Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN ASSESMEN 2

OBSERVASI WAWANCARA

Dosen Pengampu :

Novia Sinta, M.Psi, Psikolog

Nama:
Nathalia
Nindi

Kristyaningrum

Nim: 17511027

Magister Psikologi Profesi Fakultas Psikologi


Universitas Mercu Buana
Yogyakarta
2018
I. OPENING
a. Identitas Subjek
Nama / Inisial : Maria Rosa Ivana Kosasih
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Belum Menikah
Alamat : Kost Mrican

Nama/Inisial Usia Jenis Tingkat Pekerjaan


(thn) Kelamin Pendidikan
Begawan Libertus Kosasih 62 Laki-laki S2 PNS
Emiliawati Nata 59 Perempuan SMK Ibu RT
Maria Rosa Ivana Kosasih 26 Perempuan S1 Mahasiswa
(subjek)
Novi 24 Perempuan S1 Karyawan
Swasta

b. Keluhan:
1. Subjek merasa sering memiliki emosi yang meledak-ledak, mudah
marah ketika mengalami permasalahan dengan teman-temannya.
2. Subjek merasa ketika ada permaalahan yang menurut dia berat,
sering menangis, merasa pusing, sesag dan ada yang mengganjal di
dalam hatinya.
3. Subjek merasa tidak diterima dalam keluarga besarnya karena
keterbatasan fisik yang dialaminya.
4. Subjek merasa ada teman di kelas kuliahnya S2 yang tidak
menyukai dirinya.
5. Subjek merasa kesulitan untuk mengungkapkan perasaan tidak suka
ketika diperlakukan kurang baik dengan temannya.
6. Subjek merasa malu ketika dia harus maju di depan umum untuk
presentasi, dia biasanya akan cenderung menundukan wajahnya.

II. HASIL ASESMEN


a. Observasi
Selama proses asesmen subjek cukup mampu mengungkapkan
keluhan dan perasaan-perasaan yang membuatnya merasa terhambat
dalam menjalani kehidupan kesehariannya. Subjek cukup komunikatif
dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh konselor. Namun, pada
pertanyaan mengenai keluarga, terlebih orangtuanya subjek cenderung
sedikit diam dan menghela napas dalam menceritakan relasinya dengan
orangtuanya.
Pada saat menceritakan relasinya dengan teman-temannya, subjek
cukup antusias dalam menyampaikan pengalamannya bertemu dengan
teman-teman baru di Jogja ini. Namun, ketika subjek menceritakan
seorang teman yang menurut dia tidak menyukai dia, subjek merasa
sedih. Pada saat subjek bercerita, terlihat ekspresi subjek yang sedih dan
matanya sedikit berkaca-kaca. Hal tersebut juga terjadi ketika subjek
bercerita hal yang sensitif seperti relasinya dengan keluarga besarnya.
Pada saat subjek bercerita, mata subjek cenderung tidak mau ditatap dan
berusaha untuk memandang ke atas, menahan air matanya keluar.
Namun, di sisi lain ketika subjek menyampaikan cerita tentang salah
satu sepupunya, dia cenderung mengepresikan kekesalannya dengan
mengepalkan tangannya dan memukulkan di telapak tangan yang lain.
Subjek pun sempat menangis ketika dia bercerita tentang relasinya
dengan ayahnya, yang menurut dia tidak terlalu dekat. Subjek terlihat
kesal namun juga menunjukkan ekspresi kesedihan ketika bercerita
tentang ayahnya.
Subjek menunjukkan ekspresi senang dan tersenyum ketika dia
bercerita kalau dia bisa bermain dengan teman-teman yang menurutnya
menyenangkan dan dapat menerima dirinya apa adanya, tanpa
memamandang kondisi fisiknya. Subjek juga sempat menunjukkan
ekspresi tertawa ketika dia bercerita pengalaman dia bersama teman-
temannya tersebut.
b. Wawancara
Subjek menyampaikan bahwa dia merasa sebagai anak yang tidak
diperhatikan. Subjek merasa dengan kondisi fisik yang dialami saat ini,
membuat keluarganya, terlebih keluarga besarnya kurang dapat
menerima dirinya apa adanya. Subjek menyampaikan bahwa ketika dia
lahir, dia terlahir permatur dan menyebabkan dia harus dimasukan ke
inkubator. Namun, pada saat dimasukan ke inkubator terjadi kesalahan
prosedur, yang meyebabkan kondisi matanya mengalami “kecacatan”
karena terkena radiasi lampu pada inkubator. Hal tersebut menyebabkan
pengelihatan subjek tidak sempurna, dan matanya mengalami kelaianan
mata minus yang sangat tinggi dan tidak dapat disembuhkan.
Sejak kecil subjek merasa telah mendapatkan perlakuan tidak
menyenangkan dari keluarga besarnya. Terlebih dari kakeknya, subjek
merasa dibedakan dengan sepupu-sepupu yang lain. Subjek selalu
dibandingkan dengan sepupunya yang berprestasi. Subjek mendengar
sendiri baik dari kakek dan tantenya yang mengatakan bahwa dia tidak
bisa menjadi seperti sepupunya itu, dengan keterbatasan fisik yang
dialaminya subjek tidak akan mampu. Pada saat acara kumpul keluarga,
subjek pernah “dikataiin” oleh kakek dan tantenya sebagai anak yang
tidak berguna. Subjek merasa sakit hati, sedih dan kecewa dengan
perkataan tante dan kakeknya itu. Subjek pun mengadu pada papa dan
ibunya. Namun, tanggapan papanya menyampaikan kalau itu hanya
perasaan subjek saja. Pada waktu itu, subjek merasa sedih juga dengan
perkataan ayahnya, subjek merasa ayahnya tidak peduli dengan dirinya.
Setelah beriringnya waktu, subjek mulai memahami karakter
papanya yang keras dan tegas. Seringkali subjek dimarahi karena
mendapatkan nilai yang tidak memuaskan. Seperti ketika dia tidak
mendapatkan nilai A pada matakuliahnya, subjek dituduh papanya
karena dia tidak belajar. Pada saat subjek menyampaikan bahwa dia
sudah berusaha yang terbaik, papanya tidak mempercayainya dan
semakin memarahinya. Dalam keluarganya, subjek merasa sulit untuk
dapat mengeluarkan pendapatnya. Subjek merasa bahwa setiap kali dia
mengeluarkan pendapat, selalu saja ditentang oleh papanya. Hal ini
membuat subjek terkadang takut untuk dapat mengemukakan
pendapatnya di depan umum. Subjek merasa malu untuk dapat
berpendapat di depan banyak orang. Namun, kalau hanya di dalam
kelompok kecil, dia cukup berani menyatakan pendapatnya.
Pada saat subjek mulai bersekolah di Sekolah Dasar, subjek
mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan dari teman-temannya
karena kondisi matanya. Subjek mengalami masa-masa dikucilkan dan
tidak mempunyai teman ketika duduk di Sekolah Dasar. Pada waktu itu,
subjek hanya berteman dengan beberapa teman yang juga dikucilkan.
Subjek cukup merasa senang walau di Sekolah Dasar hanya memiliki
beberapa teman, setidaknya ada teman yang bisa menemaninya. Saat di
bangku SMP pun subjek juga mengalami hal yang sama seperti di SD,
namun subjek menyatakan pada waktu SMP dia sudah cukup terbiasa
degan perlakuan temannya, walaupun menyebabkan dia menjadi orang
yang menyendiri. Pada saat duduk di bangku SMA, subjek sudah tidak
mendapatkan perlakuan dikucilkan. Subjek merasa mungkin kondisi di
SMA teman-temannya sudah bisa berpikir mana yang baik dan buruk
berbeda dengan ketika dia masih anak-anak. Subjek merasa senang
karena ketika di SMA dia “benar-benar” mendapatkan teman yang bisa
menerima kekurangan dia. Namun, pada waktu SMA, subjek pernah
merasa sedih karena bertengkar dengan temannya. Waktu itu, subjek
merasa jengkel dengan sikap temannya, kemudian subjek mencoba
mengungkapkan kejengkelannya pada temannya tersebut. Hal ini
membuat temannya menjadi menjauhinya selama seminggu, sehingga
membuat subjek harus terlebih dahuhulu mengirimkan surat untuk
meminta maaf atas perkataannya, dan mereka dapat berteman kembali.
Semenjak kejadian subjek bertengkar dengan temannya tersebut
membuat subjek menjadi berhati-hati dalam berteman. Subjek merasa
bahwa ketika temannya menunjukkan perilaku yang menyinggung
dirinya, dia memilih untuk diam dan tidak mengungkapkan
ketidaksukaannya. Subjek merasa takut bila dia mengungkapkan
ketidaksukaannya membuat teman-temannya menjadi menjahuinya.
Namun, karena sering memendam perasaannya, membuat subjek mudah
emosi dan mudah marah ketika berada di rumah. Pada saat kondisi
sedang marah, subjek terkadang bisa membanting benda-benda di
sekitarnya.
Hal tersebut seringkali membuat subjek menjadi tidak nyenyak
tidurnya, sering terbangun ketika tidur. Subjek pun juga sering merasa
sedih dan mudah menangis. Pada saat, sering menangis subjek sering
merasa pusing dan mual.

III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


Berdasarkan assemen yang telah dilakukan tersebut ditemukan beberapa
irrational belief pada diri subjek. Irrational belief tersebut sudah berdampak
pada fisik subjek yaitu berupa sulit tidur, perasaan sedih sehingga
mmebuatnya pusing dan mual. Irrational belief menurut Albert Elis
merupakan kenyataan hidup manusia yang terbentuk melalui pengalaman-
pengalaman serta proses belajar yang tidak logis, yang diperoleh dari orangtua,
keluarga, masyarakat, dan budaya. Paulus Erwin Sasmita (dalam Jurnal Teologi)
menyebutkan bahwa dalam proses pertumbuhannya, seorang anak diajari untuk
berpikir dan merasakan beberapa hal mengenai dirinya sendiri dan tentang yang
lain. Segala sesuatu ini diasosiasikan dengan ide ‘sesuatu yang baik’ menjadi emosi
manusia yang positif – contohnya: cinta atau kegembiraan; yang lainnya
diasosiasikan dengan ide ‘sesuatu yang buruk’ menjadi emosi negatif, contohnya
penderitaan, marah atau perasaan depresi. Ellis memahami ‘irrational beliefs’
sebagai pikiran-pikiran atau ide-ide yang tidak rasional atau tidak logis yang terus-
menerus diyakini seseorang sampai menimbulkan self defeating.
Berdasarkan assemen yang telah dilakukan irrational beliefs yang dimiliki
subjek adalah seperti keharusan untuk selalu dicintai dan didukung oleh orang di
sekitarnya. Hal ini terlihat dari keinginan subjek untuk selalu mendapatkan
dukungan dari keluarganya. Di lain pihak, subjek yang memiliki pengalaman
dikucilkan oleh kelurga besarnya membuat dia merasa sepeti tidak ada orang yang
dapat memberikan dukungan padanya. Hal tersebut membuat dia menjadi merasa
minder dan rendah diri ketika berinterkasi dengan lingkungan sosialnya.
Selain itu, subjek juga merasa bahwa dengan dia dapat berkompetisi, pintar
dan dapat mencapai segalanya, dia akan mendapatkan penghargaan dari orang di
sekelilingnya terlebih keluarga besarnya. Hal ini dikarenakan perlakuan dari
keluarganya yang pernah mengatakan bahwa dia adalah anak yang tidak berguna
karena kondiis fisiknya.
Subjek juga merasa takut ketika sesuatu hal tidak berjalan sesuai dengan yang
diharapkannya. Hal ini ditunjukkan subjek, ketika dia takut untuk dapat
mengungkapkan perasaannya ketika ada seorang teman yang melakukan kesalahan
padanya. Subjek merasa takut ketika dia mengungkapkan perasaannya dia akan
dijahui dan dimusuhi temannya.
Subjek juga merasa ketika dia kuliah S2 ini ada teman yang tidak
menyukainnya, dia merasa kecewa dan kesal. Sehingga ketika bertemu dengan
temannya tersebut merasa marah karena sikap yang ditunjukkan. Hal ini diindikasi
karena pengalaman dikucilkan subjek semasa kecil. Sehingga membuat dia merasa
seharusnya dia dapat mendapatkan cinta dari orang di sekelilingnya.
Berdasarkan temuan irrational beliefs di atas, subjek dapat melatih dirinya
berbicara di depan cermin dengan memandang dirinya di depan cermin dapat
melatih rasa percaya dirinya ketika berbicara di depan umum. Selain itu, subjek
dapat membuat semacam diary mengenai perasaan yang dirasakan di hari tersebut
sehingga dia dapat menuangkan emosi negatif maupun postif dalam bukunya,
sehingga membantunya mengurangi ledakan emosinya. Selain itu, dihaapkan dapat
melatih subjek mengungkapkan perasaannya sehingga dia dapat menyampaikan
kepada teman yang dirasa telah bersikap kurang menyenangkan kepada dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Sasmita, P.E. (2015). Irrational Beliefs Dalam Konteks Kehidupan Seminari. Jurnal
Teologi, 4(1) Mei 2015, 25-40.

Anda mungkin juga menyukai