Anda di halaman 1dari 8

Analisis Industri Pariwisata Terkait Langkah Yang di Ambil Untuk Issue

Lingkungan, Kebutuhan Masyarakat, dan Ketersediaan Infrastruktur

Oleh :

1. Doni Argian Okta


2. Rifky Hanaji
3. M. Shofiyan Zamzami
4. Rina Sahara Laily

Sekolah Tinggi Pariwisata Mataram 2019


I. Issue Lingkungan
Pariwisata menjadi salah satu industri yang tumbuh dominan dan memiliki peran penting
dalam aspek kehidupan manusia di berbagai belahan dunia. Beberapa waktu lalu dalam dunia
pariwisata muncul isu mengenai Greenspeak dan Go Green.

Kedua isu ini berkaitan erat dengan wisata yang berbasis pemeliharaan dan pelestarian
alam. Lingkungan alam dijadikan basis pengembangan hampir keseluruhan industri, dan
pariwisata merupakan salah satu industri yang tidak luput dari tuntunan aplikasi
pengembangan industri berwawasan pemeliharaan alam (konservasi) yang sustainable way
(berkelanjutan).

Peran utama pariwisata sebagai katalisator perubahan dimulai ketika disadari bahwa
masyarakat dunia mengeluarkan biaya untuk mengadakan perjalanan ‘travel’ ke tempat
tujuannya (lebih dari 25 mil dari tempat tingalnya) melebihi US$ 2 trilyun di tahun 1986,
sedangkan anggaran Militer dunia hanya mengeluarkan biaya tidak lebih dari US$ 1 trilyun
sampai tahun 1987. Jumlah turis internasional berkembang dari 170 juta di tahun 1971
menjadi 635 juta di tahun 1998. Di tahun 2000, 700 juta orang mengadakan perjalanan ke
luar negeri dan 62 persen diantaranya dengan tujuan berekreasi dan bersenang-senang
(leisure). Seiring dengan berkembangnya teknologi penerbangan dengan bertambahnya
jumlah ‘seat’ penumpang pesawat udara serta teknologi komputer/internet sebagai fasilitas
pendukung perjalanan, maka pariwisata dunia secara umum diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan. Organisasi Pariwisata Dunia (WTO, World Tourism Organisation,
2002) memprediksi di tahun 2020 sebanyak 1,5 milyar turis akan menghabiskan US$ 2
trilyun atau lebih dari US$ 5 milyar setiap hari.

Pariwisata menyumbang lebih dari 10 persen dari total GNP (Gross National Product)
dunia dan secara langsung maupun tak langsung menampung sekitar 200 juta pekerja baru.
Secara global maupun dalam skala nasional, pariwisata merupakan sektor ekonomi penting
yang bertumbuh cepat sampai hari ini dan menjadi kontributor GDP (Gross Domestic
Product) dari berbagai negara terutama di negara berkembang yang memiliki pulau tropis.
Seperti halnya di Karibia, 30-50 persen dari total pendapatannya bersumber dari pariwisata.
WTO (2002) mengestimasi pendapatan dari sektor ini sekitar 25 persen dari total ekspor dari
negara-negara sekitar Pasifik (Pasific Rim) dan lebih dari 35 persen khusus untuk kepulauan
Karibia.

Tidaklah sulit mengamati bagaimana daerah yang memiliki pulau tropis merupakan
tujuan utama wisata dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki
lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai kedua terpanjang di dunia setelah Kanada
plus merupakan pusat keanekaragaman flora dan fauna dunia (Hotspot Sundaland, Walacea,
Tropical Wildernes Papua dan Heart of Coral Triangle). Pariwisata di wilayah pesisir dan laut
bersumber pada nilai keanekaragaman hayati, karena semakin tinggi ‘keanekaragaman’ maka
semakin tinggi daya jualnya. Keunikan dan keindahan lingkungan alam tropis ini merupakan
sumberdaya potensial penting yang kita miliki dibanding daerah dan negara lain. Tidak
mengherankan obyek pengembangan pariwisata telah bertumpu pada lingkungan ekosistem
pesisir dan laut seperti aktifitas rekreasi Skin/SCUBA diving, Kayaking, dsb. Sebagai
multiplier effect bagi pembangunan kelautan, tentunya keberlanjutannya tak lepas dari
ketergantungan usaha pariwisata terhadap lingkungan tersebut. Sehingga kelestarian
sumberdaya dan keanekaragaman hayati di dalamnya perlu dipertahankan dan dijaga
keberadaanya ( SUSTAINABLE WAY )

Industri pariwisata umumnya didasarkan atas ketersediaan sumberdaya alam seperti


udara, daratan dan air. Sumberdaya alam tersebut dijadikan obyek sekaligus produk bagi
industri pariwisata. Ekosistem alam akan rusak jika perencanaan, pengembangan dan
pengoperasiannya tidak diatur dengan pantas. Di lain pihak jika dikembangkan secara
berkelanjutan, pariwisata dapat menjadi kekuatan positif bagi konservasi lingkungan.

Satu diantara sekian karakter dari pariwisata adalah bahwa pariwisata sangat tergantung
pada kebersihan atau lingkungan yang asli dan alami. Hal ini mengarah pada argumen bahwa
pariwisata, karena itu, harus membenahi diri secara alami dengan konsep pembangunan
berkelanjutan (‘mass’ ke ‘soft tourism’). Semenjak hal tersebut digaungkan dan
dipromosikan untuk memproteksi dan melestarikan lingkungan, maka suksesnya
pembangunan berkelanjutan khususnya pariwisata sangatlah bergantung pada kualitas
lingkungan. Meskipun terdapat beberapa kategori pariwisata yang kurang hubungannya
dengan lingkungan, tapi secara umum kenyamanan berwisata tetap tergantung pada
lingkungan yang bersih baik di pemukiman maupun di pusat kota. Pada saat turis berada di
tempat tujuannya, mereka akan terusik dan tergangu jika terlihat sampah dimana-mana,
kesemrawutan, udara yang kotor/berasap mengiringi perjalanannya serta tidak tersedianya
sarana pendukung yang layak.

Dari tinjauan ekologis, hal inipun secara langsung maupun tidak langsung berhubungan
erat dengan keberadaan lingkungan. Satu yang tak dapat dipungkiri bahwa pariwisata seperti
berwisata di wilayah pesisir dan pulau memiliki hubungan yang erat dengan lingkungan dan
kebersihan air laut. Yang pasti banyak hotel dan resort walaupun setidak-tidaknya telah
mengklaim lokasinya dengan keberadaan lingkungan yang alami. Faktor-faktor lingkungan
yang umum seperti keberadaan pantai dan matahari tropis yang hangat dapat menarik turis.
Turis tak akan datang kembali jika daerah tujuan tersebut telah tercemar, kotor dan tidak
menarik lagi. Hal yang ingin ditekankan disini, bahwa pariwisata sangat bergantung dan
membutuhkan lingkungan yang besih, alami dan asli sesuai keinginan turis. Hal ini juga
tentunya seiring dengan keinginan kita masyarakat yang menghendaki adanya kebersihan,
ketertiban dan keharmonisan dengan lingkungan.

Turis tidak hanya tertarik pada perspektif mengenai keanekaragaman dan keunikan biota,
namun yang lebih penting bagaimana proses dan hasil dari lingkungan alam serta kaitannya
dengan manusia yang mendiami dan menggunakan lingkungannya. Keteraturan, kebersihan
kota dan lingkungannnya merupakan cermin dari masyarakat/manusia yang mendiaminya.
Hal ini akan berdampak pada keberlangsungan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir
yang menunjang kesimbangan sistem ekologis. Kombinasi dari hal tersebut juga tentunya
akan mengguntungkan bagi keberlangsungan usaha pariwisata itu sendiri.
Pariwisata dinilai merupakan industri yang tak berasap dan tidak memiliki produk, namun
tak dapat dihindari fakta dimana pembangunan hotel, marina, mall dan pengoperasian
fasilitas wisata secara mendasar merubah lingkungan dan komunitasnya. Semenjak awal
tahun 1970-an pembangunan berkelanjutan telah menjadi kesatuan konsep untuk perencanaan
lingkungan. Walaupun demikian, dalam pelaksanaanya masih kurang dipahami. Konsep
tersebut menjembatani hubungan antara konservasi lingkungan dan kualitas hidup sosial-
ekonomi tetapi tetap meninggalkan isu perdebatan mengenai bagaimana keseimbangan
pemanfaatan yang berkelanjutan atau bagaimana nilai suatu lingkungan.

Berbagai organisasi dunia menyangkut pariwisata dan lingkungan menyepakati bahwa


pariwisata hendaknya merangkul prinsip-prinsip berkelanjutan dengan menghargai daya
dukung lingkungan (carrying capacity), tanggungjawab sosial dan kesatuan aktifitas
pariwisata dengan keinginan penduduk lokal. Tourism Concern (TC) dan Worlwide Fund for
Nature (WWF) mendefinisikan pariwisata berkelanjutan adalah sebagai pariwisata dan
infrastrukturnya yang :

- Beroperasi dengan kapasitas alami untuk regenerasi dan masa depan produktifitas
alam, sosial dan budaya
- Mengakui kontribusi dimana masyarakat dan komunitas, kebiasaan dan gaya hidup
sekarang dan yang akan datang menjadi pengalaman bagi pariwisata
- Menerima bahwa masyarakat memiliki pembagian yang adil dan wajar dari
keuntungan pariwisata
- Diarahkan dari yang ‘berkepentingan’ kepada masyarakat dan komunitas di sekitar
wilayah wisata khususnya.

Dengan usaha yang berkelanjutan diharapkan nantinya aktifitas pariwisata menjadi alat
informasi pengetahuan, mendukung kesatuan ekosistem, memberi keuntungan bagi
penduduk, memelihara lingkungan dan menghormati budaya serta tradisi lokal.. Ukuran
suksesnya pariwisata bukan hanya jumlah pengunjung belaka (kuantitas) tetapi oleh lamanya
tinggal, uang yang dipakai selama kunjungan dan kualitas pengalaman. Pada akhirnya dicapai
kepuasan, memberi gairah kepada turis dengan membawa pengetahuan baru di tempat
asalnya dan membagi cerita kepada teman-temannya apa yang diperolehnya. Hal ini tentunya
akan menarik pengunjung baru dan akan tetap memberi peluang bagi kelanjutan bisnis
pariwisata terus menerus.

Prinsip dari pengembangan pariwisata berkelanjutan dinyatakan dengan penggunaan


secara optimal sumberdaya alam dan budaya dalam kerangka keseimbangan dan menyokong
pengembangan perekonomian nasional secara keseluruhan. Menyediakan kesan khusus bagi
turis di satu sisi, dan disisi lain meningkatkan kualitas kehidupan penduduk lokal. Ini bisa
dicapai hanya dengan kerjasama permanen antara pemerintah, sektor swasta dan penduduk
lokal. Pariwisata berkelanjutan adalah industri yang diusahakan menekan dampak negatif
pada lingkungan dan budaya lokal, dengan membantu meningkatkan pendapatan, pekerjaan,
dan konservasi ekosistem setempat. Hal ini merupakan pariwisata bertanggungjawab yang
sensitif terhadap nilai-nilai ekologi dan budaya seperti ‘ecotourism’.
II. Kebutuhan Masyarakat Sekitar
Pariwisata merupakan sektor yang akhir-akhir ini diharapkan mampu memperbaiki
tingkat ekonomi. Perhatian pada sektor ini juga makin besar karena selain tidak
mengeluarkan asap (the smokeless industry), para pakar ekonomi mengatakan bahwa industri
ini adalah industri yang mampu meningkatkan kemakmuran melalui perkembangan
komunikasi, transportasi, akomodasi yang dapat menciptakan kesempatan kerja (Yoeti, 1997
: 3).

Dalam rangka mencapai harapan tersebut, maka pengembangan industri pariwisata harus
terus dipacu sehingga potensi-potensi yang masih terpendam akan dapat dijadikan suatu daya
tarik untuk menarik minat berkunjung wisatawan. Upaya pengembangan ini diharapkan dapat
memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitar obyek wisata dengan keterlibatannya dalam
pengembangan itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.

Upaya - upaya pengembangan Pariwisata yang sesuai dengan paradigma pembangunan


yang bersifat button-up adalah pengembangan pariwisata yang mempertimbangkan
kebutuhan wisatawan selaku konsumen dari industri pariwisata dan kesiapan masyarakat
sekitar obyek wisata dalam menjalani proses pembangunan. Pada beberapa tahun terakhir ini,
pengembangan pariwisata sudah beralih dari orientasi produk kunjungan ke orientasi calon
pengunjung (Wahab, 1992 : 4). Para ahli bidang pemasaran pariwisata sudah mulai
memikirkan mengapa para wisatawan memilih daerah tujuan wisata tertentu sehingga muncul
konsep-konsep baru seperti ‘motivasi pengunjung’ dan ‘kepuasan pengunjung’. Selain itu
perubahan ini terjadi ketika para para ahli pemasaran pariwisata mempertimbangkan
‘keinginan dan minat para wisatawan’ sebagai pengganti pertimbangan ‘potensi/asset yang
dijual’ dalam pengembangan industri wisata.

Pengembangan pariwisata yang berorientasi pada keinginan dan selera konsumen ini akan
mampu memacu persaingan usaha-usaha memikat wisatawan. Oleh karena itu agar mampu
bersaing sukses dalam memikat wisatawan, maka pengembangan pariwisata harus mampu
menawarkan apa yang dikehendaki dan diinginkan wisatawan.

Salah satu prinsip yang harus terus tercermin dalam kebijaksanaan pembangunan
pariwisataa yang berkelanjutan adalah prinsip pembangunan yang bertumpu pada
masyarakat, yaitu pembangunan ditujukan untuk melayani minat masyarakat yang bekerja
dan tinggal di daerah tempat pembangunan itu berlangsung. Karena keberlanjutan kegiatan
pariwisata hanya dapat diperhatikan jika kegiatan tersebut sejalan dengan minat dan
kepentingan masyarakat daerah tersebut. Kebijaksanaan tersebut harus ditujukan untuk
melayani kepentingan masyarakat setempat dan sebagai kegiatan bisnis pariwisata juga harus
menghasilkan nilai yang tinggi bagi wisatawan serta manfaat ekonomi bagi penyelenggara
kegiatan wisata ( Hartanto dalam Myra P Gunawan, 1997 : 57 )

Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata yang bertumpu pada masyarakat ini,
maka diperlukan suatu lingkungan yang kondusif bagi tumbuhnya kesiapan dari masyarakat
sekitar obyek wisata untuk ikut terlibat dalam kegiatan pariwisata. Keikutsertaan mereka
dalam kegiatan pariwisata dapat berupa keikutsertaan dalam merencanakan, membangun,
mengembangkan, memanfaatkan potensi ekonomi dari pariwisata serta melestarikan industri
pariwisata itu sendiri. Hal ini ditujukan agar dapat memperoleh informasi mengenai kondisi
dan kebutuhan masyarakat agar masyarakat mengetahui seluk beluk program atau proyek
pembangunan dan mempunyai rasa siap dan memilikim terhadap program pembangunan
yang ada (Conyers, 1991 : 155 ).

Sedangkan untuk kesiapan masyarakat dapat berupa motivasi dan keinginan berkembang,
keseringan dan sikap dalam menghadiri pertemuan wisata, pemahaman terhadap konsep,
tujuan, maksud dan manfaat wisata. Dengan demikian diharapkan dalam kelanjutannya
masyarakat akan dapat menikmati keuntungan yang maksimal dari hasil pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan tersebut.

III. Ketersediaan Inftastruktur


Sektor pariwisata sangat ditentukan oleh kemudahan mobilitas dan infrastruktur.
Wisatawan akan lebih menyukai jika daerah yang dia kunjungi memiliki kemudahan
mobilitas dan memiliki kenyamanan infrastruktur sebagaimana negara asalnya (Mo, Howard,
and Hivitz, 1993). Sejumlah penelitian empiris menunjukkan bahwa ketersediaan
infrastruktur (jalan, air, ICT, pelabuhan, bandara) menjadi determinan utama dalam menarik
wisatawan (Gearing et al, 1974; McElroy, 2003; Seetanah et al, 2011). Secara lebih spesifik,
infrastruktur transportasi dapat menciptakan pertumbuhan sektor wisata suatu daerah karena
menciptakan konektivitas antara daerah asal dan tujuan wisata (Kaul, 1985; Prideaux, 2000).

Guna menunjang sektor pariwisata, sejumlah perbaikan dan pembangunan infrastruktur


mutlak diperlukan. Infrastruktur udara diperlukan, guna memastikan konektivitas antar
negara dan interegional Indonesia. Infrastruktur jalan perlu diperbaiki, karena banyak jalan
menuju lokasi infrastruktur berkondisi buruk. Guna menunjang mobilitas didalam suatu
daerah/kota, maka diperlukan pula pembangunan tranportasi publik, agar memudahkan
mobilitas dan meningkatkan kenyamanan para wisatawan. Terdapat dua tantangan utama
dalam pembangunan infrastruktur, pertama adalah komitmen anggaran dari Pemerintah,
kedua adalah pembebasan lahan.

Pertama adalah komitmen anggaran, baik pemerintah pusat maupun daerah masih
terbatas. Berdasarkan RPJMN 2010-2014, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai Rp
1923 Triliun atau setaraf 5% dari GDP. Kapasitas fiskal Pemerintah Pusat sangatlah terbatas.
Berturut-turut pada tahun 2010-2012 anggaran infrastruktur dalam APBN sebesar Rp 99,4
Triliun, Rp 128,7 Triliun, Rp 174,9 Triliun.

Untuk menopang keterbatasan fiskal APBN tersebut, peran Pemda akan sangat vital
dalam pembangunan infrastruktur pariwisata. Pemerintah Daerah seharusnya mengalokasikan
anggarannya untuk membangun infrastruktur. Selain itu, infrastruktur pariwisata yang perlu
dibangun bersifat spesifik, seperti transportasi publik dalam kota dan jalan Kabupaten.

Komitmen pemda terhadap pembangunan infrastruktur masih sangat minim. Berdasarkan


hasil olahan dari data APBD 500 Pemda tingkat I dan II, maka ditemukan bahwa rata-rata
50% alokasi APBD masih digunakan untuk belanja pegawai. Porsi untuk belanja modal
(infrastruktur) hanya sebesar 21%.

Melalui Rencana Induk Kepariwisataan Nasional 2010-2025, Pemerintah telah


menetapkan 222 Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN). Berdasarkan
kalkulasi yang penulis buat, Kabupaten yang menjadi lokasi KPPN memiliki komitmen
belanja modal yang rendah. Rata-rata alokasi belanja modal dari Kabupaten-kabupaten
tersebut hanya sebesar 19% dari APBD (data tahun 2011).

Kedua adalah menyelesaikan permasalahan pembebasan lahan. Masalah lahan menjadi


momok utama dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur
yang tidak bisa berjalan akibat ada salah satu bagian lahannya (yang bahkan hanya sebagian
kecil) belum dapat dibebaskan.

UU Pengadaan Lahan diharapkan dapat menuntaskan permasalahan lahan yang


menghantui Indonesia selama ini. Dalam UU ini diatur empat proses pengadaan lahan, yaitu
perencanaan, pengadaan, pelaksanaan dan penyerahan hasil. Waktu yang ditargetkan oleh
UU ini untuk membebaskan lahan paling cepat 319 hari, dan paling lama (dengan estimasi
ada keberatan dari pemilik lahan) mencapai 583 hari. Hal ini tentunya cukup melegakkan
karena selama ini untuk pembebasan lahan untuk proyek jalan tol membutuhkan waktu 4-5
tahun.

Sejumlah langkah strategis seharusnya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah guna


mempercepat pembangunan infrastruktur pariwisata. Pertama, pembangunan infrastruktur
berbasiskan regional yang terintegrasi dengan pembangunan KPPN. Melalui konsep KPPN,
pada dasarnya Pemerintah sudah melakukan maping terhadap lokasi yang menjadi kawasan
wisata. Dari maping tersebut dapat diindikasikan sejumlah infrastruktur yang menunjang
setiap KPPN. Pembangunan infrastruktur tersebut seharusnya dapat menjadi prioritas bagi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Kedua, guna mengatasi keterbatasan anggaran, seharusnya Pemerintah dapat


memaksimalkan penggunaan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) untuk membangun
infrastruktur pariwisata. KPS adalah mekanisme kerjasama jangka panjang antara pemerintah
dan swasta dalam menjalankan proyek infrstruktur. Menurut Yong (2010) mekanisme KPS
membantu pemerintah dalam mempercepat pembangunan infrastruktur. Selama ini
pemerintah mengalami budget constrain ketika ingin mengembangkan infrastruktur. Melalui
mekanisme KPS, pemerintah akan mendapat bantuan pendanaan dan pembagian resiko
bersama pihak swasta.

Tentunya, perlu komitmen yang kuat dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)
untuk memastikan proyek KPS dapat berjalan. Contohnya, apabila PJPK nya adalah
Pemerintah Daerah, maka Pemda tersebut harus bersedia mengalokasikan dana APBD untuk
melakukan studi awal proyek dan membentuk panitia pengadaan yang kompeten.

Indonesia memiliki potensi pariwisata yang luar biasa, tidak ada yang meragukan hal
tersebut. Indonesia perlu melakukan sejumlah langkah konkrit guna memaksimalkan potensi
tersebut. Salah satu langkah tersebut adalah pembangunan infrastruktur. Dengan adanya
infrastruktur yang baik, maka wisatawan akan tertarik untuk meluangkan waktunya di
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai