Teori yang menyatakan bahwa salah satu penyebab asfiksia neonatorum adalah persalinan preterm (JPKNR-
NR 2007 : 108). Timbulnya asfiksia neonatorum pada bayi preterm dikarenakan belum maksimalnya tingkat
kematangan fungsi sistem organ tubuh sehingga sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan ekstra uterine. Kesukaran
bernapas pada bayi preterm ini dapat disebabkan karena belum sempurnanya pembentukan membran hialin
surfaktan paru yang merupakan suatu zat yang dapat menurunkan tegangan dinding alveoli paru. Pertumbuhan
surfaktan paru mencapai maksimum pada minggu ke-35 kehamilan (Surasmi, 2003 : 43).
Hal serupa juga dikemukakan oleh Wiknjosastro bahwa asfiksia neonatorum disebabkan oleh hipoksia janin
dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan atau
segera setelah bayi lahir.
Persalinan preterm juga mengakibatkan bayi mengalami suhu tubuh yang tidak stabil karena bayi preterm
tidak dapat menghasilkan panas yang cukup dikarenakan kekurangan lemak tubuh. Suatu kenyataan lain ialah bagian
otak yang mengendalikan suhu tubuh bayi preterm belum berfungsi secara wajar.
Persalinan preterm membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat terhadap pertolongan persalinan dan
penanganan bayi baru lahir sangat diharapkan, sehingga dapat mencapai wellborn baby dan wellhealth mother
dengan demikian menunjang terhadap penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi.
Ilmu Kebidanan. YBP-SP. Jakarta. 2005
Tidak semua bayi baru lahir memulai pernapasan segera setelah lahir dan tidak juga menangis pada saat kelahiran,
apabila bidan sudah membuat suasana relaks tetapi masih tidak nyaman, mungkin dengan bayi didekatkan dengan
ibunya kontak langsung dengan kulit bayi biasanya akan relaks dan berhenti menangis, sering membuka matanya dan
dengan sabar kemudian akan menyusu kearah payudara
Kemungkinan Masalahnya :
Bila bayi lambat memulai respon namun sehat, bidan bisa merangsang bayi dengan mengosok bayi dengan handuk.
Bayi yang takipnea (respirasi > 60/Mnt pada bayi aterin) retraksi sterna kemungkinan menderita infeksi serius.
Aspirasi mekonium.
Bayi yang sangat berlendir, yang hampir tenggelam dalam sekresi, mememerlukan penghisapan segera dan
kemungkinan mengalami atrena esotagus.
Tangisan bayi lahir sehat berbeda-beda namun yang biasanya jelas dengan nada tinggi/irritabel.
(Vikey Chapman, 2006 : 390)
b. Dysmaturitas
Bila berat badan bayi tersebut kurang dari pada berat badan seharusnya untuk masa kehamilan itu. Jadi bayi itu
mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan.
( SMALL FOR GESTASTIONAL AGE ) atau berat badan bayi kurang dari berat badan yang sebenarnya untuk Gestasi itu.
Contoh : Bayi lahir dengan usia kehamilan 40 minggu tetapi berat badannya mencapai 2400 gram atau kurang dari 2500
gram.
Menurut WHO :
Dari kematian periode neonatal, 70 % terjadi pada BBLR
Sampai umur 1 tahun, kematian BBLR 20 x bayi normal
Kategori BBLR
Kriteria BBLR tanpa memandang usia gestasi :
BBLR : berat lahir kurang 2500 g
BBLSR : berat lahir 1000 – 1500 g
BBLASR : berat lahir < 1000 g Bila usia gestasi di pertimbangkan, BBLR terdiri dari : BBLR dengan usia gestasi < 37
minggu (NKB) BBLR dengan usia gestasi > 37 minggu (KMK)
Penyebab Disteris respirasi adalah karena pembentukan surfaktan alveoli yang kurang (sesuatu zat yang dapat
menurunkan tegangan dinding alveola, sebagai akibatnya alveola akan kalap dan bayi menderita sesak.
Pencegahan :
Pemberian oksigen dengan memperhitungkan CO2 darah arteri.
Pengelolaan :
Terapi usaha yang paling utama adalah pencegahan kelahiran bayi prematur/protein/KMK, usaha pengangkatan ibu
yang akan melahirkan bayi BBLR kerumah sakit yang mempunyai pasilitas khusus untuk merawat bayi prematur.
2.5.4 Mudah Menderita Infeksi
Imunisasi humoral dan seluler pada BBLR sangat kurang hingga prematur mudah kena infeksi. Terjadinya infeksi dapat
juga disebabkan; perawatan kurang baik, pemasangan kateter tali pusat, minum per-sonde, slang O2 melalui hidung
endotraceal intubasi.
Pengelolaan;
Sterilitas tindakan dan alat-alat diperbaiki pemberian antibiotika dan minum per-intravena.
( Perawatan Kebidanan yang Berorientasi pada Keluarga, FKPP SPK SE-JAWA BARAT. BANDUNG. 1996 )
Tabel. I
Bagan Penanganan Bayi Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR )
Bayi Berat Lahir Sangat Rendah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR )
KATEGORI
( BBLSR )
PENILAIAN Berat Lahir < 1500gram Berat Lahir 1500-2500 gram
PENANGANAN PUSKESMAS - Keringkan secepatnya dengan - Beri lampu 60 watt dengan jarak
handuk hangat minimal 60 cm dari bayi
- Kain yang basah secepatnya - Kepala bayi tertutup topi
diganti dengan yang kering dan - Beri oksigen
hangat ( pertahan kan tetap - Tali pusat dalam keadaan bersih.
hangat )
- Berikan lingkungan hangat
- dengan cara kontak kulit dan
atau pakain BBLSR dengan kain
hangat.
Kategori BBLR
Kriteria BBLR tanpa memandang usia gestasi :
BBLR : berat lahir kurang 2500 g
BBLSR : berat lahir 1000 – 1500 g
BBLASR : berat lahir < 1000 g Bila usia gestasi di pertimbangkan, BBLR terdiri dari : BBLR dengan usia gestasi < 37
minggu (NKB) BBLR dengan usia gestasi > 37 minggu (KMK)
Klasifikasi
b. Dysmaturitas
Bila berat badan bayi tersebut kurang dari pada berat badan seharusnya untuk masa kehamilan itu. Jadi bayi itu
mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan.
( SMALL FOR GESTASTIONAL AGE ) atau berat badan bayi kurang dari berat badan yang sebenarnya untuk Gestasi itu.
Contoh : Bayi lahir dengan usia kehamilan 40 minggu tetapi berat badannya mencapai 2400 gram atau kurang dari 2500
gram.
Bayi yang dilahirkan dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memandang masa gestasi.
Buku ajar neonatologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2008
a. Faktor ibu
Hipoksia ibu akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibat. Kejadian ini dapat terjadi karena
hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anastesi dalam.
Gangguan aliran darah uterus. Hal ini menyebabkan kurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan juga ke janin.
Hal ini sering ditemukan pada keadaan :
c. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan
menghambat pertukaran gas antara ibu dengan janin. Gangguan ini dapat ditemukan pada tali pusat menumbang,
tali pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dll
d. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
a. Pemakaian obat anestesia/analgetika yg berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi
pusat pernafasan janin.
b. Trauma yg terjadi pada saat persalinan, misal : perdarahan intrakranial.
c. Kelainan kongenital pada bayi, misal : Hernia Diafragmatika, atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia
paru, dll.
(Buku Ilmu Kesehatan Anak, jilid 3, Staf pengajar FK UI hal 1072-1073 )
Asfiksia dalam kehamilan disebabkan oleh
o penyakit infeksi akut/kronis
o keracunan obat bius
o uremia
o toksemia gravidarum
o anemia berat
o cacat bawaan
o trauma
asfiksia dalam persalinan disebabkan oleh :
o kekurangan O2 misalnya pada :
partus lama ( CPD, servik kaku dan atonia/inersia uteri )
ruptura uteri yang membakat ; kontraksi uterus yang terus menerus menggangu sirkulasi darah keplasenta
tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada placenta
prolapsus ; tali pusat kana tertekan antara kepala dan panggul
pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya
perdarahannya banyak mis : plasenta previa dan solusio plasenta
kalau placenta sudah tua dapat terjadi postmaturitas ( serotinus ) disfungsi uri
o paralisis pusat pernafasan, akibat trauma dari luar seperti karena tindakan fórceps, atau trauma dari dalam seperti
akibat obat bius.
SUMBER : ( Rustam Mochtar, Sinopsis Obstetri,jilid I,EGC)
tidak ada
meringis/menangis
respons meringis/bersin/batuk saat
Respons refleks lemah ketika Grimace
terhadap stimulasi saluran napas
distimulasi
stimulasi
Memerlukan tindakan medis segera seperti penyedotan lendir yang menyumbat jalan napas, atau
4-6 Agak rendah
pemberian oksigen untuk membantu bernapas.
Resusitasi
Stimulasi rujuk
Stimulasi taktil
7-10
Dilakukan penatalaksanaan sesuai dengan bayi normal.
Jumlah skor rendah pada tes menit pertama dapat menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir ini membutuhkan
perhatian medis lebih lanjut tetapi belum tentu mengindikasikan akan terjadi masalah jangka panjang, khususnya jika terdapat
peningkatan skor pada tes menit kelima. Jika skor Apgar tetap dibawah 3 dalam tes berikutnya (10, 15, atau 30 menit), maka
ada risiko bahwa anak tersebut dapat mengalami kerusakan syaraf jangka panjang. Juga ada risiko kecil tapi signifikan
akan kerusakan otak. Namun demikian, tujuan tes Apgar adalah untuk menentukan dengan cepat apakah bayi yang baru lahir
tersebut membutuhkan penanganan medis segera; dan tidak didisain untuk memberikan prediksi jangka panjang akan
kesehatan bayi tersebut.
Ada beberapa hal yang diduga menjadi penyebab nilai APGAR yang rendah pada bayi baru lahir, di antaranya adalah:
1) Persalinan yang terlalu cepat. Hipoksia (kekurangan oksigen) dapat terjadi pada persalinan yang terlalu cepat oleh karena
kontraksi yang terlalu kuat atau trauma pada kepala bayi.
2) Terjerat tali pusat. Umum dikenal dengan “nuchal cord”, di mana tali pusat (plasenta/ari-ari) melilit pada leher janin (baik
sekali waktu atau beberapa kali) dan mengganggu aliran darah, maka hipoksia bisa terjadi karena lilitan ini.
3) Prolaps tali pusat. Kondisi yang terjadi ketika tali pusat mendahului fetus keluar dari rahim. Kondisi ini adalah kedarutan
obstetri yang membahayakan kehidupan janin. Namun prolaps tali pusat adalah kasus yang jarang. Ketika fetus juga akan ikut
lahir, sering kali menekan tali pusat dan menimbulkan hipoksia.
4) Plasenta previa (placenta preavia). Merupakan kondisi kelainan obstretri di mana tali pusat terhubung pada dinding rahim
yang letaknya dekat atau menutup leher rahim. Hal ini meningkatkan risiko perdarahan antepartum (vaginal), yang berujung
juga pada hipoksia bagi janin.
5) Aspirasi mekonium. Jika mekonium di ada dalam paru-paru fetus, maka bisa terjadi permasalahan pernapasan. Hal ini
dikenal juga sebagai “Sindrom Aspirasi Mekonium”.
6) Beberapa sebab lain bisa berupa obat-obatan yang dikonsumsi ibu sebelum persalinan, dan bayi preterm (prematur).
SUMBER : Sumarah, SSiT, dkk. 2009. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin). Yogyakarta: Fitramaya
b. Square Window
Fleksibilitas pergelangan tangan dan atau tahanan terhadap peregangan ekstensor memberikan hasil sudut fleksi pada
pergelangan tangan. Pemeriksa meluruskan jarijari bayi dan menekan punggung tangan dekat dengan jari-jari dengan lembut.
Hasil sudut antara telapak tangan dan lengan bawah bayi dari preterm hingga posterm diperkirakan berturut-turut > 90 °, 90 °,
60 °, 45 °, 30 °, dan 0 ° (Gambar II.4).
c. Arm Recoil
Manuver ini berfokus pada fleksor pasif dari tonus otot biseps dengan mengukur sudut mundur singkat setelah sendi
siku difleksi dan ekstensikan. Arm recoil dilakukan dengan cara evaluasi saat bayi terlentang. Pegang kedua tangan bayi,
fleksikan lengan bagian bawah sejauh mungkin dalam 5 detik, lalu rentangkan kedua lengan dan lepaskan.Amati reaksi bayi saat
lengan dilepaskan. Skor 0: tangan tetap terentang/ gerakan acak, Skor 1: fleksi parsial 140-180 °, Skor 2: fleksi parsial 110-140°,
Skor 3: fleksi parsial 90-100 °, dan Skor 4: kembali ke fleksi penuh (Gambar II.5).
d. Popliteal Angle
Manuver ini menilai pematangan tonus fleksor pasif sendi lutut dengan menguji resistensi ekstremitas bawah terhadap
ekstensi. Dengan bayi berbaring telentang, dan tanpa popok, paha ditempatkan lembut di perut bayi dengan lutut tertekuk
penuh. Setelah bayi rileks dalam posisi ini, pemeriksa memegang kaki satu sisi dengan lembut dengan satu tangan sementara
mendukung sisi paha dengan tangan yang lain. Jangan memberikan tekanan pada paha belakang, karena hal ini dapat
mengganggu interpretasi.
Kaki diekstensikan sampai terdapat resistensi pasti terhadap ekstensi. Ukur sudut yang terbentuk antara paha dan betis
di daerah popliteal. Perlu diingat bahwa pemeriksa harus menunggu sampai bayi berhenti menendang secara aktif sebelum
melakukan ekstensi kaki. Posisi Frank Breech pralahir akan mengganggu manuver ini untuk 24 hingga 48 jam pertama usia
karena bayi mengalami kelelahan fleksor berkepanjangan intrauterine. Tes harus diulang setelah pemulihan telah terjadi
(Gambar II.6).
e. Scarf Sign
Manuver ini menguji tonus pasif fleksor gelang bahu. Dengan bayi berbaring telentang, pemeriksa mengarahkan kepala
bayi ke garis tengah tubuh dan mendorong tangan bayi melalui dada bagian atas dengan satu tangan dan ibu jari dari tangan sisi
lain pemeriksa diletakkan pada siku bayi. Siku mungkin perlu diangkat melewati badan, namun kedua bahu harus tetap
menempel di permukaan meja dan kepala tetap lurus dan amati posisi siku pada dada bayi dan bandingkan dengan angka pada
lembar kerja, yakni, penuh pada tingkat leher (-1); garis aksila kontralateral (0); kontralateral baris puting (1); prosesus xyphoid
(2); garis puting ipsilateral (3); dan garis aksila ipsilateral (4) (Gambar II.7).
f. Heel to Ear
Manuver ini menilai tonus pasif otot fleksor pada gelang panggul dengan memberikan fleksi pasif atau tahanan
terhadap otot-otot posterior fleksor pinggul. Dengan posisi bayi terlentang lalu pegang kaki bayi dengan ibu jari dan telunjuk,
tarik sedekat mungkin dengan kepala tanpa memaksa, pertahankan panggul pada permukaan meja periksa dan amati jarak
antara kaki dan kepala serta tingkat ekstensi lutut ( bandingkan dengan angka pada lembar kerja). Penguji mencatat lokasi
dimana resistensi signifikan dirasakan. Hasil dicatat sebagai resistensi tumit ketika berada pada atau dekat: telinga (-1); hidung
(0); dagu (1); puting baris (2); daerah pusar (3); dan lipatan femoralis (4) (Gambar II.8).
b. Lanugo
Lanugo adalah rambut halus yang menutupi tubuh fetus. Pada extreme prematurity kulit janin sedikit sekali terdapat
lanugo. Lanugo mulai tumbuh pada usia gestasi 24 hingga 25 minggu dan biasanya sangat banyak, terutama di bahu dan
punggung atas ketika memasuki minggu ke 28. Lanugo mulai menipis dimulai dari punggung bagian bawah. Daerah yang tidak
ditutupi lanugo meluas sejalan dengan maturitasnya dan biasanya yang paling luas terdapat di daerah lumbosakral. Pada
punggung bayi matur biasanya sudah tidak ditutupi lanugo. Variasi jumlah dan lokasi lanugo pada masing-masing usia gestasi
tergantung pada genetik, kebangsaan, keadaan hormonal, metabolik, serta pengaruh gizi. Sebagai contoh bayi dari ibu dengan
diabetes mempunyai lanugo yang sangat banyak. Pada melakukan skoring pemeriksa hendaknya menilai pada daerah yang
mewakili jumlah relatif lanugo bayi yakni pada daerah atas dan bawah dari punggung bayi (Gambar II.9).
c. Permukaan Plantar
Garis telapak kaki pertama kali muncul pada bagian anterior ini kemungkinan berkaitan dengan posisi bayi ketika di
dalam kandungan. Bayi dari ras selain kulit putih mempunyai sedikit garis telapak kaki lebih sedikit saat lahir. Di sisi lain pada
bayi kulit hitam dilaporkan terdapat percepatan maturitas neuromuskular sehingga timbulnya garis pada telapak kaki tidak
mengalami penurunan. Namun demikian penialaian dengan menggunakan skor Ballard tidak didasarkan atas ras atau etnis
tertentu.
Bayi very premature dan extremely immature tidak mempunyai garis pada telapak kaki. Untuk membantu menilai
maturitas fisik bayi tersebut berdasarkan permukaan plantar maka dipakai ukuran panjang dari ujung jari hingga tumit. Untuk
jarak kurang dari 40 mm diberikan skor -2, untuk jarak antara 40 hingga 50 mm diberikan skor -1. Hasil pemeriksaan disesuaikan
dengan skor di tabel (Gambar II.10).
d. Payudara
Areola mammae terdiri atas jaringan mammae yang tumbuh akibat stimulasi esterogen ibu dan jaringan lemak yang
tergantung dari nutrisi yang diterima janin. Pemeriksa menilai ukuran areola dan menilai ada atau tidaknya bintik-bintik akibat
pertumbuhan papila Montgomery (Gambar II.11). Kemudian dilakukan palpasi jaringan mammae di bawah areola dengan ibu jari
dan telunjuk untuk mengukur diameternya dalam milimeter.
e. Mata/Telinga
Daun telinga pada fetus mengalami penambahan kartilago seiring perkembangannya menuju matur. Pemeriksaan yang
dilakukan terdiri atas palpasi ketebalan kartilago kemudian pemeriksa melipat daun telinga ke arah wajah kemudian lepaskan
dan pemeriksa mengamati kecepatan kembalinya daun telinga ketika dilepaskan ke posisi semulanya (Gambar II.12).
Pada bayi prematur daun telinga biasanya akan tetap terlipat ketika dilepaskan. Pemeriksaan mata pada intinya menilai
kematangan berdasarkan perkembangan palpebra. Pemeriksa berusaha membuka dan memisahkan palpebra superior dan
inferior dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu jari. Pada bayi extremely premature palpebara akan menempel erat satu
sama lain (Gambar II.13). Dengan bertambahnya maturitas palpebra kemudian bisa dipisahkan walaupun hanya satu sisi dan
meningggalkan sisi lainnya tetap pada posisinya.
Hasil pemeriksaan pemeriksa kemudian disesuaikan dengan skor dalam tabel. Perlu diingat bahwa banyak terdapat
variasi kematangan palpebra pada individu dengan usia gestasi yang sama. Hal ini dikarenakan terdapat faktor seperti stres
intrauterin dan faktor humoral yang mempengaruhi perkembangan kematangan palpebra.
f. Genital (Pria)
Testis pada fetus mulai turun dari cavum peritoneum ke dalam scrotum kurang lebih pada minggu ke 30 gestasi. Testis
kiri turun mendahului testis kanan yakni pada sekitar minggu ke 32. Kedua testis biasanya sudah dapat diraba di canalis
inguinalis bagian atas atau bawah pada minggu ke 33 hingga 34 kehamilan. Bersamaan dengan itu, kulit skrotum menjadi lebih
tebal dan membentuk rugae (Gambar II.14) .
Testis dikatakan telah turun secara penuh apabila terdapat di dalam zona berugae. Pada nenonatus extremely
premature scrotum datar, lembut, dan kadang belum bisa dibedakan jenis kelaminnya. Berbeda halnya pada neonatus matur
hingga posmatur, scrotum biasanya seperti pendulum dan dapat menyentuh kasur ketika berbaring.
Pada cryptorchidismus scrotum pada sisi yang terkena kosong, hipoplastik, dengan rugae yang lebih sedikit jika
dibandingkan sisi yang sehat atau sesuai dengan usia kehamilan yang sama.
g. Genital (wanita)
Untuk memeriksa genitalia neonatus perempuan maka neonatus harus diposisikan telentang dengan pinggul abduksi
kurang lebih 45o dari garis horisontal. Abduksi yang berlebihan dapat menyebabkan labia minora dan klitoris tampak lebih
menonjol sedangkan aduksi menyebabkankeduanya tertutupi oleh labia majora.
Pada neonatus extremely premature labia datar dan klitoris sangat menonjol dan menyerupai penis. Sejalan dengan
berkembangnya maturitas fisik, klitoris menjadi tidak begitu menonjol dan labia minora menjadi lebih menonjol. Mendekati usia
kehamilan matur labia minora dan klitoris menyusut dan cenderung tertutupi oleh labia majora yang membesar (Gambar II.15).
Labia majora tersusun atas lemak dan ketebalannya bergantung pada nutrisi intrauterin. Nutrisi yang berlebihan dapat
menyebabkan labia majora menjadi besar pada awal gestasi. Sebaliknya nutrisi yang kurang menyebabkan labia majora
cenderung kecil meskipun pada usia kehamilan matur atau posmatur dan labia minora serta klitoris cenderung lebih menonjol.
SUMBER : http://blogs.unpad.ac.id/maryati/files/2011/01/Ballard-Score.pdf
Score Dubowitz
10. Mengapa pada foto thorax didapatkan hasil hyaline membarane disease grade 1?
11. Apa prinsip resusitasi?
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2011/01/PANDUAN-YANKES-BBL-BERBASIS-PERLINDUNGAN-
ANAK.pdf
Tindakan umum
1. pengawasan suhu
bayi baru lahir secara relatif banyak kehilangan panas yang diikuti dengan penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu
tubuh ini akan mempertinggi metabolisme sel jaringan sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Hal ini akan
mempersulit keadaan bayi , apalagi bila bayi menderita asfiksia berat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat
lingkungan yang baik segera setelah lahir , harus dicegah/dikurangi kehilangan panas dari kulit. Pemakaian sinar
lampu yang cukup kuat untuk pemanasan luar dapat dianjurkan dan pengeringan tubuh bayi perlu dikerjakan untuk
mengurangi evaporasi.
2. pembersihan jalan nafas
saluran nafas dibersihkan dari lendir dan cairan.letak kepala harus lebih rendah untuk memudahkan dan
melancarakan keluarnya lendir.jika lendir kental dan sulit dikeluarkan maka dapat digunakan laringoskop neonatal.
3. rangsangan untuk menimbulkan pernafasan
jika bayi tidak memperlihatkan usaha bernafas 20 detik setelah lahir maka sedikit banyak menderita depresi pusat
pernafasan. Rangsangan terhadap bayi harus segera dilakukan, pada sebagian besar bayi pengisapan lendir dan
cairan amnion yang dilakukan melalui nasofaring akan segera menimbulkan rangsangan pernafasan.pengaliran O2
yang cepat kedalam mukosa hidung dapat pula merangsang refleks pernafasan yang sensitif dalam mukosa hidung
dan faring. Rangsangan nyeri pada telapak kaki bayi, menekan tendon achilles atau memberikan suntikan vitamin
K. Jika belum berhasil maka dapat dilakukan dengan memperbaiki ventilasi.
b. Tindakan khusus
tindakan khusus dilakukan jika pada tindakan umum belum memberikan hasil yang memuaskan, cara yang
dikerjakan sesuai dengan berat nya asfiksia pada bayi yang dimanifestasikan dengan tingginya skore.:
asfiksia berat ( skor apgar 0-3)
langkah utama dengan memperbaiki ventilasi dengan memberikan 02 dengan tekanan dan intermiten. Cara
yang terbaik adalah dengan melakukan intubasi endotrakeal. Keadaan asfiksia berat selalu disertai dengan
asidosis yang membutuhkan koreksi segera, karena itu bikarbonas natrikus.
Usaha pernafasan akan timbul setelah tekanan positif diberika 1-3 kali.
asfiksia berat ( skor apgar 4-6)
dalam hal ini dilakukan dengan melakukan stimulasi agar timbul refleks pernafasan. Bila dalam waktu 30-60
detik Tidak timbul pernafasan spontan, ventilasi aktif segera dimulai. Ventilasi ini dapat dilakukan dengan 2
cara yaitu ventilasi mulut ke mulut atau ventilasi kantong ke masker.
prinsip dasar resusitasi yang perlu diingat
a. Memberikan lingkungan yang baik pada byi dan mengusahakan saluran nafas tetap bebas serta merangsang
timbulnya pernafasan , yaitu agar oksigenasi dan pengeluaran CO2 berjalan lancar
b. Memberikan bantuan pernafasan secara aktif pada bayi yang menunjukkan usaha pernafasan lemah
c. Melakukan koreksi terhadap asidosis yang terjadi
d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari esofagus. Pada 24 minggu terbentuk
rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas
dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu
terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34 minggu. (4)
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai permukaan paru. Muncul
pada cairan amnion antara 28-32 minggu. Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. (9)
FUNGSINYA !!!!
Surfaktan mengurangi tegangan permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya
alveoli selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem pertahanan terhadap infeksi.
(4),(9)
Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan dikirim ke aparatus Golgi (3) melalui badan
multivesikular. Komponen-komponennya tersusun dalam badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel berbentuk granul
sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis) ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan
disusun menjadi struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin tubular menciptakan fosfolipid yang menghasilkan
materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara (6) di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan
dipecah, dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-vesikel kecil (7), melalui jalur spesifik
yang melibatkan endosom (8) dan ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur ulang. Beberapa
surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10). Satu kali transit dari fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan
beberapa jam. Fosfolipid dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum didegradasi. Protein
surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan
multivesikular. Protein surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke alveolus. (10),(4)
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan kecenderungan dari paru yang terkena untuk
mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,
phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. (4)
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang
terjadi akibat hipovolemia, hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-paru
juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya
surfaktan. (9)
2.3.3 Patofisiologi HMD
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas
yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema
interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk
ke rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang
sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah. (13)
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial mengurangi compliance
paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian
bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang
dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang
memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan kecenderungan alami
dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami
atelektasis. (9)
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance
dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang
menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia,
dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale,
ductus arteriosus, dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan
dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli. (9)
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal
ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat
menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan
aliran darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang menyebabkan pirau
kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. (4)
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai
tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di
interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan. (4)
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan karakteristik HMD. Beberapa
alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi
premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang. Compliance paru <>(4)
Keadaan dimana bayi tidak dapat menangis secara spontan dan teratur, yang dapat menyebabkan hipoksia. Biasanya terjadi
gangguan transport O2.