
endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV
sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin
mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertana dalam terapi SVT
karena dapat menghilangkan hamper semua SVT. Efektivitasnya dilaporkan pada
sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush
saline, mulai dengan dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µg/kg setiap 1 sampai 2
menit (maksimal 250 µg/kg). Dosis yang efektif pada anak yaitu 100-150 µg/kg.
Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dyspnea, facial flushing, dan
terjadinya A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node
(seperti beta blokers, calcium channel blocker, amidaron). Adenosin bisa
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.
b. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini
bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada konduksi retrograde
pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering
dilaporkan pada saat loading dose diberikan.
c. Digoksin dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT pada anak.
Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera SVT dan sebaiknya
dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko
percepatan konduksi pada jaras tambahan. Digitalisasi dipakai pada bayi tanpa
gagal jantung kongestif. Digoksin memperbaiki fungsi ventrikel, baik melalui
pengaruh inotropiknya maupun melalui blockade nodus AV yang ditengahi vagus.
d. Bila adenosin tidak bisa digunakan serta adanya tanda gagal jantung kongestif
atau kegagalan sirkulasi jelas dan alat DC shock tersedia, dianjurkan penggunaan
direct current synchronized cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25
watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu
sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak
gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel. Tidak dianjurnkan
memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah
kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel
maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini
tetap tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasive.
e. Bila DC shock tidak tersedia baru dipilih alternative kedua yaitu preparat digitalis
secara intravena. Dosis yang dianjurkan pada pemberian pertama adalah sebesar
½ dari dosis digitalisasi (loading dose) dilanjutkan dengan ¼ dosis digitalisasi, 2
kali berturut-turut berselang 8 jam.
f. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa
digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena phenylephrine bisa dicoba
untuk konversi cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan
darah dengan cepat dan mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal.
Efek phynilephrin (neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium (tensolin)
yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti
procainamide dan propranolol. Metode ini tidak direkomendasikan pada bayi
dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload sehingga merugikan pada bayi
dengan gagal jantung. Dosis phenylephrine 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg
cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan dokter terhadap
tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
2. Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang SVT.
Di antara bayi-bayi yang menunjukkan tanda dan gejala SVT, kurang lebih
sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien
dengan takikardi atrial automathic akan mengalami resolusi sendiri. Berat ringan
gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan merupakan pertimbangan
penting untuk pengobatan.
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena
umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi dengan gejala klinis ringan dan
sernagan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi. Bayi-bayi dengan
serangan yang sering dan simptomatik akan membutuhkan obat-obatan seperti
propranolol, sotalol atau amiodaron, terutama untuk tahun pertama kehidupan.
Pada pasien SVT dengan sindrom WPW sebaiknya diberikan terapi propranolol
jangka panjang. Sedangkan pada pasien dengan takikardi resisten digunakan
procainamide, quinidine, flecainide, propafenone, sotalol dan amiodaron.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. EKG : menunjukkan pola cedera iskemik dan gangguan konduksi. Menyatakan
tipe/sumber disritmia dan efek ketidakseimbangan elektrolit dan obat jantung.
2. Monitor Holter : Gambaran EKG (24 jam) mungkin diperlukan untuk menentukan
diman disritmia disebabkan oleh gejala khusus bila pasien aktif (di rumah/kerja). Juga
dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi pacu jantung/efek obat antidisritmia.
3. Foto dada : dapat menunjukkan pembesaran bayangan jantung sehubungan dengan
disfungsi ventrikel atau katup.
4. Skan pencitraan miokardia : dapat menunjukkan area iskemik/kerusakan miokard
yang dapat mempengaruhi konduksi normal atau mengganggu gerakan dinding dan
kemampuan pompa.
5. Tes stress latihan : dapat dilakukan untuk mendemonstrasikan latihan yang
menyebabkan disritmia.
6. Elektrolit : peningkatan atau penurunan kalium, kalsium dan magnesium dapat
menyebabkan disritmia.
7. Pemeriksaan obat : dapat menyatakan toksisitas obat jantung, adanya obat jalanan
atau dugaan interaksi obat, contoh: digitalis, quinidine.
8. Pemeriksaan tiroid : peningkatan atau penurunan kadar tiroid serum dapat
menyebabkan meningkatkan disritmia.
9. Laju sedimentasi : peninggian dapat menunjukkan proses inflamasi akut. Contoh:
endocarditis sebagai faktor pencetus disritmia.
10. GDA/nadi oksimetri : hipoksemia dapat menyebabkan disritmia.

G. PENGKAJIAN
1. Pengkajian primer :
a. Airway
- Apakah ada peningkatan sekret ?
- Apakah ada suara nafas : krekels ?
b. Breathing
- Apakah distress pernafasan ?
- Adakah hipoksemia berat ?
- Adakah retraksi otot interkosta, dyspnea, sesak nafas ?
- Apakah ada bunyi wheezing ?
c. Circulation
- Bagaimanakah perubahan tingkat kesadaran ?
- Apakah ada takikardi ?
- Apakah ada takipnea ?
- Apakah haluaran urin menurun ?
- Apakah terjadi penurunan TD ?
- Bagaimana kapilery refill time ?
- Apakah ada sianosis ?
2. Pengkajian sekunder :
a. Riwayat penyakit
a) Faktor resiko keluarga. Contoh; penyakit jantung, stroke, hipertensi.
b) Riwayat IM sebelumnya (disritmia), kardiomiopati, GJK, penyakit
katup jantung, hipertensi.
c) Penggunaan obat digitalis, quinidine dan obat anti aritmia lainnya
kemungkinana untuk terjadinya intoksikasi.
b. Kondisi psikososial
1) Pengkajian fisik
a) Aktivitas : kelelahan umum
b) Sirkulasi : perubahan TD (hipertensi atau hipotensi); nadi
mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung iram tak
teratur, bunyi ekstra, denyut menurun; kulit warna dan
kelembaban berubah missal pucat, sianosis, berkeringat;
edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun
berat.
c) Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas,
takut, menolak, marah, gelisah, menangis.
d) Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran
terhadap makanan, mual muntah, perubahan berat badan,
perubahan kelembaban kulit.
e) Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi,
bingung, letargi, perubahan pupil.
f) Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat
hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah.
g) Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk,
perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas
tambahan (krekels, ronkhi, mengi) mungkin ada menunjukkan
komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema
paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptysis.
h) Keamanan : demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi,
eritema, edema (thrombosis siperfisial); kehilangan tonus
otot/kekuatan.

H. DIAGNOSE KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan pulmonal
3. Ketidakefektifan pola napas
4. Intoleransi aktifitas

I. PERENCANAAN KEPERAWATAN
N DIAGNOSA TUJUAN RENCANA RASIONAL
O KEPERAWA DAN TINDAKAN
TAN KRITERIA HASIL KEPERAWATAN
1 Penurunan Setelah dilakukan a. Monitor TTV a. Mengetahui
curah jantung tindakan keperawatan b. Monitor status kandisi umum
selama 1x24 jam kadiovaskuler b. Mengetahui
diharapkan curah c. Evaluasi adanya perubahan
jantung normal, nyeri dada status
dengan kriteria hasil : (intensitas, lokasi kardiovaskule
- TD dalam batas dan durasi) r
normal d. Monitor adanya c. Mengkaji
- HR dalam batas perubahan TD kondisi nyeri
normal e. Auskultasi suara d. Mengetahui
- Tidak terdapat jantung perubahan TD
disritmia f. Anjurkan untuk e. Mengetahui
- Tidak terdapat suara istirahat adanya suara
jantung abnormal g. Kolaboorasi abnormal
- Tidak terdapat pemberian obat jantung
angina antiaritmia f. Mempercepat
pemulihan
kondisi
g. Mempercepat
proses
pemulihan
2 Ketidakefektif setelah dilakukan a. Monitor intake dan a. Memantau
an perfusi tindakan keperawatan output cairan kondisi intake
jaringan selam 1x24 jam b. Monitor dan output
pulmonal diharapkan perfusi kemampuan b. Mengetahui
jaringan pulmonal aktivitas pasien kemampuan
efektif, dengan kriteria c. Monitor balance pasien
hasil : cairan c. Mengetahui
- Perfusi jaringan d. Beri cukup nutrisi keadaan
perifer tidak sesuai dengan diet pasien
tampak d. Mempercepat
- Edema perifer pemulihan
tidak muncul kondisi
- Kelemahan ekstrim
tidak ada
- Intake dan output
seimbang
3 Ketidakefektif Setelah dilakukan a. Monitor RR a. Mengetahui
an pola napas tindakan keperawatan b. Auskultasi suara keadaan
selama 1x24 jam nafas pasien
diharapkan pola nafas c. Monitor respirasi b. Mengidentifik
efektif, dengan kriteria dan status O2 asi adanya
hasil : d. Berikan terapi O2 suara nafas
- RR mormal tambahan
- Tidak terdapat c. Mengetahui
suara nafas keadaan
tambahan pasien
- Tidak terdapat d. Mencukupi
dispnea kebutuhan
- Tidak terdapat oksigen
nafas pendek
4 Intoleransi Setelah dilakukan a. Rencanakan dan a. Upaya untuk
aktivitas tindakan keperawatan jadwalkan periode menurunkan
selam 1x24 jam istirahat dan tirah keletihan dan
diharapkan aktivitas baring yang cukup kelemahan
klien meningkat, dan adekuat pasien
dengan kriteria hasil : b. Meminimalkan b. Mengurangi
- HR normal kerja pemakaian
- RR normal kardiovaskuler energy samapi
- TD normal dengan kekuatan
- EKG dalam batas memberikan pasien pulih
normal eneteralsisi kembali
setengah duduk c. Menjaga
c. Monitor RR, HR, kemungkinan
dan TD adanya
d. Ajarkan klien resenteraln
bagaimana teknik abnormal dari
mengontrol tubuh sebagai
pernafasan akibat dari
latihan.
d. Pernafasan
dapat
meminimalka
n kerja
kardiopulmon
al

Anda mungkin juga menyukai