Anda di halaman 1dari 28

STEP 1

STEP 2

1. Bagaimana pertimbangan dalam memilih subjek uji, metode iji dan parameternya?
2. Bagaimana metode desain penelitian eksperimen pada scenario ?
3. Bagaimana analisis hasil untuk di scenario?
4. Apa saja yang dilihat untuk melakukan uji invivo pada scerario ?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan (perbedaannya) dari uji in vivo dan in vitro?
6. Bagaimana tahapan uji invivo dan invitro ?
7. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari validitas hasil uji invivo dan invitro?
8. Sebutkan contoh penelitian dari uji in vivo dan in vitro?

STEP 3

1. Bagaimana pertimbangan dalam memilih subjek uji, metode iji dan parameternya?
Pertimbangan saat penelitian dipertimbangan ke 3 hal tersebut
Mencari refrensi yang terkait, ex. Habatusauda sudah dilakukan invitro dan hasilnya sebagai
antioksidan, antiviral
Untuk invivo harus empertimbangkan subjek uji, metode uji, dan parameter nya dikaitkan
dengan refrensi yang kita punya , lalu diuji dengan invivo
Subjek uji : hewan biasanya kelompok rodent
Metode : yang akan dilakukan invivo , dari refrensi sudah dilakukan invitro
Parameternya : secara invitro di cawan, bisa mengukur dari luas/jarak dari perkembangbiakan
bakteri . sedangkan secara invivo, bisa dilihat dari perkembangan penyaktitnya, bisa dilakukan
induksi terlebih dahulu , lalu apakah ada suatu perbaikan pada tikus yang kita uji

Ex. Mau menguji efek anti inflamasi  ada pembuatan edem buatan(si hewan coba di kasi
reagen agar dia timbul edem ) , eritem (bulu” hewan coba dicabutin dihilangnkan dengan
substansi , lalu disinari sinar uv
ada refrensi sebelumnya
ada refrensi tapi subjek uji beda  maka dikonversi terlebih dahulu dari dosis yang kita uji,
berat dari subjek ujinya

pertimbangan subjek uji :


hewan harus sehat , tidak pernah sakit
fisiologis hewan coba harus mirip thd manusia

pertimbangan pemilihan metode uji :


kelengkapan intrumen , lab dan partnermemadai,
memerluka kit-kit tertentu untuk membantu dari penelitian tsb

ex. Mau neliti antibiotic, bisa dilihat dari diameter dari zona hambat , dari cawan tsb (antibiotic
yang dikasi yang memiliki lebih luas maka dia lebih poten)
ex. Antiviral  harus teliti dahulu protein-proteinnya antivirus nya .
penelitian minyak kayu putih insiliko (dari computer)

teliti tsb protein virus dari sarcov-2 untuk tau manfaat


2. Bagaimana metode desain penelitian eksperimen pada scenario ?
Jwb :
Pada invitro bisa menguji efek antioksidan bisa mengunakan subjek ujinya bagian jaringan dari
kulit marmut (karena kulitnya kebanyakan hitam )
Bisa dengan metode prepost test dengan subjek nya marmut  pada hewan coba atau
marmut bulu nya di cukur dulu baru disinari dengan sinar UVB (induksi )  sebelum nya
sudah diukur indeks melanin (pre test ) maka bisa dikasi jinten hitam  sebagai antioksidan
Induksi lagi terus menerus kurang lebih 28 ahri dilakukan berturut” tiap hari  post test nya
dikur kembali indeks melaninnya (setelah diaksih terus menerus jinten nya)
True eksperimental (untuk invivo ) bisa mengendalikan sluruh faktor luar yang
mempengaruhi
Quasi eksperimental  tidak bisa kendalikan sluruh faktor luar yang mempengaruhi
3. Bagaimana analisis hasil untuk di scenario?
Uji efektifitas jinten hitam ata nigella sativa terhadap pertumbuhan bakteri stap. Aureus
Medium MHH (invitro ) , untuk menguji adanya pertumbuhan bakteri memerlukan kontrol
positifnya (kloramfenikol) dapat menghabat pertumbuhan stap. Aureus 30 mm. ada 5 cawan : 4
jinten hitam dengan konsentrasi berbeda-beda dan 1 cawan untuk kontrol positif
Sensitive jika zona hambatnya > 23 mm
Jinten hitam 100%  bisa menghambat 24 mm
Maka jinten hitam dapat digunakan sebagai anti mikroba

Pengaruh pemberian thimnoquinon thd IL 8 nilai persentasi 1 pada paru obstruksi (PPOK )
Sebagai anti oksidan , anti viral, anti kanker, anti diabetes, antiinflamasi  pad apenelitian ini
mengguanka uji klinis quasi eksperimental prepost test , sampel 40 pasien yang terkena ppok 
20 kontrol dan 20 perlakuan .
Pada perlakukan ada yang mendapat standar terapi ppok , 1x500 mg selama 30 hari
Pada kontrol didapatkan terapi standar slema 30 hari  lalu diperiksa IL 8 ,dilakukan spirometry
 hasilnya thimnoquinon memiliki anti inflamasi karena menghambat IL 8 dan menghambat
sitokin pro inflamasi
Pada perlakuan yang (tikus) mengalami AR  dikasi 5-10 mg tetapi bisa didapatkan penurunan
mediator inflamasi yang tidak bermakna
Dosis 4-10 jinten hitam mg / hari selama 30 hari  bisa meningkatkan sitokin TH2, dan
menurunkan TH 1 pad asma
Pada covid  gejala sesak  maka bisa diguanakan jinten  seperti pada kasus asma yang bisa
menurunkan TH 1

Pada antivirus yang diamati  titer virus / viral load nya apakah ada peningkatan, pembentukan
antibody (IgM dan IgG diambil dari darah )
Untuk mengukur kadar imnoglobulin pake apa?
Marker untuk tau dia antivirus ?
Limfosit T dan B
Th  sitokin antivirus
Viral load  menggunakan pcr
Apa saja yang meningkat pada penyakit virus?
Mengeceknya dengan metode apa aja ? ex. Elisa, Qpcr, pcr konvensional
Untuk tau virusnya aktif atau tidak menggunakan metode apa?
4. Apa saja yang dilihat untuk melakukan uji invivo pada scerario ?
Yang bisa dipertimbangkan dari uji invivo
Dari hewan uji  mencit, tikus, rodent, kelinci
Memilih hewan uji sesui dengan penelitiannya.
Ex.
Dari hewan yang sehat  mencit atau tikus harus dipaparkan penyakit dahulu untuk tau
efektifitas dosisnnya
Dari fisiologisnya dicari yang lebih mirip dengan manusia
Berat badannya juga bisa disesuaikan

Dari dosis pasti yang diberikan  perlu dikonversi dari uji invitro sebelumnya  berapa dosis
yang efektifitas pada dosis sebelumnya
Pada refrensi sebelumnya bisa dugunakan sebagai patokan dosis sebelumnya
Ex. Dosis 10 mg bisa menyebabkan efektifitas sebagai antioksidan  maka saat invivo dosis tsb
dijadikan dosis tengah dari uji yang kita lakukan (dibawah dari dosis 10mg maupun diatas  kita
lihat apakah masih bisa menyebabkan efektifitas dari antioksidan )

Metode mempersiapkan bahan uji  apakah sebelumnya berupa ekstrak  maka untuk
penelitian kita juga bisa mengguankan ekstrak atau bahan sediaan lain
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan (perbedaannya) dari uji in vivo dan in vitro?
Invivo
Kelebihan
- Bisa melihat efek sistemik dalam tbh
- Bisa meneliti farmakokinetik

Kekurangan

- Lebih mahal karena harus pake hewan coba agar lebih spesifik
- Butuh banyak sampel
- Waktu lebih lama

Beda

- Ditubuh makhluk hidup ex. Rodent


- Harus memenuhi syarat 3 R
- Bisa dilakukan pada hewan non rodent
- Secondary bioassay (lebih detail , tapi lebih lama)

Invitro

Kelebihan

- Lebih murah
- Butuh sedikit sampel
- Waktu lebih sebentar
- Lebih spesifik akrena lebih molekuler
- Tergantung lingkungan biologisnya
- Mudah dikontrol
- Variasinya juga bisa dikurangi
- Limbah toksin juga lebih sedikit

Kekurangan

- Hanya di sel
- Tidak tau efek fisiologis tubuh dan tidak bisa diamati/ diperoleh secara sistemik
- Tidka bisa melihat profil toksisitas secara general
- Dosis respon tidka diketahui
- Farmakokinetik juga tidak dapat dievaluasika

Beda :
- Dalam tabung uji / media kultur
- Berfokus pada sel, jaringan
- Primary bioassay  dengan cepat memberikan hasil
6. Bagaimana tahapan uji invivo dan invitro ?
7. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari validitas hasil uji invivo dan invitro?
Validitas internal
Hasil perlakuan nyabisa digeneralisasikan ke seluruh populasi sampel
- Ciri khas subjek/ sampel  harus sesuai denganpenelitian
- Instrument , lokasi , apa aja yang digunakan
Validitas eksternal
Bisa di generalisasi ke populasi umum/ lebih luas
- Interaksi sebelum perlakuan ,
- Interaksi ketika seleksi

Invivo

Faktor internal (usia , jenis kelamin  ex hipertensi pada yang ajntan hormonnya lebih stabil,
bb, genetic dari spesies hewan tsb)

Faktor eksternal (Keadaan, suhu, kebisingan

Invitro

f. internal (usia sel, jenis sel )

f. eksternal (ph , nutrisi suhu kelembapan

yang mempengaruhi secara umum : konsentrasi sampel , metode ekstraksinya , toksisitasnya

8. Sebutkan contoh penelitian dari uji in vivo dan in vitro?


Invitro  lebih mikro, dicawan
Anti fungi
Antibiotic
Antimikotik
Anti inflamasi
Activity assay  bisa menilai dari dpph aasay (menilai antioksidan ) ,
Superokside assay  berhub dengan antioksidan
Bioassay  berhubungan dengan sel (yang dinilai  DNA , protein, RNA, imun)
Toksisity assay  menilai apakah ada kecendrungan mengalami cancer

Invivo  uji penyakit, biasanya memerlukan diinduksi dengan penyakit yang akan diteliti pada
hewan cobanya
Anti diabetic
Anti hipertensi
Animal toksisity (toksisitas akut dan kronik )
Animal studies (model hewan yang diinduksi penyakit dan ada yang diinduksi injury )
Uji preklinik
Uji klinik
Contoh penelitiannya

STEP 4 (MAPPING)

STEP 5 LI

STEP 3

1. Bagaimana pertimbangan dalam memilih subjek uji, metode iji dan parameternya?
2. Bagaimana metode desain penelitian eksperimen pada scenario ?
3. Bagaimana analisis hasil untuk di scenario?
Untuk mengukur kadar imnoglobulin pake apa?
Marker untuk tau dia antivirus ?
Th berapa ? sitokin antivirus
Viral load  menggunakan pcr yang mana?
Apa saja yang meningkat pada penyakit virus?
Mengeceknya dengan metode apa aja ? ex. Elisa, Qpcr, pcr konvensional
Untuk tau virusnya aktif atau tidak menggunakan metode apa?
4. Apa saja yang dilihat untuk melakukan uji invivo pada scerario ?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan (perbedaannya) dari uji in vivo dan in vitro?
6. Bagaimana tahapan uji invivo dan invitro ?
7. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari validitas hasil uji invivo dan invitro?
8. Sebutkan contoh penelitian dari uji in vivo dan in vitro?
Contoh penelitiannya

STEP 6 BELAJAR MANDIRI

STEP 7 SUMBER

1. Bagaimana pertimbangan dalam memilih subjek uji, metode iji dan parameternya?

Pemilihan Hewan Uji.


Paling tidak hal yang harus diperhatikan dalam memilih hewan uji, yaitu :
a. species dan strain hewan yang akan digunakan,
b. usia,
c. jenis kelamin dan
d. jumlahnya.
 Species mamalia yang umum digunakan adalah tikus, mencit dan kelinci. Untuk
unggas digunakan embrio ayam (percobaan in ovo). Kemajuan teknik laboratorium
yang ada sekarang dan reaksi dari pemerhati hak binatang telah membuka
kemungkinan penggunaan hanya organ, jaringan atau sel saja menggantikan hewan
uji (kultur organ atau kultur sel melalui percobaan in vitro). Teknik ini sangat penting
terutama dalam upaya mengungkap mekanisme teratogenesis suatu agensia. Di
Indonesa hewan uji yang populer digunakan adalah mencit dan tikus, karena itu
tulisan ini selanjutnya akan membicarakan pengujian dengan menggunakan hewan
uji tersebut.
 Hewan betina yang digunakan adalah betina dara sedangkan untuk jantan dipilih
pejantan yang sudah terbukti baik fertilitasnya. Hewan dikawinkan di malam hari
dengan cara mencampur 1 jantan dengan 3 betina dalam satu kandang. Jika
keesokan harinya ditemukan adanya sumbat vagina (vaginal plug) atau adanya
sperma di vagina yang dideteksi melalui pemeriksaan mikroskopis apusan vagina,
maka itu pertanda perkawinan sudah berlangsung dan hari tersebut dtentukan
sebagai hari ke nol kebuntingan.
Jumlah hewan uji yang digunakan paling tidak sebanyak 20 ekor betina bunting untuk
tiap kelompok perlakuan. Karena kelompok perlakuan biasanya terdiri atas paling tidak
3 taraf dan 1 kelompok kontrol, maka jumlah hewan bunting yang dibutuhkan adalah
80 ekor.
 Spesies yang ideal untuk uji toksisitas sebaiknya memenuhi criteria-kriteria sebagai
berikut:
- Berat badan lebih kecil dari 1 kg
- Mudah di ambil darahnya dan jumlah darah yang dapat diambil cukup banyak
- Mudah dipegang dan dikendalikan
- Pemberian materi mudah dilakukan dengan berbagai rute (oral, subkutan)
- Mudah dikembangbiakan dan mudah dipelihara di laboratorium
- Lama hidup relative singkat
- Fisiologi diperkirakan sesuai/identik dengan manusia/hewan yang dituju
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan hewan coba.Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press)

2. Bagaimana metode desain penelitian eksperimen pada scenario ?

Metode yg digunakan dalam uji invivo dan invitro

In vivo :
Analgesik
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20311589-S42961-Uji%20efek.pdf)

Antiinflamasi
(http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24139/1/MIGI%20FEBRI
%20ARINI-fkik.pdf)
In vitro:
1. Uji aktivitas antiaskaris (anticacing)
2. Uji antifungi
3. Uji antikalkuli
4. Uji efek mukolitik
5. Uji farmakodinamik dg organ terisolir
6. Uji toksisitas in vitro
- metode Brain Shrimp Test (BST)
- metode Sitotoksisitas

EFEK SITOTOKSIK IN VITRO DARI EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (PHALERIA


MACROCARPA) TERHADAP KULTUR SEL KANKER MIELOMA
Uji Aktivitas Sitotoksik. Sediaan uji dan sediaan kontrol pelarut masing-masing sebanyak 0,1
ml dimasukkan dalam sumur microwell plateyang telah berisi 0,9 ml suspensi sel hasil
inisiasi. Replikasi dilakukan sebanyak dua kali. Selanjutnya diinkubasi dalam inkubator CO2
suhu 37ºC selama 24 jam. Kemudian dari masing-masing sumur diambil sebanyak 0,1 ml
dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambah dengan larutan tripan blue 0,5% sebanyak
0,1 ml (perbandingan 1:1) dan dihomogenkan. Dari campuran tersebut dipipet dan
diletakkan diatas ruang hitung hemositometer. Perhitungan dilakukan dibawah mikroskop
dengan pembesaran 100 kali. Viabilitas sel dihitung dengan rumus:

(http://journal.unair.ac.id/filerPDF/06%20vol%207%20april%202008%20(48-54).pdf)

Antifungi
UJI AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG RAMBUTAN (Nephelium
lappaceum L.) TERHADAP JAMUR Candida Albicans SECARA IN VITRO
Pengujian Aktivitas Antijamur
a. Media dasar PDA dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan mengeras.
b. Pada permukaan lapisan dasar diletakkan 6 pencadang dan diatur sedemikian rupa
sehingga terdapat daerah yang baik untuk mengamati zona hambat yang terjadi.
c. PDA yang mengandung suspensi jamur uji dituang ke dalam cawan petri di sekeliling
pencadang.
d. Dikeluarkan pencadang dari cawan petri sehingga terbentuk sumur yang akan digunakan
untuk larutan uji, larutan kontrol positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).
e. Diteteskan larutan uji ekstrak sampel kering etanol, ekstrak sampel basah etanol, larutan
kontrol positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).
f. Dilakukan pengulangan secara triplo dengan cara yang sama.
g. Diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37 C selama 1x24 jam.
h. Diamati zona hambat yang terjadi di sekitar sumuran kemudian diukur diameter zona
hambat secara horizontal dan vertikal dengan menggunakan penggaris berskala.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=123510&val=5543)

Organ Terisolasi
EFEK EKSTRAK DAUN CIPLUKAN (Physalis minima L) TERHADAP RELAKSASI OTOT POLOS
TERPISAH TRAKEA MARMUT (Cavia porcellus)
METODOLOGI
Percobaan dilakukan dengan menggunakan hewan coba marmut jantan (n=5). Percobaan
dilakukan dengan metoda organ terpisah yaitu menggunakan rantai cincin trakea yang
dimasukkan ke dalam organ bathdan dihubungkan dengan rekorder macLab. Selama
percobaan rantai cicin trakea di dalam organbath direndam cairan fisiologis Kreb”s yang
selalu diganti setiap 15 menit, temperatur dipertahankan 35-37 C dan terus menerus dialiri
gas karbogen (9). Daun ciplukan (Physalis minima L) dibuat ekstrak dengan menggunakan
etanol. Untuk melihat respon relaksasi dari pemberian ekstrak daun ciplukan, dilakukan
stimulasi kontraksi otot polos trakea terlebih duludengan menggunakan histamin 10-5 M
(9,10), jika sudah terjadi kontraksi yang stabil, kemudian baru ditambahkan ekstrak
daunciplukan secara kumulatif dengan dosis 0,3 %, 0,5 %, 0,7 % dan diamati respon
relaksasi otot polos trakea dari penurunan kurva yang terekam di komputer mac lab dan
dapat diukur besar kontraksi dan relaksasi dalam satuan mv. Ekstrak daun ciplukan
diberikan secara kumulatif berdasar penelitian pendahuluan yang didapatkan hasil bahwa
efek relaksasi ekstrak daun ciplukan bertahan lama dan baru hilang responsnya setelah
dilakukan pencucian. Data yang diperoleh adalah besar kontraksi dari otot polos trakea
setelah pemberian histamin (kontrol) dan penurunan kontraksi (relaksasi) otot polos trakea
setelah pemberian ekstrak daun ciplukan (perlakuan). Besar kontraksi yang terekam pada
komputer maclab menggunakan satuan mili volt Data yang didapatkan dianalisis dengan uji
anova, dan uji korelasi regresi.
(http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/viewFile/237/229)

Mukolitik
SKRINING KOMPONEN KIMIA DAN UJI AKTIVITAS MUKOLITIK EKSTRAK RIMPANG BANGLE
(Zingiber purpureum Roxb.) TERHADAP MUKOSA USUS SAPI SECARA IN VITRO
Pembuatan Larutan Stok Ekstrak Uji
Larutan stok ekstrak uji dibuat dari ekstrak uji yang ditimbang sesuai kadar yang di-
inginkan (1 % b/v dan 0,5 % b/v) dan dibasahi dengan tween 80 hingga konsentrasi tween
80 dalam larutan mencapai 1% dengan cara mela-rutkan tween sebanyak 1 g dengan 100
ml akua-dest, lalu diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam ekstrak uji dan dihomogenkan
hingga terbentuk dispersi ekstrak.

Larutan Stok Kontrol Positif dan Kontrol Negatif


Larutan stok kontrol positif yang diguna-kan asetilsistein 50 mg/ml dengan tween 80
hingga konsentrasi tween 80 dalam larutan mencapai 1 %, sedangkan kontrol negatif
adalah mukus sapi dalam larutan dapar fosfat pH 7.

Pembuatan Dapar Fosfat pH 7


Larutan dapar pH 7 dibuat dengan men-campurkan 125 ml kalium dihidrogen fosfat 0,2 M
dengan 72,75 ml natrium hidroksida 0,2 N dan di-encerkan dengan air bebas CO2 hingga
500 ml.

Penyiapan Mukus
Mukus didapatkan dari mukosa usus sapi yang dicuci dengan air mengalir sampai bersih,
kemudian dibelah dan dikerok. Mukus ditampung pada gelas kimia. Mukus yang didapatkan
berwarna putih kecoklatan sampai putih kekuningan.

Pengujian Aktivitas Mukolitik


Efek mukolitik diuji secara in vitro dengan mengukur perubahan viskositas mukus usus
sapi. Hasil pengukuran dibandingkan dengan hasil pa-da kontrol positif dan kontrol negatif.
Campuran mukus dibuat dalam larutan dapar fosfat pH 7 dengan perbandingan 70 : 30.
Pengukuran dilakukan dengan menghi-tung efek mukolitik menggunakan alat viscometer
Brookfield spindle no. 3 dengan kecepatan 50 rpm. Sebelumnya, sampel diinkubasi selama
30 menit pada suhu 37 C. Pada saat pengukuran, sampel uji ditempatkan pada plat panas
(hot plate) dan dijaga suhunya pada 370,5 C). Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
untuk masing-masing sampel uji.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=29862&val=2174)

3. Bagaimana analisis hasil untuk di scenario?


Anti-Viral 
RNA di ekstrak mengunakan QIQamp Viral RNA Isolation
Virus titer diukur menggunakan qRT-PCR (quantitative real-time reverse transcriptase
polymerase chain reaction
dilihat respon IFN gene expression pakai RT-PCR
Anti fungi
esential Oil disimpan di gelas gelap, simpan di kulkas dimasukan kedalam media SDA lihat
minimal inhibitory concentracion, dan minimal fungicidal concentraionnya

Untuk mengukur kadar imnoglobulin pake apa?


Marker untuk tau dia antivirus ?
Th berapa ? sitokin antivirus
Viral load  menggunakan pcr yang mana?
Apa saja yang mningkat pada penyakit virus?
Mengeceknya dengan metode apa aja ? ex. Elisa, Qpcr, pcr konvensional
Untuk tau virusnya aktif atau tidak menggunakan metode apa?
4. Apa saja yang dilihat untuk melakukan uji invivo pada scerario ?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan (perbedaannya) dari uji in vivo dan in vitro?

 In vitro (Primary bioassay)


adalah penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media kultur di laboratorium Terletak
di dalam suatu sistem tetapi di luar tubuh manusia.
 In vivo (Secondary bioassay)
adalah penelitian yg menggunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau teranestesi).
Syarat hewan yg digunakan tergantung jenis obatnyaharus dilakukan kontrol terhadap
galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan (mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan
pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan pengerat dan non rodent. Alasannya karena sistem
fisiologi dan patologi pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent.
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/Sk/Ix/1992 Tentang
Pedoman Fitofarmaka)

In vitro (primary bioassay)


 adalah penelitian yang dilakukan dalam tabung uji atau media kultur di laboratorium;
Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih sedikit
 Murah dan cepat
 dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol,
misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri
 Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental
pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan
pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul
 in vitro lebih cocok untuk mengamati efek keseluruhan percobaan pada subjek hidup
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/Sk/Ix/1992 Tentang
Pedoman Fitofarmaka)
In vitro :
 Terletak di dalam suatu system tetapi di luar tubuh manusia
 dilakukan mikroorganisme pada tidak hidup tetapi dalam lingkungan terkontrol,
misalnya di dalam tabung reaksi atau cawan Petri
 Jenis penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari variabel eksperimental
pada subset dari bagian pokok suatu organisme. Hal ini cenderung untuk memfokuskan
pada organ , jaringan , sel , komponen sel, protein , dan / atau biomolekul
 tingkat penyederhanaan sistem yang diteliti lebih besar , sehingga peneliti dapat fokus
pada sejumlah komponen. Sebagai contoh , identitas protein dari sistem kekebalan
tubuh ( misalnya antibodi ) , dan mekanisme yang mengenali dan mengikat antigen
asing akan tetap sangat jelas jika tidak untuk penggunaan ekstensif kerja in vitro untuk
mengisolasi protein , mengidentifikasi sel-sel dan gen yang memproduksi mereka ,
mempelajari fisik sifat interaksi mereka dengan antigen , dan mengidentifikasi
bagaimana interaksi mereka menyebabkan sinyal seluler yang mengaktifkan komponen
lain dari sistem kekebalan tubuh. Respon seluler adalah spesies - spesifik , lintas analisis
- bermasalah spesies . Metode baru spesies - sasaran yang sama - , studi multi- organ
yang tersedia untuk memotong hidup , pengujian lintas-spesies

In vivo (secondary bioassay)


 Terletak di dalam tubuh manusia
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama
 dalam lingkungan yang terkendali
Sedangkan uji in vivo digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik sadar atau
teranestesi). Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang
jelas harus dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis), dan harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni
rodent/hewan mengerat dan non rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi
pada manusia merupakan perpaduan antara rodent dan non rodent
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/Sk/Ix/1992 Tentang
Pedoman Fitofarmaka)

In vivo In vitro
Kelebihan Bisa melihat efek secara Lebih murah
sistemik dalam tubuh Membutuhkan sedikit
Bisa meneliti efek sampel
farmakokinetiknya Waktu dibutuhkan lebih
sebentar
Lebih spesifik karena lebih
molekuler
Tergantung pada
lingkungan biologis,
misalnya harus sesuai
media kulturnya bisa
dimanipulasi sesuai
keinginan
Kekurangan Lebih mahal Hanya di sel, tidak tahu
Membutuhkan banyak efek fisiologis tubuh dan
sampel tidak bisa di amati secara
Waktu dibutuhkan lebih sistemik
lama

---

Advantages of in vitro studies 

Living organisms are extremely complex functional systems that are made up of, at a
minimum, many tens of thousands of genes, protein molecules, RNA molecules, small
organic compounds, inorganic ions and complexes in an environment that is spatially
organized by membranes and, in the case of multicellular organisms, organ systems.
[1]
 For a biological organism to survive, these myriad components must interact with
each other and with their environment in a way that processes food, removes waste,
moves components to the correct location, and is responsive to signalling molecules,
other organisms, light, sound, temperature and many other factors.

This extraordinary complexity of living organisms is a great barrier to the identification


of individual components and the exploration of their basic biological functions. The
primary advantage of in vitro work is that it permits an enormous level of simplification
of the system under study, so that the investigator can focus on a small number of
components.[2] [3] For example, the identity of proteins of the immune system (e.g.
antibodies), and the mechanism by which they recognize and bind to foreign antigens
would remain very obscure if not for the extensive use of in vitro work to isolate the
proteins, identify the cells and genes that produce them, study the physical properties
of their interaction with antigens, and identify how those interactions lead to cellular
signals that activate other components of the immune system. [4]
Cellular responses are species-specific, lending cross-species analysis
problematic. Newer methods of same-species-targeted, multi-organ studies are
available to bypass live, cross-species testing. [5]

Disadvantages of in vitro studies 

The primary disadvantage of in vitro experimental studies is that it can sometimes be


very challenging to extrapolate from the results of in vitro work back to the biology of
the intact organism. Investigators doing in vitro work must be careful to avoid over-
interpretation of their results, which can sometimes lead to erroneous conclusions
about organismal and systems biology. [6]

For example, scientists developing a new viral drug to treat an infection with a
pathogenic virus (e.g. HIV-1) may find that a candidate drug functions to prevent viral
replication in an in vitro setting (typically cell culture). However, before this drug is used
in the clinic, it must progress through a series of in vivo trials to determine if it is safe
and effective in intact organisms (typically small animals, primates and humans in
succession). Typically, many candidate drugs that are effective in vitro prove to be
ineffective in vivo because of issues associated with delivery of the drug to the affected
tissues, or toxicity towards essential parts of the organism that were not represented in
the initial in vitro studies.[7]
(http://www.eudipharm.net/claroline141/RESB2e79b/document/240912-FAURY-
Gilles-In_vitro_and_in_vivo_testing.pdf)
In vivo :
 Terletak di dalam tubuh manusia  digunakan hewan utuh dan kondisi hidup (baik
sadar atau teranestesi)
 dalam lingkungan yang terkendali
 Syarat hewan yg digunakan sangat banyak tgt jenis obatnya, missal yang jelas harus
dilakukan control terhadap galur/spesies, jenis kelamin, umur, berat badan
(mempengaruhi dosis)
 harus dilakukan pada minimal 2 spesies yakni rodent/hewan mengerat dan non
rodent. Alasannya krn system fisiologi dan patologi pada manusia merupakan
perpaduan antara rodent dan non rodent.

kekurangan
 Kebutuhan sample yang digunakan lebih banyak
 Mahal dan lama

6. Bagaimana tahapan uji invivo dan invitro ?


PROSEDUR
a. Penyiapan Hewan Uji
Hewan yang digunakan adalah rodensia tikus putih (strain Sprague Dawley atau Wistar) atau
mencit (strain ddY atau BALB/c dan lain-lainnya). Umumnya digunakan tikus betina karena
sedikit lebih sensitif dibandingkan tikus jantan. Namun bila bahan uji (menurut literatur) secara
toksikologi atau toksikokinetik menunjukkan bahwa tikus jantan lebih sensitif, maka jenis
kelamin jantan harus digunakan untuk uji. Secara prinsip jika hewan jantan digunakan maka
diperlukan alasan yang kuat. Hewan diseleksi secara acak, diberi tanda untuk identifikasi tiap-
tiap hewan, dan dilakukan aklimatisasi sekurang-kurangnya 5 hari sebelum diberi perlakuan.
b. Penyiapan Sediaan Uji
Sediaan uji dilarutkan dengan bahan pembawa yang sesuai (misalnya aquadestilata, minyak
nabati). Tergantung dari formulasi bahan uji, pemilihan cairan untuk suspensi/emulsi yang
aqueous lebih dianjurkan dari pada larutan suspensi/emulsi yang larut dalam minyak (minyak
jagung) dan apabila menggunakan pelarut non aqueous maka karakteristik toksisitas cairan
pembawa sudah harus diketahui.
c. Pemberian Sediaan uji dan Volume Pemberian
Hewan uji harus dipuasakan sebelum diberikan perlakuan (tikus dipuasakan selama 14-18 jam,
namun air minum boleh diberikan; mencit dipuasakan selama 3-4 jam, air minum boleh
diberikan). Setelah dipuasakan, hewan ditimbang dan diberikan sediaan uji. Sediaan uji
diberikan dalam dosis tunggal dengan menggunakan sonde. Pada keadaan yang tidak
memungkinkan untuk diberikan dosis dengan satu kali pemberian, sediaan uji dapat diberikan
beberapa kali dalam jangka waktu pemberian zat tidak boleh melampaui 24 jam. Setelah
diberikan perlakuan, pakan boleh diberikan kembali setelah 3-4 jam untuk tikus dan 1-2 jam
untuk mencit. Bila sediaan uji diberikan beberapa kali, maka pakan boleh diberikan setelah
perlakuan tergantung pada lama periode pemberian sediaan uji tersebut. Volume cairan
maksimal yang dapat diberikan tergantung pada ukuran hewan uji. Pada rodensia, jumlah
normalnya tidak melampaui 1 mL/100 g berat badan, namun bila pelarutnya air (aqueous)
dapat diberikan hingga 2 mL/100 g berat badan. Umumnya sediaan uji diberikan dalam volume
yang tetap selama pengujian (konsentrasi berbeda), akan tetapi jika bahan uji berupa cairan
atau campuran cairan, sebaiknya digunakan dalam bentuk tidak diencerkan (konsentrasi tetap).
d. Uji Pendahuluan
Tujuan dari uji pendahuluan adalah mencari dosis awal yang sesuai untuk uji utama. Dosis awal
pada uji pendahuluan dapat dipilih dari tingkatan fixed dose: 5, 50, 300 dan 2000 mg/kg BB
sebagai dosis yang diharapkan dapat menimbulkan efek toksik (Lampiran 1, 2). Pemeriksaan
menggunakan dosis 5000 mg/kg hanya dilakukan bila benar-benardiperlukan. Diperlukan
informasi tambahan yaitu data-data toksisitas in vivo dan in vitro dari zat-zat yang mempunyai
kesamaan secara kimiawi dan struktur. Jika informasi tersebut tidak ada, maka dosis awalnya
ditentukan sebesar 300 mg/kg BB. Interval waktu pengamatan sekurang-kurangnya 24 jam pada
setiap dosis dan semua hewan harus diamati sekurang-kurangnya selama 14 hari. Bila kematian
terjadi pada dosis 5 mg/kg BB, sehingga nilai cutt-off LD50 adalah 5mg/kg BB (masuk kategori 1
GHS) maka penelitian sudah harus dihentikan tanpa perlu melakukan uji utama. Namun, jika
diperlukan penegasan nilai LD50 maka prosedur tambahan dapat dilakukan sbb: Pada hewan
uji kedua diberikan dosis 5 mg/kg. Jika hewan kedua ini mati, maka kategori 1 GHS
terkonfirmasi dan percobaan dihentikan. Jika hewan ini hidup, maka pemberian bahan uji dosis
5 mg/kg BB secara berurutan dilanjutkan kepada 3 hewan uji lainnya. Interval waktu
pemberian antara satu hewan dengan hewan berikutnya harus cukup agar dapat dilakukan
penilaian apakah hewan tersebut akan tetap hidup atau tidak. Jika hewan ke-3 mati (jika
dihitung dari awal merupakan kematian kedua hewan uji), maka pemberian bahan uji
dihentikan dan tidak diteruskan kepada hewan ke-4 dan ke-5. Berdasarkan Lampiran 2, maka
bahan uji masuk kelompok A (kematian 2 atau lebih), dan berlaku klasifikasi pada dosis 5
mg/kgBB (Kategori 1 jika ada 2 atau lebih kematian atau Kategori 2 jika hanya ada 1 kematian).
e. Uji Utama
Uji utama dilakukan dengan memperhatikan tingkat dosis dimana terjadi kematian pada uji
pendahuluan. Penentuan dosis antara setiap tingkatan didasarkan pada waktu terjadinya gejala
toksik. Pengujian tidak diteruskan pada dosis selanjutnya sampai diketahui apakah hewan
masih bertahan hidup atau mati (Lampiran 3, 4). Secara umum terdapat 3 pilihan yang akan
diambil: menghentikan uji, melanjutkan uji dengan dosis yang lebih tinggi atau melanjutkan uji
dengan dosis yang lebih rendah. Pada umumnya, klasifikasi bahan uji sudah dapat ditentukan
pada dosis awal dan uji selanjutnya tidak diperlukan. Pada uji ini diperlukan sejumlah 5 ekor
hewan uji untuk tiap tahapan dosis uji. Kelima ekor hewan tersebut terdiri atas 1 ekor hewan
dari uji pendahuluan dan 4 ekor hewan tambahan. Interval waktu antara dosis uji ditentukan
oleh onset, lama dan beratnya toksisitas. Peralihan pemberian bahan uji pada tahap dosis
berikutnya harus ditunda sampai diperoleh petunjuk bahwa hewan uji tersebut bertahan
hidup. Umumnya diperlukan interval waktu peralihan selama 3-4 hari, namun dapat
diperpanjang bila hasilnya tampak meragukan. Sehubungan dengan animal welfare, bila akan
menggunakan dosis diatas 5000 mg/kg, dipertimbangkan bahwa dosis tersebut sangat relevan
dengan kepentingan untuk melindungi manusia, hewan atau lingkungan.
f. Uji Batas
Jika pada uji pendahuluan tidak ada kematian pada tingkat dosis 2000 mg/kg dan pada uji
utama hanya 1 ekor atau tidak ada hewan yang mati pada tingkat dosis 2000 mg/kg, maka
tidak perlu diberikan dosis melampaui 2000 mg/kg.
g. Pengamatan
Hewan uji diobservasi secara individual sekurang-kurangnya pada 30 menit pertama setelah
pemberian sediaan uji, dan secara periodik setiap 4 jam selama 24 jam pertama dan sehari
sekali setelah itu selama 14 hari. Namun durasi pengamatan dapat bervariasi dan diperpanjang
tergantung dari reaksi toksik dan waktu onset serta lama waktu kesembuhan. Waktu timbul dan
hilangnya gejala toksisitas (khususnya jika ada kecenderungan tanda-tanda toksik yang
tertunda) harus dicatat secara sistematis dalam catatan individual yang dilakukan untuk setiap
hewan.
Pengamatan tambahan perlu dilakukan jika hewan menunjukkan gejala toksisitas secara terus-
menerus. Pengamatan yang dilakukan termasuk pada: kulit, bulu, mata, membran mukosa dan
juga sistem pernafasan, sistem syaraf otonom, sistem syaraf pusat, aktivitas somatomotor serta
tingkah laku. Selain itu, perlu juga pengamatan pada kondisi: gemetar, kejang, salivasi, diare,
lemas, tidur dan koma. Hewan dalam kondisi sekarat dan hewan yang menunjukkan gejala
nyeri yang berat atau tampak menderita harus dikorbankan. Hewan uji yang dikorbankan atau
ditemukan mati, waktu kematiannya harus dicatat. Hal- hal yang harus diamati dalam periode
observasi adalah:
• Tingkah laku hewan seperti jalan mundur, jalan menggunakan perut
• Berat Badan
Berat badan masing-masing hewan harus dimonitor pada saat sebelum diberikan sediaan uji dan
sekurang-kurangnya seminggu setelahnya. Perubahan berat badan harus dianalisis. Pada akhir
penelitian, hewan yang masih bertahan hidup ditimbang dan kemudian dikorbankan.
• Pemeriksaan Patologi
Seluruh hewan (termasuk yang mati selama penelitian maupun yang dimatikan) harus
dinekropsi. Semua perubahan gross patologi dicatat untuk setiap hewan uji. Pemeriksaan
mikroskopik dari organ yang menunjukkan adanya perubahan secara gross patologi pada hewan
yang bertahan hidup selama 24 jam atau lebih setelah pemberian dosis awal dapat dilakukan
untuk mendapatkan informasi yang berguna.

h. Pengumpulan dan Analisis Data


Data masing-masing hewan harus tersedia dan semua data harus diringkas dalam bentuk tabel
yang menunjukkan dosis uji yang digunakan; jumlah hewan yang menunjukkan gejala toksisitas;
jumlah hewan yang ditemukan mati selama uji dan yang mati karena dikorbankan; waktu
kematian masing-masing hewan; gambaran dampak toksik dan waktu dampak toksik; waktu
terjadinya reaksi kesembuhan; dan penemuan nekropsi.

(PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
7 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN UJI TOKSISITAS NONKLINIK SECARA IN VIVO,
7. Apa saja faktor yang mempengaruhi dari validitas hasil uji invivo dan invitro?

Faktor yang mempengaruhi hasil uji


Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan diantaranya:
1. Faktor internal
Meliputi variasi biologik, yaitu usia (berpengaruh pada dosis yang harus diberikan) dan
jenis kelamin (ada obat-obat yang lebih peka untuk jantan dan untuk betina). Kemudian
ras dan sifat genetic, faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap hewan yang
akan di jadikan percobaan karena akan memepengaruhi hasil dari percobaan
disebabkan oleh pengaruh dosis dan cairan tubuh hewan tersebut sehingga hasil dari
pengamatan akan berbeda-beda, sehingga memepengaruhi efek farmakologinya. Selain
itu, status kesehatan dan nutrisi, bobot tubuh serta luas permukaan tubuh akan
berpengaruh pada dosis yang harus diberikan.

2. Faktor eksternal
Meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana
asing atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat
hidup seperti suhu, kelembaban, ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan
hewan), pemilihan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk
percobaan. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan, dan
mempengaruhi efek farmakologinya, apabila hewan yang sudah biasa di beri obat maka
akan terlihat lebih rilex dan santai berbeda dengan hewan percobaan yang masih baru
dan masih asing makan akan lebih berontak dan agresif, sehingga kita membutuhkan
penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan percobaan sebelum melakukan
percobaan.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil percobaan diantaranya:


1. Faktor internal
a) Variasi biologic
- Usia (berpengaruh pada dosis yang harus diberikan)
- Jenis kelamin (ada obat-obat yang lebih peka untuk jantan dan untuk betina)
- Ras dan sifat genetic faktor-faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap hewan yang akan di
jadikan percobaan karena akan mempengaruhi hasil dari percobaan disebabkan oleh pengaruh
dosis dan cairan tubuh hewan tersebut sehingga hasil dari pengamatan akan berbeda-beda,
sehingga memepengaruhi efek farmakologinya.
b) Status kesehatan
c) Nutrisi
d)Bobot tubuh serta luas permukaan tubuh berpengaruh pada dosis yang harus diberikan.
2. Faktor eksternal
a) Suplai oksigen
b) Pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana asing atau baru, pengalaman
hewan dalam penerimaan obat, keadaan ruangan tempat hidup seperti suhu, kelembaban,
ventilasai, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan)
c) Pemilihan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan. Faktor-
faktor tersebut dapat mempengaruhi hasil percobaan, dan mempengaruhi efek farmakologinya,
apabila hewan yang sudah biasa di beri obat maka akan terlihat lebih rileks dan santai berbeda
dengan hewan percobaan yang masih baru dan masih asing makan akan lebih berontak dan
agresif, sehingga kita membutuhkan penelitian dan perawatan yang baik terhadap hewan
percobaan sebelum melakukan percobaan.
(Kusumawati.2004.Bersahabat dengan Hewan Coba.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press)
8. Sebutkan contoh penelitian dari uji in vivo dan in vitro?
Contoh penelitiannya

Invitro
In Vitro: In experimental situation outside the organisms. Biological or chemical work
done in the test tube( in vitro is Latin for “in glass”) rather than in living systems.
Examples include antifungal, antibacterial, organ-based assays, cellular assays.
1) Uji aktivitas antiaskaris (anticacing)
2) Uji antifungi
3) Uji antikalkuli
4) Uji efek mukolitik
5) Uji farmakodinamik dg organ terisolir
6) Uji toksisitas in vitro
 metode Brain Shrimp Test (BST)
 metode Sitotoksisitas
7) Activity Assays
 DPPH assay
 Xanthine oxidase inhibition assays
 Superoxide scavenging assay
 Antiglycation assay
8) Bioassays (cell-based)
 DNA Level
 Protein Level
 RNA Level
 Immunology assay
9) Toxicity Assays
 MTT assay
 Cancer cell line assays

(http://bahan-alam.fa.itb.ac.id/search/search.php?kategori=Semua&lang=&q=cacing&r=10)
(http://www.byteboss.com/view.aspx?id=1618260&name=Bioassay+Course )
Contoh
-utk obat fertilitas digunakan hewan uji tikus/rat galur Sprague Dowley/SD bukan Wistar
atau jenis tikus lainnya, krn tikus jenis SD memiliki anak banyak shg pengamatan akan lbh
baik dg jumlah sample yg banyak.
-Utk uji painkiller digunakan mencit/mice jika utk menilai nyeri ringan yakni dengan
penyuntikan asam asetat glacial ke peritoneum mencit, tapi jika sasarannya nyeri tekanan
digunakan tikus bias Wistar atau SD, karena tikus akan dijepit ekornya atau telapak jarinya
dengan alat tertentu, sementara kalo nyeri berupa panas, digunakan boleh mencit atau tikus
krn hewan akan diletakkan di hot plate.
- Utk antidiabetika, seharusnya digunakan babi atau sapi yg pankreasnya banyak kemiripan
dg manusia, namun dengan tikus sudah cukup dengan adanya keterbatasan subyek uji
- Utk antiemetik/anti muntah digunakan burung merpati, krn bisa dirangsang utk muntah
berkali-kali sbg kuantifikasi, sementara hewan lain hanya muntah sekali.
-Utk obat antihipertensi, digunakan kucing atau anjing teranestesi, krn system
kardiovaskulernya paling mirip dg manusia
-Utk obat antiinflamasi digunakan baik tikus yang disuntik karagenan di bawah kulitnya shg
melepuh atau telinga mencit disuntik croton oil, bahkan kaki tikus sering dipotong utk
menimbang udem yg terbentuk
-utk antipiretik/penurun panas, digunakan kelinci utk diukur suhu duburnya setelah disuntik
pyrogen
- Utk asam urat digunakan ayam/burung yg dikasih makan jus hati ayam (ayam makan ayam)
krn metabolisme asam urat pada manusia mirip dg yg terjadi dg biokimiawi di keluarga
burung.
-Uji stamina digunakan tikus atau mencit, krn tubuhnya kuat dan tahan di dalam air, hewan
diuji dg berenang dan lari di treadmill.
-Uji libido, digunakan tikus dalam keadaan estrus/siap menerima pejantan.
-Utk uji kanker, digunakan punggung tikus yg diimplan dg sel kanker, atau paru-paru tikus
setelah dipejankan benzo(a)pirena
Hasilnya berupa : efek farmakologi, dosis terapi ED50=dosis yang menghasilkan 50% efek
maksimum.
(Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 761/Menkes/Sk/Ix/1992 Tentang
Pedoman Fitofarmaka)
In vivo
1) The pathogenesis of disease by comparing the effects of bacterial infection with the
effects of purified bacterial toxins
2) The development of antibiotics
3) Antiviral drugs
4) New drugs generally
5) New surgical procedures. 
(http://www.researchgate.net/post/Any_suggestions_for_easy_method_to_study_the_
antibacterial_activity_of_some_medicinal_plant_extracts_in_vivo_using_experimental_
animals

In vitro:
7. Uji aktivitas antiaskaris (anticacing)
8. Uji antifungi
9. Uji antikalkuli
10. Uji efek mukolitik
11. Uji farmakodinamik dg organ terisolir
12. Uji toksisitas in vitro
- metode Brain Shrimp Test (BST)
- metode Sitotoksisitas

EFEK SITOTOKSIK IN VITRO DARI EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (PHALERIA


MACROCARPA) TERHADAP KULTUR SEL KANKER MIELOMA
Uji Aktivitas Sitotoksik. Sediaan uji dan sediaan kontrol pelarut masing-masing sebanyak 0,1
ml dimasukkan dalam sumur microwell plateyang telah berisi 0,9 ml suspensi sel hasil
inisiasi. Replikasi dilakukan sebanyak dua kali. Selanjutnya diinkubasi dalam inkubator CO2
suhu 37ºC selama 24 jam. Kemudian dari masing-masing sumur diambil sebanyak 0,1 ml
dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambah dengan larutan tripan blue 0,5% sebanyak
0,1 ml (perbandingan 1:1) dan dihomogenkan. Dari campuran tersebut dipipet dan
diletakkan diatas ruang hitung hemositometer. Perhitungan dilakukan dibawah mikroskop
dengan pembesaran 100 kali. Viabilitas sel dihitung dengan rumus:

(http://journal.unair.ac.id/filerPDF/06%20vol%207%20april%202008%20(48-54).pdf)

Antifungi
UJI AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG RAMBUTAN (Nephelium
lappaceum L.) TERHADAP JAMUR Candida Albicans SECARA IN VITRO
Pengujian Aktivitas Antijamur
a. Media dasar PDA dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan mengeras.
b. Pada permukaan lapisan dasar diletakkan 6 pencadang dan diatur sedemikian rupa
sehingga terdapat daerah yang baik untuk mengamati zona hambat yang terjadi.
c. PDA yang mengandung suspensi jamur uji dituang ke dalam cawan petri di sekeliling
pencadang.
d. Dikeluarkan pencadang dari cawan petri sehingga terbentuk sumur yang akan digunakan
untuk larutan uji, larutan kontrol positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).
e. Diteteskan larutan uji ekstrak sampel kering etanol, ekstrak sampel basah etanol, larutan
kontrol positif (+) dan larutan kontrol negatif (-).
f. Dilakukan pengulangan secara triplo dengan cara yang sama.
g. Diinkubasikan dalam inkubator pada suhu 37 C selama 1x24 jam.
h. Diamati zona hambat yang terjadi di sekitar sumuran kemudian diukur diameter zona
hambat secara horizontal dan vertikal dengan menggunakan penggaris berskala.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=123510&val=5543)

Organ Terisolasi
EFEK EKSTRAK DAUN CIPLUKAN (Physalis minima L) TERHADAP RELAKSASI OTOT POLOS
TERPISAH TRAKEA MARMUT (Cavia porcellus)
METODOLOGI
Percobaan dilakukan dengan menggunakan hewan coba marmut jantan (n=5). Percobaan
dilakukan dengan metoda organ terpisah yaitu menggunakan rantai cincin trakea yang
dimasukkan ke dalam organ bathdan dihubungkan dengan rekorder macLab. Selama
percobaan rantai cicin trakea di dalam organbath direndam cairan fisiologis Kreb”s yang
selalu diganti setiap 15 menit, temperatur dipertahankan 35-37 C dan terus menerus dialiri
gas karbogen (9). Daun ciplukan (Physalis minima L) dibuat ekstrak dengan menggunakan
etanol. Untuk melihat respon relaksasi dari pemberian ekstrak daun ciplukan, dilakukan
stimulasi kontraksi otot polos trakea terlebih duludengan menggunakan histamin 10-5 M
(9,10), jika sudah terjadi kontraksi yang stabil, kemudian baru ditambahkan ekstrak
daunciplukan secara kumulatif dengan dosis 0,3 %, 0,5 %, 0,7 % dan diamati respon
relaksasi otot polos trakea dari penurunan kurva yang terekam di komputer mac lab dan
dapat diukur besar kontraksi dan relaksasi dalam satuan mv. Ekstrak daun ciplukan
diberikan secara kumulatif berdasar penelitian pendahuluan yang didapatkan hasil bahwa
efek relaksasi ekstrak daun ciplukan bertahan lama dan baru hilang responsnya setelah
dilakukan pencucian. Data yang diperoleh adalah besar kontraksi dari otot polos trakea
setelah pemberian histamin (kontrol) dan penurunan kontraksi (relaksasi) otot polos trakea
setelah pemberian ekstrak daun ciplukan (perlakuan). Besar kontraksi yang terekam pada
komputer maclab menggunakan satuan mili volt Data yang didapatkan dianalisis dengan uji
anova, dan uji korelasi regresi.
(http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/viewFile/237/229)

Mukolitik
SKRINING KOMPONEN KIMIA DAN UJI AKTIVITAS MUKOLITIK EKSTRAK RIMPANG BANGLE
(Zingiber purpureum Roxb.) TERHADAP MUKOSA USUS SAPI SECARA IN VITRO
Pembuatan Larutan Stok Ekstrak Uji
Larutan stok ekstrak uji dibuat dari ekstrak uji yang ditimbang sesuai kadar yang di-
inginkan (1 % b/v dan 0,5 % b/v) dan dibasahi dengan tween 80 hingga konsentrasi tween
80 dalam larutan mencapai 1% dengan cara mela-rutkan tween sebanyak 1 g dengan 100
ml akua-dest, lalu diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam ekstrak uji dan dihomogenkan
hingga terbentuk dispersi ekstrak.

Larutan Stok Kontrol Positif dan Kontrol Negatif


Larutan stok kontrol positif yang diguna-kan asetilsistein 50 mg/ml dengan tween 80
hingga konsentrasi tween 80 dalam larutan mencapai 1 %, sedangkan kontrol negatif
adalah mukus sapi dalam larutan dapar fosfat pH 7.

Pembuatan Dapar Fosfat pH 7


Larutan dapar pH 7 dibuat dengan men-campurkan 125 ml kalium dihidrogen fosfat 0,2 M
dengan 72,75 ml natrium hidroksida 0,2 N dan di-encerkan dengan air bebas CO2 hingga
500 ml.

Penyiapan Mukus
Mukus didapatkan dari mukosa usus sapi yang dicuci dengan air mengalir sampai bersih,
kemudian dibelah dan dikerok. Mukus ditampung pada gelas kimia. Mukus yang didapatkan
berwarna putih kecoklatan sampai putih kekuningan.

Pengujian Aktivitas Mukolitik


Efek mukolitik diuji secara in vitro dengan mengukur perubahan viskositas mukus usus
sapi. Hasil pengukuran dibandingkan dengan hasil pa-da kontrol positif dan kontrol negatif.
Campuran mukus dibuat dalam larutan dapar fosfat pH 7 dengan perbandingan 70 : 30.
Pengukuran dilakukan dengan menghi-tung efek mukolitik menggunakan alat viscometer
Brookfield spindle no. 3 dengan kecepatan 50 rpm. Sebelumnya, sampel diinkubasi selama
30 menit pada suhu 37 C. Pada saat pengukuran, sampel uji ditempatkan pada plat panas
(hot plate) dan dijaga suhunya pada 370,5 C). Pengukuran dilakukan sebanyak 3 kali
untuk masing-masing sampel uji.
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=29862&val=2174)

Anda mungkin juga menyukai